1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Taman Yggdrasil ~Waltz Kucing Liar #11

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Jan 6, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Berawal dari rasa kantuk di lounge fiction.. berakhir menjadi cerpen baru.. :sepi:

    Taman Yggdrasil
    Pelangi yang tak pernah hilang sekali lagi menunjukkan senyum ironisnya. Tujuh warna yang terbentang di langit desa Kerveste bukan lagi satu keindahan yang menghiasi tanah tanpa perhiasan. Bagai tawa Dewa Undina yang menari di atas takdir ratusan manusia di bawah telapak kakinya, melalui pelangi yang tak pernah hilang.
    Dari tanduk-tanduk para banteng besi mengalir air mata tubuh-tubuh yang mereka bunuh. Dari badan-badan para banteng besi mengalir teriakan dari mulut-mulut yang mereka robek.

    Para banteng besi berbaris rapi di atas tanah merah yang mereka anggap sebagai lantai rubi, sebuah pencapaian yang membawa kenikmatan ke dalam jantung mereka, hati yang lebih gelap dari malam tanpa bulan.

    Seratus pendoa dan ratusan lain keluarga mereka kini hanya menjadi nutrisi bagi tanah kelahiran mereka. Satu dari mereka suatu saat nanti akan menjadi sebatang pohon apel, yang lain akan menjadi rumput, dan yang lain akan tetap di tanah, menunggu sesuatu tumbuh dari tubuh mereka.

    Malam Rubi Kerveste, nama yang hanya segelintir orang mengetahuinya. Nama kekejian pasukan Erd terhadap desa yang tidak bersalah. Kekejian pasukan manusia dengan baju besi bertanduk yang lebih kuat dari bentuk asli dewa Taura, Dewa banteng yang mereka sembah.

    Inikah yang mereka sebut dengan jasa untuk Dewa?

    ---***---

    Apakah di suatu tempat yang jauh di sana dunia tanpa kegelapan benar ada?

    Kalau itu benar adanya, aku ingin terlahir kembali. Mencari tempat itu dan membawa semua orang yang aku cintai ke tempat itu. Tempat dimana mereka tidak harus khawatir akan kegelapan di dunia luar sana, juga tidak harus khawatir akan kegelapan di dalam hati mereka.

    Di depan mataku senyum Undina di langit masih belum padam. Tujuh warna yang tidak akan pernah bersedih tetap tersenyum di balik cahaya matahari. Tidakkah Undina merasa bersedih para manusia yang mengikuti ajarannya hancur dalam kematian? Atau mungkin para dewa memang memberi takdir yang tragis ini untuk Kerveste sebagai balasan atas dosa-yang-entah-apa yang dilakukan leluhur kami? Atau mungkin… Dewa memang tidak ada.

    Dalam hilangnya kesadaranku, rasa sakit ikut hilang dalam aliran waktu. Tidak ada lagi rasa dingin dan panas, tidak ada lagi rasa sakit dan nikmat. Semua mengalir dalam satu arah, mengalir ke arah hilir tempat tubuhku nanti akan ditemukan sebagai jasad yang tidak diketahui, atau mungkin akan tersangkut di tengah perjalanan menuju ujung sungai Kerveste ini.

    Gelap.

    Aku tidak bisa lagi melihat pelangi yang tidak akan hilang, senyum Undina yang aku benci saat ini.

    Gelap.

    Mataku terbuka lebar, namun aku tidak akan bisa lagi aku lihat senyum orang-orang yang aku cinta.

    Gelap.

    Mengantuk, mungkin ini saatnya aku tidur. Mungkin untuk sebentar dan terbangun lagi dalam rasa sakit atau tidak terbangun sama sekali.

    Gelap.
    __________Gelap.
    ___________________Gelap.
    ___________________________Gelap.

    Hanya seorang pendoa sepertiku sepertinya pantas mendapatkan kematian seperti ini.
    ---***---

    “S........au?......an! tu……! ”

    Ah, aku terbangun tanpa membuka mataku. Rasa sakit yang kini kembali menunjukkan aku belum sepenuhnya mati. Dari suara yang tidak aku kenal dan tidak jelas itu aku mengerti bahwa aku sudah terhanyut jauh dan ditemukan seseorang.

    Biarkan, aku hanya mayat yang kebetulan lewat.

    Ingin aku mengatakan itu sebagai lelucon agar mereka tidak mengindahkanku, tapi mulutku tidak bisa bergerak. Aku hanya mendapatkan kesadaran dan rasa sakit, bukan tenaga.

    Rasa kantuk kembali menyerangku. Melenyapkan setiap sisa-sisa kesadaran yang ada di dalam kepalaku. Membawaku ke mimpi yang tidak ingin aku saksikan sama sekali.

    Tempat kelahiranku, Kerveste. Desa para pendoa pada dewa Undina. Aku adalah salah satunya, walau aku tidak meminta pekerjaan ini, Undina sepertinya memilihku. Di desa ini ketika seorang anak terlahir dengan tanda lahir Undina di tangan kanannya akan diangkat sebagai seorang Pendoa. Anehnya, orang dengan tanda lahir seperti ini tidak jarang. Kurang lebih ada seratus orang pendoa di desa ini.

