1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Action^Replay

Discussion in 'Fiction' started by om3gakais3r, Oct 1, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. om3gakais3r M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Feb 25, 2009
    Messages:
    3,040
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +5,622 / -0
    Setelah pikir2 kayaknya saya post di sini aja deh.. lagipula action^replay udah pernah selesai, terus ditolak sama penerbit.. :sigh:

    ini versi yang udah saya bikin ulang,... dari goresan pertama.. :sepi: (Baru jadi 2 bab,... termasuk prolog :sigh:)
    kalo ada komen, jangan sungkan2... :maaf: saya butuh bantuan temen2 sekalian.. :maaf:

    Sinopsis:
    Satu mimpi yang terulang, namun ketika bangun ingatan tentangnya lenyap. Kaka, seorang siswa sekolah menengah atas mengalami ini, namun suatu hari mimpi itu tercampur dengan realitasnya. Awalnya, kasus bom yang terjadi di Paris dua ratus tahun yang lalu terulang di kota tempat Kaka tinggal, namun bukan hanya itu. Pembunuhan dan kejadian lain terjadi persis seperti dua ratus tahun yang lalu di kota yang berada di berbeda benua. Satu-satunya hal yang bisa menghentikan tragedi di kedua waktu tersebut adalah mencegahnya ketika pertama kali terjadi, yaitu dua ratus tahun yang lalu dengan membuatnya terlahir kembali di masa lalu menggunakan Action^Replay. Awalnya Kaka mengira hanya mencegah tragedi itu adalah tanggungjawabnya sendiri, namun Rose salah seorang teman sekelas Kaka dapat menggunakan Action^Replay juga. Apakah hanya Rose? lalu apa itu Action Replay?

    Prolog: 000 ~Akhir, Awal.~

    Mawar merah, tulip, lili, dan mawar biru terjejer di samping kiri taman itu. Walau keempatnya tidak berbunga, aku tahu susunan keempat semak tersebut adalah lima bunga yang disukai Vanessa.


    Taman itu kecil, hanya dua belas kali delapan meter, namun cukup luas untuk sebuah taman yang dimiliki hanya seorang perempuan. Jelas pemiliknya bukan perempuan biasa. Dia adalah putrid hartawan pemilik kekayaan yang bisa menundukkan kepala seorang Ratu di Eropa Waktu itu.


    Taman kecil yang terawat, namun tetap terlihat seperti reruntuhan, mungkin sang pemilik memang menyukai tema taman seperti ini, atau mungkin menyimpan kenangan yang ada dalam tata letak taman yang tidak berubah selama lebih dari lima tahun. Di bagian tengah taman itu berdiri sebuah gazebo kecil sejajar dengan semak semak yang ada di bagian kiri taman kalau dilihat dari gerbang masuk taman tersebut.


    Aku duduk di bawah lindungan atap gazebo tersebut, menikmati teh dengan aroma khas jeruk-earl grey yang mungkin salah satu minuman favoritku. Uap air masih mengepul dari atas cangkir putih dengan hiasan semak anggur di sekeliling badan cangkir itu. Pelayan rumah yang baru saja menghidangkan teh tersebut masih berdiri di samping meja gazebo, menunggu tamunya menikmati teh tersebut lalu menundukan kepala dan kembali ke rumah utama.


    Dari tempat aku duduk terlihat jelas setiap dinding kecil yang membatasi taman itu dari padang rumput luas –sebuah [savanna|sabana], dinding pendek dengan tinggi satu meter yang sengaja dipertahankan bentuknya, seperti sebuah dinding yang baru dirobohkan.


    Tidak lama, isi cangkir teh mulai menyusut hingga setengahnya. Walaupun aku habiskan sedikit demi sedikit –seteguk kecil per menit, namun orang yang mengundangku sekaligus pemilik taman ini belum muncul juga.


    Vanessa, pemilik taman ini sekaligus orang yang mengundangku ke tempat ini akhirnya datang. Keluar dari bangunan utama dengan menggunakan gaun merah jambu berjalan menuju gerbang taman. Setiap langkahnya menambah kecepatan jalannya hingga akhirnya Vanessa berlari, menyambut kedatangan tamunya.


    “Arvel!”


    Tanpa ada sedikitpun tanda kehabisan nafas, Vanessa memukul meja, menggoyangkan semua yang ada di atas meja; arloji saku milikku, sebuah kotak hitam dan cangkir teh. Untungnya tidak cukup untuk menumpahkan teh atau menjatuhkan satupun benda di atas meja.


    “Untunglah… aku kira kau sudah berangkat.”


    Vanessa memegang tanganku, lalu duduk di sampingku.

    “Kau pikir aku bakal pergi sendiri?

    Bukannya kamu yang merengek ingin ikut?”


    “Hehe…”


    Aku yang seharusnya berangkat (pulang) ke Paris untuk mengembalikan sepasang benda yang disebut “Heart of Paris” terpaksa walau tanpa paksaan, aku harus mengunjungi satu tempat dulu, taman Roseque –nama tempat ini.


