1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic red_rackham Stories Collection ~ [Orific][Cerpen][Fanfic]

Discussion in 'Fiction' started by red_rackham, Jun 23, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Daripada gw bikin thread baru tiap gw pengen nge-post story, mendingan gw kumpulin semuanya dalam 1 thread.

    (Ini terinspirasi juga dari kk Giande yg bikin thread serupa untuk kumpulan story2nya)

    Selamat menikmati!


    Seperti biasanya, saia mengharapkan feedback entah komen, cacian, makian, atau pujian. Monggo saja di posting.

    News:
    Everyday Adventure, Kurir Bintang, Yurika sudah dibukukan (masih indie publishing sih...hehe) dan kemarin sempat saia jual di acara Sen Yuurei Matsuri di Pluit Village.
    [​IMG]
    [​IMG]

    New News:
    Everyday Adventure akhirnya saia bukukan (lagi-lagi masih indie publishing) dan berisi 6 + 1 cerita ditambah ilustrasi-ilustrasi spesial dari Mukhlis Nur a.k.a Sinlaire, dan sudah saia coba jual di AFAID 2013.
    [​IMG]

    PS: Cek page terakhir untuk update cerita terbaru :peace:
     
    • Thanks Thanks x 4
    Last edited: Jun 30, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Fatamorgana: Spiral Staircases




    Fatamorgana: Spiral Staircases

    Namaku Ria Rahmawati.

    Dunia telah berubah sejak Dual Eclipse terjadi di akhir tahun 2012.

    Error, makhluk-makhluk buas yang lahir dari kegelapan dan mimpi buruk manusia, mendadak muncul di berbagai belahan dunia pada awal tahun 2013. Tidak ada yang tahu pasti darimana mereka berasal dan mengapa mereka muncul di dunia ini, yang pasti mereka berbahaya. Sayangnya senjata modern yang dimiliki manusia saat ini pun tidak bisa membasmi mereka. Satu-satunya senjata yang bisa memusnahkan Error adalah Phantasm, makhluk-makhluk yang lahir dari imajinasi dan khayalan manusia. Kemudian orang-orang yang mampu menghasilkan Phantasm itu disebut sebagai Fantasia.

    Sayangnya tidak semua Fantasia sadar dan bertanggung jawab atas kekuatan yang mereka miliki. Banyak juga yang berpikir mereka bisa seenaknya menggunakan Phantasm mereka untuk memenuhi semua keinginan mereka. Oleh karena itu dbentuklah organisasi IMAGE yang terdiri dari para Fantasia berbakat, demi melindungi manusia dari keganasan Error dan ulah para Fantasia yang semena-mena.

    Seperti biasanya sore ini aku sedang berpatroli kedua orang temanku, Farhan Abdul Gani dan Lutfi Irwansyah. Mereka berdua juga Fantasia dan anggota IMAGE, sama sepertiku. Seharusnya sore hari yang cerah ini jadi sore yang menyenangkan. Sayangnya itu tidak terjadi karena baru saja seorang Fantasia nekat mengeluarkan Phantasm-nya di tengah keramaian.

    Sekarang kami bertiga harus menghentikan ulah nekat Fantasia sinting itu sebelum ada orang yang terluka, atau terbunuh.

    “Ria! Dia lari ke arahmu!!!”

    Suara seruan Farhan langsung membuat lamunanku buyar, dan ketika aku tersadar, tahu-tahu pandanganku tertutup oleh sosok gorila raksasa berbulu perak. Makhluk itu meraung keras sambil mengayunkan tinjunya yang sama besarnya dengan sebuah wajan penggorengan ke arah kepalaku.

    Untung gerak refleksku sudah terlatih, sehingga aku langsung menunduk dan membiarkan tangan raksasa itu melesat diatas kepalaku.

    Menyebalkan sekali! Gumamku dalam hati. Aku lalu berguling ke kanan dan berdiri sambil merentangkan sebelah tanganku ke samping.

    “Fatima!” seruku dengan tegas.

    Sesosok gadis pirang berpakaian ketat berwarna hitam-merah langsung muncul di sampingku diiringi hembusan angin. Gadis itu adalah Fatima, Phantasm milikku. Begitu Fatima muncul, aku langsung memberi perintah pada Phantasm itu untuk menyerang si gorila.

    “Terjang dia, Fatima!!” perintahku.

    Fatima langsung melesat ke arah Phantasm berwujud gorila itu dan mengayunkan tangannya. Dengan pedangnya yang tidak terlihat, Fatima berhasil memotong sebelah tangan gorila itu, tapi gorila itu langsung mengayunkan sebelah tangannya yang tersisa ke arah Fatima. Tapi Fatima bukan Phantasm biasa, dia jauh lebih kuat dari Phantasm gorila yang dia lawan. Dengan perisai di tangan kirinya, yang juga tidak kasat mata, Fatima menahan pukulan gorila itu dengan mudah. Kemudian berputar dan mengayunkan pedang gaibnya ke arah pinggang si gorila. Tebasan Fatima telak mengenai si Phantasm gorila dan membelah makhluk itu jadi 2 tepat di pinggangnya. Diiringi suara raungan keras, Phantasm gorila itu lalu menghilang menjadi serpihan cahaya.

    Begitu melihat lawanku sudah kalah, aku langsung menghembuskan nafas lega.

    “Kerja bagus Fatima,” ujarku sambil memandang ke arah Fatima. Gadis pirang itu membungkuk memberi hormat lalu menghilang bersama dengan sebuah pusaran angin.

    “Ria! Kau tidak apa-apa?!”

    Aku langsung menoleh ke arah Lutfi yang terlihat khawatir. Pemuda itu berjalan menghampiriku didampingi oleh Phantasm-nya, Durandall, seekor centaur berbaju besi lengkap dengan sebuah pedang yang nyaris sama besar dengan tubuh Lutfi. Mereka berdua langsung menghampiriku.

    “Aku tidak apa-apa,” balasku.

    “Syukurlah,” ujar Lutfi sambil menghembuskan nafas lega.

    Kami berdua lalu berpandangan sejenak, sebelum akhirnya aku memalingkan wajah duluan karena malu. Wajah Lutfi yang memang tampan, jadi makin tampan kalau dia sedang serius atau sedang mengkhawatirkan sesuatu. Sialnya itulah yang membuatku menyukainya, meski aku tidak pernah berterus terang padanya.

    “Oi! Kalau kalian udah selesai bermesraan, kesini deh!”

    Tiba-tiba Farhan berseru dari kejauhan. Pemuda bertampang cuek dengan rambut awut-awutan itu tampak berjongkok di samping seorang pria berjaket kulit yang tidak sadarkan diri. Pria itulah si Fantasia yang tadi memulai semua keributan ini. Anehnya setelah Phantasm-ku, Fatima, mengalahkan Phantasm pria itu, dia langsung jatuh pingsan.

    “Kenapa dia?” tanyaku pada Farhan.

    “Mana kutahu,” sahut Farhan sambil mencubit lengan si pria berjaket kulit dengan keras, tapi tidak ada respon. “Dia pingsan setelah Phantasm-nya kau bantai, Ria. Jujur nih, ini baru pertama kalinya terjadi....biasanya sih enggak begini.”

    “Ngomong-ngomong siapa orang ini?” tanya Lutfi.

    “Mana kutahu, emangnya aku ini bapaknya?” balas Farhan dengan nada ketus. Dia lalu merogoh ke dalam saku celana dan jaket yang dikenakan si Fantasia pembuat onar. Tidak lama kemudian Farhan tampaknya menemukan apa yang dicarinya.

    “Apa yang kau temukan?” tanyaku penasaran.

    Farhan lalu menunjukkan benda-benda yang dia temukan padaku dan Lutfi. Benda pertama adalah secarik kertas kumal yang tampaknya tidak berharga. Tapi begitu aku membuka lipatan kertas itu, aku bersiul karena rupanya kertas itu adalah sebuah peta Bandung. Hanya saja di beberapa tempat di peta itu tampak sebuah tanda lingkaran dan silang.

    “Apalagi yang kau temukan?” tanya Lutfi, kini giliran dia yang merasa penasaran.

    Farhan lalu melemparkan sebuah koin pada Lutfi. Begitu melihat koin apa itu, Lutfi tampak terkejut.

    “Ada apa?” tanyaku begitu melihat perubahan ekspresi di wajah pemuda itu.

    Lutfi lalu memberikan koin itu padaku. Koin itu tampak biasa saja, hanya sebuah koin yang disepuh dengan emas. Hanya saja lambang trisula terbalik yang diukir di koin itulah yang membuatku dan Farhan terkejut. Lambang itu adalah lambang milik Persaudaraan Tombak Langit, kelompok aliran sesat pemuja Error yang dibubarkan oleh IMAGE sekitar 3 bulan yang lalu. Kudengar tadinya kelompok itu berniat menggabungkan Error dan Phantasm untuk menciptakan sebuah Phantasm dengan kekuatan setara Dewa. Untungnya rencana mereka digagalkan oleh tim IMAGE yang terdiri dari 4 orang Fantasia yang sangat kuat. Sayangnya sisa-sisa anggota Persaudaran Tombak Langit sekarang sama sekali tidak diketahui keberadaannya, mereka seperti hilang ditelan bumi.

    “Peta ini sepertinya menunjukkan lokasi pertemuan atau markas rahasia mereka,” gumam Lutfi sambil berpikir keras sambil memandangi peta kumal di tangannya. “Ini sepertinya masalah serius.....”

    “Kalau emang serius, aku ogah terlibat,” balas Farhan sambil mendengus. “Serahkan aja masalah ini pada para elit di IMAGE. Biar mereka yang ngurus, bukan kita.”

    Aku merasa agak jengkel dengan sikap Farhan. Kami bertiga memang bukan golongan elit di IMAGE, tapi kami juga tidak lemah. Masing-masing Phantasm kami memiliki level 3, diatas level rata-rata Fantasia lainnya.

    Tiba-tiba saja aku mendapat ide gila.

    “Hei! Bagaimana kalau kita saja yang pergi menyelidiki salah satu tempat yang di peta itu?” usulku dengan nada bersemangat. “Mungkin kita bisa menemukan sesuatu di tempat itu!”

    Farhan tentu saja tidak setuju dan langsung protes.

    “Kau gila ya?!” protes pemuda itu sambil berdiri.

    “Ayolah! Apa susahnya sih? Kita kan hanya melakukan penyidikan kecil-kecilan,” ujarku lagi.

    Farhan baru akan protes lagi, tapi tidak jadi karena Lutfi tiba-tiba menepuk bahunya.

    “Ria benar. Tidak ada salahnya kita menyelidiki paling tidak satu diantara banyak tempat di peta ini,” ujar Lutfi sambil tersenyum. “Siapa tahu kita menemukan sesuatu yang berguna untuk penyidikan lebih lanjut oleh para elit di IMAGE.”

    Melihat Lutfi juga ikut-ikutan mendukungku, Farhan langsung menepuk dahinya.

    “Terserah kalian aja!” balasnya dengan nada muram. Tapi dia lalu menambahkan. “Tapi kalau ada apa-apa, aku yang bakalan kabur duluan.”

    Aku dan Lutfi langsung tertawa mendengar ucapan Farhan.

    ***

    Salah satu tempat yang ditandai dalam peta milik pria Fantasia yang kami kalahkan rupanya adalah sebuah Factory Outlet besar yang ada di daerah Dago, Bandung. Pada siang hari tempat itu memang sangat ramai dikunjungi pelanggan, tapi di malam hari tempat itu sama sekali sepi. Untungnya lagi di sekitar gedung itu tidak ada penjaga sama sekali, sehingga kami bertiga bisa menerobos masuk dengan mudah.

    “Kadang-kadang kupikir kau ini mantan maling Farhan,” celetukku ketika Farhan membuka pintu belakang Factory Outlet itu, hanya berbekal beberapa utas kawat saja. “Kau selalu bisa membuka pintu apapun hanya berbekal kawat atau obeng.”

    “Cerewet! Jangan banyak komentar!” balas Farhan sambil membukakan pintu.

    Kami langsung masuk ke dalam gedung dan mulai menjelajah seluruh isi gedung Factory Outlet itu. Dengan bekal sebuah senter kecil, aku dan kedua temanku berusaha mencari apapun yang tampak aneh, tidak wajar, dan mencurigakan. Tapi setelah menyusuri jengkal demi jengkal Factory Outlet itu, aku sama sekali tidak menemukan apapun yang mencurigakan, begitu pula dengan Farhan dan Lutfi. Sepertinya gedung ini benar-benar hanya sebuah toko pakaian belaka.

    “Aneh.....tidak ada yang aneh disini. Semuanya tampak normal,” ujarku dengan nada kecewa. “Tempat ini sepertinya memang hanya sebuah Factory Outlet...bukan tempat berkumpul rahasia atau semacamnya.”

    “Benar. Aku sudah memeriksa hampir semua tempat, tapi tidak ada yang aneh,” timpal Lutfi. Dia juga terdengar kecewa karena tidak menemukan apapun. Hanya Farhan yang terlihat ceria karena tidak jadi menemukan masalah yang ingin dia hindari.

    “Nah, kalau emang disini enggak ada yang aneh, gimana kalau kita pulang sekarang?” usul Farhan sambil duduk di atas sebuah batu besar, yang berada di samping kolam buatan di salah satu pojok ruangan. Tapi begitu dia duduk, batu itu langsung melesak beberapa senti. Beberapa detik kemudian terdengar suara derik mekanis, lalu dinding kolam buatan yang dilengkapi air terjun mini, langsung bergeser terbuka. Di balik pintu rahasia itu, terlihat sebuah tangga menuju ke bawah tanah.

    Aku langsung terbengong-bengong melihat tangga rahasia itu, begitu pula dengan Lutfi dan Farhan yang masih duduk di atas batu. Kami bertiga memandangi jalan rahasia itu cukup lama sebelum akhirnya Lutfi berbicara.

    “Bagaimana sekarang? Kita maju terus atau mundur?” tanya pemuda itu padaku dan Farhan.

    “Sebaiknya kita pulang saja,”

    “Maju terus!”

    Aku dan Farhan menjawab nyaris bersamaan. Kami berdua lalu saling pandang. Aku langsung mendengus ke arah Farhan. Tadi dia terlihat enggan untuk memeriksa tempat ini, tapi begitu menemukan jalan rahasia ini, dia langsung tampak bersemangat. Sialnya begitu aku memandang ke arah Lutfi, diapun begitu.

    “Kali ini aku setuju dengan Farhan,” ujar Lutfi, dia lalu menyorotkan senternya ke arah pintu rahasia di depannya itu. “Ayo kita turun.”

    Meski tidak setuju, tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua temanku begitu saja. Mau tidak mau aku harus mengikuti mereka berdua, meski instingku terus menjerit memperingatkan kalau tempat yang dituju jalan rahasia itu sangat berbahaya.
    Sambil menelan ludah aku berjalang mengikuti kedua temanku itu sambil berdoa.

    Semoga tidak ada apa-apa dibawah sana.....


    ***

    Tangga rahasia itu rupanya terhubung ke sebuah lorong rahasia di bawah tanah, dan tentu saja lorong itu gelap total. Saking gelapnya seakan-akan senter yang kami bawa jadi tidak berguna.

    “Perasaanku enggak enak...” ujar Farhan ketika kami mulai menyusuri lorong itu. Aku langsung melotot ke arahnya.

    Kemana semangatmu yang tadi? Gerutuku dalam hati.

    Tapi jujur saja, aku juga merasakan perasaan tidak enak sejak kami bertiga turun ke tempat ini. Rasanya di ujung lorong ini terdapat sesuatu yang menakutkan dan tidak seharusnya kami datangi. Sialnya, sejak tadi aku juga merasa kalau kami sedang diawasi oleh sesuatu. Ketika aku menoleh dan tidak sengaja bertatapan dengan Lutfi, sepertinya dia juga merasakan hal yang sama denganku. Namun kami tetap diam dan tidak ingin meributkan hal itu. Setidaknya untuk saat ini.

    Tiba-tiba dari ujung lorong, aku melihat ada cahaya terang. Kami lalu bergegas mendekati sumber cahaya itu dan tertegun. Cahaya terang itu rupanya berasal dari beberapa buah lampu sorot yang diletakkan di sekeliling lubang besar yang ada di tengah ruangan. Di tengah lubang tersebut, terdapat sebuah tangga spiral yang terbuat dari baja yang tampak sudah lapuk. Sebuah jembatan baja tampak menghubungkan antara tangga spiral itu dengan tepian lubang. Aku lihat tangga spiral di tengah lubang itu tampak berputar ke bawah menuju dasar lubang. Anehnya meski lampu-lampu sorot telah diarahkan ke arah dasar lubang, tapi dasar lubang itu sendiri tidak terlihat. Entah saking dalamnya atau karena kegelapan di dasar lubang itu begitu pekat hingga tidak bisa ditembus cahaya.

    “Tempat apa ini?” gumam Lutfi sambil berjalan mendekati lubang.

    Aku perlahan-lahan berjalan mengikuti Lutfi dan memandang ke arah dasar lubang yang hitam pekat. Tanpa sadar aku gemetar dan memegangi lengan baju Lutfi.

    “Tidak perlu takut....” ujar Lutfi sambil memegangi tanganku. Spontan wajahku langsung memerah begitu menyadari kalau tangannya yang besar sudah menggenggam jemariku yang mungil.

    “A....aku tidak takut!” bantahku, tapi aku tetap tidak melepaskan genggamanku.

    “Lutfi, Ria....kali ini aku serius nih...ayo kita pulang!” ujar Farhan sambil memandang ke segala arah. “Tempat ini jelas enggak beres!”

    Kali ini aku dan Lutfi langsung mengangguk bersamaan. Kami juga merasakan hal yang sama, tapi begitu kami bertiga bermaksud kembali, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang.

    “Lho? Ada tamu ya? Kenapa kalian buru-buru sekali ingin pulang? Itu kan tidak sopan.”
    Spontan kami bertiga langsung berbalik dan mendapati seorang pria sudah berdiri di depan jembatan. Aku terkejut karena tadi aku yakin kalau diatas jembatan itu tidak ada siapa-siapa. Darimana dia muncul?!

    “Siapa kau?!” seru Lutfi sambil berdiri di depanku.

    “Wah...harusnya aku yang bertanya begitu pada kalian,” balas pria misterius itu dengan nada santai, tapi juga terkesan dingin dan mengancam. “Siapa kalian dan sedang apa kalian disini?”

    Kami bertiga langsung terdiam. Tapi tidak lama karena pria itu kembali berbicara.

    “Yah...siapapun kalian tidak masalah. Toh kalian tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup,” ujar pria misterius itu sambil merentangkan kedua tangannya. “Mayu, keluarlah.”

    Begitu dia selesai bicara, seorang gadis kecil langsung muncul begitu saja di depan pria itu. Gadis itu tampak mengenakan armor ringan yang terbuat dari baja di dada, lengan, dan kakinya. Begitu gadis itu muncul aku langsung sadar kalau pria misterius itu adalah seorang Fantasia, dan gadis itu adalah Phantasm-nya.

    Tanpa basa-basi, aku langsung berseru memanggil Fatima, Phantasm-ku. Lutfi dan Farhan juga berseru bersamaan denganku.

    “Fatima!”

    “Durandall!!”

    “Marcosias!!”

    Ketiga Phantasm kami langsung muncul dan siap bertempur. Fatima dan Durandall langsung maju paling depan, sementara Marcosias berdiri di belakang. Berbeda dengan Fatima dan Durandall yang bertarung dari jarak dekat, Marcosias, Phantasm milik Farhan, adalah petarung jarak jauh. Marcosias berwujud seekor manusia serigala yang di tubuhnya terdapat berbagai macam senjata berat. Mulai dari sepasang gatling gun, deretan mini-launcher, beberapa peluncur micro-missiles dan folding-railgun di punggung.
    Melihat sosok Phantasm kami bertiga, bukannya takut, tapi pria misterius di depan kami itu malah tertawa.

    “Ahahahahaha.....! Hebat! Kalian punya Phantasm yang menarik sekali....” puji pria itu sambil berjalan dan menepuk pundak Phantasm-nya. Sambil tersenyum, pria itu menunjuk ke arah kami bertiga. “Nah kalau begini, kau boleh pilih yang mana yang mau kau habisi duluan, Mayu.”

    Phantasm itu mengangguk, lalu menyilangkan kedua tangannya. Aku terkejut bukan main ketika gadis Phantasm itu menarik keluar sepasang broad-sword dari udara. Kedua bilah pedang besar itu muncul begitu saja. Tanpa peringatan, Mayu tiba-tiba melesat ke arah Marcosias.

    Marcosias langsung bereaksi dan mencoba menembak Mayu dengan gatling gun di tangannya, tapi Mayu jauh lebih cepat. Hanya dengan dua-tiga tebasan, Marcosias langsung tumbang dan kemudian hancur jadi serpihan cahaya.

    “Yang bener aja?!” seru Farhan kaget setengah mati, tapi gara-gara Phantasm-nya dikalahkan, tubuh pemuda itu langsung lemas.

    Begitu selesai dengan target pertamanya, Mayu langsung melesat ke arah Fatima.
    “Jangan mau kalah, Fatima!” seruku memberi semangat.

    Fatima langsung menangkis serangan pertama Mayu dengan perisai tak kasat matanya, lalu balas menebas tubuh lawannya itu. Tapi Mayu memang bukan Phantasm biasa, dengan mudah dia menghindari serangan Fatima, lalu melancarkan serangan bertubi-tubi hingga Fatima kewalahan.

    Di saat genting itu, Durandall, Phantasm milik Lutfi ikut terjun dalam pertarungan. Phantasm itu menerjang ke arah Mayu dengan tombak partisan di tangannya. Tapi serangan Durandall dengan mudah dihentikan oleh Mayu. Gadis Phantasm itu lalu melompat ke atas dan menarik lebih banyak pedang lagi dari udara. Kemudian diiringi suara denting nyaring, 5 buah pedang yang berbeda bentuk langsung menghujam ke tubuh Durandall. Meski tubuh Phantasm centaur itu dilindungi dengan armor tebal, itu tidak menghalangi serangan Mayu sama sekali.

