1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Lord of The Flies [END]

Discussion in 'Fiction' started by MaxMarcel, Mar 12, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    [​IMG]
    Runner up Fanstuff contest kategori Original Fiction.


    Sinopsis


     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Mar 12, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    I. Rise of Terror

    Karpet-karpet hias dengan lampu gantung tampak menghiasi ruang pertemuan di istana Merwaith. Di tengah-tengah ruangan terdapat meja besar dengan peta benua Elfesa terbentang di atasnya. Lord Maximilian tampak berdiri sambil mengamati peta tersebut, jubah panjangnya yang terbuat dari kulit binatang serta penjaga yang berdiri di sekitarnya menunjukkan bahwa ia adalah orang paling berkuasa di ruangan tersebut.

    “Kita akan menyerang city state Lensar. Aku ingin empat ribu pasukan grenadier siap pada pagi esok.” Lord Maximilian berkata dengan ringan sambil menunjuk kota Lensar di peta dengan tongkatnya.

    Sekitar selusin orang lainnya yang berada di ruangan itu tampak terkejut mendengar perkataan Lord Maximilian. Mereka saling bertukar pandang dengan ragu-ragu dan saling membisikkan sesuatu. Semua orang baru kembali hening ketika seorang pria dengan seragam militer angkat bicara.

    “Tuan, mengapa kita harus menyerang Lensar? Lensar adalah salah satu rekan dagang Merwaith yang penting.” pria tersebut mempertanyakan kebijakan atasannya.

    Lord Maximilian menatap tajam pria tersebut, “Leon, kukira kau setia padaku.”

    “Aku selalu mengabdikan diri pada keluarga Merwaith. Kesetiaanku adalah mutlak.”

    Lord Maximilian tampak mendengus, “Kalau begitu jangan mempertanyakan perintahku. Aku sedang tidak bersemangat menanggapi pertanyaan-pertanyaan kalian.”

    Tanpa berkata apa-apa lagi Lord Maximilian meninggalkan ruangan tersebut, diikuti oleh beberapa orang pengawalnya. Begitu suara langkah sang Lord tidak terdengar lagi, para petinggi-petinggi kota yang ada di ruangan tersebut langsung kembali ribut.

    “Ini gila! Sang Lord sudah kehilangan akalnya!” seru salah satu petinggi kota.

    “Sesuatu harus dilakukan sebelum kekacauan terjadi.” balas orang lainnya.

    “Seseorang harus menyadarkannya bahwa ini semua tidak masuk akal!”

    “Ya, tapi siapa. Ia bahkan tidak lagi mau mendengar Leon, tangan kanannya.”

    “. . . Ia telah berubah. . . Semua sejak insiden di theater dan sejak kedatangan wanita itu.” kata Leon yang dari tadi diam saja.

    Dalam sekejap semua orang di ruangan itu langsung hening. Mereka hanya saling memandang satu sama lainnya.

    ***​

    Di bawah gelapnya malam Lord Maximilian berjalan menyisiri halaman istananya dengan cepat. Pasukan penjaganya tampak berusaha mengejar langkah kakinya. Senapan dan granat yang mereka bawa tampaknya menjadi beban yang menyulitkan gerak mereka.

    Suara langkah kaki yang tidak beraturan serta suara logam yang diciptakan para penjaga tampaknya menyadarkan Maximilian. Ia mulai memperlambat langkah kakinya dan lebih memperhatikan keadaan sekitar.

    Cahaya bulan yang turun telah menemukan tempatnya di taman itu. Petak-petak bunga mawar tampak memenuhi halaman. Mata sang Lord menyisiri jalan batu yang sedang ia tapaki. Jalan tersebut tertata dengan rapih dan akan membawanya ke sebuah rumah kediaman mewah yang saat ini ada di hadapannya.

    Kediaman keluarga Merwaith sudah berdiri sejak berabad-abad yang lalu dan selalu menjadi rumah baginya. Tapi beberapa bulan terakhir selalu ada keberadaan yang menganggunya di rumah tersebut. Lord Maximilian hanya mendengus dan mempercepat langkahnya kembali hingga ia sampai di depan pintu depan kediamannya.

    Pintu gerbang kayu dengan ukiran-ukiran mengagumkan tersebut seakan sudah menunggu kedatangan sang Lord. Dua orang penjaga sudah berdiri di depan pintu, lengkap dengan seragam pasukan keluarga Merwaith; baju hitam pekat dengan crest emas berbentuk ular di bahu mereka. Tanpa menunggu perintah mereka menunduk kecil pada sang Lord, dengan sekuat tenaga mereka mendorong kedua daun pintu hingga terbuka.

    Lord Maximilian langsung melompat masuk ke dalam kediamannya. Tanpa membuang-buang waktu ia langsung melemparkan pertanyaan ke salah satu pegawainya, “Di mana Lady Phyliss?”

    “R-ru-ruang bawah tanah.” kata sang pelayan dengan takut-takut.

    “Baiklah.” kata Lord Maximilian sambil melewati pelayan tersebut. Tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan memberikan peringatan, “Ingat. Semua yang terjadi di rumah ini akan selalu tetap berada di dalam.”

    Tanpa menunggu balasan Lord Maximilian langsung kembali berjalan menuju ruang bawah tanah.

    ***​

    Ruangan bawah tanah tersebut memiliki kesan yang aneh. Ruangan tersebut seakan mengeluarkan kesan mewah tapi memberi kesan kelam dan gelap pada saat bersamaan.

    Tirai-tirai tebal berwarna merah tua tampak menghiasi tembok-tembok ruang bawah tanah. Obor-obor yang terpasang pada sisi-sisi dinding batu yang berlumut memberi penerangan remang-remang pada ruangan itu.

    Beberapa tong besar berisi ale tampak tersusun dengan rapih di salah satu sisi ruangan. Tapi perhatian sang Lord tertuju sisi kanan ruang bawah tanah tersebut.

    Di salah satu sudut duduk seorang pemain kecapi, dengan terampilnya ia memetik kecapinya dan mengeluarkan nada-nada yang membuat bulu kuduk merinding. Wajahnya tampak tertutup oleh bayangan dari tudungnya yang sudah lusuh. Apakah sang pemain kecapi seorang pria atau wanita, Lord Maximilian sama sekali tidak dapat menebaknya.

    Tapi ia kesini bukan untuk si pemain kecapi. Lord Maximilian mengalihkan pandangannya pada sebuah meja di sudut lain ruangan. Sebuah lentera, sekumpulan kartu-kartu yang berantakan, dan sebuah piring perak dengan daging mentah berdarah-darah tampak di atas meja tersebut.

    Maximilian mengangkat kepalanya sedikit dan menyaksikan figur wanita yang menempati meja tersebut. Wanita tersebut memiliki daya tarik tersendiri dan merupakan wanita tercantik yang pernah ditemui sang Lord.

    Dia memiliki tubuh yang tinggi dan kecil. Rambutnya yang coklat panjang mengkilat dengan mata sayunya yang memberikan kilau licik. Caranya bergerak yang perlahan dan suaranya yang memikat. Gaun elegan berwarna ungu tua yang ia kenakan tampak sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih kekuningan. Wanita ini sungguh berbahaya bila ia tidak berhati-hati.

    “Lady Phyliss, seperti yang kau inginkan aku sudah merencanakan penyerangan ke kota Lensar.” kata sang Lord dengan nada datar.

    “Benarkah hal itu?” kata Lady Phyliss datar. “Ya, syukurlah kau akhirnya melakukannya. Walaupun semakin cepat kau melakukannya semakin baik hasilnya.”

    Lord Maximimilian membalas perkataan tersebut dengan geraman, “Kau tidak meminta sesuatu yang mudah. Kau memintaku untuk menyerang city state terbesar dengan jangka waktu yang cepat. Dan kau-!”

    “Perlukah kau marah atas hal kecil seperti ini, bila kau akan menjadi seorang penguasa besar pada akhirnya.” potong Lady Phyliss dengan enteng.

    “H-hal kecil!!” seru sang Lord penuh emosi.

    Lord Maximilian mengacungkan jarinya pada Lady Phyliss yang sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai ancaman. Untuk sesaat sang Lord kelihatannya akan segera meledak dalam kemarahan. Tapi ia sama sekali tidak membuka mulutnya, untuk beberapa detik ia hanya berdiri seperti patung sambil mengacungkan jarinya.

    Sungguh mengherankan bagaimana sang Lord dapat mengendalikan emosinya. Ia tampak mundur selangkah dan kembalik dalam posisi formal.

    “. . . Bila semuanya tidak berjalan sesuai janjimu. Kau tahu sendiri apa yang akan kulakukan.” kata sang Lord tenang, tapi dengan nada mengancam yang tersembunyi.

    “Percayalah. Kau tidak perlu meragukan kemampuanku. Yang perlu kau lakukan adalah menuruti segala perintahku maka semuanya akan terjadi sesuai perkiraan.”

    “Ya ya, tapi bagaimana aku dapat percaya bila kau hanya memberi perintah yang aneh, kejam, dan tidak masuk akal. Aku tidak dapat melihat hubungannya dengan kemenangan yang kau janjikan-“

    Apa yang hendak keluar dari lidah Lord Maximilian seakan langsung tercekat tiba-tiba. Seluruh instingnya mengatakan ia berada dalam bahaya sekarang. Dengan hati yang rapuh ia menghadapi tatapan tajam dari Lady Phyliss.

    Tatapan tersebut seakan langsung menusuk tubuh Lord Maximilian dan menyebarkan sensasi beku ke seluruh tulangnya. Ia dapat merasakan kekejaman yang luar biasa bercampur dengan kejahatan yang kuno di dalam mata Lady Phyliss.

    Lady Phyliss bangkit dari tempat duduknya, ia sama sekali tidak melepaskan tatapannya dari sang Lord. Dengan senyum tipis ia mencucukkan jarinya di piring perak yang penuh darah dan berjalan mendekat ke arah Lord Maximilian.

    “A-apa yang m-mau kaulakukan?” kata sang Lord dengan gugup.

    Lady Phyliss tidak menjawab pertanyaannya. Dia hanya terus melangkah dengan pelan sambil tersenyum tipis. Lord Maximilian dengan panik menatap wajah sang Lady dan darah yang menetes dari jarinya secara bergantian.

