1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Trump, Acrust, Ergonic: Word's of Tale

Discussion in 'Fiction' started by DeadlyEnd, Jun 19, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Permisi, baru kedua kali ngepost disini (dan pertama kali bikin thread)...
    Mohon maaf kalau ada kesalahan dalam penulisan...

    Cerita ini cerita pertama saya yang keluar dari Chapter 1 (Sebelum ini selalu mentok di chapter 1 :hot: )...

    Tapi sebelum itu, saya mau edit-edit lagi...
    Untuk sekarang, silakan menikmati Prologue dulu... :peace:

    Sudah berapa sering cerita dengan awal seperti ini terdengar? Seorang gadis datang mendatangi rumah teman laki-lakinya untuk membangunkannya. Bagi kebanyakan orang tentu saja hal itu mustahil dan hanya ada dalam mimpi. Tapi tidak bagi Curtis Hang.

    “Ayo bangun!” Suara seorang gadis terdengar di ujung tempat tidurnya.

    Curtis berusaha untuk tidak menghiraukan suara yang terus berusaha membawanya ke alam sadar. Dunia yang dia tuju rasanya jauh lebih damai dan sejuk.

    “Bangun… Kataku!!!!” Tiba-tiba gadis itu membalikkan kasur itu dengan sekuat tenaga, membuat kasur yang menempel di dinding itu membentur dengan keras. Tentu saja Curtis ada didalamnya. Saat kasur itu kembali ke posisi semula, terlihat Curtis menempel di dinding dan menempel disini adalah masuk ke dalam lubang cetakan tubuhnya di dinding yang tercipta karena efek benturan (sangat) keras yang tentu saja sangat menyakitkan.

    “Bangun!” Gadis itu segera mengguncang-guncang tubuh Curtis saat tubuh Curtis jatuh kembali ke atas kasur setelah beberapa saat.

    “Kau ingin membunuhku ya!” Curtis segera duduk sambil memegang mukanya.

    “Eh... Tapi kau tidak akan mati hanya karena benturan seperti itu...” Gadis itu mengeluarkan muka lugu dan mengatakan kalimat itu dengan menaruh telunjuknya di bibir bawahnya.

    “Aku akan mati kalau ini terjadi tiap hari, Kara!” Curtis segera menyahut sambil tetap memegang mukanya.

    Gadis yang ada di depannya saat ini adalah Kara, Kara Wilheimna. Temannya sejak kecil dan saat ini merupakan tetangganya, walaupun rumah mereka terpisahkan satu rumah lain. Meskipun tidak bertetangga secara langsung, namun itu tidak menghalangi Kara untuk datang membangunkan Curtis setiap pagi. Curtis sendiri memang memberikan duplikat kunci rumahnya pada Kara.

    “Hah... Bisa tidak kau membangunkanku dengan normal sekali saja?” Pinta Curtis sambil menggaruk belakang kepalanya.

    “Heh, bukankah ini sudah normal?” Tanya Kara dengan polos yang langsung dijawab, “Mimpimu!” Oleh Curtis.

    “Baiklah kalau kau tidak bisa membangunkanku dengan normal, kenapa kau tidak coba dengan menciumku?”

    “Eh!?”, Kara segera tersentak mendengarnya.

    “Kalau tidak aku akan tidur lagi...” Curtis mengambil selimutnya kembali dan segera tidur membelakangi Kara.

    “Eh!? Em, eng, a, err...” Kara mengeluarkan suara-suara aneh menunjukkan kebingungannya.

    Mukanya tiba-tiba memerah, “Kalau itu bisa membangunkanmu, ya... Mau bagaimana lagi?”

    Kara lalu mendekatkan kepalanya, bibirnya yang termanyun-manyun menunjukkan keinginannya untuk mencium Curtis namun ada rasa malu yang besar di dalam hatinya.

    Saat Kara ada sampai di tengah perjalanannya, Curtis bangun dan berkata, “Bercanda...” Sambil tersenyum.

    “HEH!!?” Kara segera menunjukkan ekspresi tidak puas dan segera berpose untuk menghajar Curtis.

    “Ho... Pagi-pagi sudah mesra ya...” Tiba-tiba terdengar suara dari jendela.

    Dengan kaget Curtis dan Kara segera melihat ke arah jendela. Seseorang tengah berjongkok di jendela yang terbuka. Mereka tidak mempercayai apa yang mereka lihat. Pertama, jendela itu terkunci dari dalam dan Curtis maupun Kara belum membukanya. Kedua, mereka berada di lantai dua.

    “Yo!” Laki-laki itu tersenyum lebar melihat muka Curtis dan Kara yang kebingungan.
    “Mari kita kesampingkan detail-detail tidak penting...” Laki-laki itu segera bergerak menuju Curtis dan Kara.

    Laki-laki itu bergerak. Sangat cepat sehingga kata-kata seperti berjalan, berlari, atau terbang tidak tepat untuk menggambarkannya. Yang Curtis dan Kara tahu hanyalah laki-laki itu tiba-tiba sudah ada diantara mereka berdua. Dia lalu memegang tangan kiri Curtis dan tangan kanan Kara dan menariknya kuat-kuat. Bukan proses yang menyenangkan karena rasa yang sangat menyakitkan.

    “Curtis Hang, apakah sebagai laki-laki kau siap menerima Kara Wilheimna biar apapun yang terjadi padanya dan padamu?” Laki-laki itu segera bertanya.

    Curtis ingin mengatakan “heh!?” atau “apa!?”. Namun, entah mengapa dia merasa itu merupakan pertanyaan serius. “Tentu saja!” Ujarnya datar namun matanya menunjukkan betapa serius dirinya.

    “Kara Wilheimna, apakah sebagai perempuan kau siap menerima Curtis Hang biar apapun yang terjadi padanya dan padamu?"

    Kara yakin seharusnya dia merasa malu saat ini, seharusnya dia menjadi linglung, seharusnya mukanya memerah. Namun, itu tidak terjadi. Matanya seperti Curtis, menunjukkan komitmen yang sangat kuat, saat dia berkata, “Tujuan hidupku hanya untuk itu!”

    “Dengan ini, kunyatakan kalian resmi menikah!” Ujar laki-laki itu dengan senyum penuh, seolah-olah jika pipinya tidak ada, senyumnya akan menghubungkan kedua telinganya. Dia lalu dengan keras dan cepat, merapatkan kedua lengan yang digenggamnya.

    Saat itulah baik Curtis dan Kara merasa kembali normal dan ingin mengucapkan kata-kata terkejut, namun seberkas cahaya muncul dari tempat tangan mereka bertemu. Sangat silau dan mereka tidak sadarkan diri untuk beberapa *******

    Saat mereka terbangun, laki-laki sedang membelakangi mereka.

    “Hey!” Curtis segera berteriak. Namun laki-laki itu dengan sigap menaruh telunjuknya di mulutnya berkata, “shuut...” Sebuah cara universal untuk mendiamkan orang lain.

    Dia tiba-tiba tersenyum dan berkata, “Nah, tadi aku tidak siap. Sekarang...” Dia memanjangkan tangannya ke arah dada Curtis dan Kara. Dia lalu menutup telapak tangannya seolah menggenggam sesuatu. Muncul sinar dan sebuah lambang baik dari dada Curtis maupun Kara. Juga muncul sensasi aneh yang dirasakan Curtis dan Kara saat itu terjadi. “...Let's Rock!!!”.

    Laki-laki itu maju menuju jendela. Dia menggenggam dua bilah pedang secara terbalik yang muncul dari dada Curtis dan Kara. Saat dia sampai di jendela, pedang itu sudah keluar secara utuh. Dua bilah pedang kembar.

    Dia segera meloncat keluar jendela. Sementara Curtis dan Kara membatuk di dalam ruang itu. “Apa itu?” Ujar Curtis penuh tanda tanya.

    *****​

    The Thrice Rule​

    Trump: Digunakan untuk menggolongkan mereka dengan kekuatan supranatural (Mereka yang tidak menggunakan Acrust maupun Ergonic). Immortal, elf, dan makhluk-makhluk supranatural lain secara mendasar masuk dalam kategori ini, entah mereka membutuhkan trivia atau tidak. Bagi manusia, selama kekuatan mereka tidak mempunyai penjelasan atau tidak mempunyai sumber baik dari Acrust maupun Ergonic, mereka termasuk dalam Trump. Kelebihan dari Trump adalah sebagian besar dari mereka tidak bergantung pada Trivia untuk menggunakan kekuatan mereka.

    Acrust: Biasa disebut dengan nama “Magician” di dunia lain, Acrust menggunakan Trivia sebagai basis dari segala kekuatan mereka. Acrust, dengan kata lain, merupakan pengguna sejati Trivia karena bahkan saat mereka menciptakan Seal, mereka membutuhkan Trivia, apalagi mengaktifkannya. Acrust berjasa besar dalam perkembangan peradabaan umat manusia karena sebagian besar pembangunan besar tercipta berkat jasa para Acrust.

    Ergonic: Ciri paling menonjol dari Ergonic adalah robotika dan teknologi-teknologi yang sangat maju. Mereka menggunakan Trivia namun sebagai sumber daya teknologi yang mereka buat, tidak seperti teknologi di dunia lain yang menggunakan bahan bakar fosil. Hal ini tidak hanya membuat Ergonic lebih ramah lingkungan tapi juga lebih efektif dan efisien. Ergonic berbeda dengan ilmu pengetahuan, Ergonic lebih ke implementasi (teknologi) sementara ilmu pengetahuan tetap dipelajari baik Acrust maupun Ergonic.

    Basic​

    Trivia: Energi alam yang tersebar dalam jumlah tidak terbatas dan, mengikuti hukum energi, tidak bisa dihancurkan, hanya bisa diubah kedalam bentuk lain. Tidak ada yang tahu asal-usul Trivia, namun kemudahannya untuk dimanipulasi membuatnya sangat berperan dalam kehidupan umat manusia.

    Seal: Seal adalah simbol yang dibuat oleh Acrust, dan menjadi pembeda paling umum antara manusia Acrust dan manusia Trump. Seal dibuat dengan memanipulasi Trivia yang tersimpan dalam tubuh manusia, sehingga tidak salah jika dalam Acrust membuat Seal adalah hal yang lebih melelahkan. Seal terbentuk dari beberapa bangun yang semakin kuat suatu spell, semakin kompleks Seal yang diperlukan untuk dibuat, yang otomatis berakibat semakin banyak Trivia yang dibutuhkan. Seal paling dasar berbentuk lingkaran. Semakin tinggi tingkatan, akan muncul bangun bersegi yang semakin kompleks, beberapa bahkan mempunyai beberapa lingkaran di dalamnya.

    Rune: Saat mengeluarkan spell, setelah membuat Seal dan mempunyai Trivia yang cukup, seorang Acrust perlu mengaktivasi Seal tersebut. Kode aktivasi ini disebut Rune. Kode aktivasi dan syarat aktivasi adalah dua hal yang berbeda, karena seluruh spell memerlukan Rune untuk aktif sementara beberapa spell tidak memerlukan syarat aktivasi.

    Sy-s-tem: Ergonic terfokus pada penciptaan Sy-s-tem (biasa disebut syst atau stem). Sy-s-tem mempunyai bentuk dan fungsi dan bentuk yang beragam dan menjadi inti dari Ergonic itu sendiri.

    Proto-System: Biasa disingkat Proto-Sys, Proto-Stem, atau hanya Proto, Proto-System adalah blueprint yang perlu dibuat oleh setiap Ergonic.

    Country Guide​

    Gardal
    Negara yang berafiliasi netral terhadap kisruh Acrust-Ergonic. Posisi geografisnya menjulang dari daerah utara yang beriklim sub-tropis hingga daerah ekuator yang beriklim tropis. Masih terdapat banyak hutan rimba karena Gardal masih berusia muda dan masih dalam kondisi “mengembangkan”. Selain hutan, Gardal juga memiliki beberapa kantung-kantung gurun. Namun Gardal paling terkenal karena fenomena menarik yaitu daratan-daratan melayang. Banyak spekulasi tentang daratan-daratan itu, namun belum ada yang benar-benar mampu menjelaskan keberagaman hayati yang ada di dalamnya.
    Gardal dipimpin oleh seorang Presiden yang sejajar namun bertanggung jawab terhadap parlemen. Presiden dan parlemen dipilih oleh rakyat, pemegang jabatan-jabatan lain dipilih oleh presiden. Perpolitikan Gardal sangat kental, bahkan bisa dikatakan politik adalah nafas kehidupan Gardal, meskipun bisa berarti baik maupun buruk dengan kans sama besar. Gardal menarik minat dan perhatian banyak orang karena keinginannya yang berusaha untuk netral, baik itu untuk membangun atau menghancurkan.
    “Jika berbicara tentang Gardal, maka kalian berbicara tentang negara, penduduknya, pemerintahannya, tentang Trump, Acrust, dan Ergonic. Tapi jika tidak ada politik, kalian tidak sedang berbicara tentang Gardal.” – Darvin Kali, Presiden ke-3 Gardal.

    Anri
    Negara para Acrust dan pusat perkembangan Acrust, walaupun beberapa orang dari Gardal ikut memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangan Acrust. Posisi geografisnya sebagian besar terletak di zona sub-tropis selatan. Namun sebagian besar kota pemukimannya berada di daerah tropis yang hanya membentuk sebagian kecil negara itu, karena sebagian besarnya lagi berupa padang pasir. Meskipun begitu, pusat pemerintahannya berada di tengah-tengah negara ini.
    Anri memiliki presiden, namun pemimpin sebenarnya adalah lima orang konsul. Mereka adalah orang-orang yang dianggap paling bijak, dan memerlukan syarat khusus. Konsul hanya akan diganti jika anggotanya ada yang mati. Parlemen Anri terletak di bawah presiden, presiden sendiri uniknya dipilih oleh parlemen, tapi bertanggung jawab pada Konsul. Karena afiliasinya pada Acrust, Anri merupakan negara yang bersebrangan dengan Irem.
    “Semudah-mudahnya sebuah negara untuk dipahami apa yang akan terjadi adalah Anri. Jika satu konsul berkata tidak pada sesuatu, jangan berharap kau akan mendengarnya untuk kedua kalinya.” – Samuel Colosva, Penduduk Irem pemerhati Anri.

    Irem AKA
    Berdiri di puncak perkembangan Ergonic adalah Irem AKA, biasa disebut Irem. Superior diantara negara lainnya dalam pengembangan Ergonic, Irem tidak mengacuhkan Acrust sama sekali. Posisi geografis Irem berada di lingkup utara, iklim artik hingga sub-tropis. Kondisi alam yang keras menjadi salah satu pendorong Irem menjadi nomor satu dalam perkembangan Ergonic. Perkembangan maju ini hanya bisa disaingi oleh institut terfokus atau beberapa individual, tapi tidak ada lagi negara seperti Irem.
    Irem AKA memiliki presiden, perdana menteri, dan raja; berdiri sekaligus sebagai pimpinan. Posisi yang cukup memusingkan ini ternyata malah membuat sistem perpolitikan Irem menjadi lebih mudah untuk dikotak-kotakan. Presiden dipilih secara independen oleh rakyat. Perdana menteri dipilih oleh parlemen yang keanggotaannya dipilih oleh rakyat yang menjadi anggota bawah partai. Sementara raja adalah pemimpin para bangsawan yang berkonstribusi besar pada perekonomian Irem. Irem secara politik memusuhi Anri.
    “…Singkat kata, jika kau ingin tahu lebih banyak tentang Irem, maka kau bisa menjamin yang akan menjawabmu adalah perdana menteri. Kecuali kau adalah individu menarik dan berbakat, presiden yang akan melakukannya. Tapi jika raja, entah kau akan menjadi ksatria atau ternyata kau memiliki hubungan dengan bangsawan. Mudah bukan?” – Kalrey Kalrey, pembawa acara.

    Note: Basic Guide bisa bertambah.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    sejauh ini, ak liat 2 tokoh2nya utama, si curtis n kara, terlalu cepat tanggap pada situasi, sehingga (IMO) alurnya dikit bikin pusing. :hmm:
    tokoh2nya gk da rasa curiga sama si lelaki?
    ceritanya mash agk ngambang, kk. Semangat! :hero:
     
    Last edited: Jun 19, 2011
  4. setanbedul Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Dec 9, 2008
    Messages:
    4,678
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +11,657 / -0
    belum masuk cerita.. blum bs nilai cerita kamu
     
  5. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Wah, terima kasih komentarnya...
    Saya sebenarnya sudah selesai sampai chapter 4, tapi perlu saya edit-edit dulu...

    Sekarang, silahkan menikmati chapter 1...
    Terus satu kalimat yang selalu saya bilang ke semua yang baca bagian awal chapter 1,
    Bagian awalnya agak membosankan dan maksa karena semua prontagonisnya masih ngumpul :hehe:

    Sekali lagi, selamat menikmati...
    Kalau bisa komennya juga :peace:

    Ngomong-ngomong, Prontagonisnya ada 4, meskipun satu gak bakal nongol di volume 1

    Trump, Acrust, Ergonic: Word's of Tale
    Explanation/01/Chase


    Curtis memiliki rambut pirang dan bertubuh tegap. Matanya biru dengan tatapan menyejukkan, serasi dengan tampangnya yang memang bisa disejajarkan dengan tampang-tampang cover boy. Tubuhnya menunjukkan betapa seringnya dia berolahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya.

    Di sampingnya saat ini ada Kara. Berambut merah panjang, Kara tidak mempunyai gaya rambut khusus, hanya belahan rambut kirinya yang ditata sedemikian rupa hingga berbentuk setengah lingkaran keatas, tidak lupa dengan dua jepit rambut. Tidak hanya tampangnya yang manis, Kara juga mempunyai tubuh yang ideal seperti model. Mata dan tatapannya sama seperti Curtis.

    Namun meskipun mereka mempunyai fisik yang mengagumkan, mereka tetap tertegun melihat aksi laki-laki yang berada di luar kamar mereka. Laki-laki itu sekarang berdiri di atas tiang listrik, menghadap seekor monster di depannya. Mulutnya mirip elang, tapi seluruh tubuhnya mirip seekor macan kumbang, dan ada tentakel di sekujur tubuhnya.

    Laki-laki itu memegang dua bilah pedang secara terbalik, dua bilah pedang yang muncul dari dada Curtis dan Kara. Dengan senyum, laki-laki itu terjun ke bawah, monster itu segera melompat menerjang laki-laki itu. Seolah-olah tahu bahwa monster itu akan menyerangnya, laki-laki itu menurunkan kepalanya ke belakang. Setelah monster itu melewatinya, dia berputar 180o dan menginjak kuat monster tersebut ke arah tiang listrik. Laki-laki itu lalu meloncat ke depan. Dia menginjak atap sebuah rumah dengan santai, dan setelah dia yakin tubuhnya tidak goyah, laki-laki itu segera berbalik dengan seringai lebar, tepat di saat monster itu sudah menerjang di depannya. Setelah itu, aksinya berlangsung begitu cepat hingga sulit dilihat oleh mata.

    Curtis dan Kara secara bersamaan, mundur dan kembali ke posisi mereka, Curtis di tempat tidur dengan kaki terlentang sementara Kara berdiri di sampingnya, dia lalu duduk di bawah. Mereka melakukan itu semua dengan mulut menganga.

    “Yo!” Laki-laki tiba-tiba masuk kembali lewat jendela.

    “Kau Siapa!? Apa yang terjadi!? Bagaimana kau bisa membuat pedang itu secara tiba-tiba tanpa membuat Seal atau mengucapkan Rune!?” Curtis tiba-tiba memberondong orang itu dengan banyak sekali pertanyaan. Kara sebenarnya ingin mengucapkan hal yang sama tetapi mendengar Curtis mengucapkan semua yang ingin dia ucapkan, Kara lalu terdiam. Namun matanya, seperti Curtis, menatap tajam ke arah orang itu penuh tanda tanya.

    “Oi… oi… oi… Sabarlah nak, aku baru saja masuk.” Laki-laki segera duduk di kursi Curtis yang berada di dekat jendela.

    Rambutnya tidak begitu panjang, namun ada secuil kecil rambut yang diikat. Dia mengenakan kaus putih dan celana panjang berwarna coklat. Dari mukanya dia tampak berusia sekitar 31 tahun.

    “Sederhana saja, aku ini immortal.” Ujarnya sambil tersenyum.

    “Itu namamu?” Ujar Curtis dengan nada tiba-tiba waspada. Mukanya menunjukkan ketidakpercayaan, atau lebih tepatnya ketidakinginan untuk percaya. Kara juga menunjukkan raut muka yang sama.

    “Tentu saja bukan, aku immortal.” Laki-laki terus berkata dengan senyum.

