1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

FanFic The Family Ties [Dead Island]

Discussion in 'Fiction' started by chain94, Nov 22, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. chain94 Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 14, 2011
    Messages:
    3,130
    Trophy Points:
    236
    Ratings:
    +5,007 / -0
    Misi agan2 sekalian :malu:, ini adalah fanfic pertama saya, terinspirasi dari game Dead Island. Kalo agan pernah lihat trailernya dan main gamenya, pasti agan tahu keluarga ini.

    [​IMG]

    Di fanfic ini, saya mencoba membuat cerita mengenai keluarga ini sampai akhir sesuai di trailer tersebut. Bagi yang tidak tahu dan belum pernah melihat trailernya, bisa dilihat di sini.

    [video=youtube;lZqrG1bdGtg]http://www.youtube.com/watch?v=lZqrG1bdGtg[/video]

    (OOT bentar, trailernya benar-benar menggugah hati.:terharu:)

    story di pos 2..
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Nov 23, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. chain94 Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 14, 2011
    Messages:
    3,130
    Trophy Points:
    236
    Ratings:
    +5,007 / -0
    mohon dibaca dan diberi komentar, terima kasih :xiexie:

    “Selamat datang di Banoi, sebuah pulau tropis di mana Anda bisa meninggalkan semua kelelahan yang ada..”

    “Selamat datang di Royal Palms Resort – yang menawarkan para tamunya dari berbagai belahan dunia sebuah kemewahan dan kenyamanan yang teramat.”

    “Selamat datang di surga liburan di mana semua mimpi Anda tercapai..”


    Begitulah yang tertera di sebuah iklan dalam koran, yang menawarkan sebuah liburan fantastis. Aku membayangkan bagaimana jadinya bila aku sekeluarga bisa liburan ke sana. Suasana nyaman, stres akibat beban hidup dan kerja hilang, dan banyak hal-hal positif yang bisa kudapat dengan berlibur ke sana. Tiba-tiba istriku mengagetkan aku dari belakang, “Waa, sedang apa kamu?”

    “Hei, jangan mengagetkan aku dari belakang,” ucapku.

    Istriku, Ada, hanya tersenyum. Aku yang melihat senyumnya langsung menghilangkan kemarahan yang baru saja tercipta. Senyumannya adalah obat untuk kekesalan dan amarahku. Aku sangat mencintainya sepenuh hati. Mendadak, Ada mendekat ke mukaku. Aku berpikir bahwa dia ingin menciumku.

    “Hei, sepertinya kita perlu liburan,” katanya sambil menunjuk ke iklan Pulau Banoi.

    Dugaanku meleset, tapi aku langsung menciumnya dengan segenap hati, melepas koran yang sedang kupegang dan mengalihkan kedua tanganku ke pipinya. Ada sepertinya menerima ciumanku dan memelukku. Sejenak, kami melepaskan ciuman itu. Aku kembali mengambil koran yang terjatuh di lantai dan membuka halaman yang berisi iklan Pulau Banoi itu.

    “Ya, aku juga melihat iklan ini, dan aku rasa kita perlu liburan,” kataku sambil menunjukkan iklan tersebut.

    Ada terlihat sangat senang. Dia berkata, “Murah sekali, aku ingin ke sana.”

    Harganya sekitar US$1500 untuk perjalanan tiga orang selama seminggu. “Baiklah, aku setuju. Aku mau pesan dulu,” kataku sambil berjalan mendekati telepon yang berada tak jauh dari sofa yang tadi kududuki. Aku menempelkan telepon itu ke telingaku dan menekan nomor telepon agen travel Pulau Banoi.

    “Selamat siang. Di sini Agen Travel Liburan ke Pulau Banoi. Ada yang bisa dibantu?” jawab orang di ujung telepon itu.

    Aku segera memesan paket perjalanan tersebut hari Senin untuk tiga orang, yaitu aku, Ada, dan anakku, Mellisa.