    Dengan gerakan yang menawan tapi mengerikan, Lady Phyliss menggunakan tangannya yang bersih untuk membuka kancing kemeja Lord Maximilian satu persatu. Jantung Lord Maximilian berpacu-pacu penuh kepanikan, ia sama sekali tidak tahu apa yang diinginkan wanita ini.

    Setelah kancing bagian atas kemeja Lord Maximilian terbuka seluruhnya, Lady Phyliss mengangkat jarinya yang basah dengan darah dan melukiskan sesuatu pada dada Lord Maximilian.

    “Oh, Maxie kau seharusnya lebih mempercayaiku. Kekuatan blood rites itu nyata. Mungkin kau akan lebih mudah percaya padaku bila aku menunjukkan kekuatannya sekali lagi.” bisik Lady Phyliss di telinga Lord Maximilian.

    ***​

    Lord Maximilian berjalan tergesa-gesa keluar dari kediamannya sendiri. Ia tidak berhenti mengucurkan keringat dingin dan tubuhnya terasa mual. Ia sama sekali tidak peduli apa yang ada di hadapannya, mungkin ia tanpa sadar telah mendorong orang-orang yang berada di jalannya dengan kasar.

    Begitu berada di luar rumah kediamannya, ia langsung memuntahkan isi perutnya ke jalan batu taman halamannya. Ia bertumpu pada salah satu pohon di taman dan menyeka keringat dingin di keningnya.

    Napasnya tersengal-sengal tidak beraturan dan ia merasa sangat aneh. Mungkin aku perlu memanggil dokter. . . atau mungkin aku perlu memanggil tentara untuk langsung membunuh wanita itu, pikirnya dalam hati.

    Saat sang Lord tengah bergulat dengan pikirannya, sebuah sosok keluar dengan perlahan dari balik bayang-bayang tanaman halaman.

    “Lord Maximilian! Kebijakanmu sekarang ini hanya membawa penderitaan bagi rakyat, kau sudah tidak layak lagi memimpin!”

    Maximilian membalikkan tubuhnya hanya untuk melihat seorang pria dengan pistol yang teracung pada dirinya. Tanpa peringatan terdengar suara letusan pistol dan sebutir bola tembaga meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

    Sang Lord terdorong ke belakang hingga jatuh. Ia dapat merasakan hentakan pada dada kirinya, ia menganggap peluru tersebut telah menemukan targetnya dan ia akan mati.

    Waktu seakan menjadi lambat begitu ia terjatuh. Ia dapat mendengar teriakan dari penjaga-penjaganya yang diiringi oleh selusin suara letupan lainnya. Ia menyaksikan tubuh penembaknya tercabik-cabik oleh peluru dari senapan penjaganya. Dan ketika ia merasa ia sudah mati. . .

    “My Lord! My Lord! Kau tidak apa-apa? Dokter akan segera di sini dalam waktu singkat!” salah satu penjaganya berlutut di sampingnya dengan panik.

    Setelah menghabiskan satu detik untuk berpikir, ia menyadari dirinya belum meninggal. Dengan perlahan ia meraba tempat di mana ia tertembak. Ia bisa merasakan kemejanya yang bolong karena tembakan. Tapi ia sama sekali tidak merasakan adanya darah. Ia sama sekali tidak terluka.

    Untuk sesaat Lord Maximilian hanya diam dan menatap langit, “Aku terlalu meremehkan kekuatan blood rites” bisiknya dengan pelan.
     
    Last edited: Mar 12, 2011
  4. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter II: Why We Should Fight?

    Satu minggu setelah deklarasi perang Merwaith. Pasukan grenadier Merwaith dengan ajaib dapat terus mendesak pasukan dari city state Lensar yang memiliki jumlah jauh lebih banyak. Dan sekarang pasukan Merwaith utama Merwaith yang berjumlah tiga ribu personil sedang melakukan pengepungan terhadap kota Lensar.

    Suara menggelegar dari mortar-mortar pertahanan memenuhi seluruh kota Lensar. Bola-bola perluru mortar tanpa hentinya meluncur melewati dinding kota dan menghantam parit-parit pasukan Merwaith.

    Dari salah satu parit pertahanan seorang pria setengah baya berdiri dan memandang kota Lensar dengan mata penuh semangat. Beberapa tanda penghargaan dan sabuk kepemimpinan tampak di seragamnya. Ia menyingsingkan kaki celana bagian kanannya, sehingga orang-orang dapat melihat kakinya yang telah digantikan sebuah kaki buatan dari logam. Siapa pun yang melihat pria ini pasti langsung tahu bahwa ia seorang tentara veteran.

    “Jendral Papa Leg, menunduklah! Kau dapat tertembak!” teriak salah satu tentara melihat pria tersebut.

    Pria tersebut memandang sang tentara dengan ringan, “Tenang saja anak-anak dombaku. Papa Leg tahu apa yang ia lakukan.”

    Sebuah peluru mortar jatuh tidak jauh dari sang pria yang dipanggil Papa Leg. Peluru tersebut meledak dan membuat debu beserta proyektil lainnya bertebaran kemana-mana. Tapi Papa Leg tampak sama sekali tidak terganggu dengan ledakan tersebut, ia tetap berdiri dengan tegak setelah peluru tersebut meledak.

    “Sekarang waktunya anak-anakku! Ayo buat pantat mereka berada di atas kepala untukku! LONG LIVE THE LORD!” teriak Papa Leg dengan sebuah pedang rapier teracung sambil memanjat keluar.

    “LONG LIVE THE LORD!!” raung tentara-tentara yang berdiri di belakang Papa Leg. Mereka semua mulai berhamburan keluar dari parit-parit pertahanan dan berlari menyerbu kota.

    Para penembak yang berada di dalam bunker-bunker dinding kota mulai melepaskan tembakan mereka. Satu per satu tentara berseragam hitam mulai berjatuhan. Melihat hal ini para pasukan Merwaith mulai mencari tempat yang dapat di jadikan perlindungan.

    “Jangan takut pada mereka anak-anak dombaku! Balas saja tembakan mereka, terus pertahankan posisi!” seru Papa Leg yang tengah menembakkan pistolnya ke arah bunker.

    Pasukan-pasukan Merwaith mulai menembak balas dengan menggunakan rifle mereka dari balik tempat perlindungan seadanya yang dapat mereka temukan; batang kayu yang melintang, gundukan kecil tanah, ataupun lubang bekas ledakan mortar. Adu tembak yang sengit terjadi di antara kedua kubu, walaupun lebih banyak korban berjatuhan di pihak pasukan Merwaith.

    Saat pasukan Merwaith mulai kehilangan moralnya, tiba-tiba terdengar suara deru mekanik dari balik punggung mereka. Sebagian tentara tampak menoleh dan mulai berteriak dengan bersemangat.

    Sebuah kendaraan lapis baja dengan roda caterpillar tampak melaju dengan lambat. Kendaraan tersebut berbentuk persegi panjang dengan sebuah lubang untuk mengintip pada bagian depannya. Asap-asap hitam tampak keluar dari cerobong asap di bagian samping kendaraan tersebut.

    “Lindungi siege tank! Jangan sampai mereka menghancurkannya!” teriak salah satu tentara.

    Beberapa orang tentara langsung berlari keluar dari tempat mereka berlindung dan berjalan pada sisi-sisi siege tank sambil menembakkan rifle mereka ke arah bunker. Tapi sapuan senapan mesin dari dalam bunker langsung mencabik hampir semua tentara yang keluar dari perlindungan mereka (kecuali Papa Leg).

    Dengan perlahan tapi pasti siege tank tersebut berjalan menuju dinding kota. Peluru-peluru senapan mesin tampak memantul begitu mengenai kendaraan lapis baja tersebut.

    Begitu mencapai dinding pertahanan kota Lensar. Sang pengemudi soege tank tersebut menabrakkan kendaraannya ke dinding kota dan berusaha melarikan diri melalui palka yang terletak pada bagian belakang tank. Sayang sekali ia tertembak ketika baru berjarak sepuluh langkah dari siege tanknya.

    Untuk beberapa detik keadaan tampak agak hening. Pasukan Merwaith mulai berlindung dan tidak membalas tembakkan, seakan mereka menunggu sesuatu. Dengan segera penjaga kota Lensar mengetahui apa yang ditunggu pasukan Merwaith.

    Sebuah ledakkan besar keluar dari dalam siege tank yang menanamkan dirinya pada dinding kota tersebut. Suara menggelegar yang menyayat telinga terdengar diikuti cahaya silau dan serpihan-serpihan logam yang melayang tinggi.

    Setelah keadaan menjadi sedikit lebih tenang, pasukan Merwaith dapat melihat sebuah lubang besar menganga di dinding kota Lensar. Dengan cepat pasukan Merwaith langsung berlari keluar dari tempat perlindungan mereka dan menyerbu masuk.

    “Ayo menangkan pertarungan ini untukku anak-anak dombaku!” kata Papa Leg sambil memimpin serangan.

    Walaupun hanya memiliki satu kaki, Papa Leg tampak dengan mudah memanjat ke lubang yang menganga tersebut. Beberapa orang penjaga kota Lensar tampak menyambut dirinya dengan senapan siap di tangan.

    Papa Leg menembakkan pistolnya, diiringi dengan tembakkan senapan pasukan yang berdiri di belakangnya. Sambil meneriakkan raungan perang para pasukan menyerbu masuk ke dalam kota.

    Penjaga-penjaga kota Lensar yang menampakkan dirinya untuk menghalau para penyerbu, langsung menemukan dirinya dihantam oleh tembakkan senapan ataupun dicabik-cabik oleh barisan bayonet.

    Dengan jatuhnya tembok kota, maka pasukan Merwaith mengalir masuk layaknya air bah. Dan tidak mungkin untuk menutup kebocoran tersebut tepat waktu. Kejatuhan city state Lensar pun tidak terelakkan, semua terjadi sesuai apa yang di ramalkan.

    ***

    Berita kemenangan tentara Merwaith dengan cepat langsung di sampaikan pada Lord Maximilian di kediamannya.

    “My Lord, city state Lensar telah dikuasai. Perintahmu?” kata seorang tentara pada Lord Maximilian yang sedang duduk di balik meja kerjanya.

    “Tetapkan pemerintahan baru pada kota Lensar.” kata Lord Maximilian sambil tersenyum lebar.

    “Tidak, kau tidak akan melakukan hal itu” tiba-tiba seseorang memotong keputusan sang Lord.

    Lord Maximilian menoleh sambil mengkerutkan keningnya.