    Curtis segera merangkul Kara menatap dengan tatapan yang tetap sama, “Trump…”

    “Oi… oi… oi… Apa salahnya dengan menjadi immortal?” Mukanya tampak tidak senang dengan sikap Curtis dan Kara yang semakin serius.

    “Ah, tidak.” Curtis agak terkejut, meski tampak terpaksa menarik tangannya dari Kara, “Aku jadi hanya teringat berbagai rumor tentang Trump.” Curtis tetap menatap penuh waspada. Kara melakukan hal yang sama meskipun mukanya sempat memerah.

    “Dengar, secara garis besar immortal sama seperti manusia, kami butuh makan, minum, tidur, dan sebagainya. Perbedaan mendasar adalah kami tidak akan mati karena penyakit, usia, dan kami bisa beregenerasi secara sempurna.” Ujar laki-laki dengan nada agak keras.

    “Apa yang kau lakukan di sini? Jelas bukan sesuatu yang biasa seorang immortal muncul di tengah-tengah masyarakat seperti ini.” Kali ini Kara yang berbicara.

    “Hoi… Hoi… Jangan menganggap kami ini binatang langka yang patut dilestarikan ya… Sejauh ini di Gardal saja ada sekitar 13 suku immortal dan masing-masing berjumlah 10.000 orang. Tentang kenapa aku kesini, itu karena aku dikejar-kejar anti-immortal. Binatang tadi itu dilatih khusus oleh mereka untuk secara naluriah membunuh immortal, dengan memberikan luka fatal secara cepat dan tanpa henti. Menyusahkan.”

    “Ha!!? Kau ingin membahayakan Kara dengan membawanya ke dalam hal yang berbahaya!?” Curtis segera menajamkan tatapannya. Kara disampingnya berusaha menahan Curtis dengan tangan kirinya, tapi tatapannya sama tajamnya dengan Curtis.

    “Huh? Aku yakin ayah – siapa yang bernama Curtis? – mengatakan kalian bisa menjadi inisiatep secara sukarela…” Laki-laki itu lalu mengeluarkan secarik kertas yang lalu diberikan kepada Curtis. Curtis membacanya dengan seksama dan tatapan tidak percaya. Namun setelah membacanya hingga akhir, dia menurunkan kewaspadaannya dan menghela sambil menunduk, “Dasar ayah tidak guna…” Kara hanya tertawa kecil saat membacanya.

    Hubungan Curtis dan ayahnya mungkin tidak begitu baik, namun itu hanya karena dia anak laki-laki dari ayahnya yang juga laki-laki. Surat itu secara langsung menjadi semacam jaminan keselamatan bagi Curtis dan Kara.

    “Ngomong-ngomong, namaku Gilroy Gulievar. Maaf terlambat memperkenalkan diri.” Laki-laki bernama Gilroy itu akhirnya bisa duduk dengan santai setelah keadaan dingin tadi cair.

    “Namaku Curtis dan disampingku ini Kara. Kalau urusanmu sudah selesai mungkin kau bisa pergi karena kami harus ke sekolah.” Ujar Curtis tanpa banyak basa-basi.

    “Kalian masih ingin ke sekolah dengan itu?” Gilroy menunjuk ke tangan mereka. Curtis melihat ke tangan kirinya dan terkejut saat melihat ada semacam gelang besar yang mengikat tangan kirinya dan tangan kanan Kara. Dia dan Kara berteriak keras dan bersamaan berkata, “Apa ini!!!!!!!!!”

    “Itu gelang perkawinan. Selamat!!!” Gilroy berkata ringan.

    “HEEEE!!!!!!!!!!!!!!!!??????????????” Teriak Kara dan Curtis bersamaan.

    “Ke… ke… ke… kenapa aku harus menikah dengan orang tidak berguna ini…!!?” Kara bertanya dengan terbata-bata.

    “Benar!!! Kenapa aku harus kawin dengan wanita kasar seperti dia…!!?” Curtis berbicara lebih lancar, tetapi ekspresinya tidak berbeda dengan Kara.

    “Lho, bukannya kalian memang akan menikah?” Gilroy bertanya keheranan.

    “Hah?” Curtis dan Kara memiringkan kepala mereka mendengar perkataan Gilroy.

    “Ada di kertas itu kok, tapi tersembunyi karena bisa membahayakan orang di maskud. Coba baca huruf kapital setiap kata ketiga tiap kalimat.”

    Curtis dan Kara membaca kertasnya lagi. CURTIS DAN KARA SUDAH AKU RESTUI. Kalimat yang muncul ini langsung membuat Curtis menjatuhkan kepalanya lagi sementara Kara hanya menutup mulutnya.

    “Aku akan membunuh ayahku yang satu ini. Pasti akan kubunuh…” Curtis berkata dengan seringai dan aura gelap.

    “Bukannya menyenangkan ayahmu merestui hubungan yang kalian jalani?”

    “Diam…”

    “Ngomong-ngomong. Sebenarnya ada apa semua ini. Kenapa ayah Curtis bisa memberimu kertas ini? Pedang apa yang kau genggam itu? Dan kenapa kau ada disini?” Tanya Kara setelah berhasil menenangkan dirinya.

    “Pelan-pelan. Mari kita mulai dengan yang paling sederhana. Aku immortal, sebagaimana sudah kita bicarakan sebelumnya. Kalian juga tahu bahwa aku dikejar-kejar oleh anti-immortal yang anjing itu. Aku tidak bermaksud mempelesetkan kata-katanya.” Gilroy mengarahkan perkataannya ke binatang anti-immortal yang memang menyerupai anjing.

    “Setiap immortal mempunyai kekuatan untuk menghadapi musuh mereka. Tetapi sialnya bagiku, disekitar sini tidak ada inisiatep.” Gilroy terdiam sebentar untuk menarik nafas.

    “Inisiatep adalah istilah untuk orang-orang yang menjalani kontrak dengan immortal yang berasal dari sukuku. Inisiatep memberi immortal senjata setelah menjalani kontrak.”

    “Tentang senjata itu, apa senjata itu membahayakan kami selaku inisiatep? Dan apa kontrak yang kau maksud?” Curtis memotong Gilroy.

    “Santai. Aku jelaskan soal kontrak itu. Pada dasarnya, inisiatep tidak pernah satu orang karena kontrak yang kumaksud adalah perkawinan dalam adat sukuku. Dengan kata lain, orang menjadi inisiatep saat seorang immortal dari sukuku menjadi penghulu untuk pernikahannya.”

    “Tentu saja ada sedikit perbedaan antara pernikahan biasa dengan pernikahan yang dijadikan kontrak. Pertama, kontrak tidak bisa dibatalkan pihak luar. Kedua saat kontrak dijalankan, yang bisa dipikirkan oleh inisiatep hanyalah perasaan mereka yang sebenarnya. Jadi, kontrak tidak bisa dijalankan secara terpaksa.” Kara dan Curtis sebenarnya tidak begitu mengerti, mereka tidak begitu ingat apa yang Gilroy lakukan dan apa yang mereka katakan.

    Mereka hanya ingat Gilroy muncul di jendela. Lalu tiba-tiba pandangan mereka gelap dan saat membuka mata, yang mereka lihat adalah Gilroy dengan dua bilah pedang. Mereka hanya ingat secara samar saat Gilroy menarik pedang itu dari dada mereka, tapi ingatan mereka cukup buram tentang peristiwa itu sendiri.

    “Kontrak itu juga yang membuat kalian tidak begitu ingat.” Lanjutnya tiba-tiba, seolah-olah bisa membaca pikiran Curtis dan Kara yang kebingungan.

    “Sekarang akan kujelaskan tentang senjatanya. Berbeda dengan kebanyakan pendapat, pemikiran bahwa senjata ini adalah separuh jiwa inisiatep adalah salah besar.”

    “Anggap senjata ini sebagai laporan kesehatan. Meskipun laporan ini terbakar, tapi kalian tidak akan terkena efek sampingnya ‘kan? Sementara jika kalia terkena flu maka hasil laporan kalian akan menjadi buruk. Senjata itu juga sama. Kalian tidak perlu khawatir tentang diri kalian jika senjata itu rusak, karena senjata kalian menggambarkan kondisi tubuh kalian bukan sebaliknya.”

    “Mudahnya, jika pedang ini rusak tubuh kalian tidak akan mengalami efek samping. Tetapi jika tubuh kalian terluka, efeknya akan terlihat di pedang ini.”

    “Terakhir, senjata ini akan hilang jika aku mengingkan dia hilang. Tapi, aku harus mengambilnya lagi dari dalam kalian jika aku memerlukannya. Itu juga yang membuat kondisi immortal terdesak oleh anti-immortal seperti tadi mungkin untuk terjadi.”

    “Alasan aku membuat senjata hilang sederhana saja, jika aku ingin berinteraksi dengan orang lain tidak mungkin aku mengacung-acungkan pedang ‘kan? Apalagi pedang ini tidak disertai sarungnya. Ngomong-ngomong setiap Inisiatep memberikan senjata yang berbeda-beda.”

    “Jadi kau sedang berjalan santai di sebuah hari yang cerah ketika secara tidak sadar kau menginjak ekor anjing imut yang langsung marah dan berubah menjadi Cerberus dengan hanya satu kepala dan mengejarmu yang lemah dan tak berdaya tapi mampu mengeluarkan aksi akrobatik yang tidak mungkin manusia lakukan. Setelah itu kau masuk seseorang tanpa permisi dan berkata ‘yo’ lalu seenaknya mengatakan ‘kalian resmi menikah, silahkan membuat anak’ dan kembali bertarung. Aku sangat merasa kasihan pada Cerberus.” Kara berkata panjang tanpa menghentikan kalimatnya secara signifikan.

    “Ringkasan yang mengandung banyak kesalahan, fiksi, dan sangat sarkastik tapi mau tidak mau aku harus mengatakan ‘Benar’.” Gilroy berkata dengan tidak nyaman.

    “Lalu kenapa kau bisa tahu ayahku?”

    “Dua kata: Aku temannya.”

    “Ha!?” Ujar Curtis dan Kara bersamaan.

    “Kenapa itu begitu mengejutkan?” Gilroy menarik tubuhnya karena kaget akan kekagetan Curtis dan Kara, bagaimanapun juga sejauh ini mereka begitu tenang dan kalem dalam menghadapi situasi di yang mereka. Terlalu tenang malah, hingga membuat Gilroy cukup curiga.

    “Tidak, hanya saja…” Curtis tidak bisa melanjutkannya, hanya saja baginya tidak aneh untuk kaget ketika seseorang aneh yang masuk ke kamarnya dengan aneh dan bersikap aneh serta mengucapkan hal-hal aneh untuk menjadi teman ayahnya yang menurutnya sudah cukup aneh.

    “Bukannya itu penggunaan kata ‘aneh’ yang terlalu banyak?”

    “Ha?”

    “Aku bisa membaca ekspresimu mukamu dengan sangat jelas, kau tahu itu?”

    Mendengar kata-kata itu, Curtis tersentak sebentar. Dia lalu menutup mukanya, menarik nafasnya dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan cukup kuat.

    “Aku rasa kau belum menjelaskan dengan lengkap siapa kau dan apa yang terjadi disini.” Curtis segera berbicara dengan lebih tenang.

    “Maksudmu?”

    “Apa sebenarnya immortal? Kami hanya tahu kalian abadi, tapi kami tidak tahu lebih dalam selain itu. Pasti ada sebab tertentu mengapa kalian dibenci hingga muncul ‘anti-immortal’.”

    “Observasi yang bagus. Immortal tidak hanya memiliki hidup yang tidak bisa diakhiri dengan usia, penyakit, dan luka biasa. Faktanya, ada setidaknya 13 jenis immortal, setiap suku berbeda tipe. Beberapa bahkan menua, walaupun tetap tidak akan mati. Akhirnya mereka bisa disebut kakek-kakek super, dalam bahasa Irem, badass grandpa.”

    Melihat Curtis dan Kara tidak memberikan reaksi, Gilroy melanjutkan, “Alasan terbesar anti-immortal memburu immortal sebenarnya sama dengan alasan kami bisa mengalahkan mereka, dengan kata lain kontrak yang baru saja kalian jalani.” Gilroy menunjukkan pedangnya saat mengatakan hal tersebut, “Ironi bukan? Mereka membentuk anti-immortal karena kemampuan kami dan untuk mencegah kami menggunakan kemampuan itu, hanya untuk dikalahkan oleh kekuatan itu.”

    Tampak Gilroy berusaha menghirup udara yang sejuk. Raut mukanya seolah-olah menunjukkan dia teringat banyak peristiwa yang tidak begitu nyaman untuk diingat.

    “Ngomong-ngomong muka kalian mirip ya?” Gilroy tiba-tiba berkomentar. Kaget karena tidak menduga Gilroy akan berkata itu, baik Curtis maupun Kara hanya menggaruk kepala mereka sambil menghadap arah yang berlawanan.

    “Ho… Meskipun sudah era modern kalian tipe orang yang percaya kata pepatah, ‘orang yang mukanya mirip itu berjodoh’ ya? Hm…” Gilroy tersenyum simpul dan mengusap-usap dagunya.

    “Ka… Kata siapa!!!” Curtis dan Kara berteriak bersamaan sementara Gilroy hanya tersenyum melihat ekspresi mereka.

    “Selagi kita masih membicarakan itu…” Kara terlihat jelas mengumpulkan semua energi dan keberaniannya, “Apa kami benar-benar sudah e… Me… er… Me… ehm… Men…”

    “Menikah?” Gilroy berkata dengan tidak sabar. Kara berusaha mengelak tapi tidak bisa, bahkan Curtis seolah terlempar mendengarnya.

    “Kalau kalian menganggap serius adat kami, ya kalian sudah menikah. Tapi tentu saja tidak sesuai hukum negara. Tergantung kalian juga.” Gilroy berdiri dan mengedipkan sebelah matanya ke arah mereka, dia lalu malangkah menuju pintu.

    “Tunggu, bagaimana dengan kami!?” Curtis berteriak ke arah Gilroy sambil menunjukkan gelang di tangannya. Gelang itu tidak bisa dilepas meskipun dari tadi Curtis dan Kara berusaha melepasnya.

    “Gelang itu akan hilang dalam beberapa jam. Dan tenang, selama kalian tidak berbicara apapun tentang bertemu dengan immortal, anti-immortal tidak akan memburu kalian. Dan jika sesuatu terjadi pada kalian, aku yang akan secara pribadi menyelamatkan kalian. Ah, aku ingin pakai pintu depan ya, biar formal. Permisi.” Gilroy berjalan menuruni tangga.

    “Kami tidak perlu bantuanmu. Lagipula pintu di bawah dikunci!” Ujar Curtis dengan volume yang makin keras seiring dengan semakin jauh Gilroy menuruni tangga. Gilroy hanya melambaikan tangannya.

    Terdengar pintu terbuka dan tertutup. Curtis dan Kara tidak tahu bagaiamana Gilroy membukanya – mungkin sebenarnya dia adalah pencuri ulung yang bisa membuka berbagai kunci atau dia membuka paksa pintu atau mungkin ini hanya sebuah ilusi – namun Curtis dan Kara tahu bahwa mereka hanya bisa menunggu di kamar saat ini. Untuk menenangkan diri dan untuk mensyukuri bahwa mereka masih selamat.

    Sementara itu Gilroy menatap pedang kembar putih yang diambilnya dari dada Curtis dan Kara. “Mirip, ya…” Gilroy hanya tersenyum dan menghela nafas sambil mengambil langkah, “Tidak… Kembar, ya? Dasar…”

    Beberapa saat kemudian laki-laki itu sudah menghilang, meninggalkan rumah, bahkan perumahan itu. Semuanya kembali ke dalam kesunyian yang damai.

    *****​

    Tidak banyak yang bisa dilakukan baik Curtis maupun Kara setelah itu. Hingga tengah hari, gelang itu belum hilang. Otomatis Curtis tidak mandi atau mengganti baju. Mereka juga tidak beranjak dari tempat mereka saat ini. Setelah beberapa saat terdiam, Curtis dan Kara mulai berbincang-bincang.

    Banyak yang mereka bicarakan, namun utamanya adalah informasi mengenai immortal yang baru mereka ketahui. Meskipun di Gardal tidak ada larangan hidup bagi trump, tapi informasi mengenai anti-immortal memberi mereka pencerahan bahwa aksi-aksi ekstrim benar-benar terjadi. Mereka memastikan satu sama lain bahwa mereka tidak akan membicarakan ini secara terang-terangan kepada orang lain.

    Setelah membicarakan mengenai immortal dan anti-immortal, mereka lalu membahas mengenai gelang yang ada di tangan mereka. Lalu bagaimana mereka menanggapi mengenai pernikahan yang mereka jalani. Mereka lalu sepakat untuk tidak menanggapinya dan segera mengakhiri percakapan yang membuat muka mereka memerah itu.

    Mereka melanjutkan dengan membicarakan mengenai pemasukan. Kara menjamin Curtis bahwa uang yang dikirimkan oleh ayah Curtis sudah cukup bagi mereka berdua. Meskipun begitu, baik Curtis dan Kara sebenarnya masing-masing bekerja, baik dalam pekerjaan nyata sehari-hari seperti menjual koran, maupun pekerjaan lain yang mereka rahasiakan. Mereka tidak pernah jujur berkata bahwa mereka bekerja kepada satu sama lain.

    Setelah beberapa saat, mereka kembali tidur, jarang ada kesempatan seperti ini sehingga akan terasa sia-sia jika tidak digunakan, tentu saja Kara tidur di atas kasur di samping Curtis. Namun, sebagaimana Curtis dan Kara, mereka mempunyai jarak ketika tidur dan tidak berani mendekat. Setelah beberapa saat, mereka tertidur. Mereka meninggalkan jendela yang terbuka. Namun meskipun terbuka, tidak ada lagi orang lain yang masuk, setelah nanti Curtis dan Kara terbangun, keseharian mereka akan kembali berjalan normal, meninggalkan mimpi sebagai fantasi terkahir mereka, hari ini.

    *****​

    Saat ini sudah beberapa saat sejak mereka mulai terlelap, sekarang mereka sudah terbangun dan mulai memakan bekal siang yang dibuat oleh Kara. Tidak ada pembicaraan serius yang dilakukan, hanya beberapa keluhan mengenai kenyataan mereka tidak bisa menghadiri hari pertama sekolah. Satu-satunya tema yang mendekati serius adalah fakta tentang ayah Curtis yang berteman dengan immortal, namun tema ini tidak pernah benar-benar dibicarakan secara serius.

    Tepat setelah memakan setengah bekal yang dibuat oleh Kara, Curtis berkomentar mengenai makanan itu. Setelah itu mereka mulai membicarakan pembicaraan yang lebih beragam, namun tidak ada satupun yang bisa dibilang serius. Setelah selesai makan, Curtis dan Kara segera keluar dari kamar, gelang mereka sudah hilang sehingga mereka bisa bergerak bebas.

    “Sudah dulu ya. Jangan lupa mandi. Kau bau.” Kara mengucapkan tiga kaliamt itu dan meninggalkan Curtis yang membalas dengan, “Ya. Hati-hati.”

    Lalu di malamnya, “Curtis!” Teriak Kara dari telpon, “Besok kita bicara apa kalau ditanya orang lain!?”

    “Memangnya kau tidak bisa memikirkan alasannya sendiri? Dan jangan teriak-teriak, ini sudah malam.”

    “Ah maaf. Sebenarnya bisa, tapi ‘kan kita sama-sama tidak masuk…”

    “Bilang saja sakit. Lagipula kelas kita ‘kan berbeda. Kenapa harus sama?”

    “Oh iya. Ya sudah kalau begitu. Selamat Tidur!”

    “Ya, selamat tidur.”

    Curtis dan Kara mengakhiri perbincangan singkat mereka. Mereka lalu melanjutkan urusan mereka masing-masing dan mulai berharap esok segera datang.

    *****​

    “Kara, semalam kamu tidur jam berapa?” Tanya Curtis melihat Kara yang menguap.

    “Setelah aku selesai menelponmu.”

    “Yakin?”

    “Kau sendiri bagaimana? Kapan kau tidur?” Kara menatap Curtis tajam sambil mengusap matanya yang masih mengantuk.

    “Biasa saja. Hei, diantara kita ‘kan kau yang mengantuk. Kenapa kau harus mempermasalahkan waktu tidurku?” Curtis menjawab dengan tenang.

    “Yah, karena kau tidak mengantuk sepertiku.”

    “Cepat bangun hoi, bicaramu ngelantur.”

    Curtis dan Kara lalu tiba di halaman depan sekolah, lapangan relatif masih sepi. Walaupun beberapa kumpulan anak terlihat, namun jumlahnya jarang.

    “Ah, aku duluan ya, Curtis.” Kara berlari ke depan setelah melihat gedung sekolah.