    Desa yang dilindungi oleh senyum Undina di langit siang dan gemercik harpa air Undina di waktu malam.

    Hari ini seperti biasa aku duduk di samping pohon Magnolia memakan roti yang diberikan pada para Pendoa setelah ritual harian yang selesai di sore hari.

    Ladang rumput luas menjadi lukisan yang aku lihat pada waktu yang sama setiap harinya. Kambing-kambing sehat yang memakan hijaunya rumput yang tumbuh subur, Sapi-sapi yang seakan mengikuti para kambing melahap nikmatnya makanan yang bagaikan jamrud bagi mereka.

    Eidell, seorang gadis penggembala yang selalu menemani soreku di padang rumput ini menjadi pelengkap yang sempurna untuk setiap akhir hari.

    Aku terpejam sejenak menikmati segalanya.

    “Irvin! Ayo cepat! Irvin!”

    Ketika aku membuka mata, Kerveste bagai tersiram hujan merah. Tubuh-tubuh yang berdiri kekar menginjak-injak setiap tubuh yang tertidur. Air hujan yang Undina turunkan tidak bisa lagi melenyapkan warna yang memuakkan ini. Aku berlari, berlari tanpa arah yang jelas, berlari dari para manusia besi bertanduk sambil memegang erat Eidell yang berlari di belakangku.

    Namun sia-sia. Di samping sungai Kerveste sudah menunggu tiga pembawa bencana. Aku berusaha berbalik namun aku diam terkejut karena yang aku pegang erat hanya sepotong kecil dari tangan Eidell.

    Aku berusaha berontak terhadap ketiga mausia besi itu, namun apalah kekuatan seorang pendoa dibanding ksatria. Aku terkena banyak luka yang dalam, tertusuk pedang yang mereka pegang di kedua tangan mereka. Tubuhku yang tidak berguna jatuh ke dalam sungai.

    Dalam pelukanku, tangan Eidell yang kini tidak lagi bersamaku.

    Eidell…

    Eidell…

    ---***---

    “Eidell!!”

    Tanpa sadar, aku sudah keluar dari mimpi yang sepertinya akan menghantuiku selama beberapa tahun.

    Sepertinya seseorang membawaku ke tempat ini. Setiap luka di tubuhku tertutup dengan rapi.

    Aku bingung. Bukan mengenai tempat aku terbangun atau kapan hari ini, melainkan kenapa aku tidak mati. Apakah Undina tidak mengijinkanku mati bersama semua orang yang aku cinta, bersama Eidell?

    Di balik pintu kayu seperti ada seseorang yang berusaha masuk ke ruangan ini. Aku berusaha duduk walau dengan menahan rasa sakit yang dari luka di pinggangku. Sepertinya orang yang di luar itu terkejut dan berlari ke arah lain.

    “Guru! Dia bangun! Dia bangun!”

    Segera, langkah kaki mendekat. Namun dengan jumlah yang berbeda.

    Pintu terbuka dan dua orang terlihat di balik pintu itu.

    Seorang perempuan muda yang umurnya masih remaja, sedikit lebih muda dariku dan seorang lelaki tua.

    Tanpa panjang lebar, mereka menjelaskan bahwa mereka menemukanku di aliran sungai ketika perempuan muda yang bernama Hyli mencari ikan. Mereka juga menjelaskan bahwa sebab kenapa aku belum mati sampai saat ini adalah karena Undina memberiku hadiah berupa kutukan dimana aku tidak bisa mati. Kutukan yang buruk, bukan?

    Berkali-kali aku berkata aku ingin menghapus kutukan ini tapi si tua Restufn menyuruhku untuk tidak menyia-nyiakan anugrah dari Undina ini.

    Sekali lagi, aku mendapat kehidupan yang damai.

    Tapi sesekali ada sesuatu yang menyesakkan dadaku. Setiap malam, kejadian itu selalu terulang dalam mimpiku. Ketika aku kehilangan Eidell.

    Setelah semua lukaku sembuh, aku berniat untuk meninggalkan pondok Restufn.

    Walau sebentar, aku bersyukur sudah bertemu dengan mereka. Mungkin hanya rasa dendam yang ingin aku puaskan. Tapi itu sudah cukup.

    “Kau mau melawan Taura tanpa apa-apa? Jangan bercanda! Sebesar apapun kekuatan Undina dalam tubuhmu, kalau hanya itu kau hanya akan tersiksa tanpa batas dalam ke-imortalan-mu! Kembali ke pondok!”

    Aku tidak mengindahkan apa yang dikatakan Restufn dan pergi begitu saja, namun dengan sapu yang dipegangnya Restufn membalikkan badanku dalam hitungan kedipan mata.

    “Kau butuh apa yang aku dapatkan puluhan tahun lalu.”

