1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic The Legend of Eclipse [Fiction-Horror]

Discussion in 'Fiction' started by 3clips3, Aug 16, 2010.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    em. . .
    cerita ini aku buat di mobamingle yang belum tamat gara-gara aku bingung mau ngelanjutinnya gimana :onion-07:
    akhirnya moba di tutup karena bangkrut. . .
    jadi aku coba post di sini sapa tau nanti ada yang bisa ngasih saran :xiexie:

    di moba udah aku edit dua kali dan yang aku post di sini itu yang terbaru. . .
    bener-bener di mohon masukkannya :makasih-g:
    ceritanya panjang dan membingungkan :kecewa:
    nama karakternya di ambil dari nick anak-anak moba. . .
    jadi sori klo aneh :piss:

    langsung aja dah. . . .

    Gerhana itu indah, dan jarang sekali terjadi. Namun apa jadinya jika gerhana membangunkan mahkluk 1000 tahun yang lalu? Mahkluk yang seharusnya tidak boleh terbangun kembali?

    Fanfan,dx,qhoxx,lehu & ivy tidak menyadari bahwa keisengan mereka membahayakan semua orang dengan cara membanggunkan mahkluk terkutuk. Satu persatu korban mulai berjatuhan. Mahkluk itu tidak akan berhenti membunuh sebelum korbannya genap 100. Apa yang harus mereka lakukan untuk menebus perbuatannya itu?

    (tapi klo pk yg TLOE (The Legend of Eclipse) editan k 2 tw ga berlaku cos critax jd agak beda :kecewa:)

    Pretty excellent! Setelah 'kebangkitan' Eclipse yg udah cukup lama belum membuat epic horror lagi.. Well, novel ini amazing. Atmosfir horor nya kental n terasa banget. dan unsur kesadisan yg (waw) gak nanggung. Bener-bener total!! Salut ^^ .. But somehow novel ini remind gw sama film 'Stay Alive' ya? Although disini formatnya beda, tapi nuansa rumahnya yg bercat putih n iblis wanita, beserta lukisan mutilasi yg terendam di darah jadi mengingatkan gw ke sosok Elizabeth Bathory, seorang serial killer nyata yg hidup di abad 17 an.. Hm.. Is she your inspiration? But overall, ceritanya sendiri sangat original.. Ditambah penggunaan nama tokoh yg sangat unik (lain kali namaku dimasukin ya :P ).. Keren bgt! 5 thumbs up! :D
    (Xier_95)
    Rating:*****

    Great. Km dah berhasil mjebak km untk ngoreksi ksalahan yg tdk ada d novel km. -_-
    (Shino)
    Rating:*****

    Cerita yang hebat!! Semua kata-katanya menggambarkan jelas situasi kejadiannya. Kyknya bbrpa tkoh-tkohnya ku knal deh... Lnjtn ya!
    (Oxygenz)
    Rating:*****

    ada bakat, siap dibukukan. cm bbrp keluar dr alur. tp itulah improvisasi. trus. . . .nama gw kuk Quppy sih. . . .hahahag. gag masalah. great job gurl. terus berkarya. . .majulah putra putri indonesia. wkwkwk
    (guppy!)
    Rating:*****

    Good Madam~
    Seru sih, tp syg hororx gk terasa (atw lbh tpatx belum?)
    kcuali bag yg Q sbutin kmren, he3.
    Mmasukkan nick tmn2 moba ngasih nuansa trsendri, tp mw gk mw Q ngrasa sdkit geli pd bbrp tokoh yg sifatx beda dgn pmilik aslix, tp asyik lho, trutama bag keliori jd kakek2~
    Ah, Q suka dx dsni <3
    Lanjutkan,, awas klw smp macet kaya new world! =D
    (DeYuri)
    Rating:*****

    waw, akuh suka cara penggambarannya, k... :3 crita terkonsep.. kerend.. :3
    (kutie)
    Rating:*****
    yg nie lbh detil lg penjelasan na..w lbh suka ma yg nie..
    (arini)
    Rating:*****

    yg ini lbh nyeremin :p
    (Chao_xie)
    Rating:*****

    Huwee. .lg asik"a membaca, eh udh abis hlman'a. . T,T Pngen bc lnjutan'a. .
    (Rhea_Carlisle)
    Rating:*****

    Bab 1
    Bab 2
    Bab 3
    Bab 4
    Bab 5
    Bab 6
    Bab 7
    Bab 8
    Bab 9 New!!!
     
    • Thanks Thanks x 5
    • Like Like x 1
    Last edited: Nov 18, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. dejivrur M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jan 31, 2009
    Messages:
    3,877
    Trophy Points:
    131
    Ratings:
    +1,105 / -2
    bagus nih

    mulai bab 1 sudah mengundang orang untuk penasaran lanjut baca ke bab 2
    deskripsinya cukup representatif dan rinci meski watak tiap karakter di awal2 belum dirinci
     
  4. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    Rumah itu besar dan bergaya arsitektur jaman Belanda. Catnya yang berwarna putih tampak kusam dan mengelupas dimana-mana. Tetapi pintu dan jendelanya masih terpasang utuh. Tanaman merambat menyelimuti hampir seluruh bagian rumah dan rumah itu masih tampak megah. Pekarangannya yang luas di tumbuhi ilalang setinggi lutut, tanaman mawar yang ditanam di sekeliling bangunan rumah bagaikan pagar berduri yang tumbuh tak terawat. Sementara gerbang berjarak tiga kilometer dari rumah. Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi disekeliling rumah membuat orang sulit melihat keadaan di halaman. Suasananya yang sepi membuat bulu kuduk merinding.

    "Benarkah kita akan tinggal di sini kak Amara?" tanya seorang anak perempuan pada wanita di sebelahnya.

    Amara itu memandang gadis kecil itu, mengamatinya. Gasis kecil itu terlampau kecil bagi anak seusianya. Umurnya sudah sepuluh tahun, tetapi penampilannya seperti anak tujuh tahun. Matanya yang bulat besar berwarna hitam mengamati rumah tua itu dengan penasaran. Kulitnya yang putih dan cenderung pucat tampak kontras dengan baju terusan hitamnya. Rambutnya yang hitam keritung di ikat menjadi ekor kuda di kedua sisi kepalanya. Kedua tangannya yang mungil memeluk erat boneka kelinci kesanyanggannya yang diberi nama Mimi. Gadis kecil ini benar-benar seperti boneka, pikir Amara.

    Seolah-olah mengetahui dirinya tengah di amati gadis kecil itu menoleh ke arah Amara. Matanya yang besar menatap Amara penuh tanda tanya. Betapa malangnya gadis kecil ini, pikir Amara. Kemalangan terus saja membuntutinya. Kedua orang tuanya tewas dalam sebuah kebakaran beserta seluruh harta kekayaan yang turut terbakar habis. Tidak ada kerabat saudaranya yang mau menampung gadis kecil ini karena menurut mereka gadis kecil ini aneh dan menyeramkan.

    Amara baru saja menjemput gadis ini dari rumah pasangan suami istri yang mau merawatnya. Baru seminggu berselang mereka menelepon mengatakan tidak sanggup lagi merawat gadis kecil itu. Mereka memohon-mohon agar Amara bersedia menjemput gadis itu secepatnya. Mereka tidak perduli seandainya mereka melanggar hukum karena mengembalikan anak yang di adopsi. Mereka mengatakan sanggup membayar berapapun denda yang di kenakan pada mereka bahkan mereka tidak keberatan bila harus dipenjara asalkan gadis kecil itu pergi sejauh-jauhnya. Keutuhan rumah tangga dan kewarasan istrinya juga kewarasannya sedang di pertaruhkan. Terlalu aneh, terlalu menyeramkan kata mereka. Amara dapat mendengar sang istri menangis histeris di belakang suaminya.

    Amara menjadi tidak tega mendengar penjelasan sang suami yang nyaris sama histerisnya dengan istrinya meskipun awalnya dia marah karena sikap pasangan suami istri itu tidak dewasa dengan terang-terangan mengatakan mereka sudah tidak mengginginkan gadis kecil itu lagi secara blakblakan dan bukannya mencoba menutupinya. Saat Amara menjemput gadis kecil itu Amara dapat melihat kedua pasangan suami istri itu tampak lega. Fanfan tampak lebih diam dari pada saat Amara mengambilnya dari salah satu rumah saudaranya yang juga dengan kejam membuang gadis itu. Rasa amarah muncul lagi. Tega sekali menghancurkan hati seorang gadis kecil seperti ini, pikir Amara.

    Saat Amara menatap pasangan suami istri itu, rasa amarahnya lenyap dan di gantikan keterkejutan dan kasihan. Amara ingat saat pertamakali dia bertemu pasangan suami istri itu. Pasangan itu masih begitu muda dan bahagia. Amara menduga pasangan suami istri itu berumur awal tiga puluhan. Mereka sudah menunggu memiliki anak selama sepuluh tahun dan tak kunjung mendapatkannya. Oleh karena itu, mereka amat antusias untuk mengadopsi anak. Awalnya mereka hendak mengadopsi bayi, tetapi saat tidak sengaja bertemu dengan Fanfan mereka berubah pikiran. Mereka jatuh cinta pada gadis kecil bak boneka porcelain itu. Sang istri amat bersemangat mengadopsinya. Amara tidak bisa melupakan binar-binar bahagia di mata pasangan suami isti itu.
    Sekarang, binar-binar itu menghilang.

    Amara bahkan merasa pasangan suami istri tersebut tampak lebih tua sepuluh tahun dari saat terakhir kalinya dia melihat mereka, dan itu artinya, sekitar seminggu yang lalu. Bagaimana mungkin pertambahan umur seseorang bisa begitu cepat? pikir Amara. Pasti mereka telah mengalami suatu pengalaman yang amat buruk sehingga menjadi seperti itu. Lingkaran hitam menghiasi kedua mata pasangan suami istri itu. Mereka juga tampak lebih kurus, kuyu dan juga kelelahan. Tatapan mata mereka begitu ketakutan. Jelas mereka tidak dalam keadaan fisik maupun mental yang baik.

    Amara menghela nafas prihatin, "Kurasa, ya, untuk sementara ini."

    "Hm," gadis kecil itu mangut-mangut mengerti. Kemudian dia kembali menatap rumah mewah itu sekali lagi. Angin yang berbau lembab meniup lembut wajah Fanfan. “ Tempat ini pasti dulunya cantik sekali,“ celoteh Fanfan tiba-tiba.

    Amara tersenmyum mendengar komentar Fanfan, di dalam hati dia menyetujuinya. Terlepas betapa bobroknya rumah itu sekarang dulunya pasti sangat indah. Amara hampir-hampir bisa membayangkan keadaan rumah itu pada saat jayanya. Dengan cat putih bersih. Mawar-mawar merah di sekelilingnya. Pasti sangat cantik, pikirnya menerawang.
    “Secantik penghuninya.“

    Jantung Amara terasa akan keluar dari dadanya saat dia mendengar perkataan Fanfan yang janggal. “Apa maksudmu?“

    Fanfan menoleh kemudian menatap Amara yang tengah ketakutan dengan mata hitamnya yang besar. Amara merasa dirinya seperti terhisap kedalam mata hitam itu. Kemudian Fanfan tersenyum, senyum yang membuat perasaan Amara menjadi tidak enak. Senyum ular, jika memang ular bisa tersenyum. Senyum itu mengandung sejuta misteri, maksud tersembunyi dan ancaman.

    “Wanita itu tidak suka pada kak Amara.“

    “Wa, wanita siapa?“ tanya Amara sembari berusaha menjaga suaranya tetap tenang tetapi tidak berhasil.

    “Wanita yang tinggal di rumah itu,” kata Fanfan polos sembari menunjuk rumah tua itu. “Tadi dia mengamati kita. Mimi bilang wanita itu tidak suka kak Amara karena kak Amara cantik.“

    Amara terdiam sejenak. Matanya perlahan-lahan mengamati boneka kelinci yang tengah dipeluk Fanfan. Boneka kelinci putih itu balas menatap Amara dengan mata manik-maniknya yang kosong. Buru-buru Amara menjauhkan pikiran yang tidak-tidak mengenai boneka itu. Boneka tidak bisa bicara! Itu mungkin hanya khayalan Fanfan saja. Keadaan seperti itu sering terjadi pada anak kecil, pikir Amara mengingatkan

    “Ku rasa tidak begitu Fanfan. Mungkin wanita itu hanya tidak mengenalku,” kata Amara berusaha berfikiran logis.

    “Tapi kata Mimi wanita itu bener-bener ga suka sama kak Amara. Katanya kita ga boleh tinggal di sini karena berbahaya,” kata Fanfan khawatir.

    Amara mengamati wajah Fanfan yang khawatir dan hatinya menjadi terenyuh. Amara berjongkok dan menatap lembut mata gadis kecil yang tengah ketakutan itu. "Fanfan, bersabarlah! Ini hanya untuk sementara dan tidak akan ada yang terjadi padaku maupun pada kalian nantinya."

    Fanfan merengut. Tidak puas dengan jawaban yang Amara berikan.

    "Ayolah, ini hanya untuk sementara ok?" Amara tersenyum, berusaha meyakinkan. "Ah, aku akan mentraktirmu makan ice cream coklat kesukaanmu untuk merayakan kembalinya dirimu dan kita sepakat untuk tinggal sementara di sini. Bagaimana?"