    “Tunggu sebentar, ya.”


    Vanessa berlari ke dalam gedung utama. Setelah beberapa saat, dia keluar dengan menggeser sebuah koper besar. Menggeser, bukan mengangkat. Mungkin karena terlalu besar dan berat untuk dibawanya sendiri. Di belakangnya pelayan yang tadi menyajikan kopi untukku sepertinya ingin membatu Vanessa untuk mengangkat koper itu namun kelihatannya Vanessa menolak untuk dibantu.
    Aku melebarkan mulutku sedikit, membentuk ekspersi yang disebut “senyum”. Berdiri dan menggenggam arloji serta kotak hitam yang ada di atas meja, memasukkanya ke dalam saku lalu berjalan keluar dari taman Roseque.


    “Kau langsung naik ke atas kereta kuda saja. Aku yang angkat benda ini.”


    Vanessa menatap wajahku dengan bingung, lalu menganggukkan kepala sedikit dilanjutkan dengan langkahnya menuju kereta kuda yang sengaja aku sewa untuk mengantarku dari Venisia ke Paris.


    Sedikit kesusahan mengangkat koper yang tebalnya lebih dari dua buah buku undang-undang dengan satu tangan, aku mengerahkan kedua tanganku untuk mengangkatnya. Tapi sebuah suara datang dari arah pintu memotong konsentrasiku.


    “Tuan Silversky.”


    Suara itu dari pelayan rumah.


    “Tolong jaga nona Vanessa.”


    Pelayan itu menundukkan badan sedikit.


    “Tentu saja, dia yang dulu sahabatku, orang yang paling dekat denganku, dan sekarang adalah fiancée-ku, tunanganku. Mana mungkin aku tidak?”


    Pelayan itu tersenyum lalu menutup pintu samping gedung itu.


    Aku akhirnya bisa mengangkat koper itu dengan kedua tanganku dan dengan perjuangan keras akhirnya bisa menyimpan koper itu ke atas bagasi kereta kuda yang terletak di bagian belakang.


    “Ar… kamu nggak apa-apa? Nggak biasanya sampai keringatan gitu…”


    “Haha.. di Venisia aku cuma duduk dan ngerjain kertas-kertas… jadi kayaknya tubuhku mulai berkarat.”


    Aku duduk di hadapan Vanessa, dan setelah beberapa saat pengemudi kereta kuda menjalankan kendaraannya, menuju Paris.


    “Paris, ya… udah lama aku nggak ke sana.”
    Vanessa menggumam sendiri sambil memperhatikan dunia yang terus bergerak di luar kereta kuda.


    “Aku yakin tidak jauh berbeda sejak terakhir kita ke sana.”
    Aku menggenggam arloji yang tadinya ada di dalam sakuku ke atas tanganku, bukan untuk mengecek waktu tapi untuk sesuatu yang lain.


    Arloji dengan kaca pelindung yang setengah retak, namun masih terus berdetak menujukan waktu dengan tepat. Bagaikan sebuah medali emas bagiku, sebuah tanda aku mengejar cita-citaku; seorang arkeologis.


    “Masih seperti dulu ya… tapi aku yakin tempat itu sudah banyak berubah…”


    Vanessa mengalihkan pandangannya ke arah arloji yang kupegang.


    “Musium arkeologi…”


    Menutup pelindung arloji, aku menyimpannya ke dalam saku jas coklat yang sedang aku kenakan.
    Musium arkeologi Paris adalah tempat yang sebenarnya aku tuju dari perjalanan ini, tempat aku harus mengantar sepasang benda yang terpisah dari tempat seharusnya berada, sekaligus tempat bekerjaku mulai lusa.


    “Ingin pernikahan kita di paris ,ya? Atau mungkin ingin mengunjungi musium arkeologi di Paris…”


    Vanessa sedikit terkejut, jelas karena aku mengatakan tujuan aslinya ingin kembali ke Paris.


    “Ng-nggak juga… aha-ahahaha…”

    Sesampainya di Paris, kami langsung menuju sebuah rumah kecil di pinggir kota. Sebuah rumah biasa yang dijual beberapa waktu yang lalu karena penghuninya pindah ke rumah yang lebih besar.
    Setelah selesai menaruh semua barang-barang ke dalam rumah, Vanessa menarik lenganku ke luar rumah.


    “Ar… ayo sekarang kita ke musium itu…”


    “Ah… iya sabar… tunggu dulu sebentar… ada yang harus aku bawa.”


    Vanessa melepaskan tangannya dari lenganku, memperbolehkanku mengambil sekotak hitam lainnya dari tasku yang baru diturunkan dari kereta kuda. Kotak itu sebesar batu bata, tidak kurang tidak lebih.


    “Aku ada hadiah untukmu, tapi sesampainya di musium harus dikembalikan.”


    “Wah! Jelas aku mau.”