    “Tidak mungkin.....Durandall!?” seru Lutfi kaget sambil berlutut karena tubuhnya langsung lemas begitu Durandall hancur jadi serpihan cahaya.

    Aku masih terpaku di tempat. Meski Fatima terus berusaha mati-matian melawan Mayu, tapi kekuatan dan kemampuan Phantasm-ku itu tampak tidak sebanding dengan lawannya. Berkali-kali pedang Mayu menebas armor tak kasat mata di tubuh Fatima dan melukainya, sementara itu tidak satupun tebasan pedang Fatima yang berhasil menyentuh tubuh Mayu.

    Perbedaan kekuatan diantara kedua Phantasm itu jelas terlalu besar. Tidak perlu waktu lama hingga sebilah nodachi, pedang jepang dengan panjang 2 meter, akhirnya menembus tubuh Fatima. Aku langsung terduduk di atas lantai begitu Fatima menghilang jadi serpihan cahaya. Kedua kakiku baru saja terasa seperti terbuat dari jelly, hingga aku tidak sanggup lagi berdiri.

    “Yah...hanya segini saja kemampuan kalian?” ujar pria misterius itu dengan nada kecewa. Dia lalu mengelus kepala Mayu yang kini berdiri di sampingnya. “Kupikir kalian anggota IMAGE memiliki Phantasm yang hebat. Rupanya dugaanku salah ya? Mengecewakan sekali.”

    Aku terkejut begitu mendengar kalau pria itu menyebut kata IMAGE. Mustahil pria misterius itu tahu kalau kami anggota IMAGE, karena saat ini kami sama sekali tidak mengenakan atribut IMAGE. Kami bahkan tidak mengenakan band kain berlogo IMAGE di lengan kami.

    Siapa dia sebernanya?! Kenapa dia tahu kami ini anggota IMAGE? Gumamku dalam hati.

    “Sial....dia terlalu kuat!” gerutu Farhan sambil berusaha berdiri.

    “Phantasm itu....levelnya jauh diatas Phantasm kita...” timpal Lutfi, dia juga terlihat berusaha berdiri dengan susah payah.

    “Nah, Mayu. Berhubung mereka sudah tidak berdaya lagi, kau bebas memperlakukan mereka semaumu. Mau dicincang, disate, disalib, terserah saja. Aku akan berdiri disini dan menikmati saat-saat terakhir mereka bertiga,” ujar pria itu sambil menepuk pundak Phantasm-nya. Begitu dia melakukan itu, Mayu langsung menarik sebuah pedang yang ukurannya tidak kira-kira. Lebar mata pedang itu bahkan lebih lebar dari tubuh Farhan dan panjang mata pedang itu nyaris 2 kali tinggi tubuh Phantasm itu sendiri.

    Mayu tiba-tiba menoleh ke arahku dan mengayunkan pedang raksasa itu ke arah tubuhku. Aku menjerit dan menutup mata. Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk bergerak, apalagi untuk menghindar. Jadi aku berharap semoga kematianku ini akan berlangsung cepat dan tidak terlalu menyakitkan.

    Alih-alih merasakan baja dingin membelah tubuhku, aku justru mendengar suara denting nyaring yang membuat telingaku berdenging. Karena penasaran aku lalu membuka mataku.
    Di depanku, berdiri sesosok centaur berbaju logam yang menahan pedang raksasa milik Mayu dengan sebuah perisai tebal yang juga tidak kalah besar. Tapi meski Durandall, Phantasm centaur milik Lutfi itu sudah berusaha keras, tapi entah mengapa kekuatan fisik Mayu masih jauh diatasnya. Pelan tapi pasti, pedang raksasa Mayu mulai memotong perisai milik Durandall.

    “Ria! Ayo lari!!” seru Lutfi sambil menarik tanganku.

    Kami berdua langsung lari sekuat tenaga ke arah pintu keluar, tapi begitu kami sampai di dekat tangga, tiba-tiba saja sekumpulan Error muncul dan menghalangi jalan. Melihat jumlah Error yang begitu banyak, aku langsung ketakutan.

    “Minggir kalian!” seru Farhan dari belakang. Tampak dia sudah bisa mengeluarkan Phantasm-nya lagi, sekaligus siap melibas apapun yang menghalangi jalannya. Marcosias tampak mengarahkan seluruh senjata yang dia miliki ke arah gerombolan Error yang menghalangi jalannya.

    “Tunggu dulu!!” seruku dan Lutfi bersamaan, tapi Farhan tidak menggubris peringatan kami.

    “TEMBAK!!” seru Farhan pada Phantasm-nya.

    Kemudian seluruh lorong itu jadi terang karena serangan-serangan yang dilancarkan oleh Marcosias. Phantasm itu terus menembak membabi-buta dan menghancurkan para Error yang menghalangi jalan kami. Sayangnya serangannya juga membuat pintu rahasia lorong ini ikut hancur, bersamaan dengan itu, beberapa misil dan roket mini yang ditembakkan Marcosias juga merusak bagian dalam Factory Outlet.

    “Dasar sintiiiiiing!!!!!” umpatku sambil berlari menghindar, sementara Mayu berlari di sisiku sambil melindungiku dari peluru nyasar Marcosias. Lutfi juga tampak susah payah bergerak dan beberapa kali tersandung. Sepertinya Durandall sekali lagi berhasil dihabisi oleh Mayu, sehingga Lutfi sekarang tampak sempoyongan dan wajahnya terlihat sangat pucat.

    Hanya karena keajaiban semata kami bisa keluar dari Factory Outlet terkutuk itu. Sayangnya keajaiban itu hanya berhenti sampai disitu saja, karena di luar Factory Outlet, sudah menunggu rombongan Error yang lebih banyak lagi. Mereka sepertinya tertarik oleh keberadaan rombongan Error di jalan rahasia, sekaligus oleh keberadan Phantasm kami bertiga.

    “Oke....ini buruk sekali...” gumamku sambil memandang ke arah Lutfi dan Farhan. Lupakan Lutfi, dia tampak sangat lelah karena sudah tidak mungkin bertempur lagi. Sementara itu Marcosias yang baru saja melepaskan serangan dahsyat tampak kelelahan juga, sama seperti Farhan yang merupakan Fantasia-nya. Dalam kondisi seperti itu, meski masih bisa bertempur, tapi aku yakin Marcosias tidak akan bertahan lama. Begitu pula dengan Fatima, Phantasm-ku. Dia memang terlihat masih cukup segar, tapi dengan kemampuan Fatima saja, tidak mungkin kami keluar hidup-hidup dari serbuan rombongan Error di depan kami ini.

    “Lutfi, Ria....kayaknya kita bakal berakhir disini nih....” gumam Farhan dengan nada murung. Dia lalu memandang ke arahku dan Lutfi bergantian, lalu menambahkan lagi. “Senang bisa berteman dengan kalian berdua....”

    Aku mendengus mendengar ucapan Farhan, meski aku juga punya pikiran yang sama dengan pemuda itu.

    “Ria...” ujar Lutfi sambil memandangku. Aku langsung menoleh dan balas memandang pemuda itu.

    “Apa?” balasku.

    “Kalau kita bisa keluar hidup-hidup dari kepungan Error ini, apa kau mau jadi kekasihku?” tanya pemuda itu dengan nada serius.

    Jantungku nyaris berhenti mendengar ucapan Lutfi. Tidak kusangka dia akan menyatakan perasaannya padaku, dan sialnya dia mengatakan hal itu pada saat yang tidak tepat. Tapi tentu saja aku mau jadi kekasihnya, karena aku juga sejak lama menyukainya.

    “Tentu saja aku mau!” sahutku dengan bersemangat. Berkat ucapan Lutfi barusan, semangat juangku kembali berkobar. Kalaupun harus mati, aku tidak akan mati begitu saja. Akan kubawa sebanyak mungkin Error-Error terkutuk itu ke akhirat bersamaku.

    “Bersiaplah Fatima, kita akan menerjang ke arah Error-Error itu,” ujarku pada Fatima yang berdiri di depanku. Gadis Phantasm itu mengangguk dan merentangkan kedua tangannya, kali ini dua bilah pedang identik yang kasat mata langsung muncul di tangannya. Pada saat yang sama Marcosias tampak mengisi ulang seluruh senjata di tubuhnya, diiringi suara denting dan ceklikan samar.

    Aku dan Farhan sudah siap untuk bertempur sampai mati, ketika tiba-tiba saja sebuah kobaran api dahsyat melumat sebagian Error yang mengepung kami. Kemudian disusul dengan sebuah tembakan energi dahsyat juga menghancurkan hampir seluruh Error yang tersisa. Beberapa Error yang masih selamat langsung panik dan berusaha mencari siapa yang menyerang mereka, tapi sesosok gadis kecil yang membawa gunting raksasa langsung memotong beberapa Error dalam waktu singkat. Melihat hampir seluruh kawanannya dihancurkan dalam waktu singkat, 7 Error terakhir yang masih hidup langsung melarikan diri, tapi pelarian mereka segera dihentikan oleh bilah-bilah logam yang langsung menghujam ke dalam tubuh mereka.

    Dalam waktu kurang dari 10 menit, gerombolan Error yang jumlahnya paling tidak 40 ekor, kini sudah tidak bersisa sama sekali.

    Di tempat berkumpulnya puluhan Error tadi, kini berdiri 2 orang pemuda dan 2 orang gadis. Jelas mereka bukan pemuda-pemudi biasa, karena di samping mereka terdapat seekor Phantasm yang memiliki wujud berbeda-beda. Phantasm berwujud seperti elang berselimut api, manusia api, bola mata mekanik dan makhluk gendut berwarna pink, tampak berdiri di samping mereka.

    “The Walking Disasters....” gumam Farhan tanpa sadar.

    Mendengar nama itu, aku langsung mengenali siapa orang-orang itu. Mereka adalah salah satu tim elit di IMAGE dan sepak terjang mereka sangat terkenal, terutama karena mereka selalu menghasilkan kerusakan properti yang cukup parah setiap kali mereka beraksi. Oleh karena itulah mereka dijuluki sebagai The Walking Disaster, atau Bencana Berjalan, sebutan yang cukup pantas bagi keempat orang elit IMAGE itu.

    “Seno, Airi, Aya, dan Yoga....” gumamku sambil menyebutkan nama mereka satu persatu. Meski tidak kenal dekat dengan mereka berempat, tapi semua anggota IMAGE kota Bandung pasti mengenal siapa empat orang itu.

    “Kalian tidak apa-apa?”

    Airi, si gadis berkacamata dengan Phantasm dengan wujud seperti bola mata mekanik berjalan menghampiri kami. Kemudian dia tampak memandangi kami satu persatu, sepertinya dia ingin memastikan kalau kami benar-benar tidak apa-apa.

    “Tidak....kami baik-baik saja...” ujarku.

    “Bagus kalau begitu,” timpal Seno, si pemuda berjaket hitam dengan lambang IMAGE di punggungnya. “Tadi sepertinya kacau sekali. Tapi semuanya sudah berakhir. Ayo kita pulang ke markas.”

    Aku mengangguk, lalu memandang ke arah Farhan yang langsung duduk di tanah. Pandanganku lalu beralih ke arah Lutfi, yang rupanya juga memandangiku.

    “Jawabanmu tadi itu....bukan karena kita sedang menghadapi maut kan?” tanya Lutfi padaku, ekspresi wajahnya tampak serius sehingga dia terlihat makin mempesona.

    “Tentu saja bukan! Aku benar-benar menyukaimu, Lutfi! Itu adalah perasaanku yang sesungguhnya padamu!!” seruku tanpa pikir panjang, lalu terdiam karena sadar kami tidak sendirian. Tapi aku tidak peduli lagi, aku benar-benar menyukainya dan karena dia ternyata menyukaiku juga. Jadi sepertinya kami memang cocok dan ditakdirkan untuk jadi sepasang kekasih!

    “Terima kasih, Ria,” ujar Lutfi dengan tulus.

    Dia lalu tersenyum tulus kepadaku. Wajahnya yang sedang tersenyum benar-benar membuatku terpesona, sehingga tanpa sadar wajahku memerah.

    “Oke...baiklah....jadi Ria akhirnya jadian sama Lutfi...” gerutu Farhan sambil menepuk dahinya seakan-akan dia merasa kecewa atau menyesal. Tapi kemudian pemuda itu nyengir lebar ke arahku dan Lutfi. “Selamat deh untuk kalian berdua. Sudah kuduga kalian emang cocok jadi pasangan.”

    Aku dan Lutfi tersenyum dan saling pandang.

    Meski melalui cara yang tidak biasa, tapi peristiwa ini adalah awal yang indah bagi kami berdua. Semoga nantinya aku dan Lutfi bisa mengalami hal-hal menarik lainnya. Tapi tentu saja, hal-hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan Error dan Phantasm.

    Tuhan....jangan biarkan semua ini cuma mimpi belaka....hidupku sudah cukup gila.....jadi setidaknya biarkan aku menikmati waktu-waktu indah bersama Lutfi lebih banyak lagi.

    Aku berdoa semoga kami bisa menjalani kisah kasih yang indah, tanpa ada halangan yang berarti.

    Tanpa sadar aku kembali tersenyum ke arah Lutfi, yang langsung balas tersenyum padaku.

    Saat itu juga, perasaanku melayang dan aku merasa ada di surga.

    ***

    Aku berjalan menyusuri lorong rahasia di bawah kota Bandung ini dengan perasaan kalut. Baru saja aku mendapat laporan kalau ada beberapa orang tikus dari IMAGE yang berhasil menemukan keberadaan tempat ini. Aku benar-benar tidak menyangka kalau IMAGE akhirnya mengendus lokasi ini. Kalau sudah begini, kami harus pindah lagi.
    Setelah menyusuri lorong gelap tanpa cahaya yang menyebalkan ini, aku akhirnya sampai di tempat tujuanku.

    Sebuah ruangan dengan lubang besar ditengahnya yang dikelilingi dengan lampu sorot. Di tengah lubang itu terdapat sebuah tangga spiral menuju ke dasar dan jembatan baja yang menghubungkan antara tangga spiral itu dengan tepian lubang.

    Aku berkali-kali menelan ludah saat aku berjalan melintasi jembatan penghubung menuju tangga spiral. Tanpa sadar aku berkali-kali memandang ke bawah, ke arah kegelapan pekat yang sama sekali tidak tertembus cahaya. Saat aku berjalan menuruni tangga, menuju dasar lubang, rasanya kegelapan di sekitarku berputar-putar dan berusaha menelan diriku. Aku baru bisa bernafas lega ketika sampai di dasar lubang, karena disini cahaya bisa bersinar, meski temaram.

    Aku benci tempat ini...gumamku pada diriku sendiri.

    Tapi mau tidak mau aku harus datang kesini. Ini salah satu tugas dan resiko yang kutanggung sebagai ketua dari Persaudaraan Tombak Langit. Meski kami sudah dibubarkan oleh IMAGE beberapa bulan yang lalu, tapi kegiatan kami masih terus berlangsung.

    “Aah....akhirnya kau datang juga.”

    Terdengar suara seorang pria yang sebenarnya tidak akan kutemui kalau tidak terpaksa. Pria itu tampak berdiri di samping seorang gadis yang mengenakan armor baja ringan di tubuhnya.

    “Bagaimana dengan tikus-tikus IMAGE itu, apa mereka sudah mati?!” tanyaku tanpa basa-basi.

    Pria itu tertawa tertahan, lalu menjawab dengan santainya. “Belum. Mereka belum mati. Mereka tampak menarik sekali, jadi aku membiarkan mereka kabur.”

    “Sialan!!! Kalau IMAGE sampai datang kesini, habis sudah!!! Apa kau lupa mereka sudah menggagalkan rencanaku sebelumnya?!”

    Aku langsung membentaknya begitu mendengar jawaban pria itu. Tapi pria itu tampak tidak bergeming sama sekali, dia malah tersenyum lebar.

    “Edwin....Edwin....kau tidak perlu khawatir rencana ini akan berakhir seperti rencana Persaudaraan Tombak Langit-mu dulu,” ujar pria itu dengan tenangnya. Dia lalu mengetuk dahinya dengan telunjuknya. “Semuanya sudah kuatur di dalam sini, di dalam otakku. Tapi harus kuakui, kegagalanmu waktu itu sudah membuka peluang bagus bagi para ‘Pedang’ untuk beraksi. Jadi aku harus memujimu karenakau sudah gagal waktu itu.”

    Aku mengepalkan kedua tanganku karena jengkel bukan main. Orang ini benar-benar menyebalkan hingga aku tidak sabar untuk mengeluarkan Phantasm-ku dan menghabisinya, tapi dia juga begitu berbahaya sehingga aku tidak berani macam-macam dengannya. Kalau aku nekat melawannya, maka bisa dipastikan mayatku yang akan ditemukan mengambang di sungai kota Bandung. Biarpun Mayu, Phantasm pria itu hanya berwujud seorang gadis kecil ber-armor ringan, tapi dia jauh lebih kuat dari Phantasm manapun yang pernah kutemui.

    Sambil menghembuskan nafas panjang, aku berusaha menenangkan diri.

    “Oke.....aku percaya padamu. Tapi kau harus menunjukkan hasilnya padaku!” ujarku sambil berbalik dan mulai menaiki tangga spiral lagi.

    Sebelum aku naik, sekilas aku melihat pria itu mengelus kepala Phantasm-nya yang berwujud seorang gadis. Dia tampak memandangi kegelapan pekat di depannya, lalu kembali tersenyum lebar dan berkata.

    “Meski semua pemainnya sudah berkumpul, belum saatnya ‘Teater Ilusi’ ini dimainkan. Masih banyak yang harus kita lakukan. Tapi percayalah......pada waktunya nanti mereka semua akan berdansa dalam alunan musik kematian, diatas panggung yang sedang kusiapkan. Bersabarlah....”

    Seakan-akan memahami ucapannya, kegelapan di depan pria itu tampak bergolak dengan penuh semangat. Hal itu membuatku langsung merinding dan mempercepat langkahku.

    Kau memang orang yang berbahaya.....Isono....

    Aku bergumam sambil bergegas meninggalkan tempat mengerikan ini. Tapi di dalam benakku, gambaran mengenai rencana yang sempat disinggung Isono kembali terulang.

    ‘Tombak’ku memang sudah patah, tapi aku masih punya ‘Pedang’ yang bisa kugunakan .Heh! aku jadi tidak sabar lagi......

    Aku lalu tersenyum lebar sambil membayangkan betapa briliannya rencana yang disusun oleh Isono itu.

    Pada saatnya nanti warga kota Bandung akan melihat isi neraka berkeliaran di sekitar mereka....dan itu akan terjadi tidak lama lagi.....

    ***
    FIN?

    red_rackham 2011

    Base: Dream, Coin, Map

    Fan-fiction based on indonesian manga, Fatamorgana by Mukhlis Nur & Wing Yudha

    Ini gw jadikan entri untuk lomba Fanfic Project
     
    • Thanks Thanks x 2
    Last edited: Jun 24, 2011
  4. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    panjang waeeeeeeeeeee, kk Red!!!
    Bagusnya, dibuat jadi 2 part aj, biar yang baca gk ngeh karna gk ad jedanya. :peace:


    ceritanya oke gila!! Nice fantasy! :top:
    untuk sekarang, ak komen itu aj, deh..
    maaf, ya kk Red, lo komen ak rada gk guna.. :maaf:
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  5. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    tamat:???:

    udah tamat:???: atau gara-gara maksimal 15 halamannya udah terpenuhi:hoho:

    bagus...:top:

    cuma ada sedikit yang kurang... apa ya... kalau dibilang sih... deskripsi? bukan.

    apa ya... kurang begitu kerasa lah perasaan takut si aku-nya itu. cuma pendapat saya sih:ngacir:

    :maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Udah gw pilah2 jadi 4 part biar ga capek bacanya :peace:

    Ahaha....komennya berguna kok. Jadi saran bwat gw biar bagi2 story jadi beberapa part, biar pembaca ga capek bacanya :top:


    Betoel....tamat...

    Soalnya itu emang sengaja gw bikin cliffhanger.

    Fan-fic itu sebenernya bukan sepenuhnya fan-fic, karena bakalan ada hubungannya dgn manga Fatamorgana yg bakalan terbit :peace:

    Hmm.....emang bener sih. Gw kurang menggali emosi si karakter utama (Ria).
    Tapi thanks atas komennya ^___^
     
  7. Gorgomm M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Aug 20, 2010
    Messages:
    374
    Trophy Points:
    66
    Ratings:
    +783 / -0
    salut sama ide ceritanya, walau setiap orang mampu mengeksplor fantasinya namun takkan pernah mampu mengalahkan kegelapan yang sesungguhnya, maaf kalo ini salah kaprah
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Kurir Bintang


    Kurir Bintang


    “Ada yang jelas-jelas salah dengan tugas kali ini.”

    William berkata sambil menggeram. Kuping anjing dan ekornya terlihat menegang ketika dia bicara. Pria dari ras Kilika, ras manusia anjing itu, terus memandangi sebuah kotak logam besar di depannya nyaris tanpa berkedip. Sesekali dia mencium beberapa sudut kotak itu dengan hidungnya yang memiliki penciuman tajam. Tapi sayangnya dia tidak mencium apapun yang mencurigakan.

    “Apanya yang salah? Ini tugas yang mudah dan sama sekali tidak berbahaya. Kita tinggal mengantar kargo ini dari Bumi ke Koloni Iria-12 di orbit Uranus. Tidak sulit kan?”