    “Kara! Jangan lupakan ini!” Curtis melempar sebuah kotak, Kara berbalik dan segera menangkapnya.

    “Terima kasih!” Kara tersenyum lebar menerima kotak itu. Kotak makan siang.

    “Dasar.” Curtis menghela lalu tersenyum. Kara berlari ke arah kiri bangunan sekolah, disanalah lokasi pengajaran Acrust. Tentu saja Curtis yang mengambil pengajaran Ergonic berjalan ke arah sebaliknya, kanan.

    Gedung Acrust dan Ergonic berada di balik gedung kelas satu. Gedung dua tingkat yang sangat panjang, berbeda dengan gedung Acrust yang berupa kastil atau gedung Ergonic yang mempunyai bentuk oktagon raksasa.

    Curtis bisa melihat gedung Ergonic, dan tentu saja Acrust saat dia melempar kotak ke arah Kara. Kedua gedung itu sangat massif, setara dengan 18 tingkat mungkin, hingga hanya orang buta saja yang tidak bisa melihatnya sama sekali.

    Banyak yang menduga ada fasilitas-fasilitas tersembunyi yang tidak berhubungan dengan pengajaran dan pelajaran disana, namun Curtis berpikir serahasia-rahasianya fasilitas yang ada, semuanya pasti memiliki fungsi bagi pengajaran dan pelajaran.

    Hanya saja, dia tentu tidak bisa menyingkirkan sepenuhnya kepentingan politik yang ada, lagipula ini Gardal, tidak ada satupun yang tidak bisa dipolitisasi.

    “Yo, Curtis!” Terdengar suara dari arah belakang, lalu tepukan di punggung Curtis.

    “Yo, apa kabar?” Tanya orang itu. Namanya adalah Bayu Agustinus. Teman sekelas Curtis di tahun pertama. Tubuhnya tidak begitu atletis, bahkan cenderung sangat kurus. Rambutnya hitam rapih dan dia memiliki tatapan sayu. Bukan tipe orang yang tampak bisa diandalkan, namun hatinya terlalu besar untuk membiarkan orang kesusahan sendirian.

    “Baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

    “Kenapa kau menjawab dengan nada belajar di SD seperti itu?”

    “Tidak kenapa-kenapa, hanya kau terlalu bersemangat. Ada apa? Kau dapat pacar baru?”

    “Pacar baru? Kalau aku punya pacar tentu akan menyenangkan.”

    “Lalu bagaimana dengan Sherry? Cecilia? Cinthya?”

    “Kau tidak tahu? Mereka sudah mendapat pacar kemarin ketika liburan. Ah, kau tidak masuk ya kemarin? Mereka terlihat cukup mencolok lho…” Bayu tersenyum, dia terlihat tersenyum begitu tulus tanpa ada rasa kehilangan.

    Curtis terus menatap Bayu. Orang ini sudah sering menghadapi keadaan seperti ini. Maria, Maya, Siti, Sri, dan masih banyak lagi. Namun entah mengapa dia tidak pernah bersama mereka untuk waktu yang lama.

    Curtis melihat sendiri bagaimana mereka datang, bagaimana mereka menatap dengan mata yang tertarik, namun tidak pernah ada yang bersama dengan Bayu untuk waktu yang lama. Tidak terkecuali sekarang, mungkin.

    Curtis lalu melihat Bayu sebagai sebuah ironi, dia yang menginginkan cinta dihampiri oleh cinta namun sang pemimpi lelah bermimpi hingga dia tidak sadar bahwa mimpinya sudah menjadi kenyataan.

    “Err… Kenapa aku tiba-tiba jadi puitis?” Sesal Curtis saat sadar akan apa yang sudah dia pikirkan.

    “Hm?” Bayu tampak tidak mendengarkan perkataan Curtis yang segera meminta Bayu untuk tidak menghiraukan perkataannya tadi.

    “Ah, kau tahu kelasmu dimana?” Tanya Bayu ketika mereka melewati papan pengumuman.

    “Hm? Tidak sama denganmu?”

    “Kalau sama aku akan bertanya, ‘kenapa kemarin kau tidak masuk ‘kan?’”

    “Ah! Kau benar. Tapi kenapa kau langsung mengatakan, ‘kau tidak masuk kemarin’?”

    “Hanya menebak.”

    Curtis lalu melihat ke arah papan pengumuman. Papan pengumuman yang dipasang berupa layar hitam yang bisa diisi oleh siswa dengan data diri mereka. Data ini lalu akan digunakan untuk melihat kelas yang dimasuki.

    Curtis membayangkan fitur memasukkan data ini hanya digunakan setelah hari pertama karena tidak mungkin setiap orang harus mengantre mengisi data untuk melihat kelas mereka setiap tahun.

    “Ah, kelas 1. Kamu kelas berapa?”

    “Kelas 5. Beda jauh sekali ya.” Bayu tertawa saat mengucapkannya, namun terdengar kering.

    “Beda apanya?”

    “Nanti juga kau akan tahu. Ayo masuk kelas, sudah hampir waktunya.”

    “Duluan saja, masih ada yang ingin aku lihat.” Curtis menatap ke arah Bayu sebentar lalu kembali melihat ke arah papan pengumuman.

    “Begitu?” Bayu lalu berjalan pergi. Setelah cukup beberapa jauh, dua perempuan menghampiri dirinya dan menyapanya. Bayu membalas dan mereka bertiga pergi ke arah kelas.

    Curtis sementara itu membuka sebuah nama dan hanya tersenyum melihatnya, walaupun sebenarnya ekspresi dalam hatinya lebih dari itu.

    *****​

    Kara pergi menuju elevator. Kelasnya berada di lantai yang tidak bisa dijangkau siswa normal, definisi normal adalah siswa yang berolahraga sebulan sekali, mungkin seminggu sekali jika dia rajin, karena memfokuskan dirinya pada belajar. Kara sendiri sebenarnya bisa naik tanpa elevator, tapi butuh waktu setidaknya setengah jam untuk sampai kesana sementara waktunya hanya tinggal 20 menit.

    Meski dikatakan elevator, tapi sebenarnya lebih menyerupai mesin yang digunakan atlet terjun bebas untuk latihan, ketika berdiri, ada energi yang mengangkat penumpang ke lantai atas. Kata “mengangkat” juga tidak tepat, lebih tepat jika diartikan menggenggam lalu menaruh di tempat lain, karena tidak ada satupun kondisi, entah itu baju ataupun rok, yang berubah seperti ketika ada angin yang menerpa.

    Kurang dari tiga menit, Kara sudah sampai di lantai lima dan mulai berjalan ke arah kelas. Suasana lorong sudah sepi, sangat ironis karena Kara datang ketika sekolah masih sepi. Namun dia terlalu asyik melihat informasi yang dia cari di papan pengumuman sehingga banyak siswa berlalu lalang tanpa dia sapa atau bahkan perhatikan.

    Dia lalu pergi menuju tempat duduk. Meskipun kelasnya ramai, tapi cukup mudah untuk mencari tempat duduk karena tinggal satu tempat duduk yang tersisa, yang kebetulan berada tepat di samping pintu. Setelah duduk, Kara mulai menghitung jumlah siswa. Dia melakukannya karena merasa tidak akan ada yang dia kenal di kelas itu, sehingga setidaknya tahu jumlah temannya bisa menunjukkan bahwa dia bisa bersosialisasi dengan temannya, sesuatu yang selalu dikhawatirkan Curtis darinya di awal mulai pembelajaran.

    “Kara…” Tiba-tiba terdengar suara halus dari samping Kara, membuat Kara kaget karena dia baru saja menyelesaikan perhitungannya dan berpikir tidak ada satupun yang dia kenal.

    Kara menoleh ke belakang dan melihat sosok yang anggun itu. Rambutnya pirang sebahu lebih sedikit. Matanya biru jernih dan senyumnya tampak sangat indah. Jika berdiri, tingginya setinggi Kara, 180 cm.

    Meskipun memakai seragam yang sama, namun aura yang dipancarkan orang ini dan Kara terasa jauh berbeda. “Oh, kau Sebastian.” Ujar Kara santai.

    “Ayolah, kita sudah kelas dua, kenapa kau tidak memanggilku dengan Silva?”

    Namanya Silva Sebastian. Berbeda dengan banyak negara yang terbagi antara nama seseorang dan nama keluarga, Gardal memakai sepenuhnya nama seseorang, membuat nama Silva Sebastian menjadi cukup rancu antara feminim dan maskulin.

    “He…” Kara berkomentar dengan malas.

    “Itu bukan tindakan yang sopan kau tahu.” Seseorang berdiri dari kursinya yang berada di belakang Silva. Rambutnya hitam pendek namun lebat dan disisir belah kanan. Mukanya tidak tampak seram, namun tatapannya tampak mampu membunuh kapan saja. Dibandingkan Kara dan Silva, tingginya hanya 165 cm.

    “Begitu? Mmmm…” Kara berusaha mengingat sesuatau, “Ah, lupakan. Namamu juga aneh.” Kara tidak menambahkan sedikitpun semangat ke dalam nada suaranya.

    “Kau.” Orang itu hanya menajamkan matanya tanpa mengubah posisi tubuhnya.

    Namanya Hans Celestial. Dia adalah pelayan pribadi Silva dan masuk ke sekolah yang sama dengan tujuan agar bisa terus menjaga dan melayaninya.

    “Mmm…” Kara berusaha mengingat sesuatu yang lain.

    “Ada apa?” Silva keheranan melihat Kara, dia menggunakan kipas untuk menutup mulutnya.

    “Pekerjaanmu itu dalam Irem disebut apa?” Kara bertanya tapi ditujukan ke arah dirinya sendiri.

    “Butler.” Hans menjawab dengan cepat.

    “Ah, kau benar!”

    “Lalu?”

    “Tidak apa-apa.”

    Hans terdiam, namun jelas dia merasa kesal dengan sikap Kara yang seolah tak acuh.

    “Kau tidak berubah ya, Kara.” Silva berkomentar dengan tetap menutup mulutnya.

    “Tentu saja, kau pikir satu bulan liburan bisa merubah orang seberapa drastis?”

    “Cukup drastis aku rasa.”

    “Yak, kembali ke tempat duduk kalian. Kelas dimulai.” Seseorang yang hampir dapat dipastikan guru datang ke dalam kelas dan semua orang menempati posisi mereka masing-masing.

    *****​

    Curtis mengingat kembali tentang kejadian yang dia alami tadi.

    “Ah, Curtis!” Terdengar suara seorang siswi saat Curtis masuk ke dalam kelas. Tampaknya orang-orang di dalamnya sedang membicarakan sesuatu. Mungkin memilih ketua kelas pikir Curtis.

    “Hm? Oh, Hana.” Curtis menjawab dengan tidak semangat, “Ada apa ini?”

    “Kami sedang menentukan tempat duduk. Seperti yang bisa kau lihat. Pemandangan di samping jendela sangat luar biasa. Sementara kita hanya punya sedikit kursi di samping jendela. Walaupun tidak semua bersaing, tapi ada cukup banyak yang memperebutkan kursi-kursi itu.” Siswi itu terus berbicara dengan semangat dan senyum.

    Namanya Hana Sovana. Rambut hitamnya dikuncir satu, dan dia memiliki dada yang cukup besar kalau boleh dibilang. Dia jauh lebih pendek dari Curtis, sekitar 155 cm. Disampingnya ada seorang siswi lain, Johanna Valentine yang memilik rambut perak, hanya itu saja mungkin penampilan khas darinya. Bahkan tinggi saja tidak jauh berbeda dari Hana, dengan Hana lebih tinggi.

    “He… Kenapa tidak minta kepada ketua kelas saja? Ngomong-ngomong siapa ketua kelas?”

    “Ah, kau kemarin tidak masuk ya? Ketua kelas!”

    “Hm?” Seorang siswi berkacamata membalikkan badannya, “Ada apa?”

    “Nah Curtis, itu ketua kelas kita, Puti Piranti.”

    “Ah, selamat pagi.”

    “Yah, selamat pagi.” Puti kembali berbalik badan, sementara Curtis menatap dengan perasaan aneh mengenai mengapa orang yang tempak apatis ini bisa menjadi ketua kelas.

    “Jadi bagaimana kalian mau melakukannya? Mungkin kita ke permasalahan yang lebih mendasar. Siapa saja yang butuh kursi di pinggir jendela?”

    Serentak banyak tangan mengangkat tinggi. Curtis menghitung dan memperkirakan setidaknya 20 orang ingin berada di pinggir jendela. Dia lalu melihat ke arah jendela, “Cih… Hanya ada enam kursi.”

    Zrrttt….

    Terdengar suara pintu dibuka, “Selamat Pagi.”

    Seorang siswa yang tegap tinggi, 183 cm, masuk dengan setelan seragam yang berantakan dan rambut pirang acak-acakan. Mungkin jika hanya itu pelanggarannya tidak akan menjadi masalah, namun potongan rambut yang terlihat acak-acakan itu sebenarnya memakai gel yang berlebihan dan rambut pirangnya tidak alami.

    “Hm? Ada apa?” Dia kaget melihat teman-temannya yang tertegun menatapnya.

    Tidak ada yang membalas.

    Dia lalu memegang rambutnya dan segera tersadar. “Cih! Curtis, tolong taruh tempat biasa!” Setelah berteriak dan melempar tasnya pada Curtis, dia segera berlari keluar.

    Curtis hanya menghela nafas. Siswa yang berlari tadi adalah Bryan Goldeck, temannya yang berhasil meraih peringkat dua di kelas satu. Peringkat satu diambil oleh Curtis. Curtis lalu berjalan menuju kursi paling depan diantara barisan pinggir jendela. Dia lalu duduk dan meletakkan tas Bryan di kursi di belakangnya.

    “Apa?” Ujar Curtis melihat siswa-siswi lain, yang baru sadar dari ketergunan mereka, membalikkan badan mereka, dan memandangnya tajam, “Kalau kalian ingin, ayo kesini dan ambil dariku.”

    Setelah diam sesaat, seorang siswa menghela nafas dengan keras dan berdiri dari tempat duduk. Dengan langkah pasti dia berjalan menuju meja tempat tas Bryan berada. Dia mengangkat tas itu dan menaruhnya di meja dibelakangnya. Setelah itu, dia menempati kursi yang seharusnya ditujukan untuk Bryan. “Kau keberatan?” Tanyanya sambil menoleh ke arah Curtis.

    Setelah saling menatap, Curtis memejamkan matanya dan tersenyum, “Tentu saja tidak.” Setelah itu muncul banyak teriakan.

    Curtis memikirkan apa yang terjadi pada Bryan, penampilannya tidak pernah seperti itu. Apa yang bisa merubah orang dengan drastis dalam satu liburan? Tapi mungkin perubahannya terjadi lebih singkat karena setiap orang melihatnya dan tertegun. Itu berarti, kemarin ketika dia tidak masuk, penampilannya tidak seperti yang ditunjukannya hari ini. Apa yang sebenarnya terjadi?

    “Oi Curtis.” Suara yang tidak asing lagi, menyapanya, “Rasanya aku memintamu agar tasku ditaruh di tempat biasa.”

    “Mau bagaimana lagi?” Curtis hanya bisa tersenyum. Bryan sudah kembali dengan penampilannya yang biasa, rapi dari ujung rambut hitamnya hingga ujung kaki, lengkap dengan kacamata, “Apa yang terjadi?” Tanya Curtis.

    “Aku hanya bermimpi buruk semalam.” Bryan menghela nafas dan tersenyum. Curtis tahu ada yang salah.

    “Em… Ah, Curtis Hang! Apa kamu mendengarkan saya?” Suara perempuan itu membangunkan Curtis dari lamunan.

    “Tentu saja… Bu…” Curtis segan memanggilnya dengan kata ‘bu’ karena bagaimanapun juga, yang terlihat di depannya tampak seperti seorang perempuan berusia 17 tahun. Terlihat sangat muda, suara penuh semangat, lengkap dengan rambut pirang berkuncir dua.

    Dia harus meyakinkan dirinya berulang kali, dengan berkata pada dirinya sendiri dan menanyakan langsung beberapa pertanyaan kepada gurunya, baru dia yakin bahwa dia adalah gurunya, itu pun masih dengan keseganan.

    “Curtis… Beri hormat sedikit pada ibu. Bagaimanapun juga saya lebih tua…” Suaranya mendayu membuat Curtis makin sulit menerima dia gurunya.

    “Agak susah juga dengan penampilan seperti itu.” Ketika Curtis mengucapkannya, dia bisa merasakan tatapan menusuk ke arahnya dari belakang. Tatapan yang familiar, tapi tetap saja tidak nyaman karena bukan dia yang melakukan tatapan itu.

    “Ayolah Curtis, saya sudah 27 tahun... Sudah tidak pantas untuk dibilang muda…” Perasaan Curtis semakin tidak enak membuatnya berhenti bertanya kepada gurunya. Sementara itu, Curtis menyadari bahwa gurunya merasakan tatapan yang mirip. Curtis menyimpulkan tatapan terhadap gurunya disebabkan karena ucapan ‘27 tahun sudah tua’ tidak sesuai dengan semangat ‘usia XX masih muda!’ yang ada disekitarnya.

    Curtis menghela dan kelas dilanjutkan.

    *****​

    “Hm, membentuk kelompok dengan jumlah minimal enam orang. Kelompok bisa terdiri dari semua laki-laki, semua perempuan, atau campuran. Setelah selesai membentuk kelompok, tulis di kertas selembar dan kumpulkan. Nama kelompok adalah urutan pengumpulan, bukan urutan absen. Kelompok pertama yang berhasil mengumpulkan akan mendapat bonus nilai. Kelompok ini akan bertahan hingga kelas tiga, anggota tidak akan diganti meskipun ada yang dikeluarkan. Nilai tiap siswa ditentukan dengan jumlah nilai anggota kelompok dibagi enam, peraturan ini juga berlaku untuk kelompok dengan kurang dari enam anggota.”

    Kara membaca lembaran kertas yang dibagikan oleh gurunya. Setelah kelas terbagi menjadi Acrust dan Ergonic, setiap siswa di kelas wajib menjadi bagian dari suatu tim.

    “Hey Kara, bagaimana kalau kita satu tim?” Kara melihat ke arah orang yang memanggilnya, Silva Sebastian.

    “Hm… Boleh saja. Kau sudah punya calon lain? Aku rasa Hans sudah pasti masuk ya?”

    “Belum pasti sih, tapi aku rasa aku bisa menarik Yamada.”

    “Yamada? Oh, perempuan kecil itu?”

    “Ada yang memanggilku?” Sosok kecil dengan berkuncir dua tiba-tiba muncul.

    Sulit untuk mengira dia anak SMA. Tapi sepertinya dunia memang luas. Selain itu, sepertinya dia memang berusaha menampilkan seolah-olah dia adalah anak kecil, sifatnya dan rambut merah mudanya yang berkuncir dua contohnya. Yamada Nadeshiko. Kara tidak mengenalnya tapi sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Silva karena beberapa kali mendatangi Silva untuk bertanya pelajaran.

    “Kau datang tepat waktu Yamada!”

    “Apa? Kalian mau memberiku permen?”

    “Maukah kau menjadi anggota kelompok kami?” Silva bertanya tanpa menghiraukan reaksi Yamada sebelumnya.

    “Eh… Er… Tapi, aku masih belum tahu apa-apa…” Yamada bereaksi kaget dan menjawab dengan malu-malu.

    “Tenang, tidak akan sakit kok.”

    “Yakin?”

    “Tentu saja.”

    “Sungguh?”

    “Hm…” Silva hanya mengangguk untuk meyakinkan.

    “Baiklah… Tapi pelan-pelan ya…”

    “Tunggu sebentar, kita masih berbicara soal kau ingin masuk anggota ‘kan?” Kara angkat berbicara setelah dia merasa arah pembicaraan salah arah.

    “Tentu saja.” Jawab Silva dan Yamada polos. Reaksi mereka yang seolah-olah semuanya biasa membuat Kara merasa terasing.

    “Ehm… Saya rasa percakapannya cukup sampai disitu saja.” Ujar Hans yang baru datang.

    “Dia siapa Hans?” Silva menunjukkan raut curiga dan menunjuk siswi yang berada di belakang Hans.

    “Ah, perkenalkan. Nama saya Laura Amar. Saya bingung dengan siapa saya harus berkelompok, Hans datang dan menawarkan untuk bergabung. Jadi begitulah!” Senyum Laura yang seolah tidak akan habis membuat Kara silau. Laura memiliki rambut merah sepunggung yang bergelombang dengan sisiran belah kiri. Tampak dia memiliki tinggi yang sama dengan Hans.

    “Hans, kenapa kau tahu kalau aku sudah membuat kelompok?”