    Aku mengambil kotak lainnya yang lebih kecil dari dalam bajuku. Membuka kedua kotak tersebut dan memperlihatkan isinya pada Vanessa.


    Kotak yang lebih kecil berisi sebuah bros dengan batu ungu kemerahan, sebuah kristal berbentuk belah ketupat sebagai daya tarik utama yang berada di tengah bros tersebut. Kotak yang menyerupai batu bata berisi sebuah kalung batu kristal merah tua.


    Vanessa berpikir sejenak lalu memutuskan untuk memilih kalung merah tua.
    Aku lalu membuang kedua kotak tersebut lalu memasangkan kalung itu pada leher Vanessa. Entah mungkin karena kecantikannya, atau karena rambutnya yang hitam kemerahan. Kalung itu sangat cocok dengannya.
    Sesampainya di Musium, aku menyapa petugas keamanan lalu mendapat ijin masuk khusus arkeolog.


    Vanessa lalu menjelajah musium, sedangkan aku mengantarkan beberapa dokumen ke kepala musium.
    Setelah beberapa saat, aku keluar dan mencari Vanessa. Aku kira Vanessa akan memperhatikan dari baris ke baris setiap barang yang ada dipajang dalam musium ini, tapi ternyata aku salah. Vanessa hanya berdiri di depan sebuah reruntuhan yang disusun ulang sesuai bentuk asalnya.


    “Ar, ini tempat apaan?”


    “Altar waktu, Altar hati, Altar tanah, Altar kehidupan, Altar cerita. Terlalu banyak namanya. Aku yang menyusun ulang ke dalam musium ini. Seakan aku terpanggil untuk melakukannya.”


    “Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang membangkitkan ingatanku di sini, padahal baru pertama aku lihat altar ini.”


    Aku yang meneliti altar ini, mencocokkannya dengan dokumen-dokumen lama dari seluruh eropa dan mendapat hasil yang menarik.


    “Oh ya, Van. Kalung yang tadi masih dipakai kan?”


    Vanessa mengangguk


    “Kedua perhiasan itu tempatnya adalah di atas altar ini.”


    Vanessa lalu mulai melepaskan kalung itu, lalu digenggam di dalam tangan kirinya.


    “Tapi bukan sekarang waktu mengembalikannya. Kita pakai dulu perghiasan ini untuk sebentar saja.”


    “Eh? Buat apa?”


    Vanessa menarik tangannya yang sudah menjulur ke arahku dan menaruhya di depan dadanya.


    “Menurut dokumen kuno, sekitar dua ratus tahun yang lalu tempat ini digunakan untuk pernikahan. Begitu juga dengan kedua perhiasan ini”


    “Terus?”


    “Walaupun nggak formal, aku ingin melakukan prosesi pernikahan orang-orang abad ke 17.”
    Vanessa tersenyum lebar, matanya bersinar, wajahnya seakan menunjukkan kalimat “Aku ingin mencoba melakukannya!”


    “Jadi… apa yang harus aku lakukan?”


    “Kamu berdiri di situ, menghadapku dan mengenakan kalung itu di lehermu, nah… setelah itu serahkan saja padaku.”


    Vanessa mengangguk lalu mengenakan kembali kalung yang sudah dilepasnya.


    Aku menarik nafas panjang, mengingat kalimat yang muncul di dokumen tua dan mempraktekkannya.
    Berlutut, menundukkan kepala lalu memegang tangan mempelai wanita


    “Sumpahku berada di bawah tanganmu, wahai mawar yang mekar di malam bulan purnama.”


    Aku mengintip sedikit ke wajah Vanessa yang sepertinya menahan tawa lalu berdiri, namun masih menggenggam telapak tangannya


    “Cintaku adalah cinta jiwaku pada jiwamu dengan saksi tanah kota…emm.. kota.... Paris ini.”


    Aku melingkarkan tanganku ke leher Vanessa lalu menggapai bagian belakang kalung.


    “Biarkan kecantikan yang mengekangmu berubah menjadi kecantikan yang abadi, kecantikan yang hanya ada satu, bagiku dan bagimu.”


    Membebaskan Vanessa dari kalung itu dengan melepaskan pengait yang menjadi penahan tali kalung itu lalu aku genggam dengan tangan kiriku. Bros yang aku keluarkan dari saku bajuku aku pasang di kerah bagian depan Vanessa.


    “Dan dengan ini aku menyelesaikan sumpah cintaku yang tidak terbatas waktu.”
    Aku mencium kalung yang ada di tangan kananku lalu mencium kening Vanessa. Dilanjutkan dengan memeluk erat tubuh yang lebih kecil dariku itu.


    “Sudah?”


    “Sudah.”
    Setelah Vanessa mengkonfirmasi selesainya prosesi itu, kami tersenyum. Walaupun masih 2 hari sebelum pernikahan yang sebenarnya, kami merasa prosesi ini sudah segalanya.


    “Aku tidak sabar menunggu 2 hari lagi.”


    “Hm.. aku juga.”