    Ruri membalas perkataan William. Wanita berusia 23 tahun itu berkacak pinggang sambil tersenyum lebar. Matanya yang berwarna hijau jamrud tampak berbinar-binar ketika memandangi kotak logam di depannya.

    Sebagai kapten kapal Little Star, sekaligus pimpinan dari perusahaan kurir antar-planet, Wave Rider, saat ini Ruri sedang merasa sangat gembira. Bagaimana tidak, dia baru saja menerima pekerjaan yang sangat mudah, tapi bayarannya sangat besar.

    DUA BELAS JUTA BILL!!. Itulah jumlah uang yang dibayar oleh pelanggannya untuk pekerjaan kali ini. Jumlah itu jelas-jelas luar biasa fantastis, mengingat untuk mengirimkan kargo sebesar dan seberat ini, biasanya hanya dikenakan biaya sebesar 250 ribu bill.

    Ruri memang mengakui kalau pekerjaan ini terasa agak ganjil. Siapa memangnya yang mau menghamburkan uang jutaan bill hanya untuk mengirim sebuah kargo dari Bumi ke Uranus? Tapi dia sama sekali tidak mau melewatkan kesempatan untuk mendapatkan uang banyak seperti ini.

    William sebagai orang yang pikirannya ‘cukup normal’ di antara anggota tim Wave Rider lainnya, tentu saja luar biasa curiga.

    “Ruri...firasatku tidak enak. Lebih baik kita buang saja kargo ini. Bagaimana?” ujar William lagi.

    Tentu saja ucapan William membuat Ruri marah.

    “Enak saja! Tidak akan!” bantah Ruri dengan nada jengkel. “Aku tidak akan menyia-nyiakan pekerjaan seperti ini begitu saja! Lagipula....pikirkan ini William! Dengan uang 12 juta bill, kita akhirnya bisa memperbaiki dan meng-upgrade Little Star. Pesawat tua ini benar-benar butuh make-over besar-besaran!”

    “Aku setuju dengan Ruri,”

    Tiba-tiba terdengar suara lain dari pintu ruang kargo. Ruri dan William lalu menoleh dan mendapati Jagyahan, mekanik Little Star, berdiri sambil bersedekap. Empat dari enam tangan pria dari ras Unghan itu tampak memegangi kotak besi berisi peralatan mekanik. Pakaiannya yang dipenuhi bekas oli dan cairan entah apa menunjukkan kalau dia baru saja selesai memperbaiki sesuatu.

    “Baru saja aku memperbaiki kebocoran di Photon Particle Accelerator, tapi perbaikan yang kulakukan hanya bersifat sementara saja. Kalau ada yang memaksa mesin kapal bekerja kelewat keras lagi, aku khawatir benda itu akan jebol. Lalu kita semua akhirnya akan jump langsung ke surga,” ujar Jagyahan dengan nada muram. “Harus kuakui William, aku sebenarnya sependapat denganmu soal pekerjaan kita kali ini. Tapi kita benar-benar butuh banyak uang untuk memperbaiki kapal butut ini.”

    “Tuh kan!” ujar Ruri dengan nada penuh kemenangan. “Apa kubilang, William! Dengan uang sebanyak itu kau juga bisa membeli bone-biscuit sebanyak yang kau mau!”

    William menggonggong marah. Ekor dan kupingnya langsung tegak.

    “Jangan samakan aku dengan seekor anjing!!” bentak William jengkel, dia lalu menggeram dan menunjukkan deretan gigi-giginya yang runcing.

    “Will! Jangan makan kapten! Kita masih butuh dia sebagai kapten Little Star.”

    Seorang android wanita langsung memberi peringatan. Android itu terlihat bersandar di pinggir pagar pembatas ruang kargo. Dari ekspresi yang terlihat di wajah buatannya, android itu terlihat lelah dengan pertengkaran yang sering terjadi antara Ruri dan William.

    “Ai-Oricika. Bagaimana pendapatmu?” tanya Jagyahan.

    “Entah. Aku tidak peduli,” jawab Ai-Oricika dengan nada cuek. Android itu lalu menambahkan. “Tapi kalau kalian memang curiga. Kenapa kalian tidak buka saja kargo itu? Kalau isinya berbahaya tinggal kita buang saja sambil jalan. Nanti kalau ditanya kemana kargo itu, bilang saja ada kecelakaan dan kargo itu jatuh di Jupiter.”

    “Oi! Yang benar saja!”

    “Alasan macam apa itu, bodoh!”

    William dan Ruri berseru nyaris bersamaan. Lalu keduanya terdiam dan saling pandang.
    Ucapan android yang merupakan pilot Little Star itu benar. Mereka bisa saja membuka kargo itu untuk memastikan tidak ada benda berbahaya di dalam kargo itu. Berhubung akhir-akhir ini teror bom semakin marak di sekitar tata surya, mau tidak mau Ruri jadi khawatir kalau mereka sebenarnya hanya dimanfaatkan sebagai ‘kurir kematian’.

    “Baiklah. Ayo kita buka kotak ini,” ujar Ruri sambil menyingsingkan lengan bajunya. “Ai! Turun kesini dan bantu aku!”

    “Ogah!” tolak android itu dengan tegas.

    “Jagyahan!” ujar Ruri sambil menoleh ke arah mekanik itu.

    Jagyahan mengangkat keenam bahunya dan berjalan ke arah kotak logam yang ada di depan Ruri. Mekanik ahli itu lalu membuka boks peralatannya dan mengeluarkan obeng, kunci inggris, kunci pas, dan sebuah tang besar. Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Jagyahan untuk membuka kunci kotak logam itu.

    Tapi begitu kotak logam itu terbuka, semua anggota tim kurir Wave Rider langsung melongo. Tidak terkecuali Ai-Oricika yang merupakan seorang android.

    “Apa?!” gumam Jagyahan sambil menjatuhkan kunci inggris yang dia pegang.

    “Ya ampun!” ujar Ruri sambil menutup mulutnya.

    “Astaganaga....!” gumam William. “Maksudku...astaga...naga!?”

    Rupanya isi kotak logam itu adalah seorang gadis setengah naga dari ras Lundgen. Gadis itu menatap ke arah Ruri, Jagyahan, lalu ke arah William. Dengan nada kebingungan gadis itu lalu bertanya.

    “Ehmm....ini dimana ya?”

    ***


    “Jadi ada sekelompok orang bermantel coklat tua, bertampang seram, dan berlogat aneh yang menculikmu dari resortmu di Bumi saat kau sedang berlibur. Lalu mereka memasukkanmu ke dalam kotak logam, lalu meminta kami untuk mengantarkan kotak berisi dirimu itu sampai ke koloni Iria-12 di orbit Uranus?”

    Ruri bertanya pada si gadis naga sambil memijat dahinya, kebiasaan yang selalu dia lakukan kalau dia merasa pusing atau bingung. Phi langsung mengangguk mengiyakan.

    “Oke....jadi ini masalah penculikan....atau intelligent-being trafficking. Aku jelas-jelas tidak mau terlibat nih, kapten.”

    Ai-Oricika langsung berkomentar sambil memegangi roda kemudi kapal Little Star.

    “Aku juga!” balas Ruri dengan nada jengkel, wanita itu lalu mengambil botol air di dekat kursi kaptennya. Wanita itu lalu menggerutu sendiri. “Ini bisa rumit sekali urusannya....”
    William yang mendengar gerutuan Ruri langsung menghela nafas panjang, kemudian menoleh ke arah Phi.

    “Jadi, namamu tadi Phi ya?” tanya William.

    Phi mengangguk.

    “Benar. Namaku Phirina Hira Lugventai. Tapi orang biasa memanggilku Phi,” balas gadis naga itu. “Kalian sendiri sebenarnya siapa?”

    “Kami adalah tim kurir antar planet, Wave Rider,” William lalu menunjuk dirinya sendiri. “Namaku William, ahli senjata. Lalu wanita bertampang bodoh itu Ruri, dia kapten kami. Kemudian android bertampang cuek itu Ai-Oricika, pilot kapal butut ini. Orang bertangan enam yang tadi membebaskanmu itu Jagyahan, mekanik kami.”

    “Ah.....salam kenal semuanya,” ujar Phi sambi membungkuk dengan sopan.

    “Jadi....sebenarnya siapa kau ini, Phi?” tanya William lagi.

    Phi tampak terdiam sejenak dan jelas terlihat kalau dia merasa ragu untuk menjawab pertanyaan dari William. Gadis itu memandang anggota tim kurir Wave Rider satu persatu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari William tadi.

    “Aku adalah putri dari Lord Kurwana Hira Lugventai, kaisar planet Cirrus-026, pemimpin ras Lundgen. Aku juga menjabat sebagai diplomat planet Cirrus-026 untuk Bumi, dibawah organisasi Solar-Pact.”

    “APPPUAAA?!”

    Jawaban Phi, spontan membuat Ruri menyemburkan air yang baru saja dia minum, sementara William langsung ternganga. Hanya Ai-Oricika yang tampak biasa saja, meski reaktor di dalam tubuh android itu baru saja nyaris mengalami overload.

    “Tu.....tunggu sebentar....oke....uhm....jadi kau seorang diplomat sekaligus putri kaisar di planet Cirrus-026?” tanya William. Begitu Phi mengangguk, kepala manusia anjing itu langsung terasa berputar-putar. “Sebentar....ini sangat tidak baik....bukannya kau seharusnya menghadiri konferensi antar planet di Cirrus-026 sekarang?”

    “Konferensi apa?” tanya Ruri dengan tampang seperti orang bodoh.

    “Agh! Makanya lihat berita sekali-kali!!!” geram William sambil mengacak-acak rambutnya. “Konferensi antar planet dibawah organisasi Solar Alliance, konferensi Solar-Pact!!. Tahun ini konferensi yang melibatkan 450 planet itu digelar di planet Cirrus-026, planet asal bangsa Lundgen. Kalian tahu sendiri, bangsa Lundgen itu salah satu bangsa terkuat di Solar Alliance. Kalau mereka tahu putri sekaligus diplomat kekaisaran mereka mendapat masalah......mereka pasti akan mulai menyalahkan Solar Alliance.”

    Ruri langsung paham maksud perkataan William.

    “Astaga! Itu bisa gawat sekali!” ujar wanita itu sambil memijat dahinya lagi. “Bisa-bisa pecah perang antar-planet!”

    “Kapten? Kalau perang benar-benar pecah, boleh aku pensiun dari Wave Rider?” tanya Ai-Oricika dengan cueknya.

    “Tentu saja tidak, android jelek!” sahut Ruri segera.

    Wanita lalu berdiri dan berseru memberi perintah pada anggota timnya yang lain.

    “Baiklah kalian semua! Kita ubah rute perjalanan kita!!” perintah Ruri dengan tegas. “Putar haluan, melaju pada kecepatan penuh! Kita pergi ke planet Cirrus-26!!”

    ***

    Sayangnya perjalanan menuju planet Cirrus-26, tempat konferensi Solar Pact digelar, tidaklah mudah.

    Orang-orang yang menculik Phi entah bagaimana sudah mengetahui kalau Ruri dan timnya akan pergi ke planet Cirrus-26, sehingga kapal tempur mereka sudah mencegat Little Star tidak jauh dari Jump Gate.

    “Perhatian kapal Little Star. Kami perintahkan kalian untuk menyerahkan gadis Lundgen yang ada di dalam kapal kalian sekarang. Kami berjanji tidak akan menyakiti kalian kalau perintah kami kalian turuti. Tapi kalau tidak......kami akan menenggelamkan kapal kalian!”

    Seorang pria bertudung coklat tampak terlihat di layar holografis yang melayang di depan ruang kendali kapal Little Star. Dari ekspresi wajah yang terlihat dari pria itu, jelas kalau dia berbohong.

    “Omong kosong! Kau tetap akan menenggelamkan kapal kami meski kami menyerahkan Phi padamu!” balas Ruri. Dia lalu berdiri sambil mengacungkan jari tengahnya. “Tangkap saja kami kalau bisa!”

    “TANCAP GAS!!” seru Ruri setelah memutuskan sambungan komunikasi dengan para penculik itu.

    Begitu mendengar aba-aba Ruri, Ai-Oricika langsung mendorong tuas energi ke posisi maksimum. Empat mesin Ion-Thruster di belakang Little Star langsung menyala sambil menyemburkan energi, membuat kapal tua itu melaju dengan kecepatan tinggi.

    Tentu saja para penculik Phi tidak tinggal diam. Kapal tempur mereka langsung melaju cepat dan mengejar Little Star.

    “Ruri....apa tidak terpikir olehmu mereka akan menenggelamkan kapal ini kalau kita kabur?” tanya William dari balik bangku kendali senjatanya.

    “Tidak akan! Kalau Phi adalah sesuatu yang berharga untuk ‘ditukar’ dengan sesuatu, mereka tidak akan men....”

    “Kapten......Kita baru saja dikunci!” seru Ai-Oricika memberi peringatan. “TEMBAKAN PERTAMA!!!”

    “Putar 50 derajat ke kiri!!! KECEPATAN PENUH!!!” jerit Ruri.

    “AYE!” sahut Ai-Oricika.

    Android itu langsung memutar roda kemudi kapal ke kiri, membuat Little Star bergerak menghindari sebuah Photon Torpedo yang meluncur cepat ke arah kapal itu. Guncangan keras langsung terasa oleh tim Wave Rider ketika peluru energi itu menyerempet sisi kanan kapal.

    “Kita berhasil menghindar!” ujar Ai-Oricika. Android itu lalu menambahkan dengan nada muram. “Tapi kalau kita tidak menambah kecepatan, kita pasti hancur....”

    “Sial!” umpat Ruri, dia lalu menekan tombol interkom dan menjerit. “JAGYAHAN!!! KITA BUTUH KECEPATAN EKSTRA!!!!”

    Wajah Jagyahan langsung muncul di layar holografis dan jelas terlihat dia sedang kesulitan.

    “Jangan bercanda! Sudah kubilang Photon Particle Accelerator di mesin kita bisa meledak kalau kupaksa!” balas pria itu sambil memutar sebuah katup dengan 3 tangannya, sementara 2 tangan yang lain sibuk mengetikkan sesuatu di layar panel kontrol. “Kau mau kita semua mati konyol Ruri?!”

    Ruri menghantam sandaran tangan di kursi kaptennya dengan marah. Wanita itu lalu menoleh ke arah William.

    “Will! Bagaimana dengan senjata kita? Apa kita bisa melawan mereka?” tanya Ruri pada ahli senjata itu.

    “Mustahil! Memangnya kau pikir Linear Cannon kita sanggup menenggelamkan kapal tempur sebesar itu? Jangan konyol!” balas William dengan nada tegang.

    Sebuah guncangan keras kembali terasa ketika tembakan kedua kembali menyerempet badan Little Star. Kali ini kerusakannya cukup berat hingga salah satu kabin jebol, dan memuntahkan semua isinya keluar.

    “Kapten! Kabinku baru saja jebol! Pikirkan sesuatu!” desak Ai-Oricika sambil memutar lagi kemudi untuk menghindari tembakan ketiga. Kali ini Little Star berhasil menghindar dengan sempurna. “Kapten!!”

    Ruri langsung duduk diam dan berpikir keras. Sesekali pandangannya jatuh ke arah Phi yang duduk diam di kursi operator komunikasi. Sebelum Ruri sempat bicara, Phi tiba-tiba bicara terlebih dahulu.

    “Apa di kapal ini ada bahan yang bisa meledak?” tanya Phi pada Ruri dan William.

    “Banyak! Ada sekitar 500 kg amunisi Linear Cannon dan 1 ton Compact Hidrogen Fuel di kargo kita,” jawab William dengan heran. “Memangnya kau mau apa?”

    “Bisa tidak kita buang semua benda itu kebelakang, ke arah kapal tempur yang mengejar kita? Lalu kita ledakkan tepat di dekat kapal itu. Walau daya ledaknya tidak akan cukup untuk menghancurkan kapal itu, setidaknya itu akan memperlambat mereka.”

    Ruri, William, dan Ai-Oricika langsung terdiam begitu mendengar ide Phi.

    “Kau dengar itu Will?” tanya Ruri.

    “Dengan jelas sekali,” sahut William sambil nyengir lebar. “Jadi?”

    “Ayo kita lakukan!” ujar Ruri sambil mengadu kedua tinjunya. “Ai! Pastikan kau bisa menghindari semua tembakan selanjutnya!”

    “Dengan catatan Photon Particle Accelerator kita tidak meledak duluan,” balas android itu dengan muram.

    Ruri dan William langsung pergi ke ruang kargo dan mengenakan Constructor Suit, sebuah baju robotik sekaligus mesin yang biasa digunakan untuk pekerjaan konstruksi berat di luar angkasa. Mereka berdua langsung memindahkan semua kotak-kotak dan tabung berisi amunisi dan Compact Hidrogen Fuel ke dekat pintu kargo. Tentu saja semua kargo tersebut sudah dipasangi pemicu ledakan terlebih dahulu.

    “Semoga ini berhasil....” gumam Ruri.

    Wanita itu lalu menarik sebuah tuas dan membuka pintu kargo. Ruri sengaja tidak menyedot udara di dalam kargo agar begitu pintu terbuka, semua isi kargo yang sudah disiapkan langsung terlempar keluar.

    Benar saja, belum lagi pintu kargo terbuka lebar, pusaran udara sudah muncul dan menerbangkan ratusan kilo kargo keluar kapal. Kargo-kargo itu tampak melayang-layang di luar angkasa dan tersebar di belakang kapal Little Star.

    Dari sudut pandang para penculik Phi, awak kapal Little Star tampak sedang berusaha mengurangi beban kapal mereka untuk menambah kecepatan. Dalam kapal tempur mereka, para penculik itu tertawa mengejek karena mengetahui tindakan itu sia-sia. Mereka sama sekali tidak curiga kalau kotak-kotak dan tabung-tabung yang dibuang itu berisi bahan mudah meledak.

    Dengan penuh percaya diri mereka terus mengejar Little Star dan mengabaikan kargo-kargo yang mereka lewati.

    “Matilah kalian semua!” seru Ruri penuh kemenangan sambil menekan sebuah tombol holografis di depan wajahnya, tepat ketika kapal tempur lawannya itu melewati setengah dari kargo yang dia buang.

    Sebuah ledakan dahsyat langsung menelan setengah kapal tempur milik para penculik Phi. Gelombang kejutnya menerpa Little Star dan secara tidak disengaja, memberikan tambahan kecepatan pada kapal tua itu. Dalam waktu beberapa menit saja, Little Star sudah mencapai Jump Gate yang akan mengantarkan mereka ke dekat planet Cirrus-26.

    Sementara itu, meski ledakan akibat bom yang dilepaskan oleh Ruri dan William tidak menghancurkan kapalnya, tapi kapal tempur milik para penculik Phi itu kini tidak bisa bergerak. Ledakan barusan sudah merobek lambung kapal dan merusak sebagian besar mesin kapal mereka. Para penculik itu sama sekali tidak bisa berbuat apapun ketika melihat Little Star semakin mendekati Jump Gate.

    Di dalam ruang kendali Little Star, Ruri tidak henti-hentinya tertawa puas sambil memeluk erat Phi.

    “Jenius! Kau benar-benar jenius, Phi!” sorak Ruri, masih sambil memeluk Phi. “Nah, Ai, bersiaplah untuk melakukan Jump. Kita akan berkunjung ke salah satu konferensi terbesar di galaksi Bima Sakti ini.”

    “Siap, kapten!” sahut android itu. Tapi dia lalu menambahkan. “Apa setelah ini aku akan dapat bonus?”

    ***

    Berkat ide brilian dari Phi, keahlian mengemudikan kapal yang dimiliki Ai-Oricika, serta kecepatan reaksi dari Ruri dan William, semua tim Wave Rider akhirnya mencapai planet Cirrus-26 dengan selamat.

    Begitu mereka muncul di dekat planet ras Lundgen itu, tim Wave Rider langsung disambut oleh pasukan gabungan Solar Alliance. Mereka rupanya sudah mengetahui perihal penculikan Phi oleh sekelompok orang tak dikenal, dan sudah melakukan penyelidikan. Tidak lama lagi para penculik itu akan segera ditahan.

    “Untunglah putriku bertemu dengan orang-orang seperti kalian. Kalau tidak, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Phi ini adalah segalanya bagi saya. Terlebih, posisinya sebagai diplomat membuat saya semakin khawatir lagi.”

    Lord Kurwana Hira Lugventai tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada William, Ai-Oricika, dan Jagyahan. Karena jasa besarnya, anggota tim kurir Wave Rider, mereka diundang secara khusus ke acara jamuan makan para diplomat dan utusan antar planet yang hadir di konferensi Solar-Pact.

    Ai-Oricika tidak henti-hentinya memandangi seorang android pria yang tampak berdiri mendampingi utusan Martian Society. Sesekali dia memalingkan wajahnya ketika android itu menoleh ke arahnya. Sementara Jagyahan dengan santainya sudah bergabung dengan sekelompok orang yang sibuk berdebat mengenai keamanan transaksi uang antar planet.

    William berdiri diam dan memandang ke sekelilingnya. Sejak tadi dia mencari-cari dimana Ruri berada. Segera setelah dia dan anggota timnya menerima bintang penghargaan dari Lord Kurwana Hira Lugventai, wanita itu langsung menghilang begitu saja.

    “Tidak bisa kupercaya....kita ada di pertemuan kelas antar-planet dan dia menghilang begitu saja?” tanya William sambil memainkan gelas anggur yang dia pegang. “Ruri itu memang sulit ditebak jalan pikirannya...”

    William baru saja akan meminum anggurnya ketika tiba-tiba tangannya ditarik paksa oleh seseorang. Orang itu tidak lain adalah Ruri.

    Wanita itu tampak tersenyum lebar dan kedua matanya berbinar-binar. Tanpa mengabaikan protes dari William, Ruri menyeret satu persatu anggota timnya menjauh dari pesta. Lalu memaksa mereka semua untuk naik ke dalam Little Star. Jelas anggota timnya merasa jengkel dengan tindakan egois Ruri.

