1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Lost Heaven (Judul Sementara)

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Oct 2, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    First, saya minta maap kalo trit saya di sini ada banyak (3 cerita)
    tapi saya minta dimaklumi... saya orangnya kalo nulis tu berdasarkan emosi saya sekarang.. jadi saya putusin untuk nulis dengan sistem paralel...
    biasanya kalo gw lagi ga mood nulis sci-fi (Action^Replay Side Stories), gw pindah ke Slice of Life (Action^Replay), kalo lagi nggak mood 2-2nya gw limit break... nulis genre Drama (Lost Heaven/yang ini) aja..
    tapi gw berharap semuanya lanjut terus.. :maaf:
    Jika saat itu aku boleh memilih, aku lebih baik tidak bertemu dengan orang itu.


    Senyumnya, marahnya, sedihnya bahkan kesakitannya masih menggema dalam khayalanku. Membayangi setiap bunga tidur dengan memori tentangnya, membuat setiap elemen dunia mengingatkanku padanya.



    Satu orang yang sangat berarti,


    Setiap nada langkah kakinya tidak seindah melodi Beethoven, rambutnya tidak seindah kilauan emas ataupun mutiara hitam. Suaranya tidak semerdu kicauan burung di pagi hari. Walau senyumnya tidak semanis aspartam dan tidak seindah paris di malam hari.
    Namun ketika dia adalah orang yang dicinta, aku tidak peduli semuanya.


    Langkah kakinya sedikit kasar, terburu-buru di pagi hari. Hal yang paling kutunggu ketika aku duduk dan merenung, melamun tentang segala hal. Membuyarkan duniaku dan menarik ke dunia dimana semua orang hidup.


    Rambutnya yang hitam kemerahan, warna yang menghidupkan kembali mataku yang telah mati dari balik kaca mata palsu.


    Suaranya ketika menyapaku, menembus telinga di balik earphone. Memaksaku mematikan pemutar musik sejenak untuk menikmati getaran pada gendang telingaku, informasi kecil yang mengalir dari syaraf telinga ke otakku.


    Senyumnya menjadi alasan untuk membuatku tetap hidup. Alasan yang sampai kini aku pertahankan walau sebagian besar alasan itu sudah lenyap.


    Tanggal dua puluh enam juli,delapan tahun lalu. Tahun ke tiga setelah millennium berganti. Aku tidak mengerti apa itu “Cinta”, karena mungkin saat itu aku belum pernah merasakannya sama sekali. Yang kutahu, cinta itu hanya emosi sementara, sama halnya dengan rasa senang, sedih dan marah. Bukankah itu normal? Untuk seorang yang duduk di bangku sekolah dasar di tahun kelimanya, itu bukan hal penting. Setidaknya itu menurutku.


    Aku tidak menyangka, saat itu aku melakukan kesalahan terbesar… bukan, lebih seperti hal yang paling aku sesali enam tahun setelahnya.


    Enam hari sepuluh jam sebelum kalender menunjukkan bulan ke delapan. Waktu yang tidak pernah akan aku lupa, satu kalimat yang merubah nasib dua orang begitu drastis.


    “Selamat Ulang Tahun.”


    Entah apa yang aku pikirkan, di ruang kelas kosong yang hanya ada aku dan orang itu kalimat yang aku tidak mengerti kenapa aku ucapkan itu keluar begitu saja.


    Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan beberapa perempuan, yang juga teman sekelasku bahwa hari itu adalah hari ulang tahun seseorang. Dia yang selalu bersama dirinya sendiri, dia yang namanya selalu berada di paling bawah pada daftar prestasi.


    Dia yang hari itu secara tidak sadar aku cintai, dan mulai mencintaiku.


    Mungkin ini semua salahku.


    Aku tidak bisa mengutuk kalimat “Selamat Ulang Tahun”, mengutuk diriku sendiri, ataupun orang-orang yang menyebut bahwa hari ini adalah ulang tahunnya, apalagi orang yang berada di tengah semua ini, orang yang memiliki nama yang terlalu indah untuk kusebut, nama yang tidak pantas aku ucapkan.