    “Berani sekali kau, mencoba untuk melawan keputusan Lord-“ seru si tentara dengan marah.

    Lord Maximilian hanya memberi isyarat dengan tangannya agar si tentara berhenti bicara.

    “Kalau begitu apa saranmu, Lady Phyliss.” tanya Lord Maximilian dengan suara lembut yang dipaksakan.

    “Berapa besar populasi kota Lensar?” tanya Lady Phyliss.

    “Sekitar dua ratus ribu jiwa kurasa.” kata sang Lord sambil menggaruk kepalanya.

    Untuk sepersekian detik Lord Maximilian dapat melihat Lady Phyliss mengeluarkan senyum kejamnya. Hal tersebut membuat dirinya bergidik.

    “Musnahkan semua populasinya.”

    “Apa!!??” seru si tentara dan Lord Maximilian pada saat bersamaan.

    “Kau tidak mendengar perintahku? Bunuh semua populasi kota Lensar.”

    “Ta-tapi. . .” Lord Maximilian tampak terkejut mendengar perintah Lady Phyliss.

    “Lakukanlah. . . Sekarang.” kata Lady Phyliss dengan nada yang tajam.

    “Perintahmu my Lord?” tanya si tentara dengan ragu-ragu.

    Lord Maximilian tampak merosot di kursinya sendiri, “Lakukan seperti apa yang dikatakan lady ini.”

    Tentara itu tampak diam saja, seakan hendak memprotes tapi tidak dapat mengatakan apapun.

    “Lakukan saja. Ini perintah.” kata sang Lord dengan lemah.

    “Ba-baiklah tuan!”

    Si tentara langsung berlari meninggalkan ruangan begitu mendengar perintah tersebut. Ketika Lord Maximilian mendengar suara pintu ruang kerjanya ditutup ia langsung memandang Lady Phyliss dengan lemah. Wanita ini tampak makin bangga dan berkuasa seiring dengan berjalannya waktu.

    “Apa selanjutnya?” tanya sang Lord dengan lemah.

    “Oh Maxie, apa kau sangat bersemangat hingga ingin pergi lebih jauh lagi?” kata Lady Phyliss sambil memeluk si Lord dengan perlahan-lahan dari belakang.

    “Kau. . . kau sudah melakukan tindakan sejauh ini. Pasti ada sesuatu lagi bukan.” kata Lord Maximilian tanpa gairah.

    Lady Phyliss hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman yang sangat tipis. Apapun itu, Lord Maximilian tahu itu bukan hal yang baik.
     
  5. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter III: Voice In The Dark

    Berita pembantaian di city state Lensar dengan cepat merambat. Berbagai utusan dari city state lain mengabarkan ‘jalan-jalan kota Lensar licin oleh lemak manusia’. Apa yang tadinya diduga sebagai konflik teritorial semata telah berubah menjadi sebuah genosida total. Setelah menikmati saat-saat yang damai selama kurang lebih dua abad, benua Efesa kembali digoncangkan oleh fenomena yang besar.

    Sementara berbagai city state lain masih berada dalam kebingungan, Merwaith kembali mengambil langkah terlebih dahulu. Setelah memberikan istirahat yang sangat minim pada pasukannya, Merwaith mengarahkan perhatiannya pada Secratus, jantung dari benua Efesa.

    Secratus merupakan imperial city state, pusat pemerintahan semua city state yang ada di Efesa. Dimana seluruh city state harus tunduk pada Kekaisaran yang terdapat di city state Socratus.

    Sementara tindakan city state Merwaith membuat city state lainnya kebingungan, pasukan Merwaith sendiri jauh lebih kebingungan di banding siapapun di benua Efesa. Mereka hanya berusaha menjalankan perintah dengan kebanggaan. Tapi perlahan-lahan para tentara mulai mempertanyakan kewarasan Lord mereka.

    ***​

    “Carfelis, apa kau tidak berpikir ini terlalu mencurigakan? Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan otak anak itu.”

    Tampak dua orang dengan seragam militer tengah berbicara dengan pelan di lorong kediaman Lord Maximilian.

    “Sebenarnya yang ia lakukan masih wajar. Setelah kejadian di Lensar, cepat atau lambat semua city state akan menggempur kota ini. Kecuali si muda Maximilian dapat menggunakan keluarga Kekaisaran sebagai tamengnya.” balas pria yang biasa di panggil Papa Leg itu.

    “Bukan itu. Maksudku pembantaian dan semua invasi ini, kita tidak pernah bertindak seagresif ini sebelumnya. Ini semua terjadi terlalu tiba-tiba.”

    “Bila yang kau maksud adalah itu, Leon. Maka kau benar, aku juga cukup curiga. Ia berubah cukup drastis. DIa biasanya bermain-main dengan industri bukan dengan mesin perang.” balas Papa Leg sambil mengelus janggut kasarnya.

    “Carfelis . . . Kurasa wanita itu meracuni pikirannya. Lady Phyliss. Lord Maximilian selalu mengunci dirinya dengan wanita itu dan hanya mendengar sarannya.” bisik Leon dengan nada marah.

    “Well, kalau kau punya ide sebaiknya laksanakanlah dengan cepat. Aku hanya dapat mendukungmu sekarang, dalam beberapa hari lagi Maximilian akan kembali kembali mengirimku ke front depan.” balas Papa Leg.

    Leon tersenyum bersemangat, “Sebenarnya aku memang merencanakan sesuatu. Malah mestinya sudah lama aku melakukan hal ini.”

    “Mari kita dengar rencanamu untuk wanita terkutuk itu-“

    Tiba-tiba sebuah sebuah sosok muncul entah dari mana dan memotong pembicaraan mereka, “Jendral Carfelis, apa kau punya sesuatu untuk di sampaikan padaku?”

    Papa Leg dan Leon terlonjak kaget, mereka mendapati Lady Phyliss sedang berjalan ke arah mereka dengan santainya. Entah bagaimana, mereka sama sekali tidak merasakan kehadiran Lady Phyliss sebelumnya.

    Papa Leg mengeraskan wajahnya, “Aku? Tidak, maksudku aku tidak punya apapun untuk dikatakan pada rubah licik seperti dirimu.”

    Setelah mengatakan hal tersebut Papa Leg langsung berjalan keluar dari lorong. Leon juga membuang napas dan mengikuti Papa Leg berjalan keluar. Sementar itu Lady Phyliss hanya menyilangkan tangannya dengan lembut dan tersenyum tipis ketika menyaksikan kedua pria tersebut pergi.

    ***​

    Di sebuah ruang gudang dengan penerangan remang-remang dari lentera, sekitar dua lusin orang berkumpul dalam ruang kecil itu. Sebagian besar dari mereka memakai seragam militer Merwaith dan membawa senapan berbayonet.

    Tampak Leon dan Papa Leg berada di antara kelompok tersebut. Leon berdiri di tengah kelompok tersebut dan tampak tengah menjelaskan sesuatu.

    “Seperti yang kita tahu, bila Lord Maximilian berhasil menguasai Secratus maka city state kita akan menjadi bagian Kekaisaran. Ini merupakan sebuah rencana yang brilian.”

    Sebagian orang-orang dalam kelompok itu tampak mengangguk kecil.

    “Jika semua berjalan lancar maka keluarga Merwaith dapat memanfaatkan Kekaisaran dengan sepenuh hati. Tapi jika ada sesuatu yang salah maka akan terjadi lebih banyak konflik berdarah lainnya. Dan pada akhirnya apa yang kita dapat?”

    Sekarang hampir semua orang di ruangan menggumam setuju.

    “Tapi apapun yang terjadi nantinya aku yakin hasilnya tidak akan baik. Oleh sebab itu saudara-saudaraku. . . Sebaiknya kita secepatnya mengakhiri semua sandiwara berdarah ini sebelum terjadi kekacauan yang lebih besar lagi. Aku bilang lebih baik kita singkirkan dalang dari semua ini dan mengembalikan kemurnian pemerintahan keluarga Merwaith.” kata Leon yang mengakhiri kata-katanya dengan tangan terkepal.

    Orang-orang di ruangan tersebut bersorak kecil, sambil meneriakkan ‘Long live the Lord’.

    Sebuah suara dengung kecil terdengar diantara sorakan orang-orang di dalam ruangan tersebut. Semua orang mendengar suara dengung tersebut tapi tidak terlalu menanggapinya.

    “Hmmm. . . Lalat? Dari mana dia masuk? Kukira ini ruangan tertutup.” ucap Papa Leg secara reflek begitu melihat seekor lalat keemasan dengan bentuk yang unik di meja.

    “Ada apa Carfelis?” tanya Leon.

    “Tidak, hanya seekor lalat yang agak aneh-“

    Tiba-tiba suara dengungan tersebut menjadi bertambah banyak dan di mana-mana. Orang-orang mulai menyadari bahwa ruangan yang mereka tempati tiba-tiba di penuhi oleh lalat. Beberapa tentara tampak mulai menyiapkan senapan mereka dan meningkatkan kewaspadaan.

    “Hey, tenang saja anak-anak. Ini hanya lalat. Aku yakin seseorang telah membuang daging busuk sembarangan dan membiarkan salah satu jendela terbuka.” kata Papa Leg dengan nada bergurau.

    Walaupun Papa Leg berkata demikian, masih banyak tentara yang tetap mengangkat pistol dan senapan mereka. Mereka mengawasi dengan heran lalat-lalat yang berterbangan di sekeliling ruangan.

    “Papa Leg. Lalat bukanlah hal yang umum di tengah bulan ke sepuluh. Bahkan mereka tetap tidak umum di tengah bulan ke empat dengan jumlah seperti ini.” balas salah satu tentara.

    “Ouch! Lalat sialan ini menggigitku!” seru salah satu tentara tiba-tiba sambil menepuk seekor lalat di tangannya.

    “Apa? Kau digigit oleh. . . lalat?” balas tentara lainnya dengan keheranan.

    “Ouch. ******** kecil ini memiliki sengat.”

    “Kau pasti mabuk, lalat tidak memiliki sengat.” tawa tentara lainnya.

    “Tidak. Lihat ini, mereka mempunyai sengat.” kata tentara yang di sengat sambil menjepit lalat yang baru saja dipukulnya dengan jari telunjuk dan jempol. “Dan oh, sengatan mereka sungguh kuat. Rasanya seperti. . . terbakar.” kata tentara itu meringis dan kemudian tiba-tiba jatuh lemas. Tentara yang tersengat lalat aneh itu terkulai lemas di lantai, masih hidup tapi tampak sama sekali tidak memiliki tenaga.