    ------------------------

    Hari yang telah kutunggu-tunggu bersama Ada dan Mellisa telah datang. Hari ini adalah hari Senin di mana aku sekeluarga akan berlibur ke Pulau Banoi yang terletak di Papua New Guinea. Pagi-pagi sekali pukul 7 a.m. kami sudah mengangkat semua koper dan barang-barang kami ke dalam taksi. Kunci rumah aku titipkan ke tetanggaku, George yang sudah banyak membantuku selama aku bertetanggaan dengan dia. Selama satu jam setengah, kami tiba di Los Angeles International Airport. Di depan bandara, setelah kami menurunkan semua koper dan barang-barang kami, aku menatap bandara tersebut. Mellisa sangat kegirangan dan menari-nari.

    “Mel, jangan nakal selama berada di sana, oke?” kata Ada.

    “Tentu saja. Ini kali pertama aku liburan ke luar negeri. Yay,” ucapnya.

    “Ayo, kita masuk. Tentu kita tidak mau ketinggalan pesawat, bukan?” kataku sambil mengangkat barang-barang.

    Kami segera check-in dan memberikan semua barang-barang kami. Aku mengajak mereka berdua untuk berjalan-jalan di sekitar bandara, mencari restoran untuk makan siang. Diputuskan kalau kami akan makan di dalam pesawat saja, meski harganya akan sedikit mahal.

    Di ruang tunggu, aku melihat sebuah pesawat baru saja mendarat, sebuah pesawat yang kuduga akan kami tumpangi nantinya, New Guinea Airlines. Dan benar saja, setelah ada pengumuman dari pihak bandara, kami segera berjalan masuk ke dalam pesawat. Di dalam pesawat, sesuai kesepakatan, kami memesan makanan dan makan bersama.

    Tanpa terasa setelah perjalanan lima jam dan transit di Hawaii, kami tiba di Banoi International Airport. Dari atas, aku melihat pemandangan pulau Banoi yang sangat menjanjikan, penuh dengan fasilitas mewah dan nyaman. Seusai mendarat dan keluar dari bandara, aku memanggil taksi dan memintanya untuk mengantar kami ke hotel. Di tengah perjalanan menuju hotel, aku mengeluarkan camcorder yang sudah kusiapkan untuk merekam semua kegiatan liburan kami di sini.

    “Bagaimana perasaanmu, sayang?” tanyaku sambil berbalik ke belakang karena aku duduk di depan. Ada segera memakai kacamata hitamnya dan Mellisa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di luar ke camcorder yang kupegang.

    “Harusnya kau bilang dulu, aku kan mau tampil cantik,” jawab Ada. Aku hanya tertawa melihat reaksinya yang agak cemberut. Sedangkan Mellisa segera mengangkat tangannya dan berkata, “Yay, aku senang sekali.”

    “Tentu saja, sayang,” jawab Ada sambil memegang belakang kepala Mellisa. Kami sangat senang dan gembira. Perlahan taksi ini berhenti. Aku langsung membayar dan mengeluarkan koper-koper dari bagasi. Aku kembali menyalakan dan merekam kembali. Ada sedang berusaha mengangkat koper-koper tersebut dan Mellisa melihat ke hotel bintang lima tersebut.

    “Hei, James. Bantu aku angkat koper. Aku tidak sanggup kalau mengangkat semuanya. Sekarang berikan camcordernya, biar aku saja yang merekam,” katanya sambil merebut camcorder dariku.

    “Baiklah,” kataku dan aku mengangkat koper-koper itu ke dalam hotel. Di dalam, ada petugas hotel yang kemudian mengangkat koper kami. Aku melihat ruangan lobi yang sangat mewah. Lampu-lampu raksasa berwarna kuning menghiasi langit-langit. Dinding lobi ini berhiaskan dedaunan dan pohon-pohon. Sebelah ruangan ini adalah restoran dan kafe hotel. Aku melihat banyak orang sedang menikmati kopi dan teh khas dari pulau ini. Tak sabar, Mellisa menarik bajuku. Aku segera mendatangi resepsionis untuk menanyakan kamar yang sudah aku pesan kemarin-kemarin.