    “Nona tadi berbicara dengan Kara, lalu ‘perempuan itu’ ikut datang. Saya rasa anda sudah membuat kelompok dan bonus poin kedengarannya cukup bagus jadi saya memberanikan diri untuk mengajak anggota baru.” Hans berbicara dengan tenang walaupun ada satu kali Hans mengeluarkan aura gelap dan itupun hanya sekejap.

    “Begitu?”

    “Ah, Laura! Perkenalkan namaku Yamada!”

    “Ah, Yamada!”

    “He? Kenapa kau memangil namaku dengan keras?”

    “Aku rasa itu meme kalau tidak salah?”

    “Bukannya itu meme lama?” Silva ikut berbicara.

    “Begitu ya? Ha… Ha… Ha… Maafkan aku ya, Yamada! Aku Laura!”

    Mereka tertawa kecuali Hans yang memang selalu diam dan Kara yang tenggelam dalam pikirannya.

    Sudah ada lima, sejauh ini lancar dan rasanya tidak ada hambatan yang berarti. Namun, rasanya tidak akan semudah itu untuk mencari orang keenam. Pikir Kara saat tiba-tiba seseorang datang.

    “Namaku Joanne de Aron. Aku ingin ikut bergabung dengan kelompok kalian.” Seorang siswi tiba dengan anggun dan berbicara tiba-tiba.

    Rambutnya hitam panjang dan tatapan mata birunya dingin. Tubuhnya yang tegap dan tinggi, 170 cm, membantunya mendapatkan nuansa anggun itu saat dia datang, ditambah mukanya yang tampak dingin.

    Kara yang tidak menduga bahwa seseorang akan dengan mudah datang dan meminta menjadi anggota segera berkata, “Tentu saja.”

    “Argh!!!!!” Terdengar teriakan. Bukan dari luar, teriakan itu dekat. Kara melihat ke sumber suara. Seseorang yang tidak pernah dia sangka akan mengeluarkan suara seperti itu. Laura Amar.

    “Kenapa kau disini, hah!?”

    “Itu terserah aku.”

    “Aku sudah muak dengan semua tingkah lakumu! Tinggalkan aku sendiri!!!”

    “Hah? Jangan merasa dirimu terlalu penting ya. Aku hanya masuk karena aku ingin.”

    “Kara!!! Aku tidak bisa menerima orang ini bergabung!!! Pilih dia atau aku!!!”

    “Meskipun kau bilang begitu, tapi ini terlalu terburu-buru untuk aku pilih…”

    “Lagipula kalau dia bergabung kita akan menjadi kelompok pertama yang terbentuk, kita akan mendapat nilai bonus!” Silva menepuk pundak Laura.

    “Aku tidak butuh nilai bonus!!! Tanpa itupun, aku bisa menjadi peringkat satu!!!” Silva membalikan pandangannya ke arah Silva.

    “Kau menantangku?” Kara tidak berkata banyak, tapi semua orang terdiam mendengar dan melihatnya. Tentu saja Laura bermaksud untuk meyakinkan orang disekitarnya bahwa bonus nilai tidak begitu penting. Tapi dia tidak sadar bahwa dia menginjak ranjau dengan membawa kalimat yang salah.

    “Lagipula kenapa tiba-tiba aku jadi seperti ketua begini?” Kara melipat tangannya dan menyandarkan dirinya ke kursi.

    “Eh, bukan kau?” Laura kembali berbicara normal, walaupun sedikit bergetar.

    “Kalau bukan kau siapa?” Silva segera menimpali.

    Kara melihat Silva dengan tatapan aneh karena dia yakin Silva yang mengajaknya bergabung. “Hm… Tenang, memang aku hanya mengincar nilai bonus. Setelah itu terserah kalian.” Joanne berjalan kembali ke kursinya setelah tiba-tiba berkata, sementara Laura hanya berdecak karena tidak senang.

    “Semua nama sudah ditulis.” Hans menyerahkan selembar kertas kepada Kara.

    Kara melihat kertas tersebut dan melihat bahwa dalam kolom ketua kelompok, yang berada di balik kertas anehnya, namanya tertulis.

    “Yamada, ayo kita serahkan.”

    “Hm? OK!!!” Yamada dengan semangat bangkit dari kursi yang dia duduki – dan gunakan untuk beberapa pose aneh ketika Laura mengamuk – dengan penuh semangat. Kara dan Yamadapun segera berjalan keluar kelas.

    *****​

    “Curtis, kita satu kelompok ‘kan?”

    Curtis melihat ke arah Bryan dan berkata, “Tentu saja.”

    “Ah, Bryan! Kau sudah dapat kelompok?” Hana bertanya pada Bryan tiba-tiba.

    “Baru saja.” Jawab Bryan enteng.

    “Ah, aku juga ingin ikut.” Johanna tiba-tiba datang dan bergabung.

    “Hm… Aku tidak pernah berpikir bisa mendapat anggota semudah ini.” Ujar Curtis.

    “Begitu?” Bryan menanggapi dengan santai.

    “Nah, berarti tinggal dua orang lagi ya?” Hana terlihat melihat ke sekelilingnya.

    Tiba-tiba, “Baiklah!!! Teman-teman sekalian!!! Sebagaimana kalian tahu aku adalah orang yang akan menjadi orang yang terbaik disini!!! Bagi kalian yang ingin kesuksesan terjamin masuk timku saja dan jadi anggotaku!!!” Seorang siswa berdiri, dengan satu kaki di atas meja sementara kaki lainnya berada di kursinya.

    Rambut hitamnya dirapikan dengan bando hitam yang tidak begitu terlihat. Tubuhnya tinggi tegap, 180 cm, membuatnya tampak meyakinkan. Mukanya tampak penuh kepercayaan diri dan Curtis menerka-nerka jika seringai adalah ekspresinya sehari-hari.

    “Begitu!!? Kau pikir aku akan membiarkanmu menjadi nomor satu begitu saja, Hah!!?” Seorang siswa lain membalas sambil menggebrak meja. Curtis ingin mengatakan dua buah kata, namun tidak jadi, dia tidak ingin terbawa suasana.

    Siswa lain ini juga berambut hitam pendek, namun terlihat lebih acak-acakan karena tidak seperti lawan biacaranya, dia tidak mengenakan bando. Dia lebih pendek dari Curtis, 172 cm, namun tatapan matanya yang sangat tajam menunjukkan dia tidak gentar menghadapi lawan yang lebih tinggi darinya.

    “Ho!!? Kau menantangku!!?”

    “Tentu saja!!! Dengar dan ingat baik-baik nama orang yang akan mengguncang dunia ini!!! Namaku adalah…” Dia dengan semangat maju ke depan siswa yang berdiri dan dengan keras mengebrak meja yang berada di depannya. BRAK!!! Dan dia terjatuh dengan kepala terlebih dahulu karena meja yang dipukulnya patah.

    “Selanjutnya!!!” Laki-laki itu dengan tegas berkata.

    “Yak-yak, kelas sudah kembali dimulai.” Guru wali kembali masuk.

    “Bu! Tidak apa-apa kelas dimulai tanpa memeriksa kursi dan meja? Satu meja baru saja patah!” Seorang siswa mengangkat tangannya. Seolah guru yang terlihat muda kurang aneh, siswa yang mengangkat tangannya terlihat seperti anak SD.

    Rambut anak itu coklat pendek dan disisir rapi. Tatapannya menyejukkan, jauh berbeda dengan tatapan ambisius dua siswa edan yang berteriak-teriak dalam kelas.

    “Ah… Tidak apa-apa meja itu sudah, er… lama… Saya sudah meminta untuk diganti…”

    Curtis tidak mengalihkan perhatiannya dan melihat bagaimana siswa yang bertanya berubah ekspresi dari ‘heran’, ‘kaget’, lalu ‘malu’.

    “Hei, aku bisa bergabung dengan kalian?” Seseorang berbicara dari arah samping Curtis, atau dari arah belakang tempat duduk Curtis, “Namaku Mark Soon kalau aku boleh bergabung.”

    “Tentu saja boleh.” Curtis segera mengiyakan dan Mark berterima kasih setelahnya. Namun kelas segera berlanjut sebelum mereka bisa berbicara lebih detail.

    Saat pertama kali datang ke kelas, guru mereka ini datang sebagai wali kelas. Sekarang, dia datang untuk mengajar sejarah. Sifatnya yang ceria sebenarnya sangat membantu karena pelajaran sejarah adalah mata pelajaran dengan dua kemungkinan kondisi kelas yang sangat ekstrim. Jika gurunya membicarakan dengan banyak detail dan berbicara apa adanya, maka kelas akan sangat membosankan. Sementara jika berhasil membawa suasana, kelas akan menjadi sangat menarik. Untungnya dia adalah guru tipe kedua.

    Kelas berakhir tanpa terasa karena gaya mengajar yang menyenangkan itu. Setelah ibu guru pergi meninggalkan kelas, Curtis berjalan menuju siswa kecil yang bertanya pada guru sebelum pelajaran dimulai.

    “Permisi, namaku Curtis Hang, salam kenal.”

    “Oh, salam kenal. Namaku Reece Taight, biasa dipanggil Reece sih. Ada apa?”

    “Kelompokku kekurangan satu anggota. Maukah kau bergabung? Oh iya, kau bisa memanggilku Curtis”

    “Begitu? Aku juga kebetulan belum punya kelompok. OK, aku bergabung dengan kelompok kalian.”

    “Bagus kalau begitu.” Curtis lalu menulis nama Reece dan mulai berjalan keluar kelas.

    “Curtis!” Reece berteriak ke arah Curtis sebelum benar-benar keluar kelas, “Hati-hati.” Ujarnya dengan senyum. Curtis hanya melambaikan tangan dan keluar dari kelas.

    Seharusnya masih ada pelajaran lagi, namun di hari kedua, sesuai dengan selebaran yang diberikan, siswa diberi waktu bebas 15 menit sebelum pelajaran setelahnya untuk mengumpulkan lembar pendaftaran. Jika dalam waktu 15 menit siswa belum berhasil mencapai ruang guru, maka mereka harus kembali ke kelas.

    “Peraturan yang aneh.” Ujar Curtis sambil melihat kertas, disaat yang bersamaan dia melihat tali aneh terinjak olehnya dan BAAANGG!!!

    Terdengar suara bernada tinggi dan cahaya yang menyilaukan. Flashbang Granade. Beberapa orang datang ke lokasi, namun tidak ada seorangpun disana. Curtis secara reflek melompat keluar jendela yang terbuka dan bergantung di bagian kecil dinding yang menonjol dengan satu tangan.

    “Sebegitu pentingnya ya, ‘nilai bonus’?” Curtis melihat ke sekeliling. Dia melihat ke arah gedung yang berada di seberangnya, gedung Acrust yang menyerupai istana, dan ada beberapa ledakan di sana.

    “Sejak kapan ini jadi ‘Bloody Royale’?” Ujar Curtis sambil mengangkat tangan kanannya yang memegang kertas dan bergelantung ke samping. Waktu Ergonic: 14 menit.

    *****​

    “Urgh, ini sudah lebih dari ekstrim…” Ujar Kara saat dia bersembunyi di balik dinding. Saat ini dia sendirian, sebelumnya dia dan Yamada ingin menyerahkan kertas ini, namun kelas sudah dimulai kembali sehingga dia kembali ke kelas. Saat dia keluar kelas untuk kedua kalinya, kali ini sendirian, keadaan sudah seperti sekarang.

    “Memangnya sebesar apa sih nilai bonus ini?” Kara kembali melihat ke arah lorong yang sedang kosong. Namun sebenarnya ini hanya untuk memastikan bahwa orang yang melewatinya akan terkena jebakan.

    “Kok bisa muncul OH-? Aku tidak pernah mendengar dengan merubah frasa Run O Hyang Samudera dengan Run O Sang Samudera bisa merubah isi seal hingga sebegitu kuat. Apa dari artinya?” Gumam Kara. Dia sebelumnya terkena salah satu perangkap, namun berhasil menyelamatkan diri.

    “Aku tidak berpikir ada orang yang sebegitu ahli di SMA… Urgh…” Kara segera menggelinding ke samping menuju lorong, tiba-tiba bangkit dan berlari.

    Numek! Chakra!” Kara segera memalingkan mukanya ke kiri, sebuah seal dengan basis lingkaran menutupi satu persegi di dalamnya, muncul di dinding dan seseorang membaca rune. Laser!? Pikir Kara cepat, ketika dia melihat cahaya mengarah padanya. Dia mengelak dengan mempercepat langkahnya dan kakinya menginjak seal, kali ini dengan hanya berbasis lingkaran.

    Run O Sang Samudera.” Rune yang dibacakan sama persis. Kara segera melompat ke belakang, melewati jendela yang terbuka. Sekarang dia berada di luar tanpa pengaman. Seolah itu tidak cukup, dari lantai tiga muncul ledakan keras dan memecahkan seluruh jendela di lantai itu.

    “Guh!” Kara segera melepaskan ikat pinggangnya ketika dia mulai jatuh. Dia lalu mengarahkan ikat pinggangnya ke arah jendela di depannya. Kara tidak punya banyak pilihan dan untungnya dia berhasil. Ikat pinggangnya mengikat erat ke rangka dari jendela yang pecah karena ledakan tadi. Kara lalu berayun dan menerobos jendela di lantai dua.

    Kara berhasil mendarat dengan selamat. “Aneh juga tidak ada guru di sekitar sini. Apa mereka benar-benar tidak peduli? Cih, kalau memang begitu seharusnya kita tidak usah ke sini Curtis…” Kara mengeluh. Namun, ada suara derap langkah dari dekatnya.

    “Elevatornya tidak dipakai ya?” Kara tersenyum saat melihat elevator yang berada di ujung lorong. Dia berada tepat di depan satu-satunya tangga menuju lantai satu. Elevator berada di sebelah kanannya. Tapi melihat seekstrim apa kejadian yang bisa terjadi, Kara yakin tidak seorang pun yang berpikir untuk menngunaka elevator, salah-salah mereka bisa terjun bebas, apalagi dari lantai lima.

    Waktunya tinggal sedikit, sementara Kara yakin ada seseorang lagi yang lain yang hampir berada di lantai dua. Setelah berdecak, Kara segera berlari menuruni tangga. Waktu Acrust: 12 Menit 25 *******

    *****​

    Curtis berhenti setelah bergelantung cukup lama. Dia lalu mengangkat tubuhnya, hanya dengan kedua tangannya, dan melihat ke balik jendela. Setelah memastikan tidak ada seorangpun di sekitar sana, Curtis menurunkan tubuhnya, menarik nafas yang dalam, lalu dengan cepat mengangkat tubuhnya dan menggunakan tangan kanannya membuka jendela.

    Dia lalu menggenggam rangka jendela dan menarik tubuhnya ke dalam. Setelah sampai di dalam dia segera lari menuju tangga tengah yang berada tepat di dalamnya. Dia tidak mendengar ada yang mengejarnya, tapi dia tetap berhenti. Ada langkah kaki di bawah tangga, dan Curtis bisa merasakan ini tidak biasa. Namun, karena posisi tangga yang terbagi dua dan saling bertolak belakang, Curtis tidak bisa melihat apa yang ada di bawahnya.

    Dia melihat kesekitarnya, lalu menarik uang koin dari kantungnya. Curtis melempar koin itu ke arah lain tangga, dan bunyi BANG terdengar keras. “Shotgun?” Curtis mengeluarkan ekspresi tidak senang dan duduk di tangga tempat dia berada.

    Dia menarik nafas dalam-dalam, dia lalu melompat pegangan pemisah kedua tangga. Setelah tubuhnya melewati pegangan itu, Curtis menggunakan tangan kirinya untuk mendorongnya ke depan.

    Tiba-tiba seseorang muncul dari arah kiri lorong mengarahkan senjatanya ke Curtis. Melihat itu, Curtis mengengam dinding di atas tangga, dan mendorong kakinya ke kepala orang itu. Dia terjatuh. Curtis lalu berdiri dan meninggalkan siswa itu setelah memastikan senjatanya tidak digenggam lagi. Dia segera melanjutkan turun ke lantai tiga.

    Tangga dari lantai tiga menuju lantai dua terletak di ujung-ujung lorong. Curtis memutuskan untuk mengambil arah kiri. Tiba-tiba terlihat seutas tali tipis membentang di area setinggi leher. Curtis segera menjatuhkan dirinya ke belakang untuk menghindari tali itu dan meluncur maju memanfaatkan lantai yang cukup licin. Dia lalu melihat tali tipis lainnya, kali setinggi pergelangan kaki, dia lalu menghentikan lajunya dan dengan cepat berdiri lalu melompati kawat itu.

    Ketika dia masih di udara, tampak dari kejauhan tiga buah lubang. Tiba-tiba dari dalam lubang-lubang itu muncul tiga buah dart dengan cepat bergerak ke arahnya. Curtis yang tidak punya banyak pilihan, memutuskan untuk menangkap ketiga dart itu. Dart pertama dia tangkap dengan tangan kirinya, sementara dart kedua dia tahan diantara jari telunjuk dan jari tengah, hampir bersamaan dengan dart ketiga yang dia tahan diantara jari telunjuk dan jari manis.

    Setelah mendarat, Curtis melempar ketiga dart itu dan kembali berlari. Kali ini, dari arah dalam kelas, seseorang membuka pintu dan mencegah Curtis. Dia mengacungkan senjata yang mirip dengan orang yang dilumpuhkan Curtis. Mereka satu tim? Pikir Curtis, tapi dia tidak punya waktu untuk bertanya. Curtis dengan cepat berlari dan berhenti tepat di samping orang itu. Dia menyiku orang itu di perut dan menarik senjatanya. Setelah itu dia menghantam dengan punggung tangan kanannya dan mendorongnya terjatuh. Curtis segera berlari kembali menuju tangga sambil membuang senjata itu ke lantai.

    Waktu Ergonic: 5 Menit 13 *******

    *****​

    Kara tanpa sengaja menginjak seal ketika berada di tangga, menyebabkan dia berada di posisinya sekarang, dengan erat menempel pada dinding transparan berwarna merah yang muncul di ujung tangga. Kara hanya bisa berkata, “Sial.”

    Setelah kembali ke lantai dua, Kara segera mengingat-ingat apakah ada jalan lain selain tangga ini. Jika melihat sekelilingnya di lantai dua, Kara memperkirakan lantai tiga mempunyai dua tangga di ujung-ujungnya. Satu-satunya tangga ke lantai satu adalah tangga yang dia lewati. “Apa ada jalan rahasia?” Kara segera berlari untuk memastikan.

    Saat mendekati tangga, seberkas cahaya tiba-tiba muncul dari lantai tiga. “Sagita?” Komentar Kara yang berhenti sejenak untuk menghindari cahaya, lalu melanjutkan berjalan menuju tangga. Di lantai tiga dia melihat siswa-siswa terkapar. “Wow” Komentar Kara, dia lalu menuju bagian lain dari ujung lantai itu, berusaha mencari jalan lain menuju lantai satu.

    “Ini sangat absurd. Terlalu absurd.” Kara terus menggerutu.

    Tiba-tiba tiga siswa segera berdiri, mereka berpura-pura menjadi tidak sadarkan diri. Kara segera berjongkok dan melakukan tendangan berputar, membuat semua siswa itu terjatuh kembali. Kara segera berlari menuju arah lain, ketiga siswa itu kembali bangun dan mengejar Kara.

    Kara berlari menuju tangga dan turun. Ketiga siswa itu ikut turun, tapi mereka tidak sadar ada tali tipis setinggi pergelangan kaki disana. Kara berdiri dengan tenang, sementara ketiga orang itu jatuh melewatinya.

    Kara kembali berlari, menyelediki sekitarnya. Waktunya tidak banyak, Kara melihat jendela-jendela yang pecah seluruhnya. Jendela-jendela ini meledak ketika Kara terjatuh dari lantai lima. Kara mengambil ikat pinggangnya yang terikat disana.

    Dia melihat jam dan hanya tersisa 5 menit 13 detik baginya untuk memikirkan apa yang bisa dia lakukan agar dia bisa mencapai lantai satu. Sepintas, Kara sempat memikirkan untuk meloncat ke lantai satu dan mendobrak lewat jendela. Dia berpikir, jika guru membiarkan keadaan seperti ini, tentu saja mereka tidak akan mempermasalahkan jendela yang rusak jika dia melewatinya. Tapi dia ada di lantai tiga dan dia bisa sampai di lantai dua hanya karena jendela di lantai tiga menghilang.

    Kara melihat ke sekelilingnya, mencari apakah ada jalan rahasia. Di dinding, di meja, di pintu, walaupun Kara tertawa memikirkan bahwa dia sempat memikirkan kemungkinan pintu rahasia ada di pintu.

    Terdengar suara-suara saat Kara berpikir mengenai jalan rahasia. Siswa-siswa yang terkapar bangun satu persatu. Kara menghela nafas, dia lalu tersenyum dan mulai memasang kuda-kuda.