    “Kapten! Apa-apaan ini?! Seharusnya aku mendapatkan cuti setelah semua kejadian tadi!” protes Ai-Oricika.

    “Android itu benar! Lagipula Little Star belum selesai diperbaiki!” timpal Jagyahan.

    “Ruri! Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya William jengkel.

    Wanita itu tidak menjawab dan langsung menunjukkan sebuah layar holografis di depan anggota timnya.

    “Lupakan pestanya. Kita sudah dapat bintang penghargaan dan uang imbalan atas jasa kita. Sekarang kembali ke pekerjaan!” ujar Ruri dengan nada bersemangat. “Baru saja diplomat planet Herjuin memintaku mengantarkan sebuah kargo penting. Kalau berhasil, dia akan membayarku 158 juta bill!! Luar biasa sekali bukan?”

    “Memangnya apa isi kargo itu, kapten?” tanya Ai-Oricika sambil memainkan jarinya.

    “Tidak tahu!” sahut Ruri dengan entengnya.

    Ai-Oricika langsung menepuk dahinya dan berbalik.

    “Lalu....kemana kita harus mengantar kargo itu?” tanya William. Dalam hati dia sudah menduga kalau pekerjaan ini akan sama tidak beresnya dengan pekerjaan yang baru saja mereka selesaikan.

    “Ke galaksi M-112,” jawab Ruri sambil menunjukan peta galaksi pada William.

    “GALAKSI M-112!!??” bentak William.

    “Ya. Benar sekali. Galaksi M-112” sahut Ruri dengan riang.

    “Kau GILA!? Galaksi itu jaraknya 50 kali Long Jump dari sini!” bentak William lagi sambil menggeram. “Apa kau tahu berapa lama kita akan sampai di galaksi itu?!”

    “Ah....paling lama 4 bulan. Tapi itu sepantar dengan imbalannya kok. Jangan khawatir!” balas Ruri lagi.

    Kali ini William tidak bisa berkata apapun. Pria ahli senjata itu hanya memegangi kepalanya yang baru saja serasa mau pecah sambil menggerutu. Ai-Oricika, sang pilot langsung terkulai lesu diatas roda kemudi kapal, dia tahu kalau perjalanan ini akan sangat panjang dan tidak menyenangkan. Jagyahan langsung membenturkan kepalanya ke dinding kapal. Dia tahu bahwa sebagai mekanik kapal, pasti dia harus mati-matian menjaga agar mesin butut Little Star tidak meledak sebelum sampai di tempat tujuannya. Sementara itu Ruri, sang kapten kapal tidak berhenti tersenyum dan bahkan mulai bersenandung riang.

    Kenapa aku bisa terjebak bersama tim kurir antar planet, yang isinya orang-orang sinting seperti ini?? gerutu William dalam hati.

    ***
    ~FIN~

    Red_Rackham 2011

    Juga saia post di Kemudian.com
     
    Last edited: Aug 3, 2011
  9. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    ceritanya very very nice. kk!!! :top:
    berasa aku lagi diluar angkasa. Jump antar galaksi, serasa lagi main space ranger. :lalala:
    tapi, kenapa Little Star gk diupgrade dulu sebelum mereka pergi dengan uang penghargaan itu??
    oh, ya.. satu lagi, pembayaran jasa kurirnya itu, sebelum atau sesudah diantar, sih? Karna lo sebelum diantar, 12 juta bill itu seharusnya bisa mereka pake untuk reparasi L.S :???: Dibagian sini harusnya dikasi sedikit penjelasan, menurut ak..
    maaf, kk Red, lo komen'a sok tau gitu.. :maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
  10. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    fantasy-nya:matabelo:

    keren banget:top:

    sekali-kali pake tambahan deskripsi buat efek suaranya kk:siul:

    biar lebih kerasa:siul:

    :maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jun 27, 2011
  11. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Thanks atas komennya.

    Hmmm....sistem kurir sih biasanya dibayar klo barang udah nyampe. Jd mereka blom dapet duid klo barangnya blom nyampe ke penerima, jadi ga bs reparasi L.S.
    Trus pas bagian akhir....yah pokoknya jasa kurir itu kan biasanya motonya Diantar secepat mungkin. Jadi ga da waktu untuk docking (istilah perkapalan untuk perawatan dan reparasi besar). Soalnya reparasi mesin kapal biasanya butuh waktu lama.



    Wahaha.....thanks atas jempolnya.
    Deskripsi bwat efek suara.....hmmm.....not my style. Sorry ya. Efek suara sih akan lebih berasa kalau hanya berupa deskripsi.
    Misalnya: bunyi ledakan di otak masing2 orang kan beda2....ada yang: JELEGEEERR!!! DHUAAR!!! BOOM!!! DHIEER!!! JGEEEERRR!!! BLEDUM!!! dsb.... jadi biar universal, saia bikinkan deskripsi saja, soal SFX sound silahkan dibayangkan sendiri :peace:
     
  12. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Lampu

    Mimpi itu datang lagi.

    Dalam mimpi itu, aku melihat diriku sendiri bersama seorang anak kecil yang tidak kukenal, berlari menyusuri sebuah lorong yang panjang dan sempit. Ada yang mengejar kami dari belakang, dan mereka ingin kami berdua mati. Kami mencoba mempercepat laju kami, tapi percuma. Mereka terlalu cepat dan kami terlalu lambat. Namun sebelum mereka menangkap kami, aku pasti merasakan rasa sakit yang tidak tertahankan di tubuhku.

    Kemudian aku pasti terbangun sambil menjerit-jerit seperti orang gila, hanya untuk diumpati oleh tetangga sebelah yang baru saja tidur. Mimpi ini berulang beberapa hari sekali dan selalu muncul pada saat yang salah.

    Seperti malam ini.

    Aku mengusap wajahku yang dipenuhi keringat dingin lalu mendesah dan mendengarkan tetangga sebelah melemparkan kata-kata yang tidak bisa kuucapkan kembali. Awalnya aku juga balas mengumpatinya, tapi tetanggaku yang lain ikut bangun dan mulai menggedor pintuku. Tapi aku jadi stress sendiri, akhirnya aku membiarkan tetanggaku yang pemarah itu terus berteriak hingga dia lelah.

    Aku menoleh ke arah jam dindingku.

    Pukul 3 dini hari....bagus sekali....

    Aku menguap lalu berjalan ke arah kulkas yang ada di dapur.

    “Kulkas sial! Pintunya macet lagi!!!”

    Aku menggerutu sambil menarik pintu kulkas sekuat tenaga, tapi pintu benda sial ini sama sekali tidak bergeming. Memang kulkas tua ini punya banyak masalah. Mulai dari pendingin yang sering bocor, pintu yang susah dibuka, dan yang paling parah, bau menyengat yang tertinggal berminggu-minggu kalau aku lupa mengeluarkan sisa makanan basi dari dalam kulkasku.

    “*@&#*%&!@)#*%!&%%$!@~/?*^&%!!!!”

    Aku mengumpati kulkas itu dan menendang pintunya sekuat tenaga. Seperti mengejekku, pintu kulkas itu sama sekali tidak terbuka.

    Akhirnya aku menyerah dan menyambar botol air yang kuletakkan diatas meja, lalu meneguk isinya. Setelah memuaskan dahagaku, aku duduk di sofa dan menyalakan televisi.
    Sepertinya pagi ini memang benar pagi sial bagiku.

    Televisi kuno-ku memutuskan untuk berhenti menyala pagi ini. Aku menekan tombol remote dengan frustasi, tapi televisi bodoh itu sama sekali tidak menyala.

    Kalau aku kalap, aku bisa saja melemparkan benda rongsokan itu keluar jendela apartemenku. Tapi akal sehatku masih bekerja dan menghentikanku melakukan hal-hal bodoh.

    Aku mendesah dan menutup mata lagi.

    Setiap kali mimpi itu datang, aku pasti tidak bisa tidur lagi sampai pagi.

    “Aaaah! Kenapa sih mimpi itu selalu muncul? Kalau itu pertanda, kenapa tidak memberikan gambaran yang lebih jelas!?”

    Aku menggerutu sendiri dan bangkit dari sofa.

    Mungkin angin dingin di pagi buta bisa membuatku lebih tenang sedikit.

    Sambil bersenandung pelan, aku melangkah keluar dari apartemenku dan berjalan menuruni langkan tangga yang sempit dan gelap. Apartemen ini memang kondisinya sangat menyedihkan. Aku sendiri heran kenapa aku bisa tahan hidup di tempat seperti ini. Daripada sebuah apartemen, tempat ini lebih mirip kandang merpati. Parahnya, kadang baunya memang seperti itu. Awalnya aku juga tidak tahan, tapi lama-lama aku terbiasa.
    Kemampuan beradaptasi itu memang mengerikan. Aku dulu sama sekali tidak pernah membayangkan diriku hidup diantara orang-orang pemarah, pemabuk, pecandu obat, maniak, dan jenis-jenis lain yang tidak bisa kuceritakan.

    Intinya....tempatku tinggal sekarang lebih mirip neraka.

    Meski begitu, aku harusnya lebih bersyukur karena masih punya atap dan kasur saat tidur. Masih banyak orang lain yang harus tidur beralas aspal dan beton, serta beratapkan langit kota yang suram.

    Sambil berjalan menyusuri komplek perumahan di dekat apartemenku, aku memandang ke sekelilingku.

    Hari masih sangat gelap dan matahari belum sama sekali menampakkan wujudnya. Sesekali aku memperhatikan sudut-sudut gang dan bangunan yang gelap. Berhati-hati terhadap apapun yang bisa tiba-tiba muncul dan menyerangku.

    Yah....zaman sekarang memang tidak sebaik zaman dulu. Sekarang orang bisa saja ditemukan mati di dalam rumahnya, atau lebih buruk lagi, hilang begitu saja tanpa jejak.

    Aku menengadah dan memandangi langit malam yang tidak berbintang.

    Terkutuklah polusi cahaya dan asap di kota ini. Berkat itu tidak ada bintang yang mau bersinar di atas kota padat ini.

    Aku mendesah lagi.

    Seharusnya aku berhenti menggerutu dan mengutuki segala sesuatu.

    Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang sangat menarik perhatianku.

    Di sudut jalan, tepatnya di bawah sorotan lampu jalan yang temaram, aku melihat seorang anak kecil berdiri ketakutan. Dari tempatku berdiri, aku memang tidak bisa melihat jelas wajahnya, tapi dari sikapnya, aku tahu dia ketakutan.

    Aku tahu ini akan terdengar bodoh. Tapi aku langsung menghampiri anak itu. Begitu aku mulai mendekat, anak itu langsung gemetar ketakutan. Wajar saja.

    “Nak, aku tidak akan menyakitimu.”

    Aku berusaha meyakinkannya untuk tidak takut padaku. Tapi dia semakin ketakutan dan berusaha bersembunyi di balik tiang lampu.

    Aneh. Kalau dia begitu ketakutan, kenapa dia tidak lari saja?

    Aku mendekat lagi, dia langsung berjongkok. Masih sambil memeluk tiang lampu di depannya. Anak itu menutup matanya dan menutupi kepalanya dengan sebelah tangan, seolah-olah aku akan memukulnya. Ajaibnya, dia tidak menjerit atau berteriak ketakutan.
    Yah untung saja begitu. Kalau tidak akan ada banyak orang yang langsung keluar rumah dan mulai menyerbuku.

    “Nak, tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu. Jangan takut.”

    Sekali lagi aku berusaha meyakinkan anak itu dan sepertinya usahaku mulai membuahkan hasil.

    Perlahan-lahan anak itu membuka matanya dan menatapku dengan tatapan heran bercampur takut. Tapi dia masih tidak mau melepaskan tiang lampu dari pelukannya.

    “Siapa namamu nak?”

    Anak itu hendak membuka mulutnya dan menjawab, tapi dia terdiam lagi dan menggelengkan kepalanya. Kemudian menatapku dengan tatapan memelas.
    Aku menggaruk belakang leherku dan mendesah lagi.

    “Oke....jadi kau tidak punya nama atau kau tidak mau menjawabku?”

    Anak itu menatapku kebingungan. Lalu menggelengkan kepalanya.

    “Oke...aku bingung sekarang. Jadi dia ini tidak punya nama, tidak mau menjawab, atau sekedar tidak mengerti ucapanku?”

    Aku tidak ambil pusing dan menyapanya lagi.

    “Kalau begitu kau akan kupanggil Lampu. Kenapa bingung? Kan aku tidak tahu namamu dan karena kau terus memegangi tiang lampu itu, aku memanggilmu Lampu. Bagaimana?”

    Anak itu terdiam dan sepertinya sedang berusaha memahami perkataanku. Lalu tanpa terduga, dia menatapku dan tersenyum manis.

    Sebenarnya senyumannya seharusnya lebih dari cukup untuk membuatku tersenyum, tapi sebaliknya. Aku justru ketakutan setengah mati ketika pandanganku bertemu dengan pandangan anak itu.

    Mata anak itu berwarna hitam pekat. Benar-benar pekat. Sampai bayanganku atau sinar lampu jalan diatasnya tidak terpantul di mata anak itu. Ketika melihat matanya, aku merasakan seolah-olah diriku ditarik masuk ke dalam mata anak itu.

    Aku langsung merinding, tapi aku memutuskan untuk membawa anak itu kembali ke apartemenku.

    Oke. Sebelum ada yang berpikir aku pedofil. Kutegaskan kalau aku hanya tidak tega melihat anak itu berdiri seorang diri dipinggir jalan. Sama sekali tidak ada niat lain.
    Ketika aku membawa anak itu kembali ke apartemenku. Nasibku sedang sial.

    Aku bertemu 3 orang junkies yang tinggal satu apartemen denganku. Ketiganya langsung melotot waktu melihatku naik, mata mereka nyaris keluar dari kepala mereka ketika melihat anak kecil yang kubawa.

    “Apa lihat-lihat?!!”

    Aku menggeram dan mengusir mereka. Ketiganya langsung kembali ke kamar mereka dan membanting pintu.

    Lampu menatapku heran.

    Aku mengusap kepalanya dan menjelaskan siapa ketiga orang itu. Mereka hanya sekelompok sampah yang hidupnya bergantung pada obat yang mereka pakai setiap saat.

    Lampu tersenyum lagi melihatku menggerutu. Tapi senyumannya lagi-lagi tidak membuatku senang.

    Aku mendengus dan mendorong anak itu agar kembali berjalan hingga kami tiba di depan kamarku. Aku langsung membuka pintu itu dan membiarkan Lampu masuk terlebih dahulu.

    Anak itu langsung berkeliling kamar apartemenku yang sempit dengan gembira. Dia terlihat kagum melihat televisi rongsokanku yang baru saja mati, kulkas sial yang pintunya belum juga mau terbuka, serta kompor listrik butut yang tidak mau menyala tanpa membuatku tersetrum.

    “Kau lapar?”

    Aku bertanya pada Lampu. Anak itu memiringkan kepalanya lagi.

    Oke. Jadi dia tidak mengerti apa yang kuucapkan. Bagus sekali.....

    Aku menggerutu lagi dan mengusap perutku, lalu menunjuk ke arah perutnya. Lampu tampaknya mengerti dan menepuk perutnya sendiri dan membuka mulutnya.

    Oke. Itu artinya dia lapar. Kalau begitu akan kucoba membuka pintu kulkas sialan itu. Kalau dia tidak mau terbuka juga, besok aku akan melemparkan benda itu ke tong sampah!

    Sambil mengumpat lagi, aku menarik pintu kulkas tuaku. Tapi pintu itu tidak mau terbuka. Aku menarik-narik pintu itu berkali-kali, menendang, dan meninjunya. Tapi kulkas itu tetap keras kepala.

    “Kulkas sial!!! Besok kau akan pergi ke tong sampah!!!”

    Aku berseru marah sambil menendang pintu kulkas itu sekali lagi.

    Ajaibnya, pintu benda tua itu perlahan-lahan terbuka. Aku bersorak gembira dan buru-buru membuka pintu itu dan mengeluarkan beberapa potong daging beku yang kusimpan. Kemudian mulai memasak daging itu diatas kompor listrik, setelah melontarkan beberapa umpatan lagi karena tersetrum kompor butut itu.

    Setelah matang, aku menyajikan daging itu bersama salad sayuran layu yang masih ada di dalam kulkasku. Aku sudah lupa berapa lama aku menyimpan sayuran itu, tapi aku tidak peduli. Baunya masih oke dan warnanya belum berubah, jadi kupikir masih aman dimakan.

    Aku meletakkan daging itu diatas meja di depan sofa dan menggiring Lampu untuk duduk di sofa.

    Anak itu memandangiku dan daging diatas meja dengan bingung.

    Aku memperagakan gerakan orang makan pada anak itu dan menunjuk ke arah daging diatas meja makan. Anak itu menatapku dengan matanya yang hitam pekat, hingga membuatku berpaling lagi.

    “Makanlah! Ini enak!”

    Aku mencuil sedikit daging yang kusediakan dan memakannya. Sekedar untuk menunjukkan kalau daging ini enak dan tidak kuracuni.

    Lampu masih memandangku dengan tatapan bingung. Perlahan-lahan dia mencuil daging yang kumasak dan memakannya. Tapi tidak sampai menelannya, dia lalu memuntahkan lagi daging itu. Anak aneh itu lalu menatapku dan menggelengkan kepalanya.

    “Kau tidak bisa makan daging? Kenapa? Apa masakanku segitu tidak enaknya??”

    Lampu tidak menjawab, dia lalu mulai mengambil sayuran yang kusajikan bersama daging itu dan memakannya dengan lahap. Heran bercampur lega, aku memperhatikan anak itu makan dengan lahap.

    Selesai makan, Lampu tiba-tiba merebahkan tubuhnya diatas sofa dan memejamkan matanya. Dia lalu tertidur begitu saja.

    Aku mengambil daging yang kusajikan untuknya dan memakannya. Rasanya sih seperti daging, walau tidak bisa dibilang lezat. Yang penting masih bisa dimakan. Setelah selesai makan, aku memperhatikan anak yang kini tertidur pulas di sofaku.

    Oke....sekarang apa yang harus kulakukan dengan anak ini? Aku kan tidak bisa menjaganya seharian....aku harus kerja. Lagipula....siapa yang tega meninggalkan anak ini sendirian di tengah pagi buta? Orangtuanya pasti sudah gila!

    Aku sendiri bingung kenapa aku membawanya ke apartemenku, padahal aku tahu ini akan jadi masalah besar. Kadang aku heran kenapa sesekali otakku tidak bisa bekerja dengan benar. Sambil terus menggerutu aku mengambil piring kosongnya dan meletakkannya diatas bak cuci, lalu berjalan ke arah jendela, membuka tirai, dan membuka jendela kamarku.

    Cahaya matahari langsung menyapaku, disertai angin yang membawa debu dan polusi.
    Sambil batuk-batuk dan mulai menggerutu lagi, aku memandang ke bawah. Seperti biasanya orang-orang sudah memulai hari mereka dan berjalan dengan tergesa-gesa. Pemandangan ini sudah kulihat setiap hari selama 8 tahun lebih.

    Tapi hari ini pandanganku langsung terpaku pada sebuah mobil van hitam yang diparkir tepat di depan pintu apartemen.

    Instingku langsung bilang ada yang tidak beres pada mobil van itu.

    Tepat ketika aku berpikir seperti itu, pintu depanku digedor dengan kuat.

    “Buka pintunya! Kami tahu kau dan anak itu ada di dalam!!”

    Suara seruan dari balik pintu itu langsung membuatku berlari ke kamar tidur dan meraih ke balik kasur. Sebuah benda hitam dan berat langsung berada di genggamanku. Aku menyelipkan benda itu ke balik punggungku, lalu berlari ke ruang utama dan membangunkan Lampu.

    “Bangun!”

    Satu guncangan sudah membuat anak itu terbangun dan duduk dengan tiba-tiba.

    Suara gedoran dan seruan di balik pintu apartemenku semakin keras. Aku sudah tahu kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi kuputuskan untuk melarikan diri sebelum itu terjadi.

    Lampu memandangku dengan tatapan bingung bercampur ketakutan.

    “Jangan lihat aku seperti itu! Kita harus pergi dari sini! Ikuti aku!!!”

    Aku menarik Lampu ke arah jendela dan melongok ke bawah.

    Bagus! Tidak ada yang berjaga di bawah sana.

    Lampu memandangku lagi dan jendela, bergantian. Wajahnya langsung memucat ketika dia sepertinya sadar apa yang akan kulakukan.

    Anak itu menyilangkan tangannya dan mulai berseru ketakutan. Tapi aku tidak peduli. Ini urusan hidup dan mati.

    Tanpa basa-basi aku merangkul tubuh anak itu dan melompat keluar jendela.

    Tindakan bodoh?

    Memang. Tapi aku tahu apa yang kulakukan.

    Meski kamarku berada di lantai 13, aku tahu fisikku masih sanggup bertahan kalau hanya melompat dari ketinggian seperti itu. Dan aku sengaja mengarahkan lompatanku tepat diatas van hitam yang diparkir di depan pintu apartemen.

    Berat tubuhku, ditambah berat tubuh Lampu, langsung meremukkan atap mobil van malang itu. Orang-orang di kamarku langsung sadar aku sudah melarikan diri dan langsung melompat keluar jendela, sementara aku sudah berlari masuk ke sebuah lorong.

    Nafasku memburu. Aku mengutuki diriku karena tidak sering-sering olahraga. Tapi sekarang tidak ada waktu untuk berhenti dan menarik nafas. Aku harus segera lari atau mereka akan menangkapku dan Lampu.

    Jarak kami pada awalnya cukup jauh, tapi lama kelamaan kami tersusul juga. Aku tahu tidak lama lagi mereka akan segera menyusulku.