    “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” katanya dengan nada yang sangat halus.

    “Selamat sore. Aku ingin menanyakan tentang kamar yang sudah kupesan melalui agen travel pulau Banoi,” jawabku dengan lantang.

    “Dengan nama siapa, Pak?” tanyanya untuk memeriksa catatan di dalam komputernya.

    “James. Morrison, James.”

    “Baik, Pak. Bapak memesan satu suite room dengan penghuni maksimal 3 orang dari tanggal 9 November 2011 sampai 16 November 2011. Apakah informasi ini benar?”

    “Ya. Tentu saja.”

    “Terima kasih bapak sudah menginap di hotel kami. Kamar bapak berada di lantai 19 dengan nomor 1912. Silahkan memberitahukan informasi ini kepada petugas lift yang berada di sana. Semoga hari Anda sekeluarga menyenangkan,” ucapnya dengan ramah.

    Aku sangat terkesan dengan keramahtamahan petugas hotel ini. Di depan lift, aku memberitahu lantai tempat kamar kami.

    “Di lantai berapa, Pak?”

    “Lantai 19.”

    Petugas yang kulihat di bajunya tertera nama “George”, mengingatkanku pada tetanggaku. Meski umurnya berbeda jauh, keramahannya kurang lebih sama. Dia membukakan pintu lift dan segera memasukkan kartu lalu menekan tombol 19. Sesaat kemudian, dia keluar.

    “Silahkan bapak,” ucapnya.

    “Terima kasih,” kataku dengan ramah.

    “Sama-sama, Pak.”

    Mellisa melambaikan tangannya dan George pun membalas lambaian tangan Mellisa dan akhirnya pintu lift tertutup. Di lantai 19, setelah pintu terbuka, aku segera mengikuti petunjuk yang terpasang di dinding mengenai nomor kamar. Berputar-putar sejenak, aku akhirnya menemukan kamar kami. Kamar 1912 ini terletak di ujung lorong yang seolah-olah tampak khusus. Dengan kartu yang diberikan oleh resepsionis, aku memasukkannya ke lubang pintu dan membukanya. Di dalam kamar, Ada masih merekam kegiatan kami. Semenit kemudian, bel pintu berbunyi. Aku membuka pintu kamar dan petugas hotel telah datang bersama koper-koper kami. Setelah memberi tip padanya dan dia pergi meninggalkan kami, aku membawa masuk koper-koper itu ke dalam kamar. Ada merekam saat aku membawa masuk koper-koper itu.

    “Ada, kau masih merekam?” tanyaku.

    “Tentu saja. Aku ingin melihat wajahmu di kamera ini,” jawabnya.

    Aku hanya tersenyum dan Mellisa segera berjalan melihat ke luar melalui jendela.

    “Wah, pemandangannya indah sekali,” katanya.

    Aku dan Ada segera mendekatinya dan melihat ke luar.

    “Ya, benar-benar indah. Pilihan kita tepat untuk berlibur ke pulau ini,” kataku.

    Untuk sejenak kami memandang keluar. Tampaknya Ada melihat sesuatu, dia terkejut.

    “Ayo, kemari. Kita ke sana,” kata Ada.

    Aku dan Mellisa mengikuti Ada hingga sampai di lantai 10. Ternyata Ada melihat sebuah balkon besar dari atas sana. Di balkon ini, para tamu bisa menikmati langsung udara segar pulau Banoi. Kami mendekati pinggir balkon. Aku meletakkan sikutku dan berkata, “Hei, lihat! Ada taman di bawah.” Mellisa berusaha jinjit untuk melihat ke bawah, sedangkan Ada baru menyalakan camcorder dan merekam kami lalu merekam taman yang dimaksud olehku.

    “Bagaimana kalau kita berfoto di sini?” tanya Ada.