    ---***---

    Awalnya aku menolak, namun melihat kemampuan Restufn, akhirnya aku memintanya mengajariku bela diri…bukan, keahlian memegang pedang. Selama waktu yang lama, aku menjalani latihan keras dari Restufn. Mengingat tubuhku yang tidak akan pernah mati, sepertinya Restufn tidak ingin menyia-nyiakan bakat sekaligus kutukanku ini.

    Roda musim sudah kembali berputar beberapa kali.Hari ini dedaunan jatuh, menandakan musim gugur dimulai.

    Di ulang tahunku yang ke dua puluh enam, empat tahun setelah aku tinggal di tempat itu, untuk beberapa hari aku meminta izin pada Retufn untuk kembali ke desaku. Setidaknya aku ingin kembali untuk menyapa teman-teman dan orang-orang yang aku sayangi.

    Akankah aku melihat sebuah kota yang dibangun di atas tanah itu sebagai penghormatan? Atau mungkin sebuah penjara sebagai olok-olok untuk Undina?

    Perjalanan yang cukup jauh, menyusuri aliran sungai ke sumber air di desa Kerveste.

    Bagaikan tidak pernah terjadi apa-apa, tempat itu sama sekali tidak seperti tempat yang pernah ditinggali manusia untuk waktu yang lama. Setiap sudut dipenuhi tanaman liar, namun beberapa sisa bangunan masih ada, menjadi bukti peninggalan bahwa di waktu yang sangat lama tempat ini suatu peradaban hidup di tempat ini.

    Satu-satunya yang hilang adalah kuil Undina, luluh lantak tanpa sisa. Di samping air terjun itu kini bukan sebuah kuil melainkan sebuah patung berbentuk manusia banteng, Dewa Taura.

    Aku menaruh empat ikat bunga yang aku dapatkan dari hutan sepanjang perjalanan di samping pohon magnolia, tempat aku menghabiskan waktu di sore hari bertahun-tahun lalu.

    “Untuk sesaat, aku berharap semua ini adalah mimpi… bukankah begitu, Eidell?”

    Aku duduk di tempat itu, menoleh ke arah kiri tempat Eidell selalu duduk ketika aku menghabiskan waktu memakan roti. Memandang hewan-hewan ternak memakan rumput dengan bebasnya.

    Eidell yang duduk di sampingku sekarang hanyalah ilusi, namun sebentar saja aku ingin mengenang rasa ini.
    ---***---

    Dari sudut sebuah reruntuhan, aku menemukan sebongkah besi yang sangat aku kenal. Pedang yang digunakan pasukan Taura ketika itu.

    Aku membawa pedang itu kembali dan meleburnya dengan tambahan mineral lain menjadi satu pedang tipis dan pelindung lengan.

    Sore itu, satu hari sebelum keberangkatanku ke daerah Taura. Aku duduk di teras pondok Restufn menatap langit dari sudut yang mungkin terakhir kali akan aku lihat.

    “Apa kau tidak mau berubah pikiran? Mungkin saja kau tidak akan bisa kembali, Irvin!”

    Hyli duduk di belakangku, namun menatap langit yang sama.

    “Bukankah kita sudah menjadi keluarga? Guru, kau dan aku. Apa kau ingin membuang itu semua?”

    Suara Hyli mulai serak, seperti menahan tangis atas kepergianku.

    “Jangan berbalik! Aku tidak ingin kau melihat wajahku sekarang.”

    Tenggelam dalam cakrawala, matahari mulai tertidur. Kegelapan perlahan-lahan melahap tanah.

    “Mungkin…kalau aku tidak pergi, aku akan meneruskan ajaran Restufn… membuat sebuah perguruan kecil di tempat ini. Anak-anak dari kota akan datang kemari untuk belajar berpedang padaku… ”

    Aku merasakan senyum dari wajah Hyli walau aku tidak melihatnya.

    “Jadi…!”

    “Ya, mungkin itu adalah satu dari banyak keinginanku. Tapi aku apa gunanya aku belajar pada Restufn? Mungkin tidak sekarang, tahun depan, atau lima tahun lagi. Tapi ketika aku menyelesaikan urusanku, aku akan kembali.”

    Hyli menarik kepalaku ke belakang, seakan membuatku terjatuh namun ditahannya. Bibir mungilnya mendekat ke arah wajahku dan menempelkan dua tempat yang sama di kedua wajah kami. Sejenak, dia melepaskan kepalaku dan membiarkanku jatuh.

    “Aku merasakannya. Kau masih mencintai orang bernama Eidell bukan? Setiap malam di dalam tidurmu kau selalu memanggil namanya.”

    “…”

    “Haha, sepertinya aku ditolak bahkan sebelum aku mengatakan cinta padamu.”

    Dengan itu, hari terakhir di pondok Restufn berakhir.

    Di tengah malam, aku berkemas dan pergi tanpa memberi tahu Restufn atau Hyli. Mungkin kalau aku melihat wajah mereka ketika mengantarku, aku akan berubah pikiran.

    ---***---

    Perjalanan menuju Taura, kota yang dinamai sesuai dewa para manusia banteng besi itu tinggal sangat pendek kalau dibanding dengan pertarungan empat bulan tanpa henti yang aku jalani.