    TENG-DONG-DENG-DONG.

    Terdengar bunyi bel masuk kelas. Waktu sudah habis, tapi Kara merasa dia belum bisa berkata semua sudah berakhir. “Yak, Bel sudah berbunyi ayo masuk kelas! Jangan ada yang bolos!”

    Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan janggut dan kumis hitam lebat namun tertata rapih. Kara bisa menganggapnya normal jika saja rambutnya tidak berbentuk seperti petir ganda. Dan laki-laki itu sangat tinggi, setidaknya 192 cm.

    “Hei, jangan diam saja! Ayo masuk!” Orang itu kembali berteriak.

    “Anda sadar apa yang terjadi di sini?” Kara bertanya pada orang itu. Namun dia segera sadar bahwa orang itu membawa tiga orang bersamanya, satu di tangan kanannya dan masing-masing satu di kedua pundaknya.

    “Sadar? Tentu saja aku sadar.” Dia berbicara sekenanya lalu menyentuh jendela, atau tempat dimana seharusnya jendela berada, dan berkata, “Re:Imagia.” Setelah dia mengucapkan itu, jendela-jendela kembali bersih.

    “Sadar!? Lalu kau membiarkan semua ini terjadi!!!”

    “Apa yang terjadi?” Orang itu lalu menyentuh lantai, “Re:Stand.” Kali ini, lantai menjadi bersih.

    “’Apa’!? Kau bertanya ‘Apa’!? Bagaimana kalau kubilang ada banyak siswa yang saling bunuh membunuh disini, dan tidak seorang pun peduli!!!”

    “Siapa yang saling bunuh?” Dia menjawab santai.

    “Siswa-siswa disini!”

    “Dan dimana siswa-siswa itu sekarang?”

    Kara berbalik dan melihat semua siswa sudah menghilang, “Yah, semua orang bisa mempunyai pandangan mereka sendiri-sendiri tentang apa yang harus mereka lakukan.” Orang itu berjalan melewati Kara, ketiga siswa yang berada di pundak dan tangannya sudah menghilang, “Kalau kau tidak senang, kau bisa tidak mengirimkan kertas itu cepat-cepat dan menunggu semuanya berakhir.”

    “Sebenarnya apa ‘nilai bonus’ ini?”

    “Sesuatu yang bagiku konyol, tapi sepertinya bagi semua yang lain itu hal yang penting.”

    “Hah!?” Kara masih ingin bertanya banyak, namun dia tidak bisa. Kara merasa yakin dia tidak mengalihkan perhatian sedikitpun dari orang itu, tapi orang itu sudah menghilang.

    Kara menghela nafas, “Dasar sial.” Ujarnya menaiki tangga yang berada di tengah.

    Kara sadar dia harus mengingat denah semua lantai untuk mempermudah langkahnya, dia melihat sepintas lantai empat dan berjalan menuju lantai lima.

    Dia lalu mengingat jalan yang sudah dia lalui. Lantai lima dan empat memiliki enam ruangan, terdapat tangga di tengah dan diujung-ujungnya. Di antara setiap ruangan juga terdapat jarak, tempat dia bersembunyi pertama kali.

    “Hm?” Kara sampai di lantai lima dan melihat ke samping, kelasnya terletak tepat di samping tangga, “Payah…” Kara menghela nafas, dia buru-buru menuju elevator dan melewatkan kesempatan untuk mendapat jalan mudah.

    Kara berjalan ke dalam kelas, dari elevator terlihat guru naik. “Tapi bagaimana mereka bisa memasang semua seal itu?” Kara setengah melamun masuk ke dalam kelas.

    Bruk—

    Kara menabrak Yamada yang secara buru-buru keluar kelas, “Ah, kau tidak apa-apa?” Tanya Kara.

    “Iya tidak apa-apa. Aduuuhhh…” Yamada terlihat menahan perutnya.

    “Kalau tidak apa-apa, kenapa kau mengaduh seperti itu?”

    “Aku ingin kencing…”

    “Ah, jangan ditahan, cepat ke toilet sana.” Yamada lalu pergi secepat kilat.

    “Dasar…” Kara tersenyum. Tiba-tiba dia sadar, cara yang dia cari berhasil dipecahkan dengan begitu mudah. Kara yang awalnya ingin menggunakan cara yang sama mengundurkan niatnya, “Kalau cara mereka untuk memasang perangkap itu seperti ini, lebih baik aku tidak usah ikut. Terlalu biasa.”

    Kara berjalan menuju kursinya, guru masuk ke dalam kelas, meskipun sesuai dengan waktu Kara menaiki tangga, guru itu terlambat, kelas dimulai. Waktu Acrust: 0 Menit 0 *******

    *****​

    Setelah turun tangga, pemandangan di hadapannya membuat Curtis tertegun. Banyak tubuh-tubuh terbujur kaku di lantai. Curtis hanya melewati mereka, waktunya terbatas dan dia masih bisa melihat ada beberapa orang yang berusaha mencapai lantai satu. Curtis tanpa membuang-buang waktu segera berlari menuju tangga di tengah ruangan.

    Tiba-tiba ada yang mengangkat tangannya, berusaha menarik kaki Curtis. Curtis dengan sigap melompat melewatinya, namun ada banyak tangan yang berusaha menggapainya dan pada akhirnya dia berhasil menyenggol kaki Curtis, membuatnya terjatuh. Curtis menggertak giginya dan memanjangkan tangannya. Curtis jatuh tapi tidak tersungkur. Dengan bertumpu pada kedua tangannya dia berputar setelah tiba di lantai dan segera berlari setelah dia berhasil berdiri.

    Di hadapannya ada tiga orang yang saling meninjuan. Curtis berusaha melewati ketiga orang itu dengan berlari ke kanan, namun dua dari mereka melihat Curtis dan bekerja sama mendorong orang ketiga menabrak Curtis. Namun Curtis lebih cepat dari orang ketiga itu dan terus meninggalkan mereka.

    Dari arah berlawanan, ada siswa lain yang berlari mengarah ke tangga. Curtis mempercepat langkahnya, dia berusaha mendahului siswa itu. Namun, Curtis segera sadar bahwa mereka akan tiba dalam waktu yang bersamaan. Curtis menanti saat yang tepat.

    Tiga, tidak empat langkah dari sekarang, pikir Curtis sambil terus berlari. Tepat di langkah keempat, Curtis melompat saat siswa di depannya berpikir mereka akan saling meninju. Curtis lalu menggunakan siswa itu sebagai pijakan dan melompat ke arah tangga, membuat siswa itu terpental.

    Curtis mendarat di pegangan tangga, namun dia tergelincir dan mendarat setelah sebelumnya menabrak tembok. Tubuhnya sakit dan kepalanya pusing, namun Curtis melupakan itu semua dan berlari ke ujung tangga. Sedikit lagi, pikir Curtis.

    TENG-DONG-DENG-DONG.

    Dinding logam tiba-tiba menghalangi langkah Curtis. Waktunya sudah habis.

    “Cih.” Curtis memukul dinding itu dengan keras.

    Curtis terdiam beberapa saat, sekitar dua menit. Dia lalu berjalan ke lantai dua, dan dia tidak siap melihat apa yang dia lihat.

    Seolah-olah semuanya hanya mimpi, lantai dua sudah bersih tanpa ada bekas. Curtis menghela nafas, dan mengumpat, lalu dia berjalan menuju tangga. Tapi dia menghafalkan semua hal yang dia pikir dia perlu hapalkan, dari denah hingga apa saja yang digunakan oleh siswa-siswa lain tadi.

    Meskipun tampak menerima kejadian ini, Curtis terus berpikir mengenai mengapa siswa-siswa melakukan semua ini dan mengapa guru-guru membiarkan semua ini terjadi. Misteri terbesar baginya saat ini adalah apa ‘nilai bonus’ yang ditulis di kertas. Curtis menghela nafasnya berkali-kali dan tanpa dia sadari dia sudah berada di lantai lima.

    Curtis melihat lagi kelasnya, lalu melihat tangga. Kelasnya, lalu tangga. Dia lalu menghela nafas dengan keras, letak keduanya sangat berdekatan dan dia tidak menyadarinya. Arah dia berjalan adalah elevator saat pertama kali keluar. Jika dia langsung menuju tangga ini seharusnya dia berada di balik dinding logam tadi. Dia melihat ke arah jendela dan sesuai dugaannya, semua jendela kembali ke kondisi semula.

    TING.

    Elevator berbunyi, beberapa orang keluar dari sana. Curtis menghadap mereka dan mempersiapkan diri untuk bertanya, namun bukan Curtis yang bertanya terlebih dahulu.

    “Hoi, kenapa belum masuk? Kau tidak boleh mengirimkan kertas itu kalau kau tidak masuk kelas.” Seorang guru berkacamata dan tampak paling muda dari tiga guru yang berjalan ke arahnya.

    “Kenapa kalian membiarkan semua ini!?”

    “Hm? Berteriak pada guru itu tidak baik lho.” Dua guru lain sudah masuk ke dalam kelas dibelakang guru dihadapan Curtis. Guru itu sendiri berhenti untuk berbicara dengan Curtis.

    “Jangan mengalihkan perhatian! Kau tahu yang kumaksud! Bagaimana sekolah ini bisa membiarkan siswa saling membunuh!”

    “Hm? Membunuh? Apa buktimu?” Guru itu tersenyum dan berjalan.

    “Bagaimana dengan siswa-siswa yang terluka!?”

    “Dimana mereka sekarang? Aku sarankan kau mencari mereka di kelas mereka masing-masing. Lagipula, kau tidak terluka ‘kan?”

    Curtis segera sadar dia tidak mendapat luka berarti sedikitpun. Tapi itu lebih karena kesiapannya untuk hal-hal seperti ini.

    “Kalau kau tidak mau, kau tidak perlu keluar kelas ‘kan?” Curtis mengingat-ingat, memang selama ini penyerangan tidak pernah diarahkan ke dalam dalam kelas.

    “Ayo masuk.” Guru itu membuka pintu dan berhenti sebelum masuk, “Bersyukurlah aku guru yang toleran, membiarkanmu masuk meski sudah sangat terlambat. Kau orang beragama ‘kan?” Dia menatap Curtis dengan tatapan tajam dan senyuman dingin.

    “Tentu saja…”

    “Baguslah kalau begitu, aku takut banyak orang jadi atheis karena kejamnya dunia.” Dia lalu berjalan, sementara Curtis mengikutinya dari belakang. Waktu Ergonic: 0 Menit 0 *******

    *****​

    “Kau sudah mengumpulkan kertasnya? Lama sekali” Silva berbicara dari belakang Kara tanpa Kara menggubrisnya.

    “Kau tahu seberapa banyak?” Curtis bertanya pada Reece. Di awal perjalanannya menuju lantai satu, dia sadar mengapa Reece berkata, “Hati-hati.” Kepadanya ketika dia keluar kelas. “Hanya rumor.” Komentarnya dengan senyum.

    Kara duduk, dia melihat ke arah guru, namun dia merasa ada yang aneh. Tapi Kara menghela nafas dan berusaha membuang pikirannya yang dia anggap terlalu paranoid.

    Curtis menatap ke arah jendela, dia tidak menggubris perkataan gurunya, yang sama-sama tidak memperhatikan Curtis, entah karena dia merasa kesal atau hanya sekedar tidak peduli.

    Tiba-tiba Kara teringat akan sesuatu yang penting, pagi ini dia tidak menyadarinya karena kepalanya dipenuhi kenyataan bahwa dia terlambat dan data yang dia lihat di papan pengumuman.

    Curtis berpikir apa yang dia pikirkan ini tidak mungkin benar, kalau pemikirannya benar seharusnya ada cukup banyak orang yang menyadarinya. Lagipula ini adalah hal yang sangat jelas, apalagi ini hari kedua jadi seharusnya mereka sadar.

    Tapi lalu Kara berpikir, bagaimana jika semua orang memikirkan sesuatu yang penting, entah apa yang mereka pikirkan hari ini, membuat mereka melupakan tentang hal sesederhana dan seaneh ini? Kalaupun benar seperti itu, apa yang mungkin membuat hampir sebagian besar orang tidak sadar?

    Curtis teringat akan satu hal, ‘nilai bonus’. Ada kemungkinan setiap siswa terlalu fokus mendapakan nilai bonus hingga melupakan hal yang esensial seperti ini. Sambil terus berpikir, Curtis melirik ke bagian bawah, terlihat biasa membuat Curtis merasa ragu. Namun Curtis terlalu penasaran untuk membuang kecurigaannya.

    Kara berusaha mencari alasan lain, namun dia tidak menemukan satupun. Dalam sekali coba atau tidak sama sekali. Kara pada akhirnya tidak memperhatikan gurunya sama sekali. Waktu pelajaran 45 menit dan tinggal lima menit lagi sebelum akhirnya pelajaran selesai.

    “Yak, pelajaran sampai disini. Selamat siang.” Guru tersenyum dan segera berjalan keluar. Setelah pintu tertutup kembali, Curtis segera membuka jendela dan meloncat keluar. Awalnya Curtis tidak merasakan apa-apa dan dia berpikir dia akan mati karena ketinggian seperti ini. Tapi Curtis bisa berdiri dengan normal.

    Kara melihat ke arah jendela dan melihat teman-temannya berlarian ke arah jendela. Mereka menunjukkan muka kaget, takut, dan penasaran. Kara bisa melihat mereka berteriak dan berusaha membuka jendela yang tidak mau terbuka, tampaknya mereka tidak bisa melihat Kara dari balik jendela. Kara mengehela nafas, tapi waktunya tidak banyak.

    “Apakah ini CG?” Pikir Curtis. Tempatnya berdiri adalah sebuah lorong, namun di sekitarnya terlihat pemandangan semacam pepohonan.

    “Tapi ada perasaan aneh. Acrust? Apa mungkin Acrust dan Ergonic dipakai bersamaan?” Tanya Kara berusaha menerka.

    Gedung ini masif, jika dipikirkan secara logis, seharusnya kelas mereka yang berada di salah satu sisi gedung ini, tidak mungkin bisa melihat pemandangan dari kedua jendela sekaligus. Salah satunya pasti palsu, pikir Curtis.

    Kara menggelengkan kepalanya, penjelasan lengkap tentang semua ini bisa menunggu nanti, pikirnya. Dia tersenyum dan mulai berlari.

    *****​

    Di depannya ada sebuah lubang, Curtis meneliti dengan seksama dan ternyata ada sebuah tangga. Dengan cepat dia melompat ke bawah dan meluncur sambil berpegangan pada tangga. Kakinya menempel pada pinggiran tangga, bukan berpijak di anak tangga, membuatnya bisa meluncur dengan cepat. Namun tangga itu segera berakhir, Curtis menggenggam erat tangga dan menggunakan kakinya untuk menerobos sebuah jendela kecil tepat di bawah tangga. Dia sangat beruntung ukuran jendela itu cocok dengan lebar tubuhnya. Dia sekarang berada di sebuah laboratorium.

    Ukuran laboratorium itu lebih luas dari kelasnya, dan itu belum termasuk ruang penyimpanan barang. Curtis memperhatikan sekelilingnya, dia memperkirakan bahwa dia berada di lantai tiga. Tidak peduli secepat apa orang lain, dia pasti yang pertama berada di lantai ini. Dia harus bisa mempergunakan waktunya sebaik mungkin, pikirnya.

    Curtis mengingat-ingat apa yang terjadi di lantai tiga, apa yang bisa dia manfaatkan. Dia menyandarkan tangannya pada meja, dan tanpa sengaja dia menyentuh keramik yang pas. Keramik itu terdorong ke dalam dan lemari di bawahnya terbuka. Curtis tersentak, tapi dia lebih kaget lagi ketika melihat semacam laci besar muncul dari dalam lemari itu. Isinya membuat Curtis tidak bisa berkomentar lagi.

    “Ini…” Ujar Curtis saat mengambil benda hitam panjang dengan warna merah di beberapa bagian. Benda itu adalah benda yang sama dengan yang dibawa oleh siswa-siswa saat Curtis pertama kali sampai di lantai ini, semacam senjata api jika dilihat sepintas.

    “Ergonic, huh…” Curtis menghela nafas, dia lalu memeriksa dengan seksama senjata itu. Bentuknya yang panjang dengan kokang besar di depannya akan membuat orang mengira senjata ini semacam ‘shotgun’, seperti yang Curtis kira sebelumnya. Namun senjata ini jauh berbeda dari ‘shotgun’.

    Curtis mengenal warna hitam sebagai penanda bahwa benda ini adalah prototype, tidak sempurna tapi berfungsi. Daerah merah pertama adalah kokang, tapi fungsinya berbeda jauh. Ini adalah Circuit, digunakan untuk merubah trivia menjadi peluru. Cara pakainya sama dengan kokang senjata sehingga memang bisa disalah artikan.

    Daerah merah lainnya terletak di sisi kanan belakang senjata, semacam tuas kecil berwarna merah dengan dua kata dalam bahasa Irem berwarna putih di sampingnya, ‘Shock’ dan ‘Aim’.

    Di sisi satunya terdapat tombol merah dengan kata, kembali dalam bahasa Irem, ‘Sleep’ berwarna putih diatasnya. Curtis mencoba menekan tombol itu. Tombol itu sendiri sudah tertekan sehingga ketika Curtis menekan tombol itu, tombol itu bergerak keluar. Saat Curtis menekan pelatuk, tidak terjadi apa-apa.

    Curtis tersenyum, dia merasa dirinya konyol. Jika tidak terjadi perbuahan apa-apa, berarti senjata ini didesain agar tidak lethal dan jika fitur yang ada bernama sleep, berarti serangannya hanya akan membuat orang tidak sadarkan diri.

    “Ho… Jadi ini kenapa sekolah bisa tenang-tenang saja. Tapi, bagaimana dengan yang lainnya?” Curtis segera teringat dengan ledakan di gedung Acrust, dia segera teringat Kara. Namun, dia masih punya satu misi yang harus dia selesaikan.

    Setelah menghela nafas, Curtis merubah tuas ke posisi ‘Aim’, menekan tombol ‘Sleep’, menarik kokang, dan segera menembak ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. Siswa-siswa sudah tiba di lantai tiga.

    Waktunya tidak banyak, hanya tersisa sepuluh menit. Curtis merubah tuas ke posisi ‘Shock’. Setelah berlindung sebentar, dia menghadap ke arah tangga yang berada di tengah. Terdapat tiga hingga lima siswa di sana, dan dengan satu kali tembakan dia berhasil mengenai seluruh siswa-siswa itu. Perbedaan mode ‘Aim’ dan ‘Shock’ terletak pada daerah lingkup serang. ‘Aim’ lebih jauh sementara ‘Shock’ lebih luas.

    Dia segera berlari menuju tangga terdekat yang berada di ujung lorong di belakangnya. Konfrontasi dengan siswa-siswa lain hanya akan menghabiskan waktunya. Curtis tidak menggunakan anak tangga, dia meluncur di pegangan tangga. Curtis bergerak cepat dan melompat menuju dinding, dia menggunakan dinding untuk melontarkan tubuhnya kembali menuju pegangan tangga dan meluncur menuju lantai satu.

    Meskipun dia bisa melompat ke dinding tadi, Curtis tidak bisa melompat sembarangan disini. Kali ini dihadapannya bukan dinding melainkan jendela. Curtis melompat tidak lurus ke depan, tapi mengambil jalur lompat yang dekat ke dinding di sebelah kanan. Permasalahannya adalah kecepatan turunnya yang sangat cepat sehingga meskipun pikirannya suda siap mendarat lalu berlari, tubuhnya masih tetap bergerak ke arah depan.

    Untung baginya, setelah beberapa jendela ada dinding pemisah. Curtis menabrak dinding itu dengan cukup keras, tapi waktunya terbatas sehingga Curtis hanya bisa meringis dan, setelah mendarat, kembali berlari. Dia menukar posisi tuas ke posisi ‘Aim’, menaruh senjata di punggungnya, lalu menembak dan membuat siswa yang baru turun dari tangga di belakangnya pingsan.

    Curtis segera menuruni tangga yang berada di tengah lantai. Dia ingin meluncur lagi, tetapi beberapa orang menembaknya dari arah tangga di belakangnya. Curtis secara reflek melompat dan akhirnya menggunakan anak tangga. Tiba-tiba ada seseorang melompat dari atas tangga. Curtis tidak menduganya karena saat dia akan turun dia sendirian di ujung tangga itu.