    Fanfan bimbang, Amara tahu dan tersenyum dalam hati, tahu dirinya memenangkan perdebatan ini. Akhirnya, seperti yang dia duga, gadis kecil itu mengangguk setuju.

    "Nah, begitu anak manis," puji Amara sembari mengusap-usap kepala Fanfan. "Nah, sekarang ayo kita pulang dan memberi kabar gembira ini pada yang lainnya."

    Fanfan mengangguk patuh. Rambutnya yang di kuncrit berayun-ayun. Dengan semangat dia melangkah lebar-lebar mengimbangi langkah Amara yang ada di sampingnya menuju mobil. Sesampainya di sedan hitam, mereka langsung tancap gas meninggalkan tempat itu.
     
    Last edited: Nov 11, 2011
  5. dejivrur M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jan 31, 2009
    Messages:
    3,877
    Trophy Points:
    131
    Ratings:
    +1,105 / -2
    tmenurut gw cuman beberapa nama karakternya
    kenapa nama namanya susah dibaca dan dak enak kedengarannya
    lehu? qhoxx? dx?

    itu kedengarannya dak bersahabat dan susah diingat

    cuma masukan tapi kreatifitas kembali lagi pada diri anda sebagai pencipta dunia novel nya itu


    BAB 7 nya horor
    menunggu bab delapan

    ahauhauhuahuah

    makin penasaran gw dibikinnya
     
    Last edited: Aug 17, 2010
  6. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    Amara tak habis pikir, bagaimana mungkin dirinya bisa berfikiran seperti itu tadi. Sesaat tadi memang Fanfan tampak menyeramkan, tapi bukan berarti Amara yang seorang pengurus panti asuhan yang juga merupakan orang tua pengganti bagi anak-anak asuhnya menjahui salah seorang anak asuhnya hanya karena dia takut.

    “Bagaimana jika anak itu tahu bahwa aku takut padanya?” gumam Amara sedih. “Tentunya dia pasti akan sedih dan merasa tidak aga gunanya. Juga terkucilkan.”

    Setiap anak asuhnya ada saja yang ‘istimewa’ dan harus diperlakukan dengan ‘istimewa’ pula, baik karena ketidak sempurnaan fisiknya maupun psikisnya. Ada juga anak-anak, apa itu istilahnya? Indigo? Yah, kira-kira itu. Apakah Fanfan termasuk kategori Indogo atau anak yang mengalami gangguan psikis? pikir Amara sembari menatap layar televisi yang menampakkan sebuah acara reality show murahan.

    Amara mengalihkan perhatiannya keatas mejanya yang berantakan. Dia tadi baru saja mengurus surat-surat anak-anak panti asuhannya yang akan dipindahkan ke panti asuhan lain karena masalah keuangan.

    Mata amara yang hitam menatap map kuning yang terletak paling atas. Map kuning itu bertuliskan nama Fanessa Bittersweet Anggoro atau yang lebih sering di panggil Fanfan. Amara membuka berkas itu lagi untuk kesekian ratus kalinya. Berkali-kali Amara mempelajari berkas itu sebelum Fanfan di masukkan ke dalam pantinya hingga sekarang. Misteri itu masih menggelitik rasa ingin tahunya.

    Tanggal 31 Oktober tahun 2000 terjadi sebuah kebakaran misterius di sebuah rumah mewah di kawasan real estate ternama. Saat itu pukul satu dini hari. Dua korban tewas yang terbakar hingga hangus dan berhasil di identifikasi oleh catatan gigi sebagai Melina Anggoro dan suaminya Arifin Anggoro. Sementara seorang pembantu, seorang tukang kebun dan seorang supir telah diliburkan sehari sebelumnya. Seorang pedagang kaki lima yang kebetulan lewat depan rumah itu ketika hendak pulang buru-buru memberi tahu satpam untuk memanggil pemadam kebakaran.

    Saat pemadam kebakaran tiba para tetangga sudah berkerumun berusaha memadamkan api sebisannya. Menurut penuturan salah seorang saksi yang pertama kali tiba di tempat kejadian mereka menemukan Fanfan berdiri di depan rumah dengan piama putihnya dan wajahnya yang menghitam karena abu beserta boneka kelinci kesayangannya dalam pelukannya. Matanya yang hitam menatap kosong rumahnya yang terbakar. Hanya dia satu-satunya korban yang masih selamat dan tanpa luka sedikitpun.

    Pemadam kebakaan membutuhkan waktu berjam-jam untuk memadamkan kebakaran tersebut, dan saat api berhasil dipadamkan tidak ada yang tersisa kecuali reruntuhan rumah yang terbakar. Titik awal kebakaran berasal dari kamar suami istri Anggoro. Api menjalar secara sistematis. Api dengan ganas membakar lantai dua, dimulai dari kamar suami istri Anggoro yang saat itu, kemudian menjalar ke kamar Fanfan dan setelah seluruh lantai atas telah dilahap api, api itu kemudian menuruni tangga dan membakar habis lantai dasar. Polisi mencium bau bensin yang sangat kuat di seluruh rumah dan menemukan sebuah pematik api di tangan Arifin Anggoro. Diduga api pertamakali membakar selimut yang digunakan suami isti Anggoro sebelum akhirnya membakar habis seluruh rumah. Polisi menduga Arifin Anggoro hendak membakar dirinya bersama istri dan anaknya untuk suatu alasan yang hingga saat ini tidak di ketahui polisi.

    Keluarga Anggoro dikenal sebagai keluarga yang harmonis. Arifin Anggoro sangat mencintai istrinya. Mereka contoh keluarga yang sempurna tanpa cela. Mereka hampir-hampir tidak pernah bertengkar kecuali beberapa hari sebelum peristiwa kebakaran itu.

    Amara menatap sebuah keluarga yang diambil sebulan sebelum peristiwa kebakaran itu. Dalam foto itu Arifin Anggoro adalah seorang pria tampan awal tiga puluhan. Mata hitam sayu dengan alis tebal yang menurun pada putrinya. Senyumnya yang lembut sanggup melelehkan besi. Tidak heran Melina Anggoro jatuh cinta padanya. Melina sendiri merupakan wanita yang sangat cantik berdarah campuran Inggris dengan mata hazelnut yang menawan, berumur sekitar dua puluh lima. Bulu matanya yang lentik dan tebal pasti membuat iri para wanita. Bibirnya yang merah tersenyum ramah pada Amara. Fanfan duduk di antara ayah ibunya denagn senyum paling bahagia yang tidak pernah dilihat Amara sejak dia mengenal gadis cilik itu. Mereka jelas keluarga kecil yang bahagia.

    Lantas apa yang membuat Arifin Anggoro ini hendak membunuh anak, istri dan dirinya sendiri? tanya Amara dalam hati. Apa kira-kira yang mereka pertengkarkan beberapa hari sebelum kabakaran?

    Amara mengenyahkan pertanyaan itu dan mulai kembali membaca berkas yang sudah sangat dihafalnya itu sampai-sampai dia tau apa yang terjadi selanjutnya tanpa harus mambacanya lagi, tetapi dia tetap membacanya dengan serius. Fanfan sebagai saksi utama tidak dapat dimintai banyak keterangan. Setelah kejadian itu komnas perlindungan anak langsung membawa Fanfan ke seorang psikolog dan melarang polisi meminta kesaksian Fanfan yang dianggap masih terguncang. Sebulan lamanya dia dibawah pengawasan psikolog tanpa menimbulkan indikasi depresi ataupun trauma. Hasil test dan pengamatan dia nyaris sama normalnya dengan anak-anak sebayanya kecuali fakta bahwa dia kehilangan ingatan beberapa jam saat kejadian itu. Fanfan samasekali tidak dapat mengatakan apa yang dia lakukan dari jam sembilan malam hingga jam satu dini hari.

    Psikolog menduga Fanfan sengaja menghapus memori buruknya. Sistem sarafnya menolak mengingat-ingat apapun itu. Komnas perlindungan anak sangat mensyukuri hal itu-begitu juga Amara-sementara polisi memaki hal itu karena mereka tidak memiliki petunjuk yang berarti mengenai kejadian itu.

    Api melenyapkan hampir semua bukti, pikir Amara. Bukti-bukti yang tersisa bisa hancur karena air. Tidak banyak penjahat yang berhasil di tangkap karena kebakaran.

    Terdengar suara ketukan pelan di pintu beberapa kali sebelum akhirnya seorang wanita masuk. Wanita itu bukan jenis wanita yang cantik, tetapi ada keanggunan yang memikat dibalik matanya yang hitam. Wajahnya mungil dengan sedikit rona merah di kedua pipinya yang membuat penampilannya menjadi segar. Rambutnya yang hitam digelung diatas tengkuk sehingga menampilkan lehernya yang jenjang. Bibirnya yang munggil tersenyum simpul saat melihat Amara yang tengah membaca berkas dengan serius.

    "Tiga hari lagi akan ada gerhana bulan,“ ujar wanita mengejutkan Amara. Amara terkejut melihat wanita itu ada di kantornya. Melihat Amara begitu terkejut wanita itu tersenyum kembali."Rasanya tadi aku sudah mengetuk pintu," ujar wanita itu.

    "Oh, maafkan aku Anne. Aku tidak menyadari kedatanganmu."

    "Tidak masalah," kata Anne santai sembari duduk di salah satu kursi di depan meja Amara.
    “Tadi apa yang kau bilang? Ada apa dengan gerhana?“ tanya Amara binggung.

    "Tiga hari lagi akan ada gerhana bulan,“ Anne mengulangi perkataannya. Saat itu adalah hari pertama di rumah baru kita. Kita bisa mengajak anak-anak makan-makan di halaman untuk menikmati gerhana juga untuk merayakan kepindahan kita. Pasti menyenangkan," kata Anne.

    “Ya, aku akui itu terdengar menyenangkan,” kata Amara ragu-ragu.
    Anne menatap Amara dengan pandangan menilai, kemudian pandangannya beralih pada berkas di tangan Amara. Saat mengetahui berkas apa itu alis Anne berkerut tidak suka. "Aku penasaran, tidak seperti biasanya kau seperti ini. Sebenarnya ada apa?"

    Amara menatap Anne lama, matanya yang hitam memancarkan tekat yang kuat. Dan Amara tahu, keterangan apapun pasti akan Anne dapatkan darinya. Tidak ada gunanya menyembunyikan apapun dari Anne. Tidak ada yang dapat menandingi Anne mengorek keterangan, kecuali Kakek Keliori. Menyadari hal itu Amara mendesah pasrah.

    "Seharusnya aku mengambil psikologi dan bukannya menejemen, setidaknya tidak hanya kau dan Kakek yang bisa memaksa orang mengungkapkan rahasia terkelam seseorang. Dan, aku tidak akan di desak seperti ini. Tentu saja!" mendengar hal itu Anne hanya tersenyum.

    "Aku hanya tidak menyangka menjadi wakil Kakek begini memusingkan."

    “Ku rasa masalahnya lebih dari itu Amara,” kata Anne tidak percaya. “Kau tahu kau tidak bernah bisa berbohong dari ku, dan kau tidak perlu membuang-buang tenagamu untuk melakukannya sekarang.”

    Amara mendesah pasrah. Mencoba mengulur waktu dia membereskan map-map yang menumpuk di mejanya sementara Anne menunggunya dengan sabar. Map-map sudah tersimpan rapi dalam rak besi yang terkunci Amara tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan untuk menghindari Anne.

    “Kau tidak bisa menghindar terus Amara,” ujar Anne tajam.

    Amara memandang Anne dengan pandanggan memohon, tetapi Anne tetap memancarkan tekat yang kuat seperti yang sebelumnnya. Amara menghempaskan dirinya ke kursi yang menderit perlahan.

    “Well-” suasanya sunyi sesaat. “aku tidak tahu harus memulai dari mana,” kata Amara akhirnya.

    “Kau bisa memulai dari alasan kenapa kau membuka berkas itu lagi,” kata Anne berusaha membantu.

    “Yah,aku takut.”

    Anne memincingkan mata heran, “Takut? Takut pada apa?”

    “Aku takut pada Fanfan,” jelas Amara. “Entahlah, anak itu memang sedikit aneh dan terkadang tatapannya membuatku takut. Tatapannya itu seolah-olah bisa menembus diriku, menarikku kedalam kegelapan. Tatapan yang menunjukkan dia tahu bagaimana akhir hidupmu. Tatapan seperti itu tidak seharusnya dimiliki oleh gadis kecil seperti dia! Terlalu tidak wajar dan terlalu mengerikan!”

    “Yeah, anak itu memang sedikit aneh. Terkadang aku sendiri tidak tahu apa yang dia pikirkan,” renung Anne.

    “Menurutmu berkas-berkas itu valid?” tanya Amara tiba-tiba.

    “Berkas-berkas?” tanya Anne heran, kemudian Anne menjadi mengerti ketika Amara melirik lemari besi tempat berkas-berkas yang tadi tengah dibacanya. “Sepertinya. Dia memang tidak mengalami trauma maupun depresi berkaitan dengan kebakaran itu, tetapi dia menjadi lebih banyak berhalusinasi kurasa. Mungkin pengaruh obat-obat yang dulu dia minum ketika dirawat paska kejadian itu.”

    “Menurutmu begitu? Tapi efek samping obat tidak mungkin bertahan begitu lama setelah dia tidak meminumnya selama berbulan-bulan.”