    “Boleh juga. Kita jadikan ini sebagai foto pertama di pulau ini,” jawabku. Dengan meletakkan camcorder di atas sebuah meja, aku mengaturnya agar bisa mengambil foto secara otomatis. Dengan latar belakang hotel, kami melambai-lambaikan tangan ke camcorder tersebut. Dan…

    “Clikk.”

    ----------------

    Malam harinya, aku mengajak keluar Mellisa dan Ada untuk makan malam di salah satu restoran terkenal di sini bernama Genuine Banoi Restaurant. Dengan harga yang murah, kami menikmati makanan khas pulau Banoi. Lobster goreng saus asam manis, kepiting rebus saus Banoi, dan Banoi Juice menjadi pilihan santapan kami malam ini. Setelah makan, aku mengajak mereka berjalan-jalan, menikmati pantai suasana malam hari. Pantai Banoi adalah pantai yang paling terkenal di sini. Banyak muda-mudi berdansa, berpesta dan menikmati bar. Musik rap yang diputar mengisi perjalanan kami mengelilingi pantai. Akhirnya kami duduk di atas pasir. Dikelilingi muda-mudi yang menikmati liburan mereka, kami menatap bulan purnama yang besar tanpa dihalangi oleh awan. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan. Ditemani suara ombak yang saling menggulung, kami bercerita dan bercanda tawa. Malam yang benar-benar indah, menghilangkan stres dunia kerja yang terus menghantui diriku.

    Keesokan harinya, setelah kami makan pagi, aku mengajak mereka untuk menikmati Golden Bungalow District. Tak ada pilihan lain, selain menggunakan taksi untuk dapat masuk ke sini karena jaraknya yang cukup jauh dari hotel tempat kami menginap. Di distrik ini, terdapat resort berada di atas air. Resort dengan rumah yang cukup banyak terhampar hampir ke laut yang agak dalam. Aku membawa mereka ke sini supaya bisa menikmati tengah laut, tanpa masuk ke laut. Sambil berjalan ke ujung resort ini, terdengar suara kayu yang menjadi jalan yang menemani kami.

    “Klutuk,klutuk.”

    Di resort ini cukup banyak orang yang menyewa. Ada bermacam-macam turis juga yang kujumpai di sini. Ada yang dari Jepang, Australia, Inggris, Jerman, dan beberapa negara lain. Di ujung, terdapat sebuah tempat peristirahatan bagi para pengunjung. Pengunjung boleh memesan minuman, makanan ringan. Di sini pula terdapat atraksi yang benar-benar pas saat kami datang. Sang pemain meminum bensin dan menyemburkannya ke tongkat yang ujungnya telah dinyalakan api. Mellisa yang baru pertama kali melihat aksi ini sangat tertarik. Aku mengalungi bahu Ada dan menatapnya, lalu tersenyum melihat Mellisa.

    “Lihat, lihat. Aksinya keren sekali,” kata Mellisa sambil menatapku dan menunjuk ke panggung.

    “Ya, nikmatilah,” ucapku sambil tersenyum.

    Usai pertunjukkan, kami segera kembali ke daratan. Berjalan melalui pantai untuk mencapai jalan raya, aku menyalakan camcorderku dan merekam mereka berdua.

    “Bagaimana Mel aksi tadi?” tanyaku.

    “Sangat-sangat keren, aku benar-benar kagum dengan pemainnya,” katanya.

    “Benarkah? Apakah kamu mau jadi salah satu pemainnya?” tanyaku.

    “Apaan sih kamu ini? Masa anak perempuan disuruh melakukan hal seperti itu?” jawab Ada dengan nada kesal. Aku menyoroti dia.

    “Haha, aku cuma bercanda saja. Ayolah, jangan marah,” kataku.

    “Huh,” jawab Ada sambil berjalan. Aku tahu bahwa dia hanya bercanda saja, tidak serius dengan kemarahannya.

    -----------------------------

    Saat matahari sudah tenggelam, di dalam kamar, Ada memintaku dan Mellisa untuk makan malam di hotel saja. Aku tidak bisa memaksanya juga untuk makan di luar. Aku mengira bahwa Ada mungkin sedang tidak enak badan.