    Curtis menahan pukulan orang itu menggunakan senjatanya, dia menahan tinju kedua orang itu segera setelah dia mendarat. Tinju ketiga menuju perut, serangan keempat menyerang dari kanan atas menurut sudut pandang Curtis dengan tangan seperti mengampak. Setelah serangannya terus ditahan oleh Curtis, dia meraih senjata Curtis, berusaha untuk mengambilnya. Namun Curtis dengan kuat menarik senjatanya, membuat genggaman siswa itu terlepas. Curtis lalu menggunakan bagian belakang senjatanya menyodok kepala siswa itu beberapa kali dan menghajar bagian atas kepalanya dengan bagian belakang senjata sekali, membuatnya pingsan.

    Dia dengan cepat mengganti tuas ke posisi ‘Shock’ dan menembak beberapa orang yang muncul di atas tangga. Dia lalu berlari menuruni tangga ketika hujan tembakan datang. Setelah sampai di ujung tangga, dia berlari ke kanan. Dia segera membuka pintu dan masuk. Dia akhirnya tiba di ruang guru.

    *****​

    Kara terus terjun dengan cepat, dia terlambat berhenti saat tangga yang dia luncuri habis, “Sial!!!”

    Kara segera membuat sebuah lingkaran, di dalamnya dibuat segidelapan, dan diakhiri dengan tiga segitiga sama kaki menghadap arah atas di dalam segidelapan. “Fleaga!” Teriak Kara, lalu muncul dua buah lingkaran disamping luar kedua kakinya di daerah mata kaki. Kara sekarang berhenti terjatuh, dia bisa terbang di lorong itu.

    “Menyebalkan, aku sebenarnya tidak ingin menunjukkan aku ini Acrust secepat ini.” Kara lalu menstabilkan tubuhnya. Dia memposisikan tubuhnya ke posisi normal. Dia lalu memperhatikan daerah sekitarnya. Tempatnya sangat gelap sehingga dia meraba-raba dinding di sekitarnya. Setelah beberapa saat, dan setelah berulang kali berpindah posisi, dia merasakan salah satu dinding lebih rapuh dari yang lain. Sambil tersenyum, dia menabrak dinding itu.

    Kara menggeleng-gelengkan kepalanya, membersihkan debu-debu dinding yang menempel pada rambutnya. Dia berjalan ke depan dan memperhatikan sekelilingnya. Tempatnya cukup asing baginya, namun dia segera melihat elevator di ujung lorong lain.

    Lantai satu, pikirnya.

    Tiba-tiba dari arah tangga tenga muncul seorang siswi. Akhirnya melihat perempuan juga, pikir Kara. Namun dia segera sadar, bukan saatnya dia merasa lega karena bagaimanapun juga mereka masih belum menyelesaikan tujuan mereka.

    Kara segera sadar, dia tidak mungkin mencapai tepat waktu, dia mengayunkan tangannya. Sebuah lingkaran sebanyak tiga lapis, tiap jeda dari ketiga lingkaran itu berisi segitiga-segitiga kecil terbentuk di hadapannya. “Sagita!” Ujarnya dan segera muncul panah emas yang bergerak sangat cepat.

    “Wow, tunggu dulu.” Tiba-tiba seseorang muncul dari dalam ruang guru, dengan cepat menangkap panah Kara yang bergerak sangat cepat, “Itu berbahaya.” Dia tersenyum, siswi disampingnya terdiam.

    Dia melihat ke arah siswi disampingnya, “Kalau ingin memasang perangkap, jangan di lantai satu, cepat kembali sana!” Siswi itupun pergi menuju tangga.

    “Nah, saya permisi dulu.” Orang itu segera menghilang. Orang itu adalah guru yang menghampiri Kara sebelumnya. Kara memandang tajam sejenak tempat guru itu tadi berdiri.

    Aneh, tidak ada bekas seal, pikir Kara. dia mendengus dan melanjutkan berlari. Pada akhirnya, dia berhasil mencapai ruang guru yang terasa begitu jauh.

    *****​
     
    Last edited: Jun 28, 2011
  6. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Baiklah....setelah membaca cerita ini, saia jadi ingin memberikan komen.

    Bersiaplah.....mufufufufufu....:hehe:

    Prolog buatlah lebih panjang! Kalau langsung straight to the story, gw rasa juga kurang bagus. Gunakan chapter2 awal untuk menjelaskan sedikit siapa karakter2 utama. Ini untuk membuat pembaca mendapat gambaran awal mengenai background karakter utama.
    Penting juga untuk membuat pembaca mengerti apa yang sedang terjadi. Jangan seujug2 muncul orang asing trus tau2 action. Buatlah reaksi yang normal untuk 2 orang ABG yang pagi2 tiba2 ditemui oleh orang asing yang datang lewat jendela + narik pedang dari dada mereka. Klo gw digituin gw bisa histeris, atau paling ga tu 2 karakter langsung nyerocos atau memberondong tu orang asing dengan pertanyaan.
    Kalau tu 2 orang emang semacam ahli sihir atau petarung, ceritakan di awal! Gw pas baca prolog ngira ini bakal model slice-of-life + humor + romance.
    Terlalu banyak dialog. Selingi juga dengan deskripsi keadaan, reaksi tokoh, dan yang lain-lainnya.
    Yang paling penting......SPASI!!!!!! Kasih jarak antar paragraf biar ga mumet yg baca....

    Sorry kalau teralu 'pedas'....soalnya prolog atau chapter 1 novel itu paling menentukan minat pembaca terhadap cerita yang kita buat. Kalau chapter 1 membingungkan atau terlihat tidak menarik, minat pembaca pasti akan surut >___<
    :peace:
     
  7. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Makasih kk komennya, memang kritik konstruktif seperti ini yang saya butuhkan... :peace:

    Kecuali mungkin masalah spasi, karena sebenarnya ada tab di Ms. word, saya jadi lupa kasih spasi...
    Padahal mau di kasih... :panda:
    Yare-yare... :facepalm::facepalm::facepalm:
    Terima kasih juga sudah mengingatkan kk, saya perbaiki dulu...

    Bingung gimana mau mulai nulisnya, tapi pertama-tama terima kasih lagi untuk kritiknya...

    Sebenarnya saya dan beberapa teman yang sudah baca memang yakin ada yang aneh di awal-awal, tapi karena memang awam menulis, jadinya bingung sebenarnya salahnya dimana, makasih sekali lagi kk...

    Saya juga jadi sadar kenapa saya enggak sreg sama chapter 2, ini kontennya setengahnya harusnya masuk chapter 1, tapi yah nasi sudah jadi bubur untuk sementara ini, beberapa jam lagi mungkin akan saya upload chapter 2...

    Sebenarnya saya pingin bikin ceritanya tentang orang-orang yang sudah 'pro', jadi penjelasan istilah dan tetek bengeknya saya masukin di basic guide, tapi saya rasa kemampuan penulisan saya tidak cukup, jadinya tidak sukses, dan malah saya jelaskan lagi di chapter 3...

    Makin dipikir sekarang, 3 chapter saya seharusnya di press jadi 1 chapter biar memuaskan kali ya...
    Haduh... :madesu:

    Ngomong-ngomong kak, part 1 chapter 1 isinya memang mereka nyerocos ke si immortal, menurut kk itu bener begitu, atau kurang pas, atau harusnya masuk prologue (yang memang super pendek), atau bagaimana?

    Terimas kasih sekali lagi... :sembah:

    Chapter 2 dan Chapter 3 nanti barengan dipostnya...

    Terima kasih untuk yang sudah baca... :peace:
     
  8. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Rencananya beberapa jam berubah menjadi beberapa hari kemudian... :madesu:
    Kendala RL memang tidak bisa dianggap remeh... :hot:

    Baiklah, saya mulai saja...
    Sesuai perkataan saya, Chapter 2 dan 3 di post bareng...
    Sekalian membereskan Arc Explanation...

    Selamat Membaca... :peace:

    Trump, Acrust, Ergonic: Words of Tale
    Chapter 2: Explanation/02/Chat


    Kara melangkah ke depan, dia sudah bisa merasa lega sekarang, tapi dia memutuskan belum saatnya dia merasa lega karena dari belakangnya muncul aura yang tidak dia sukai. “Wah-wah, kau benar-benar cepat ya… Bagaimana perasaannya terjun bebas?” Seorang siswi berbicara dengan santai.

    Kara belum mengenal namanya, tapi dia akan terus mengingat bagaimana orang ini terlihat, gadis dengan rambut hitam panjang dan senyum manis. Manis namun beracun, begitulah dalam pikiran Kara.

    “Aku tidak tahu kalau kau berpikir bisa dengan santai menutupi langkah orang lain yang ingin masuk. Cepat bergerak! Berdiri di depan tengah pintu itu tidak baik.” Seorang laki-laki muncul di belakangnya, tidak ada yang istimewa dari penampilannya, hanya saja rambut hitamnya tampak sengaja dibuat tidak rapih.

    Kara meletakkan kertasnya dengan cepat ke meja guru walinya. “Aku tahu kau ingin selesai cepat, tapi setidaknya pandang saya, saya ini gurumu.” Protes sang guru, namun Kara terus memperhatikan kedua orang yang baru muncul.

    BAAM!!!

    Tiba-tiba terdengar ledakan di lorong, dan dari dalam debu yang tebal muncul seseorang penuh lecet dan rambut hitam acak-acakan. Menyebut rambutnya acak-acakan karena ledakan rasanya tidak tepat, karena Kara rasa dia melihat orang itu di kelasnya dan rambutnya memang seperti itu.

    Tidak hanya Kara yang melihat ke arahnya, dua orang yang datang sebelumnya pun menatapnya. “Hm? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Ada yang lucu dengan mukaku?” Dia segera bertanya, matanya balas menatap dengan malas.

    “Uhuk-uhuk…” Terdengar suara membatuk dari arah pintu, orang kelima yang masuk masih berasal dari kelas Kara, karena Kara ingat melihatnya di kelas. Rambutnya biru rapih dengan model belah tengah. Sangat kontras dengan orang yang sebelumnya masuk. “Parah sekali, aku tidak menduga akan seheboh itu.”

    “Yah, kita jangan membuang banyak waktu.” Perempuan berambut panjang itu berjalan ke meja guru dan mengumpulkan kertas kelompok, diikuti tiga siswa laki-laki yang baru datang.

    “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Perempuan itu melihat Kara yang menatapnya tajam.

    Kara tidak menjawab karena dia sendiri tidak tahu mengapa dia menatap seperti itu. Dia melakukannya karena insting, bukan karena logika rumit apapun.

    “Apa aku terlambat?” Seorang siswa datang terburu-buru, ada banyak orang di belakangnya yang mencoba ingin masuk dan menghalangi.

    “Kau siswa keenam. Kau terakhir, ayo cepat kumpulkan!” Seorang guru lain, seorang perempuan berambut biru bergelombang menyahut.

    “Enam!?” Kara berkata dengan terkejut, dia mengalihkan pandangannya ke guru walinya.

    “Ya, enam. Yang mendapat bonus itu enam kelompok pertama.” Guru wali Kara berbicara tenang.

    “Aku tidak mendengar tentang hal ini! Aku pikir hanya kelompok pertama yang mendapat ‘nilai bonus’!”

    “Urgh, jangan teriak! Tidak sopan kau tahu…” Gurunya menutup kupingnya, tapi dia tetap tenang, “Memang informasinya tidak banyak yang tahu. Hanya mereka yang bertanya secara langsung saja…”

    “Kalau hanya satu saja, aku tidak akan membiarkanmu meletakannya ‘kan?” Siswi yang diamati Kara dari tadi menepuknya di bahu lalu pergi diikuti siswa-siswa lain. Kara menatap tajam ke arah mereka.

    “Hm, kau tidak masuk kelas?” Guru wali bertanya pada Kara yang berdiri di tempatnya.

    “Tidak. Aku masih punya pertanyaan.” Jawab Kara sambil berbalik.

    *****​

    “Wah, kamu orang pertama ya? Hebat!” Guru berkacamata yang ditemui Curtis di depan kelas menyalutinya, Curtis tidak menggubris dan segera berjalan menuju guru walinya.

    “Selamat ya…” Guru walinya tersenyum tulus, senyuman seperti ini yang Curtis balas.

    BANG BANG BANG

    Terdengar suara tembakan berkali-kali, dan terlihat beberapa siswa melayang di luar pintu saat Curtis berbalik.

    “Hah, gampang sekali!” Suara seorang siswa terdengar. Ketika dia masuk, Curtis tahu bahwa dia adalah teman sekelasnya.

    Rambutnya hitam tersisir rapih dan secara kesuluruhan tidak ada tanda-tanda dia mengalami kendala saat menuju ruang guru, berbeda dengan lorong di belakangnya yang penuh suara tembakan dan asap. Bola matanya merah terlihat jelas dari balik kacamatanya, namun bagian paling menyebalkan dari dia adalah senyumnya yang congkak.

    “Ini, kertasnya ibu.” Dia tersenyum congkak penuh kemenangan, sementara guru wali itu tetap tersenyum tulus. Namun, sebelum dia bisa menaruh kertasnya, dengan cepat seseorang menaruh kertasnya di bawah siswa itu.

    “Ha… Ha… Ha…!!! Kau tidak berpikir akan semudah itu ‘kan!?” Ujar siswa yang Curtis kenal berasal dari kelasnya, tepatnya siswa yang berdiri di meja dan berteriak dengan keras di kelas. Sementara itu siswa yang tersenyum congkak tadi segera terpaku lalu menatap siswa yang mendahuluinya dengan kesal.

    “Lama sekali, kau tidak ingin menaruhnya?” Seorang siswa lain segera menaruh kertasnya saat kedua siswa tadi saling tatap. Siswa lain ini memiliki rambut pirang yang disisie ke kanan. Di mata kirinya terdapat bekas luka yang juga membelah alisnya.

    Siswa yang tersenyum itu semakin kesal dan terperanjat saat mengetahui sekarang dia orang keempat yang menaruh kertasnya, dan dia memastikan dia benar-benar orang keempat yang melakukannya.

    “Kenapa kalian begitu semangat? Kalian ‘kan bukan yang pertama mengumpulkan?” Curtis bertanya polos kepada ketiga orang di depannya yang memandangnnya dengan heran.

    “Ah, ayo cepat, tinggal dua lagi!” Seorang guru pria berkata pada dua orang siswa yang baru masuk, Curtis mendengarnya dengan heran. Sementara itu, kedua siswa itu berjalan dengan santai karena merasa mereka masih punya waktu.

    Namun, Kraak….

    Terdengar suara yang tidak nyaman dari atas Curtis dan tiba-tiba…

    BRAAAKKK

    “WUAAAHHHH!!!!!!!”

    Terdengar suara langit-langit yang runtuh dan beberapa orang terjatuh. Para guru dengan sigap menangkap siswa-siswa yang berjatuhan dan memastikan reruntuhan itu tidak membahayakan orang-orang yang berada di bawah. Seorang guru pria besar menangkap seorang siswa yang jatuh tepat diatas guru wali Curtis dengan satu tangan.

    Reaksi orang normal tentunya akan ketakutan dan tidak bisa bergerak karena keterkejutannya. Namun siswa yang ditangkap oleh guru berbadan besar itu tersenyum, “Ini kertas saya.” Ujarnya.

    “Jangan sok kamu.” Ujar guru yang menangkapnya, dia membalik siswi itu agar kepalanya di atas lalu memukul kepala siswa itu.

    “Iya, jaga kesehatanmu.” Guru wali Curtis menjawab dengan senyuman ramah.

    Guru-guru lalu membawa siswa-siswa yang berjatuhan keluar, diikuti siswa-siswa lain yang berada di ruangan itu.

    Sementara itu, kedua siswa yang seharusnya mendapat jatah ‘nilai bonus’ gagal mendapat nilai bonus dan berdiri terpaku di tempat mereka sebelum dibawa oleh guru keluar. Guru berkacamata yang menyapa Curtis bermaksud membawa Curtis keluar, namun Curtis menolaknya.

    “Kau tahu, sekarang kau tidak bisa berkata tidak ada yang terluka.”

    “Aku tahu. Sekarang cepat kembali ke kelas.” Ujarnya santai.

    “Tidak. Aku masih punya pertanyaan.” Tegas Curtis.

    *****​

    “Baiklah, kau mau mulai dari mana? Mengenai kegiatan ini? Kau tidak mendengarnya sebelumnya? Yah, memang kami tidak memberi tahu dari kemarin, tapi bukan berarti mereka tidak bisa mencari informasi sendiri ‘kan? Sejujurnya kami pikir tahun ini pengumpulan kertas akan lebih damai.

    Huh? Tahun kemarin bagaimana? Tentu saja seperti ini. Bedanya tahun kemarin keadaan seperti ini dikondisikan. Bagaimanapun juga bentuk praktek yang paling mendekati penggunaan asli, ya… dalam kondisi seperti ini.

    Anggap saja seperti pramuka. Bagaimanapun juga kegiatan ini lebih mirip pramuka dari pada airsoft. Jika dalam airsoft tujuanmu menghabisi musuhmu dengan senjata pilihanmu, sementara pramuka ‘kan menggunakan peralatan yang ada untuk mencapai tujuan. Meskipun memang perumpaannya terlalu bebas sih.

    Soal nilai bonus? Nilai bonus yang dimaksud adalah bantuan dalam mencari kesempatan kerja. Sekolah ini spesial kau tahu, semua yang berhasil lulus dari sekolah ini bisa langsung mendapat jaminan perkerjaan, dan aku rasa kau tahu ‘kan? Tentu saja kami membantu semua siswa, namun selalu perlu ada prioritas.

    Kembali ke permasalahan awal, sebenarnya kami tidak memberi informasi mengenai ada kemungkinan ‘pertempuran’ seperti ini. Seperti yang sudah kubilang, kami pikir tahun ini akan berjalan dengan damai dan membosankan.

    kami memang tetap menyiapkan semua persiapannya. Pada dasarnya ‘acara’ ini sudah menjadi tradisi dan rasanya sayang ketika sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dilupakan begitu saja. Tapi kami memastikan ada yang mengawasi dan menjaga kemanan setiap siswa, tenang saja. Bagaimananpun juga kami sudah terbiasa mengurusi hal ini sampai tahun kemarin.

    Ngomong-ngmong, semua guru di sekolah ini berasal dari sekolah ini juga, jadi semua pasti berpengalaman mengenai hal ini.

    Jendela? Oh, ilusi itu ya? Kau tidak sadar kalau itu Acrust? Kalau perhatikan baik-baik, ada tanda-tanda seal di pinggiran dinding. Alasan dipilih Acrust tentu saja karena penggunaannya lebih aman daripada Ergonic untuk para pengguna Acrust.

    Kami ingin ilusi yang bisa membuat orang mengira di sebelah kelas mereka adalah ruang terbuka. Kau tahu, efek-efek seperti angin dan bau untuk mengecoh orang yang tidak bisa dilakukan CGI biasa. Itu juga yang menjadi alasan mengapa tidak ada yang berani melompat, kecuali kamu mungkin.

    Dari dulu tempat itu memang didesain seperti itu, dijadikan sebuah labirin untuk membingungkan para siswa ketika penyerahan kertas. Namun sekarang jauh lebih halus dengan hanya membutuhkan keberanian siswa tanpa perlu memusingkan ‘panel mana yang harus ditekan, panel mana yang harus diinjak.’ Sekarang tinggal satu pertanyaan konyol saja yang ada di benak siswa, ‘Ini benar-benar jendela ‘kan? Bukan tipuan ‘kan?’

    Maaf ya kalau terdengar seperti curhat! Namanya juga guru, pastilah sekali-kali nostalgia masa muda. Ada apa lagi yang mau kau tanyakan?

    Tenang saja, tidak akan ada lagi yang seperti ini kecuali memang bagian dari kurikulum. Anggap saja perayaan tahun baru.

    Meskipun begitu, aku atau lebih tepatnya kami, sekali lagi kutekankan, tidak tahu dan ingin mendalami siapa yang memberi informasi mengenai ‘tradisi’ ini. Kami tidak mengelak kok, memang ini terlihat membahayakan nyawa, tapi tingkat berbahayanya tidak lebih dari permainan virtual reality. Apalagi jika kau melompat dari lantai 18 atau mencoba benar-benar membunuh, pasti kami akan selamatkan atau cegah.

    Sudahlah, sudah terlalu lama kau disini. Sebentar lagi bel, masuk sana!”

    *****​

    Kara keluar dari kelas dengan raut mengerti-tapi-tidak-bisa-menerima-alasan ditemani bunyi bel pergantian pelajaran dan pengumuman mengenai berakhirnya kesempatan mendapat nilai bonus dan perintah agar siswa mengumpulkan kertas kelompok secara biasa.

    Kara menghela nafas memikirkan kegiatan menyusahkan dan tidak masuk akal yang terjadi dan sudah berkahir. Dia memasuki elevator dengan santai. Saat dia berbalik setelah memasuki elevator, guru yang memiliki rambut seperti petir kembar sudah berdiri di luar elevator.

