1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Why Did You Lie??

Discussion in 'Fiction' started by XtracK, Oct 29, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    wehehehehe...
    gk tahan liat orang pada semangat ngikut lomba, kebut nyari ide buat cerpen + bongkar2 laptop, eh... jumpa folder cerita jadul dolo pas sma
    :haha:

    mbah Xtrack, ak ngikut, ye...
    :lol:
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Oct 29, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    Hitam.

    Seluruh mataku hitam.

    Paru-paruku serasa terbakar. Perih. Tidak, bukan sekedar perih. Sakit. Aku sakit. Mataku berputar-putar berusaha menemukan cahaya. Namun, hanya kegelapan kutemukan. Dalam usahaku yang bagaikan pungguk merindukan bulan, tiba-tiba setitik cahaya bersarang di hadapanku. Aku menggapai cahaya, namun tanganku mati rasa. Titik cahaya itu hilang. Ada ombak yang menyapunya. Aku beringas, liar kupertahankan cahaya itu. Paru-paruku sesak. Kurasakan ada lumpur yang mendominasinya. Nafasku tersendat. Tanganku berusaha mencengkram setiap sisi benda di hadapanku. Namun aku kalah. Benda-benda itu bergerak mengendarai air hitam yang menyelimutiku dengan kecepatan luar biasa. Menjauhiku. Dalam tanganku, cahaya kembali hilang timbul. Air hitam mengisi lambungku, menyiksanya. Nafasku semakin pendek. Mataku mengabur, berusaha menarikku untuk kembali tidur dalam pekat. Aku menolaknya dengan bantuan kekuatan jiwa. Lalu tanpa kuduga, sebatang kayu bergerak mendekatiku. Entah apakah ini ilusiku atau bukan, aku seperti dapat melihat sesosok malaikat membawakan kayu itu untukku. Aku berenang kepadanya cepat. Menggapainya. Dalam jarak yang tinggal satu sentimeter, sesuatu menghantam kepalaku keras.

    Dan segalanya kembali hitam.

    Aku mati. Dengan badan yang penuh terisi lumpur, aku akan mati. Inikah akhir sejarah hidupku? Apa yang harus kujawab bila aku dikubur nanti? Apa urutannya?

    Pertama, siapa Tuhanmu. Lalu, apakah umur duluan yang ditanya atau nabi?

    Tidak.

    Aku tak mau mati.

    Aku masih belum siap. Aku belum bersujud di kaki Mamak dan Abah untuk membersihkan dosaku terhadap mereka. Aku masih belum menggantikan uang Nora yang kupinjam. Aku masih belum berbaikan dengan Geri. Aku masih belum shalat. Puasaku masih belum kuganti.

    Nggak! Aku nggak mau mati!!

    “Nggaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkk!!!!” pekikku serak. Sontak kedua mataku terbuka, dan aku langsung terduduk. Nafasku terengah. Ada satu titik nyeri di ulu hatiku. Namun, bukan itu yang menjadi pusat pikiranku sekarang. Lagi. Mimpi itu lagi. Aku selalu dihantui mimpi yang sama. Seakan mimpi itu adalah masa laluku.

    Aku menyeka peluh di keningku. Baru sejurus kemudian kusadari bahwa titik-titik keringat tidak hanya di kening, namun di seluruh tubuhku. Piyamaku basah kuyup. Aku merasa gerah. Aku segera turun dari tempat tidur dan menuju lemari pakaian. Memilih piyama yang baru, dan aku segera berganti baju. Dalam prosesku berubah wujud, kudengar pintu kamarku digedor keras dan dalam tempo sepersekian ******* Aku menghela. Itu pasti Arin.

    Aku membuka pintu. Sosok di depanku langsung menghambur kepelukanku.

    “Ririn, kenapa? Ada apa?” dia bertanya cepat. Aku menggeleng.

    “Tidak kenapa-kenapa, kok, Rin..”

