1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Adiksi Coklat Panas

Discussion in 'Fiction' started by TaupiG, Feb 26, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. TaupiG M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 27, 2009
    Messages:
    655
    Trophy Points:
    91
    Ratings:
    +427 / -0
    Suara ayam-ayam yang bernyanyi satu dan yang lainnya di pagi itu membangunkanku lagi. Membangunkanku dari dimensi gelap yang kadang ada dalam kendaliku, yang kadang juga membuka lembaran-lembaran lama yang sengaja aku buang jauh. Atau lebih parah lagi, proyeksi masa depan palsu dengan bumbu luka lama yang berlari liar layaknya anak kecil telanjang di sebuah komplek perumahan.

    Tidak butuh waktu lama bagiku untuk segera berganti baju dan duduk di balkon rumah yang sudah lumayan lama aku tinggali sendiri dalam dingin. Rumah ini benar-benar absen kehangatan. Setiap sudut rumah ini yang dulu dihiasi warna-warni rasa hangat telah hilang, dibawa pergi oleh badai ego.

    “Hangat…” Bisikku saat aku perlahan meminum segelas coklat panas yang ada di sampingku.

    Coklat ini agak pahit, atau hanya lidahku saja? Pokoknya pahit. Dan jika mau dikait-kaitkan dengan sesuatu yang jauh menyimpang, hubungan yang aku punya dulu juga begitu. Mencakup tiga elemen: hangat, pahit, dan manis. Mungkin komposisi itu kedengaran sempurna, bukan? Aku pikir juga begitu.

    Entah karena adiksi atau kesempurnaan komposisi, aku selalu mendambakan semua itu. Meskipun, jauh di dalam sana, aku tahu aku bosan. Dicecoki kesempurnaan menahun, tanpa ada komposisi lain. Pahit yang sama besar dengan rasa manis yang diselimuti sempurna dengan kehangatan abadi—atau semacamnya, karena konon katanya cinta itu abadi.

    Segelas coklat itu juga harusnya bertanggung jawab akan adiksi ini. Keinginan berhenti mengkonsumsi coklat itu sangat tinggi—terlalu tinggi. Tapi, karena namanya adiksi, kesulitan untuk berhenti itu wajar. Tapi kalau seperti ini juga tidak sehat kan? Sekarang aku juga tahu penderitaan orang yang ingin berhenti merokok. Hanya paham bahwa sesuatu itu tidak sehat, tidak akan membuat semua itu terhenti. Harus ada dorongan yang benar-benar kuat.

    “Lebih baik kamu jangan minum coklat lagi. Ga’ bagus loh…” Ujar salah seorang teman.

    Memang tidak sehat kok, aku paham itu. Paham sekali. Tapi ironis kan? Kala setiap sudut hati bersinkronisasi bersama otak dan bahkan mimpi-mimpiku berteriak bahwa adiksi ini tidak indah dan tidak sehat sama sekali, selalu ada satu sudut entah dimana, selalu berkata sebaliknya. Selalu berkata bahwa satu gelas lagi tidak akan menghancurkanku. Berkata bahwa setiap teguk coklat itu akan membawa rasa nyaman dan membuatku tenang.

    “Aku percaya kok kamu pasti bisa berhenti.” Ucap teman yang lain.

    Dia dulu juga adiksi, tapi entah adiksi apa. Satu hal yang pasti, dia berhasil berhenti dari adiksi itu dan sekarang dia bahagia—atau paling tidak, terlihat bahagia.

    Aku sudah berkali-kali mencoba minuman lain selain coklat ini, jujur saja. Tapi, belum ada yang benar-benar “pas”. Entah karena aku selalu menjadikan coklat sebagai tolak ukur dasar sebuah komposisi, atau karena memang tidak tepat dengan lidahku?

    Salah satunya adalah segelas teh yang aku coba beberapa waktu lalu. Manis, atau bahkan terlalu manis? Yang pasti, lidahku tidak bisa meneguk habis gelas teh tersebut. Bukan hanya manis, tapi kehangatan itu bias. Apa mungkin karena waktu itu hujan, jadi hangatnya hilang sedikit demi sedikit? Atau hanya aku yang tidak bisa menerima perubahan yang tiba-tiba? Bukan berarti tidak enak loh. Teh itu enak—atau bahkan enak sekali. Tapi, mungkin saja teh itu tidak cocok dengan lidahku. Meski begitu,i aku yakin di suatu sudut dunia ini, akan ada orang yang merasa sangat cocok dan bahkan memiliki adiksi kepada teh yang manis itu.

    Beberapa waktu yang lalu, aku juga mencoba sedikit menjadi “anak gaul” dengan singgah di sebuah café yang biasa dipenuhi oleh anak-anak muda, dan mencoba salah satu menu yang aku lupa namanya. Rasanya memang enak, tapi terlalu muda untuk lidahku ini. Lagipula, minuman ini agak sulit untuk dinikmati setiap hari.

    Tapi mungkin memang sudah cukup rasanya aku meneguk secangkir coklat panas di pagi hari, jadi mungkin hari ini, akan aku buang coklat ini, dan semoga untuk selamanya.

    “Jadi sekarang, apa yang harus aku konsumsi mulai sekarang? Teh yang manis, atau minuman yang masih muda itu? Atau… Haruskah aku mencari substitusi minuman-minuman itu tadi?”

    Tetep love story tapi... Terselubung~ :oghoho:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.