    “Tadi kau melakukan sesuatu yang bagus. Namaku Jhonny Anggoro. Semoga kita bisa bertemu di kelas.” Kara akhirnya mengetahui nama guru yang dari tadi ditemuinya.

    “Ingat, Joni. J-O-N-I. Jangan pikirkan namanya dalam bahasa Irem.” Suara seorang perempuan terdengar dari belakang.

    “Hei! Jangan…” Kara tidak sempat mendengarkan seluruh kalimat dari guru itu atau melihat siapa yang berbicara di belakangnya. Kara segera terangkat oleh elevator dan karena elevator ini hanya bisa bereaksi jika penggunanya menginginkannya, itu berarti Kara berpikir perdebatan kedua orang itu tidak penting.

    Tanpa menghabiskan banyak waktu, dia sudah berada di lantai lima dan berjalan menuju kelas. Dia menatap ke kiri, ke arah gedung Ergonic. Setelah menghela nafas, dia melanjutkan langkahnya. Kara segera tiba di kelas dan duduk di kursinya.

    “Hei, kau mau makan siang bersama?” Silva berbicara dari belakang.

    “Boleh, seluruh tim kita ‘kan?”

    “Tentu saja, apalagi tampaknya tim kita masih perlu dipererat dulu.”

    “Benar.” Kara tidak berkomentar banyak. Masih ada dua jam pelajaran sebelum waktu makan siang dan gurupun sudah masuk kelas. Pelajaran dimulai.

    *****​

    “Curtis, kau ingin makan dimana?” Bryan berbicara pada Curtis setelah pelajaran selesai.

    “Di dalam kelas saja bagaimana?”

    “Tidak masalah.”

    “Nah Bryan, kau sekarang makan sayuranmu?” Hana muncul dari belakang Bryan.

    “He… Aku malas…” Bryan menatap Hana dengan ekspresi jijik.

    “Jangan begitu, sayuran itu sehat!” Hana berkacak pinggang sambil menaikan nada bicaranya.

    “Hm… Ada apa ini?” Johanna muncul dari belakang dan menggelitik Hana di pinggang, Hana segera mengeluarkan suara kaget.

    “Jangan begitu dong ah…” Hana memegang pinggangnya dan berbalik menghadap Johanna. Hana terduduk ke kursi saat dia melangkah ke belakang menghindari Johanna.

    “He… Bagaimana kalau ku gelitik bagian depan saja?” Johanna menyeringai sambil membuka tutup tangannya, Hana secara reflek menolak dan menutup dadanya.

    “Hei, jadi dimana kita makan?” Curtis kembali membuka percakapan.

    “Disini saja kalau kalian mau.” Seorang siswi berambut biru berkata sambil menepuk mejanya. Dia lalu berjalan dengan siswi lain yang mirip sekali dengannya. Curtis berpikir mereka mungkin saudara kembar.

    “Bagaimana?” Tanya Bryan.

    “Kenapa tidak?” Jawab Curtis sambil menyusun meja agar bisa dipakai beberapa orang. Reece dan Mark tiba dan langsung membantu mengatur meja. Mereka mengatur empat meja agar menjadi satu meja besar. Di sebelah kanan Curtis ada Hana dan Bryan. Di seberangnnya ada Johanna yang mendekat ke arah Bryan. Sementara di samping kiri Curtis, di sisi yang berada di samping jendela, ada Reece dan Mark.

    Curtis melihat sebentar ke jendela yang dia loncati. Sekarang terlihat bahwa tempat itu sebenarnya lorong. Sealnya sudah dihilangkan sehingga tidak ada pemandangan lagi. Di seberang lorong itu terdapat ruangan lagi, namun tampaknya sedang tidak digunakan, tidak ada lampu yang menyala atau tanda-tanda aktivitas. Curtis masih terus berpikir apakah alasan ‘tradisi’ guru-guru itu bisa diterima.

    “Kau benar-benar membuat kami semua kaget setengah mati, kau tahu.” Reece membuka percakapan sambil menyendok nugget ayamnya.

    “Kalian benar-benar tidak tahu mengenai jendela itu?”

    “Kalau jendela itu palsu? Tentu saja saya tidak. Karena tidak tahu isi gedung ini, kupikir bagian dalamnya mungkin memang berlubang dan hutan yang terlihat di luar jendela itu mungkin taman.” Reece berbicara sambil makan, sangat tidak dianjurkan.

    “Lalu ‘rumor’ yang kau bilang, dari mana kau tahu itu dan apa isi rumornya?”

    “Rumor yang aku dengar sih, ‘besok akan ada tugas yang harus diselesaikan dengan secepat mungkin, tidak peduli caranya’. Begitulah.”

    “Kalimat aneh, tapi kenapa kau berkata hati-hati?”

    “Tugasnya, ‘menjadi yang tercepat’ ‘kan? Yah, aku sedikit tahu banyak apa yang bisa manusia lakukan untuk ‘menjadi yang tercepat’. Begitulah kira-kira.”

    “… Bagaimana denganmu Mark? Kau tahu?”

    “Tidak, tapi aku tahu aku tidak ingin keluar saat aku pergi ke toilet saat pelajaran sejarah tadi. Ada beberapa orang yang mencurigakan di lorong.” Jawab Mark setelah menelan makanannya.

    “Dan kau tidak memperingatkanku?”

    “Aku tidak ingin kau malah curiga berlebihan tanpa alasan.”

    Sementara mereka berbincang, Bryan dan Hana terus berdebat mengenai sayuran yang Hana ingin Bryan makan. Saat Mark selesai berbicara, tiba-tiba seorang guru membuka pintu, “Ah, Hana. Rupanya kau di sini.” Hana berhenti menggerakkan sendoknya dan menatap guru itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

    “…”

    “Aku ada urusan denganmu. Aku tunggu di ruang guru.” Guru itu berjalan pergi. Curtis melirik ke arah guru itu. Guru berkacamata yang menyapa Curtis.

    “Nah Bryan, jangan lupa makan sayuranmu ya! Nanti aku marah loh!” Hana berdiri dan membereskan makan siangnya lalu pergi keluar.

    Bryan terdiam tanpa berkomentar apa-apa dan mulai memakan sayurannya.

    “Kau yakin tidak apa-apa?” Johanna tiba-tiba bertanya. Nadanya terdengar berubah.

    “Tentu saja. Dan aku ingin memastikan semuanya tetap seperti ini.” Bryan berbicara sambil terus memasukkan sayurnya ke dalam mulut.

    Curtis ingin bertanya pada Bryan, tapi dia merasa sebaiknya tidak dia lakukan. Curtis lalu melanjutkan makan siangnya.

    *****​

    Kara mengatur mejanya setelah kelas selesai. Dia mengatur empat meja agar menjadi satu meja besar.

    “Bagaimana urutan yang makan?” Silva bertanya dengan membisik, dia menatap ke arah Laura Amar dan Joanne de Aron.

    “Aku sudah memikirkannya, tapi entah bisa berhasil atau tidak. Kalau kau lihat, orang-orang di kelas ini sudah membuat semacam kelompok tersendiri, aku tidak tahu kalau mereka satu tim atau tidak.” Jawab kara.

    Silva melihat ke sekelilingnya dan memastikan kelas memang sudah terbagi dalam kelompok kecil yang cukup besar untuk dibilang satu tim, tapi aura tidak sehat yang tercipta membuat Silva merasa kelompok kecil ini bukan tim.

    Memang tidak semua orang masuk ke dalamnya, hanya segelintir siswa dan siswi. Namun, mereka serasa tidak malu-malu untuk menunjukkan ketidaksenangan mereka terhadap kelompok yang lain, dan itu sangat tidak nyaman.

    “Yah, kalau kita tidak coba, bagaimana kita tahu?” Setelah bertukar senyum, Silva berjalan menuju Laura dan Joanne.

    Perlu sedikit persuasi untuk membawa mereka ke meja makan, sebagaimana yang Kara lihat, karena Laura dan Joanne tampak berkumpul dengan orang yang berbeda. Orang-orang yang berkumpul dengan Joanne tampak seperti orang-orang elit, sementara Laura bersama orang-orang yang memandang mereka dengan antagonistik.

    Tampak Silva sedikit kewalahan, bagaimanapun juga dia tampak lebih cocok berkumpul dengan kumpulan Joanne, sehingga kedatangannya ke kelompok Laura tidak diterima dengan ramah. Namun Hans dan Yamada segera membantunya. Kara sendiri hanya mengobservasi dari luar.

    Akhirnya, Silva berhasil meyakinkan Laura dan Hans membawa Joanne menuju meja mereka. Yamada sendiri tampak kelelahan, mungkin asap bisa terlihat dari atas kepalanya.

    Kara mengambil kursi di meja yang dia atur. Di sebelah kanannya ada Laura yang terang-terangan mengeluarkan hawa tidak senang terhadap Joanne yang berada di sebelah kiri Kara. Silva dan Hans berada di samping Laura dan Joanne. Yamada sendiri berada di seberang Kara.

    Laura, mungkin merasa kasihan melihat perjuangan Silva dan Hans, berusaha membuka percakapan, “Wah ada lima perempuan dan satu laki-laki ya disini. Serasa harem ya Hans…” Laura lalu tertawa kecil, begitu juga Kara. Sementara itu Yamada bergelut dengan kotak makanannya yang sangat susah untuk dia buka.

    “Hm… Benar juga, serasa harem ya…” Silva berbicara dengan nada sarkastik, “Tapi, jangan terlalu bawa suasana ya…”

    “Ya… Tentu saja…” Hans berbicara dengan nada yang sama.

    Melihat percakapan yang tidak berjalan, Kara mencoba mengalihkan pembicaraan, “Kalian tahu apa yang terjadi di luar tadi?”

    “AAAHHH!!!”

    Tiba-tiba terdengar suara dari tengah kelas. Seorang siswa tergeletak di lantai.

    “Huh, dasar orang melarat! Cari perhatian jangan berlebihan begitu dong! Pakai acara jatuh segala… Cih!” Seorang siswi lain berdiri dengan congkak di sampingnya. Pandangannya jelas sekali menghina.

    Laura melihat dengan geram, tatapannya liar tapi dia tidak beranjak dari tempat duduknya.

    “He… Dasar tukang cari perhatian…” Joanne berkomentar dengan nada menghina dan merendahkan. Setelah sekian lama menunjukkan ekpresi dingin, Joanne akhirnya menunjukkan ekspresi yang berbeda, meskipun bukan ekspresi yang nyaman dilihat. Ekspresi yang dingin dan licik. Dan itu tombol yang tepat untuk membuat Laura kehilangan kontrolnya.

    “Cukup! Aku tidak bisa membiarkan hal seperti ini!” Laura berdiri, dia meraih kotak makanannya dan berjalan menuju siswi yang terjatuh itu.

    “Tunggu!” Kara berteriak pada Laura tepat sebelum dia mulai berjalan, “Besok kita makan bersama lagi ‘kan?” Kara tersenyum, sementara Laura terdiam dengan ekspresi bimbang. Dia lalu berjalan pergi.

    “Dan untukmu Joanne…” Kara berkata dengan nada yang berbeda, nada yang mengandung ketidaksukaan, meskipun tidak sampai pada kebencian. Kekesalan terlalu ramah sementara ancaman terlalu gelap, “… Kau bisa kembali.”

    Joanne tidak berkata apa-apa. Ekspresinya kembali dingin, walaupun Kara merasakan ada yang janggal saat dia melihatnya. Janggal karena ekspresi itu sangat dia kenal dan entah mengapa dia tiba-tiba merasa menyesal menyuruh Joanne pergi.

    Begitu Joanne berada cukup jauh, Kara menghela nafas. Kara lalu melanjutkan makan siangnya.

    *****​

    “Hei, kalian sudah hafal nama semua siswa di kelas?” Curtis bertanya setelah terdiam selama beberapa saat.

    “Kau gila? Meskipun hafal nama, untuk bisa menyelaraskan dengan memanggil namanya itu tetap saja sulit.” Mereka semua terdiam hingga akhirnya Bryan berkata, “Apa?”

    “Tidak, hanya saja perkataanmu terlalu sulit dicerna.” Johanna berkomentar sambil melanjutkan makanannya.

    “Intinya, aku bisa saja hafal nama siswa tapi sesuai urutan absen, bukan karena aku tahu nama ini adalah nama orang yang mana. Aku pikir itu tidak bisa dibilang hafal ‘kan?”

    “Aku sendiri orang yang susah menghafal orang lain. Dulu saja, sebelum aku masuk sekolah ini, aku butuh tiga tahun untuk bisa mengingat nama teman satu kelas.” Mark terus menghabiskan makanannya sementara orang disekitarnya yang mendengarkan berpikir mengenai betapa ekstrimnya hal tersebut.

    “Curtis, kau cepat hafal ‘kan?” Bryan segera bertanya, berusaha memecahkan kebuntuan.

    “Tergantung, aku saja hanya hafal enam orang di kelas satu kemarin. Tapi aku hafal seluruh angkatan waktu smp. Yah, sekali lagi semua tergantung.”

    “He… Tergantung apa?”

    “Apa aku mendapat daftar nama atau tidak.” Curtis sebenarnya hanya membuat alasan itu, tapi alasan itu sudah sering dia pakai hingga dia tidak perlu berpikir lagi untuk menggunakannya.

    “Um, sepertinya aku bisa membantu.” Reece pergi menuju tasnya, mengeluarkan sebuah album, lalu kembali ke meja makan, “Kau boleh meminjam ini.”

    “Apa ini? Absen?” Tanya Curtis sambil membuka album tersebut.

    “Yah, bisa dibilang. Meskipun dalam album, tapi isinya adalah foto-foto dan nama dari siswa-siswi di kelas ini kok.”

    “Ini foto formal semua ya?” Bryan bertanya saat melihat foto-foto yang dipajang di dalam album.

    “He… He… Saya memintanya dari guru sih…” Reece menjawab malu-malu.

    Semua yang berada disekitarnya ingin bertanya mengenai alasannya, tetapi mereka tidak bertanya karena berpikir pasti ada alasan khusus yang sebaiknya tidak menjadi konsumsi umum.

    Curtis sendiri merasa berhutang budi karena dia dipinjami album kelas tersebut, terasa tidak etis kalau dia banyak bertanya. Meskipun sebenarnya Reece meminjamkan album itu karena sebenarnya merasa bersalah tidak sepenuhnya memberitahukan Curtis tentang ‘rumor’ yang dia dengar.

    Saat sedang melihat album itu, dan menyelesaikan makanannya, terdengar bincang-bincang siswi-siswi yang berkumpul di bagian lain kelas. Curtis tidak menangkap jelas perbincangan mereka, namun sayup-sayup terdengar nama Mark disebut.

    Beberapa saat kemudian salah satu dari mereka datang, “Mark…” Dia tampak berusaha ramah.

    Rambutnya hitam belah tengah yang hampir menutup mata kanannya. Mata birunya memandang sayu dan mukanya terlihat agak pucat, sepertinya tubuhnya memang lemah. Tubuhnya yang pendek, sekitar 145 cm, memang tidak sependek Reece, namun seolah mempertegas bahwa tubuhnya memang lemah.

    “Hm?” Sementara itu Mark tampak sangat kesal. Siswi itu tampak mengecil.

    Dari apa yang siswi itu bicarakan, siswi itu ingin meminjam sebuah buku yang tampaknya hanya Mark yang mempunyai buku tersebut. Mark berjalan dengan hawa tidak nyaman yang jelas, seolah-olah keberadaan siswi itu mengganggu.

    “Ini…” Ujarnya dengan kasar ketika dia memberikan buku itu.

    “Mark, kita perlu bicara!” Tiba-tiba siswi lain mendekat. Curtis mengingat-ingat, namanya Puti Piranti kalau tidak salah, sang ketua kelas.

    “Ada apa?” Mark tidak merubah nadanya sama sekali.

    “Kamu itu seharusnya lebih ramah kepada teman sekelas, kau tahu!” Puti segera berdebat dengan Mark. Perbicaraan mereka semakin lama semakin panas, Curtis khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

    “Hei, kau tahu. Mark dan Puti mengingatkanku padamu dan Kara.” Komentar Bryan.

    “Huh?” Curtis menatap Bryan dengan kaget saat dia mendengar itu. Sendokan terakhirnya berhenti sebelum masuk mulutnya.

    “Kara?” Tanya Reece.

    “Teman Curtis yang selalu datang ke kelas waktu tahun pertama. Curtis juga sering datang ke kelasnya.” Jawab Bryan.

    “Yah, ada dua perbedaan sih. Pertama, Mark tampaknya tidak pandang bulu kalau soal perempuan. Cekcok seperti ini misalnya.”

    “Aku juga pernah dibentaknya. Aku kaget sekali waktu itu.” Johanna ikut berkomentar.

    “Dan kedua dia tidak punya hal-hal yang sama denganmu dan Kara. Saling berbagi makan siang contohnya.” Bryan menatap Curtis.

    “Ugh… Aku tidak mengerti maksudmu…” Curtis memalingkan pandangannya.

    “Kau tahulah maksudku!” Bryan tersenyum lebar melihat Curtis.

    “Tapi aku rasa, Mark tidak cekcok dengan Puti karena dia tidak senang kok.” Reece berkomentar sambil menutup kotak makan siangnya yang sudah kosong.

    “Justru karena itu aku berpikir dia dan Puti mirip Curtis dan Kara.” Bryan melihat Reece dengan senyum yang semakin melebar.

    Ada beberapa menit sebelum kelas dimulai. Curtis dan mereka yang tersisa di meja membereskan meja. Dia lalu kembali ke mejanya dan menaruh album yang didapatnya ke dalam tas. Bel pun berbunyi tanda waktu makan siang sudah habis, pelajaran dimulai kembali.

    *****​

    “Aku tidak pernah melupakan janji kita. Aku terus mebayangkannya tiap kali kumenutup mata. Lalu aku menyapu kegelapan dan berjalan menuju masa depan.” Yamada bernyanyi di samping Kara. Dia berpindah posisi setelah Laura dan Joanne pergi.

    “Hei, jangan bernyanyi sambil makan.” Kara menegur Yamada sambil mengusap nasi yang tercecer di sekitar mulut Yamada dengan tisu, Kara sendiri tidak tahu lagu apa yang dinyanyikan Yamada.

    “Ngomong-ngomong, kau sudah hafal semua orang disini?” Kara bertanya pada Silva.

    “Sudah dong!” Dia membuat pose kemenangan di tangannya.

    “Cepat sekali!”

    “Tentu saja! Aku memang hebat! Ha… Hakk!!!” Silva tertawa lalu tersedak.

    “Ada rahasianya. Ini, kupinjamkan.” Hans mengeluarkan semacam album dan menyerahkannya pada Kara. “Aku yang membuatnya.”

    “He… Untuk apa?”

    “Nona ingin bisa cepat akrab dengan semua orang, jadi aku pikir tidak ada salahnya untuk membuat ini. Hasilnya lumayan ‘kan?” Hans merujuk pada keberhasilan Silva mengajak Laura dan Joanne untuk makan bersama.

    “He…” Kara membuka album itu.

    Sementara Kara melihat-lihat isi album itu, Hans mengambil botol air minum, sementara Silva terus menerus memukul meja. Hans lalu memberinya air minum itu.

    “Ah… Kau kejam sekali Hans.” Ujar Silva setelah selesai meminumnya, dia menghela nafas karena berhasil lolos dari kematian.

    “Dan itu kalimat pertama anda setelah ditolong, nona? Sangat tidak beretika.”

    “Iya deh, terima kasih… Tapi lain kali lebih cepat dong.”

    “Itu untuk memberi pelajaran agar jangan bicara sambil makan.”

    “Kalian lucu ya…” Yamada tersenyum lebar melihat tingkah Hans dan Silva.

    “Begitu? Kau pasti senang melihat tingkah Kara dan Curtis kalau begitu.” Ujar Silva dengan senyum simpul pada Yamada. Kara segera melihat mereka dengan terkejut karena tidak menduga namanya dan Curtis akan disebut.

    “Curtis?” Yamada tampak keheranan.

    “Tentu saja kau tidak akan tahu. Curtis itu teman Kara yang kelasnya berada di sebelah kelas kami. Waktu kelas satu, Kara dan Curtis sering begini lho…” Silva tampak tersenyum penuh makna.

    Kara menutup mukanya dengan album dan melanjutkan menghabiskan makanannya.

    *****​

    Curtis dan Kara berjalan dalam diam untuk sesaat. Kara lalu membuka percakapan dengan apa yang dialaminya hari itu. Dia banyak menghela nafas saat bercerita.

    Curtis merespon dan menceritakan pengalamannya. Mereka lalu mendiskusikan apakah semua ini pantas dengan pendidikan baik Acrust dan Ergonic yang mereka dapat. Mereka berkesimpulan terlalu dini untuk menentukan.