    Di sepanjang perjalanan, aku bertemu dengan pemberontak-pemberontak Taura. Jarak yang jauh dari pondok Restufn dan Taura membuatku bertemu dengan banyak orang yang memiliki dendam pribadi dengan Taura, dewa banteng yang perkasa.

    Holfinstikisse, negara adikuasa yang dipimpin oleh seorang diktator yang menginginkan Taura menjadi satu-satunya dewa di dunia. Negara yang dibenci bahkan oleh rakyatnya sendiri, namun karena kekuatan militer yang bagai tidak terbatas, tidak ada yang berani melawan.

    Selama tujuh bulan, aku mengeruk informasi tentang Holfinstikisse, dan ibukotanya, Taura. Terutama desa-desa dan negara-negara yang mereka hancurkan. Selama itu pulalah aku mengumpulkan pasukan.

    Ketika koloni semut hancur dan hanya tersisa satu atau dua dari mereka, sisa itu akan mencari tempat lain dimana mereka akan diterima. Aku mencari orang-orang itu. Orang-orang yang tersisa dari pembantaian pengikut dewa Taura.

    Delapan ratus orang. Dalam satu tahun, aku mengajari apa yang Restufn ajarkan padaku selama empat tahun. Mungkin terlalu terburu-buru, tapi keresahan semua orang tidak lagi bisa dibendung. Rasa dendam, benci, dan rasa sakit menjadi pemicu kekuatan kami.

    Hari itu, di tanggal yang sama Kerveste hancur kami mulai menyusup ke Taura. Membaur dengan hiruk pikuk siang hari di kota yang sibuk.

    ---***---

    Dari arah yang berbeda, kami mendekat menuju istana raksasa yang penuh dengan militer Taura. Sekali lagi, aku merasa bahwa tujuan kami bukan menghancurkan Holfinstikisse, melainkan membunuh sebanyak-banyaknya pasukan manusia besi bertanduk, para prajurit Taura.

    Penyerangan pertama gagal karena ada satu pengkhianat di pasukanku. Penyerangan sudah diketahui, membuat kami harus mundur. Kami menyebar di setiap sudut kota, bersembunyi hingga waktunya tiba. Sepengetahuanku hanya satu orang yang mati, sang penghkianat di tangan para prajurit Taura.

    Beberapa hari kami bersembunyi, sampai satu hari semua orang di kota ini menghilang. Lebih seperti dibantai oleh pasukan yang seharusnya melindungi mereka.

    Kota ini menjadi medan pertempuran itu sendiri dimana sang pemimpin pasukan Taura, Hoveltrt sekaligus raja diktator Holfinstikisse mengayunkan pedangnya.

    Bukan dia yang kami ingin lenyapkan, tapi semua orang dengan baju besi itu. Semua yang membuat kami terpisah dari orang-orang yang kami cinta.

    Peluit aku tiup dari tempat persembunyianku. Menandakan saatnya keluar dan menghancurkan semua Taura.
    Dari arah yang berbeda, bayangan-bayangan bergerak cepat menuju barisan utama pasukan berbaju besi, menghabisi mereka dari dalam seperti lintah yang bertelur dalam nadi seekor banteng.

    Tanpa ragu, para pasukan Taura menghancurkan bangunan di setiap sudut kota untuk mencari persembunyian musuh mereka, kami.

    Taktik gerilya deras dimana kami secara terus menerus menyerang dan sembunyi dengan mengandalkan kecepatan dan ketahanan terhadap rasa lelah yang merupakan cara berpedang Restufn.

    Bagaikan tidak ada habisnya, pasukan banteng terus datang. Bahkan di beberapa tempat satu lapangan penuh dengan mayat pasukan banteng.

    Untuk sesaat aku bertanya pada diriku sendiri, dari mana pasukan sebanyak itu terkumpul?

    ---***---

    Setengah persediaan makanan yang disimpan di persembunyian dalam kota Taura sudah habis menandakan tepat empat minggu taktik ini berjalan.

    Hanya empat dari kami meninggal. Kalau dibandingkan dengan pasukan yang hanya berisi delapan ratus orang mengalahkan puluhan ribu pasukan manusia besi bertanduk, empat orang adalah jumlah yang kecil.

    Informasi yang didapat, para pasukan itu “diternak” selama delapan puluh tahun terakhir. Dimana para perempuan dipaksa untuk melahirkan anak setiap tahunnya, dan anak-anak itu dilatih sebagai prajurit. Semua sumber daya seperti makanan dan biji besi untuk persenjataan, mereka dapat dari negara-negara dan kerajaan-kerajaan yang mereka hancurkan. Menciptakan pasukan tanpa jiwa yang siap untuk mati kapan saja.

    Delapan ratus ribu, seribu kali lipat dari pasukan yang berontak adalah jumlah yang sangat besar bagi kami. Walau begitu, kami tidak akan pernah menyerah. Sampai tubuh ini satu demi satu hancur.