    “Yah, anak itukan memang sudah aneh dari sananya. Aku dengar kebiasaan berbicara dengan boneka kesayangannya itu sudah ada sejak dia umur lima tahun.”

    “Benarkah itu?” tanya Amara heran. “Tapi aku sama sekali tidak menemukan keterangan seperti itu dari berkas-berkas yang aku baca.”
    Anne hanya menganngkat bahu sebagai jawaban.

    Tiba-tiba Amara teringat sesuatu, “Dia mengatakan sesuatu tentang seorang wanita di rumah itu!” Anne memandang Amara dengan bingung. Amara mendecak sebal. “Aku mengunjungi rumah yang akan kita pinjam itu setelah menjamput Fanfan. Rumah yang indah, hanya tidak terawat saja. Saat itu Fanfan berkata sebaiknya kita tidak tinggal di sana. Disana terlalu berbahaya. Ada seorang wanita yang membenciku di sana dan mengiginkan aku mati! Menurutmu kenapa dia mengatakan hal mengerikan seperti itu?”

    Anne terdiam. Dahinya berkerut menandakan dia sedang berpikir. “Mencari perhatian mungkin?” kata Anne akhirnya. “Bagaimana pun dia baru saja dicampakkan oleh suami istri yang tidak bertanggung jawab. Kau terlalu banyak berpikir Amara. Kurasa, kau hanya butuh istirahat dan sedikit mengganti suasana."

    Amara menatap Anne lama sekali sebelum akhirnya dia menjawab, "Baiklah, kurasa kau benar. Makan malam dibawah gerhana bulan. Tidak jelek. Dan aku akan menghubungi Ein untuk menyetujui tawarannya."


    pan nickx d ambil dr nick ank2 moba kk. . .
    cos awalx ney emang d dedikasikan bwt tmn2 d moba :piss:


    nah. . .
    itulah kk. . .
    aq binun gemana lanjutinx. . . :onion-10:
    yg original udah jauh dr ini. . .
    aq binun gemana lanjutin crita yg melenceng jauh dr crita original ini kembali ke jalan yg benar. . . :sedih:

    apa aq post aja ea yg mestix jd kelanjutanx bwt nanti d nilai nyambung apa nggak? :???:




    btw dr kemaren kemaren kemaren kuq yg coment cm 1 orng ea. . . :sedih:
     
    Last edited: Nov 11, 2011
  7. n_hobi_xxx M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Aug 25, 2009
    Messages:
    282
    Trophy Points:
    56
    Ratings:
    +15 / -0
    bikin novel horor nih ceritanya... saia sarankan cuba ke tempat2 yg katanya angker, kali aja bisa dapat inspirasi :top:
     
  8. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    "Tenang saja, aku senang dapat membantumu," kata pria itu pada seorang wanita yang ada di seberang telepon. "Baiklah, jika kalian memang berencana menggunakannya aku akan memanggil orang untuk memperbaikinya."

    "Tidak, kau tidak perlu melakukan itu," kata wanita itu buru-buru. "Kami bisa melakukannya bersama-sama. Aku tidak ingin merepotkanmu lebih dari ini."

    Pria itu tertawa,"Tidak, kau samasekali tidak merepotkanku. Aku memang berencana untuk merenofasinya, hanya saja waktunya tidak pernah tepat. Jadi kurasa sekaranglah waktu yang tepat."

    Wanita itu terdiam cukup lama, menimbang-nimbang. "Baiklah, terserah kau saja. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih padamu Ein."

    "Sama-sama, senang bisa membantu." Lama Ein menatap telepon yang telah ditutup. Tanpa dia sadari senyuman tersungging di bibirnya. "Satu langkah menuju kemajuan," gumamnya.

    Ein mengitari meja kerjanya dan mengangkat telepon. Ditekannya beberapa angka dan telepon itu segera tersambung.

    "May, tolong carikan jasa renofasi rumah, segera! Dan kirimkan mereka ke rumah tua keluargaku."

    "Baik pak," ujar May di ujung sana dan telepon pun terputus.

    Ein menghenyakkan diri di kursi kerjanya yang empuk. Dia masih tidak mempercayai keberuntungan yang tiba-tiba berpihak padanya. Tak dia sangka rumah tua peninggalan buyutnya itu akan berguna juga untuk mendekati wanita yang disukainya.

    "Amara, Amara," gumam Ein sembari nyengir-nyengir. Ditatapnya jendela kantornya yang menampakkan gedung-gedung bertingkat dan kepadatan lalu lintas Jakarta. Merasa tidak ada yang menarik dia memutar kursinya sehingga kembali menghadap ruangan kantornya yang kaku. Dindingnya di cat dengan warna cream dan barang-barang yang ada di dalamnya semuanya barang-barang kelas satu.

    Sebagai CEO perusahaan kontraktor nomer satu di Indonesia dalam usia muda merupakan suatu prestasi baginya. Dan oleh sebab itu dia membiarkan dirinya menikmati segala usahanya itu. Jas-jas Armani menghiasi lemari-lemari bajunya. Jam tangan mahal selalu menghiasi pergelangan tangannya. Hidupnya sesempurna setelan jasnya.

    Ein bukan orang miskin. Keluarganya punya berhektar-hektar perkebunan cengkeh, kopi, dan sebagainya. Keluarganya juga memiliki sebuah resort di Bali dan ada belasan lagi perusahaan keluarga yang sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun atau baru-baru ini dibangun oleh adiknya seperti salon kecantikan dan spa. Tetapi Ein tidak tertarik dengan perusahaan keluarga. Dia ingin karirnya sendiri. Karir yang diperjuangkannya dari bawah hingga ke atas seperti sekarang ini.

    Ein mengetuk-ngetuk jarinya di meja dan tidak memperdulikan berkas-berkas yang menumpuk disana. Konsentrasinya terpecah. Dia tidak lagi berminat membaca berkas-berkas yang menggunung. Ingatannya melayang pada seorang wanita cantik yang baru ditemuinya tiga bulan lalu dan sejak saat itu dia tidak dapat melupakan sosok wanita cantik itu.

    Mereka pertama kali bertemu di kantornya saat Amara mengajukan proposal untuk sumbangan panti asuhannya. Saat itu Ein sedang tidak berminat pada masalah seperti itu karena ada masalah dalam salah satu proyek yang tengah digarapnya. Ein sangat marah saat Amara muncul mendadak menerobos pintu karena perkataan Ein yang menyinggung perasaan Amara yang tidak sengaja di dengar Amaran saat sekertaris mengkonfirmasi kedatangannya.

    Ein merasa seperti orang bodoh saat pertama kali dia melihat Amara. Mulutnya menganga saat memandang Amara. Ein merasa seperti ada tangan tak kasat mata yang menyiram seember air dingin ke wajahnya. Rasa amarah pada proyek yang gagal di raihnya meluap begitu saja.

    Matanya terus saja mengikuti tiap gerak-gerik Amara. Amara sendiri berjalan dengan dagu terangkat dan tidak membiarkan dirinya dihina. Setelah Amara berdiri di hadapannya, Ein dapat mencium bau matahari di tubuhnya yang ramping. Amara menatap tajam pada Ein sebelum tangannya melayang dan mendarat di pipi Ein. Setelah menampar Ein Amara melenggang pergi dan tidak menoleh lagi.

    Ein yang saat itu masih dalam pose bengong yang sama tersentak kaget saat kembali ke dunia nyata. Buru-buru di susulnya Amara, tetapi Amara sudah hilang entah kemana. Sumpah serapah keluar dari mulutnya dan membuat suasana hatinya menjadi lebih buruk lagi. Ein memanggil May ke ruangannya. Sekertaris mungil itu mengkeret ketakutan saat melihat wajah bosnya yang amat sangat berang. Mey berjalan amat sangat pelan berusaha menggulur fonis matinya sementara Ein memandang tidak sabar pada sekertarisnya itu.

    “Katakan padaku siapa wanita itu! Dimana panti asuhan yang dikelolanya?“kata Ein setajam pisau. Dia sama sekali tidak perduli tubuh May yang mungil berguncang menahan tangis. Yang dia inginkan sekarang hanya secuil informasi dari wanita yang merebut hatinya secara paksa itu.

    “Sa, saya ti, tidak tahu si, siapa wanita itu Pak,” kata May berusaha menahan isak tangisnya. “Di, dia bilang di, dia dari panti asuhan Harapan Bunda.”

    “Berikan alamat panti itu. Dan atur ulang jadwalku hari ini! Kosongkan waktu dua jam dari sekarang!”

    May buru-buru membuka notes yang sedari tadi diremasnya hingga jarinya memutih dan kebas, mulai menuliskan alamat panti asuhan itu dengan huruf yang bengkong-bengkong karena tubuhnya yang berguncang-guncang menahan isak tangis. Dengan tangan yang masih kebas itu dia merobek notes dan memberikannya pada Ein. Diambilnya kertas itu dengan kasar kemudian buru-buru pergi meninggalkan kantor.

    Pertemuan pertama yang buruk, pikir Ein masam. Butuh waktu cukup lama untuk membuat Amara memandangnya sedikit lebih tinggi di banding sampah. Tiba-tiba telepon di atas meja kerjanya berbunyi dan membagunkannya dari lamunan. Degan segera Ein menyambar gagang telepon.

    "Pak, permintaan bapak sudah saya kerjakan,” ujar May.

    Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benak Ein. "Tidak usah, biar aku saja yang mengurus setelah ini. Berikan saja alamatnya!" perintah Ein sembari mencari kertas di antara tumpukan berkas, kemudian mencatat alamat yang dikatakan sekretarisnya itu.

    "Baiklah May, aku akan pergi sebentar. Urus saja semuanya sesukamu." Ein segera menutup teleponnya, menyambar jasnya dan dengan tergesa-gesa keluar dari kantornya.
     
    Last edited: Nov 11, 2011
  9. priezt Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    May 6, 2010
    Messages:
    2,039
    Trophy Points:
    262
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +27,235 / -0
    blom baca dgn seksama sih, panjangan sly :XD:
    ntar sorean deh pas kerjaan dah beres :p

    btw, minta momod pindahin trit nya ke SF Fiction aja
    disana sarangnya para user yang demen bikin cerita juga
    barangkali disana bisa lebih banyak nambah masukan :XD:
     
  10. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    "Kau yakin kita harus pindah tiga hari lagi?" tanya seorang pria.

    Amara yang sedang menekuni berkas-berkas mendongak menatap pria dihadapannya. Seorang pria muda. Dengan wajah tegas yang mengeras. Matanya yang hitam menatap Amara marah. Bibirnya yang tipis terkatup rapat hingga nyaris memutih. Dilepasnya kacamata bacanya dan mulai memijat matanya yang kelelahan.

    "Ya, kurasa kita harus segera pindah-Ya Tuhan! Sukur kejadian ini terjadi saat anak-anak libur sekolah. Jika tidak hal ini akan semakin rumit!"

    "Itu benar," gumam pria itu menyetujui. "Apakah kau yakin kita dapat mempercayai pria itu? Kita tidak tahu apa yang sedang direncanakannya."

    Amara menyandarkan punggung di kursinya dan melesak beberapa inci kedalam, digoyang-goyangkan kursi itu berputar kekanan dan kekiri sembari mengetuk-ngetuk meja dengan penanya. "Entahlah," jawab Amara akhirnya. "Tapi kurasa kita bisa mempercayainya untuk saat ini. Hingga nanti kita mendapatkan rumah yang lain."

    "Aku tidak suka dengan kemungkinan harus tinggal disana," gerutu pria itu geram.

    Amara menggendikkan bahu pasrah," Kita tidak punya pilihan lain Nui."

    "Aku dengar Fanfan merasakan sesuatu di rumah itu," ujar Nui.

    "Ah, ya. Itu benar."

    "Tidakkah sebaiknya kita menunggu beberapa hari dan mencari rumah lain?"

    "Itu tidak mungkin Nui! Pihak bank itu menghendaki rumah ini sudah di kosongkan dalam akhir minggu ini," Amara mendesah. "Aku tidak percaya Kakek Keliori bisa terlilit hutang sebanyak ini."

    "Aku juga tidak percaya. Tapi inilah kenyataannya," ujar Anne yang sedari tadi diam memperhatikan perdebatan Anne dan Nui.

    "Yang tidak habis pikir bagaimana Kakek Keliori bisa menyembunyikannya selama ini," kata Nui.

    "Kau benar," kata Anne menyetujui. "Seandainya Kakek tidak terkena serangan jantung mungkin kita tidak akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."

    Suasana hening sejenak, tidak ada seorang pun dari mereka bertiga yang berbicara.

    "Kurasa aku akan menjenguk Kakek sekarang," kata Amara memecahkan keheningan.

    "Aku ikut!"

    "Tidak perlu Anne. Kau disini saja bersama Nui dan jaga anak-anak! Aku tidak akan lama," kata Amara sembari menyambar tasnya dan berjalan meninggalkan ruang kerjanya yang nyaman.

    ***​

    Bau obat-obatan menyengat hidung Amara saat dia berjalan menyusuri lorong. Angin malam berhembus perlahan mengusir bau obat-obatan. Amara menghembuskan nafas lega. Dirinya tidak pernah suka bau obat.

    Lorong panjang sepi itu menggemakan suara langkah Amara yang bergemeletuk pelan. Tiba-tiba Amara mendengar suara menggelegar yang dia kenal. Suara itu tidak terdengar ramah seperti yang biasa dia kenal. Suara menggelegar itu jelas-jelas terdengar marah. Amara segera berlari menuju asal suara itu.
    Benar saja. Seperti yang dia duga sebelumnya kakek Keliori tengah mengamuk dan membuat para suster kewalahan menenangkannya.