    “Berhenti!!!!”

    Aku mendengar orang-orang dibelakangku berseru marah. Tentu saja aku tidak berhenti begitu saja, meski otakku terus menjerit dan menyuruhku berhenti berlari.

    Kemudian aku mendengar suara desing samar, lalu sebuah lubang sebesar piring makan langsung muncul di tong sampah yang baru kulewati.

    “GILA!!!”

    Aku berseru dan melompat ke gang di sampingku, tepat ketika lebih banyak lagi suara desing dan lubang-lubang muncul di sekitar tempatku berdiri tadi.

    Sekarang jantungku berdegup terlalu kencang dan nyaris meledak. Aku menoleh dan melihat Lampu meringkuk ketakutan di sampingku. Aku mengelus kepalanya dengan lembut.

    “Tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir.”

    Aku berusaha menenangkan anak itu, sekaligus diriku sendiri karena saat ini aku juga sedang ketakutan setengah mati.

    Perlahan-lahan aku meraih ke balik pinggangku dan mengambil benda hitam yang kuselipkan disana. Benda itu adalah sebuah senjata. Senjata yang sama seperti yang digunakan orang-orang yang mengejarku.

    Aku memandangi alat pembunuh itu dengan ngeri. Tidak terbayang akan datang hari dimana aku akan menggunakan benda itu. Tapi tidak ada pilihan lain.

    Sambil mendengarkan langkah kaki mereka yang perlahan-lahan mendekat, aku menggenggam erat senjataku.

    Tuhan....aku tahu aku terlalu banyak mengutuk dan mengumpat. Tapi setidaknya jangan tinggalkan aku sekarang.....

    Aku memohon dalam hati dan mengambil ancang-ancang. Lalu melompat ke arah lorong tadi dan menembakkan senjataku pada siapapun yang kulihat di lorong itu.

    Beberapa pengejarku langsung roboh dengan tubuh berlubang-lubang. Tapi yang lain sempat menghindar dan berlindung di ceruk dan tumpukan sampah logam yang ada di lorong itu. Kemudian mereka balas menembak.

    Adu senjata berlangsung singkat karena peluruku sangat terbatas. Baru beberapa detik saja, aku sudah kehabisan peluru dan terpaksa mundur.

    “!&@$!(~&!! Kenapa aku tidak sekalian beli peluru cadangan waktu membeli senjata sial ini!!!!!”

    Sambil mengumpat dan mengutuki kebodohanku, aku berlari dan menyambar tubuh Lampu yang masih meringkuk ketakutan. Kemudian aku membawanya lari lagi.

    Sayangnya aku tidak bisa lari jauh, karena di belakangku terdengar lagi suara desing-desing samar. Kemudian aku terjatuh begitu saja.

    Aku kebingungan setengah mati karena tiba-tiba saja kakiku kehilangan tenaga dan tubuhku mendadak membentur jalanan. Sambil berbaring aku mulai menyadari satu fakta tidak terelakkan.

    Aku baru saja tertembak.

    Aku bisa merasakan cairan hangat mengalir dari lubang-lubang di tubuhku. Seiring dengan mengalirnya darahku, aku bisa merasakan nyawaku juga perlahan meninggalkan tubuhku.

    Aku tahu aku akan segera mati.

    Aku menatap Lampu yang kini mulai menangis dan menggucang-guncangkan badanku yang sudah mulai kaku. Suaranya mulai terasa bergema, seakan-akan dia berbicara dari kejauhan.

    “Lampu....larilah! Jangan biarkan orang-orang itu menangkapmu! Lari! LARI!!!”

    Dengan sisa tenagaku, aku membentaknya untuk segera melarikan diri. Anak itu perlahan-lahan bangkit dan mulai berlari menjauh, meski masih terus menoleh ke belakang.

    Aku bisa mendengar orang-orang yang mengejarku berseru marah dan mulai mengejar Lampu. Aku tahu anak itu tidak akan bisa lari. Jadi aku melakukan satu-satunya hal yang terpikirkan olehku.

    Aku mengambil benda lain kusimpan di saku dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi.
    Orang-orang yang baru saja melewatiku langsung berhenti dan terpaku di tempat. Wajah mereka langsung memucat seputih kapur ketika melihat silinder metalik di tanganku.
    Aku tahu apa yang mereka pikirkan, jadi aku langsung tersenyum lebar dan mengacungkan jari tengahku pada mereka.

    Mampus!

    Aku menekan ujung silinder itu sambil tertawa lepas.

    Kemudian semuanya menjadi putih. Tapi bersamaan dengan itu, aku juga merasa sangat damai.

    Aaaah....akhirnya damai.....

    Pagi itu aku bangun karena suara dentuman hebat yang membuat kaca-kaca jendela kamarku berderak nyaring.

    Aku langsung lompat dari tempat tidur dan berlari ke pintu keluar.

    Tadinya kukira ada gempa, tapi setelah tidak terasa getaran lain, aku kembali ke dalam kamar.

    “@&#!^$*!&!!!”

    Aku mengumpat dan membanting pintu hingga tertutup.

    Sudah cukup tadi malam aku dibangunkan tengah malam oleh tetangga gilaku yang berteriak-teriak. Kemudian aku dibangunkan lagi oleh suara gedoran pintu di kamar tetanggaku beberapa menit yang lalu. Sekarang....apalagi?!

    Sambil menggaruk kepalaku, aku menyalakan televisi dan menonton berita.

    Tayangan berita yang kulihat benar-benar membuatku ternganga.

    Sebuah ledakan dahsyat baru saja terjadi di area pemukiman padat penduduk, hanya berjarak 3 blok dari apartemenku. Ledakan itu meruntuhkan 5 apartemen, dan merusak 10 rumah lain di sekitarnya.

    Tapi bukan itu yang membuatku rahangku nyaris jatuh ke lantai, melainkan foto pelaku yang terpampang di layar televisi.

    Orang di foto itu sudah kulihat selama 8 tahun lebih dan selalu kukutuki serta kuumpati beberapa minggu terakhir ini.

    Ya. Orang di foto itu adalah tetangga gilaku yang sering teriak-teriak tengah malam.
    Aku mendengarkan pembawa berita menyiarkan kronologi kejadiannya.

    Aku makin ternganga lagi ketika mendengar ucapan pembawa berita di televisi itu.

    “.....pelaku diketahui berusaha melarikan diri dari kejaran polisi sambil membawa barang terlarang. Sempat terjadi baku tembak antara polisi dan pelaku yang menewaskan 4 orang personil, dan melukai 2 lagi. Pelaku tewas dalam ledakan, namun barang terlarang yang dilarikan tersangka diduga selamat dan kini berkeliaran di tengah kota. Bagi siapapun yang melihatnya, diharap segera melaporkan ke pos polisi terdekat....”

    Aku mematikan televisi dan menelan ludahku.

    Gambar barang terlarang yang kulihat di televisi langsung terbakar di dalam benakku.

    Gambar seorang anak manusia bermata hitam pekat tadi membuatku nyaris tercekat. Cepat-cepat aku berjalan ke arah kamar mandi dan mencuci mukaku. Aku lalu menatap ke arah bayanganku sendiri di cermin.

    Wajahku terlihat agak kacau gara-gara kurang tidur dan berita tadi membuatnya makin buruk. Aku mengusap tanduk kananku dan menyeringai, memperlihatkan gigi-gigiku yang runcing. Ekorku yang tebal dan bersisik kuangkat lalu kuperiksa. Gara-gara kurang tidur, sisik di ekorku jadi agak kusam.

    Aku menggerutu lagi dan mengutuki tetanggaku, berikut keributan yang sudah dibuatnya.

    Manusia.

    Tidak kusangka aku akan melihat mereka lagi. Kukira mereka semua sudah punah di alam, dan sisanya hanya hidup di penangkaran saja. Rupanya ada yang lepas dan membuat keributan.

    Aku tidak peduli apa yang dipikirkan tetanggaku itu. Setidaknya sekarang aku tidak akan terganggu lagi dengan jeritannya di tengah malam.

    Sambil tersenyum puas, aku berbalik dan kembali menyalakan televisi. Berita tadi kusingkirkan jauh-jauh dari benakku.

    Bah! Kuharap hari ini tidak akan lebih buruk lagi. Naga tua sepertiku tidak butuh kejutan-kejutan lagi seperti tadi.

    Aku menggerutu lagi dan mulai menonton televisi.

    -FIN-

    Cerpen LAMPU ini adalah salah satu entri di lomba Fantasy Fiesta 2011 dengan nomor urut 16.
    Silahkan memberikan komentar disini atau di situs Kastil Fantasi.

    Entry no. 16 "LAMPU"
     
    Last edited: Jul 15, 2011
  13. araishi93 M V U

    Offline

    Joined:
    Jun 20, 2011
    Messages:
    0
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +102 / -0
    Ceritanya seru kak,:matabelo:
    Saya pikir tokoh si Aku adalah manusia,
    whahaha, ternyata bukan

    Point of viewnya antara part 1 dan 2 berbeda y kak??
    entar di part3 gmana tu kak??

    Saya menunggu kelanjutannya,
    makasih kk:bye:

    Maaf kalau komentarnya tidak membantu:maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
  14. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Valkyrie

    Aku tidak pernah membayangkan kalau hidupku akan jadi seperti ini.

    Tadinya aku membayangkan begitu lulus SMA aku akan melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, ke perguruan tinggi. Kemudian kalau sudah lulus dari perguruan tinggi, aku akan bekerja di sebuah perusahaan swasta besar. Lalu rencanaku pada umur 25 tahun nanti, aku sudah akan menikah dengan gadis pilihanku dan hidup mapan di sebuah perumahan mewah.

    Sayangnya semua impianku buyar begitu aku direkrut sebagai.....ralat! Diubah menjadi seorang Valkyrie.

    Kini hidupku bagai dibalik 180 derajat ke arah yang sama sekali tidak pernah kuduga atau kubayangkan sebelumnya. Hidup tenang hingga usia lanjut sekarang hanya tinggal impian belaka.

    Kecelakaan kereta yang menimpaku 3 tahun yang lalu telah mengubah jalan hidupku selamanya. Gara-gara kecelakaan itu, aku seharusnya sudah mati. Tapi aku masih bisa hidup sampai sekarang gara-gara tubuhku diubah seenaknya oleh organisasi Valhalla. Sekarang ini satu-satunya bagian tubuhku yang masih asli cuma otakku, yang lainnya sudah bukan terbuat dari darah dan daging lagi.

    “Rudi!!! Dia datang ke arahmu! Habisi dia!”

    Seruan itu langsung membuyarkan lamunanku. Aku lalu mengangkat wajahku dan melihat seekor makhluk buas bertangan 7 sedang menyerbu ke arahku. Makhluk itu membuka kedua mulutnya yang dipenuhi taring tajam dan meraung sekeras-kerasnya.

    “Cerewet!!”

    Aku berseru dan mencabut pedang yang kugantungkan di pinggangku. Dengan satu gerakan cepat dan satu ayunan berketepatan tinggi, aku berhasil membelah makhluk buas itu tepat di pinggangnya. Potongan tubuh makhluk itu langsung jatuh dengan suara memuakkan, sementara darah berwarna coklat tua langsung menyembur dan membasahi tubuhku.

    Astaga!!! Baunya!!

    Aku menutup hidung untuk mencegah bau darah makhluk itu masuk ke dalam paru-paru buatanku. Tapi sia-sia saja. Bau sampah basah yang membusuk tetap tercium dan membuat mataku berair. Aku mengeluarkan beberapa umpatan dan mengayunkan pedangku beberapa kali hingga bilahnya bersih dari darah makhluk yang baru saja kubunuh.

    “Kerja bagus Valkyrie Rudi. Seperti biasanya.”

    Seorang gadis seumuranku langsung berlari santai menghampiriku. Gadis itu berambut hitam panjang dan memiliki wajah imut yang selalu tersenyum hampir setiap saat. Tapi tidak ada yang berani menggodanya karena takut berakhir di dalam kantung mayat.

    “Kerja bagus apanya? Makhluk itu sudah lemah gara-gara tembakan-tembakanmu kan? Aku hanya membereskan sisanya saja,” gerutuku.

    Gadis itu langsung menepuk punggungku.

    “Bisa saja kau. Tentu saja ini berkat kerjasama kita berdua!” serunya gembira.
    Aku ikut tersenyum.

    Yulia Rahmawati adalah nama rekanku ini. Dia juga seorang Valkyrie dan memiliki spesialisasi dalam pertempuran jarak menengah dan jarak jauh. Aku menatap ke arah pakaian Valkyrie yang dia kenakan. Berbeda dengan sebagian besar pakaian Valkyrie yang berwarna putih-biru, pakaian milik Yulia berwarna hitam pekat. Alasannya sih agar dia tidak mudah terdeteksi saat berburu. Tapi sebenarnya itu cuma alasan saja karena Yulia memang menyukai warna-warna gelap.

    Tapi harus kuakui dengan pakaian berwarna gelap itu, dia terlihat sangat seksi.

    “Tadi itu gila juga ya, Rudi,” ujar Yulia sambil berjalan menjauhi mayat monster yang baru saja kubunuh. “Terror yang muncul mencapai 4 ekor dan semuanya sudah masuk Fase Dewasa. Memangnya sekarang ini hari apa sih?”

    “Jum’at tanggal 13. Orang bilang sih hari ini hari sial,” sahutku muram.

    Yulia tertawa lagi sambil memanggul senapan khususnya di pundak.

    “Itu kan hanya takhayul. Aku tidak percaya pada hari sial,” ujarnya.

    [“Valkyrie Yulia! Valkyrie Rudi! Kerja bagus! Sekarang kembalilah ke Pusat Operasi. Kita pergi dari sini. Biar Tim Pembersih yang membersihkan sisa-sisa kekacauan yang kalian buat!”]

    Tiba-tiba dari radio yang tertanam di pakaian kami terdengar suara bernada memerintah. Suara itu adalah milik Komandan Haris, atasan kami berdua. Kalau dia sudah bilang begitu, berarti tugas kami sudah selesai disini dan semua Terror yang muncul sudah kami basmi.

    Aku langsung meregangkan tubuh dan menarik nafas panjang, lalu mengamati keadaan di sekeliling kami.

    Perumahan mewah yang tadi tampak begitu megah kini jadi berantakan. Tapi kerusakan yang terjadi bukan hanya ulah Terror, tapi karena ulah kami berdua juga. Setidaknya yang membuat tempat ini dipenuhi darah dan potongan tubuh itu bukan kami, tapi para Terror. Walaupun tetap saja aku dan Yulia yang sudah meruntuhkan 2 rumah mewah dalam pertempuran kami tadi. Aku menggaruk kepalaku karena merasa sedikit frustrasi. Nanti ketua Tim Pembersih pasti akan datang dan mengamuk di depanku atau di depan Yulia.

    Tapi apa boleh buat. Kerusakan segini saja tidak berarti kalau kami bisa mencegah Terror tadi memunculkan Terror baru.

    “Nah Rudi. Ayo kita pulang. Aku sudah tidak sabar untuk mandi air panas dan tidur di kasurku yang empuk!”

    Yulia berjalan sambil bersenandung riang.

    Kadang aku heran kenapa Yulia selalu terlihat gembira setiap kali dia turun ke lapangan untuk membasmi Terror. Padahal aku sendiri tetap merasa muak dan mual begitu membunuh seekor Terror.

    Bagaimanapun.....mereka dulunya manusia biasa...sampai mereka terkena virus Agathangelos dan berubah menjadi monster buas dan haus darah.

    Aku masih belum bisa menghilangkan kesan bahwa ‘aku membunuh manusia’ setiap kali memotong tubuh seekor Terror.

    Sudahlah...lupakan hal itu Rudi....sekarang waktunya istirahat!


    ***

    Dua minggu sudah berlalu sejak perburuanku yang terakhir bersama Yulia. Selama dua minggu itu aku benar-benar menikmati hidupku.

    Yah...walau tidak sesuai bayanganku dulu, tapi sekarang aku benar-benar bisa hidup bermewah-mewahan. Selama dua minggu terakhir ini aku menghabiskan waktuku berwisata keliling Eropa. Aku begitu menikmati liburanku tapi diam-diam aku juga bertanya-tanya kenapa Yulia tidak menghubungiku. Gadis itu biasanya segera menghubungiku setiap kali kami mendapat jatah libur, lalu dia akan memaksaku untuk menemaninya pergi ke tempat-tempat favoritnya.

    Aku sih sama sekali tidak keberatan. Aku bahkan merasa sangat senang kalau berada bersama gadis itu. Yah...mau bagaimana lagi. Aku sudah jatuh cinta pada gadis itu sejak kami bertemu di Arena Pelatihan Valkyrie.

    Liburanku sebenarnya benar-benar menyenangkan, sampai aku mendapatkan sebuah pesan darurat dari Valhalla.

    Isi pesan darurat yang disampaikan melalui ponselku itu benar-benar membuat jantung buatanku berhenti berdetak selama beberapa *******

    CODE BLUE: Valkyrie, kode VA-18221-YR was Terrorized.
    COMMAND: Elimiate at sight
    INSTRUCTION: Target was labelled as a S-Rank Valkyrie. Heavy long-range weaponry are recommended. Hunt in pack.


    Seketika itu juga aku langsung pergi ke bandara dan bergegas kembali ke Indonesia dengan penerbangan pertama yang bisa kudapat hari itu juga. Kepalaku serasa berputar dan aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Rasanya seperti ada kabut di dalam otakku.

    Ketika aku sampai di Valhalla keesokan harinya, aku dikejutkan dengan kehadiran beberapa orang Valkyrie dengan perlengkapan siap tempur lengkap. Seperti yang diinsruksikan di pesan yang kuterima, mereka membawa senjata berat untuk menghadapi Valkyrie itu.

    Aku mengabaikan tatapan mengasihani yang kuterima dari mereka semua dan bergegas masuk ke dalam gedung untuk menemui Komandan Haris. Begitu aku membuka pintu ruangannya dengan kasar, dia langsung menyapaku.

    “Aku tahu kau pasti akan datang kesini Valkyrie Rudi Hartanto. Aku sudah menunggumu,” ujar atasanku itu. “Aku tahu berita ini pasti sangat mengejutkan bagimu.”

    “Apa yang terjadi?! Apa maksud pesan ini!?”

    Aku tanpa ragu membentak Komandan Haris, meski tahu dia adalah atasan langsungku.

    “Seperti yang tertera dalam pesan itu. Valkyrie dengan nomor kode VA-18221 FFA sudah berubah menjadi Terror. Itu terjadi 2 hari yang lalu dalam sebuah perburuan. Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kami sudah kehilangan 3 orang Valkyrie dalam perburuan itu. Mereka mati oleh tembakan senjata Anti-Terror,” balas Komandan Haris dengan tenang, meski aku membentaknya. “Dari rekaman yang berhasil kami ambil. Yulia Ferdinan Aldiansyah adalah pelakunya. Dia tiba-tiba menembak kedua rekannya hingga tewas, lalu menghilang dari perimeter setelah membunuh satu Valkyrie lagi. Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi kami duga dia sudah terinfeksi virus Agathangelos.”

    Aku langsung menggeram marah dan memukul meja kerja Komandan Haris hingga meja itu terbelah dua dengan suara keras.

    “OMONG KOSONG!!” Aku membentaknya sambil meraih kerah leher salah seorang Komandan Valhalla itu. “Yulia tidak mungkin berubah jadi Terror! Lagipula tidak mungkin kami terinfeksi oleh virus Agathangelos! Tubuh ini hampir seluruhnya terbuat dari mesin!”

    Anehnya Komandan Haris masih dengan sikap begitu tenang, bahkan dihadapanku yang tampaknya siap mengubahnya jadi bubur beberapa saat lagi.

    “Itulah yang ingin kami ketahui. Tapi menangkapnya adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin dilakukan. Kau yang paling kenal dengan Yulia, jadi kau tahu seperti apa kemampuannya,” ujar Komandan Haris dengan suara datar, nyaris tanpa emosi. “Aku tahu kau dan dia memiliki hubungan yang sangat dekat, lebih dari rekan perburuan. Tapi kau harus sadar. Seorang Valkyrie yang sudah berubah menjadi Terror jauh lebih berbahaya daripada Terror yang sudah mencapai Fase Dewasa.”

    Aku langsung terdiam begitu mendengar ucapan Komandan Haris. Pria itu lalu melepaskan genggamanku dari kerah bajunya, lalu memandangku dengan tatapan tajam.

    “Sudah tugas seorang Valkyrie untuk membasmi Terror apapun yang muncul,” ujar Komandan Haris dengan nada tegas. “Meskipun Terror itu tadinya adalah seorang Valkyrie. Sekarang, lakukan tugasmu!”

    Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Meski aku benar-benar ingin meraih leher Komandan Haris dan melemparnya keluar jendela, tapi aku tidak akan melakukannya.

    Aku harus bisa menemukan Yulia sebelum Valkyrie lain berhasil menemukan....atau membunuhnya.

    Yulia....apa yang sebenarnya terjadi padamu?

    ***

    Dari informasi yang kudapat, aku langsung menuju ke lokasi dimana Yulia kabarnya sudah berhasil disudutkan. Tapi aku ragu Yulia bisa dengan mudah ditangkap...atau dibunuh.

    Ketika aku sampai di perimeter, aku diberitahu kalau keributan dan baku tembak baru saja berakhir beberapa menit yang lalu. Sekarang seluruh perimeter itu benar-benar sepi seperti sebuah kuburan. Kalau sudah begini aku punya dua dugaan. Satu: Yulia sudah berhasil dibunuh. Atau Dua: Semua Valkyrie yang dikirim untuk membunuhnya sudah mati terbunuh semua.

    Sayangnya dugaanku yang kedua yang benar.