    Satu demi satu tubuh kami hancur ketika melenyapkan para pasukan besi bertanduk.

    Itu yang kami percaya akan terjadi, namun Hoveltrt tidak sebodoh itu. Kami mengira dia hanya barbar yang hanya mengerahkan pasukannya untuk membunuh musuh Taura.

    Saat ini, waktuku beristirahat. Tidur dalam tiga jam untuk mengembalikan kekuatan untuk bertarung di sisa waktuku.

    Entah kenapa suara di luar terdengar sangat hening.

    Dari luar persembunyian, satu per satu penyerang kembali. Laporan yang sama mereka katakan: tidak ada lagi pasukan Taura datang dan di kota ini sudah tidak ada lagi pasukan Taura.

    Sebagian dari kami bahagia karena menganggap pasukan Taura tidak sebanyak itu. Sedangkan sebagian lain merasa curiga ada sesuatu yang direncanakan musuh.

    Aku termasuk kelompok orang yang kedua.

    “Hei, aku mencium sesuatu yang aneh.”

    Satu laporan yang berbeda, datang dari seorang lelaki yang menangani daerah di sekitar pinggiran kota. Tidak lama, lelaki itu jatuh bagai tertidur. Hanya saja tidak lagi terlihat jejak kehidupan di tubuhnya.

    “Sial! Mereka menggunakan racun!”

    Tidak ada gunanya aku berteriak. Semua orang di ruangan ini terjatuh. Semua, kecuali aku.

    ---***---

    Aku keluar dari persembunyian, berdiri di atas sebuah bangunan tertinggi. Menunggu kabut racun menghilang dan pasukan itu kembali.

    Ketika kabut itu hilang, dari setiap sisi kota, setiap gerbang kota pasukan besi berbaju besi itu kembali.

    Aku tidak peduli dengan nyawaku yang tidak akan mati. Apakah aku bisa mati dengan cara ini? Tidak ada lagi orang yang ada di sampingku. Ini semua salahku! Kalau aku tidak mengajak mereka untuk memberontak, tidak akan ada yang mati. Dosaku ini harus aku tebus. Aku menunggu di pusat kota yang tepat di titik tengah kota itu. Menunggu para pasukan yang pasti akan datang ke tempat ini dari delapan arah yang berbeda.

    Mereka mengepungku, seakan nyawa mereka meminta dimakan oleh pedang yang aku pegang. Delapan, enam puluh empat, empat ribu, tiga puluh dua ribu… aku tidak lagi menghitung berapa yang aku sejak aku berdiri di pusat kota ini.

    Pada akhirnya, aku hanya monster yang tidak memiliki jiwa. Monster yang tidak berbeda pasukan Taura, hanya saja aku tidak bisa mati seberapa besarpun luka yang aku dapatkan.

    Pertarungan antara aku dan Dewa Taura sendiri. Apa mungkin aku diutus Undina sebagai perwakilannya? Pertarungan antara satu tubuh yang tidak pernah mati dan tubuh yang bisa mati namun tidak terbatas. Pertarungan yang memakan waktu dua musim gugur dan satu musim salju.

    Waktu empat belas bulan adalah batasku. Aku mulai lelah walau dengan tubuh yang tidak bisa mati ini. Mungkin bukan tubuhku yang lelah, tapi jiwaku. Aku rindu akan Eidell, Hyli dan kawan-kawanku di pemberontakan dulu.

    Aku menjatuhkan pedangku. Membiarkan mereka menyobek-nyobek kulitku yang tidak lama kembali bersatu.

    Entah berapa lama itu berlangsung. Sampai suatu saat satu dari mereka mengikat kedua tangan dan kakiku dengan rantai berat, membawaku ke sebuah penjara sempit. Penjara yang terlalu mewah untuk seorang yang menghancurkan setengah pasukan tanpa jiwa Taura.

    Setidaknya di sini aku bisa bermimpi akan Eidell.

    Aku teringat tangan Eidell yang aku peluk saat aku terhanyut di sungai saat itu. Rasa hangat itu masih terasa sampai sekarang. Satu-satunya hal yang bisa membuatku larut dalam tidur dan mimpi tentang Eidell, orang yang aku cinta.

    ---***---

    Tiupan debu kehidupan
    Lahirlah lahir, angin dari barat
    Bawa seribu harapan
    Untuk mereka yang terlahir tanpa harapan
    Atau mereka yang kehilangannya.

    Suara nyanyian terdengar berulang dari balik dinding aku disekap. Suara perempuan yang biasa, namun tidak membuatku bosan saat mendengarnya. Nada yang indah, namun dengan emosi yang dalam.

    Tanpa aku sadari, nyanyiannya berhenti.

    “Kau baru di sini?”

    Aku menggoyangkan rantai tangan dan kakiku mencari karat disekitarnya, memastikan bahwa aku benar-benar baru tidur selama kurang dari beberapa belas jam saja, bukan beberapa belas tahun.

    “Sepertinya begitu.”

    “Kau tidak keberatan kalau aku ajak bicara? Rasanya seperti sudah lebih dari lima tahun aku tidak bicara dengan siapapun.”