    Risa, anggap saja itu adalah namanya. Namun aku akan sering memanggilnya dengan “Orang Itu” daripada namanya, karena sekali lagi… aku tidak pantas untuk memanggil namanya, walaupun misalnya dengan nama samaran.


    Reaksinya saat itu sangat sederhana, sebuah anggukan.


    Walau hanya beberapa detik, momen itu terasa sangat lama. Seperti satu tahun, sunyi memeriahkan ruangan kelas yang saat itu berisi sepasang siswa sekolah dasar ditambah tiga puluh pasang kursi-bangku serta beberapa lemari.


    Tidak ada suara namun kesunyian itu menusuk ke dalam telinga, rasa sakit yang lebih dari mendengarkan sebuah truk tepat di depan mesinnya.


    Kesunyian itu runtuh begitu saja, diakhiri dengan suara beberapa kertas yang diatur. Orang itu merapikan buku-buku yang ada di atas mejanya lalu memasukkannya ke dalam tas.
    Aku yang berdiri di sampingnya berusaha mengintip ekspresinya, namun sepertinya orang itu lebih memilih menyembunyikan wajahnya dariku.


    Selintas, sepertinya wajah orang itu memerah, semerah teliganya yang berwarna tomat, satu-satunya bagian kulit di kepalanya yang bisa aku lihat dengan jelas.


    Dia pergi dengan terburu-buru, menggendong tas di salah satu bahunya.


    Saat itu aku berharap dia tersenyum di hari istimewa baginya. Mungkin karena sepanjang hari hanya aku yang mengucapkan selamat padanya.


    Sekali lagi aku mengingat apa yang dikatakan orang yang membocorkan informasi bahwa hari itu adalah ulang tahun orang bernama “Risa”. Semua orang yang mendengarkan setuju bahwa mereka tidak peduli hari itu adalah ulang tahunnya atau apapun. Mereka hanya membicarakan betapa tidak pedulinya mereka dengan orang itu.


    Padahal menurutku, sikap mereka menunjukkan mereka sangat peduli. Walau dengan cara yang berbeda.


    Tepat satu bulan setelah tahun ajaran baru, sembilan belas jam setelah aku mengatakan mantra yang memulai roda cerita ini. Secarik kertas tertidur begitu saja di depan mejaku. Walau sepertinya terlalu dini untuk mengisi kertas yang berisi angket tersebut, wali kelas sudah membagikannya pada semua orang yang duduk di atas bangku panjang, pada mereka yang duduk berpasangan di setiap meja.


    SMP


    Pilihan Pertama: _______________


    Pilihan Kedua : ________________


    Pilihan Ketiga: _________________




    Sebuah angket yang sepertinya tidak akan berpengaruh sampai sebelas bulan dari hari itu. Aku menulis nama sekolah yang paling dekat dengan rumah, walau kelihatannya sulit untuk masuk ke sekolah favorit itu.


    Saat itu juga pertama kalinya aku dan orang itu berbicara melebihi total delapan kata.
    “Pilihan pertama kemana?”


    “Mungkin SMP 1”


    “Bukannya susah masuk situ?”


    “Yang penting deket rumah, lagipula kemungkinan aku masuk dengan prestasi sekarang, 70%,”


    Orang itu menatap kertas yang aku tumpuk di bawah pensil, mungkin memastikan apa yang kutulis sama dengan apa yang kukatakan. Tidak lama dia segera menulis sesuatu di atas angket itu lalu dibawanya ke meja guru dan ditaruhnya kertas itu.


    Kertas yang isinya aku ketahui pasti berbulan kemudian.


    Suatu hari di tahun 2004, Tepat enam hari setelah masa orientasi berakhir.


    Aku berhasil masuk ke pilihan pertama sekolahku, membuatku bernapas lega karena uang jajanku tidak akan terpotong ongkos.


    Pelajaran terakhir di selasa sore hari itu adalah Elektronika/Keterampilan Rumah Tangga, dimana siswa harus memilih satu dari dua pelajaran itu. Tentu aku memilih Elektronika, toh pelajaran yang lain dikhususkan untuk jenis kelamin yang berlainan denganku.
    Dua kelas bergabung, dan salah satu ruangan kelas digunakan untuk elektronika dan yang satunya digunakan untuk Keterampilan Rumah Tangga. Sistem yang menurutku kurang efektif karena yang memilih elektronika jauh lebih banyak dari yang lain.