    “Sial ini semua pasti ulahnya! Cepat keluar dari sini!” teriak Leon dengan panik.

    Dalam sekejap keadaan berubah menjadi kacau. Di tengah malam itu, suara tembakan dilepaskan secara membabi buta dan dengung di dalam ruangan tersebut menjadi makin besar.

    ***​

    “Ini tidak seperti yang biasanya ku lihat. Ini pertama kalinya aku melihat tubuh manusiamembusuk sebanyak ini dalam satu malam.” kata orang berbaju putih dengan lambang palang merah di lengan bajunya.

    “My Lady aku perlu mengabari Lord Maximilian soal hal ini. Kota Merwaith sedang ada dalam bahaya akan musibah wabah.” dokter tersebut berbicara lagi pada seorang wanita yang menghalangi jalannya masuk ke ruang kerja Lord Maximilian

    “Ya tentu saja kau perlu memberitakan hal ini pada sang Lord. Tapi katakan padanya ini bukan wabah.” wanita yang biasa di panggil Lady Phyliss itu tampak membalas dengan lembut.

    “Dua puluh orang ditemukan meninggal dalam keadaan membusuk dan dalam satu ruangan. Aku yakin ini wabah.” si dokter tampak agak bingung dengan permintaan Lady Phyliss.

    “Yang kau lihat hanya flu yang ganas dokter. Sebentar lagi terjadi pergantian musim dan hal ini sering terjadi.”

    Dokter tersebut memprotes, “Tidak mungkin ini hanya sekedar flu. Aku telah berkarya di bidang medis selama lima belas tahun dan-“

    “Ini hanyalah flu. Dan kalau kau tidak mengerti, ini merupakan perintah dari ku.” kata Lady Phyliss dengan tenang, walaupun matanya tampak mengancam si dokter.

    “Ba-baiklah ini hanyalah flu.” kata dokter tersebut dengan tidak nyaman.

    Lady Phyliss tampak melunakkan pandangannya, “Ya tentu ini hanya flu. Sekarang beri tahu Lord Maximilian akan kabar duka ini.”

    “Ten-tentu saja.” dokter tersebut berbicara dengan gugup sambil mengetuk ruang kerja sang Lord. “Ya, ini hanya penyakit ringan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
     
  6. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter IV: Burning Souls

    Sepuluh mil dari dinding kota Secratus, pasukan city state Merwaith tengah menunggu. Dengan jumlah mencapai belasan ribu, mereka mendirikan kamp besar dan siap untuk berperang.

    Tampaknya Lord Maximilian sendiri mempertaruhkan semuanya untuk city state Secratus. Kota Merwaith ditinggalkan dengan penjagaan sangat minin. Ditambah lagi sejak kematian misterius Jendral Carfelis serta si penasihat militer Leon, Lord Maximilian selalu memimpin perang secara langsung.

    Lord Maximilian mempunyai sebuah tenda di atas gunungan tanah yang terletak di atas kamp. Dari dalam tendanya ia keluar untuk mengecek keadaan.

    “Bagaimana keadaannya letnan?” tanya sang Lord kepada seorang tentara yang langsung menghampirinya. Tentara itu menggunakan sebuah seragam hitam yang sangat lusuh dan tampak perban dengan noda darah yang mengitari kepalanya.

    “Well, my Lord. Antara Secratus dan pasukan kita hanya ada ladang terbuka sepanjang sepuluh mil. Sama sekali tidak ada ranjau ataupun jebakan. Jadi pasukan infantry dan tak dapat meluncur dengan mudah di sana.”

    “. . . Kukira kau melupakan bagian yang pentingnya letnan.”

    “Ya, memang tidak ada apapun di ladang itu sepanjang delapan mil. Kecuali peluru meriam raksasa yang terus menembakkan tembakan akurat. Kami sama sekali tidak dapat maju. Meriam mereka dapat melibas seluruh company secepat ini.” kata sang letnan sambil menjentikkan jarinya ketika mengucapkan kalimat terakhir.

    ***

    Kota Secratus tampak memendarkan cahaya putih di malam hari. Ini semua karena tembok kota mereka yang terbuat dari batu khusus dan dapat menyerap cahaya bulan. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak keindahan kota Secratus.

    Biasanya orang-orang berdatangan dari berbagai tempat untuk mengunjungi kota Imperial ini. Hanya saja keadaannya agak berbeda sekarang. Orang-orang dengan seragam militer biru tampak berjaga di sepanjang dinding kota. Mereka mengawasi keadaan di sekeliling dengan teropong mereka.

    “Menurutmu ini akan menahan mereka, Jendral?” kata sebuah sosok berjubah putih yang tampak sedang menerawang dalam kejauhan.

    “Yang Mulia, mereka tidak akan memiliki kesempatan ketika berhadapan dengan Giant Karpov. Bahkan tentara paling veteran sekalipun tidak dapat lari dari pelurunya.” kata sang Jendral.

    “Jendral! Pasukan musuh terlihat! Arah jam 11!” tiba-tiba seorang tentara pengawas berteriak dari atas menara.

    Sang Jendral mengambil teropongnya dan dapat melihat sekelompok besar tentara denggan seragam hitam mencoba mengendap-endap dari kejauhan. Beberapa tank yang di cat hitam juga tampak mengikuti mereka dari belakang. Tank-tank tersebut berjalan dengan kecepatan rendah, berusaha tidak membuat banyak suara dan menerbangkan debu dalam jumlah besar.

    “Kirim koordinat mereka ke kru Karpov.” balas sang Jendral dengan tenang sambil menurunkan teropongnya.

    Si tentara pengawas langsung berlari ke dalam menara dan menyambungkan radio dengan kru meriam. Beberapa detik kemudian terdengar suara mekanik raksasa. Di dekat pusat kota, tampak sebuah meriam raksasa menaikkan moncongnya ke udara. Di samping meriam raksasa itu terdapat crane yang tengah menurunkan sebuah selongsong peluru meriam sepanjang tiga meter.

    Sebuah palka tampak terbuka di sisi meriam. Dengan suara benturan logam yang keras, peluru tersebut dimasukkan ke dalam palka itu. Sekelompok tentara kekaisaran tampak menutupi telinga mereka dengan tangan begitu peluru meriam di masukkan.

    Perlahan tapi pasti, para kru meriam tampak mengatur moncong meriam Giant Karpov yang pendek. Setelah beberapa saat, tampak tiang-tiang dengan sirene di sekitar meriam berdesing.

    Dengan suara menggelegak layaknya halilintar, peluru pertama di tembakkan.

    ***

    Perhatian mereka teralihkan oleh sebuah suara desingan kecil. Ratusan pasukan grenadier Merwaith menengadah, mencoba mencari sumber suara tersebut. Bahkan pasukan tank mulai menghentikan lajunya untuk mendengar suara desing tersebut.

    Beberapa tentara tampak menunjuk-nunjuk ke langit. Sebuah bola hitam kecil tampak berada tinggi di angkasa, terbang perlahan ke arah mereka.

    Seorang Letnan yang melihat benda tersebut langsung menjatuhkan rokok yang tadinya ia hisap, “Oh, tidak lagi. BERLINDUNG!!”

    Banyak tentara yang tidak menangkap apa maksud sang letnan, tapi mereka yang mengerti langsung mencari lubang untuk berlindung. Detik selanjutnya, bola tersebut tampak pecah di udara dan menjatuhkan sebuah ‘hujan’.

    Bola-bola kecil seukuran kepalan tangan langsung menghujani seluruh areal tersebut. Begitu menyentuh tanah bola tersebut langsung melahap tanah dengan api yang sangat intens. Api neraka mungkin merupakan istilah yang paling tepat untuk menyebut keadaan saat itu.

    Ratusan teriakan penuh kesakitan dan penderitaan terdengar melengking dan menulikan telinga. Jiwa-jiwa yang terbakar habis oleh api.

    Beberapa orang mengatakan kata-kata terakhir sebelum kematian memiliki kekuatan tersendiri dan terkadang menguak rahasia dari hidup dan mati seseorang. Tapi malam itu hanya terdengar teriakan seperti; Panas! Sialan! Tolong! ataupun hanya sekadir memanggil-manggil oran tua mereka. Sepertinya tidak ada yang dapat diungkapkan dari kata-kata terakhir tersebut.

    Letnan Csar sendiri hanya dapat meringkuk di sebuah cekukan sambil memaki-maki. Ia bahkan berdoa dengan sembarangan mencoba meyakinkan Tuhan untuk menjauhkan jiwanya dari api pencucian.

    Setelah satu menit berkomat kamit, tampaknya jiwanya telah di selamatkan. Tidak ada lagi suara ‘hujan’, yang ada hanyalah keheningan yang tidak menyenangkan.

    Letnan Csar bangkit dari tempat ia meringkuk. Tampak abu-abu berjatuhan dari pakaiannya ketika ia bergerak. Ia hanya bisa berdiam diri dan membisu ketika melihat pemandangan yand ada di depannya. Sebuah pemandangan yang mengguncangkan jiwa.

    Ratusan tubuh terbakar hingga kering. Tubuh-tubuh dengan tulang terbungkus kulit yang sudah keriput tampak bertumpukkan di sana-sini.

    Tiba-tiba terdengar sebuah suara melengking penuh kesakitan. Letnan Csar langsung menoleh ke arah suara tersebut. Ia mengharapkan dirinya akan melihat orang-orang yang masih selamat. Dengan sempoyongan ia berlari di antara ladang kematian mencari sumber teriakan tersebut.

    Suara tersebut datang dari dalam sebuah tank. Tank tersebut sendiri sudah hangus dan tampak tidak lebih dari rongsokan logam. Dengan jelas letnan Csar dapat mendengar suara lemah dari dalam tank tersebut.

    “Bertahanlah aku akan mengeluarkanmu!” teriaknya sambil berjalan mengitar tank, mencoba mencari pintu belakang tank.

    Begitu letnan Csar mencoba membuka pintu besi tersebut ia langsung menyadari sarung tangannya melepuh dan panas yang luar biasa menyengat tangannya. Ia mengerang kecil sambil menarik tangannya. Bom yang di lepaskan pihak Kekaisaran pasti sangat dashyat hingga dapat membakar tank seperti ini.