    “Hmm”

    Entah kenapa, di tempat yang sempit, walau tanganku dirantai di dinding dan kakiku dirantai di lantai aku merasa tidak keberatan.
    Aku merasa tenang ketika ada seseorang bersamaku, walau aku tidak bisa melihat wajahnya.

    “Jadi, kenapa kau disekap di sini? Setahuku hanya utusan Dewa untuk meruntuhkan Taura yang disekap di sini. Dan selama beberapa tahun terakhir hanya aku sendiri yang ada di sini sejak aku disekap.”

    “Kurang lebih seperti itu.”

    Aku teringat semua perempuan yang disekap selalu dijadikan “hewan ternak” untuk membuat prajurit besi bertanduk. Tapi, kenapa dia disekap?

    “Kau tahu, sebagai utusan Dewa yang tidak bisa mati, aku juga tidak bisa punya anak, jadi…. Ya, lebih baik lah… aku jadi tidak perlu merusak ingatanku dengan melihat tempat pengembang biakkan monster itu.”

    “Hmm.. ”

    Kami berbincang-bincang tanpa akhir, tanpa menyebut nama masing-masing. Mungkin karena aku juga sudah lupa siapa namaku dan mungkin orang itu juga sudah lupa dengan namanya.

    Ketika kami kehabisan topik, orang itu kembali bernyanyi. Mengantarku kembali ke tidur, ke alam mimpi dimana aku bisa duduk di samping pohon Magnolia bersama Eidell.

    ---***---

    Suatu hari, di waktu yang sangat jauh… sepertinya tidak ada lagi yang bisa kami bicarakan. Mungkin waktu sudah tidak mengindahkan kami lagi. Mungkin sudah satu tahun, atau lima tahun, atau mungkin sepuluh tahun. Aku tidak tahu.

    Sesekali aku bertanya “Kau masih di situ?” lalu dia menjawab “Iya.” Atau sesekali orang itu bertanya “Kau masih hidup?” lalu aku jawab “Tidak perlu ditanya.” Dan tertawa bersama.

    Ketika hening, mulutku bergerak dengan sendirinya, menyanyikan melodi yang tidak aku kenal.

    Rantai yang kini usang,
    Akankah kau melepaskanku dari kehidupan?
    Sepercik air membuatmu lemah,
    Secerca cahaya membuatku kuat,
    Biarkan kau membeku,
    Di bawah tumpukan salju suci
    Dalam malam yang hening.

    Melodiku dan melodi orang itu saling bertautan, menciptakan paduan suara yang indah di telinga kami berdua.

    Mungkin waktu memang benar-benar terhenti. Menunggu kami benar-benar tertidur yang lebih lelap dari biasanya. Tertidur untuk waktu yang lama. Menunggu para pasukan Taura memutuskan untuk membebaskan kami.

    Aku jadi berpikir, bagaimana keadaan desa Kerveste. Mungkin saat ini tempat itu menjadi surga para binatang. Aku berpikir, bagaimana keadaan Hyli dan Restufn. Mungkin Retufn sudah meninggal dan Hyli mungkin sudah meneruskan ajaran Guru.

    Aku terpejam, membayangkan bagaimana bentuk dunia dengan Taura sebagai satu dewa mereka.

    BRUK!

    Suara atap bangunan yang runtuh membangunkanku dari lamunan. Dari celah itu masuk sinar matahari yang sudah lama aku tidak rasakan.

    “Hei, aku melihat matahari.”

    Aku membangunkan orang yang ada di belakangku.

    “Hmm.. di sini atapnya sudah rusak sejak lama. Sejak beberapa waktu lalu aku sudah bisa melihat matahari dengan jelas.”

    “Ah! Aku iri padamu! Hahaha.”

    Kami tertawa tanpa alasan, menikmati matahari yang menghangatkan ruangan lembab ini.

    “Kau tahu, teman seperjuanganku dulu bilang kalau kau bisa menangkap sinar matahari dengan tangan kananmu kau akan mendapat kebahagiaan selama sepuluh menit.”

    Aku mengingat kawanku yang sudah meninggal, seorang lelaki dari desa utara yang jarang mendapat sinar matahari.

    “Begitu ya? Sayang sekali aku tidak bisa. Aku tidak memiliki tangan kanan.”

    ---***---

    Hari lainnya, aku terbangun dari tidur karena dinding di sekitarku semuanya hancur, kecuali dinding tempat tanganku dirantai, dinding yang memisahkanku dengan orang itu.

    Pemandangan yang tidak aku sangka. Di sekitarku sebuah padang salju, seakan kota yang tadinya berdiri di tempat ini hilang begitu saja.

    “Kau.. lihat itu?”

    Orang di balik dinding berbicara seakan takjub akan apa yang dilihatnya.

    “Lihat apa? Aku tidak melihat apa-apa kecuali salju putih.”

    “Itu maksudku! Kemana Taura?!”

    Ya, aku juga berpikir seperti itu.

