1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen [WotWC] (12) Kembar Setengah Terbalik | Half Inverse Twin

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Jan 21, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Apa yang terlahir dari kekosongan? Apa yang terlahir dari ke-isi-an? Apa yang terlahir dari keduanya?

    Pertanyaan, sekali lagi pertanyaan. Hitam, putih, merah, biru, kuning, hijau. Semua sama, hanya saja dari sudut pandang mereka yang melihat, semua warna itu berbeda satu sama lain.

    Padahal mereka sama;warna.

    Lalu, bagaimana jika merah dan biru saling berseteru akan warna mereka masing masing? Memperindah warna dirinya sehingga bisa membanggakan dirinya pada orang lain. Merah membanggakan dirinya adalah warna dari darah yang membuat manusia hidup. Biru membanggakan dirinya adalah warna langit dimana manusia tinggal di bawahnya. Sebuah perdebatan yang tidak akan pernah berakhir. Bukan hanya karena mereka berbedalah yang membuat perdebatan itu tidak berakhir, namun karena mereka sama; mereka adalah warna.

    Apa yang bisa membuat mereka bersatu? Bukankah perbedaan dan persamaan yang membuat mereka berseteru?

    ---***---

    Laki-laki dan perempuan, rambut hitam kelam dan pirang keperakan, . Namun sama-sama memiliki keinginan untuk bersaing satu sama lain. Perdebatan yang tidak pernah berakhir sejak kurang lebih satu dekade lalu.

    <<Di antara Haru dan Lisa, siapa yang lebih hebat?>>

    Pertanyaan bodoh yang seorang guru tanyakan padaku dan orang itu saat TK dulu akhirnya menyeret permasalahan ini hingga genap sepuluh tahun.

    Pertanyaan yang aku dan orang itu jawab dengan kata “Aku”. Pertanyaan yang membuat persahabatan satu minggu berubah menjadi permusuhan tanpa akhir.

    Sebuah pertanyaan yang membuatku secara suka rela tinggal di La Ville-Lumiere, Kota Penuh Cahaya untuk menunjukkan bahwa aku lebih baik dari orang itu. Pertanyaan yang membuat aku dan orang itu terpisah dari kampung halaman masing-masing. Kota yang awalnya membuatku terjebak di lingkaran orang asing kecuali orang itu.

    Lisa, orang yang memiliki tanggal bulan dan tahun kelahiran yang persis sama denganku. Ya, Lisa adalah “Orang itu”.

    “Hah… tinggal satu tahun...”

    Di atas rumput, di halaman kampus sekolah internasional itu aku duduk, menatap langit. Hari ini entah kenapa, aku memutuskan untuk memakan bekal di luar daripada makan di kantin seperti biasa.

    “Aku harap tahun terakhir ini nilainya tidak seri lagi.”

    Mengunyah snack yang aku bawa dari rumah, aku bergumam sendiri.

    Langit begitu tinggi. Mengingatkanku pada semua nilai seri yang aku dan Lisa dapat.

    Seperti tahun lalu, nilai akhir tahun kami benar-benar sama. Bahkan para guru curiga kami saling membantu dalam ujian (Tapi tidak ada yang percaya hal itu mungkin).

    Walau bukan yang tertinggi sejak sekolah ini penuh dengan orang-orang yang terpilih dari seluruh penjuru dunia, aku dan Lisa sangat beruntung bisa sekolah di tempat ini. Prestasi diSMP dulu bukan alasannya sama sekali. Nilai dan prestasiku dan Lisa bukanlah yang terbaik.

    Alasannya adalah kepala sekolah SMP tempatku belajar dulu adalah sahabat kepala sekolah SMA Internasional tempatku sekolah sekarang. Dan entah apa yang diinginkannya, dia mengirim kami berdua ke tempat ini.

    Awan putih keabu-abuan yang lewat berkali-kali di bawah langit dengan warna biru pucat menandakan musim dingin akan segera datang.