    "Anak muda, dimana kesopananmu! Biarkan aku pergi! Aku tidak sakit!" kata kakek Keliori marah.

    "Kakek!" tegur Amara. Amara segera berjalan menghampiri kakek Keliori. "Tenanglah! Jangan berpelilaku seperti anak kecil!"

    "Oh, Amara anakku lekas keluarkan aku dari penjara mengerikan ini!"

    "Kakek!" jerit Amara terkejut. "Itu tidak mungkin! Kondisi kakek tidak memungkinkan untuk hal itu!"

    "Hanya untuk tahun baru saja. Aku ingin bisa bersama-sama anak-anak lucu itu," pinta kakek Keliori.
    Amara terdiam sejenak memikirkan permintaan kakek Keliori. "Ok baiklah, tapi hanya jika dokter mengijinkan! Aku akan berbicara pada dokter besok."

    "Setuju!"
     
    Last edited: Nov 11, 2011
  11. __todosengel Veteran

    Offline

    Superstar

    Joined:
    Jul 25, 2011
    Messages:
    10,987
    Trophy Points:
    268
    Ratings:
    +18,347 / -0
    sebetar kk, ijin bookmark dulu. belum sempet baca heheh
     
  12. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    Kardus-kardus berjejeran di sekeliling ruangan. Suara celoteh bersemangat terdengar disana-sini. Anak-anak mengemas barang-barang mereka yang memang cuma sedikit kedalam kardus-kardus sesuai intruksi Kak Anne. Beberapa anak yang memang masih kecil tampak melupakan tugas mereka dan justru asyik bermain dengan barang-barang yang seharusnya mereka masukkan kardus. Beberapa anak yang lebih tua membantu anak-anak yang lebih kecil mengepak barang-barang mereka. Mereka saling bahu membahu membereskan tugas mereka. Sementara itu di sudut runangan seorang gadis kecil meringkuk sembari memeluk boneka kelincinya. Wajahnya muram dan pucat. Dia tampak samasekali tidak perduli dengan keadaan bising di sekitarnya. Dia terus saja melamun.

    "Heh, anak kecil, ngapain kamu di pojokan begitu? Bantu-bantu sana!" seru sebuah suara.

    "Jadi anak jangan malas-malas dong!" timpal suara yang lain.

    "Sudahlah, hantu itu tidak ada. Itu hanya perasaanmu saja," kata orang ke tiga.

    Mendengar hal itu gadis cilik itu segera mendongak menatap tiga bocah laki-laki di hadapannya. Mereka bertiga menyeringai mengejek kearahnya.

    "Paling juga hantu yang takut sama kamu," kata anak ketiga lagi dan mereka tertawa serempak.

    "Dasar anak penakut,pemalas dan tukang bohong!"

    "Fanfan gak bohong!" jerit gadis kecil itu pada mereka dan tawa mereka semakin menjadi-jadi.
    Gadis itu merengut, kemudian berdiri dan menghentak-hentakkan kakinya. "Fanfan gak bohong! Rumah itu ada hantunya!"

    "Hantu itu gak ada. Dasar anak kecil tukang bohong, penakut."

    "Fanfan gak bohong," tangisan mulai merebak di wajah gadis kecil itu.

    "Jyah, dia nangis bos," kata anak kedua kepada anak yang pertama.

    Anak yang di panggil bos itu mendecak sebal. "Gitu aja nangis, cengeng!"

    "Apa yang kalian lakukan?!" tegur sebuah suara.

    Mereka menoleh kearah suara tersebut. Seorang anak laki-laki berwajah cantik bertubuh ramping menatap tiga gerombolan itu galak.

    “Lehu, Qhoxx dan ivy.”

    "Ah, Dx," sapa Lehu. "Kami hanya menasehati anak kecil ini dan menjelaskan hantu itu tidak ada."
    Tatapan Dx beralih pada gadis kecil yang masih sesenggukan itu. "Benarkah itu Fanfan?"

    "I--iya, tapi hantu itu beneran ada."

    Dx kembali menatap tiga orang anak laki-laki itu. "Sebaiknya kalian kembali melakukan tugas kalian, biar aku saja yang mengurus Fanfan!" perintah Dx.

    Setelah mereka bertiga beranjak dari sana Dx mendekati Fanfan. "Sudah, jangan menangis."

    "Tapi hantu itu beneran ada. Fanfan takut sama rumah itu. Fanfan gak mau tinggal disana!" tangis kembali merebak di wajahnya.

    Dx mendecak sebal, dia samasekali tidak percaya hal irasional macam itu. "Hantu itu tidak ada Fanfan--Dengarkan aku dulu dan jangan memotong perkataanku!" Fanfan mengatupkan kembali mulutnya dengan patuh. Dx menghela nafas, "Jika mereka benar-benar ada aku akan melindungimu, Kak Amara, Kak Anne, Kak Nui, Kakek Keliori dan kita semua akan menjagamu. Jadi kau tidak perlu takut. Ok?"

    Gadis kecil itu mengangguk. Dx tersenyum kearahnya. "Baiklah gadis kecil, kau akan kembali mengepak barang-barangmu, dan aku akan membantumu."

    ***​

    Fanfan bersikeras untuk tidak keluar dari dalam mobil. Semua orang berusaha membujuknya, namun tidak ada yang berhasil.

    Gadis kecil itu merengut, di pipinya tampak bekas air mata yang telah mengering. Dipeluknya boneka kelincinya kuat-kuat. Tatapannya menuju kepada sebuah bangunan putih yang masih sama saat pertamakali melihatnya. Fanfan bergidik dan mengalihkan perhatiannya dari rumah itu.

    Dia menatap anak-anak yang tengah berlarian dengan gembira di pekarangan. Tanpa dia sadari seorang wanita mengetuk-ngetuk jendela mobil. Fanfan menatap wanita yang mengetuk jendela itu.

    "Hai," sapa wanita itu.

    "Kak Yuri," senyuman tersungging di bibirnya.

    "Kurasa kau lapar, dan aku membawakan makanan untukmu," kata Yuri sembari membuka pintu mobil. Tatapan Fanfan beralih kepada baki yang penuh berisi makanan. Perutnya langsung melilit.

    "Kurasa kau benar," ujar Fanfan sembari tersenyum malu-malu. Yuri meletakkan makanan itu di sebelah Fanfan dan dia langsung melahapnya. Dalam sekejap makanan itu habis.

    Yuri berdecak kagum sembari memberikan segelas air putih,"Tampaknya kau sangat kelaparan."

    Rona merah menjalar di wajah Fanfan yang mungil. "Mungkin," ujarnya. "Aku membutuhkan banyak nutrisi untuk pertumbuhanku," kata Fanfan meniru perkataan Kak Anne ketika berusaha membujuknya makan.

    Yuri tertawa mendengar komentar Fanfan, kemudian terdiam. Fanfan menunggu Yuri mengucapkan sesuatu, namun dia tidak mengucapkan apa-apa. Tatapannya beralih ke arah rumah dan Fanfan mengikutinya.

    "Tidak bisakah aku membujukmu turun?" tanya Yuri akhirnya.

    Fanfan menggeleng,"Tidak."

    "Apakah kau yakin? Kau ingin tidur di sini malam ini?"

    Fanfan tercenung, apa yang dikatakan Kak Yuri samasekali tidak terlintas di pikirannya. Fanfan menyapukan tatapannya di sekeliling pekarangan. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi mengelilinginya tampak seolah mengurungnya.

    Fanfan bergidik,"Kurasa tidak. Disini juga sama mengerikannya."

    Yuri tersenyum,"Jadi kau memutuskan untuk bergabung dengan kami di dalam rumah yang hangat?"

    Fanfan menimbang-nimbang. Tampaknya dua kemungkinan itu sama buruknya. Tapi setidaknya di dalam rumah akan ada orang yang menolongnya bila terjadi sesuatu. Fanfan menatap Yuri kemudian mengangguk setuju.

    ***​

    "Bagaimana menurutmu?" tanya seorang pria kepada seorang pria yang sedang meneropong sebuah rumah. Mereka tengah bersembunyi dibalik semak-semak selama beberapa menit.

    "Tidak bagus! Terlalu riskan untuk melakukannya malam ini," jawap pria itu sembari menurunkan teropongnya dan memberikannya pada rekannya.

    "Sebenarnya apa yang terjadi?" ujar pria itu setelah melihat apa yang telah pria satunya lihat.

    "Entahlah Obhot, aku sendiri tidak terlalu mengerti."

    "Kau tahu Soma? Bos pasti tidak akan suka mendengar ini. Rencana yang telah kita susun hancur sudah."
    Soma mendesah,"Kau benar. Aku enggan memberitahunya tentang berita buruk ini, tapi kita harus memberitahunya."

    Obhot mengangguk menyetujui,"Dengan segala resiko."

    Mereka berdua beranjak dari tempat persembunyian mereka dan menuju jeep yang mereka parkir tidak jauh dari sana. Debu-debu mengepul menjadi awan-awan tipis tatkala jeep itu menjauh.
     
  13. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    Dua orang pria bertubuh besar dan gelap muncul entah dari mana. Fanfan merasakan aura jahat disekitar mereka. Fanfan ingin berteriak tetapi lidahnya kelu dan tidak ada suara yang berhasil keluar dari mulutnya. Aku harus memberi tahu seseorang, pikir Fanfan panik.

    Fanfan berusaha berlari tetapi kakinya sedikitpun tidak bisa di gerakkan. Fanfan semakin panik saat dua orang pria itu mendekati sebuah ranjang. Saat itulah Fanfan tersadar. Dia samasekali tidak kenal wanita yang tertidur di ranjang itu, bahkan dia tidak tahu dimana dirinya sekarang ini. Dia hanya sesosok hantu yang melayang-layang.

    Tetapi dia tahu. Siapa pun wanita malang itu dia dalam bahaya. Jika Fanfan tidak buru-buru menolongnya wanita itu mungkin bisa tewas. Saat Fanfan bingung apa yang harus dia lakukan dua orang itu sudah berada di samping tempat tidur dan membopong wanita itu keluar.

    Fanfan benar-benar ingin menjerit. Menjerit sekeras-kerasnya agar wanita itu terbangun dan sadar. Tanpa dia sadari air mata menetes di pipinya. Ingatannya melayang pada malam yang lain, tempat yang lain, wanita yang lain. Wanita yang tidak berhasil dia selamatkan. Wanita yang tidak ingin di ingatnya sekarang ini. Tidak ingin melihat kobaran api itu lagi.

    Fanfan tersentak bangun. Buru-buru diambinya boneka kelinci kesayangannya yang dia letakkan di sampingnya. Dipeluknya erat boneka itu sembari terisak perlahan.

    ***​

    Fanfan hanya duduk melamun di halaman dibawah pohon pinus yang sejuk, sementara anak-anak lain tengah asyik bermain di halaman. Mencoba mengingat-ingat lagi mimpi aneh yang dilihatnya semalam. Siapa sebenarnya wanita yang dilihatnya semalam itu. Diamana sebenarnya tempat di mimpinya itu.
    Mimi mengatakan itu kejadian lama. Sudah ratusan tahun yang lalu dan kejadiannya di rumah ini. Tapi Fanfan tidak mengerti kenapa dan mengapa dirinya harus melihat hal itu. Apa maksudnya semua ini?
    Mimi memperingatkan Fanfan agar tidak usah ikut campur. Itu bukan kuasanya. Mahkluk itu tidak akan mengganggu Fanfan asal dia tidak mengganggunya.

    Fanfan merengut. Dia samasekali tidak mengerti. Jika memang Fanfan diharapkan untuk tidak ikut campur, lantas kenapa dia harus mendapatkan penglihatan aneh macam itu? Bukankan itu artinya dia diharapkan untuk melakukan sesuatu?

    Sebuah bola tiba-tiba melayang ke arahnya, menghantam tepat di wajahnya. Fanfan langsung tergeletak tak sadarkan diri.

    Anak-anak yang bermain langsung berlari menghampiri Fanfan beserta para senior yang mengawasi anak-anak bermain. Kali ini yang bertugas adalah Shino dan Deyuri. Buru-buru Shino membopong Fanfan ke dalam rumah. Darah membasahi baju birunya, namun dia tidak perduli. Fanfan terlihat amat sangat pucat dan mengerikan dengan darah yang terus mengalir dari hidungnya.

    Saat semua orang ribut tentang keadaan Fanfan. Dari balik bayang-bayang pohon muncul seorang anak laki-laki. Mengamati kerumunan orang itu menghilang memasuki rumah. Dia berjalan diam-diam menuju tempat Fanfan melamun tadi. Dipungutnya boneka kelinci yang bernoda sedikit darah itu, kemudian diselipkannya boneka itu di balik bajunya dan berjalan menjahui rumah.

    ***​

    Fanfan mendapat penglihatan itu lagi. Seolah dia sedang melihat filem bersambung alih-alih mimpi, Fanfan melihat kelanjutan mimpinya semalam. Wanita cantik yang sama dibopong menyusuri lorong-lorong yang panjang. Saat itu malam hari. Fanfan dapat melihat di balik jendela di lorong langit yang gelap. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, bahkan tidak ada suara-suara binatang malam.