    Karena ketika aku menyusuri bagian dalam perimeter, aku mendapati mayat para Valkyrie yang tubuhnya dipenuhi lubang sebesar piring makan. Meski kami para Valkyrie memiliki tubuh mesin, tapi kalau sistem pendukung kehidupan sampai mati, maka otak kami akan berhenti bekerja. Itu artinya kami akan mati.

    Aku memeriksa salah satu mayat yang dadanya berlubang akibat terjangan peluru senjata Anti-Terror.

    Ini jelas-jelas akibat perbuatan seorang Valkyrie, bukan seekor Terror.

    Sambil menggenggam erat kedua gagang pedang yang kugantungnya di pinggang, aku berjalan maju. Semakin mendekati pusat perimeter, kerusakan yang terjadi semakin besar. Hingga pada akhirnya aku sampai di sebuah gudang tua yang berada di pusat perimeter.
    Perlahan-lahan aku membuka pintu gudang dan berjalan masuk.

    Tapi apa yang ada di dalam gudang itu benar-benar membuatku terkejut.

    Aku melihat sosok Yulia sedang duduk diatas tumpukan mayat 3 orang Valkyrie. Gadis itu seperti biasanya selalu terlihat tersenyum. Hanya saja kali ini tatapan mata gadis itu terlihat kosong, tidak berbinar-binar seperti biasanya.

    “Yulia!”

    Aku mencoba memanggil namanya untuk memastikan kalau dia masih punya kesadaran. Dan rupanya memang dia masih sadar!

    Gadis itu menoleh ke arahku, lalu memiringkan kepalanya.

    “Ru....di?”

    “Ya! Aku Rudi!” sahutku sambil berjalan perlahan ke arah gadis itu. “Apa yang sebenarnya terjadi?! Para Valkyrie ini...apa kau yang membunuh mereka?!”

    Yulia tampak terdiam sejenak seakan-akan dia bingung dengan perkataanku.

    Ada yang tidak beres dengan gadis itu.....

    Benar saja. Tiba-tiba Yulia tertawa terbahak-bahak. Suara tawa Yulia tidak akan pernah kulupakan sampai kapanpun. Suara tawanya itu terdengar begitu polos, tapi disaat yang sama begitu berbahaya, sehingga aku langsung merinding.

    “Ya! Aku yang membunuh mereka Rudi! Aku yang melakukannya! Kyahahahahahahahaha......!!!!!!!”

    Gadis itu lalu melompat bangkit dari tumpukan mayat yang dia duduki. Gadis itu lalu merentangkan kedua tangannya.

    “Apa kau juga mau membunuhku, Rudi? Apa kau juga seperti mereka, mau menghabisi nyawaku karena aku tahu terlalu banyak?!”

    “Apa maksudmu?!” balasku kebingungan.

    “Jangan pura-pura Rudi! Aku tahu kau sudah mengetahui rahasia dibalik tubuh kita ini!” seru gadis itu lagi.

    “Aku tidak pura-pura Yulia! Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu?!” seruku sambil menggenggam erat gagang kedua pedangku. Aku punya firasat buruk sekali sekarang.

    Tepat ketika aku berpikir seperti itu, Yulia tiba-tiba mencabut dua buah senjata Anti-Terror yang digantungkan di belakang punggungnya. Senjata maut itu langsung menyalak dan melontarkan puluhan peluru padat ke arahku.

    Tapi aku juga bukan Valkyrie sembarangan. Sebagai sesama S-Rank Valkyrie, kemampuanku sama sekali tidak bisa diremehkan. Dalam waktu sepersekian detik, aku mengandalkan gerak refleks super-cepatku untuk menghindar. Meski begitu satu peluru berhasil menyerempet pundakku dan merobek lapisan baju Valkyrie yang kukenakan. Aku tidak menghiraukan luka itu dan terus menerjang maju ke arah Yulia sambil menghunus pedangku.

    “Ayo! Serang aku! Habisi aku! Toh kalian Valhalla sudah tidak membutuhkanku lagi!! Toh pada akhirnya aku akan jadi buruan kalian! Ayo Rudi! Mana serangan terbaikmu!?”

    Gadis Valkyrie itu langsung tertawa terbahak-bahak sambil terus menembakkan senjatanya ke arahku, sementara aku mati-matian menghindar, atau menangkis peluru-peluru yang dia tembakkan. Satu-dua peluru yang ditembakkan menyerempet tubuhku, tapi aku sama sekali tidak peduli.

    Orang akan menganggap aku gila karena melawan dua buah senjata Anti-Terror dengan bermodalkan dua bilah pedang. Tapi aku tidak peduli karena aku tahu aku bisa mengatasi pertempuran ini dengan cukup mudah. Kelemahan utama para pengguna senjata jarak jauh adalah bila mereka diserang dari jarak dekat.

    Dengan cepat aku memperpendek jarak diantara kami berdua hingga pedangku bisa mencapai tubuh Yulia. Gadis itu tentu saja sudah tahu kalau aku akan menyerangnya dari jarak dekat. Biar bagaimanapun kami sudah menjadi partner berburu selama 2 tahun, sehingga dia sudah tahu bagaimana gaya bertarungnya. Dan tentu saja aku juga sudah tahu bagaimana gaya bertarung gadis itu.

    Yulia berputar bagaikan ballerina sambil menyapukan sederetan tembakan beruntun ke sekitarnya, berusaha membuatku kehilangan area untuk menghindar. Sayangnya itu tidak akan berhasil karena aku sudah bisa membaca gerakannya dan melakukan antisipasi. Sambil menghindari tembakannya, aku melancarkan serangan beruntun dengan ketepatan bagai seorang ahli bedah.

    Tebasan pedangku yang pertama telak memotong tangan kirinya, sementara tebasan keduaku berhasil membelah tubuhnya dengan rapi, tepat di pinggang. Tapi apa yang terjadi selanjutnya benar-benar membuatku nyaris membeku ditempat.

    Alih-alih semburan oli atau darah buatan, cairan berwarna coklat tua yang berbau sangat busuk justru menyembur dari luka di tubuh Yulia.

    A....APA!!!??

    Cairan coklat tua dan berbau busuk itu sangat familiar bagiku, karena selama 3 tahun terakhir ini tubuhku selalu dibasahi oleh cairan menjijikkan itu. Cairan itu tidak lain adalah darah Terror. Seketika itu juga aku langsung merasa mual dan muntah ditempat.

    “Ru.....di...?”

    Suara Yulia langsung membuatku berpaling ke arah gadis itu dan melihat dia terbaring tidak berdaya di lantai gudang. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampiri gadis itu dan memeluk tubuhnya.

    Aku tahu seranganku barusan sudah merusak sistem pendukung kehidupan di tubuh Valkyrie-nya, sehingga dia akan segera mati. Itupun kalau isi tubuh gadis itu memang masih seperti yang seharusnya. Alih-alih melihat mesin-mesin di dalam tubuhnya, tubuh gadis itu justru seperti terbuat dari darah dan daging. Hanya saja bukan darah-daging manusia, melainkan darah-daging Terror.

    Perasaanku saat ini benar-benar tidak bisa dilukiskan.

    “Ru...di...Maafkan....aku....” ujar Yulia lirih.

    Aku langsung memeluk erat tubuhnya.

    “Yulia! Apa yang terjadi padamu?! Apa yang terjadi pada tubuhmu?!” tanyaku sambil memeluk tubuhnya.

    Yulia terdiam sejenak. Lalu berbisik di telingaku.

    “Rudi...Valkyrie....kita ini tidak lebih dari sekedar tikus percobaan....” bisik Yulia dengan suara bergetar. “Mereka....Valhalla.....mereka melakukan sesuatu pada tubuhku dan aku jadi begini....Rudi....katakan padaku....apa aku masih manusia? Apa aku masih layak disebut manusia?”

    Aku terdiam sejenak. Tidak terasa air mata mengalir di pipiku.

    “Kau masih manusia. Kau masih manusia, Yulia! Tidak peduli seperti apapun wujudmu, aku akan tetap mengganggapmu manusia!” balasku.

    “Syukurlah...” ujar Yulia sambil tersenyum manis. Dia lalu membisikkan beberapa kalimat yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Kalimat Yulia juga langsung membuatku sadar akan kebodohanku selama ini. Seketika itu juga amarah dan kebencianku memuncak hingga nyaris tidak tertahankan.

    Ketika Yulia selesai bicara, tiba-tiba tubuhnya mengejang dan puluhan tentakel mendadak tumbuh dan mencuat dari berbagai bagian tubuhnya. Gadis itu menjerit nyaring sementara tentakel-tentakel itu terus tumbuh hingga memaksaku melompat mundur.

    “Ru.....di......” ujar Yulia dengan suara lirih dan bergetar. “Kumohon.....biarkan....aku...ma....mati sebagai manusia....aku....aku tidak ingin....jadi....Terror....! Tolong....kumohon.....”

    Aku menggertakkan gigiku dan mengeratkan genggamanku di gagang pedangku.
    Lalu aku mendongak dan menatap langsung ke arah gadis itu, kemudian tersenyum. Itulah senyuman tulusku yang pertama sejak aku menjadi seorang Valkyrie, dan akan jadi yang terakhir.

    “Yulia. Aku mencintaimu.”

    “Aku juga.....Ru.....di..........”

    ***

    Aku tidak bisa berpikir apapun lagi. Aku hanya duduk diam dan termenung sementara Tim Pembersih datang dan membersihkan sisa-sisa dan kerusakan hasil perburuan kali ini.

    Aku hanya memandangi kedua tanganku yang berlumuran darah Terror...darah Yulia....yang baru saja kubunuh dengan kedua tanganku.

    “Rudi. Rupanya kau selamat,”

    Aku mendongak dan melihat Komandan Haris berdiri disampingku. Aku mengabaikan sapaan atasanku itu dan terus memandangi sisa-sisa tubuh Yulia dari kejauhan.

    Jangan ganggu aku!


    “Aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Tapi ini semua sudah berakhir, jadi tidak usah terlalu dipikirkan. Kau sudah bekerja dengan baik.”

    Berhenti bicara!


    “Kalau kau butuh partner baru, aku bisa membantumu mencari partner yang sesuai. Kalau kau mau aku bahkan bisa mengatur siapapun partner barumu sesuai keinginanmu.”

    Diam!


    “Bagaimana Rudi? Aku bahkan bisa mencarikan seorang Valkyrie wanita yang lebih cantik daripada Yulia kalau kau mau.”

    Cukup sudah!!!


    Tanpa berpikir sama sekali, aku meraih pedang yang kutancapkan di lantai dan mengayunkannya ke samping. Tiba-tiba pandanganku dipenuhi oleh warna merah dan terdengar suara benda basah yang terjatuh di sampingku.

    Aku melirik ke samping dan memandangi mayat Komandan Haris yang terbelah dua, lalu tersenyum dan berdiri. Tim Pembersih yang sedang sibuk bekerja langsung membeku ketakutan.

    Aaah....ini mudah sekali. Kenapa tidak dari dulu kulakukan?


    Aku bertanya pada diriku sendiri sambil tersenyum puas. Aku lalu mengambil pedangku yang satu lagi dan merentangkan kedua tanganku ke samping.

    Kalau kami para Valkyrie pada akhirnya hanya akan menjadi Terror yang akan memburu manusia, kenapa tidak kuburu saja mereka sejak sekarang. Toh pada akhirnya nasib kami sama saja. Kami akan berubah menjadi makhluk buas yang memangsa manusia.

    Aku tertawa sinis ketika menyadari kebodohanku selama ini. Aku bahkan sama sekali tidak menyadari hubungan kompleks yang sebenarnya sederhana itu. Hanya Yulia yang menyadarinya. Tapi gara-gara itu dia jadi kehilangan kewarasannya, terlebih ketika menyadari kalau dia baru saja diubah jadi Terror oleh Valhalla.

    Valhalla menciptakan virus Agathangelos.

    Virus Agathangelos menciptakan Terror.

    Terror memburu manusia.

    Valhalla menggunakan virus Agathangelos untuk menciptakan Valkyrie.

    Lalu Valkyrie membunuh Terror.

    Tapi dari Valkyrie lahirlah Terror.

    Dan dari tubuh Terror didapatkan virus Agathangelos.

    Kemudian kembali lagi ke Valhalla menggunakan virus Agathangelos untuk melahirkan Valkyrie baru lagi.

    Sebuah lingkaran setan yang tidak pernah berakhir.

    Selama Valhalla masih ada, virus Agathangelos akan terus diproduksi. Valkyrie akan terus dibuat. Dan Terror akan terus muncul.

    “Kalau begitu mudah saja....” ujarku sambil tersenyum dan memainkan kedua pedangku, sementara Tim Pembersih langsung berlarian ketakutan. “Akan kuburu semua Valkyrie dan orang-orang yang terkait dengan Valhalla sampai habis. Dengan begitu semuanya akan berakhir!”

    Aku langsung tertawa terbahak-bahak seperti orang gila.

    Ini semua baru permulaan.

    Mulai sekarang akan terlahir Terror baru bagi Valhalla.

    Sebuah Terror legendaris yang bernama Rudi Hartanto, seorang mantan Valkyrie!

    ***
    ~FIN~
    red_rackham 2011

    Base:
    - move
    - link
    - complex
     
  15. Marus Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jun 22, 2010
    Messages:
    205
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +11 / -0
    jago banget
    bikin cerpennya..
    ajarin gw dong.. pengen bikin cerpen2 gitu
     
    • Thanks Thanks x 1
  16. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Yurika

    Rasa bersalah selalu menghantuiku setiap kali aku berdiri di depan pintu ini.

    Entah sudah berapa lama aku berdiri disini.

    Mungkin sudah setengah jam.

    Aku hampir tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya kali ini. Aku sudah terlalu banyak berbohong padanya. Entah berapa banyak lagi kata-kata manis yang harus kuucapkan untuk menghibur dan meyakinkan dirinya.

    Aku tidak tahu.

    Ayo....lakukan saja tugasmu seperti biasa!

    Aku bergumam untuk menenangkan diri, lalu menarik nafas panjang. Setelah merasa cukup tenang, aku meletakkan telapak tanganku di atas biometric sensor dan membiarkan benda itu memastikan identitas diriku. Begitu aksesku diterima, pintu logam di depanku menggeser terbuka.

    “Ah! Profesor!”

    Begitu pintu itu terbuka, aku langsung disambut oleh sapaan ramah dari seorang anak perempuan.

    “Halo Yurika. Bagaimana kondisimu pagi ini?” tanyaku dengan nada ramah yang dibuat-buat.

    Anak perempuan itu lalu tersenyum manis diatas sofa empuknya.

    “Uhm....kurasa cukup baik profesor. Hanya sedikit pusing. Tapi tidak apa-apa. Biasanya juga akan segera hilang kalau aku minum obat yang diberikan profesor.”

    Aku hanya tersenyum tipis ketika mendengar ucapannya.

    Bagaimana bisa dia mempercayaiku begitu saja? Aku tidak tahu apakah dia memang sepolos itu, atau dia selalu menyembunyikan rasa curiganya dariku dibalik kedua matanya yang berwarna biru cerah itu.

    “Wah. Apa itu?” tanyaku ketika menyadari apa yang sedang dilakukan oleh gadis kecil itu.
    Dengan mata berbinar-binar gadis itu langsung bangkit dari sofanya dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

    “Ini adalah hasil karyaku hari ini profesor! Lihatlah! Cantik bukan?”

    Aku tersenyum sekaligus merasa bersalah. Gadis itu telah membuat sebuah karangan bunga yang indah dari tumpukan mainan bunga plastik yang kuberikan padanya 3 hari yang lalu.

    “Cantik sekali Yurika,” pujiku sambil berjalan mendekat dan mengamati karangan bunga itu.

    Benar-benar cantik....gumamku dalam hati.

    Ketika aku sedang sibuk mengamati karangan bunga buatan Yurika. Tiba-tiba anak itu menarik dan memegangi sebelah tanganku. Aku langsung menoleh dan menatap ke arahnya.

    “Profesor. Bisa tidak hari ini kita berjalan-jalan ke taman?” pinta gadis itu dengan nada memelas.

    Aku langsung tersenyum dan mengelus kepalanya.

    “Tentu saja. Kenapa tidak?” sahutku.

    Yurika langsung bersorak gembira dan berlari menjauh. Gadis itu lalu membuka lemari pakaiannya dan mengambil sebuah topi lebar berwarna biru cerah. Topi itu juga merupakan pemberianku saat dia pertama kali masuk ke tempat ini.

    “Ayo profesor! Kita berangkat sekarang!” seru Yurika sambil menunjuk ke arah pintu.
    Akupun tersenyum dan berjalan menghampiri gadis kecil itu.

    Tuhan memang tidak adil. Kenapa gadis periang dan cerdas seperti dia harus dikurung di dalam tempat mengerikan ini.

    Tempat dimana dia akan menghabiskan seluruh hidupnya, dan tempat dimana hidupnya itu akan berakhir dengan tragis. Sama seperti lebih dari 200 orang anak lain seperti dirinya.

    ***

    “Profesor! Ini sudah batasnya! Kita tidak bisa terus!”

    “Lupakan batas! Kalau kita tidak bisa menghasilkan apapun hari ini, habis sudah proyek penelitian ini. Lanjutkan!”

    “Tapi profesor....”

    Aku memotong dan mengabaikan peringatan asisten penelitianku itu, lalu memberikan perintah selanjutnya.

    “Lanjutkan! Lompati Protokol no.12 dan langsung lanjut ke Protokol no.18. Stabilkan dulu biorithym subjek sebelum masuk ke Fase Heigermann. Pastikan rasio gelombang otaknya tidak keluar dari Rasio Herman-Tyndall! Lakukan sekarang!”

    Aku langsung menepuk bahu asisten penelitiku dengan keras. Dia langsung mengangguk dan mulai mengetikkan perintah-perintah matematis di komputernya. Teman-temannya langsung mengikutinya dan mulai mengetikkan perintah, atau membaca data-data dan informasi dari instrumen-instrumen canggih di depan mereka.

    Aku lalu menatap ke arah para subjek penelitian di bawah sana. Rasanya salah sekali kalau aku berdiri disini seperti seorang dewa yang sedang mengamati orang-orang dibawah sana yang menderita. Tapi itulah yang sedang kulakukan.

    Aku berdiri di ruangan kontrol ini, sementara dibawah sana, ada 4 orang anak kecil yang masing-masing tubuhnya dihubungkan dengan berbagai macam kabel dan selang. Kepala mereka juga ditutupi sebuah helm yang dilengkapi sensor-sensor canggih yang hanya bisa ditemukan di tempat ini. Tangan dan kaki mereka diikat erat dengan belenggu titanium untuk memastikan mereka tidak berbuat macam-macam ditengah eksperimen.

    Ya. Yang kulakukan disini saat ini adalah sebuah eksperimen manusia yang sangat tidak manusiawi.

    Aku tahu itu.

    Aku sadar itu.

    Tapi aku tetap tidak bisa berhenti melakukannya. Ada 2 milyar nyawa yang kupertaruhkan dalam penelitian ini. Gagal atau berhasilnya apapun yang kami lakukan sekarang bisa sangat menentukan apakah ras kami akan bertahan, atau punah. Oleh karena itu...aku tidak boleh gagal.

    “Biorithym subjek stabil! Status organ-organ vital berada di bawah batas kritis. Semua normal! Rasio gelombang otak 1:1.34...rasionya berada dalam rasio normal Herman-Tyndall. Subjek baru saja memasuki Fase Heigermann tingkat pertama!”

    “Mulai!” ujarku dengan nada pahit.

    “Siap! Mulai!”

    Asistenku langsung mengulangi sambil mendorong sebuah tuas di panel kontrol di depannya. Beberapa saat kemudian terdengar suara dengungan mesin.

    Dengan jantung berdebar tidak karuan, aku mengamati informasi dan data-data yang terpampang di layar holografis di depanku.

    Ayolah.....biarkan percobaan yang ini berhasil!


    “Profesor...sepertinya kita akan berhasil kali ini!”

    Semoga saja......


    Sepuluh menit berlalu.

    Dua puluh menit berlalu.

    Empat puluh menit berlalu.....dan belum ada masalah. Sepertinya kali ini kami berhasil!

    Baru saja aku merasa kalau percobaan kami pada akhirnya akan membuahkan hasil yang menggembirakan, tiba-tiba saja alarm peringatan berbunyi. Lampu di dalam ruang kontrol langsung padam dan digantikan lampu berwarna merah.

    “Apa yang terjadi?!” tanyaku pada salah satu asistenku.

    “Status organ vital subjek no.213 anjlok! Rasio gelombang otak subjek no. 215 berada diluar batas normal, ini berbahaya! Profesor?!”

    “Subjek no.217 baru saja mengalami kejang! Biorithym-nya tidak beraturan. Ini reaksi penolakan, profesor!! Kita harus berhenti!”

    Aku langsung menghantam kaca tebal di depanku dengan jengkel.

    Gagal lagi! Ini sudah yang kesekian ratus kalinya kami gagal! Sialan!!!

    “Profesor!”

    Aku langsung berjalan ke arah panel kontrol salah seorang asistenku dan menekan sebuah tombol. Terdengar suara desis diiringi derak mengerikan dari arah ruang percobaan. Aku tidak berani melihat ke bawah karena aku tahu apa yang sedang terjadi.

    Setiap kali kami gagal melakukan percobaan, kami harus memusnahkan subjek penelitian yang bermasalah. Aku tahu ini sangat kejam dan tidak manusiawi. Dengan seenaknya aku....kami telah menghabisi nyawa anak-anak itu setelah melakukan banyak hal tidak manusiawi lainnya.

    Tapi tidak ada pilihan lain.

    Kalau mereka dibiarkan hidup, mereka tidak akan hidup lama. Terlebih lagi mereka akan menimbulkan masalah serius kalau dibiarkan hidup setelah kami gagal melakukan eksperimen pada mereka. Otak mereka yang baru saja kami evolusikan secara paksa bisa mengakibatkan perubahan tidak terkendali pada tubuh mereka. Membuat mereka berubah jadi monster, atau sekedar menjadi onggokan makhluk hidup tanpa wujud yang jelas.