    Suara perut yang terus bergemuruh saat aku menatap langit menandakan protesnya akan konsentrasiku dari makanan ke arah langit.

    “Lalu, apa yang aku dapat dari tempat ini?”

    Kembali memakan kentang goreng, di atas padang rumput itu aku menjatuhkan diri ke belakang. Menikmati akhir musim gugur di kota Paris. Aku menutup mata, melihat kegelapan di balik kelopak mata yang sekarang menghalangi pemandangan langit dingin di akhir bulan November.

    ---***---

    BRUK!

    Sesuatu terjatuh…tidak, dua benda saling bertabrakan.
    Tangan kiriku terasa sakit.
    Cukup bisa disimpulkan bahwa ada sesuatu yang menabrak tangan kiriku.

    Aku mengintip sedikit ke arah lengan kiriku. Di sana sepasang sepatu hitam dari merk yang entah apa namanya berdiri lengkap dengan sang pemilik di dalamnya.

    “Bisa kau pindah? Ini tempatku!”

    Ah, suara itu lagi. Aku sudah bosan dengan suara orang itu. Setiap kali aku mendengar suara itu, darah selalu terpompa keras naik ke kepalaku.

    “Kau dengar?! Hoi! HARU!”

    Ah, aku sedang tidak ingin berdebat dengan orang ini. Apa lebih baik aku kembali ke dunia mimpi? Tempat dimana aku bisa melihat pemandangan lain.

    Nafas teratur, tidak ada pergerakan bola mata, tidak ada pergerakan bagian tubuh dalam sepuluh menit. Itu adalah ciri-ciri seseorang yang sedang tidur, yang aku lakukan sekarang.

    Lisa, ya? Hmm.. aku sedang tidak punya semangat untuk bersaing denganmu hari ini. Terlalu banyak yang sedang aku pikirkan, seperti… kosong... gelap… hampa…
    Ya, bukan apa-apa sih. Tapi lebih penting dari berdebat denganmu sekarang.

    Ya, aku membencinya. Seperti merah membenci biru. Seperti hitam membenci putih. Seperti angkasa membenci bumi.

    “He? Kau membencinya?”

    Suara itu sangat jelas, suara yang sangat aku kenal. Bukan suara Lisa, tapi suara yang aku dengar lebih sering dari dengung suara nyamuk.

    Aku membuka mataku.

    Sebuah bola kaca raksasa dan aku berada di dalamnya.

    Aku dan Aku. Dua “Aku” di dalamnya.

    “Yo! Sudah lama kita tidak bertemu. Mengingat kau tidak pernah melihat ke arah cermin selama beberapa tahun terakhir.”

    Ya. Ini mimpi. Aku tahu itu. Tapi fakta itu tidak mendiskon rasa takutku. Aku, berbicara dengan diriku sendiri.

    “Kau tidak usah berkata apapun, Aku adalah Kau. Jadi aku tahu apa yang –Aku— pikirkan saat ini.”

    Heh! Coba tebak apa yang aku pikrkan saat ini: Es jus jeruk panas hangat!

    “Tidak usah berpikir sesuatu yang tidak mungkin. Es jus jeruk panas hangat bahkan tidak dapat berubah menjadi nyata di dunia mimpi!”

    Oke, aku percaya. Lagipula ini adalah mimpi, dimana semuanya terbuat dari imajinasiku sendiri.

    “Ya, imajinasi yang terlalu liar untuk kau kendalikan. Imajinasi yang memiliki kepintaran sendiri. Keren bukan?”

    Haha. aku ingin sekali berbicara sesuatu seperti itu pada seseorang di suatu hari nanti. Ya, setidaknya bukan pada Lisa, orang yang paling aku benci.

    “Hmm.. benci ya?”

    Kau sebut apa rasa tidak suka satu sama lain yang tidak bisa dihilangkan? Semua orang akan setuju kalau aku bilang itu adalah “benci”

    “Haha.. Ok, ok… aku percaya, Itu yang kau mau kan? Memangnya, apa yang membuatmu sangat benci pada orang itu?”