    Tengkuk Fanfan merinding sementara badannya melayang-layang seperti hantu mengikuti wanita cantik yang di bopong itu.

    Mereka berjalan semakin ke dalam. Banyak lukisan-lukisan menyeramkan di sini. Bergerak-gerak mengerikan di bawah cahaya obor yang di tempel di dinding. Fanfan mengalihkan wajahnya. Dia tidak berani menatap lukisan-lukisan itu. Pandangannya beralih pada wanita yang tengah di bopong itu.

    Wajahnya cantik. Kulitnya halus dan putih bak pualam. Fanfan tidak tahu apa itu pualam, tetapi dulu ayahnya sering memuju ibunya seperti itu dan kemudian ibunya tersipu-sipu malu. Fanfan menggelengkan kepalanya keras-keras. Dia tidak ingin mengingat hal itu sekarang.

    Difokuskannya kembali perhatinnya pada wanita cantik itu. Fanfan merasa pernah melihatnya entah dimana. Rambutnya berwarna coklat tebal mengayun seiring langkah dua laki-laki gelap itu. Bibir merah ranumnya tersenyum dalam tidur. Benar-benar cantik. Seperti dewi.

    Fanfan melirik kearah dua laki-laki gelap itu. Perasaan tidak enak sekonyong-konyong mengguyurnya. Dingin. Tiba-tiba perasaan dingin menyelimutinya. Apa mereka itu? Mereka tidak bisa disebut manusia. Apakah mereka itu yang dinamakan genderuwo? Tidak. Mereka bukan genderuwo, renung Fanfan. Mereka seperti bayangan. Ya, mereka pasti bayangan. Jika tidak mereka tidak mungkin sehitam itu. Seringan itu. Sediam itu.

    Seolah-olah sadar tengah diperhatikan. Salah seorang pria bayangan itu menoleh kepada Fanfan. Tidak ada wajah di sana. Tidak ada mata, tidak ada hidung, tidak ada mulut. Hanya ada lubang-lubang yang lebih hitam si sana. Amat sangat hitam melebihi tubuhnya. Tanpa sadar jeritan keluar dari mulut Fanfan.

    ***

    Fanfan tersentak bangun. Dan sekonyong-konyong kepalanya seperti di hantam dengan keras, berdenyut-denyut tanpa ampun sehingga membuat pandangannya menjadi kabur. Dimanakah ini? pikir Fanfan. Alis Fanfan bertaut, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi di tengah-tengah kepala yang berdenyut-denyut. Tadi dia sedang melamun di halaman kemudian sesuatu menghantam wajahnya.

    Sesuatu yang hangat mengalir di hidungnya. Terasa asin di bibirnya. Jari-jari Fanfan yang mungil merabanya. Darah.

    Aku pasti mimisan, gumam Fanfan dalam hati. Dulu Fanfan sering sekali mimisan. Jadi dia yakin bisa mengatasinya. Dengan terhuyung-huyung seperti orang mabuk Fanfan turun dari tempat tidur dan langsung terjembab dengan keras dan menimbulkan suara berdebam yang keras.

    “Ups.”

    “Apa itu?” kata sebuah suara terkejut kemudian muncul seorang gadis dengan memegang baskom berisi air dan handuk di pundaknya. Kemudian terkesiap saat melihat Fanfan tengkurap di lantai.

    Fanfan mengrenyit. Dia mengenal suara itu. Itu senior yang paling dihindari di kalangan anak-anak. Bahkan oleh gerombolan Lehu. Dan Fanfan kontan merasa ini dalah hari sialnya.

    “Astaga! Apa-apaan ini?!“ Kutie buru-buru menghampiri Fanfan dan membantunya naik ke tempat tidur. “Kenapa sih kau tidak bisa diam saja dan berhenti membuat masalah? Tidak cukupkah kau membuat seluruh orang khawatir dengan pingsan hanya karena terkena bola? Pakek mimisan lagi! Oh, Astaga! Lihat itu! Kau mengotori lantai dengan darah. Kau pikir siapa yang akan membersihkan itu?”

    Fanfan menulikan kuping. Sudah buruk kepalnya berdenyut-denyut tanpa di tambahi omelan Kutie yang panjang dengan suara melengkingnya yang menyakitkan telinga. Yeah, inilah si Kutie. Miss Cerewet.

    ***

    Ingin rasanya dia memaki dirinya sendiri karena keteledorannya. Tetapi itupun percuma. Boneka kesayangannya itu tidak akan kembali. Air mata mulai menggenang di matanya. Buru-buru disekanya air mata itu sebelum jatuh. Ayahnya selalu bilang menangis tidaklah menyelesaikan masalah. Meskipun hatinya sakit mengenang ayahnya kembali, tetapi apa yang dikatakan ayahnya itu benar.

    Bertekat untuk tidak menangis, Fanfan mulai kembali mencari bonekannya itu. Kepalanya sudah tidak berdenyut-denyut lagi, mimisannya juga sudah berhenti. Perawatan yang diberikan Kutie memang efektif, kecuali omelannya, tentu saja.

    Fanfan mengingat-ingat kapan terakhir kali dia membawa boneka itu. Dan itu sekitar jam sepuluh siang saat dia tengah melamun sementara sekarang sudah menunjukkan pukul empat sore. Dia pasti lama sekali pingsannya. Atau tidurnya, pikir Fanfan saat mengingat Kutie memaksanya untuk tidur setelah makan siang.

    Dan sialnya, tidak ada seorang pun yang ingat akan bonekanya. Padahal Fanfan dan boneka itu seperti amplop dan perangko. Lengket terus. Fanfan berulang kali bertanya pada anak-anak dan senior yang ada di halaman saat kejadian. Tetapi tidak ada seorangpun yang ingat akan nasib boneka itu. Mereka terlalu sibuk khawatir karena aku tampak pucat, pingsan dan berdarah-darah, pikir Fanfan sebal.

    “Yah, itu bukan sepenuhnya salah mereka sih,” gumam Fanfan saat berjalan menyusuri halaman menuju tempat dia melamun tadi.

    Fanfan berdiri tepat di bawah pohon pinus sementara matanya menyapu halaman yang luas itu. Tak banyak yang bisa di lihat, karena langit tampak mendung dan kabut-kabut tipis mulai bermunculan.

    “Mestinya ada si sini,” gumam Fanfan pada diri sendiri.

    Rasa frustasi menyelimuti Fanfan seperti selimut tebal yang menyeksakkan. Fanfan merasa dirinya akan segera menangis lagi. Dia sungguh tidak tahan. Itu satu-satunya peninggalan orang tuanya yang telah tiada. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi.

    “Benerkan ini hari sialku,” gumam Fanfan dengan suara bergetar sementara tetes-tetes air mata menuruni pipinya.

    Dengan mata yang kabur karena air mata Fanfan mulai berjalan tak tentu arah sementara ingatannya kembali kepada kedua orang tuanya yang telah tiada. Fanfan tidak ingat saat pertama kali dia punya Mimi. Kata Mimi dia sudah ada sejak Fanfan lahir untuk menjaga Fanfan. Saat Fanfan merasa kesepian selalu ada Mimi yang menemaninya.

    Mimilah yang menghibur Fanfan saat kedua orang tuanya meninggal dalam kebakaran mengenaskan itu. Membantunya, membimbingnya melewati masa-masa depresi. Bukan para psikolog, tetapi Mimi!

    Fanfan berlutut. Dalam posisi seperti janin dia menangis sejadi-jadinya. Kenapa ada yang begitu jahat mengambil Mimi darinya? Apa salahnya sampai-sampai Mimi yang jadi korban?

    Fanfan menengok ke belakang. Halaman sepi tanpa ada anak yang bermain. Rumah kuno itu tidak terlalu tampak seram dengan lampu-lampu yang mulai menyala. Hanya di lantai bawah memang. Mereka hanya sedikit sementara rumah itu begitu besar. Jadi mereka hanya menggunakan lantai satu saja. Itu pun hanya di bagian depan saja. Fanfan mengamati langit yang dengan cepat mulai menggelap. Dia harus bergegas. Jika tidak dia tidak akan sempat mencari Mimi. Diliriknya kembali rumah kuno itu. Tidak ada orang yang mencarinya. Masih sempat, pikir Fanfan sedikit lebih bersemangat.

    Kemudian matanya tertarik pada jendela di atap. Tempat yang seharusnya gelap itu tampak terang dengan cahaya kuning yang berpendar-pendar. Sesosok wanita berdiri di ambang jendela. Dengan kedua tangan menempel pada kaca sementara matanya yang merah mengawasinya.

    Fanfan merinding. Sensasi dingin itu mengguyurnya lagi, seperti pada saat pertama kali dia mendatangi rumah ini. Tetapi anehnya Fanfan samasekali tidak dapat mengalihkan matanya dari wanita itu. Seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang memegang wajahnya untuk terus menatap wanita itu.

    Wanita itu begitu jauh. Nyaris seperti uang koin seratus rupiah. Begitu kecil. Tetapi Fanfan dapat melihatnya dengan jelas. Seperti seekor gajah yang berdiri hanya satu meter darinya. Matanya benar-benar berwarna merah, seperti kelereng. Kulitnya pucat dan mulus tanpa cacat. Rambutnya berwarna coklat tua digelung dengan ketat. Baju merahnya tanpak aneh dan tidak cocok untuk jaman sekarang. Berkerah tinggi seperti kipas mengitari lehernya yang jenjang. Kuku-kukunya panjang dan berwarna hitam menempel pada kaca jendela. Hidungnya mancung dan sedikit mendongak angkuh. Bibir tipisnya yang berwarna merah darah menyeringai pada Fanfan. Menampakkan taring-taring putih yang panjang.

    Jeritan itu keluar begitu saja dari mulut Fanfan tanpa bisa Fanfan hentikan dan mematahkan kebekuannya sehingga dia bisa berlari menjahui rumah. Fanfan terus berlari tanpa mengetahui kemana dia berlari. Instingnya hanya menyuruhnya berlari dan berlari terus. Semakin jauh dari rumah semakin bagus.

    Nafasnya terengah-engah ketika akhirnya dia berhenti. Keringat membasahi tubuhnya. Dia juga tidak tahu berapa lama dia berlari. Yang jelas dia tidak tahu dimana sekarang dirinya berada. Hanya ada pohon pinus yang menjulang tinggi.

    Fanfan menjadi panik. Dia sekarang tersesat dan tidak tahu arah. Sebentar lagi gelap dan akan semakin susah baginya untuk pulang. Fanfan tahu yang lainnya pasti akan mencarinya saat dia tidak ada untuk makan malam. Tetapi berapa lama dia harus menunggu sebelum akhirnya ditemukan?

    Fanfan bergidik ngeri saat dirinya harus bermalam di alam bebas sendirian dan dalam kegelapan. Dia harus mencari seseorang untuk ditanyai jalan pulang. Tapi mana ada orang jam segini di hutan? pikir Fanfan muram.

    Dia harus mencari jalannya sendiri.

    Seandainya saja ada Mimi, pikir Fanfan saat mulai berjalan kearah dia datang. Dengan mudah Mimi akan menunjukkan dimana jalan pulang. Aku tidak pernah tersesat saat ada Mimi.

    Fanfan mulai merasa frustasi saat dirinya tidak kunjung menemukan jalan yang benar. Baginya semua jalan sama saja. Entah sudah berapa lama dia berputar-putar di tempat ini. Yang jelas dirinya sudah tidak kuat lagi untuk terus berjalan.

    Akhirnya Fanfan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Fanfan memilih sebuah batu yang cukup besar untuk duduk. Sementara tubuhnya disandarkan di sebatang pohon. Langit sudah gelap sekarang. Fanfan bahkan tidak dapat melihat tangannya sendiri. Kabut membuat udara menjadi dingin. Fanfan terpaksa meringkuk dan memeluk tubuhnya sendiri sekedar untuk menghangatkan badan.

    Dia sudah tidak bisa menangis. Entah mengapa air matanya sudah tidak bisa keluar. Sembari sesenggukan Fanfan mulai mengasihani diri sendiri. Ayahnya selalu bilang hanya seorang pecundang yang selalu mengasihani dirinya sendiri. Dan dia tidak boleh menjadi seorang pecundang.

    “Terus aku harus ngapain?” gumam Fanfan pada diri sendiri.

    Biasanya ayahnya akan menyuruhnya untuk terus berusaha. Pasti ada jalan jika harapan masih ada.

    “Tapi aku lapar, dan aku juga capek.”

    Kemudian ayahnya akan berkata. Jika kau terus seperti itu. Maka nantinya kau juga akan mati. Kelaparan dan kedinginan. Setelah itu Fanfan akan cemberut mendengar perkataan ayahnya yang tegas itu. Kemudian ibunya akan datang. Mendamaikan mereka berdua. Dan dengan lembut berkata bahwa dia akan selalu menjaganya. Jika Fanfan tersesat dia akan mencarinya hingga ketemu, tidak perduli berapa lama waktu yang di butuhkan untuk menemukannya. Memberikan pelukan hangat saat Fanfan kedinginan dan juga membawakan makanan kesukaannya. Fanfan dapat makan hingga kenyang.

    Setelah itu ayahnya akan mencibir dan mengatakan bahwa istrinya itu terlalu memanjakan Fanfan. Fanfan hanya akan menjulurkan lidah pada ayahnya sementara ibunya akan tertawa.