    Dinginnya musim salju menusuk pelan-pelan ke dalam tulangku. Membuatku tidak nyaman, terlebih dengan terbukanya dinding di sekitar, rantai yang mengekangku mulai membeku dan menempel dengan kulitku. Walau ketika terluka, lukaku langsung sembuh tetap saja rasa sakit itu ada, dan itu sangat tidak nyaman.

    Tanpa sebab, orang di balik dinding bernyanyi melodi yang selalu aku nyanyikan ketika hening. Entah apa sebabnya, aku lanjutkan dengan melodi yang selalu dinyanyikannya. Hanya suara kami berdua di malam itu, menciptakan simfoni yang benar-benar berbeda.

    Setelah beberapa kali mengulang dua bait lagu itu, kami melantunkan satu bait yang kami tidak pernah ciptakan sebelumnya.

    Tanah merah yang kini berubah menghijau
    Emas melebur berubah menjadi karat
    Akankah sang matahari melihatnya?
    Rantai yang kini membeku
    Dimanakah angin yang dulu pernah bersamamu?
    Akankah kau terbakar oleh sang matahari?
    Aku di sini menunggu, saat kau melepasku dari waktu.

    Dengan selesainya lagu itu, rantai yang mengikat tanganku hancur. Mungkin karena sudah berkarat terlebih lagi beku. Rantai itu sudah tida bisa menahan berat badanku. Membuatku terlepas dari benda yang mengekangku selama bertahun-tahun.

    Terdengar suara yang sama ketika aku membuka kekangan di kedua tangan dan kakiku dari balik dinding, menandakan orang di balik dinding itu sudah melepaskan dirinya sepertiku.

    Aku berharap, orang di balik dinding itu mengetahui nama yang sudah kulupakan, namaku.

    “Akhirnya kita bebas… ”

    Setelah beberapa tahun, akhirnya aku bisa melihat wajah orang itu. Wajah orang yang menemani dalam kesendirianku. Orang itu hanya mengangguk.

    Tidak lama, dia memelukku dalam tangisan harunya.

    “Lama tidak berjumpa, Irvin.”

    “…Eidell…”
    ---***---

    Aku kembali ke pondok Restufn, bersama Eidell. Dari kejauhan, aku melihat seseorang sedang menyapu halaman depan. Awalnya aku kira itu Hyli tapi ketika aku mendekat…

    “Ya Tuhan! Irvin!! Kau masih hidup?! HYL! Cepat kemari! Kau akan terkejut ketika tahu siapa yang datang!”

    “Restufn, itu kata-kataku! Kau masih hidup?! Aku sangat terkejut, kau belum mati? Haha!”

    “Kau tidak tahu seberapa kuat aku hah? Bahkan kematian terlalu lemah untuk melawanku! Ya, setidaknya untuk sepuluh atau lima belas tahun lagi… Boleh aku tebak, orang di sampingmu itu.. Eidell?”

    Aku mengangguk. Sebelum aku memperkenalkan Eidell pada Restufn, Seorang perempuan dengan wajah sekitar akhir tiga puluh tahunnya keluar dari pondok.

    “Irvin! IRVIN!!!”

    Orang itu berlari dan memelukku, di waktu bersamaan aku mendengar suara batuk Eidell yang ada sedikit aura kemarahan di dalamnya.

    “Ah, maaf. Ayo masuk! Terlalu banyak yang bisa kita bicarakan di tempat seperti ini.”

    Kami berbincang banyak, dimulai dari ketika Eidell menjadi utusan Undine bersama denganku. Entah apa alasannya. Lalu langsung setelah aku dipenjara, Taura terkena wabah…bukan, lebih seperti kutukan yang mengerikan dimana semua pengikut Hoveltrt mati dengan mengenaskan. Disebut dengan wabah hitam, lebih dari ratusan ribu orang yang “diternak” Hoveltrt mati dengan mengenaskan, menyisakan hanya tulang-tulang mereka. Tidak heran, setelah satu minggu aku dipenjara, penjaga penjara menghilang begitu saja.

    Selama dua puluh tahun aku dipenjara, dunia berubah drastis. Sebuah kerajaan yang dipimpin oleh salah satu yang selamat dari pembantaian Taura membangun dunia dimana tidak ada paksaan menyembah dewa manapun. Di waktu yang sama, pondok Restufn menjadi tempat berlatih anak-anak di desa sekitar.

    “Ah, satu lagi… Sebelumnya aku minta maaf karena merahasiakan ini darimu Irvin.”

    Hyli mengambil sebuah kotak kayu yang ditutup oleh kain hitam. Di dalamnya tersimpan sepotong tangan.

    “Kau memeluk tangan ini ketika kau terhanyut. Setelah beberapa waktu, aku mengetahui bahwa ini adalah tangan orang yang kau cintai. Maaf aku merahasiakan bahwa tangan ini tidak pernah busuk, bukti bahwa orang itu masih hidup. Maafkan aku… ”

    “Ugh. Kau orang aneh, kalau aku yang menemukan Irvin dengan sepotong tangan seperti itu, aku pasti akan membuangnya karena mengerikan!”