    “Yakin? Kalau ada yang aneh, kasih tau. Kita kan saudara!” Arin menekankan kata terakhirnya. Aku tersenyum. Ya, aku sangat bersyukur punya saudara seperti Arin. Dia baik, dan terlebih lagi, dia cantik. Tubuhnya semampai dan ideal. Otaknya encer bagai air yang melarutkan gula ilmu pengetahuan bersamanya. Lidahnya dapat menari-nari ketika mengucapkan berbagai bahasa dunia. Terkadang, aku jadi ragu sendiri. Apakah aku ini saudaranya Arin? Tapi kenapa beda jauh?

    Hanya ada satu hal yang sama diantara kami. Yaitu piatu. Namun, aku harus ditambahkan yatim-nya. Kesamaan ini membuat kami menjadi lebih dekat. Lebih dari sekedar saudara. Ibu. Ya, kalimat itu mampu melukiskan keadaan kami. Arti Arin bagiku, sama seperti seorang ibu. Begitu juga arti diriku bagi Arin. Hal ini sudah berlangsung lama. Sekitar tujuh tahun yang lalu. Saat itu, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di rumah Arin. Sebabnya, aku tak tahu apa. Namun, Arin mengatakan padaku bahwa karena ayah dan ibuku telah tiada dalam kecelakaan pesawat Air Line 007, maka keluarga Arin bersedia mengasuhku. Ketika itu ibu Arin masih ada. Beliau lebih dari sekedar baik kepadaku. Beliau merawatku yang sedang trauma saat itu dengan kasih sayang yang melewati batas sebagai tante. Begitu juga Arin. Umurku dan Arin sama. 17 tahun. Kesamaan itu mempermudah Arin untuk menyembuhkan trauma yang kualami.

    Kemudian setahun setelah aku pindah ke rumah Arin, ibu Arin meninggal. Kali itu, giliranku untuk membasuh kesedihan Arin. Aku tak bisa memberinya harta. Tidak juga dengan janji-janji selangit. Aku hanya bisa menemani Arin setiap waktu. Enam bulan kemudian Tuhan menjawab usahaku. Arin bangkit kembali dari bunga yang layu menjadi bunga yang mekar melebihi kembang-kembang yang lain. Bahkan, Arin menebus rasa sedihnya dengan belajar kuli ekstra dua kali lipat. Prestasinya di sekolah melaju bagaikan jet coaster. Takut aku ketinggalan, Arin mengajakku bersamanya. Hasilnya, kini kami menaiki angin kesuksesan bersama-sama. Arin menjadi direktur perusahaan cabang milik ayahnya, dan aku menjadi dokter gigi di rumah sakit pusat Jakarta.

    “Arin, aku nggak kenapa-kenapa, kok..”

    “Bener?” alis Arin berkerut ragu. Aku menghela nafas.

    “Cuma mimpi buruk.”

    “Mimpi?” matanya membesar. Ada kilat khawatir di matanya yang coklat. Aku mengangguk. Menepiskan ilusiku yang nggak-nggak terhadap mata Arin.

    “Ng, mimpi..”

    “Coba sini, cerita. Nggak bagus mimpi buruk dipendam-pendam. Efeknya bisa mengerikan,” Arin menarik lenganku dan berjalan ke arah tempat tidur. Aku menurut.

    “Nah, Ririn mimpi apa?” dia meremas pelan tanganku. Gerakan sederhana ini selalu memudahkanku untuk berterus terang kepada Arin.

    “Mimpi… tenggelam,” aku jeda sesaat dan melihat ekspresi Arin. Ada lintasan shock yang membayangi wajahnya. Namun sedetik kemudian, Arin kembali normal.

    “Lalu?” tanyanya pelan. Aku mengurungkan niat untuk bertanya pada Arin kenapa ia shock mendengar mimpi aku tenggelam.