    Fanfan sangat merindukan mereka. Pelukan hangat ibunya. Canda ayahnya.

    “Ayah, ibu aku kangen,” gumam Fanfan dan setetes air mata kembali menetes di pipinya.

    ***

    Saat dia membayangkan kedua orang tuanya. Fanfan dapat merasakannya. Mencium baunya. Mendengar suaranya. Tetapi dia tidak bisa menyentuhnya. Sekeras apapun dia berusaha menyentuhnya selalu tidak berhasil. Kemudian dia melihatnya. Api yang begitu besar berkobar-kobar di hadapannya. Meliuk-liuk bagaikan ular, menggodanya. Merayunya. Dirinya tidak dapat melakukan apa-apa. Tertegun melihat pesona api di hadapannya.

    Saat itulah dia melihatnya. Seorang wanita dengan gaun tidur yang amat dikenalnya, ibunya. Mulut ibunya bergerak-gerak seolah ingin menyampaikan sesuatu. Tetapi Fanfan tidak tahu apa yang ibunya itu katakan, di telinganya hanya terdengar suara kayu yang berderak karena api.

    Yang dia tahu, dia harus menolongnya. Entah bagaimana caranya dia harus menolongnya. Dia tidak ingin kejadian yang sama berulang lagi.

    Ketika Fanfan sudah bertekat bulat, tubuhnya samasekali tidak dapat digerakkan. Ibunya masih ada di sana. Berteriak-teriak kepadanya. Tangannya melambai-lambai menyuruhnya pergi. Kemudian atap runtuh dan menimpa ibunya.

    Fanfan mendengar seseorang menjerit. Dia tidak tahu siapa yang menjerit. Mungkin ditrinya yang menjerit, mungkin juga ibunya.

    Sekeliling Fanfan berputar-putar. Seperti lampu disco yang berkedap kedip sekelilingnya pun berkedap-kedip, dari merah ke hitam, dari hitam ke merah.

    Dan di sanalah Fanfan. Melayang tepat di posisinya tadi siang. Wajah hitam itu masih menatapnya dengan mata yang berupa lubang hitam. Kini dia tahu apa yang mengusik manusia bayangan itu. Suara-suara mulai terdengar dibelakangnya.

    Mestinya dia senang akhirnya akan ada yang menyelamatkan wanita malang itu. Tetapi dia tidak bisa. Dia masih teringat ibunya. Dua pria bayangan itu mempercepat langkahnya. Fanfan samasekali tidak memperhatikan kemana mereka berjalan. Dirinya terlalu sibuk menangisi ibunya.

    Kemudian bau itu menerpanya. Menamparnya kuat-kuat dengan aroma manis yang amis, bau darah. Fanfan tersentak kaget saat mengetahui siapa yang menunggu mereka. Seorang wanita cantik. Berkulit putih dan halus. Bibirnya yang merah tersenyum mengerikan. Rambut coklatnya digelung dengan ketat. Baju merah anehnya masih sama seperti yang dilihatnya tadi. Yang berbeda hanyalah matanya. Matanya berwarna coklat, coklat hazelnut. Seperti ibunya.

    Dua pria bayangan itu meletakkan wanita malang itu di sebuah meja. Fanfan mengalihkan pandangannya kepada wanita malang itu kemudian kepada wanita yang tersenyum angkuh dihadapannya.

    Astaga! Mereka kembar! jerit Fanfan di dalm hati. Apa yang hendak wanita itu lakukan dengan kembarannya sendiri?

    Penasaran. Fanfan pun beringsut semakin dekat. Dengan susah payah dia menahan bau busuk dan amis darah. Wanita berbaju merah itu berjalan mendekat kerarah meja tempat saudari kembarnya tergeletak dengan wajah damai. Jemarinya yang lentik mengayun anggun dan ratusan lilin menyala, menimbulkan bau wangi yang memusingkan.

    Fanfan mengerjap-ngerjap dengan bingung. Sinar lilin yang begitu terang membuat matanya berkunang-kunang. Saat Fanfan sudah dapat melihat dengan baik dia melihat wanita berbaju merah itu bergumam sembari mengangkat sebilah pisau tinggi-tinggi, kemudian menusukkan pisau itu ke jantung saudari kembarnya.

    Darah menyembur ke wajah wanita berbaju merah itu. Mengotori wajahnya yang cantik dengan darah. Tidak ada rasa sedih, takut dan menyesal di wajah itu. Wajah itu tetap datar dan tenang. Tetapi Fanfan dapat melihat di matanya, ada kekejian di sana. Tanpa sadar Fanfan terkesiap.

    Lagi-lagi hal itu terjadi. Seolah-olah tahu Fanfan ada di sana. Wanita berbaju merah itu menatapnya. Alih-alih mata coklat indah yang tadi di lihatnya. Fanfan menatap mata merah seperti kelereng itu lagi. Kemudian wanita berbaju merah itu mendesis kearahnya dengan galak.

    Fanfan pasti berfikir bahwa wanita berbaju merah itu tidak dapat melihatnya, bagaimanapunjuga ini hanyalah visi dari masa lalu. Wanita berbaju merah itu pasti tidak benar-benar menyadari keberadaannya. Tetapi perkiraan Fanfan itu salah. Wanita berbaju merah itu tau-tau sudah berada di hadapannya. Berjarak satu centi saja dari hidungnya. Siap menerkamnya jika saja Fanfan tidak terkesiap bangun.

    Fanfan terengah-engah. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Rupanya dia tadi tertidur. Fanfan menatap langit yang sudah sepenuhnya gelap. Sudah berapa lama aku tertidur? tanya Fanfan dalam hati. Aku harus kembali ke rumah. Kalau tidak yang lain akan khawatir.

    Fanfan bangkit berdiri. Berjaran terseok-seok di dalam kegelapan. Sebuah pertanyaan menggelayutinya.

    Kenapa tidak ada yang mencariku?
     
  14. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    Fanfan terus berjalan tanpa arah. Berharap nantinya dia akan menemukan sebuah petunjuk dimana dirinya sekarang berada. Langit yang tadinya mendung sekarang berubah terang dengan adanya bintang dan bulan yang bersinar terang. Bagi Fanfan itu adalah sebuah pertanda kecil akan keberuntungan.

    Benar saja. Setelah sekian lama berjalan dia melihat sebuah lapangan luas. Dengan berlari-lari kecil Fanfan akhirnya tiba di lapangan itu. Matanya segera saja menyapu pemandangan di sekitarnya. Tak jauh dari situ ada sebuah rumah besar bergaya Belanda.

    Fanfan bergidik. Berapa banyak sih rumah bergaya Belanda di daerah sini? gerutu Fanfan.
    Meskipun dia punya perasaan buruk terhadap rumah bergaya Belanda itu tetapi dia tetap berjalan menuju rumah itu, karena pilihannya adalah tetap di alam liar hingga entah kapan di temukan atau meminta bantuan ke rumah angker yang lain. Dan Fanfan memilih pilihan yang pertama. Baginya lebih buruk di luar sini dari pada di ruma angker itu. Setidaknya di sana ada orang yang bisa dimintai pertolongan, pikir Fanfan. Mungkin.

    Saat jarak Fanfan dan rumah itu makin dekat Fanfan mendapati dirinya merasa familiar dengan rumah itu. Tetapi dia tidak terlalu perduli. Wajar-wajar saja baginya jika rumah yang ini nyaris sama dengan rumah yang dia tinggali sekarang ini, karena rumah-rumah itu dibangun di daerah yang sama.

    Fanfan melihat jendela-jendela di rumah itu sudah tertutup rapat. Tiba-tiba dia menjadi was-was. Bagaimana kalau sekarang ini sudah terlampau larut? Mengingat rasa lapar di perut Fanfan tentunya sekarang ini sudah cukup malam. Atau mungkin karena sejak tadi Fanfan berjalan rasa laparnya semakin menjadi-jadi. Fanfan tidak tahu mana yang benar. Yang jelas semua jendela dan pintu sudah tertutup, dan itu berarti sang empunya rumah tidak ingin menerima tamu.

    Fanfan berdiri terpaku di hadapan rumah itu. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Nekat menggedor-gedor pintu atau mencari rumah yang lain. Perut Fanfan kembali bergemuruh untuk kesekian kalinya meminta untuk di isi. Fanfan menunduk menatap perutnya kemudian matanya beralih pada rumah besar itu.

    “Ok, aku akan jadi anak badung yang kurang ajar!”

    Fanfan berjalan dengan cepat-nyaris berlari-menuju pintu rumah. Dia takut jika tidak cepat-cepat maka pikirannya akan berubah. Begitu tiba di depan pintu buru-buru di ketuknya pintu itu dengan agak sedikit terlalu bersemangat. Bunyi pintu yang di ketuk menggema di telinga Fanfan. Tiba-tiba saja Fanfan curiga kalau rumah ini sebenarnya sudah kosong.

    Dengan bingung Fanfan menoleh kesana kemari. Rumah ini memang gelap dan sunyi. Terlalu sunyi.

    “Mungkin sebaiknya aku cari rumah yang lainnya saja,” ujar Fanfan ragu-ragu.

    Fanfan berbalik dan hendak pergi meninggalkan rumah itu saat tiba-tiba saja pintu itu terbuka dengan pelan. Fanfan menatap pintu yang terbuka itu dengan ngeri. Tetapi kemudian dia melihat seberkas sinar yang berpendar-pendar di dalam rumah. Secercah harapan timbul di hati Fanfan.

    Dengan semangat baru Fanfan berjalan memasuki rumah itu. “Hallo, ada orang di sini?”
    Tidak ada jawaban.

    Ragu-ragu. Fanfan akhirnya memutuskan untuk masuk. Jika yang punya rumah memergokinya masuk tanpa ijin dia bisa mengatakan pintunya tadi terbuka sendiri.
    “Memang terbuka sendiri kok,” gerutu Fanfan.

    Fanfan memperhatiakan isi rumah. Lagi-lagi dia merasa familiar dengan rumah ini. Perabotannya bisa di bilang antik dengan ukiran-ukiran rumit. Fanfan tidak terlalu banyak tahu tentang furniture. Jadi dia tidak terlalu perduli. Tetapi yang jelas yang ada di dalam rumah ini benar-benar mencerminkan penampilan luar rumah.

    Fanfan mengamati pernak-pernik patung gajah di dekatnya. Masih tampak bagus. Tidak berdebu. Tampaknya masih baru. Fanfan mengusapkan jemarinya di meja. Tidak ada debu.
    “Berarti memang ada orang di sini,” gumam Fanfan kepada diri sendiri. Kemudian pandangan Fanfan beralih pada cahaya yang berpendar di lorong. Dengan berhati-hati Fanfan mulai mengikuti arah cahaya tersebut. Fanfan berjalan dekat sekali dengan dinding. Sementara tangannya meraba-raba di depannya. Semakin ke dalam rumah cahayanya makin redup. Fanfan nyaris tidak bisa melihat tangannya sendiri.

    Cahaya itu ada di sana. Sangat dekat. Seolah-olah jika Fanfan mengulurkan tangannya maka dia bisa menggapai cahaya itu tetapi entah mengapa semakin dia mendekat cahaya itu semakin menjauh. Cahaya itu bergerak.

    Rasa khawatir mulai menggerogotinya seperti hama yang mengganggu. Kakinya semakin lama semakin susah untuk di gerakkan. Benarkah aku sudah mengikuti petunjuk yang benar atau aku hanya berhalusinasi? pikir Fanfan ketakutan.

    “Ha, hallo? Siapa di sana?” sapa Fanfan ketakutan.

    Cahaya itu tiba-tiba menghilang. Membuat Fanfan yang berdiri di kegelapan semakin ketakutan. Dia ingin kembali tetapi dia tidak tahu jalan. Aku di jebak! pikir Fanfan panik.
    Fanfan buru-buru berlari ke arah cahaya tadi sebelum benar-benar menghilang. Berkali-kali dia tersandung-sandung dan terjatuh. Namun, dia tidak perduli. Rasa panik yang menggelayutinya semakin menjadi-jadi saat dia terjatuh dengan keras. Rasa lengket di tangan dan di wajahnya membuatnya mengrenyit jijik. Dia tahu apa itu. Belakangan ini dia sering melihatnya. Mencium baunya. Bau darah.

    Fanfan menjerit dengan keras kemudian berlari dengan kalap semakin memasuki rumah itu. Air mata menggenagi pipinya saat dia berputar-putar di dalam rumah.

    Rasa takut dan curiganya semakin menjadi-jadi. Tadi dia yakin berteriak cukup keras sehingga sanggup membangunkan seisi rumah, tetapi rumah ini tetap sunyi seperti sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda orang samasekali.

    “Tolong,” rintih Fanfan. “Siapa saja tolong aku!”

    Putus asa, akhirnya Fanfan hanya duduk menyandarkan diri di dinding sembari memeluk lutut. Tubuhnya yang mungil terguncang-guncang isak tangisnya. Dia amat kelaparan, kelelahan dan juga kedinginan. Dalam isak tangisnya dia berharap ini semua hanyalah mimpi belaka.

    Tiba-tiba terdengar suara pintu tertutup yang berdebam dengan keras disusul suara sesuatu yang berat diseret. Makin lama suara itu makin mendekat. Apapun itu Fanfan merasakan hal buruk darinya sehingga Fanfan menutup mata dan telinganya sementara bibirnya terus bergumam, “Tidak! Tidak! Tidak!”