    “Purging telah selesai profesor.....sepertinya kita gagal lagi....”

    Aku terdiam begitu mendengar ucapan asistenku itu. Dengan ini, artinya penelitian kami selesai sampai disini. Dukungan terhadap penelitian kami akan dicabut dan dialihkan ke peneliti lainnya. Aku menggertakkan gigiku lalu bertanya pada salah satu asistenku.

    “Bagaimana dengan Yurika......maksudku....subjek no. 149?”

    Perlahan-lahan asistenku itu menoleh dan menelan ludahnya.

    “Subjek no. 149 selamat....biorithym dan organ-organ vitalnya stabil. Rasio gelombang otaknya juga berada di dalam rasio normal. Dia....dia selamat lagi...profesor...”

    Aku tidak tahu harus bersyukur atau merasa ngeri dengan kemampuan bertahan hidup Yurika. Gadis itu sudah melewati puluhan percobaan mengerikan yang biasanya akan mengakhiri nyawa subjek lainnya.

    Tapi setiap kali Yurika selamat, aku selalu kebingungan.

    Yurika.....kebohongan apalagi yang harus kuucapkan hari ini padamu?


    ***

    Seperti biasanya, setelah menjalani eksperimen, Yurika selalu bisa ditemukan sedang duduk sendirian dibawah pohon yang ada di tengah taman. Dia sedang menungguku yang datang membawakan makanan untuknya.

    Yurika selalu ingin makan dibawah pohon di tengah taman itu setiap selesai menjalani eksperimen.

    Itu adalah permintaan sederhana yang selalu dia ajukan padaku setiap kali aku ingin menjalankan eksperimen pada tubuh gadis itu.

    Tapi hari ini tidak seperti biasanya.

    Biasanya Yurika langsung terlihat gembira ketika aku datang membawakan makanan kesukaannya. Tapi hari ini Yurika tampak duduk bersandar pada pohon sambil termenung.
    Aku jadi penasaran apa yang sedang dipikirkan gadis itu.

    “Kenapa kau termenung seperti itu Yurika?” tanyaku sambil mengulurkan kotak makanan yang kubawa padanya.

    Yurika tersenyum pahit dan mengambil bungkusan makanan itu. Dia lalu membuka kotak makanan itu dan mulai makan. Tapi baru beberapa suap dia lalu berhenti.

    “Profesor....apa Yurika akan mati?”

    Ucapan Yurika membuatku tersentak.

    “Profesor?” ujar Yurika lagi.

    Aku langsung terdiam karena tidak tahu harus berkata apa. Bagaimanapun penelitian kami sudah gagal. Itu artinya aku akan kehilangan pekerjaanku dan Yurika akan kehilangan nyawanya. Sudah jadi protokol keamanan standar dalam fasilitas ini, bahwa semua subjek penelitian yang gagal harus dimusnahkan.

    Jadi cepat atau lambat hidup Yurika pasti akan berakhir. Aku sebenarnya tidak mau menjawab pertanyaan Yurika, tapi aku sudah memutuskan untuk tidak berbohong lagi pada gadis itu.

    Aku langsung memeluk Yurika dengan erat.

    “Maafkan aku, Yurika. Aku tidak bisa berbuat apapun untukmu! Aku sungguh manusia yang tidak berguna!” ujarku dengan nada sedih. Tidak terasa air mataku mengalir tanpa bisa kutahan.

    Tadinya kupikir Yurika juga akan menangis bersamaku. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Gadis itu langsung mengelus kepalaku dengan lembut.

    “Profesor tidak usah sedih. Yurika tahu kalau Yurika pada akhirnya akan mati seperti teman-teman Yurika,” ujar Yurika sambil tersenyum. “Yurika sudah pasrah pada nasib Yurika kok.”

    Mau tidak mau aku merasa malu karena aku yang seharusnya lebih dewasa dari Yurika, justru bertingkah seperti anak kecil.

    “Apa kau membenciku Yurika? Aku sudah membawamu ke tempat mengerikan ini dan melakukan berbagai hal mengerikan lainnya pada dirimu.....apa kau membenciku?” tanyaku pada gadis itu.

    Yurika menggelengkan kepalanya.

    “Yurika tidak benci profesor. Itu bukan salah profesor. Profesor hanya melakukan pekerjaan profesor. Yurika bisa paham itu. Yurika juga tahu kalau profesor membenci apa yang sudah profesor lakukan pada Yurika dan teman-teman Yurika,” ujar Yurika dengan nada riang seperti biasanya. Dia lalu melanjutkan ucapannya lagi. “Yurika malah berterima kasih pada profesor. Kalau tidak ada profesor, Yurika pasti sudah lama mati diluar sana.”

    Yurika lalu tersenyum padaku. Senyuman Yurika selalu bisa membuatku merasa lebih baik. Tapi kali ini senyuman tulus gadis itu membuatku membulatkan tekad.

    Malam ini juga aku akan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini bersama Yurika!

    Aku lalu memandang ke arah gadis itu lagi dan bertanya.

    “Yurika. Malam ini aku akan pergi dari tempat ini. Apa kau mau pergi bersamaku keluar dari fasilitas penelitian ini?” tanyaku.

    Kedua mata Yurika langsung berbinar-binar, dia lalu mengangguk penuh semangat.

    “Yurika mau ikut profesor! Yurika mau!!”

    Aku langsung tersenyum mendengar ucapan Yurika.

    ***

    Sayangnya rencana pelarian kami tidak berjalan mulus seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Rencanaku membawa Yurika keluar dari fasilitas ini entah bagaimana sudah diketahui dan kini, sekelompok tentara bersenjata lengkap sudah menghadangku tepat sebelum aku mencapai pintu keluar.

    Mereka berbaris dan membentuk barikade sambil menodongkan senjata berat mereka ker arah kami berdua. Aku bisa melihat salah seorang asisten penelitianku berdiri dibelakang barisan tentara itu.

    Sial! Sepertinya dia yang sudah bisa menebak apa rencanaku.....gumamku jengkel.

    “Profesor. Apa yang sebenarnya ingin profesor lakukan?” tanya asistenku itu dengan nada merendahkan. “Jangan bilang kalau profesor ingin kabur sambil membawa subjek penelitian itu keluar dari tempat ini. Jangan bercanda profesor. Anda tahu itu pelanggaran berat.”

    Aku tetap diam dan mendorong tubuh Yurika ke belakang. Gadis itu anehnya tidak terlihat ketakutan. Dia justru terlihat santai seperti biasanya. Aku jadi heran sekaligus takut melihat sikap tenang Yurika.

    “Profesor! Saya peringatkan sekali lagi. Ini pelanggaran berat, profesor! Tapi kalau profesor mau mengembalikan subjek no.149 ke tempatnya semula. Saya tidak akan melaporkan profesor ke atasan,” ujar asisten itu lagi. “Dengan begitu profesor tidak perlu menanggung hukuman berat karena telah mencoba melarikan subjek penelitian keluar fasilitas ini.”

    Tapi aku tetap diam. Kami benar-benar terjepit dan tidak ada tempat melarikan diri lagi. Kalau para tentara itu mulai menembak. Kami berdua pasti mati. Di lorong panjang ini sama sekali tidak ada tempat berlindung atau bersembunyi.

    Tiba-tiba Yurika menarik tanganku. Aku langsung menoleh ke arah gadis itu dan melihat dia tersenyum ke arahku.

    “Profesor tidak usah takut. Yurika akan membantu profesor,”

    Ucapan Yurika langsung membuatku tertegun. Tapi sebelum aku bisa berbuat apapun gadis itu sudah berjalan dengan santainya ke depan para tentara bersenjata itu.
    Asistenku yang melihat gelagat aneh dari Yurika langsung berseru padaku.

    “Profesor! Suruh subjek no.149 berhenti bergerak!!”

    Bersamaan dengan seruan asistenku itu, para tentara di depannya langsung mengokang senjata masing-masing. Seketika itu juga lorong itu dipenuhi suara denting ringan senapan mesin yang sedang disiapkan untuk menembak.

    Tapi Yurika tetap tidak berhenti. Gadis itu sekarang malah merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum.

    “Profesor!!!” seru asistenku lagi dengan nada mengancam, dia lalu mengangkat sebelah tangannya.

    Aku langsung bergegas menghampiri Yurika sambil berseru. “Yurika!! Kembali!!”

    Tapi Yurika tetap berjalan mendekati para tentara itu sambil tersenyum.

    “Tenang saja profesor, Yurika tahu apa yang sedang Yurika lakukan,” ujar Yurika dengan santainya. Dia lalu mengarahkan sebelah tangannya ke arah para tentara itu.

    “Sudah cukup!” seru asistenku dengan nada marah. Dia lalu memberikan perintah pada para tentara di depannya. “Tembak gadis itu sekarang!!!”

    Tentara-tentara yang mengepung kami langsung membidik ke arah Yurika dan melepaskan tembakan. Senapan-senapan mesin mereka langsung menyalak dan melontarkan peluru-peluru timah ke arah Yurika.

    Aku langsung memejamkan mataku karena tidak kuasa melihat sosok mungil Yurika tewas dengan mengenaskan. Suara rentetan senjata itu hanya berlangsung beberapa menit, tapi bagiku rasanya seperti beberapa jam.

    Ketika akhirnya suara rentetan senapan itu berhenti, aku memberanikan diri untuk membuka mataku. Tadinya aku mengira akan melihat sosok Yurika terkapar dengan luka mengenaskan di tubuhnya. Tapi yang kulihat justru sebaliknya.

    Yurika masih berdiri sambil mengarahkan sebelah tangannya ke depan. Aku langsung melongo bukan hanya karena tidak percaya dia masih hidup, tapi karena melihat butiran-butiran logam melayang di depan Yurika.

    Aku langsung menyadari kalau butiran-butiran logam itu tidak lain adalah peluru timah yang ditembakkan oleh para tentara yang mengepung kami. Para tentara itu juga sama terkejutnya denganku. Aku yakin mereka sama sekali tidak pernah bertemu dengan seorang anak kecil yang bisa menghentikan peluru timah di udara.

    “Lihat Yurika profesor!” seru Yurika dengan riang. Dia lalu menurunkan tangannya dan membiarkan peuru-peluru timah itu jatuh dengan suara berdenting ke lantai. Dia lalu menatap ke arah tentara-tentara di depannya dan kembali berkata. “Yurika dan profesor mau lewat. Jangan menghalangi kami!”

    Yurika lalu kembali mengangkat sebelah tangannya. Tentu saja tentara di depannya tidak tinggal diam, mereka langsung bersiap menembak lagi. Tapi belum sempat mereka melakukan apapun, tiba-tiba mereka semua menjerit kesakitan.

    Para tentara itu langsung menjatuhkan senjata mereka dan terjatuh di lantai. Kemudian Yurika mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi di udara, lalu menjentikkan jari mungilnya.

    Seiring dengan suara jentikan jari Yurika, suara memuakkan langsung terdengar bersahutan ketika satu persatu tentara yang mengepung kami meletus. Tubuh mereka meletus bagaikan sebuah balon yang ditembak dengan senapan angin. Dalam sekejap mata lorong yang dicat putih itu sudah dihiasi dengan warna merah.

    Aku hanya bisa menyaksikan kejadian itu tanpa berkedip sama sekali.

    Dalam waktu sekejap saja, semua tentara yang mengepung kami sudah mati. Satu-satunya yang tersisa dari orang-orang yang mengepung kami adalah asisten penelitianku. Dia langsung terpuruk di lantai sambil memegangi wajahnya. Jelas telihat kalau dia sangat shock setelah menyaksikan kejadian mengerikan barusan.

    Aku juga sama shocknya dengan asistenku itu.

    Aku sama sekali tidak tahu dan tidak pernah membayangkan kalau Yurika bisa melakukan hal itu. Tapi kemudian aku menyadari sesuatu.

    Ini mungkin efek dari evolusi paksa yang kami lakukan pada otaknya. Setelah bertahan hidup melewati beberapa puluh eksperimen serupa, kurasa entah bagaimana caranya Yurika telah mengembangkan kemampuan mengerikan itu.

    Tiba-tiba aku mendengar suara berderit nyaring ketika pintu baja tebal yang menjadi gerbang masuk fasilitas penelitian ini terbuka lebar. Pintu baja setebal 10 centimeter itu baru saja terpilin dan terbuka paksa ketika Yurika menjentikkan jarinya ke arah pintu itu.
    Seketika itu juga aku merasa bimbang dengan keputusanku untuk membawa Yurika keluar dari tempat ini. Karena aku baru menyadari kalau secara tidak sengaja, penelitian kami telah melahirkan monster mengerikan. Monster yang jauh lebih berbahaya dari apapun yang pernah diciptakan fasilitas penelitian ini.

    Aku langsung mencabut sepucuk pistol yang kusembunyikan di balik jas labku dan mengokangnya. Suara denting ringan ketika pistol itu dikokang menarik perhatian Yurika. Dia langsung menoleh ke arahku dan menatapku kebingungan.

    “Profesor?” tanyanya.

    Aku tidak bisa dan tidak berani mengatakan apapun.

    Pikiranku dipenuhi berbagai macam hal yang saling campur aduk.

    Kemudian tatapan mata Yurika yang kebingungan, digantikan dengan tatapan kecewa dan sedih, ketika dia menyadari apa yang akan kulakukan padanya.

    “Kenapa profesor? Apa profesor membenci Yurika?” tanya gadis itu lagi dengan nada memelas.

    Aku tidak membencimu Yurika....tapi aku juga tidak bisa membiarkanmu dan kemampuan berbahayamu keluar dari tempat ini.

    “Profesor!” rengek Yurika. Kali ini air mata mulai menggenangi matanya yang berwarna biru cerah itu. Aku langsung menahan nafas karena tidak sanggup menatap matanya, tapi aku bertahan.

    Ini adalah tanggung jawabku.

    Aku yang telah menciptakan ‘Yurika’, jadi aku jugalah yang harus menghapuskan keberadaan ‘Yurika’ dari dunia ini.

    Pada akhirnya aku hanya mengatakan satu kalimat.

    “Maafkan aku Yurika......”

    Aku langsung menarik pelatuk di senjataku. Tapi pada saat yang sama Yurika juga menjentikkan jarinya ke arahku.

    Dalam waktu sepersekian detik itu, kami berdua mengatakan satu kalimat dalam waktu yang bersamaan.

    “Aku menyayangimu, anakku...”

    “Aku menyayangimu, ayah....”

    ***
    ~FIN~
    Red_Rackham 2011


    Base:
    - Eat
    - Work
    - Research
     
  17. hodzill Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 14, 2011
    Messages:
    237
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +8 / -0
    wah bagus jg cerpen2nya

    bisa ngerasain feel sama imajinasinya
     
  18. hodzill Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 14, 2011
    Messages:
    237
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +8 / -0
    wah bagus jg cerpen2nya

    bisa ngerasain feel sama imajinasinya
     
    • Thanks Thanks x 1
  19. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Eva


    Tubuhku terbaring miring tidak berdaya.

    Pandanganku buram.

    Aku hampir tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

    Dalam hati aku tahu ajalku sudah dekat. Tapi aku terus berharap malaikat pencabut nyawa belum sudi mampir ke hadapanku, karena aku belum mau mati.

    Aku takut mati.

    Bukannya aku takut akan kematian itu sendiri, tapi aku takut akan nasib mengerikan yang menungguku di dunia sana.

    Maklum saja.

    Aku ini bukan orang baik. Aku ini orang jahat. Sangat jahat.

    Entah sudah berapa ratus nyawa orang tidak bersalah yang kurenggut dengan kedua tanganku ini. Entah sudah berapa ratus kali aku mengabaikan ratapan mereka, ketika dengan entengnya aku mengakhiri riwayat mereka. Entah sudah berapa ratus kali aku memandangi mata-mata mereka yang dipenuhi kebencian, putus asa, pasrah dan rasa penuh penyesalan.

    Tapi hari itu, semuanya berbeda. Itu pertama kalinya aku bertemu dengan orang seperti itu. Orang yang matanya masih dipenuhi nyala api kehidupan, bahkan ketika berhadapan dengan pengganti malaikat pencabut nyawa sepertiku. Orang yang sama sekali tidak meratap, memohon, ataupun mengumpatiku ketika aku siap menghabisinya nyawanya. Orang yang sama sekali tidak terlihat takut atau gelisah, bahkan ketika senjataku sudah menempel di dahinya.

    Sial...kalau aku sudah mulai melihat riwayat hidupku mengalir di depan mataku, ini artinya ajalku benar-benar sudah dekat....

    ****

    Hari itu seperti biasanya aku mendapatkan pekerjaan.

    Pekerjaan kotor seperti biasanya.

    Maklum saja. Sehari-hari aku bekerja sebagai pembunuh bayaran. Jadi tentu saja pekerjaanku tidak jauh-jauh dari mencabut nyawa orang, walau terkadang aku juga disewa sebagai bodyguard dan penagih hutang.

    “Dengarkan aku Heinkel! Ini adalah pekerjaan penting. Jangan sampai salah dan jangan sampai gagal! Kau harus membunuhnya begitu kau melihatnya. Jangan beri ampun. Benamkan semua peluru timah yang ada di senjatamu itu ke tubuhnya. Jangan beri ampun!”

    Seperti biasanya, sebelum aku menjalankan tugasku, bosku memberi wejangan yang sudah entah berapa kali kudengar. Sampai aku bosan dan biasanya mengabaikan ucapannya.

    “Tenang saja bos. Semuanya pasti beres. Kau tidak perlu khawatir,” balasku dengan santai sambil menghembuskan asap rokok yang sedang kuhisap. “Siapkan saja uangnya.”

    Aah...nikotin itu memang sedap.

    “Heinkel. Aku tahu kau ini pembunuh bayaran terbaik di negeri ini. Tapi lawan yang akan kau hadapi kali ini bukan lawan sembarangan!” ujar bosku lagi dengan nada jengkel karena aku menganggap enteng ucapannya. “Dia sudah menghabisi 4 orang pembunuh bayaran lainnya yang hampir sekelas dirimu!”

    Aku mendengus begitu mendengar ucapan bosku.

    “Yah. Kalau mereka bisa sampai terbunuh, itu artinya mereka tidak sekelas denganku,” ujarku sambil membuang puntung rokokku ke luar jendela. “Bos jangan lupa, aku ini Heinkel Gottweiter, The Night Raven. Tidak ada target yang selamat dariku kalau sudah berhadapan denganku.”

    Bosku mendesah lagi sambil mengusap wajahnya karena jengkel. Dia lalu melemparkan map coklat padaku, yang langsung kutangkap dan kubuka.

    “Itu targetmu kali ini,” ujar bosku sambil mengambil cerutu dari kotak cerutunya dan menyalakan rokok mahal itu, kemudian menghisapnya.

    Ketika aku membaca data-data targetku itu aku terdiam.

    “Bos! Yang benar saja!”

    Aku melayangkan protes sambil melemparkan lembaran-lembaran berisi data-data itu ke arah mejanya.

    “Aku memang pembunuh bayaran profesional, tapi bos jangan lupa, aku punya prinsip!” ujarku dengan nada marah pada bosku. “Aku tidak akan membunuh wanita dan anak-anak! Tidak peduli apapun yang bos perintahkan dan berapapun bos membayarku, aku tidak akan melakukannya!”

    Ya. Meski aku berprofesi sebagai pembunuh bayaran, tapi aku punya satu prinsip dasar yang tidak akan kulanggar apapun alasannya.

    Aku tidak membunuh atau menyakiti wanita dan anak-anak.

    “Heinkel. Aku tahu prinsipmu itu. Tapi sekarang aku tidak peduli dengan itu. Kau harus menghabisi targetmu itu seperti biasanya!” seru bosku sambil menghisap cerutunya.

    “Bos!!” Aku berseru marah dan berjalan mendekati meja bosku, lalu menghantamkan telapak tanganku diatas lembaran foto targetku. “Target ini masih anak-anak! Jangan bohong padaku bos! Tidak mungkin dia membunuh 4 orang pembunuh bayaran profesional! Itu tidak masuk akal!”

    Aku langsung berbalik dan meninggalkan bosku yang tampak marah.

    “HEINKEL!!”

    Begitu mendengar seruan marah bosku, aku berbalik sambil mencabut senjataku, sepasang pistol otomatis merk colt berkaliber 9 mm. Bosku langsung tersentak kaget di kursinya dan mengangkat kedua tangannya karena takut.

    “Bos. Kau memang bosku. Tapi aku tidak segan untuk menyarangkan satu-dua peluru ke kepalamu kalau kau terus memaksaku, mengerti?” ancamku sambil menarik hammer pistolku, menegaskan niatku untuk menembaknya kalau dia masih memerintahku terus.

    Meski bosku itu adalah pemimpin salah satu kelompok mafia di kota ini, tapi dia tetap saja takut dengan ancamanku. Pria gemuk itu langsung mengangkat kedua tangannya dan berkata dengan nada agak gemetar.

    “Oke.....oke. Aku mengerti,” ujar bosku itu pada akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu melakukannya. Tapi bawa file-file itu. Siapa tahu kau berubah pikiran.”

    Aku menarik kembali pistolku, memutarnya, dan lalu memasukkan kedua senjata itu ke sarungnya di balik pinggangku. Sambil mendengus, aku menyambar lembaran-lembaran file targetku, lalu berjalan keluar dari kantor bosku sambil membanting pintu.

    Sambil berjalan, aku memandangi foto targetku yang merupakan seorang gadis kecil berambut pirang dan bermata hijau toska.

    Tidak masuk akal! Memangnya anak sekecil ini bisa apa? Tidak mungkin bocah ini bisa membunuh orang, apalagi kalau orang yang dibunuhnya adalah seorang pembunuh bayaran.