    “Ng.. ada air.. hitam. Paru-paruku sesak. Sakit rasanya kalau bernafas. Lalu aku melihat gelondongan kayu. Aku berenang, berenang ke arah kayu itu. Tapi, pas tinggal sedikit lagi, ada benda yang menghantam kepalaku. Duam!” tanganku bergerak seirama intonasi suaraku. “Lalu, aku tak ingat apa-apa lagi..” aku mengakhiri ceritaku. Arin diam di depanku. Keheningan ini membuatku teringat satu hal yang tertinggal. “Oh, ya. aku ada ingat kalau aku.. nggak mau mati. Ya.. itu. Takut, aku takut sekali. Aku belum siap. Aku masih belum mau mati. Takut.. Arin.. aku takut sekali..” tanpa kusadari, ada bulir-bulir hangat yang menuruni pipiku. Aku terisak. Arin memelukku hangat.

    “Ririn.. itu hanya mimpi. Mimpi yang takkan terjadi lagi. Tenanglah..” ia mengusap-usap punggungku. Aku mengangguk hening. Malam itu, Arin menemaniku tidur.


    Esoknya..

    Aku membawa roti panggangku dan susu coklat hangat ke ruang santai. Kutekan remote controller, dan televisi mulai menampilkan wajah berbagai manusia. Aku mengacak-acak saluran sampai akhirnya aku memutuskan berhenti di terminal metro tv. Aku menyaksikan berita-berita yang disampaikan dengan seksama. Bagaimanapun juga, aku tak pernah mau ketinggalan kabar dunia.

    “Telah terjadi gempa berkekuatan 7 skala ritcher di Nanggroe Aceh Darussalam, tepatnya di Meulaboh. Saat itu, warga serentak keluar dari rumah masing-masing karena khawatir gempa tersebut memicu timbulnya tsunami kedua..”

    Deg!

    Seperti ada luka lama yang berdenyut di dadaku. Teriris. Susu coklat yang sedang kuhirup nyaris tumpah menodai bajuku. Aku berdiri cepat, berpaling ke arah Arin. Kulihat dia sedang menyapukan selai stoberi kesukaannya di atas roti panggangnya yang setengah gosong.

    “Arin! Apa dulu di NAD pernah terjadi gempa?” aku berteriak padanya. Gerakan Arin selama sedetik terhenti. Wajahnya tak dapat kukatakan bereaksi bagaimana karena ia sedang memandangi rotinya dan rambutnya yang bergelombang menutupinya.

    “Pernah. Kenapa?” dia melanjutkan aktifitasnya. Aku kembali menghadap televisi. Ya, kenapa? Kenapa aku memperhatikan hal itu? Aku mencoba menghilangkan rasa penasaranku, namun hati dan pikiranku berontak hebat dan menyebabkan rasa itu terus menusuk-nusuk cerebrumku. Ada yang tidak beres. Ada perasaan yang berbeda saat aku mendengar berita tentang gempa dan tsunami tadi. Seperti ada benang-benang halus yang memikatku akan kejadian tadi. Aku tak tahu apa. Namun hal yang pasti adalah, apapun itu... berpusat di Aceh.


    Aku melepas penat dengan berselojor di sofa di ruang istirahat seusai memeriksa pasien terakhir. Aku melakukan beberapa gerakan dasar untuk meregangkan otot-otot yang kaku.

    “Bu Dokter.. boleh saya ikut gabung?” Fiara, mahasiswa ITB yang sedang dalam masa ko-as menjulurkan kepalanya dari ruang periksa. Aku tersenyum sembari mengangguk.

    “Fiara dari dulu penasaran, nih. Sebenarnya, dokter berasal dari mana, sih?” ia melengkungkan bibirnya penasaran. Aku tidak langsung menjawab. Aku berpikir dan berusaha mengingat masa laluku. Namun, yang kutemukan hanyalah kerlip buram lampu-lampu ingatan dalam otakku.

    “Jawa, mungkin...” aku menjawab asal. Sebisa mungkin aku berusaha agar tampak sedang bercanda karena dua kata yang mengalir dari bibirku adalah ketidakpastian. Fiara mengerucutkan bibirnya. Ia meneliti wajahku sekitar dua menit.