    Hening. Untuk sebuah musium yang belum dibuka, itu normal. Tapi sepertinya tidak terdengar suara langkah kaki kuda di luar ataupun pejalan kaki. Tidak juga terdengar obrolan orang-orang yang sering berhenti di depan musium ini.


    Bahkan suara nyamuk atau lalat tidak terdengar.


    Hening. Terlalu hening sehingga telinga mulai terasa sakit.
    “Ar, ada yang aneh.”



    Ya, siapapun dalam keadaan ini pasti merasa aneh. Matahari yang seharusnya memerah karena waktu senja malah sangat terang di luar.


    TRRRR TRRR TRRRRR


    Suara getaran terdengar dari saku bajuku.


    Aku mengeluarkan semua benda dari sakuku dan tersisa arloji rusakku.


    Aku membuka penutup arloji dan mendapati jarum jamnya berputar maju sangat cepat
    “A.. Ada apa ini?!”


    Vanessa memelukku dengan erat namun dilepaskannya lagi karena sesuatu


    “Ah! Panas!”


    Bros di kerahnya seharusnya berwarna merah gelap, namun sedikit demi sedikit mulai berubah terang.
    Vanessa berusaha melepaskannya namun sepertinya tidak bisa. Malah bros itu menempel dengan kulitnya.



    “Ar, ada apa ini?!”


    “Aku juga nggak tau! ”


    Aku memeriksa kristal merah itu, namun sepertinya tertempel begitu saja dengan kulit Vanessa, menyatu bagaikan tulang yang muncul keluar dari kulit.


    Karena terlalu khawatir dengan Vanessa, aku melupakan kalung yang tadinya dipakai Vanessa. Kalung itu menancap ke dalam tangan kiriku. Menembus telapak tanganku hingga muncul di punggung tanganku.
    “Agh!”


    Tali kalung itu membelit pergelangan tanganku dan berubah menjadi tanda merah di atas kulitku.



    “Ar, Aku takut…”


    “Pejamkan saja matamu, Van.”


    Aku memeluk Vanessa dan memperhatikan apa yang terjadi dengan tangan kiriku. Warna kristal yang asalnya ungu kemerahan berubah menjadi biru muda.



    Suara gemeretak dari setiap penjuru ruangan membuat sebuah kengerian tersendiri. Atap yang kokoh bagaikan istana pasir yang terinjak, jatuh begitu saja dan berubah menjadi serpihan kecil sebesar pasir itu sendiri. Bahkan sangat lembut sehingga walaupun menimpaku dan Vanessa, kami tidak merasakan apa-apa.
    Dinding-dinding mulai hancur, seperti sebuah tumpukan debu yang tertiup angin, semua barang-barang meleleh, bersatu dengan lantai dan akhirnya berubah menjadi gumpalan putih, lalu lama kelamaan tersedot ke dalam tanah yang juga berubah menjadi warna putih. Akhirnya menyisakan kami berdua di dunia yang penuh dengan warna putih.


    Tidak lama kemudian, tubuhku dan Vanessa bagaikan kehilangan warna. Bukan… lebih seperti kehilangan keberadaan. Bagaikan tinta yang terus diberi air, berubah menjadi transparan.
    “Arvel… ”


    Aku hanya bisa memeluk tubuh Vanessa yang mulai menghilang dengan tubuhku yang sama ‘hilang’nya dengan tubuh Vanessa. Semuanya berubah menjadi hitam.



    Dalam kegelapan yang semakin menelan semua cahaya, bibir Vanessa berbisik


    “Arvel… Ma Flemme”


    Tangannya menggapai pipiku. Lalu kubalas dengan pelukan erat


    “Vanessa, Mon Vent”

    Hatiku yang membeku terkristal oleh aliran waktu akan menelan kegelapan dan melahirkan cahaya. Jadikan kesadaranku tertidur, merubah semua fakta; atas menjadi bawah dan bawah menjadi atas.

    Mimpi, ketika otak manusia sedikit aktif di akhir periode “tidur”. Pada beberapa jam awal kondisi tidur manusia, otak menjadi pasif sehingga tidak ada keadaan sadar sama sekali, sering. Setelah beberapa jam, otak mulai aktif kembali dan secara literal, frekuensi gerakan kecil pada mata mulai meningkat, pada saat inilah biasanya mimpi terjadi.

    Mimpi secara psikologis adalah sebuah gambaran bawah sadar seseorang. Entah itu ingatan, keinginan terpendam, hal yang paling ingin dilupakan atau hal yang paling ditakutkan.

    Namun mimpi ini sedikit berbeda. Tempat yang benar-benar asing, latar waktu yang tidak mungkin terjangkau oleh ingatanku, tempat yang jarang kulihat di media ataupun aku pernah kunjungi.

    Terlalu detil untuk sebuah keinginan, terlalu kongkrit untuk sebuah ketakutan, dan terlalu panjang untuk… sebuah mimpi itu sendiri.
    Tercium sedikit bau garam, mencari asal dari bau itu, aku membuka mataku.