    Ha? Kau tidak tahu? Bukankah —Kau— adalah –Aku—? Apa perlu aku putar ulang kejadian itu berkali-kali?

    Ya, ya. Aku tahu tentang tempat ini. Bola kaca, kau dan aku. Aku yang menciptakan dunia ini dalam imajinasi tidurku bukan?
    Aku putar episode hari itu di balik bola kaca ini.

    “Hoho, baguslah kau mengerti.”

    Di balik bola kaca ini, dunia seakan hancur menjadi potongan-potongan jerami. Lalu dalam beberapa waktu kemudian jerami-jerami yang hancur kembali bersatu. Membentuk tempat yang jauh berbeda dari sebelumnya.

    Di dalam kelas TK, tempat yang benar-benar aku kenal. Dua orang yang sangat akrab, sepasang teman akrab yang baru bertemu beberapa hari.

    Aku dan Lisa.

    Bermain berbagai macam hal, menunggu kedatangan orang tua yang seharusnya menjemput sejak beberapa jam yang lalu.

    Lalu seorang guru datang dan melihat apa yang sedang kami lakukan. Aku menyusun sebuah menara kotak kayu, begitu juga dengan Lisa. Menara yang tingginya persis sama dengan menara Lisa.

    Mungkin karena tingginya yang sama, Guru yang aku lupa siapa namanya bertanya

    <<Di antara Haru dan Lisa, siapa yang lebih hebat?>>

    Aku dan Lisa menjawab dengan kata yang sama;“Aku”.

    Setelah itu kami bertengkar, saling menjelekkan, memukul, mencakar satu sama lain.

    Pemandangan yang tidak enak dilihat, terutama karena mereka (kami) adalah anak-anak.

    Tapi, bagi sahabat perkelahian adalah hal biasa bukan? Justru yang membuat persahabatan itu erat adalah ketika mereka bertengkar dan kembali baikan. Setidaknya itu yang ingin aku percaya.

    Saat itu aku menyesal karena telah bertengkar dengan sahabat yang aku dapat tidak lebih dari satu minggu itu.

    Keesokan harinya, aku berencana meminta maaf pada Lisa.

    Tapi, sebelum aku berkata apapun orang itu langsung berteriak ke wajahku
    <<OK! Akan aku tunjukkan siapa yang lebih hebat! >>

    <<Baik! Terserah padamu Lisa! Akan aku tunjukkan aku lebih hebat darimu! >>

    Kau lihat itu? Bahkan dia tidak meminta maaf!
    “He… bukankah kau juga? Terpancing emosi seperti itu memang benar-benar anak TK”

    Jelas lah! Saat itu aku masih TK!... Hei! Sejak kapan ruangan di dalam bola kaca ini menjadi seperti ruang tamu? Perapian di pojok dan kau duduk di atas sofa dengan nikmatnya meminum secangkir coklat panas?

    “Tidak ada salahnya, bukan? Ini mimpi.”

    Haah.. terserah kau lah.

    “Jadi… itu yang membuatmu membenci Lisa? … Ralat. Jadi, itu yang membuatku membenci Lisa?”

    Ya, itu yang memulai. Tapi banyak hal yang dia lakukan membuatku semakin membencinya!

    “He? Coba tunjukkan’hal lain’ itu.”

    Aku berkonsentrasi akan kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu. Membuat dunia di balik bola kaca menjadi dunia hitam penuh dengan kegelapan.

    “ ’Hitam pemuh dengan kegelapan’ Kalimat tidak efektif. Tapi aku bukan editor, jadi aku tidak bisa merubahnya.”

    Diam kau… aku!

    ---***---

    Beberapa potong kejadian bergabung dalam satu dunia.

    Di salah satu satu pojok kecil dunia ini, episode ketika aku harus mendapat teguran dari guru-guru karena nilaiku dan Lisa benar-benar sama. Bahkan poin-poin yang salah juga sangat tepat. Mereka menuduhku mencontek padanya dan pada akhirnya bisa diselesaikan dengan memisahkan ruang kelasku dan Lisa.