    Tapi yang pasti orang di dalamnya masih hidup dan ia harus mengeluarkan mereka. Suara rintihan masih terdengar dari dalam tank tersebut. Untungnya sang letnan mempunyai ide. Ia melihat sebuah senapan tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri, entah dimana pemiliknya sekarang.

    Dengan tangan kirinya yang masih sehat ia menyelipkan gagang senapan tersebut di tuas pembuka palka belakang. Dengan sekuat tenaga ia memutar senapan tersebut di sekeliling tuas palka. Sedikit saja tuas palka tersebut bergerak dan bunyi berdecit melengking mulai menyayat telinganya.

    Setelah berusaha keras, pintu palka tersebut mengayun terbuka dengan perlahan. Uap panas tampak lari keluar dari dalam tank melalui celah tersebut.

    “Kau baik-baik saja!?” teriak Csar sambil melindungi wajahnya dari uap panas tersebut.

    Ia berharap untuk melihat awak tank yang masih selamat. Tapi setelah uap panas tersebut menipis ia sama sekali tidak menginginkannya.

    Yang tampak di matanya sebagai satu-satunya makhluk hidup di dalam tank itu jelas-jelas sudah sangat jauh dari kesan manusia. Apa yang ada di hadapannya lebih mirip seperti sapi yang melewati kombinasi dari proses penjagalan dan pemasakkan tidak sempurna.

    Butuh beberapa detik bagi Csar untuk menyadari gumpalan daging dan darah yang masih bergerak di depannya adalah manusia. Ia mengalami kesulitan untuk mengenali anggota tubuh si kru tank.

    Wajahnya di penuhi noda merah, rongga matanya tampak tidak lebih dari cekungan berisi genangan darah, tubuhnya tambak terbagi dua di bagian perut. Csar dapat melihat dengan jelas tulang punggungnya yang mencuat keluar. Dengan rahang bawah yang tampak sangat longgar, mulutnya menganga dan mengeluarkan suara kesakitan yang tidak jelas.

    Sebenarnya fakta bahwa tentara tersebut hidup adalah mengagumkan, mengingat ia baru saja selamat dari oven manusia. Tapi Csar sudah mengambil satu langkah mundur, ia merasa seperti seluruh kekuatan di tubuhnya telah lepas dan hilang. Tanpa ia sadari ia sudah menemukan dirinya berlari meninggalkan semua yang ia lihat. Ia sudah merasa cukup dengan perang ini.

    Sementara Letnan Csar melarikan diri dari medan tempur. Ia tidak menyadari sepasang mata mengawasinya dari kejauhan.

    “Jendral ada seorang tentara yang berhasil selamat. Perintahmu?” kata salah satu tentara pengawas yang berdiri di atas dinding kota Socratus.

    “Biarkan dia. Ia akan menyebarkan terror dan ketakuan untuk kita.” Jendral tersebut membalas dengan tenang.
     
  7. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter V: The Beginning. . . Of What?

    Sekelompok orang tampak sedang menggali terowongan dalam kegelapan. Lentera yang mereka bawa merupakan satu-satunya cahaya di lubang yang hitam pekat itu. Semuanya bekerja dalam keheningan, hingga salah satu dari peralatan menggali mereka mengenai benda logam.

    “Huh? Apa yang. . . . . Sial, ra-!” sebelum orang tersebut dapat menyelesaikan kalimatnya, ledakan besar melahap seluruh terowongan.

    Dengan cepat keributan besar terjadi di bagian terowongan lainnya.

    “Awas! Terowongannya tidak akan bertahan lama!” terdengar suara teriakan yang diikuti suara gemuruh bumi beberapa detik kemudian.

    Lord Maximilian mengawasi dengan lesu ketika beberapa bidang permukaan tanah runtuh dan meninggalkan kawah-kawah cukup yang dalam.

    “Tuan, sepertinya untuk membuat terowongan akan sangat sulit. Setidaknya dengan keberadaan ranjau-ranjau mereka.” kata salah satu komandan lapangan sambil menyaksikan kegagalan pasukannya dalam membuat terowongan.

    “Jadi kita juga tidak bisa menyerang dari bawah. . . Ini sungguh membingungkan. Kau punya saran komandan?” tanya sang Lord dengan lemah.

    Sang komandan membuka topi dan menggaruk kepalanya, “Aku hanya bisa menyarankan untuk menunggu hingga keadaan berubah. Atau bila terpaksa kita bisa menyerang kota dengan membagi-bagi pasukan kita, setidaknya meriam mereka hanya dapat menghancurkan satu kelompok dalam satu waktu.”

    “Itu terlalu. . .”

    Sebelum Lord Maximilian berhasil menemukan kata-kata yang tepat, ia kembali dikejutkan. Seorang tentara tampak berlari ke arahnya sambil berteriak-teriak.

    “Serangan! Musuh menyerang dari belakang!”

    Lord Maximilian dan sang komandan langsung bertukar pandang. Mereka tahu bahwa mereka memikirkan hal yang sama.

    “Distrik pabrik!” seru mereka bersamaan.

    Dalam perang berskala besar, memang bukan hal yang aneh mendirikan distrik pabrik. Pasukan dalam jumlah besar memerlukan persenjataan berat yang beragam. Dan lebih mudah mendirikan pabriknya dari pada harus membawanya dalam bermil-mil perjalanan. Ketiadaan distrik pabrik dalam kamp pasukan akan sangat mengubah hasil akhir pertempuran.

    Lord Maximilian dan komandan lapangannya langsung memasuki kamp komando dengan tergesa-gesa. Di dalam tenda besar tersebut terdapat peta besar dan radio-radio untuk mengkontak setiap company yang ada. Tampak para operator sibuk memberikan arahan melalui radio, dan para komandan sibuk mengelilingi peta sambil terus menyusun gerakan.

    “Sektor A sudah ditembus!”

    “Kita kehilangan kontak dengan Lazarus company!”

    “Tidak ada unit yang menjaga sektor D!”

    Para operator sibuk meneriakkan keadaan pertempuran saat ini, mencoba memberikan gambaran jelas agar para pemimpin militer dapat menentukan langkah terbaik. Para komandan sendiri tampak menandai peta dengan keadaan yang diberitakan dan memberikan perintah.

    “Tarik mundur Enzo company, perintahkan mereka untuk membantu pertahanan distrik C!”

    “Perintahkan Hills company untuk melepaskan diri dari regimen dan menyerang musuh dari belakang melalui titik B 46!”

    Lord Maximilian melangkah dengan cepat ke dalam kamp, ia mencari-cari Mayor Jendralnya, orang dengan pangkat militer tertinggi yang ada (masih hidup).

    “Mayor Jendral, bagaimana keadaannya.” tanya sang Lord begitu ia melihat orang yang ia cari.

    Sang Mayor Jendral yang tadinya sedang mengamati peta menoleh dengan perlahan. Pria tersebut memiliki perawakan yang besar dengan badan yang tinggi dan bidang. Matanya memiliki tatapan yang keras, berbeda seperti atasannya yang lama, Jendral Carfelis.

    “Ah, my Lord.” katanya dengan tenang sambil memberi hormat.

    “Bagaimana keadaan kamp?” tanya sang Lord sekali lagi.

    Ia menjawabnya dengan tenang, “Semuanya di bawah ken-”

    “Hills company berhadapan dengan pasukan musuh! Mereka kalah jumlah dan sedang terdesak!” tiba-tiba salah satu operator berteriak.

    Si Mayor Jendral tampak sama sekali tidak terusik, “Aku yakinkan semuanya di bawah kendali, tuanku. Perintahkan mereka untuk melarikan diri.”

    “Tapi-“ sang operator menatap Mayor Jendral dengan ragu.

    “Lakukan perintahku.” balas sang Mayor Jendral dengan datar.

    Sang operator langsung kembali menghadapi radionya dengan ragu-ragu, “Hills company, mundur dari posisi kalian! Kuulangi, mundur dari posisi kalian!”

    Beberapa saat kemudian operator lain memberi sebuah berita yang telah ditunggu-tunggu oleh sang Mayor Jendral, “Kelompok tank cadangan sudah berada di posisi mereka. Perintah?”

    “Sapu bersih semua musuh kita.” jawabnya dengan penuh kemenangan.

    Setelah berkata demikian sang Mayor Jendral beralih lagi ke Lord Maximilian, “Aku sudah mengatakan semuanya terkendali, tuan. Dan distrik pabrik sama sekali tidak tersentuh. Mereka berada di luar perimeter kita.”

    ***​


    Perkataan sang Mayor Jendral ternyata tidak sebagus yang terdengar. Sebelum kelompok tank dapat berada di posisi, telah banyak pasukan grenadier yang menjadi korban serangan kejut tersebut. Walaupun peralatan perang tersedia, tetap saja tidak berguna bila tidak ada yang mengoperasikannya.

    Para tentara banyak yang terduduk dengan lesu di dalam lubang-lubang pertahanan. Dan dalam moral mereka yang rendah, berbagai isu dan pendapat tersebar. Mengenai korban dalam serangan mendadak, mengenai meriam Kekaisaran yang dapat membakar habis orang-orang, mengenai betapa mustahilnya bagi mereka untuk memenangkan pertempuran ini.

    Dan di dalam air yang keruh ini, Lord Maximilian tahu kepada siapa ia harus melepaskan emosinya.

    Lord Maximilian masuk dengan tergesa-gesa ke dalam tendanya yang besar. Ia dapat mendengar suara kecapi yang penuh duka dan kesedihan. Suara itu hanya mempermudah dirinya mencari orang yang ingin ia temui.

    Dengan diikuti lima orang tentara, sang Lord masuk ke dalam salah satu bilik tendanya. Di dalam ruangan tersebut ia bisa melihat seorang wanita dengan anggunnya memainkan kartu di atas meja. Biasanya pemandangan ini malah memberi perasaan menusuk di tulang-tulangnya, tapi saat ini rasa marahnya dapat menekan perasaan takutnya.

    Lady Phyliss tampak seakan tidak menyadari kehadiran dirinya, tanpa ragu-ragu Lord Maximilian memukul meja kayu tersebut sekuat tenaga dan menyibakkan tangannya sehingga kartu-kartu di atas meja tersebut berhamburan. Suara kecapi langsung terhenti.

    Lady Phyliss tampak sama sekali tidak mengeluarkan ekspresi tertentu dengan tindakan sang Lord. Ia hanya menengok perlahan ke arah sang Lord dengan ekspresi datar seraya bertanya, “Ada yang mengganggumu, Maxie?”