    Atap kamar, lengkap dengan lampu gantungnya, namun lebih buram. Curiga ada sesuatu yang menghalangi mata, aku mengusap kedua mataku. Keduanya basah, bukan karena embun atau hujan tapi dari cairan tubuh yang berfungsi utama sebagai pembersih organ pengelihatan.

    “Lagi… padahal mimpi itu tidak terlalu sedih”

    Memang sudah beberapa tahun terakhir mimpi itu sering muncul dan ketika aku terbangun, kondisinya tidak berbeda dari pagi ini.

    “…Lama-lama aku bisa bosan kalau selalu mendapat mimpi yang sama… walaupun sepertinya aku lupa mimpi yang berulang itu…”

    Hari ini seharusnya adalah hari pertama di awal semester dua tahun pelajaran 2011-2012. Di bagian selatan Indonesia, saat ini adalah waktu emas bagi pelajar untuk bersenang senang atau memulai konsentrasi untuk meningkatkan prestasi bagi para kelas 3 SMP dan SMU yang mengejar sekolah tingkat yang lebih tinggi, namun mood itu lenyap sejak pagi.

    Aku yang sudah sepenuhnya terbangun—lepas dari jeratan mimpi itu, turun dari kamarku yang di lantai dua menuju ruang makan di lantai satu.

    Di sana sudah menunggu Ayahku yang sedang membaca koran di atas meja makan dan kedua adik kembarku di atas sofa, menonton berita di televisi.

    “…tidak ada korban jiwa dan kerugian materil, namun yang dikhawatirkan adalah penyebab ledakan ini yang belum jelas...”

    Aku berjalan mendekati dapur dan mengambil kotak susu, menuangkannya ke gelas lalu menaruhnya di meja makan.

    “Ka! Hati hati… kayaknya TKPnya deket sekolah Kaka tuh…”

    Salah satu dari adik kembarku, tepatnya si laki-laki yang sedikit lebih manja dan lugu, berlutut di atas sofa dan berbalik, sengaja supaya suaranya sampai padaku yang ada di belakngnya.

    “Iya Ka… katanya kalau bener ledakan gas, kemungkinan ada ledakan susulan dan lebih ge--- aaduh!”

    Adikku yang lain (perempuan) mengikuti posisi kembarannya, namun lengan piyamanya tersangkut sehingga ia terjatuh, menjadi posisi tiduran di atas sofa.

    “Hmm, gitu ya…”

    Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan berita itu, tapi mungkin nanti sepulang sekolah aku akan melihat-lihat lokasi ledakan untuk membuang waktu di sore hari.

    Melihat reaksiku yang biasa, keduanya membicarakan sesuatu lalu berlari ke arah kamar mandi, satu area blind spot dari arahku duduk.
    Setelah beberapa saat, mereka berlari mendekatiku. Mereka tidak membawa benda yang mencurigakan, hanya saja ikat rambut yang selalu dipakai adik perempuanku tidak ada di tempatnya.

    Salah satu dari mereka mengambil piring yang di atasnya ikan tuna saus teriyaki kesukaanku

    “… Mau apa kalian?”

    Salah satu yang lainnya menyodorkan ikat rambut.

    “Kaka kayak ga semangat gitu sih… ”

    “Iya nih Kaka… kalo hari ini gagal, ikannya buat kita aja…”

    Dasar dua anak ini. Kalau makanan lain aku bisa tolerir tapi kalau ini…

    “Kalian udah kelas 1 SMP masa’ masih mainan kayak gini sih?!”

    Sebenarnya itu cuma alasanku supaya mereka tidak melanjutkan permainan ini, demi tuna teriyaki!!

    “”Kaka.. ayo tebak mana yang Shiva mana yang Ramuh…””

    Keduanya bergaya ala presenter ganda acara kuis berhadiah.
    Aku melihat ke arah jam, menunjukkan pukul 06:12, masih cukup waktu untuk bermain-main sedikit dengan si kembar.

    “Haah,.. ok lah..”

    Aku mengambil ikat rambut, memperhatikan pakaian kedua orang yang tersenyum lebar di hadapanku lalu mengikat rambut orang yang di sebelah kiri.

    “Ding Dong! Beneer!”

    Sebenarnya tebakanku bukan sekedar mengandalkan keberuntungan. Piyama Shiva dan Ramuh keduanya sama, namun piyama Shiva tersangkut jadi kemungkinan yang lengan piyamanya sebelah lebih panjang adalah Shiva, si adik perempuan yang harus aku ikat rambutnya agar aku bisa memenangkan permainan ini.

    “Haha… Kaka lebih sering menang daripada kalah.. gak kayak Ayah… ”

    Aku melirik ke arah ayah yang masih membaca koran. Mukanya sedikit cemberut mungkin karena iri dengan kemampuanku membedakan si kembar atau karena sedikit merasa tidak adil karena setiap si kembar bermain “Ikat Rambut Shiva”, mereka mengambil kaca mata Ayah jadi tidak bisa melihat siapa yang diikat rambutnya.