    Sampai detik itu aku tidak tahu, dimana orang itu sekolah. Sebelumnya aku selalu membayangkan apa yang dia lakukan ketika orang itu di-orientasi, pelajaran seperti apa yang dia dapatkan di sekolah barunya.


    Namun jawabannya adalah “Sama denganku”
    Setahuku, satu tahun lalu Risa memiliki rambut pendek dan terakhir aku bertemu dengannya sebelum ujian nasional, rambutnya melebihi bahu sedikit. Ya, itu kalau dia tidak memotongnya ketika masuk SMP atau ketika orientasi.


    Ketika berpindah kelas, seorang perempuan dengan rambut yang dikepang dua, dililitkan di samping kepalanya berpapasan denganku. Untuk sebentar, aku tertipu. Warna kulitnya yang lebih coklat dan rambutnya yang tidak biasa.


    Walau enam tahun belajar di satu sekolah, saat dimana aku memperhatikannya atau berbicara dengannya bisa dihitung dengan jari. Bahkan 10 bulan terakhir di kelas 6 aku dan orang itu duduk di bangku yang sama, berbagi meja yang sama, namun sangat jarang saling menatap atau berbicara.


    Kenapa? Entah.


    Meski aku tahu prestasinya meningkat drastis, aku masih tidak percaya.
    Walau kadang aku meminjamkannya catatan yang kugunakan, aku masih juga tidak percaya.
    Aku berbalik, lalu memanggil namanya.


    Orang itu berhenti dan berbalik, dengan wajah yang sedikit kemerahan, dia mengangguk lalu tersenyum kecil. Melambaikan tangan lalu berbalik kembali. Entah kenapa, aku berharap dia balas memanggil namaku.


    Aku segera menuju ke pintu kelas yang digunakan untuk pelajaran Elektronika, tapi aku dihentikan oleh seseorang yang memanggil namaku.


    “Ega!”


    Aku berhenti lalu mencari arah suara itu.


    Menunjuk ke kelas yang akan aku masuki, pemilik suara itu menambahkan


    “Itu ruang kelasku.”


    Entah wajahku seperti apa, mungkin merah seperti kepiting matang.


    Saat itu aku belum menyadari apa yang aku rasakan, hanya jantungku berdegup lebih kencang. Hanya karena aku mengetahui, orang itu sangat dekat denganku. Seorang yang baru enam kali aku panggil namanya,


    Orang itu, Risa.


    Mungkin karena kalimat yang kuucapkan di ulang tahunnya yang ke 12,


    Mungkin karena aku berhasil masuk ke sekolah favorit ini


    Mungkin karena aku meminjami orang itu catatan yang kugunakan untuk belajar


    Mungkin karena…


    Semua alasan yang kutujukan terhadap keadaan saat itu berasal dariku. Akulah yang menarik benang merah takdir, merajutnya menjadi kain yang menyelimuti aku dan orang itu.
    Aku yang bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi sejak saat itu.


    Kalimatku yang menjadi domino pertama yang kujatuhkan, entah apa yang akan terjadi dengan susunan domino dunia, takdirku dan takdir orang itu, saat itu aku tidak tahu. Kalau saja saat itu aku menghentikan jatuhnya susunan domino itu, hal yang berbeda mungkin terjadi. Hal yang tidak akan aku ingin aku tarik kembali dari susunan kejadian, hal yang ingin aku hapus dari buku sejarah kehidupanku.


    Entah apa yang merasukiku, hari yang sama aku menyadari orang itu sangat dekat denganku. Selesainya semua pelajaran aku duduk diam, seperti menunggu seseorang. Atau memang aku sedang menunggu seseorang?


    Mataku yang tidak bisa tenang, mengunci perhatian pada pintu kelas yang aku gunakan saat elektronika tadi siang.


    Orang yang tidak aku kenal, teman yang aku kenal saat orientasi, orang yang tidak aku kenal, orang yang wajahnya mirip dengan sahabatku saat SD, orang yang tidak aku kenal, orang yang tidak aku kenal, orang yang tidak aku kenal, orang yang tidak aku kenal…


    Siapa yang aku tunggu?