    “FANFAN,” jerit sebuah suara mengagetkan Fanfan.

    Mata Fanfan langsung terbuka dengan kaget. Keringat membasahi tubuhnya. Ditatapnya langut-langit dengan sedikit bingung. Kemudian dia teringat akan bonekanya Mimi. Fanfan langsung terbangun dari tidurnya menatap Kutie dengan khawatir.

    “Kau mengigau,” kata Kutie khawatir. “Kau mimpi apa sih?”

    Fanfan tidak memperdulikan pertanyaan Kutie. Pikirannya masih kacau sekarang ini. Dia tidak dapat membedakan yang mana mimpi dan yang mana kenyataan jadi dia hanya berucap, “Mimi.”

    “Oh, bonekamu. Tadi ada yang menemukannya tergeletak dan-” Kutie mengrenyitkan mukanya dengan jijik, “mencabik-cabiknya. Tapi tenang! Sudah dibereskan. Resty sedang membenahinya. Sebentar lagi mungkin selesai.”

    “Mencabik-cabik?” ulang Fanfan tidak percaya.

    “Kondisinya parah sekali sewaktu ditemukan. Sunggu keterlaluan sekali yang mencabik-cabik boneka kesayanmu itu. Untung saja Resty bisa membenahinya kembali walau mungkin tidak sebagus semula. Tenang saja, kau tidak perlu cemas seperti itu. Mimi sudah ditangani ahlinya…”

    Fanfan tidak memperdulikan ocehan Kutie. Pikirannya sedang bekerja dengan keras mengolah semua informasi yang baru saja diterimanya itu. Namun, dirinya masih belum juga paham apa yang sebenarnya terjadi. Fanfan mencubit pipinya.

    “Aduh!”

    “Ngapain kau cubit-cubit?” Kutie memandang Fanfan curiga.

    “Bukan mimpi.”

    “Memang bukan. Kau ini kenapa sih? Kalau kau sudah benar-benar bangun sekarang aku harap kau segera mandi dan gunakan pakaian terbaikmu karena saat makan malam nanti kita akan kedatangan tamu penting. Oh, jangan lupa ambil bonekamu di Resty. Kurasa sekarang ini mungkin dia sudah selesai membenahinya.”

    Kutie melenggang keluar kamar diikuti tatapan Fanfan yang masih tampak bingung. Fanfan melirik jam dinding yang menunjukkan jam lima sore. Fanfan memutuskan untuk menanyakan semuanya ke Mimi karena Mimi tahu semuanya dan itu berarti dia harus menemui Resty terlebih dahulu.

    Buru-buru Fanfan bangun dari tempat tidur dan langsung pergi mencari Rezty.


    ***​


    Makan malam tengah disiapkan disebuah meja yang besar. Meja sepanjang tujuh kaki itu dipenuhi makanan-makanan lezat menggugah selera. Semua anak melongo melihat semua makanan yang terhidang dihadapan mereka. Disini mereka diberikan makanan yang cukup dan bergizi, tidak hingga kenyang memang, tetapi cukup membuat mereka tidak pernah kelaparan. Tetapi, melihat makanan mewah yang menggunung seperti ini baru pertamakali mereka lihat.

    Dari sebuah pintu Fanfan melihat Kak Amara berjalan bersama seorang pria yang tidak dia kenal. Pria itu tinggi dengan rambut hitam klimis yang tertata rapi. Pria itu hanya menggunakan sweter dan celana jeans tapi Fanfan tahu pakaian itu mahal. Mereka sedang bercakap-cakap serius sebelum akhirnya menyadari keadaan di sekitarnya.

    Amara mendesah,"Dimana Anne dan Nui?"

    "Saya tidak tahu. Terakhir saya lihat mereka sedang bersama Rezty dan Hary berkeliling memeriksa rumah," kata gadis itu.

    "Terima kasih Yuzu. Bisakah kau meminta Kutie,Dx,Yuri dan Ryu membantu membuat anak-anak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan makanan itu?"

    "Baik Kak," ujar gadis itu sembari memohon diri meninggalkan mereka.

    "Baiklah, mari kita bergabung dengan yang lainnya," ajak Amara pada pria di sampingnya.

    "Sebelum itu," ujar pria itu menghentikan langkah Amara. "Siapa gadis kecil yang tengah menatap kita itu?"

    Amara terperangah, tatapannya mengikuti arah tatapan pria itu kemudian tersenyum. "Itu Fanfan," Amara melambaikan tangan menyuruh gadis kecil itu mendekat.

    Gadis kecil itu berjalan mendekati mereka tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari pria itu.

    Ketika Fanfan tiba pria itu berlutut. Kini tinggi mereka nyaris sama. "Hallo Fanfan," sapa pria itu ramah.

    Fanfan menatap Amara dan Amara mengangguk. "Hallo juga," balas Fanfan ragu-ragu.

    "Aku Ein, dan aku punya sesuatu untukmu," ujar pria itu sembari mengeluarkan sesutu dari dalam jeansnya.

    Fanfan menelengkan kepalanya menatap tangan pria itu yang tengah terkepal. Fanfan menatap pria itu dengan penuh tanda tanya. Pria itu tersenyum kemudian membuka kepalannya.

    Fanfan terkesiap ketika mengetahui apa yang ada dalam kepalan itu. Sebuah permen dengan bungkus berwarna emas.

    "Sebuah coklat," ujar gadis kecil itu takjub.

    Pria itu tersenyum kemudian meraih sesuatu di belakang telinga Fanfan. Kemudian menunjukkan bungkusan coklat kedua kali ini berwarna hijau.

    "Kini tidak lagi," sebuah senyuman jahil tersungging di bibir pria itu.

    "Wow, sulap."

    Pria itu tersenyum geli saat melihat binar-binar dimata gadis kecil itu."Bisakah kau meminjamkan aku boneka kelincimu itu? Kurasa dia menyembunyikan banyak coklat darimu."

    Gadis kecil itu merengut,"Mimi tidak seperti itu!"

    Ein memincingkan alisnya,"Kita lihat saja nanti."

    Dengan ragu-ragu Fanfan menyerahkan bonekanya pada Ein. Dengan cemas Fanfan memperhatikan Ein meraba-raba bonekanya.

    "Aha, liat apa yang kutemukan di dalam perut kelinci ini."

    "Tidak mungkin," Fanfan terkesiap melihat sekotak penuh coklat dengan bungkus berwarna-warni. Senyum mengembang di bibirnya. Tangannya yang mungil mengambil boneka dan kotak coklat tersebut.

    "Sebaiknya kau tidak memakannya sekarang, karena kita akan makan malam." Fanfan mendongak menatap Amara kemudian mengangguk setuju.

    "Sekarang, pergilah dan bergabung dengan yang lain. Dan jangan lupa membagi coklatmu," Amara mengedipkan sebelah matanya, kemudian gadis kecil itu meninggalkan mereka.

    "Aku tak tau kau bisa melakukan itu," ujar Amara pada Ein.

    "Apa? Sulap atau mendekati gadis kecil?"

    "Keduanya kurasa."

    "Ah, salah satu dari sekian banyak keahlianku," seutas senyum jahil tersungging di bibir pria itu.
     
  15. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    Anak-anak berjalan menuju kamar masing-masing dengan perut penuh. Gumaman mengantuk terdengar dari beberapa anak sementara yang lain justru terdengar sangat bersemangat. Makan malam tadi sangat menyenangkan. Berbagai makanan yang belum pernah mereka makan turut disajikan dan tamu pria yang dibawa Amara merupakan tamu yang enak diajak berbicara. Acara makan malam pun berlangsung dengan meriah. Sayang sekali Ein harus bergegas pulang saat acara makan malam baru berlangsung setengahnya. Namun, hal itu tidak mempengaruhi semangat anak-anak. Sementara itu, berlawanan dengan anak-anak lain Fanfan justru duduk termenung memandangi bonekannya sementara permen coklatnya tergeletak terlupakan.

    Mimi sama sekali tidak meresponnya. Bonekannya itu telah benar-benar menjadi seongok boneka. Fanfan sama sekali tidak tahu mengapa. Apakah karena bonekanya itu telah tercabik-cabik sebelumnya? Anehnya, Fanfan tidak merasa kehilangan sama sekali seperti di mimpinya. Dia merasa biasa saja. Seolah-olah sedari awal bonekanya memang boneka dan bukannya boneka yang bisa bicara. Hal inilah yang lebih membuat Fanfan bingung. Satu misteri lagi telah muncul di hadapannya.

    Dibolak-baliknya boneka kelincinya berkali-kali mencoba mencari tahu dimana letak kesalahan yang membuat bonekanya tidak lagi berbicara. Namun, sekeras apapun dia berusaha Mimi tetap tidak mau berbicara.

    Fanfan merasa dirinya bodoh saat berkali-kali mengajak bonekanya berbicara sementara bonekanya itu tetap diam membisu.

    Rezty tadi sempat mengatakan ketika menemukan Mimi boneka itu sudah dalam kondisi rusak yang parah dan sangat susah untuk membenarkannya seperti semula. Mimi sekarang bahkan memiliki beberapa motif berbeda di tubuhnya karena kain perca yang digunakan untuk menambal boneka kelinci itu.

    Apa mungkin karena tambalan ini maka Mimi tidak berbicara? pikir Fanfan.

    Fanfan mendesah, karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan maka Fanfan memutuskan untuk tidur. Diletakkannya bonekanya di sebelah tempat tidurnya sementara itu Fan fan mulai terlelap dalam tidurnya.


    ***​


    Dua orang datang mendekatinya. Dua orang pria kekar dan kuat itu mencengkeram tangan dan kakinya kemudian mengangkatnya keluar kamar. Fanfan hendak berteriak namun bibirnya samasekali tidak mau membuka, bahkan tubuhnya terasa lemas tak berdaya.

    Kemana mereka akan membawaku? pikir Fanfan.

    Dia memperhatikan mereka membawanya melewati lorong-lorong asing. Lukisan-lukisan dan kepala serta kulit-kulit hewan menempel disana.

    Saat kedua orang itu membawa Fanfan lebih jauh kedalam rumah Fanfan menegang. Dia merasakan hal itu lagi. Hawa dingin yang menusuk kulit, samar-samar Fanfan mencium bau yang samasekali tidak disukainya. Aroma amis darah semakin pekat saat kedua orang tersebut menuruni tangga.

    Fanfan terkesiap. Bagaimana mungkin? Baru saja dia ada di lorong tetapi sekarang dia sudah menuruni sebuah tangga.

    Tangga itu berputar membentuk spiral yang tak terlihat ujungnya karena kegelapan yang pekat menghalangi pandangan. Rasa takut yang ditimbulkan atmosfir yang aneh membuat Fanfan tak kuasa menahan tangis.

    Kemana mereka menuju? Apakah tidak ada yang menyadari Fanfan menghilang dari tempat tidurnya?

    Seharusnya saat ini ada senior yang bertugas mengecek anak-anak di tiap kamar. Hal ini dikakukan tiap dua hingga tiga jam sekali. Seharusnya mereka sadar Fanfan telah menghilang. Pandangan Fanfan mengabur. Tapi dia dapat melihat kini mereka berada di sebuah ruangan dengan banyak pintu. Tubuh Fanfan menegang saat dia menyadari mereka berjalan lurus menuju sebuah pintu yang paling kuat atmosfir anehnya. Seolah-olah tempat itu adalah tempat yang terlarang dan dapat menimbulkan petaka. Bulu kuduk Fanfan meremang saat pintu itu terbuka dengan sendirinya. Bunyi engsel yang berderak karena karat mengisi kesunyian yang mencekam. Begitu pintu terbuka, bau amis darah yang pekat menampar Fanfan. Rasa mual langsung melandanya. Dengan panik dilihatnya keadaan sekeliling. Kini dia berada di sebuah ruangan kecil yang pengap dengan bau amis darah. Tidak ada ventilasi atau saluran pertukaran udara apa pun di dalam sini. Didalam ruangan hanya terdapat sebuah meja yang sudah penuh dengan bercak-bercak kehitaman dan tak jauh dari sana ada sebuah kolam kecil. Kolam itu tampak kering dan berwarna kehitaman.

    Fanfan berjengit saat tubuhnya bersentuhan dengan meja yang ternyata terbuat dari marmer. Tangannya di ikat di atas sementara kakinya juga di ikat. Rasa dingin marmer menjalar di sekujur tubuhnya bersamaan aliran adrenalin yang kuat. Sebuah bayangan hitam bergerak mendekatinya. Jantungnya berdetak makin keras dan cepat, merespon aliran adrenalin yang memenuhi darahnya. Matanya terbelalak ngeri mengikuti tiap gerakan bayangan hitam itu.

    "Fanfan!"

    Fanfan terlonjak mendengar namanya di panggil. Nafasnya tersegal-segal sementara keringat sebesar jagung mengucur deras dari tubuhnya. Matanya terbelalak kaget memancarkan ketakutan. Diamatinya kembali keadaan di sekitarnya. Ranjang-ranjang kecil berjejer rapi mengelilingi ruangan. Meja-meja kecil di letakkan di samping tempat tidur. Suara dengkuran lemah dan teratur menghiasi keheningan malam.

    "Fanfan, ada apa?" kata sebuah suara di sebelahnya. Fanfan menoleh dan mendapati seorang anak perempuan duduk di sisi tempat tidurnya dan menatapnya cemas. Dengan gerakan yang tiba-tiba gadis kecil itu memeluknya dan menangis sejadi-jadinya.