    Di pojok kecil lain, episode saat SD. Ketika aku dikucilkan karena bertengkar dengan seorang perempuan, hingga aku dan perempuan itu sama-sama babak belur. Jelas perempuan itu adalah Lisa.

    Di tempat lain, episode saat akan masuk SMP. Hampir saja aku ditolak dari SMP favorit karena nilai dan poin-poin kesalahan dalam ujianku sama persis dengan Lisa. Pada akhirnya aku harus mendapat ujian tambahan dengan soal yang berbeda. Mereka tidak percaya aku melakukan ini dengan kemampuanku sendiri.

    Di tempat lainnya lagi. Aku dan Lisa sudah tidak pernah lagi bertengkar secara fisik. Perang dingin adalah hal yang paling efektif. Entah bagaimana caranya aku akhirnya dekat dengan seorang perempuan. Walau terlalu dini bagi pelajar SMP, aku bisa sebut kami berpacaran. Hubungan yang sangat singkat, pada akhirnya perempuan itu putus denganku. Aku bertanya apa sebabnya, namun yang dia katakan hanya “Lisa.” Entah apa yang dilakukannya, tapi Lisa adalah sebabnya.

    Di tempat lain, ketika penerbanganku ke Eropa. Di atas pesawat, aku duduk tepat di sampingnya. Dia tidur begitu nyenyaknya.

    “Yang terakhir itu bukan alasan bukan?”

    … entah kenapa episode itu muncul. Aku tidak bermaksud…

    “Sedangkan episode itu yang paling jelas?”

    Sudah kubilang aku tidak tahu!

    “Kau sendiri yang bilang, dunia ini tercipta dari imajinasi mimpimu sendiri. … mimpiku sendiri. ”

    Aku… tidak tahu.

    “Ah, aku mengerti… kau adalah seorang pembohong besar…. Aku adalah pembohong besar… HAH! Ini sangat tidak nyaman!”

    Kulit “aku” yang satunya hancur menjadi serpihan-seperihan kecil, meinggalkan tulang dan organ-organ dalam dan akhirnya serpihan-sepihan itu kembali menyusun kulit dan baju “aku”.

    Menjadi sesuatu yang lain.

    Menjadi…

    “Lisa, orang yang kau ‘benci’.”

    “Dengan ini kau bisa menyebutku dengan ‘kau’ dan aku menyebutmu dengan ‘kau’.”

    Apa yang kau pikirkan? Kau berubah menjadi sesuatu yang tidak ingin kulihat?! Seseorang yang sangat aku…

    “…Benci?”

    “Lisa” tersenyum licik. Menatapku seakan melihat seorang penipu.

    “Aku adalah kau. (yang sekarang dalam bentuk Lisa), aku sangat mengerti apa yang kau pikirkan saat ini.”



    “Dan yang aku dengar bukan kata ‘benci’!”



    “Apa yang kau rasakan sekarang bukan rasa marah. Darah di kepalamu bukan bertujuan untuk melepaskan emosi. Apa perlu aku harus kembali ke tubuh asliku untuk mengatakannya?”

    … tubuhnya kembali menjadi tubuhku, dengan cara yang sama dengan saat dia berubah menjadi “Lisa”

    “Kau…tidak, aku…”

    Sudah cukup! Jangan katakan itu lagi! Aku sudah mengerti. Aku tahu itu. Aku hanya tidak mau mengakuinya saja. Hanya itu.

    Ketika kau memaksaku seperti itu, membuatku muak dengan diriku sendiri.

    “Aku tidak memaksamu. Aku adalah kau. Yang aku inginkan adalah yang kau inginkan. Artinya aku menginginkan diriku lebih jujur pada diriku sendiri. Kau menginginkan dirimu lebih jujur pada dirimu sendiri.”