    Jawabannya sudah jelas aku tahu pasti, tapi aku berusaha menyangkalnya.


    Kenapa?


    Mungkin karena aku, bahkan dia begitu dekat aku tidak menyadarinya.


    Bukan itu, tapi kenapa aku menunggunya?


    Apa sudah cukup aku menjawab dengan jawaban itu lagi? Entah!
    Langit mulai berubah memerah. Matahari yang mulai menggelap terlihat jelas dari refleksinya di atas kaca ruangan itu membuat fatamorgana dunia fantasi, dua matahari yang tenggelam di dua arah berbeda.


    Masih diam di tempat yang sama –statis.
    Seorang perempuan dengan rambut panjang keluar dari ruangan itu, dan sepertinya dia adalah orang terakhir yang keluar dari ruangan itu, seorang guru dengan tas jinjing kulit di salah satu lengannya dan sebuah buku di lengan satunya.


    Sepertinya sia-sia aku duduk di sini.


    Tujuanku sudah hilang sejak awal.


    Orang yang kutunggu sudah tidak ada lagi di ruangan itu.


    Aku mendesah kesal sekaligus lelah, seperti seorang pekerja yang mengerjakan tugasnya semalam suntuk lalu berangkat terlalu pagi padahal hari itu adalah hari libur.


    Tapi cerita tentangku dan dia di hari itu tidak berhenti sampai sini.


    Aku melepas pandangan dari pintu itu, merasa ada yang kurang dari diriku saat itu.


    Bukan karena aku kehilangan tujuan untuk ada di tempat itu, tapi memang ada yang kurang dari yang seharusnya menempel padaku.


    Aku meninggalkan jaketku di ruang kelas, jadi aku kembali ke ruang kelasku. Ruang ketiga dari jejeran ruang kelas siswa tahun pertama di sekolah itu.


    “Eh… em…”


    Seseorang berdiri di depan pintu kelasku, yang tidak aku sadari sejak tadi.


    “Aku kira kau masih di dalam.”


    Sepertinya akan terdengar bodoh jika aku menjawab dengan “aku juga kira kamu masih di dalam kelasmu” jadi aku memutuskan untuk tidak mengatakannya.


    Masuk ke dalam kelas tanpa berkata apapun. Bukan karena aku ingin bersikap dingin padanya, tapi aku tidak mau dia mendengar suaraku saat dalam keadaan emosiku yang sekarang.


    Gembira, lelah, malu dan merasa bodoh.


    Beberapa langkah di dalam kelas, aku mendengar suara satu hentakan kaki, mengasumsikan orang yang menunggu di luar berusaha meninggalkan tempat itu.


    “Tunggu sebentar, aku cuma mengambil barang ketinggalan.”


    Suara kerasku menghentakan kaki itu tidak terdengar lagi.


    Aku kembali ke tempat orang yang menunggu itu, lengkap bersama jaket abu-abu yang aku lupakan sebelumnya.


    “Kau… berhasil diterima di sini ternyata.”


    Kedua kalinya, kalimat yang ingin kukatakan didahului orang itu.


    “Aku berpikir gitu juga.”


    Tidak perlu merasa bodoh untuk mengaatakannya, kali ini. Kalau kami saling tidak tahu keberadaan satu sama lain di tempat ini, artinya ada sesuatu yang salah.


    Aku duduk di tempat aku duduk sebelumnya, ketika menunggu orang itu. Dia duduk di bangku yang berhadapan dengan tempatku itu. Kami berbincang cukup lama, walau kebanyakan hanya basa basi. Membicarakan tentang keadaan teman-teman sekolah dasar, keadaan kelas sekarang, pelajaran, dan lain lain.


    Dari hasil pembicaraan ini, aku simpulkan alasan kenapa kami tidak saling mengetahui bahwa perwakilan dari sekolah dasar kami yang masuk ke sekolah ini adalah kami berdua adalah saat orientasi kami berada di kelompok yang jauh, aku kelompok satu dan dia kelompok sembilan. Terlebih lagi guru-guru sekolah dasar tidak memberi tahu siapa yang masuk ke sekolah mana.
    Matahari semakin rendah, suara mobil-mobil yang lewat semakin jarang menjadi tanda bahwa kami harus menghentikan obrolan ini.