    “Ada, kau baik-baik saja?” tanyaku.

    “Ya, aku tidak apa-apa, kok. Aku hanya merasa lelah saja,” jawabnya.

    Aku tidak ingin Ada menjadi sakit dan tidak bisa menikmati liburan ini. “Aku pesan sama resepsionis saja untuk diantar ke kamar, bagaimana?” tanyaku.

    “Tidak usah. Aku ingin jalan-jalan,” katanya.

    Mellisa tampak khawatir dengan kesehatan ibunya yang menurun. Dia terlihat sedih melihat keadaan Ada. “Mom tidak apa-apa?”

    “Tidak apa-apa kok, sayang.”

    “Baiklah, kalau kamu maunya begitu. Kita turun sekarang saja,” kataku.

    Mereka berdua mengangguk, menandakan mereka setuju. Di restoran hotel, aku melihat banyak makanan-makanan yang tampaknya sangat lezat. Ayam goreng, bistik, dan makanan berat lainnya membuatku sangat ingin menyantapnya, namun melihat kondisi Ada yang kurang baik, aku memberanikan diri untuk tidak menyantap makanan tersebut. Ada hanya memilih sayur-sayuran, dan Mellisa hanya mengambil makanan sekadarnya. Aku juga mengambil ala kadarnya, meski rasa nafsu makanku besar, melihat Ada yang sedih menghilangkan semua nafsu makanku.

    “Ada, kau yakin tidak apa-apa?” tanyaku.

    “Ya, aku tidak apa-apa.”

    Mendadak, restoran ini menjadi ribut. Ada suara teriakan perempuan yang tampaknya sangat menyakitkan. Para tamu yang sedang makan berdiri. Aku melihat satu keluarga yang sedang makan juga berada di sebelah meja kami. Lelaki yang tampaknya adalah ayah, berdiri dan sepertinya mengatakan bahwa dia akan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku melihat para petugas hotel berlarian mencari tahu juga. Aku yang tak sabar ingin mencari tahu juga berdiri dan mengatakan pada mereka untuk tetap diam di tempat.

    “Kalian tunggu di sini ya, aku pergi mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

    “Jangan pergi, Dad,” pinta Mellisa.

    “Ya, jangan tinggalkan kami,” kata Ada.

    Aku tidak punya pilihan lain selain tetap berada di sekitar sini.

    “Aku akan bertanya ke petugas hotel dan tamu di sekitar sini. Tidak akan jauh dari kalian,” kataku menenangkan mereka. Aku segera bertanya pada petugas yang biasanya membawakan makanan atau minuman. Dia sedang terdiam menatap ke arah asal suara teriakan.

    “Permisi, pak. Apa yang sedang terjadi?”

    Nampaknya laki-laki ini sedikit terkejut.

    “Maaf, saya sendiri kurang tahu dengan apa yang baru saja terjadi.”

    “Oh, terima kasih,” jawabku.

    Tiba-tiba ada seseorang perempuan berteriak mendekati kami, tamu yang sedang berada di sini, “Lari, cepat kalian ke kamar masing-masing. Ada kanibal berkelia-”

    Belum selesai ucapannya, seorang lelaki yang menurutku adalah tamu di sini mendorongnya hingga jatuh. Lelaki itu nampak aneh. Lengan dan kakinya terlihat berlumuran darah dengan bekas gigitan. Lehernya pun memiliki ciri yang sama, berlumuran darah. Tiba-tiba perempuan tadi berteriak dan laki-laki itu mengigit lehernya. Kami semua menjadi takut dan berteriak. Aku segera mendekati meja tempat kami makan.

    “Cepat, kita harus kembali ke kamar. Sesuatu yang sangat buruk telah terjadi,” kataku.

    “Apa yang se-” tanya Ada.

    “Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Cepat,” jawabku memotong pertanyaannya.