    “Ya! Banyak yang menggangguku. Terutama dirimu.” jawab Lord Maximilian dengan jengkel.

    “Aku? Bisa kau jelaskan maksudmu?”

    Lord Maximilian tampak siap untuk meledak, “Saat ini aku terjebak di sini! Pasukanku tidak dapat maju dan city state lain mulai menyerangku dari belakang! Dilihat dari manapun ini sangat berbeda dari yang kau janjikan! Aku akan kalah dalam perang ini dan tampaknya kau sama sekali TIDAK MENGERTI KEADAAN SAAT INI!!”

    “Ah.” kata Lady Phyliss pelan.

    “Aku sama sekali lupa bahwa kau harusnya memenangkan pertempuran ini.” jawabnya lagi seakan dia baru saja melupakan suatu hal kecil.

    “KAU-!!” raung Lord Maximilian.

    “Bawa ahli-ahli pabrikmu kesini.” potong Lady Phyliss dengan nada yang malas.

    “. . . Panggil para ahli industri kesini!” Lord Maximilian berteriak kepada salah satu tentaranya.

    “Baik tuan!” dengan cepat orang tersebut menghilang keluar.

    Lord Maximilian mengarahkan telunjuknya pada Lady Phyliss dan mengeluarkan nada mengancam, “Kalau kau gagal membuat perubahan, aku bersumpah aku akan meng-“

    “Kau bisa menyimpan detail-detail siksaanmu untuk dirimu sendiri, Maxie.” potong Lady Phyliss sambil mengayunkan tangannya.

    “Kita lihat saja nanti.” geram sang Lord.

    ***​

    Tampak lima orang ahli industri perang berdiri di ruangan tersebut. Mereka adalah pekerja-pekerja senior yang sudah berpengalaman dalam membuat mesin-mesin perang.

    “Kau meminta ahli industriku dan aku memberikannya. Aku meminta agar perang ini kumenangkan dan sudah sepantasnya kau membuat aku menang.” Lord Maximilian berkata pada Lady Phyliss.

    Dalam hati, Lord Maximilian sudah siap untuk memberi perintah tentaranya untuk menembak bila Lady Phyliss mencoba melakukan sesuatu yang aneh, seperti menghianatinya.

    Lady Phyliss hanya tersenyum tipis, “Kau tidak pernah belajar Maxie, kau hanya perlu percaya padaku.”

    Tiba-tiba tanpa peringatan, Lady Phyliss mengeluarkan sebilah belati dari lengan bajunya dan menggorok leher ahli industri yang paling dekat dengan dirinya.

    Lord Maximilian hanya dapat membelalak. Ia sama sekali tidak menyangka apa yang terjadi saat ini. Pada saat ia sadar apa yang sebenarnya terjadi, kelima ahli industri tersebut sudah terkulai di lantai dengan darah berceceran.

    Sepertinya para tentara memiliki reflek yang lebih bagus dari Lord Maximilian sendiri. Mereka langsung mengarahkan senapan mereka ke arah Lady Phyliss selagi Lord Maximilian masih termenung. Tapi anehnya, untuk suatu alasan yang bahkan sang Lord sendiri tidak tahu, ia memerintahkan agar tentaranya menahan tembakkan mereka.

    Lord Maximilian mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tentaranya menahan tembakan mereka. Sementara itu, Lady Phyliss berdiri di tengah genangan darah korban-korbannya. Ia mengangkat belatinya kemudian menggores telapak tangannya sendiri.

    Dengan perlahan Lady Phyliss membiarkan setetes darahnya jatuh dan menciptakan sebuah riak dalam genangan merah di lantai. Mungkin ini hanya imajinasi dirinya, tapi Lord Maximilian berani bersumpah ia melihat bayangan-bayangan hitam menari-nari dengan liar di sekitar Lady Phyliss.

    Lady Phyliss sendiri tampak memejamkan matanya dan membisikkan sesuatu. Mulutnya tampak bergumam, mengeluarkan sebuah kata-kata yang tidak dapat dimengerti. Kata-kata yang lembut, tapi mengerikan pada saat bersamaan, sebuah bahasa yang asing dan menimbulkan ketakutan.

    Ketika Lady Phyliss berhenti bergumam, baik Lord Maximilian dan tentaranya sudah membeku karena takut. Layaknya orang gila yang menakuti hal yang tidak diketahui, mereka juga tidak berani bergerak karena hal yang tidak mereka ketahui.

    Malang bagi mereka, hal selanjutnya yang terjadi akan membuat mereka semakin membeku. Tanpa terduga orang yang paling pertama membuat gerakan bukanlah Lady Phyliss, atau Maximilian, atau tentaranya. Yang bergerak pertama kali setelah kata-kata asing Lady Phyliss adalah para ahli industri yang tergeletak di lantai.

    Perlahan-lahan mereka bangkit dari lantai, seakan-akan tidak ada yang terjadi pada mereka sebelumnya. Para ahli tersebut tampak mengerikan, dengan bersimbahkan darah dan luka yang masih terbuka. Tubuh mereka lunglai dan pandangan mata mereka pucat.

    Tanpa peringatan mereka mengeluarkan suara serak. Awalnya tidak jelas apa yang keluar dari mulut mereka, tetapi suara serak tersebut lama-lama berubah menjadi tawa. Sebuah tawa paling tulus dan mengerikan yang pernah didengar Lord Maximilian. Mata mereka tampak berputar-putar, seakan mereka sama sekali tidak dapat memfokuskan pandangan.

    Tiba-tiba Lady Phyliss menjentikkan jarinya dan para ahli industri tersebut berlari keluar ruangan sambil tertawa tidak alami. Melewati Lord Maximilian dan tentaranya yang sudah tidak mempunyai nyali lagi. Mereka hanya bisa membelalak, bertanya-tanya apa yang sebenarnya baru saja mereka saksikan.
     
  8. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter VI: Lord of The Flies (part 1)

    Lord Maximilian sudah berusaha sebisanya untuk tidak membuat kepanikkan dalam kubunya. Tapi tetap saja rumor menyebar dengan cepat. Rumor-rumor mengenai pekerja-pekerja distrik industri yang kerasukan setan. Hampir setiap detik suara tawa yang mengerikan dapat didengar dari dalam distrik pabrik.

    Tapi kabar burung tersebut memasuki tahap yang baru ketika salah satu dari tenaga ahli yang dibangkitkan Lady Phyliss menyerang pekerja pabrik lain.

    “Bagaimana keadaannya?” tanya sang Lord kepada salah satu tentara yang menjaga pabrik.

    Tentara itu hanya memberikan pandangan gugup, keringat dingin mengalir pelan diantara alis matanya. Hanya dari melihat penjaganya, ia tahu keadaan di dalam pasti cukup gila.

    Sang Lord menarik napas dalam-dalam. Dilihatnya sekali lagi tenda raksasa berwarna hijau tua tersebut. Beberapa cerobong asap tampak menyembul keluar dari tenda tersebut dan mengepulkan asap hitam pekat. Entah karena asap tersebut atau hanya perasaannya saja, tapi sang Lord merasa seakan pabrik tersebut dikelilingi oleh awan hitam. Sang Lord membuang napasnya dengan lemas dan melangkah masuk ke dalam distrik pabrik.

    Apa yang ada di dalam tenda tersebut sungguh mengejutkan dirinya. Ia sama sekali tidak dapat membedakan apakah tenda tersebut berisi distrik industri atau berisi rumah jagal. Bedanya dengan rumah jagal hanya kaum yang dijagal biasanya tidak bangkit lagi dan kembali bekerja.

    Puluhan orang dengan seragam hijau tua tenaga industri bekerja tanpa kenal lelah dengan bersimbahkan darah. Suara tawa maniak pelan terdengar dari mulut mereka ketika mereka menghantamkan palu ke besi tempa. Beberapa berlari sempoyongan seperti orang gila sambil membawa mesin-mesin aneh yang belum pernah dilihat sang Lord sebelumnya.

    “A-apa yang. . . terjadi di sini?” tanya Lord Maximilian ketika melihat pemandangan ini.

    “Ini semua bermula ketika salah satu pekerja menggigit pekerja yang lainnya. Pekerja yang digigit langsung mengalami kejang-kejang dan muntah darah, kami kira dia mati. . . Tapi tiba-tiba dia bangkit lagi dan mulai bekerja kembali. Hal ini terjadi berulang-ulang, hingga seperti ini.” balas seorang tentara penjaga dengan ragu-ragu.

    “Dan apa yang mereka kerjakan?” tanya sang Lord lagi.

    “Entahlah, mereka menempa besi-besi dengan bentuk yang aneh. Kami biasa melihat proses para pekerja membuat tank atau meriam, tapi yang mereka lakukan saat ini sangat berbeda.” kata salah satu penjaga yang lainnya.

    “. . . Tadi kau bilang mereka menggigit dan apa yang terkena gigitan mereka langsung berubah seperti ini.”

    “Kira-kira begitu tuan.”

    Maximilian mengawasi para pekerja-pekerja tersebut. Untuk sesaat mereka tampak bekerja dengan tidak teratur, memukulkan palu mereka secara acak-acakan dan berlari dengan sempoyongan. Tapi kemudian Lord Maximilian sadar, bahwa mereka bekerja secara sinergis. Hubungan antar pekerja berjalan dengan ketepatan yang tidak masuk akal.

    Ia melihat bagaimana ketika satu selesai melakukan pekerjaannya yang lainnya juga selesai. Mereka bekerja dengan efisiensi tertinggi. Tapi apa yang mereka kerjakan.

    “Apapun yang terjadi jangan biarkan mereka keluar dari sini. Bila perlu tembak mereka.” perintah sang Lord dengan cepat.

    “Mengerti, tuan.”

    Dengan cepat Lord Maximilian berjalan meninggalkan pabrik tersebut. Berada terlalu lama di dalam tenda tersebut dapat membuat dirinya merasa mual. Lagipula ada hal yang perlu ia lakukan, sebuah tindakan untuk berjaga-jaga.

    ***​

    Letnan Csar berjalan dengan tergesa-gesa di antara barisan tenda-tenda tentara. Seharusnya ia tidak di perbolehkan meninggalkan klinik, tapi kabar yang ia dengar sungguh mengganggunya. Satu hari yang lalu, ia mendengarkan dengan ketakutan luar biasa begitu perintah untuk menyerang kota dikeluarkan.