    ***​


    Amara memijat-mijat dahinya. Kepalanya terasa sangat pusing dan seakan mau pecah. Kenapa masalah datang bertubi-tubi seperti ini? Pikirnya. Tapapannya menyapu setiap orang di ruangan kerjanya yang baru. Setiap orang menampilkan ekspresi yang berbeda. Anne yang merupakan bendahara panti asuhan berwajah datar tanpa ekspresi. Sesuai dengan sifatnya yang tegas dan selalu berfikiran logis dan realistis. Lebih mengutamakan fakta dari pada pendapat. Dengan sifatnya yang seperti itu keuangan yayasan ini selalu mulus dan tanpa kesulitan. Tentu saja, hutang Kakek Keliori tidak termasuk hitungan.

    Disampingnya berdiri Nui yang merupakan sekertaris. Wajahnya memancarkan rasa ingin tahu. Dan disamping Nui berjejer para senior. Icka, Kutie, Deyuri, Ryu, Yuzu, Rezty, Shino dan Hary. Sementara sang tersangka Fanfan duduk di pojokan. Yeah, aku merasa seperti seorang tersangka, gerutu Fanfan dalam hati.

    "Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi," kata Amara akhirnya.

    Dengan ragu-ragu dan gugup Yuzu maju. "Eh, waktu itu saya sedang menjalankan giliran saya memeriksa kamar junior. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Lantas, waktu saya sampai di kamar Fanfan, Rara, Xuelan, Siti dan Aumee. Saya melihat Fanfan menangis dalam tidurnya. Saya pikir dia sedang mengigau jadi saya bangunkan saja dia. Setelah terbangun tiba-tiba dia memeluk saya dan menangis sejadi-jadinya," Yuzu terdiam, dengan gugup dia mengamati keadaan sekelilingnya.

    "Apakah dia mengatakan apa yang terjadi apapun itu yang menyebabkan bekas tangan dan kaki di ikat?" tanya Anne.

    Yuzu terdiam, mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakan Fanfan disela-sela isak tangisnya." Kurasa dia bilang ada dua orang pria tinggi besar yang membawanya menuju suatu ruangan yang mengerikan."

    Semua orang terdiam mendengar penjelasan Yuzu. Hal aneh dan mustahil terjadi disini.
    "Maksudmu, dua orang pria itu jugalah yang meninggalkan bekas telapak tangan yang menghitam di tangan dan kakinya?" tiba-tiba Amara bertanya dan dalam sekejap seluruh orang dalam ruangan itu menegang.


    ***​


    Bekas tangan itu menghitam di area lengan bagian atas. Seolah ada orang yang mencengkramnya begitu kuat. Fanfan mematut-matut bayangannya di cermin. Bekas tangan itu tampak menonjol dan membuat merinding. Fanfan kembali ke lemari kecil di kaki tempat tidur, memusatkan seluruh perhatiannya pada beberapa pakaian yang terlipat rapi disana. Diambilnya pakaian itu satu-satu. Dahinya berkerut saat melakukan itu.

    "Gak ada yang cocok," kata Fanfan frustasi.

    Semua pakaian miliknya jenis terusan dengan warna-warna cerah dan berenda-renda. Diambilnya gaunnya yang terletak paling bawah. Ditatapnya dengan serius. Dulu gaun biru ini adalah salah satu gaun yang paling dia sukai, tapi karena terlalu sering di gunakan warnanya sudah pudar.

    "Terpaksa." dengan menggerutu Fanfan mengenakan gaun itu. Saat memandang dirinya di cermin dia cukup puas. Lengan gaun yang sedikit panjang dapat menutupi bekas telapak tangan. Setidaknya jika tidak mengangkat tangan bekas telapak tangan itu tidak akan terlihat. Sementara bekas telapak tangan dikakinya dia tutupi dengan kaus kaki sepanjang lutut.

    Setelah puas dengan penampilannya, Fanfan berjalan menuju ruang makan untuk menyantap sarapannya. Memikirkan hal itu membuat perutnya semakin melilit dan dia pun bergegas. Karena terlalu terburu-buru Fanfan tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ruang makan berubah menjadi sunyi senyap saat Fanfan menginjakkan kaki disana. Lirikan mata tiap anak mengikuti tiap langkahnya, dan ketika Fanfan duduk. Dia baru menyadari keanehan tersebut.

    Tiga anak laki-laki yang pernah mengganggunya dulu datang menghampirinya. Sang Bos, Lehu, berbadan lebih besar dari anak-anak kebanyakan, menyunggingkan senyum mengejek. Sementara bawahannya Qhoxx dan Ivy mengikutinya, keduanya juga berbadan besar.

    "Anak yang dikutuk gak boleh ada di sini!" ujar Qhoxx.

    Fanfan menatap Qhoxx bingung. Dia samasekali tidak mengerti maksud dari kata-katanya itu.

    "Hah! Tak perlu berpura-pura bodoh! Kami semua sudah tahu tentang kutukan itu."

    "Kutukan? Kutukan apa?" tanya Fanfan bingung.

    Qhoxx menatap Fanfan, sebuah senyuman licik tersungging di bibirnya. Dan dengan cepat dia menarik lengan Fanfan dan menunjukkan bekas telapak tangan yang menghitam.
    Fanfan terkesiap, dan begitu dia pulih dari rasa syoknya dia menarik tangannya.

    "Sekarang kau tidak bisa menyangkal lagi." ujarnya.

    Fanfan menatap Qhoxx tidak percaya. Bagaimana dia tahu? pikirnya.

    Seolah mengetahui apa yang sedang dipikirkan Fanfan, Ivy berkata," Kau pikir 'rahasia kecil'mu ini tidak ada yang tahu? Kau pikir teman-teman sekamarmu tak melihat kejadian itu?"

    Tatapan Fanfan segera beralih ke arah teman-teman sekamarnya, dan mereka semua memalingkan muka darinya. Rasa kecewa tersirat jelas dari wajahnya.

    Mengetahui hal itu, senyum Qhoxx semakin mengembang," Bagaimana?"
    Fanfan mengalihkan kembali tatapannya pada Qhoxx. Dia memandang penuh benci padanya.

    "Aku tidak di kutuk! Tapi ada sesuatu di rumah ini yang terkutuk!"

    "Dan mahkluk terkutuk itu mengutukmu! Dan tanda di lenganmu itu buktinya," ujar Ivy, seringai puas tersungging di bibirnya.

    Mata Fanfan terasa panas. Ingin rasanya dia menangis. Tapi dia tidak akan melakukannya. Tidak di hadapan mereka! pikirnya.

    "Aku akan membuktikan apa yang aku katakan itu benar!" sumpah Fanfan.

    Lehu memincingkan alisnya, menatap Fanfan dari atas ke bawah. Menilai. "Kau tidak akan bisa."

    "Tentu saja aku bisa!"

    "Baiklah, buktikan saja. Dan kami akan mengikutimu untuk memastikannya!" ujar Lehu. Tatapan matanya berkilat bahaya.

    Fanfan mengambil beberapa lembar roti dan mengolesinya dengan selai coklat banyak-banyak, kemudian diletakkannya kedalam tepak makan. Semua itu dilakukannya dalam diam, sementara anak-anak menatapnya ingin tahu.

    Begitu kotak makan, botol minuman, pensil dan sebuah buku dia masukkan kedalam ranselnya dan memastikan tidak ada yang tertinggal Fanfan menatap teman-temannya. Rhee, Quppy, Xuelan, Seventa, Zack, Lonly, dan Bebeg. Mereka semua kini menatapnya dengan penuh permintaan maaf.

    Fanfan mengangguk pada mereka. Mengerti kenapa mereka berbuat seperti itu. Mereka takut dengan gerombolannya Lehu.

    Fanfan merinding saat memikirkan Lehu dan gerombolannya akan menjadi senior nanti. Pasti kehidupannya akan menjadi lebih menyiksa dari pada sekarang. Dan satu-satunya calon senior yang dapat menghentikan mereka hanyalah Dx. Satu lawan tiga. Samasekali tak sebanding.

    Fanfan tersenyum kecut. Tidak ada gunanya meratap seperti itu, yang perlu dilakukannya hanyalah membuktikan dirinya benar. Fanfan menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Kini dia siap menghadapi apa pun.


    ***​


    Ein menatap ponselnya dengan pandangan tak percaya. "Apa maksudmu? Jangan kau katakan kau percaya dengan hal-hal seperti itu?!"

    Dari seberang Ein mendengar suara seorang wanita yang bergumam sebal. "Aku tidak sedang bercanda atau main-main Ein! Aku serius!"

    "Tapi, hal seperti itu tidak ada! Aku tidak percaya kau percaya yg seperti itu Amara."
    "Aku tahu! Dan aku juga tidak percaya dengan yang seperti itu. Tapi, aku tetap harus mencari tahu. Terlepas itu semua masuk akal atau tidak!"

    Ein tercenung, memikirkan kata-kata Amara. Jika benar kejadian aneh terjadi di villa yang dia pinjamkan pada Amara maka dia turut bertanggung jawab. Lagi pula itu villanya, hanya dia yang dapat menyelidiki apa yang terjadi di villa itu.

    "Baiklah, aku akan mencari tahu," Kata Ein akhirnya.

    Terdengar desahan lega dari Amara, dan setelah berbasa-basi sedikit dan juga berterimakasih, selesailah percakapan itu, meninggalkan Ein sendiri dalam kebingungan.

    "Dimana aku harus mulai mencari informasi seperti itu?" gerutu Ein. Selama ini dia hanya disibukkan dengan pekerjaannya, tidak ada waktu mengurusi investasi keluarganya dan dia memberikan tugas itu pada adiknya, Sheciel. Tiba-tiba tubuh Ein menegang dan perlahan-lahan senyuman tersungging di bibirnya." Maafkan aku telah melupakanmu adikku, sekarang aku akan datang menjengukmu."
     
  16. Heilel_Realz012 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2011
    Messages:
    811
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +826 / -0
    ok sedikit review...
    ehmm ini cerita horror, tapi klo wa baca lebih more ke cerita misteri loh. :peace:
    setingnya dirumah berarsitektur belanda.. Indonesia kah? atau ceritanya diluar negeri? klo Indonesia, dari nama2nya kurang sesuai dengan isi cerita (ada yg komen soal ini juga klo gk salah).
    pendeskripisan suasana oke gk masalah. cuma pas baca ada beberapa typo aja.

    overall menurut wa bagus.. lanjutin ceritanya ampe tamat :beer:.
     
  17. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    Makasih saran dan kritiknya. . .
    Yang terpenting makasih uda baca karya yang amburadul ini. . .
    Akhirnya ada juga yang nongol *terharu TT^TT

    sebenernya di Indonesia namanya kan sesuai sama anak-anak moba dulu. . .
    Mau di rubah sih tapi udah terlanjur jauh :p
    yang Fanfan itu nama panggilan, nama panjangnya ada dan berbau indonesia kok. . .
    Ada di halaman depan. . .
    Emang banyak yang kacau nanti kalo udah tamat baru di benerin :Dd
    soalnya pengalaman dulu di edit-edit terus ceritanya jadi ngak di lanjutin =_=

    oh, iya. . .
    ini cerita banyak yang bilang lebih ke misteri dan kayak petualangan dektektif cilik gitu. . .
    aku juga bingung gimana ngubahnya jadi horror >.<
    ada saran kah?
    di buat lebih gelap?
    penuh darah?
    gore?
     
    Last edited: Nov 15, 2011
  18. Dxque Members

    Offline

    Joined:
    Nov 15, 2011
    Messages:
    1
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    lanjut kan klip
    :sembah::sembah:

    dx
     
  19. Heilel_Realz012 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2011
    Messages:
    811
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +826 / -0
    mau ceritanya jadi kelam???

    banyakin scene suasana mencekam, perdikit obrolan satu komunitas / bergerombol :peace:
    lebih banyak jelasin perasaan satu tokoh (tokoh utama) yg merasakan kejadian2an aneh.
    buka emosinya, pemikirannya... tau monolog kan? banyakin percakapan kediri sendiri (otomatis jadi 1st POV)
    btw buat horror keknya emang lebih bagus ganti sudut pandang jadi 1st POV deh.

    yuup itu cuma beberapa saran. :iii:
     
  20. 3clips3 M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    May 7, 2010
    Messages:
    356
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,092 / -0
    hahaha. . .
    sampe buat ID di IDWS. . .
    tenang aja kamu tetep cowok kok di cerita ini dx ngak kayak yang pertama kamu jadi cewek :p
    tapi makasih loh dx udah mampir. . . :sembah:

    sebelumnya ada adegan tokoh utama sendirian. . .
    itu masih kurang ya?
    iya sih. . . darren shan juga buat ceritanya 1st POV :sigh:
    edit total nih. . .
    nunggu tamat aja ah. . .
    ntar malah ngak tamat-tamat kalo di edit-edit terus :lalala:
     
  21. hanamaru MODERATOR

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Mar 18, 2009
    Messages:
    4,882
    Trophy Points:
    237
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +94,604 / -0
    ane ijin copas ke notepad buat disimpan di MP4 yah.. :XD:
    ane baru sempet bacanya malem-malem (mo tidur.. :lol:)

    mudah-mudahan gak mimpin buruk habis baca nih cerita :takut:
    komen menyusul ya bos.. :top:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.