    Aku segera menggandeng tangan Mellisa dan Ada. Aku melihat para tamu lain juga berlarian meninggalkan restoran ini. Suara teriakan baik perempuan maupun laki-laki terus kudengar.

    “Dad, suara siapa itu? Sangat menakutkan,” kata Mellisa yang terlihat hampir menangis.

    “Tutup telingamu, Mel,” perintahku.

    Mellisa segera menutup telinganya dengan tangannya. Di tengah-tengah restoran saat aku melintas, aku melihat perempuan tadi sudah berlumuran darah di bagian perutnya. Isinya terburai di lantai. Usus, ginjal, dan beberapa bagian yang tak kukenal sudah tidak berada di dalam perutnya. Warna merah menghiasi perut dan lehernya. Aku hampir mau muntah melihat keadaan perempuan yang mengenaskan itu. Tapi, aku terus berjalan, tidak menatap perempuan itu. Di luar restoran, aku melihat banyak orang berlarian. Baik kanibal maupun para tamu. Aku tak ingin istri dan anakku menjadi korban mereka. Aku segera menarik kedua tangan mereka dan berlari menuju ke lift. Di tengah-tengah keramaian yang saling berlarian, tangan Mellisa terlepas dari tanganku.

    “Dad,” teriak Mellisa.

    “Mellisa,” teriakku dan Ada bersamaan.

    Aku mencoba melawan arus orang-orang yang berlarian, tapi terlalu kuat. Aku tidak mampu melawan arus tersebut. Aku mencoba lagi dan lagi. Tapi apa daya. Yang ada aku malah terbawa jauh dari tempat tangan Mellisa terlepas dariku.

    “Mellisa!!” teriakku dengan kencang. Entah dia mendengarnya atau tidak.

    Pada akhirnya aku bersama Ada terbawa sampai ke tangga darurat. Tidak ada pilihan lain selain meninggalkan Mellisa atau aku akan kehilangan Ada juga. Banyak orang yang berusaha naik ke atas, menuju ke kamarnya masing-masing untuk berlindung. Dengan rasa sedih yang mendalam, aku dan Ada terus mengikuti orang-orang ini hingga kami sampai di lantai 19. Aku dan Ada berlari menuju ke kamar kami dan segera menguncinya dari dalam. Aku bersandar di pintu dan menangis. Ayah macam apa aku ini? Tega-teganya meninggalkan anak sendiri dalam keadaaan yang gawat seperti ini. Seolah kehilangan tenaga, aku terduduk secara perlahan. Aku menangis dengan keras. Ada pun demikian. Ada hanya duduk di atas ranjang. Aku merasa bahwa Ada juga tidak sanggup meninggalkan Mellisa dalam keadaan seperti itu.

    “Maafkan aku, Mel. Maafkan aku,” tangisku.

    Ada tiba-tiba berdiri dan mendekatiku.

    “Biarkan aku pergi menolongnya. Aku tak mau kehilangan Mellisa,” katanya sambil menangis.

    Ada mencoba untuk membuka pintu yang kusandari ini.

    “Hentikan. Kita sudah tidak bisa menyelamatkannya. Aku tak ingin kehilangan kalian berdua,” kataku sambil menangis.

    Ada pun terduduk. Menangis di sebelah diriku. Malam ini adalah malam yang benar-benar buruk. Tanpa sadar, aku dan Ada tertidur di sana.

    ---------------------

    Pagi harinya, pukul 7 a.m., aku terbangun dari tidurku. Aku melihat Ada masih tertidur di bahuku. Aku hanya bisa berharap bahwa bantuan akan segera datang, menyelesaikan semua masalah ini. Entah apa yang sebenarnya terjadi juga tidak kuketahui dengan jelas. Aku hanya mendengar bahwa ada kanibal yang mencoba memakan orang. Teringat kata kanibal, mengingatkanku pada Mellisa. Aku tidak sanggup membayangkan kalau anakku sudah menjadi mangsa kanibal itu. Aku hanya bisa terdiam, memukul kepalaku dengan tanganku. Ada yang tertidur di sebelahku, terbangun.