    Eidell menutup mulutnya karena mual, menatap Hylil dengan pandangan yang aneh.

    “Emm.. kau mual ketika melihat tanganmu sendiri? Kau tidak mau mengambilnya kembali?”

    “Eeeh? Benda mengerikan itu? Hahh. Baiklah.. ”

    Dengan sedikit rasa jijik Eidell mengambil tangannya, menempelkannya di lengan kanannya. Lengan tempat dia menempelkan tangan putusnya robek, menempelkan setiap otot, pembuluh darah, tulang, kulit dengan tangan yang terpisah.

    Pada akhirnya tangannya kembali seperti semula.

    “Jadi, setelah ini apa yang akan kalian lakukan?”

    Hylil menyodorkan makanan yang diambil dari dapur ke depan kami, seperti menyuruh kami untuk melahap habis semuanya.

    Tentu, setelah dua puluh tahun tidak makan…

    “Hmmhtrubpuhuu.. purutubutuurpp.. hmmhururu..”

    “Habiskan manakanmu dulu baru bicara!”

    Empat piring makanan kecil yang disediakan habis dalam waktu sekejap olehku dan Eidell.

    Tawa di hari itu berakhir saat semuanya tertidur karena kelelahan. Esok paginya, aku dan Eidell berangkat, menuju tempat yang sejak awal adalah tujuan kami.


    ---***---

    Aku sebut tempat ini Taman Yggdrasil, di bawah pohon rindang yang biasa. Tempat semua berawal, dan juga tempat aktor utama cerita ini menghabiskan akhir cerita.

    Di samping pohon Magnolia di sore hari, menatap hewan ternak menikmati rumput liar yang tumbuh dari tanah yang dicintai Undina. Memakan roti bersama orang yang aku cintai di sampingku. Mungkin itu adalah kebahagiaan yang terbesar.

    “Irvin! Kepala Desa Irvin! Kau ada di sini?!”

    “Ada apa?”
    “Kuil Undina sudah selesai, sekarang mereka minta anda untuk hadir.”

    Aku berdiri, memegang tangan Eidell yang juga berusaha berdiri.

    “Sampai ketemu di rumah, sayang.”

    Aku mencium bibirnya yang basah, dengan itu kami berpisah. Ya, setidaknya sampai malam ini.

    Di rumah kami, di samping Taman Yggdrasil kami, magnolia yang berbunga sepanjang tahun. Di desa Kerveste, desa yang menyambut kami dengan senyum Undina yang tidak pernah hilang. Desa yang kini kembali berdiri.
    Fin
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    sekedar saran

    coba penggunaan bahasa indah e dikurangin dan disederhanaain skali2
    karyamu terlalu banyak bahasa indah yang menurutku ( MaaF :maaf: menyinggung ) yang posisi e tidak perlu

    contoh

    bagian ini

    malah terasa gombal bagiku

    :maaf:

    tapi suasana fantasy e skaranag makin imajinatif :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jan 6, 2012
  4. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    thx sarannya.. :top:
    mungkin gaya bahasa saya memang seperti ini.. :hehe: jadi susah menghilangkan kebiasaan menggunakan bahasa puitis (yang nggak terlalu bagus juga sih menurut saya.)
    emm.. apa anda (sebagai pembaca) merasa terganggu dengan gaya bahasa seperti ini? :???:
     
  5. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    kalau untuk gw sendiri sih ga getu doyan baca terlalu banyak seperti ini sih, harusnya memperindah malah menurutku membuat jadi buruk. Soalnya over well itu smua bagiku sih sebagai salah satu pembaca :peace:

    :maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    sip.. :haha: untuk masuk ke pasar, satu cerita harus bisa memuaskan semua pembaca bukan? :top: next time bakal aku coba yang nggak pake bahasa indah.. :ngacir:
     
  7. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    bukan ga pake :hehe: porsinya di buat pas nahh masalahnya ramuan pas e itu susah ditentukan :haha:

    pembaca banyak maunya inni :lalala:
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    oh., jadi minimal supaya nggak bosen gitu? :???: sip sip. :haha:
     
  9. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Gaya penceritaannya buat genre fantasy bagus, ga detail tapi pembaca bisa ngerti.

    Setting dan plot fantasy nya juga lumayan unik. Endingnya bagus, bukan berupa pemberontakan yang terlalu di paksa sampai berhasil. Lebih ke arah cerita War of The World, dimana manusia berusaha melawan alien mati-matian tapi akhirnya mereka menang dengan sendirinya karena alien ternyata tidak punya sistem imun.

    Walau akhirnya rada merasa aneh gw, dari serius jadi ke agak ringan.
     
    • Thanks Thanks x 1
  10. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    2 bagian terakhir (Epilog) memang tadinya tidak akan saya sertakan... tapi karena endingnya kurang saya suka di bagian terakhir (13) jadi saya tambahkan 2 bagian tsb.
    :maaf: thx buat komentarnya.. :top:
     
    • Like Like x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.