    …Ya, aku tahu itu. Dan sepertinya waktu makan siang sudah habis.

    Aku harap aku tidak akan pernah masuk lagi ke tempat mengerikan ini.

    “Oh, tidak akan. Kecuali ketika kau masih sama.”
    ---***---

    Aku membuka mataku. Tidak ada siapa-siapa di sepanjang jarak pandangku. Hanya ada langit. Biru pucat penuh dengan awan perak.

    Duduk dari posisi tidurku bukan pekerjaan yang mudah. Rasa malas dan lelah seakan menekan tubuhku lebih kuat dari gravitasi. Tapi dengan satu hentakan keras, semuanya hancur lebur dan akhirnya aku duduk di atas tempat yang sama.

    Di tengah halaman kampus yang luas, aku melihat jam tanganku yang baru bergerak sepuluh menit dari ketika aku mulai memakan snack.

    “Awan perak?”

    Aku mencari keripik kentang yang belum habis aku makan karena rasa kantuk yang menyerang di tempat ini.

    Tunggu dulu. Kenapa aku tidur di tempat ini? Ah mungkin karena keripik kentang baru yang berisi 200% lebih banyak dari biasanya.

    Sepertinya tidak ada di sekitar tempatku duduk.

    Aku berbalik dan menemukan sebungkus keripik kentang itu… tak berisi di atas tubuh seseorang dengan rambut perak, warna awan yang menutupi sebagian wilayah pucatnya biru langit.

    Di depan wajahnya aku menahan telunjuk dengan jempol, mengumpulkan energi dan melepaskan jempolku sehingga gaya potensial berubah menjadi gerak. Telunjuk dengan kecepatan tinggi menabrak jidat orang itu.

    PLAK!

    Suara yang cukup keras untuk sebuah tabrakan keras antara jari dan dahi.

    Tanpa basa-basi, Lisa terbangun dan berdiri. Mengangkat kepalaku dengan lengannya. Bukan untuk sesuatu yang manis, melainkan cekikan pegulat professional.

    Entah apa yang merasukiku, aku langsung melepas tawa. Begitu geli hingga aku tidak merasa cekikan Lisa cukup menguras udara di paru-paruku.

    “Apa yang kau tertawakan, dasar menjijikkan!”

    Aku tetap tertawa, cukup lama hingga Lisa melepas cekikannya.

    “Hahahahaha! Hahahaha… Selama sepuluh tahun… tidak.. sebelas…aku bertengkar hanya dengan seorang perempuan… membuatku merasa bodoh.”

    Waktu menunjukkan 12:30, saatnya masuk ke kelas. Bel yang terlambat tiga detik sedikit membantu meingingatkanku akan waktu. Menghentikan tawaku dan membuatku berlari cepat menuju kelas. Satu lagi adu cepat antara aku dan Lisa.

    ---***---

    Aku tahu. Saat itu, sejak awal aku sudah tahu. Aku hanya tidak mau mengakui hal itu. Kenapa? Mungkin karena aku takut aku akan “Kalah” darinya. “Kalah” untuk pertama dan terakhir kalinya.

    Tapi, sekarang aku tidak peduli. Aku tahu dia. Dia berpikiran sama persisi denganku. Ketika duel dan keduanya kalah, keduanya juga menang. Tapi itu bisa mengakhiri semua duel-duel yang tidak berguna lainnya.

    Aku teringat kata-kata“Aku” di dunia bola kaca itu.

    Di salah satu satu pojok kecil dunia ini, episode ketika aku harus mendapat teguran dari guru-guru karena nilaiku dan Lisa benar-benar sama. Bahkan poin-poin yang salah juga sangat tepat. Mereka menuduhku mencontek padanya dan pada akhirnya bisa diselesaikan dengan memisahkan ruang kelasku dan Lisa.

    “Bukankah itu saat kau sangat kecewa dipisahkan dari Lisa? Hah?! Lalu kau sebut apa itu?! Benci?!”