    “Masa, sih? Menurut saya, Bu dokter malah lebih mirip sama orang Aceh, deh,” ia membentuk kerutan di antara alisnya. Aku nyaris terlonjak. Mirip... orang Aceh? Tapi Arin pernah menyebutkan bahwa aku orang Jawa atau sejenisnya walaupun ekspresinya tidak menyakinkan untuk dipercaya.

    “Oh ya?”

    Fiara mengangguk tegas. Aku merasa tidak nyaman. Lalu, dengan kelihaianku bermain-main dengan kata, aku berhasil membelokkan arah pembicaraan dan kami akhirnya menyudahi pembicaraan tepat ketika seorang pasien masuk.


    Dirumah, aku kembali mengulang rekaman ingatan tentang pembicaraan tadi dengan Fiara seakan Fiara telah memahat setiap kalimatnya di cerebrumku. Pusing. Aku selalu merasa ada bagian dalam hidupku yang terpenggal. Namun sampai hari ini, tidak pernah sekalipun aku kepikiran hal itu.

    “Ririn, Assalamu’alaikum!!” Arin masuk ke kamarku tiba-tiba. Langkahnya terhenti saat dilihatnya aku sedang mengepakkan baju-baju yang akan kubawa.

    “Kamu.. mau kemana?” dia bertanya sangat pelan nyaris bergumam, dan berjalan mendekatiku. Aku menghela nafas sesaat.

    “Aku mau ke Aceh..”

    “La.. lalu, kerjamu gimana?” nada suaranya terdengar panik.

    “Aku sudah mengurusnya. Pokoknya, sekarang aku tinggal pergi.”

    Arin lama terdiam. “Kalau begitu, aku ikut,” ucapnya tegas. Aku menatapnya berkerut. Tapi, aku menerimanya untuk menemaniku di sana.


    Aku mendaratkan kakiku di bandara Blang Bintang. Arin berjalan di sampingku. Bersama-sama, kami naik angkot aneh yang belum pernah ada di Jakarta, labi-labi. Ini aneh sekali. Padahal aku tidak pernah menaiki benda ini. Namun, sebagian diriku sangat mengenalnya. Kami melaju menuju kota, dan turun. Aku membayar Rp 8.000, namun supir meminta lebih.

    “Maaf, kak. Tapi, ongkos dari Blang Bintang kesini Rp 20.000. Ini masih kurang dari semestinya..” ia mengulurkan tangannya ke arahku. Aku melotot padanya.

    “Jangan bohong, kamu! Dari sana kesini itu satu orang cuma 4000! Karena kami berdua, jadinya 8.000!” aku menjawab ketus. Ia balas marah.

    “Itu harga dulu, kak. Sekarang sudah 10.000.”

    “Aku akan membayarmu 6.000. Asal tahu saja, aku bukan orang bodoh yang bisa kamu tipu!” aku mengeluarkan uang 4.000 lagi dan memberikannya padanya. Lalu, aku segera menarik Arin dan kami menyetop becak. Di perjalanan, Arin melirikku heran.

    “Kamu tahu berapa biayanya, Rin?” ia menatapku lekat. Aku tersadar. Ya, benar seperti yang dikatakannya. Kenapa aku bisa tahu? Aku berpaling dari tatapan Arin dan membisu menatap jalan. Kami sampai ke hotel Prapat dan membayar becak. Syukurlah tukang becak itu jujur. Ia tidak menyebutkan jumlah yang tidak masuk akal padaku. Segera kami masuk ke hotel dan menyewanya untuk 2 minggu.


    Kami sedang berjalan-jalan mengitari pasar Aceh saat seseorang berteriak ke arahku. Ia seorang tante muda, dengan wajah berpeluh yang dibalut kerudung sederhana.

    “Ya ampun, sudah lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarnya?” senyumnya berbinar menatapku sambil berbicara dalam bahasa Aceh. Aku hanya tersenyum samar. Kulihat Arin berkerut berusaha memahami ucapannya. Tapi aku mengerti! Aku tahu ia mengatakan apa.