    Mungkin para pemimpin belum mengetahui terror yang dapat diciptakan meriam Kekaisaran. Yang ia tahu hanyalah, ia perlu memperingatkan mereka. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang mereka lakukan.

    Ia berusaha masuk ke dalam tenda Lord Maximilian tapi dua orang tentara tampak menghadangnya.

    “Minggir, aku perlu bertemu dengan sang Lord.” katanya memberi perintah.

    “Sang Lord memerintahkan agar dirinya tidak diganggu oleh siapapun.” balas salah satu tentara.

    Tiba-tiba pintu tirai tenda Lord Maximilian terbuka. Csar sangat berpikir dirinya beruntung karena datang tepat ketika sang Lord keluar dari tendanya. Sayangnya bukan sang Lord yang keluar. Seorang pria tua dengan jenggot putih lebat berjalan keluar, para tentara segera memberikan jalan bagi pria tua tersebut.

    Perhatian Csar tertuju pada kalung yang tergantung di leher pria tua tersebut. Seorang pendeta? Apa yang dilakukannya di sini?Apakah sang Lord sedang ingin melakukan ibadah atau apa?

    Di tengan pikirannya, terdengar suara pintu tirai terbuka lagi. Letnan Csar bangkit dari lamunannya dan melihat Lord Maximilian berada di depan pintu tendanya.
    “Lord Maximilian!”

    Lord Maximilian tampak menengok ke Csar dan ekspresinya mengatakan ia baru saja teringat sesuatu, “Kau? Kau tentara yang selamat dari serangan meriam bukan?”

    “Ya benar tuan. My Lord, apakah benar kau akan menyerang kota Secratus hari ini?”

    “Well, begitulah rencananya.” jawab sang Lord acuh tak acuh.
    “Tolong pertimbangkan lagi, akan banyak tentara yang gugur bila kau menyerang kota secara langsung!”

    Lord Maximilian tampak termenung sebentar, “Aku tahu kau sudah menyaksikan terror dari peralatan perang Kekaisaran. Tapi, maaf. Aku tidak bisa mengubah keputusan ini.”

    “Kenapa kita harus menyerang sekarang kalau begitu?” tanya Csar lagi.

    Lord Maximilian hanya membalasnya dengan senyum lemah, “Aku tidak tahu.”

    Letnan Csar hanya dapat menatap sang Lord dengan pandangan tidak percaya. Sementara itu sang Lord mengeluarkan sebuah jam kantong dari selipan jubahnya dan berkata, “Ah, sekarang waktunya. Aku harus memberi perintah agar semua unit menyerang.”

    “Tunggu dulu! Pasti ada jalan keluar lain.” teriak Letnan Scar berusaha mencegah sang Lord. Ia mencoba untuk mendekata Lord Maximilian tapi dihentikan oleh beberapa penjaganya. Csar berusaha memberontak, tapi sebuah suara dengung aneh menghentikan gerakannya.

    Tampaknya bukan hanya dia yang menyadari suara aneh tersebut. Para tentara bahkan Lord Maximilian sendiri juga tampak mencari-cari sumber suara tersebut.

    Lord Maximilian tiba-tiba mendecakkan lidahnya begitu ia menyadari dari mana asal suara dengung tersebut, “Distrik pabrik.”

    ***​

    Siang itu, kota Secratus menghadapi lawan yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Awan hitam bergerak dengan cepat ke kota mereka. Sebuah suara dengung mekanik yang terdengar hampir seperti kibasan pisau terdengar membahana di langit.

    Penduduk kota Secratus bahkan tidak tahu apa yang menghantam mereka. Awalnya mereka pikir itu adalah awan, tapi benda hitam tersebut bergerak terlalu cepat untuk awan. Kemudian mereka menduga itu adalah peluru meriam, tapi objek itu bergerak terlalu lambat untuk menjadi bola meriam. Mereka baru bisa melihat dengan jelas ketika objek tersebut sudah amat dekat.

    Bahkan ketika mereka dapat melihatnya dengan jelas, mereka tidak mempercayai mata mereka. Puluhan lalat mekanik sepanjang 2 meter terbang ke arah kota Secratus. Para tentara mencoba menembak jatuh mereka dengan senapan, tapi semuanya percuma. Peluru mereka hanya memantul pada kulit besi para lalat.

    Sementara para tentara melepaskan tembakan mereka yang sia-sia, lalat-lalat tersebut menjatuhkan bola-bola perunggu di sekeliling kota. Dengan cepat api menjalar di penjuru kota.

    Beberapa bola perunggu lainnya meledak dan memuntahkan pecahan-pecahan tajam. Luka yang tercipta akibat ledakan tersebut secara aneh menarik perhatian lalat-lalat dan menyebabkan korbannya terjangkit suatu penyakit misterius.

    Walaupun kota Secratus memiliki tentara-tentara yang terlatih. Di hadapan teknologi yang tidak alami ini, mereka hanya seperti sekelompok orang lumpuh.

    Dan didalam kekacauan inilah pasukan Merwaith datang menyerang. Tanpa ada kru yang mengendalikan Giant Karpov. Tanpa ada pasukan yang melindungi dinding kota. Tanpa ada seorang pun yang dapat memberi perlawanan.

    ***​
     
  9. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter VI: Lord of The Flies (part 2)

    Dari atas mobil jeepnya Lord Maximilian memperhatikan keadaan kota Secratus yang menyedihkan. Tubuh bergelimpangan di mana-mana, bangunan-bangunan putih klasik yang saat ini sedang dilalap api, bau kematian tercium dari setiap sudut kota.

    “Apakah ini kemenangan?” tanya sang Lord pelan.

    “Ini adalah pembantaian, tuan.” Letnan Csar yang duduk di samping sang Lord membalas dengan suara serak.

    Konvoi militer pasukan Merwaith berhenti ketika mereka mencapai balai kota. Berbagai truck yang mengangkut tentara menghentikan ban mereka di atas plaza luas yang penuh dengan bau busuk. Tampak mayat-mayat dengan nanah-nanah berdarah tergeletak di sepanjang plaza, baik tentara maupun warga sipil.

    Sementara itu Lord Maximilian turun dari jeepnya sambil menengadah ke langit. Ia masih bisa mendengar sekelompok suara dengung di langit. Tampak seperti awan hitam yang bergerak cepat, lalat-lalat mekanik tersebut terbang menjauh dari kota Secratus dalam kelompok besar.

    “Ke mana mereka pergi?” tanya letnan Csar.

    “Entahlah, aku tidak tahu.” jawab sang Lord.

    “Mereka semua pergi mencari kota terdekat.” walaupun ia sudah sangat familiar dengan suara ini, sang Lord tidak pernah merasa nyaman mendengarnya.

    Ia melihat wanita itu berjalan di antara mayat-mayat korban perang dengan tenang. Gaun hitamnya tampak menyapu lantai plaza yang penuh darah tapi sama sekali tampak tidak ternodai.

    “Lady Phyliss.” desis Lord Maximilian, “Kau mengikutiku? Aku sama sekali tidak menyadarinya.”

    “Apa maksudmu mereka mencari kota terdekat? Untuk apa?” tanya letnan Csar. Ia merasakan perasaan buruk ketika melihat lalat-lalat mekanik tersebut.

    “Untuk apa? Tentu saja untuk menyebarkan lebih banyak kehancuran.” jawab Lady Phyliss dengan lembut.

    “APA KATAMU!?” teriak letnan Csar dengan kaget. Ia kemudian memandang Lord Maximilian yang juga tampak melongo mendengar pernyataan sang Lady.

    “Lady Phyliss. Apa maksud semua ini!?” tanya Lord Maximilian cepat-cepat.

    “Oh, apakah kau lupa? Kukira kau ingin jadi penguasa seluruh Efesa.” kata Lady Phyliss dengan seakan-akan dia tengah mengingatkan seorang anak kecil yang lupa mencuci tangan.

    “Tapi bukan dengan cara seperti ini!” teriak Lord Maximilian panik, “Ini tidak seperti yang kau janjikan.”

    “Jadi apa yang kau harapkan, Maxie?” balas Lady Phyliss dengan lembut.

    Lord Maximilian mencoba membuka mulutnya, tapi dengan cepat Lady Phyliss memotongnya.

    “Kau mengharapkan ketika pertarungan ini selesai maka kekerasan juga selesai, bukan begitu? Kau ingin melanjutkan penguasaanmu dengan cara damai setelah ini? Dimana mesin perang dan terror tidak diperlukan lagi? Kau sungguh naïf, Maxie. Itu tidak dapat terjadi.”

    Sambil mengepalkan tangannya Lord Maximilian membalas dengan keras, “Jadi kau menyuruhku untuk menguasai sebuah benua yang mati!? Kuperintahkan kau untuk menghentikan kegilaan ini!”

    Lady Phyliss hanya membalas perintah dang Lord dengan tertawa, seakan-akan sang Lord baru saja mengeluarkan sebuah lelucon, “Kau pikir aku akan menuruti perintah itu?”

    Lord Maximilian hanya bisa menggeram pelan.

    “Oh Maxie, kau tidak perlu menghiraukan orang-orang yang akan menjadi korban. Lagi pula sebentar lagi kau akan menjadi seorang ‘Lord’ yang sesungguhnya. Anggap saja mereka sebagai pengorbanan yang di perlukan.”

    “Kau wanita gila. Apa yang sebenarnya kau inginkan?” tanya sang Lord dengan waspada.

    “Yang kuinginkan?” Lady Phyliss tampak merenung sebentar kemudian kembali menatap Lord Maximilian dengan tatapannya yang anggun dan kejam. “Katakan saja aku menyukai keadaan seperti ini.”

    “. . . Kau memang gila. Seharusnya aku tidak pernah membiarkan kau berkuasa.” desis Lord Maximilian penuh tekat.

    “Apa ini hanya perasaanku saja atau kau hendak melakukan sesuatu yang lucu?” tanya Lady Phyliss sambil menatap sang Lord dengan jengkel.

    “Aku akan memperbaiki semuanya. Tentara! Bunuh Lady Phyiliss sekarang! Ini adalah perintah.” teriak Lord Maximilian memberi perintah.

    Dengan cepat sekitar selusin tentara yang berada di sekitar mereka langsung mengarahkan senapan mereka ke arah sang Lady.

    “Kau mengecewakanku, Maxie” kata Lady Phyliss pelan. Dengan cepat suara Lady Phyliss tertutupi oleh suara tembakan yang dilepaskan oleh para tentara. Tapi anehnya Lady Phyliss masih berdiri dengan tegak setelah para tentara melepaskan tembakan. Seakan peluru-peluru yang dilepaskan mengalir begitu saja d tubuhnya.