    “Shiva, Ramuh… cepat makannya. Kalian masuk lebih awal kan…”

    Suara yang jauh namun terdengar jelas, walaupun ada di dapur, sepertinya Ibu bisa mendengar kami sedang membuang waktu.

    “Iya maaaa”

    Setelah semua beres, kami semua berangkat dari rumah dengan urutan Shiva&Ramuh – Ayah –Aku. Sedangkan ibu tinggal di rumah.
    Menuju sekolahku, SMU Swasta Rubyhart tidak terlalu jauh. Hanya butuh dua puluh menit jalan kaki kalau santai dan sepuluh menit kalau dengan berlari atau menggunakan sepeda.

    Hari ini aku memilih jalan kaki.

    Di tengah perjalanan, aku melihat sebuah kawah di atas tanah kosong yang luas, dengan ukuran sekitar tiga kali tiga mobil sedan, kedalaman sekitar dua meter dengan lubang di tengah-tengahnya dan 10%nya keluar ke jalan sehingga mengganggu pejalan kaki.

    Aku harus ke dalam sana

    Ada apa di sana? Keingintahuanku menarikku ke arah kawah itu. Ya, mungkin saja aku bisa menemukan sesuatu

    Akhirnya aku bisa kembali


    Huh? Apa yang kutunggu lagi… aku harus ke sana.

    Aneh, jantungku berdebar secara tidak normal. Aku menerobos garis kuning yang dipasang sebagai penghalang bagi orang-orang yang ingin melihat tempat ini. Setiap langkah mendekati kawah itu, semakin cepat detak jantungku. Tanganku bergetar dan aku berkeringat, seakan sedang mengunjungi orang penting yang sudah lama tidak bertemu.

    Aku melangkahkan kakiku ke atas pinggir kawah yang ada di atas trotoar. Seperti ditarik oleh kekuatan yang tidak terlihat, namun ditambah keinginanku untuk mendekati lubang yang ada di tengah kawah tersebut.

    Semakin cepat, semakin cepat, semakin dekat dengan lubang itu. Aku merasa seperti burung yang sedang bertengger melihat kawanannya terbang di langit.

    Sedikit lagi… sebentar lagi… aku akan [kembali]

    Hanya satu meter lagi! Aku akan kem—

    “KA!”

    Suara itu menghentikanku. Aku berbalik dan melihat sekeliling. Sesosok laki laki dengan tinggi yang sedikit lebih pendek dariku tersenyu melambaikan tangan dari kejauhan.

    “KAKA! NGAPAIN DI SITU!! CEPETAN, UDAH TINGGAL SEPULUH MENIT LAGI SEKOLAH DIMULAI!!!”

    Ah, dia benar. Aku mengecek jam tangan yang menunjukkan pukul 07:20.

    “Yang sampai sekolah duluan traktir makan siang, ya!”

    Aku mengangguk dan segera meninggalkan kawah itu. Berlari menuju arah suara yang memanggilku itu, mengingat apa yang aku setujui dan dia yang berlari lebih dulu dariku.

    Bab 1
    : Bomber ~Flemme&Vent~

    Fae, sahabatku dari sejak SMP menghentikan langkahku yang hampir aku tidak bisa hentikan. Membatalkan keingin tahuan dan rasa nostalgia yang misterius menarikku ke bagian terdalam kawah dari ledakan misterius yang semalam terjadi.

    “Bisa masalah kalo telat hari ini.”

    Sekarang adalah hari pertama di semester dua, jadi pasti ada acara penyambutan atau upacara pembukaan semester dua. Tentu saja masalah besar kalau telat. Untung saja kau datang, kalau tidak aku mungkin sudah menggerayangi kawah itu karena rasa penasaranku.

    Aku berlari mengikuti Fae yang sudah duluan berlari mengejar waktu jam pertama sekolah. Dalam beberapa saat, akhirnya aku bisa menyusulnya, namun ketika demikian, kami sudah ada di depan gerbang sekolah.

    Waktu menunjukkan 07:24, masih beberapa saat sebelum jam pertama dimulai. Aku menaruh tasku di kursi kedua paling depan di sebelah jendela yang menghadap ke luar. Karena ruangan kelas ini di lantai dua, tempat paling nyaman adalah di samping jendela karena kalau bosan bisa melakukan observasi ke area di luar jendela, yang kebetulan bagiku itu adalah gerbang masuk dan area tengah sekolah yang merangkap sebagai taman.

    Baru beberapa detik aku duduk, seseorang menepuk punggungku dan menyodorkan kotak yang menyerupai buku dari belakang.
    Aku mengambil benda itu dan memasukkannya ke dalam tas secepat koboy menarik pistol.

    “Gimana?”


    Aku membalikkan badan dan memangku kepalaku di atas kedua tangan dengan jari saling bersilang, tersenyum ala penjahat yang merencanakan penghancuran dunia.