    Di pojok kecil lain, episode saat SD. Ketika aku dikucilkan karena bertengkar dengan seorang perempuan, hingga aku dan perempuan itu sama-sama babak belur. Jelas perempuan itu adalah Lisa.

    “Bukankah Lisa juga dikucilkan? Kau lebih tahu dari orang lain bagaimana keadaanya! Dia lebih buruk darimu sendiri… bukan, lebih buruk dari keadaanku sendiri saat itu! Kau ingat apa yang kau pikirkan saat itu?! Kau ingin menyumpal mulut orang-orang yang mengejek Lisa dengan kaus kaki busuk atau bangkai tikus dan mengatakan ‘Satu-satunya orang yang boleh mengejek Lisa adalah aku!’ bukankah seperti itu?”

    Di tempat lain, episode saat akan masuk SMP. Hampir saja aku ditolak dari SMP favorit karena nilai dan poin-poin kesalahan dalam ujianku sama persis dengan Lisa. Pada akhirnya aku harus mendapat ujian tambahan dengan soal yang berbeda. Mereka tidak percaya aku melakukan ini dengan kemampuanku sendiri.

    “Aku ingat bagaimana wajahmu melalui kaca. Bukankah kau yang ingin ke tempat yang sama Lisa sekolah? Di tempat orang yang sangat kau cintai berada? Ah, aku ingat perasaanmu waktu itu. Aku ingat perasaanku waktu itu.”

    Di tempat lainnya lagi. Aku dan Lisa sudah tidak pernah lagi bertengkar secara fisik. Perang dingin adalah hal yang paling efektif. Entah bagaimana caranya aku akhirnya dekat dengan seorang perempuan. Walau terlalu dini bagi pelajar SMP, aku bisa sebut kami berpacaran. Hubungan yang sangat singkat, pada akhirnya perempuan itu putus denganku. Aku bertanya apa sebabnya, namun yang dia katakan hanya “Lisa.” Entah apa yang dilakukannya, tapi Lisa adalah sebabnya.

    “Yap, Lisa adalah sebabnya, tapi bukan Lisa yang melakukan apapun. Kau ingat setiap kali kau berbicara dengan perempuan itu? Setiap kali aku berbicara dengan perempuan itu? Kau bercerita tengang Lisa, Lisa, Lisa, Lisa. Ketika kau bertengkar dengannya, bagaimana usahamu mengalahkannya namun dia melakukan hal yang sama. Perempuan itu tahu, apa yang kau… aku… rasakan saat itu.”

    Di tempat lain, ketika penerbanganku ke Eropa. Di atas pesawat, aku duduk tepat di sampingnya. Dia tidur begitu nyenyaknya.

    “Ultimate bliss isn’t it? Someone you care very much sitting next to you, her head sleeps in your shoulder, at least that’s one way to express that she’s relying on you… even for something simple like that.. I know you love it very much! That’s why that image show up here, in your ‘hating’ scenes.”

    ---***---

    Sudah berapa tahun aku meninggalkan sekolah itu, bukan dalam artian aku dikeluarkan atau keluar, tapi sudah lulus. Kemarin adalah ulang tahun SMA tempatku lulus, . Oleh karena itu aku masih di kota tempat alma materku itu berada.

    Tapi sekarang aku sedang tidak bersiap pulang ke negara asalku, tapi sedang menikmati salah satu spaghetti terlezat di kota ini. Dari jendela yang ada di sampingku, gemerlap malam kota Paris masuk ke restoran ini.

    Dewi fortuna sedang memihak padaku saat undian kemarin siang di kampus. Aku memenangkan satu dari dua tiket makan di restoran yang mahal di kota ini.

    “Hey, Haru. Taruhan aku bisa memakan sepiring spaghetti ini lebih cepat darimu.”

    “Dua kesalahan dengan kata-katamu. Satu: kau mau adu cepat makan di restoran mahal?! Dua: Kau mau melanggar janji itu?”