    “Heh! Ada-ada saja,” gumamku sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

    ****

    Untuk menghilangkan rasa jengkelku, seperti biasa aku mengunjungi bar langgananku.

    Begitu aku masuk ke dalam bar, beberapa pengunjung langsung menoleh ke arahku dan mereka tampak tegang. Wajar saja, sebagai sesama pekerja di dunia bawah, kami saling kenal. Daripada saling kenal, lebih tepat kalau dikatakan bahwa mereka yang sangat mengenalku karena reputasiku. Aku sih tidak kenal mereka semua.

    “Heinkel.”

    Aku mendengar si bartender memanggilku.

    Berbeda dengan bar lain yang bartendernya adalah lelaki berotot dan bertampang menyeramkan, bartender bar ini adalah seorang wanita cantik bertubuh seksi. Namanya Luka ‘Jackknive’ Harrings. Meski cantik dan seksi, pelanggan bar tidak akan ada yang berani menggodanya, karena mereka bisa saja berakhir di lorong belakang bar dengan sebilah pisau menancap di leher.

    “Yo, Luka. Bagaimana kabarmu?” tanyaku dengan maksud berbasa-basi.

    “Baik-baik saja. Paling ada orang nekat yang baru saja kutenggelamkan di teluk sana. Bagaimana kabarmu?” jawab Luka dengan santai sambil mengeluarkan gelas dan sebotol minuman keras. “Minum?”

    Aku mengangkat kedua tanganku, tanda bahwa aku menolak tawarannya.

    “Tidak. Terima kasih,” ujarku sambil duduk di depan meja bar.

    “Tampangmu suntuk. Ada apa?” tanya Luka lagi sambil duduk juga di depanku.

    “Bosku,” jawabku singkat sambil mendengus jengkel kalau mengingat pekerjaan yang diberikan bosku tadi.

    “Dia memberimu pekerjaan yang tidak enak lagi?” tanya Luka sambil menuangkan isi botol minumannya dan menenggak isinya dalam sekali teguk. “Luak tua itu memang sekali-sekali perlu diberi pelajaran.”

    Aku tertawa mendengar komentar Luka. Tapi tiba-tiba kuperhatikan tampang wanita itu jadi serius. Dia tiba-tiba saja menarik kerah bajuku dan membuat pipiku hampir menempel dengan pipinya.

    Karena kaget, kedua tanganku spontan langsung meraih senjata di balik punggungku. Tadinya kupikir ada yang mengincar kepalaku dan mengutus Luka untuk membunuhku. Tapi ucapannya berikutnya membuatku terdiam.

    “Heinkel. Ikut aku ke belakang. Ada yang harus kusampaikan padamu,” ujar wanita itu sambil berbisik di telingaku.

    Begitu selesai mengatakan itu, Luka melepaskanku dan berjalan ke arah pintu ruang belakang bar. Dia lalu memberi arahan padaku agar aku mengikutinya.

    Jantungku masih berdebar dan jemariku masih memegang gagang kedua senjataku. Tapi perlahan-lahan aku melepaskan genggamanku, tentu setelah memastikan kalau pin pengaman senjataku sudah kulepas.

    Hanya sekedar jaga-jaga saja.

    Tanpa bicara aku berjalan mengikutinya dan masuk ke dalam ruang belakang bar.

    Tapi apa yang ada di dalam ruangan itu membuatku terkejut.

    Ruang belakang bar biasanya digunakan untuk menyimpan segala macam bahan makanan, botol-botol minuman, dan berbagai macam perkakas dapur lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa di ruangan ini. Tapi kali ini aku melihat sesuatu yang sangat berbeda.

    Di tengah-tengah lantai ruangan yang tidak terlalu luas itu, duduk seorang gadis kecil berambut pirang dan bermata hijau toska. Gadis itu dengan santainya sedang menyantap panganan ringan sambil membaca sebuah buku anak-anak.

    Begitu melihat sosok gadis itu, seketika aku berpaling ke arah Luka.

    “Luka.....apa maksudnya ini?!” tanyaku pada wanita itu.

    Luka menghela nafas.

    “Seperti yang kau lihat. Aku menemukannya tadi malam. Dia tidur di atas krat-krat bir yang kutumpuk di lorong belakang. Karena tidak tega membiarkannya tidur disitu, aku membawanya masuk,” jawab Luka dengan santainya.

    “Luka. Aku yakin kau tahu siapa bocah ini,” ujarku lagi. “Informasinya pasti sudah sampai di telingamu kan?!”

    Luka menaikkan sebelah alisnya. Dari ekspresinya itu aku tahu kalau aku benar. Luka memang sudah tahu siapa gadis kecil ini.

    Aku menoleh ke arah gadis kecil yang sekarang tampak memandangi kami berdua sambil terdiam.

    Gadis itulah yang seharusnya merupakan targetku. Gadis kecil yang konon sudah membunuh 4 orang pembunuh bayaran profesional, entah bagaimana caranya.

    Ketika aku bertatapan dengan gadis itu, aku terdiam.

    Kedua mata hijau gadis itu tampak memancarkan nyala api kehidupan yang mencengangkan. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang dengan mata seperti itu. Biasanya yang kulihat adalah mata-mata orang yang dipenuhi hawa membunuh, dendam, putus asa, ketakutan, dan penyesalan. Maklum, orang-orang yang biasanya kutemui tidak jauh-jauh dari penjahat, mafia, makelar, pengedar obat, penjual senjata, pembunuh bayaran, ********, dan lain-lainnya. Paling yang lebih banyak variasinya hanya target-target yang harus kuhabisi.

    “Paman. Paman aneh.”

    Gadis kecil itu berkata padaku sambil tertawa dan menunjuk ke arahku. Suara gadis itu terdengar bening seperti suara lonceng dan terdengar menyenangkan.

    “Bocah! Jangan panggil aku paman. Aku belum setua itu!” ujarku sambil berjongkok di depan gadis kecil itu. “Siapa namamu?”

    Gadis itu tampak bingung. Lalu menggelengkan kepalanya.

    “Tidak punya nama,” jawab gadis itu. Dia lalu mengulangi perkataannya lagi. “Aku tidak punya nama.”

    “Kalau begitu biar kupanggil kau dengan nama Eva,” ujar Luka sambil ikut jongkok dan mengelus kepala anak kecil itu.

    Aku memandang Luka dengan tatapan heran.

    “Yah. Anak itu kan tidur diatas krat-krat bir merek ‘Evangel’. Daripada pusing-pusing cari nama, kupanggil saja dia dengan nama Eva. Simpel kan?” ujar Luka sambil nyengir.

    Yah.....terserah saja.

    Ketika memandangi wajah Eva lagi, aku langsung menyadari sesuatu hal penting.

    Hal yang langsung membuatku terpaku di tempat dengan wajah pucat.

    “Luka!” ujarku.

    “Ya?” jawab wanita itu dengan riang.

    “Apa ada orang lain yang sudah pernah melihat anak ini?”

    Luka terdiam darn berpikir sejenak.

    “Hmm....selain aku. Paling-paling hanya si botak Guido yang sudah melihatnya. Memang.......F***K!!!”

    Luka menghentikan ucapannya di tengah-tengah, lalu mengumpat keras. Dia sepertinya sadar apa maksudku.

    Dia baru saja akan bicara lagi ketika pintu ruang belakang bar ditendang keras hingga terlepas dari engselnya. Tiga orang pria bertubuh kekar dan membawa pistol langsung menyerbu masuk ke dalam ruangan, tapi tentu saja aku tidak tinggal diam.

    Dua buah Colt milikku langsung menyalak dan membuat ketiga orang pria itu terhempas ke lantai, tentu setelah beberapa butir timah panas menerobos masuk ke tubuh mereka. Suara tembakan tentu saja menarik perhatian lebih banyak orang lagi.

    Tapi sebelum mereka mulai menyerbu masuk ke dalam ruangan sempit itu, aku, Luka dan si gadis, Eva, sudah melarikan diri.

    “Sialan kau Luka! Jangan menyeretku dalam masalah semacam ini!” umpatku pada Luka.

    “Berisik! Siapa suruh asal tembak!” balas Luka sambil berlari di sisiku. Wanita itu tampak menggendong Eva dengan mudahnya di punggung sambil berlari. “AWAS!!”

    Begitu mendengar seruan Luka, aku langsung melakukan gerakan sliding sambil menembak.

    Dua orang pembunuh bayaran, yang tadi bermaksud menyergap kami dari lorong di depan, langsung terjungkal ke belakang dan mati.

    “Maju!”

    Aku langsung berseru pada Luka.

    Tanpa pikir panjang lagi wanita itu langsung berlari, tapi kemudian dia terjatuh bersama Eva.

    “Luka!!?”

    Aku terkejut bukan main melihat genangan darah yang terbentuk di tempat dia terjatuh.

    Keparat!!

    Aku langsung berputar menembak ke arah orang yang menembak Luka. Orang itu terjungkal kebelakang dengan dua-tiga lubang angin tambahan di kepalanya. Aku segera menghampiri Luka dan memeriksa kondisinya.

    “Sialan!” umpatku ketika melihat kalau luka di tubuh Luka sudah terlalu parah. Harapan Luka untuk bisa selamat dengan luka seperti itu sangat kecil.

    “Per....pergilah...!” ujar Luka lirih, dia lalu menoleh ke arah Eva yang masih duduk dengan bingung. “Bawa....bawa Eva pergi....”

    Sialan! Di saat seperti ini jangan memikirkan orang lain!

    Tapi aku diam saja dan menggendong Eva di punggungku.

    “Pegangan yang erat, bocah!!!” bentakku sambil membawa Eva pergi.

    Aku berlari tanpa menoleh ke belakang lagi.

    “Lari yang kencang, paman!”

    Seruan riang Eva membuat darahku langsung mendidih. Bocah sialan ini sama sekali tidak sadar dirinya berada di tengah pertaruhan hidup-mati. Tapi aku tidak mengatakan apapun dan terus berlari meninggalkan Luka yang sedang meregang nyawa.

    Aku berdoa dalam hati semoga Luka berhasil selamat entah dengan keajaiban seperti apa.

    ****

    Dengan suatu keajaiban, akhirnya aku dan Eva berhasil lolos dan sekarang berada di dalam sebuah gudang tua.

    Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku memeriksa keadaan di sekelilingku untuk memastikan tidak ada bahaya lagi. Setelah yakin tidak ada lagi pembunuh bayaran yang berusaha membunuh kami, aku menatap ke arah Eva.

    Gadis sialan itu masih terlihat riang, meski tadi dia nyaris mati bersama Luka.

    Begitu melihat sikap anak itu, emosiku langsung naik lagi. Tanpa pikir panjang aku langsung menodongkan Colt-ku ke dahi anak itu, siap untuk menanamkan satu-dua timah panas ke dalam kepala anak itu.

    Tapi anak itu sama sekali tidak terlihat takut, meski aku tahu dia sadar kalau benda logam yang menempel di kepalanya itu bisa mengakhiri nyawanya dalam sekejap.

    Melihat sikap tenang anak itu, emosiku entah kenapa hilang dengan sendirinya.

    “Paman. Apa bibi tadi tidak apa-apa?” tanya Eva dengan polosnya.

    “Tidak. Luka mungkin sudah mati sekarang,” sahutku dengan nada geram. “Dengarkan aku bocah, apa yang membuatmu diburu oleh pembunuh-pembunuh bayaran itu!?”

    Eva memiringkan kepalanya karena bingung.

    Aku menghela nafas.

    Gadis ini.....sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang bisa membunuh orang lain. Jangankan membunuh, sepertinya menjaga dirinya sendiri saja dia tidak bisa.

    Cih! Apa sih yang dipikirkan bosku dan para pembunuh bayaran itu?

    “Paman. Kalau paman takut dengan paman-paman galak tadi, nanti paman bisa berlindung di belakang Eva,” ujar anak itu dengan polosnya.

    Aku langsung tertawa terbahak-bahak dan menepuk kepala anak itu.

    “Yang benar saja! Terbalik tahu!” ujarku sambil tertawa.

    Tawaku tiba-tiba saja terhenti ketika tubuhku mendadak tersentak ke samping.

    Aku menjerit kesakitan saat sesuatu yang sangat panas menerjang pinggangku, membuat tubuhku terlempar dan terguling di tanah.

    !@&$!#&@!78#*#)!!!!

    Aku mengumpat sambil menoleh ke arah datangnya serangan dan menemukan seorang pria memegang senapan panjang. Tanpa pikir panjang aku menembak beberapa kali dan satu peluruku berhasil menembus tubuh sniper itu, sayangnya dia tidak langsung mati.

    Tapi setelah menembakkan tembakan terakhir itu, aku kehabisan peluru.

    Sungguh nasib sial!

    “Sialan!!!” umpatku sambil menekan luka tembak di pinggangku.

    Sayangnya peluru itu tertanam jauh di dalam dan sepertinya dengan sukses berhasil merobek ginjalku. Dalam kondisi seperti ini, aku pasti mati dalam waktu kurang dari 10 menit. Aku lalu memandang ke arah Eva.

    Gadis itu masih diam memandangiku.

    “Apa yang kau lihat?! LARI!!” bentakku pada gadis kecil itu.

    Tapi Eva masih terdiam, bahkan ketika para pembunuh bayaran yang mengejar kami mulai berdatangan sambil menodongkan senjata ke arahnya.

    Tiba-tiba gadis kecil itu tersenyum manis ke arahku.

    “Paman tidur saja dulu. Eva mau membantu paman mengusir paman-paman galak ini dulu,” ujar Eva sambil berdiri.

    “Tunggu!”

    Aku berseru untuk menghentikan Eva, tapi gadis kecil itu dengan riangnya berjalan ke tengah-tengah kelompok pembunuh bayaran yang siap menembaknya.

    Sial! Ayo bergeraklah!

    Aku mengumpat sambil berusaha menggerakkan tubuhku. Tapi aku sudah kehilangan hampir seluruh tenagaku, pandanganku juga mulai buram. Sesekali ingatan masa lalu mulai berputar di depan mataku.

    Sial! Aku tidak mau mati disini! Seruku dalam hati.

    Di tengah-tengah kesadaranku yang mulai hilang, aku mendengar suara jeritan ketakutan dan kematian. Suara memilukan itu sangat akrab di telingaku hingga membuat kesadaranku kembali pulih.

    Aku lalu memandang ke depan. Ke arah Eva yang seharusnya sudah mati dibunuh para pembunuh bayaran yang mengincar nyawanya. Tapi yang ada di tengah kerumunan para pembunuh bayaran itu bukan seorang gadis kecil tidak berdaya.

    Eva tampak berdansa dengan gesit diantara kerumunan orang yang berusaha menembaknya. Tapi gerakan gadis kecil itu terlalu cepat, hingga tidak satupun peluru mengenai tubuh gadis itu. Satu hal yang membuatku makin terperangah adalah kedua tangan Eva kini ditumbuhi cakar setajam pisau cukur.

    Sambil berdansa memutari lawan-lawannya, Eva sesekali mengayunkan tangannya dengan anggun, membuat kepala, tangan, kaki, pinggang, dan bahu lawannya berjatuhan ke lantai. Tentu saja diiringi semburan darah yang memancar seperti pancuran air. Hanya butuh waktu beberapa menit sampai seluruh pembunuh bayaran yang mengepungnya disulap jadi potongan-potongan daging yang berserakan di lantai.

    Seluruh tubuh Eva kini berwarna merah terang akibat terkena darah korban-korbannya. Sosok gadis kecil itu kini lebih mirip seorang malaikat pencabut nyawa yang baru saja berpesta pora.

    Demi Tuhan! Apa yang.......tidak! Ini tidak mungkin! Ini pasti hanya mimpi!

    Aku sama sekali tidak bisa mempercayai penglihatanku. Gadis yang tadinya kukira sama sekali tidak berbahaya dan tidak berdaya, rupanya adalah monster pembunuh yang sadis.

    Sial! Pantas saja bos dan para pembunuh bayaran itu begitu ingin membunuhnya!

    Aku jadi menyesali kelemahanku sendiri.

    “Paman.”

    Eva memanggilku sambil berjalan dengan langkah riang ke arahku. Dengan santainya, gadis kecil itu menjilati cakar tajamnya sambil berjalan menghampiriku.

    “Paman sudah aman sekarang. Paman-paman galak itu semuanya sudah Eva tidurkan,” ujar Eva dengan nada riang, seakan-akan pembantaian yang baru dia lakukan adalah permainan dan dia pemenangnya.

    Aku hanya terdiam dan tidak bisa mengatakan apapun.

    Instingku sekarang mulai mendesakku agar segera menghabisi nyawanya. Tanpa basa-basi aku mengerahkan seluruh tenagaku yang tersisa dan mengambil sepucuk derringger, pistol mini dua peluru yang kusimpan sebagai senjata rahasia. Dengan segera aku menodongkan senjata itu ke kepala Eva.

    Aku tidak mau melanggar prinsipku, tapi yang ada di depanku ini bukan seorang gadis kecil, tapi seekor monster. Monster pembunuh yang tidak berperasaan, yang mengganggap membantai orang itu menyenangkan.

    “Paman?” tanya Eva heran.

    “Maaf. Tadinya aku tidak ingin membunuhmu. Tapi melihat dirimu sekarang, kau sama sekali bukan manusia. Kau ini monster!” ujarku sambil menarik hammer derringger milikku. “Jadi maafkan aku!”

    Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, aku langsung menarik pelatuk pistol mini itu dan suara letusan senjata terdengar nyaring membelah kesunyian gudang tua tempat kami berada.

    ****

    Adalah suatu keajaiban aku masih hidup setelah semua kejadian yang kualami 2 bulan yang lalu.

    Kalau waktu itu temanku tidak kebetulan lewat dan melihatku sedang sekarat, mungkin sekarang aku sudah tidur panjang di dalam peti mati. Sebenarnya hanya berkat suatu keajaiban aku masih bertahan hidup dari luka parah yang kuderita, karena orang biasa pasti sudah mati kalau di tubuhnya bersarang 5 butir peluru.

    Tapi aku sungguh beruntung, tidak seperti kenalanku, Heinkel.

    Tubuh Heinkel yang tidak bernyawa lagi ditemukan di sebuah gudang tua, tidak jauh dari tempatku terbaring karena ditembak. Pembunuh bayaran top itu ditemukan tewas bukan akibat luka tembak di pinggang, tapi akibat kepalanya yang berpisah dari tubuhnya.

    Aku sama sekali tidak tahu apa atau siapa yang menyebabkan Heinkel terbunuh. Tapi yang pasti di dekat tempat Heinkel terbunuh, terdapat genangan darah yang nyaris membentuk sebuah kolam besar. Selain genangan darah itu, gudang tua itu juga dipenuhi percikan darah dimana-mana, di dinding, di lantai, bahkan di atap gudang yang cukup tinggi. Pertanda bahwa ada semacam pembantaian yang terjadi di dalam sana, tapi tidak ada yang tahu siapa atau apa yang menyebabkan kekacauan semacam itu.

    Yang pasti, para pembunuh bayaran yang sempat mengejarku, Heinkel, dan Eva, semuanya menghilang tanpa jejak. Termasuk bos Heinkel dan beberapa petinggi lain di kelompok mafia yang dia pimpin. Mereka semua hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Banyak yang menduga mereka semua entah melarikan diri atau dibunuh. Tapi walau sudah lewat dua bulan, mayat mereka semua sama sekali tidak ditemukan. Berita ini menjadi pembicaraan panas di dunia bawah selama 2 bulan belakangan ini. Berbagai rumor juga beredar di dunia bawah, tapi tidak satupun bisa dipastikan kebenarannya.

    “Bibi.”

    Aku menoleh ke arah Eva, gadis kecil berambut pirang dan bermata hijau toska yang berdiri di sampingku.

    Setelah menghilang selama lebih dari 2 minggu sejak semua keributan yang terjadi gara-gara dirinya, anak itu kembali muncul di rumah sakit tempatku dirawat. Anak itu ditemukan perawat sedang tidur di lantai, tepat di depan ruangan tempatku menghabiskan waktu lebih dari sebulan akibat luka yang kuderita.

    Meski aku terus bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis misterius ini, aku tidak ambil pusing dan memutuskan untuk merawatnya.

    “Bibi~!” ujar Eva dengan nada merengek sambil menarik lengan bajuku.

    “Ada apa Eva?” tanyaku pada gadis itu.

    Sambil nyengir lebar dan memperlihatkan deretan gigi taringnya yang tajam, gadis kecil itu berkata padaku.

    “Eva lapar~!”

    ****

    ~FIN?~

    red_rackham_2011
     
  20. Nebunedzar M V U

    Offline

    No information given.

    Joined:
    Mar 7, 2009
    Messages:
    706
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +5,466 / -0
    Hoo, pengunjung kastil fantasi juga rupanya, hehe. Itu karya lampunya oke juga. :hi:

    Btw, kok gk pake ilustrasi sekalian? Apalagi gambarnya itu model2 light novel buatan kamu. :hehe:
     
    • Thanks Thanks x 1
  21. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Wew...thanks, saia jadi :malu:

    Boleh2 saja, tapi saia juga masih belum jago2 amat. Jadi terimalah ilmu saia apa adanya :peace:

    Kalau ada pertanyaan bisa di PM sajah ^__^


    Wah, thanks. Saking semangatnya jadi dopost tuh :hihi:

    Anyway, thanks sudah mampir disini.

    Hohoho...betoel. Saia juga kontestan di FF dan pengunjung kastil fantasi. Thanks sudah mampir ^__^

    Tadinya emang mau ngasih ilustrasi, tapi bikin ilustrasi lebih menyita waktu dan perhatian daripada nulis cerpennya (loh?). Btw, ilustrasi yg di depan itu 2 buah (mystic circle) buatan adik saia (carilah komik dgn nama dia di toko buku :peace:), klo ilustrasi yg satu lagi (everyday adventure) itu buatan saia.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.