    “Sayang, maafkan aku,” kataku sambil memeluknya.

    “Aku juga. Harusnya aku menggengam tangannya kemarin,” katanya dengan sedih.

    Akupun melepaskan pelukannya dan bangkit berdiri. Ada masih terduduk di lantai.

    “Harusnya ini menjadi liburan yang menyenangkan. Kenapa jadi begini?” kata Ada.

    “Aku pun tidak habis pikir, mengapa hal seperti ini bisa terjadi,” jawabku.

    Kami terdiam sesaat. Aku berjalan mendekati jendela dan menatap semua kekacauan ini dari atas. Banyak bangunan terbakar. Darah berceceran di mana-mana. Mayat-mayat berhamburan. Bahkan banyak mobil menabrak sana sini. Pantai yang indah yang dulunya berwarna biru jernih, sekarang menjadi merah darah. Aku hanya bisa diam.

    “Ada, coba kamu lihat ke sini,” kataku sambil membalik badanku untuk melihatnya.

    Ada pun berdiri dan mendekati jendela tersebut. Dia terkejut melihat semua ini.

    “Bagaimana bisa?” Ada mulai menangis.

    Aku segera memeluknya dan berkata, “Aku yakin bantuan akan segera datang dan mengatasi semua ini.”

    Tiba-tiba aku merasakan bahwa banyak orang sedang berlarian ke arah sini. Aku menggandeng tangan Ada dan berjalan mendekati pintu untuk mengintip dari lubang pintu. Ternyata dari kejauhan terlihat Mellisa sedang berlari dari kejaran para kanibal yang berlumuran darah itu. Aku sangat senang melihat anakku masih hidup. Tapi hal buruk segera terjadi. Mellisa terjatuh dan seorang kanibal laki-laki yang menurutku adalah petugas hotel yang membawakan koper waktu itu sedang mencoba memakannya. Aku segera membuka pintu dan melihat bahwa dia mengigit kaki Mellisa. Aku bisa mendengar teriakan Mellisa yang sangat memilukan. Ada yang berada di belakangku sangat terkejut. Aku melihat ke samping kanan dan segera mengambil sebuah kapak terpasang di dinding di atas selang pemadam kebakaran. Ternyata kanibal itu telah mengigiti leher Mellisa. Dia melihat kehadiranku dan menatapku sambil mengeluarkan suara paraunya. Aku langsung menyerangnya dengan kapak itu, mencoba memutuskan lehernya. Namun, gagal. Kanibal itu hanya terjatuh ke lantai. Dari belakang muncul lagi seorang perempuan yang hanya mengenakan bikini mencoba menyerangku. Aku langsung memutuskan tangannya dan dia terdorong ke belakang. Mellisa yang masih sadar memberikan tangannya padaku. Dengan cepat aku menggendongnya. Mellisa kemudian pingsan, dan langsung kuberikan pada Ada. Kanibal yang baru saja kuserang ternyata kembali berdiri dan mengejarku. Sedetik saja lagi, aku pasti tidak akan sempat menutup pintu.

    Aku mencoba menahan pintu dari para kanibal tersebut. Aku melihat Ada meletakkan Mellisa di atas kasur. Kasur yang berwarna putih sekarang telah berlumuran darah. Desakkan dari para kanibal itu terutama petugas hotel sangat kuat hingga menjebolkan dinding pintu itu, tepat di sekitar leher dan kepalaku. Tangannya berhasil masuk. Aku segera berbalik dan mencoba menahan pintu dengan kapak yang kuambil tersebut. Aku melihat kepala kanibal itu mencoba masuk sambil berteriak dengan suara paraunya. Tapi, keberuntungan tidak berada di pihakku. Petugas itu terlalu kuat hingga berhasil mendobrak masuk, mendorongku ke belakang. Dengan cepat aku menyerang lehernya, hampir membuatnya putus. Darahnya pun bermuncratan, mengenai wajahku. Melihat keadaan ini, Ada mencoba mengambil pisau yang berada di dalam lemari. Kini giliran perempuan berbikini itu masuk ke dalam dan aku mendorongnya ke samping. Dari pintu seorang tamu yang berbadan gemuk muncul, mengalihkan perhatianku. Aku mencoba memutuskan lehernya. Belum selesai aku menyerangnya, perempuan tadi mendadak mendorongku, melepaskan tanganku dari kapak tersebut. Aku mencoba mengatasi perempuan ini dengan mendorongnya ke belakang. Si tamu gemuk itu melepaskan kapak yang melekat di lehernya, memuncratkan darahnya ke mana-mana.