    Baik ” jawabku pendek. Arin mengerjapkan matanya sekilas.

    Saya kira kamu telah tiada.. sama sekali tidak ada kabarnya. Oh, ya. Apakah kamu sudah pergi ke kuburan? Makam ibu kamu ada di kuburan massal itu” ia menatapku pilu. Aku seperti tersengat dari dalam. Kepalaku berputar. Dunia serasa bolak-balik di hadapanku. Tapi aku berupaya tegar. Aku tidak bisa pingsan di sini. Nanti Arin akan panik. Kami akhirnya berpamitan dengannya dan kembali ke hotel. Di sana aku langsung ambruk. Bagaimana bisa? Kenapa hal ini bisa terjadi? Aku merasa kepalaku ditusuk seribu jarum besi besar. Lalu segalanya gelap.

    Aku terbangun tengah malam dan menangis pelan. Arin masih tidur. Mimpi buruk itu lagi. Kali ini lebih jelas. Aku ingat. Saat itu, aku tengah belanja bersama mamak di pasar Aceh. Lalu terjadi gempa yang begitu mendadak. Aku dan mamak berpegangan pada pagar mesjid Baiturrahman. Gempa itu begitu kencang. Kepalaku pusing. Bangunan-bangunan di hadapanku retak, bahkan ada yang roboh begitu saja seakan mereka dibangun tanpa pondasi. Kemudian gempa mereda. Aku dan mamak mengucapkan syukur pada-Nya. Namun, ada yang berteriak “ Air naik! Air laut naik!” dan menyebabkan rasa heran pada sebagian warga, termasuk kami. Hanya air pasang, kenapa ia berlari seperti hendak mati saja? pikirku saat itu. Namun ternyata aku begitu optimis. Dua detik setelah ia berteriak, air bah hitam bergulung-gulung di belakangnya, menghempas segala penghalang. Tingginya melebihi puncak kelapa. Nafasku terhenti seketika, dan aku menarik mamak berlari. Aku melompati pagar mesjid tanpa kesulitan seakan kakiku berubah menjadi lebih ringan dan cepat. Namun, mamak tidak bisa. Aku berusaha menarik mamak, sampai air hitam itu menyapu beliau dari pandanganku.

    Pegangan kami terlepas. Aku bergumul dalam lautan hitam dan berusaha menjangkau apapun yang bisa menyelamatkanku. Aku timbul tenggelam, tersedak karena air mulai merajai paru-paru dan lambungku. Rasanya pekat, menggesek dinding lidah dan hidungku. Aku ketakutan setengah mati. Seng, kayu, dan balok menghantam tubuhku tanpa ampun di bawah air. Aku akan mati. Dunia kiamat. Panik menjalari setiap sel saraf otakku. Mataku mengabur, namun aku berusaha minta tolong meski kutahu itu sia-sia. Nafasku semakin pendek dan tersendat. Ditengah ambang kematianku, mendadak segelondong kayu bergerak mendekatiku. Aku berusaha menggapainya. Namun, sebuah bayangan papan reklame menghantam kepalaku keras. Spontan aku kehilangan tenaga untuk mempertahankan satu benang kehidupanku. Pikiranku semakin mengabur seiring dengan kaburnya mataku. Segalanya kini pekat, hitam tanpa cahaya.

    “Ririn? Kenapa?” Arin terbangun dari tidurnya dan mengusap punggungku. Aku bergumam padanya tanpa melihatnya. Ada rasa kecewa di sudut hatiku terhadap Arin.

    “Besok kita ke kuburan massal.”