    “Geh! Sudah aku duga kau akan berkata seperti itu. Aku tidak menantang adu cepat kok. Cuma taruhan… ”

    Ya, aku juga berpikiran sama. Kenapa? Mungkin karena orang di depanku ini memiliki pola pikir dan keberuntungan yang persis sama denganku.

    Bisa kau bayangkan kami mendapatkan dua tiket yang sama dengan undian yang berbeda?

    Kau tahu, duel berakhir ketika salah satu kalah dan salah satu menang.Tapi bagaimana caranya seseorang menang kalau yang dilawannya adalah seseorang yang pasti melakukan apa yang dia lakukan? Menyerah adalah salah satunya, tapi aku tidak menyukai kata “menyerah”, jadi aku mengakhirinya dengan menjabat tangan orang itu.

    Cukup dengan analoginya. Pada akhirnya di awal tahun ini aku melamar Lisa. Itu adalah caraku menjulurkan tanganku untuk menjabat tangan sang lawan duel.

    Tentu, karena apa yang aku lakukan akan dia lakukan, dia membalasnya dengan jabat tangan juga.

    *Haah* aku benci analogi. Intinya dia menerima lamaranku tidak tanpa basa basi.”Dasar menjijikkan! Kau melamarku sekarang?! Aku kira kau akan melakukannya tahun depan!”

    Aku jadi ingat untuk pertama kalinya kami kompak berkata satu hal yang sama sejak enam belas tahun kami berselisih “Dan berjanji untuk tidak bersaing dalam bentuk apapun selama tepat enam belas tahun dari detik ini.” Di akhir ikrar suci pernikahan kami.

    Konyol. Semua menahan tawa saat itu. Termasuk aku dan Lisa.

    Laki-laki dan perempuan, rambut hitam kelam dan pirang keperakan, . Namun sama-sama memiliki keinginan untuk bersaing satu sama lain. Perdebatan yang akhirnya berakhir dua tahun lalu.

    Kau tahu apa yang menyebabkan keduanya saling berselisih? Karena kami sama; tidak mau mengakui bahwa mereka mencintai yang lainnya. Juga karena mereka tidak mau mengakui bahwa mereka tahu mereka saling mencintai.
    Aku tidak mau mengakui bahwa aku mencintai Lisa, dan Aku tidak mau mengakui bahwa aku tahu Lisa mencintaiku juga.

    Yang bisa merubuhkan dinding itu adalah kejujuran terhadap perasaan yang dimiliki oleh diri sendiri. Merah dan Biru juga mungkin bisa seperti kami, namun mereka hanya warna. Mereka tidak perlu jujur pada diri mereka.

    Bersama Lisa aku bersulang segelas coklat panas, menggantikan wine yang rasanya tidak aku suka. Di dalam gemerlap malam terakhir kami singgah di kota Paris.

    ---***---

    Aku membuka mataku.

    Sebuah bola kaca raksasa dan aku berada di dalamnya.

    Aku dan Aku. Dua “Aku” di dalamnya.

    “Hai, Lisa… bukan, Hai, diriku!”

    Ya. Ini mimpi. Aku tahu itu. Tapi fakta itu tidak mendiskon rasa takutku. Aku, berbicara dengan diriku sendiri.

    “Kau tidak usah berkata apapun, Aku adalah Kau. Jadi aku tahu apa yang –Aku—.”

    Lalu…

    “Aku tidak perlu panjang lebar.”

    Apa yang mau kau katakan?

    “Tsundere.”

    PLAK!

    Dahiku terasa sakit. Aku membuka mata dari tidur yang terlalu sebentar. Di hadapanku orang yang aku cinta, Haru. Spontan, aku berdiri dan memutar kepalanya ke arah lain sekuat tenaga dengan tanganku. Untuk membalas apa yang dia lakukan.

    Untuk menyembunyikan merahnya wajahku sekarang.

    Kalau buku terbit, semua WotWC yang udah saya post ke forum ini akan saya hapus.. :lalala:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jan 21, 2012
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.