    “Kau benar-benar membuatku kecewa.” katanya pelan.

    Para tentara tampak bergidik melihat Lady Phyliss yang sama sekali tidak terluka. Tapi sepertinya Lady Phyliss bukan lagi satu-satunya hal yang perlu mereka takuti.

    Perlahan-lahan suara erangan kosong terdengar di sekeliling mereka. Satu per satu mayat dari korban pengeboman bangkit berdiri.

    “Mereka hidup lagi!”

    “Hiii! Jangan biarkan mereka mendekat.”

    Para tentara segera mengalihkan tembakan mereka pada mayat-mayat yang berjalan dengan pelan ke arah mereka.

    Di tengah kekacauan ini, tidak ada yang memperhatikan Lady Phyliss. Lady Phyliss tengah mencabut sebilah belati sambil berlari ke arah sang Lord.

    Letnan Csar yang tampaknya merupakan satu-satunya orang yang menyadari hal tersebut langsung bertindak. Ia berteriak memperingati sang Lord. Di saat bersamaan ia juga mencabut rapiernya dan mencoba menghadang Lady Phyliss.

    Csar mengayunkan pedangnya secara horizontal ke arah Lady Phyliss yang sedang berlari. Dengan gerakan yang sempurna Lady Phyliss menunduk sehingga rapier Csar sama sekali tidak mengenainya.

    Tanpa diduga Lady Phyliss mengayunkan kakinya dan menendang letnan Csar tepat di selangkangannya. Csar mengerang keras dan jatuh ambruk.

    Walaupun letnan Csar berhasil memperingati sang Lord. Tampaknya peringatan tersebut agak terlambat. Lord Maximilian menyelipkan tangannya ke dalam jubah, mencoba untuk mengambil pistol yang selalu tersimpan dengan rapih di kantongnya. Tapi di saat bersamaan Lady Phylis sudah berada di depan matanya.

    Dengan sebuah tusukan yang menyayat, Lady Phyliss membuat sebuah luka mengaga dari perut hingga ke dada Lord Maximilian. Sang Lord berteriak kesakitan. Darah segar menyembur keluar dari lukanya.

    “Kau memang bodoh, memilih untuk berakhir seperti ini.” ejek Lady Phyliss dengan nada yang dingin.

    “D-dan sekarang akhirmu juga pelacur.” balas sang Lord.

    Lord Maximilian menahan rasa sakit yang menyelimutinya dan mencabut sebuah pistol dari balik jubahnya. Tanpa ragu-ragu ia menembakkan sebuah peluru yang ada di dalam barrel pistol tersebut kepada Lady Phyliss.

    Tampak cairan berwarna merah kehitaman mengalir keluar dari tubuh Lady Phyliss.

    “Apa. . . Tidak mungkin. Bagaimana mungkin kau bisa. . .” tampak Lady Phyliss keheranan.

    “A-aku tahu rahasiamu. Perak suci dapat menembus tubuhmu sementara timah tidak. D-dan Aku tahu kau yang sebenarnya membunuh Carfelis dan Leon”, sebuah tembakan lainnya dilepaskan.

    “ Persetan denganmu pelacur, kau boleh terbakar di neraka hingga habis.” ia mengosongkan seluruh barrel revolvernya kepada Lady Phyliss. Sang Lord mencoba mengakhiri kalimatnya dengan tawa, tapi hanya darah yang keluar dari mulutnya.

    Sementara itu Lady Phyliss tampak terkejut, ia mundur perlahan dengan tubuh yang gemetar. Matanya menunjukkan perasaan benci yang luar biasa. Dan untuk pertama kalinya, Lady Phyliss tampak kalah, tubuhnya terkulai di tengah plaza.

    Bersamaan dengan itu, tampak mayat-mayat yang tadinya menyerang pada tentara kembali terjatuh. Terkulai layaknya boneka yang dipotong tali-talinya.

    Para tentara dengan heran menyaksikan lawan-lawan tidak alami mereka yang berjatuhan. Dan dengan diam-diam, sang Lord juga jatuh berlutut. Perlahan-lahan ia jatuh dalam keadaan telentang, memandang ke langit luas. Waktunya mulai habis.

    “My Lord!” teriak letnan Csar sambil berlari menghampiri tuannya setelah ia berhasil bangkit dari rasa sakit.

    Lord Maximilian tampak tidak akan bertahan, lukanya terlalu parah untuk dirawat. Dengan ngeri letnan Csar menyaksikan sedikit demi sedikit kehidupan mulai kabur dari tubuh pria tersebut. Tapi entah kenapa dirinya merasa lebih tenang begitu ia melihat wajah sang Lord. Wajah yang menunjukkan ketenangan dan damai serta kepasrahan.

    “My Lord, bertahanlah bantuan akan segera tiba.”

    Lord Maximilian tampak bergumam pelan. Ia sepertinya sama sekali tidak mendengarkan perkataan letnan Csar.

    “. . . Apakah itu untukku? Ahaha, maaf aku membuatmu menunggu lama. . . Aku hanya ingin membuat sedikit perubahan saja. . . Tapi sepertinya aku pergi terlalu jauh. . .”

    Sang Lord tampak berbicara dengan seseorang yang tidak dapat dilihat Csar. Dengan takut-takut letnan Csar kembali memanggil tuannya.

    “M-My Lord?”

    Lord Maximilian tampak mengalihkan pandangannya ke Csar dengan sangat perlahan.

    “Letnan. . . Maaf sudah membuatmu terlibat dalam perang ini. . . Aku bertindak terlalu ceroboh. . . Tolonglah. Siapapun yang memimpin nanti. . . Jangan biarkan mereka menjadi sepertiku. . .” Lord Maximilian berbicara dengan terpatah-patah.

    “Bicara apa kau. Tuan, dalam waktu cepat anda akan dirawat dan anda akan kembali memerintah-“ Csar menghentilan kalimatnya. Lord Maximilian tampaknya sudah tidak mendengarkan dirinya lagi. Matanya memandang jauh ke langit. Entah apa yang dilihatnya.

    “Sungguh kebun mawar yang indah. . . Rumah. . .”

    Itu adalah hal terakhir yang dibisikkan Lord Maximilian sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.

    Letnan Csar bangkit dengan sedih. Tapi setidaknya sang Lord telah mati memperjuangkan apa yang benar pada akhirnya. Letnan Csar membungkuk dan mengambil pedangnya yang terjatuh. Tiba-tiba pandangannya jatuh pada genangan darah berwarna merah kehitaman di tengah plaza.

    Bulu kuduknya langsung merinding dan ia dapat merasakan hawa dingin menusuk tulang-tulangnya. Tubuh Lady Phyliss tidak ada di situ.
     
  10. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Epilogue: Rose Garden

    “Aku tidak pernah mengenal Maximilian dengan dekat. Tapi tindakannya pasti beralasan. Aku yakin ia hanya melakukan yang terbaik untuk Merwaith.”

    Tampak seorang pria dengan jubah Lord berbicara kepada orang banyak. Ia adalah sepupu jauh Lord Maximilian dan secara garis darah layak menjadi Lord of Merwaith selanjutnya. Di depannya terdapat sebuah peti mati kayu dengan berbagai ukir-ukiran yang memiliki detail tinggi.

    “Selamat tinggal sepupu, beristirahatlah dengan tenang. Aku akan melanjutkan impianmu.” kata sang Lord baru sambil mengusap peti mati tersebut.

    Dan di sinilah aku, berdiri menyaksikan pemakaman tuanku dari kejauhan. Ia sudah beristirahat dengan tenang di antara ladang bunga mawar. Apakah suatu kebetulan ia mengatakan kebun mawar di kata-kata terakhirnya? Tapi itu bukan masalah penting.

    Mayat Lady Phyliss sama sekali tidak dapat ditemukan walaupun pencarian menyeluruh telah dilakukan pada setiap sudut kota Secratus. Beberapa mengatakan bahwa sang Lady adalah jelmaan setan Ba‘al Zəbûb yang telah menipu Lord Maximilian dengan tipu dayanya.


    Tapi yang kutahu hanyalah kejahatan masih menunggu dalam kegelapan. Lagi pula aku sudah berjanji untuk menjaga kebersihan pemerintahan yang selanjutnya.

    Beristirahatlah dengan tenang Lord Maximilian. Karena aku akan selalu mengawasi setan-setan yang bersembunyi.



    ***FIN***
     
  11. Lyco Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Nov 3, 2008
    Messages:
    8,648
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +9,754 / -0
    Uhm Lord Maximilian tau rahasianya Lady Phyliss lemah ama peluru perak dari mana :???:
     
  12. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Kurang teliti bacanya atau ga nyadar. :p

    The priest, the priest.
     
  13. Lyco Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Nov 3, 2008
    Messages:
    8,648
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +9,754 / -0
    oh yang ini ya :swt:

     
  14. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Iyo yang itu.
    Jadi gimana menurut yu ceritanya :hehe:
     
  15. lolita6othic Veteran

    Offline

    Superstar

    Joined:
    Sep 7, 2010
    Messages:
    15,100
    Trophy Points:
    252
    Ratings:
    +27,209 / -0
    Loh.. :???:
    judulnya sama banget kaya Lord of The Flies nya William Golding
    tapi pas dibaca genre nya beda banget :swt:
     
  16. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ah. Sebuah error yang tidak gw sadari.
    Pengen ganti judulnya karena ternyata udah ada novel terkenal dengan judul yang sama tapi ga tau mau ganti jadi apa XD
     
  17. frick M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    May 1, 2008
    Messages:
    3,641
    Trophy Points:
    177
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,734 / -0
    :kenyang:
    Baru aja slesai gw baca.
    Positifnya, ceritanya bagus, kebanyakan dialognya terasa cerdas.
    Negatifnya, ada beberapa bagian yang terasa terlalu singkat dan diselesaikan terburu2.
     
  18. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Memang ini dulu dibuat untuk disertakan pada lomba fic di kaskus dulu, jadi sengaja dibuat pendek demi mengejar deadline.

    Saya malah merasa kalau di perpanjang nanti malah ada bagian yang kesannya filler ataupun lame. Jadi ya, bagi saya udah pas lah segini aja. :)
     
  19. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    opening closed thread, siapa tau ada yang mau baca :cambuk:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.