    “Hmm… Aku tidak sangka game itu cukup menarik.”

    Havin, sang ketua kelas dengan ekspresi dinginnya mengangguk.

    “Haha… bener kan?! Apa lagi saat Vaan…”

    “Havin! Hentikan dia! Atau ceramahnya akan memakan waktu sampai upacara berakhir!”

    Pembicaraanku terpotong Fae yang baru datang membawa setumpuk kertas di dalam plastik bening di tangannya.

    “Ka, hentikan. aku belum selesai memainkannya.”

    “jadi apa yang kau kasih tadi?!”

    “Tentu bukan game yang kupinjam, itu [Barang yang kau pesan]. Aku kumpulkan dari banyak sumber selama liburan.”

    “Woh! Thanks banget Vin! ”

    Aku berdiri lalu bersorak kegirangan dalam hati. Sudah setahun lebih aku mengumpulkan bahan untuk [barang yang kupesan dari Havin] namun sampai sekarang belum mencukupi. Jadi aku meminta Havin yang mempunyai akses ke arsip internasional untuk mencarikannya untukku.

    “Oh ya, Ka. Beberapa waktu yang lalu aku baru beli Final Fantasy yang terbaru. Hari ini mau sama-sama main di rumahku?”

    “Yup! Tentu saja! Lagipula aku tidak ada acara selesai sekolah”

    “Havin ikut juga nggak?”

    Fae menatap Havin dengan senyum. Havin yang sedang duduk di atas meja Fae yang tepatnya di belakangku hanya menjawab dengan anggukan kecil .

    “Oh, aku ada masalah dengan game yang ….”

    “Bisa kalian diam?!”

    Perkataan Havin terpotong, bukan olehku atau Fae tapi dari seseorang lain. Seorang perempuan yang baru datang. Rambutnya sepanjang dada dan diikat sembarangan dan di belakang, mungkin bukan karena keinginan sendiri tapi karena peraturan sekolah sejujurnya aku berpendapat gaya rambut sembarangan seperti itu tidak cocok digunakan siapapun. Iria, wakil ketua kelas yang terkenal dengan kedisiplinannya dan kaca mata kotaknya.

    “Setidaknya jangan membicarakan hal yang merusak reputasi <Top 10>, untung saja tidak ada orang lain yang mendengar pembicaraan kalian.”
    Aku baru sadar, tidak ada orang lain selain kami ber-empat.<Top 10> adalah pelajar yang berada di peringkat lima besar se-sekolah untuk berkumpul tanpa alasan.

    “Hah? Kalian tidak tahu? Cuma <Top 10> saja yang tidak harus upacara di aula. Yang lain sekarang sudah berkumpul di sama sejak jam 7 tepat tadi.”

    Jadi itu alasannya

    “Pokoknya kalian jangan merusak image <Top 10>”

    Iria berdiri di di samping tempat kami berbicara sambil memasang kedua tangannya di pinggang.

    “Apa urusannya denganmu? Kami berbicara tentang apapun bukan kepentinganmu.”

    Dengan nada dinginnya, havin membalas perkataan Iria. Namun Iria membalas dengan tatapannya yang tajam. Setelah beberapa saat, Iria menghela nafas lalu menaruh tasnya di mejanya yang tepat di sebelahku. Setelah itu Iria keluar ruangan.

    “Tch, sudah lama aku tidak suka sama orang itu. Kenapa aku harus sekelas dengan orang itu selama dua tahun?”

    Havin berbicara dengan dirinya sendiri dengan nada kesal.

    “Aneh juga, <Top 10> sekelas selama dua tahun.”

    Aku mengangguk pada pernyataan Fae

    “Ka, nggak biasanya.”

    “hmm? Apa?”

    Havin menepuk kepalaku sehingga aku mengalihkan pandangan padanya.

    “Kalau orang lain kau setidaknya marah atau setidaknya ikut berargumen”

    “Haah.. kalau soal orang itu sudah lama aku menyerah. Sejak SD dia memang seperti itu. Dan sejak pertama kali aku sudah tidak mengindahkan perkataannya… Mungkin kali ini sama dengan saat SD dulu. Saat dia marah marah karena aku bawa komik, di toko buku…”

    “AAAAAAAAAAH!!!!!!!!!!” KLANG!

    Belum selesai aku menceritakan hal itu, teriakan terdengar dari luar ruang kelas. Dan ketika pintu terbuka, kaleng minuman soda terbang ke arah kepalaku. Untung kepalaku tidak terluka karena aku berlidung dengan tasku.

    “Su… sudah kubilang *haah* ja… jangan ceritakan itu! *hah* *haah*”

    Iria yang terengah-engah berusaha mendekatiku namun terselamatkan oleh bel waktu masuk kelas.

    Aku dan Iria sejak SD selalu berakhir di sekolah yang sama, bahkan kelas yang sama. Jadi tidak aneh aku sudah biasa dengan sikapnya yang arogan dan kasar.