    Aku dan orang itu berpisah tepat di gerbang sekolah, karena arah rumah kami berlawanan.
    Akhir hari seperti ini terjadi berkali-kali. Mungkin bisa dibilang setiap hari berakhir dengan aku berbincang sebentar dengannya lalu berpisah di gerbang sekolah denganku yang mengangkat tangan tanpa melambai dan dibalas dengan senyumannya.


    Seakan terpatri dalam memoriku, sebuah lukisan yang sama aku lihat nyaris di setiap waktu yang sama, senyumnya dengan latar matahari yang redup. Sebuah lukisan yang akan aku beli walau harganya lebih mahal dari lukisan Monalisa.


    Sebuah keajaiban, atau mungkin keinginan terpendamku yang dikabulkan Tuhan. Atau juga mungkin kenakalan sang takdir itu sendiri. Atau juga hasil dari apa yang aku lakukan selama ini.


    Lagi, alasan yang aku cari terlalu berbelit-belit. Ini semua terjadi karena seseorang menulis cerita ini dengan arah yang sudah ditetapkan. Aku tidak bisa menolak.


    Awal tahun kedua, hari pertama aku sekolah di sekolah menengah yang paling favorit di kotaku. Lima tahun sebelum dekade pertama di millennium kedua berakhir. Hampir semua orang meninggalkan kelas yang baru saja ditentukan tiga minggu sebelumnya.
    Aku mencari tempat yang stragegis, mudah melihat papan tulis, namun tidak terlalu dekat dengan meja guru. Berada di dekat jendela tempat cahaya matahari bisa masuk, tapi tidak jauh dari pintu masuk.


    Meja yang didesain untuk berpasangan membuat tempat yang aku ingin gunakan selama satu tahun semakin sedikit. Tapi untunglah, meja terdepan yang paling jauh dari meja guru sekaligus di dekat pintu masuk baru diisi satu orang. Aku meninggalkan tasku di tempat itu, menandai bahwa tempat itu sudah ada yang menempati.


    Tapi bukan tempat ideal yang aku inginkan dari tempat itu. Tapi rasa penasaran dengan orang yang menggunakan gantungan kunci di tasnya, seseorang yang sepertinya memiliki hobi yang sama denganku. Seseorang yang mungkin bisa aku jadikan tempan pertama di kelas yang cukup asing bagiku.


    Sebuah gantungan kunci berbentuk boneka. Sekilas seperti anak ayam, namun lebih seperti burung unta. Seekor hewan yang muncul dalam permainan yang aku suka. Hewan yang banyak disebut dengan “Chocobo” dari permainan “Final Fantasy” yang merupakan judul permainan yang aku sangat suka saat itu.


    Yang aku inginkan hanya seseorang yang bisa aku ajak bicara. Seseorang yang setidaknya memiliki topik pembicaraan ketika luang waktu.


    Mungkin tahun ini aku akan jadi orang yang berbicara banyak pada orang di sebelahku ini.
    Itu yang aku pikirkan saat itu.


    Sayangnya, aku tidak bisa. Walau ternyata aku sebelumnya sering berbicara dengan si pemilik tas itu, di berbicara dengan dia di depan orang banyak sepertinya tidak terlalu nyaman.
    Atau mungkin aku terlalu terbiasa ngobrol dengan orang itu dengan situasi khusus.


    Cahaya merah matahari sore sebagai lampu, dan suara kendaraan bermotor yang terburu-buru karena sudah waktunya pulang menjadi musik latar. Mungkin keadaan itu yang membuatku nyaman berbicara, dan mendengarkan apa yang dibicarakannya.


    Keadaan yang terulang, seperti dua tahun sebelumnya. Seorang yang dipanggil Ega dan seorang yang dipanggil Risa, meja yang paling sepi di antara meja-meja lain di kelas.
     
    Last edited: Oct 2, 2011
  2. angel_sweetsnow4 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Aug 26, 2011
    Messages:
    17
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +8 / -0
    terlalu datar ceritanya..
    nggak rame.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.