    Ada yang sudah bersiap-siap dengan pisaunya melihat Mellisa bangun dan bertingkah aneh. Ada sangat terkejut. Mendadak, Mellisa melompat ke atas pundakku, mencoba mengigit leherku. Aku berlawanan dengan anakku sendiri. Sungguh menyakitkan. Aku berusaha menjatuhkan Mellisa ke lantai. Namun, dia masih melekat di atas pundakku. Perempuan berbikini itu menyerang Ada, mencoba memakan tangan Ada. Aku tidak sempat melihatnya, sebab perhatianku masih terfokus pada Mellisa. Aku berputar-putar, mencoba melepaskannya, hingga aku mendekati jendela. Dan Mellisa mengigit leherku. Aku berteriak sekuat tenaga dan mendorongnya ke belakang. Badannya memecahkan kaca jendela dan melayang di udara. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada Mellisa. Aku melihat Ada sedang dimakan oleh kedua kanibal dan di depanku sendiri ada laki-laki gemuk itu, mencoba memangsaku. Aku melawannya dengan sekuat tenaga, mendorongnya ke belakang. Tak ingin kehilangan lagi, aku mencoba menyelamatkan Ada dengan memukul kedua kanibal tersebut. Ternyata laki-laki gemuk itu mendadak mengigit leherku, membuatku terjatuh. Para kanibal lain berdatangan masuk ke dalam, memakan isi perutku. Ada yang masih hidup saat itu mencoba meraih tanganku, begitu juga aku.

    “Aku akan menemuimu dan Mellisa di surga,” kataku terbata-bata diiringi rasa sakit yang mendalam.

    “Aku mencintaimu,” kata Ada sambil terisak.

    “A, aku juga,” kataku sambil memegang tangan Ada. Mendadak, pandanganku menjadi hitam. Tangannya yang sangat halus dan lembut adalah hal terakhir yang kuingat.

    -Selesai-

    Terima kasih telah membaca :xiexie:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Nov 23, 2011
  4. Kaiser82 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 9, 2009
    Messages:
    46
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +2 / -0
    ga kependekan ceritanya mas?
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. chain94 Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 14, 2011
    Messages:
    3,130
    Trophy Points:
    236
    Ratings:
    +5,007 / -0
    habisnya kagak ada ide lagi, hehe
    kalo boleh tau, mau seberapa panjang? :???:
    apa sampai berchapter2 gitu? :???:
     
    Last edited: Nov 25, 2011
  6. devilmccry5 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 2, 2011
    Messages:
    27
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +1 / -0
    ene mah ud panjang mas..mpe muter" mata baca ny
     
  7. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    ini nih cerita genre zombie yang kusuka! mantap, jadi pengen maen gamenya, dead island... tapi berat amat spec laptopku ga cukup kykny...
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. chain94 Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 14, 2011
    Messages:
    3,130
    Trophy Points:
    236
    Ratings:
    +5,007 / -0
    kalo suka, gak coba buat cerita gitu? :hihi:, yah, game skrg emang nuntut spec:sepi:
     
  9. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    lagi coba buat koq, yang fanfic i am legend ituh... hehehe. tapi akhir2 ni lagi sibuk menjelang UAS, jadi masih lum di update lagi.

    iya ni, sama aja berarti developer gamenya nyuruh kita beli laptop baru dgn spec tinggi, ato minimal upgrade...
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.