    Satu per satu kelas terisi dengan penghuninya. Havin dan Fae kembali ke tempat dudukya, Fae tepat di belakangku dan Havin di ujung terjauh dari tempatku –kursi paling belakang terjauh dari jendela.

    Guru belum datang ke dalam kelas, jadi masih belum semua duduk di tempatnya masing masing. Saat itu, sosok kecil muncul dari pintu. Mendekat ke arah meja Havin yang terdekat dari pintu. Mereka berbincang sebentar lalu Havin mengambil sesuatu dari tasnya lalu memberikannya pada sosok itu.

    Orang itu melambaikan tangan pada arahku.

    “Kaa!! Faee!”

    Cuma tiga orang yang lebih muda dari Fae yang memanggil Fae dengan”Fae”; Adik kembarku, dan adik perempuan Havin jadi aku simpulkan orang itu adalah adik Havin, Lynn.
    Aku melihat ke arah depan, berharap guru cepat datang, memberi pelajaran, dan akhirnya istirahat. Aku tidak sabar membelikan makan siang untuk Fae, “Chilli Hot Curry Bread” roti yang kelihatannya aman namun ketika dimakan, rasanya lebih pedas dari cabe itu sendiri. Aku tidak sabar melihat ekspresi Fae.

    Meja di depanku masih kosong, sesuatu yang harus kusukuri.

    Namun itu tidak lama. Pemilik tempat ini datang dari pintu belakang kelas, wakil Ketua OSIS di sekolah ini, Rose. Rambutnya panjang sepinggang lebih, walau semua orang di dalam kelas berambut dan mata hitam, namun orang ini memiliki rambut dan mata yang lebih hitam, dan julukannya sebagai “Ratu Kegelapan”.

    Satu satunya yang membuatku tidak bersukur dia datang adalah karena hutangku padanya saat liburan antara semester. Saat itu hujan dan aku sedang terburu-buru pulang dari swalayan. Di jalan aku menabrak Rose dan menghancurkan telepon gengamnya. Dia menatapku dengan mata marah lalu berlari menuju ke atas bus. Dari jendela, dia mengacungkan jari tengahnya padaku. Saat aku pulang, aku mengecek E-mail dan mendapati sebuah E-mail dari Rose yang berisi:

    Rose menatapku dari pintu kelas, membuatku merinding. Aku segera mendekatinya, menundukkan kepala dan membawakan tasnya.

    “Selamat datang Nona

    Seluruh kelas yang asalnya ribut sekejap diam. Ekspresi semua beragam, namun yang paling kontras adalah wajah Havin, Fae dan Iria. Havin yang selalu menjaga ke”dingin”an ekspresinya membuka mulutnya selebar-lebarnya dengan ekspresi kaget sekaligus jijik. Wajah Fae seperti seseorang yang baru melihat atraksi menakjubkan. Sedangkan wajah Iria merah seperti tomat dan tangannya meremas kaleng soda kosong yang tadi dilempar padaku.

    Semuanya masih diam, aku masih menunduk, tapi sang Ratu Kegelapan berjalan menuju ke kursinya. Aku mengikutinya dari belakang.

    Rose berhenti di dekat kursinya namun belum duduk. Aku menarik kursi itu lalu menaruh tasnya di pengait di samping meja

    “Silahkan Nona

    Rose duduk di kursi itu lalu mengibaskan tangannya pertanda untukku pergi.

    Dasar, kau ratu kegelapan. Seminggu lagi akan kubalas.

    “—Berpikiran seperti itu lagi, akan kutambah hukumanmu menjadi satu bulan—”

    Rose berbisik sehigga cuma aku yang mendengar perkataannya

    “—Tch, dasar pembaca pikiran—”

    Aku kembali duduk di tempatku, mengabaikan semua tatapan, terutama dari sampingku dan tangan Fae yang menarik-narik bajuku.
    Ah, aku ingin hari ini cepat selesai dan main di rumah Fae.
     
    Last edited: Oct 1, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. angel_sweetsnow4 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Aug 26, 2011
    Messages:
    17
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +8 / -0
    plagiat banget nih...
    harusnya bukan orifict.. tapi fanfict
    keliatan jelas itu dari to aru majutsu no index.
     
  4. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    ^
    :???:

    dimananya yang persis to aru majutsu no index:???:
     
  5. angel_sweetsnow4 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Aug 26, 2011
    Messages:
    17
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +8 / -0
    1. penjudulannya
    2. latarnya, karena nama sekolahnya dengan di cerita yang satunya sana di sidestorynya nyeritain soal akademi dan organisasi-organisasi gitu.
    3. coba kalau dirubah sudut pandangnya ke orang ke-3.... fwalla.. karya kazuma kamachi ditranslasi bahasa indonesia.
     
  6. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    belum baca yang side story:ngacir:

    kalau kayak gitu orific saya juga plagiat manga bakuman lagi:ohno:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.