    Aku menjemput tante, sepertinya saudaraku, yang menegurku kemarin. Ia menyambut ajakanku dengan senyum. Dalam bahasa Aceh, ia menyuruh anaknya menggantikannya menjaga warung. Bersama kami akhirnya tiba di tujuan. Kakiku semakin goyah bersamaan dengan banyaknya langkah yang kutempuh. Aku menggigit bibir dan menarik nafas panjang. Aku harus bisa bertahan! Aku berdo’a dalam hati agar yang Maha Kuasa menunjukkan letak tubuh mamak di antara luasnya kuburan ini. Do’aku terkabul. Semburat wangi datang padaku, seolah menuntunku ke arahnya. Aku menurut. Arin mengikutiku dari belakang. Ia masih bingung dengan sikapku.

    Aku sampai di tempat mamak. Tetes-tetes air mata berlarian menuruni wajahku. Aku terduduk, tenagaku seperti tersedot keluar. Lama waktu berlalu sampai akhirnya aku berhasil menguasai rasa terguncang dalam jiwaku.

    “Arin..” aku setengah berbisik memanggilnya. Ia mendekatiku. “Kenapa kamu selama ini berbohong padaku?” suaraku serak dan berat. Arin seperti tersengat.

    “Ri.. Ririn! Apa yang kamu bicarakan?” ia melengking kaget. Aku mendesah.

    “Kenapa kamu menolongku jika akhirnya kamu membohongiku?”

    “Aku.. aku tidak..”

    “Aku mengingat semuanya, Arin,” selaku cepat. Ia terdiam. Menggigit-gigit bibirnya.

    “Karena kamu...” ia menarik nafas pendek yang berat. “Karena saat itu kamu bilang bahwa kamu tak ingin mati! Waktu itu aku menemukanmu, kamu seperti orang mati. Kalimat yang selalu kamu ulang adalah, kamu tak ingin mati!” Arin bernafas cepat tak stabil. Air mata menuruni pipinya, menciptakan satu garis yang panjang. “Aku mendapatimu sekarat, dan segera membawamu ke Jakarta bersama dengan relawan yang lain untuk perawatanmu. Tapi, dokter mengatakan bahwa kepalamu terbentur begitu keras, sehingga ingatanmu hilang. Kamu perlu dibimbing agar sembuh dan mengingat semuanya. Namun aku bukan saudaramu. Aku tak tahu apa-apa tentangmu. Lalu mama memberiku saran agar memberimu kehidupan kedua yang lebih baik. Aku menuruti saran mama..” nafas Arin tersendat. Wajahnya basah. “Dan sekarang.. dan sekarang.. apakah kamu masih menuduhku berbuat jahat terhadapmu? Apakah aku orang yang seperti itu dalam pandanganmu? Aku.. aku..” jeritnya pedih. Spontan aku memeluk Arin dan mengusap punggungnya.

    “Maaf, Arin. Maafkan aku. Aku hanya kalut. Aku tidak percaya bahwa Arin akan tega membohongiku. Tapi sekarang, semuanya telah jelas. Maaf, Arin. Maaf..” aku terisak sendu. Mataku kabur karena air mata mendominasinya. Arin mengangguk.

    “Arin juga minta maaf karena tak pernah mengatakan yang sejujurnya kepadamu. Tapi kita tetap saudara, Ririn. Apapun yang terjadi, hanya Ririnlah satu-satunya saudaraku yang paling kusayangi. Arin akan selalu berusaha membantu jika Ririn mendapat masalah..”

    Aku tersenyum. Dalam hati, aku percaya bahwa tak ada yang ucapannya paling tulus seperti ucapan Arin. Arin membutuhkanku, dan aku tahu bahwa aku juga membutuhkan Arin.

    Arin.. penyelamat hidupku yang berharga.

    wahahaha:lol:
    panjang bajibune.... :hihi:
     
  4. Giande M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Sep 20, 2009
    Messages:
    983
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +1,228 / -0
    :top:

    pendeskripsian dalam ceritanya tambah maknyusss :top:

    terutama saat menggambarkan mimpi dan keadaan setelah diterjang gempa

    :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    cerita berdasarkan cerita.. :lol:
    ugh, bingung ngolahnya.. takutnya, deskripsinya kepanjangan bakal bikin orang bosan
    :swt:
    thanks dah dipuji, kk Giande
    :cheers:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.