    Kara lalu mengembalikan kotak makannya dan memberi komentar yang konstrutif. Curtis mencerna informasi yang diberikan Kara sambil meletakkan kotak makanan itu ke dalam tas. Kara dan Curtis lalu kembali berjalan dalam diam. Namun kali ini hawa yang keluar dari mereka lebih ringan dan ceria.

    “Aku duluan ya!” Kara berjalan masuk sambil membuka pintu gerbang rumahnya dan melambaikan tangannya.

    “Yap. Jangan tidur terlambat lagi!” Curtis berjalan menuju rumahnya.

    Hari ini akhirnya berakhir. Setidaknya, hari pertama mereka bersekolah akhirnya usai. Tanpa darah, hanya keringat dan adrenalin. Masih ada hari esok bagi mereka dan semua bagi mereka baru perkenalan. Namun sebelum itu, masih ada malam bagi mereka untuk mencerna semua informasi yang mereka dapat hari itu.

    *****​

    Curtis meminum setegak air putih sesampainya dia di ruang makan, setelah itu dia segera mandi. Hari sudah malam dan masih banyak yang harus dia kerjakan. Sebagai permulaan, Curtis pergi menuju tempat tidurnya.

    Rumah Curtis tidak terlalu luas, paling besar seluas kelasnya. Ruangan paling depan adalah ruang tamu, lewat satu-satunya pintu disana terdapat ruang makan dan dapur serta kamar mandi dan kamar orang tuanya. Selain itu, terdapat gudang, meskipun jalannya tertutup dapur jika dilihat dari ruang tamu.

    Di ruang tamu terdapat tangga menuju lantai dua, tempat kamar Curtis dan kamar tamu berada. Selain kedua kamar itu, terdapat pintu menuju atap yang digunakan untuk menjemur pakaian.

    Curtis tinggal sendirian. Ibunya sudah meninggal sementara ayahnya adalah seorang ilmuwan yang jarang sekali berada di rumah. Terakhir kali Curtis bertemu ayahnya adalah tujuh bulan yang lalu, dan hanya tiga hari. Otomatis Curtis menghabiskan sebagian besar waktunya sendirian atau bersama Kara.

    Curtis menaruh tasnya di samping kursi. Dia memeriksa jadwal dan menata buku tulis dan buku paket yang perlu dia bawa. Setelah selesai merapikan buku-bukunya, Curtis membaca pelajaran yang tadi tidak dia perhatikan.

    Dua jam berselang dan Curtis menyelesaikan belajarnya, tentu saja dia tidak hanya belajar satu pelajaran dan biasanya dia menghabiskan tiga jam untuk belajar. Namun kali ini dia memutuskan untuk menggunakan waktunya melihat album yang dipinjamnya dari Reece.

    Curtis membuka album itu dan mulai mencari nama-nama orang yang dia temui selama hari ini. Album itu berisi foto dan beberapa detail kecil dari masing-masing orang. Sambil melihat album itu, dia menyalakan komputernya.

    Yang pertama dia lihat dari album, selain teman satu kelompoknya dan dia sendiri, adalah Hendrick Glassgow, siswa dengan senyuman congkak di ruang guru. Fotonya di album itu tetap memiliki senyuman congkak itu.

    Dia membuka lagi lembaran album tersebut. Dia lalu melihat Maha Jayabrata, siswa yang berdiri di atas meja dan berteriak keras-keras. Rambutnya disisir belah kiri tanpa bando di album ini.

    Dan di halaman selanjutnya ada Matou Nakyou, siswa yang menantang maha dan jatuh dari lantai atas di ruang guru. Tidak ada yang berbeda darinya di album itu, hanya mungkin matanya yang tertutup di album itu.

    Curtis lalu melihat Sarah dan Sera Faron, dua siswi yang meminjamkannya meja untuk makan. Dia baru menyadari perbedaan kedua siswi kembar itu. Sarah memiliki rambut biru belah kanan sementara Sera belah kiri. Selain itu Sera memiliki pandangan yang lebih bersemangat sementara Sarah pandangan yang lebih lemah, sepertinya memang dia tida sehat.

    Selanjutnya adalah Silia Sisilia, gadis yang meminjam buku Mark. Curtis baru sadar bahwa jika baju tidak terlihat seperti di foto ini, Silia tampak seperti anak laki-laki. Tapi tetap saja anak laki-laki yang cantik.

    Siswa terakhir yang dia temui tapi tidak tahu namanya adalah Soebagyo Rahmat, siswa ketiga yang menaruh kertasnya. Di foto ini dia mengenakan penutup di mata kiri, menutup lukanya.

    Komputer Curtis sudah menyala, dia lalu mengambil sebuah alat yang mirip dengan scanner di supermarket. Namun berbeda dengan alat supermarket yang berfungsi membaca data pada barcode, alat ini berguna untuk menyimpan data. Dia lalu menggunakannya untuk men-scan tiap halaman buku tersebut.

    Informasi yang bisa dia ingin dapat jauh lebih banyak daripada waktunya, maka dari itu dia memutuskan untuk men-scan album itu untuk dia dalami nanti. Bagaimanapun juga, tidak enak kalau harus meminjam album ini terlalu lama dari Reece.

    Setelah selesai, Curtis menaruh album itu kembali ke dalam tas. Dia lalu membuka koneksi internet, dan menyambungkannya ke koneksi sekolahnya. Tentu saja yang dilakukan Curtis tidak sekedar membuka situs, dia masuk ke koneksi intranet sekolahnya. Dengan kata lain, dia meng-hack jaringan sekolahnya.

    Ada perbedaan antara ergonic dan teknologi biasa. Komputer Curtis contohnya, adalah teknologi biasa, dia membutuhkan energi listrik dari pembangkit listrik dan tidak menggunakan trivia di sekitarnya untuk menghasilkan listrik.

    Suatu alat dikatakan ergonic jika alat tersebut mampu menggunakan trivia sebagai sumber daya. Penggunaan trivia memang menjadi fitur utama ergonic, fitur yang menyebabkannya lebih efisien dan ramah lingkungan. Namun fitur ini tidak ramah terhadap Acrust.

    Tanpa butuh waktu lama, Curtis berhasil masuk ke jaringan sekolahnya. Meskipun album sekolah itu berisi beberapa informasi sederhana tentang siswa-siswa di kelasnya, Curtis merasa itu tidak cukup, apalagi setelah kejadian hari ini. Dalam waktu kurang dari setengah jam, dia sudah mendapatkan informasi yang dimiliki oleh sekolahnya tentang seluruh siswa di kelasnya.

    “Hm…”

    Curtis memutus internetnya setelah mendapat semua informasi yang dia perlukan. Sekarang, dia sedang menelitinya, dan saat ini yang menarik perhatiaanya adalah performa dari setiap siswa di kelasnya saat berada di tahun pertama.

    Dari data ranking yang ada, tampaknya kelas Curtis tidak spesial, beberapa merupakan peringkat pertama di kelasnya, namun ada juga yang hanya sepuluh besar, atau bahkan dua puluh besar. Namun, jika dilihat dari nilanya, mereka yang berada di rangking dua puluh besar berada di sana karena namanya, sementara nilanya cukup spektakuler.

    “Sakit. Kelas yang menarik.” Curtis berkomentar dengan senyuman saat melihat beberapa siswa mampu mendapat nilai yang sama dengannya, 100 sempurna. Setelah melihat sepintas, Curtis memutuskan sudah waktunya untuk berhenti.

    Masih tersisa waktu setengah jam sebelum jam sembilan malam, Curtis yang tidak mempunyai kegiatan saat ini, turun ke bawah untuk makan malam. Curtis memutuskan untuk makan nasi goreng karena waktunya cukup terbatas, lagipula dia hanya akan makan sendirian.

    Curtis lalu berpikir mengenai alasan dibuat kelompok di kelasnya. Mengingat dia berada di jurusan Ergonic, berarti kelompok ini akan berperan cukup atau sangat penting. Selesai memasak, Curtis memakan nasi gorengnya sambil menonton berita.

    Isu politik di Gardal sudah terlalu sering diangkat hingga membuat Curtis bosan. Terlebih lagi, berita di televisi hampir tidak pernah memuat isu Trump atau kejadian luar biasa seperti yang terjadi di sekolahnya.

    Apa insting jurnalis kita tumpul? Pemerintah yang terlalu kuat? Atau tidak sesuai selera rakyat Gardal? Pikiran semacam ini muncul di kepala Curtis, tapi segera dia lupakan setelah selesai makan.

    Curtis mematikan televisinya, dia naik ke lantai atas. Di kepalanya dia sudah punya rencana untuk esok hari, namun sebelum dia bisa dengan tidak sabar menunggu besok, dia masih mempunyai hal yang harus dia kerjakan.

    *****​

    Kara masuk ke dalam rumahnya sambil menghela nafas. Atmosfer tidak bersahabat dan tidak sehat di kelasnya karena kedua kelompok itu, membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Kara memutuskan untuk berpikir dalam diam di kelas setelah semua orang pulang. Lagipula hari ini adalah bagian dia piket.

    Kara berjalan menuju kamar mandi. Air hangat yang membilas tubuhnya menghilangkan beban di kepala dan pundaknya. Selesai mandi, dia segera menuju lantai dua, masih banyak yang harus dia kerjakan hari ini.

    Sebelum mencapai tangga, Kara segera teringat ia belum makan, perutnya berbunyi. Kara segera berjalan menuju dapur yang berada di sebelah ruang makan. Di ruang makan ini juga terdapat kamar mandi dan tempat tidur orang tuanya di sisi lain ruang makan. Di sisi yang berlawanan dengan ruang tamu, terdapat gudang dan pintu belakang, biasanya dipakai untuk menjemur cucian.

    Kara membuat sup untuk makan malam. Dia ingin sesuatu yang hangat untuk makan malam karena terasa cukup dingin. Sambil makan, dia menyalakan televisi. Sebuah program investigasi sedang ditayangkan. Namun, investigasi ini lebih bersifat politis daripada keadilan dan kebenaran, setidaknya begitulah pikiran Kara.

    Dia jarang hingga belum pernah melihat sebuah investigasi menyeluruh tentang Trump atau investigasi tentang kejadian di sekolahnya, setidaknya acara semacam dokumenter yang mengulas Trump secara mendalam. Bahkan jika bukan karena kejadian kemarin pagi, dia tidak akan tahu adanya Anti-Trump. Yang ada di televisi saat ini hanya film-film mengenai Trump dan bahaya mereka seperti ‘Zombie Outbreak’. Bahkan jika bukan karena adanya istilah Trump dan beberapa catatan sejarah, keberadaan Trump sama seperti legenda.

    Selesai makan, Kara mematikan televisi dan pergi menuju kamarnya di lantai dua. Selain kamarnya, di lantai dua terdapat ruang kerja ayahnya. Namun, meskipun rumah itu memiliki kamar dan ruang kerja untuk orang tua Kara, tempat itu tidak akan terpakai lagi. Kedua orang tua Kara sudah meninggal sejak Kara kecil, saat ini dia hidup dibiayai ayah Curtis, dan hampir dalam seluruh ingatannya dia menghabiskan waktunya sendirian atau bersama Curtis.

    Kara masuk kamar dan mulai menyiapkan buku untuk besok. Setelah selesai menyiapkan buku, dia mulai melihat album yang diberikan Hans. Kara sebenarnya sudah melihat nama beberapa siswa, namun dia belum melihat semuanya. Selain itu, tidak mudah untuk menghafalkan nama. Maka dari itu Kara memutuskan untuk setidaknya tahu siapa saja yang sudah dia temui.

    Yang pertama dia lihat adalah Anggun Anggraeni, satu-satunya siswi selain dia yang menyerahkan kertas kelompok. Siswi yang dia pandang dengan curiga. Kara hingga sekarang tetap tidak mengerti mengapa dia melakukan itu, tapi dia tidak menyesalinya.

    Lalu Hanung Oktovus, siswa kelima yang mengumpulkan kertas kelompok. Tidak ada yang mencolok dari fotonya.

    Di lembar selanjutnya terdapat Inggrid Anggraeni, siswi yang meledek dengan suara keras di kelas. Rambutnya hijau panjang dengan poni rambut, matanya juga berwarna hijau. Meskipun memiliki ‘Anggraeni’ di namanya, dia tidak berhubungan apa-apa dengan Anggun Anggraeni.

    Di sebelahnya ada Irving Stanzer, siswa yang datang hampir bersamaan dengan Anggun, Hans memberi informasi tambahan bahwa dia adalah ketua kelas. Dia terlihat menunjukkan raut antara sebal dan bersemangat di foto itu, seolah-olah dia menghela nafas.

    Orang yang selanjutnya dia kenali adalah Maya Mailani, siswi yang terjatuh di kelas tadi. Rambutnya hitam seleher, matanya hitam jernih, dan senyumnya tampak sangat tulus. Singkat kata, penampilan, kelakuan, dan nada bicaranya di kelas memberinya aura gadis baik-baik.

    Siswa terakhir yang dia kenali adalah Michael Angelo, siswa dengan rambut acak-acakan yang mengumpulkan kertas kelompok di urutan keempat. Dia tampak lebih bersemangat di foto ini dibandingkan ketika dia keluar dari asap tebal saat masuk ke dalam ruang guru.

    Kara berusaha mengingat setidaknya mereka semua, namun dia tidak berhasil, setidaknya tidak secepat ini. Apalagi beberapa orang mempunyai foto yang agak berbeda dengan keadaan mereka sehari-hari, foto mereka terlalu rapih sementara penampilan mereka sekarang tidak serapih itu.

    “Yah, aku tidak perlu terburu-buru.” Ujar Kara sambil membuka laci. Dia lalu mengeluarkan sebuah benda bulat dari kayu, tebalnya sekitar satu setengah cm dengan diameter lingkaran sekitar dua belas cm.

    Kara lalu membuat sebuah bintang di dalam benda itu dengan telunjuk kanannya, dia lalu membuat lingkaran mengikuti ujung benda itu. Dengan jarak kurang lebih tiga mm, dia membuat oktagon mengelilingi lingkaran tersebut. Kara lalu membuat tiga lingkaran yang mengelilingi oktagon dan lingkaran sebelumnya.

    Dalam lingkaran itu, diantara lingkaran pertama dan kedua, Kara membuat garis berbentuk gelombang. Lalu diantara lingkaran kedua dan ketiga, Kara membuat garis yang mengikuti pola naik turun seperti garis gelombang, namun garis ini lurus dan memiliki sudut yang tajam.

    Kara lalu membuat dari garis lurus yang saling potong dan tegak lurus dari ujung paling luar. Dia lalu membuat dua bidang mirip jarum kompas dengan kedua garis itu sebagai garis tengah. Dia lalu menghapus garis tengah itu.

    Tyndus Network, Alpha Gardal Sync.” Ujar Kara selesai membuat seal tersebut.

    Berbeda dari kebanyakan seal, seal ini dibuat dengan persisi oleh Kara, satu persatu bidangnya di gambar. Biasanya seal hanya perlu dibuat dengan satu goresan telunjuk dan tergambarlah lingkaran utama dan pola unik seal tersebut. Setidaknya begitu jika sudah mahir dalam pembuatan seal.

    Setelah itu, seal tersebut menyala, mengeluarkan cahaya biru. Kara lalu menggenggam seal tersebut dengan tangan kanannya.

    Operatus Flamefox, Ascendatus: Hayam Wuruk, Unduh.” Kara melanjutkan membaca rune lain. Dia sedang mengoperasikan Tyndus Network.

    Tyndus Network adalah sebuah penemuan yang dianggap monumental untuk perkembangan Acrust secara keseluruhan. Sebuah jaringan koneksi super luas yang mencakup semua negara yang memiliki Seal Master untuk Tyndus Network.

    Prinsip kerjanya lebih mirip LAN dibandingkan internet sebenarnya, koneksi dilakukan ‘dari dan ke’ dua buah seal. Tidak ada master atau client, jaringan ini akan selalu ada selama masih ada yang menggunakannya. Namun, tiap negara memiliki hak untuk membuat seal master mereka masing-masing.

    Fungsi dari seal master adalah menjadi sebuah restriksi, sebagian besar bagian dari seal yang dibuat harus sama dengan seal masternya agar seal tersebut bisa berjalan. Bisa dikatakan seal master dibuat untuk mempermudah hak paten di dunia Acrust, atau dalam kasus Tyndus Network seal master bisa disetarakan dengan kode area pada telepon. Hanya saja fungsi utama seal master pada Tyndus Network bertujuan untuk mencegah spionase dari negara lain.

    Setiap orang bisa membuat spesifikasi yang berbeda dalam seal mereka entah agar tampak unik atau memperkuat efeknya, dalam kasus Tyndus Network dua garis di antara ketiga lingkaran paling luar. Bagian tersebut bisa diganti dengan bentuk lain untuk menjaga agar tidak sembarang orang bisa tersambung. Namun, pemilik seal master bisa masuk ke dalam koneksi Tyndus Network apapun, tidak peduli spesifikasi apa yang orang lain buat, itu juga cara memantau apakah terjadi spionase di negara itu atau tidak.

    Salah satu kelebihan Tyndus Network adalah Tyndus Network mempunyai beberapa cara kerja. Yang saat ini Kara gunakan adalah kemampuan Tyndus Network untuk menghubungkan dua buah seal, baik aktif maupun tidak. Seal yang dia tuju: seal penyimpan data, yang disebut seal Archava, di sekolahnya.

    Seal archava mempunyai kegunaan menulis dan menyimpan data. Seal archava terinspirasi dari kegunaan mesin tik, tepatnya kemampuan mesin tik untuk menulis lebih mudah dan efisien daripada dengan menggunakan pena, dan kemampuan seal archava untuk menyimpan datalah yang mempengaruhi terciptanya komputer. Keadaan saling mempengaruhi ini sering terjadi, namun tentu saja baik pihak Acrust dan Ergonic tidak akan saling mengakui.

    Kara berhasil menghubungkan sealnya dengan seal yang dia cari. Dia lalu membuat seal lain dengan tangan kiri. Dengan sedikit sapuan, sebuah seal kompleks, yang terdiri atas beberapa segi empat yang membentuk segi dua puluh empat dan dilengkapi beberapa bidang berbentuk bintang. Semua ini ditutup oleh empat lapis lingkaran yang terpisah dalam jarak kurang dari satu mm.

    Archava.” Ujar Kara.

    Operatus Flamefox, Di-Ascendatus: Sinistra, Unggah.” Lanjut Kara dan dari seal Tyndus Network muncul semacam garis putih menuju seal yang kedua. Garis putih ini adalah Tyndus Line, berfungsi menghubungkan antar seal dan memindahkan data, sesuatu yang sedang Kara lakukan.

    Dari pembuatan seal hingga selesai pemindahan data, Kara hanya membutuhkan 30 menit. Kara lalu menghentikan Tyndus Network. Tidak dibutuhkan rune untuk menghentikan sebuah seal, cukup menghentikan pasokan trivia kepada seal, atau merusak inti seal untuk seal yang permanen.

    Kara lalu menaruh balok kayu itu ke dalam lacinya kembali, dia menggoreskan beberapa garis, “Kierasta.” Ujarnya pelan dan menutup laci. Kara melihat ke arah seal yang melayang di sebelah kirinya.

    Kara menggunakan jari telunjuk kedua tangannya untuk menyetuh seal tersebut dan menggerakannya ke dua arah yang berbeda, ke kiri dan kanan, membuatnya menjadi tiga seal kembar. Beberapa gambar kertas muncul dari dalam ketiga seal tersebut.

    Kara lalu menyentuh seal sebelah kiri dengan telunjuk kirinya dan menggerakkan tangan kirinya tersebut ke atas. Gambar di seal itu lalu berubah menjadi semacam daftar panjang yang berada dalam suatu batas khusus.

    Kara melihat data itu dengan menggerakkan daftar itu ke atas dan ke bawah dengan telunjuk kirinya. Melihat data itu, Kara merasa heran. Meskipun beberapa orang mempunyai rangking yang rendah, mereka semua yang berada di kelasnya mempunyai nilai mencengangkan. Beberapa bahkan setara dengan Kara, nilai seratus sempurna.

    “Hm… Menarik juga.” Meskipun sempat mendengus, namun Kara pada akhirnya tersenyum.

    Kara lalu menekan daftar itu ke dalam seal dan daftar itu berubah kembali menjadi gambar-gambar kertas. Kara menyentuh dua seal terluar dan melakukan gerakan yang kebalikan dari tindakan sebelumnya, mengembalikan seal archava ke kondisi semula.

    De Facto.” Ujarnya.

    Dia lalu menggenggam seal itu dan membuka laci. Seal itu lalu di taruh di laci itu.

    Kierasta.” Ujarnya dan menutup laci.

    Kara melihat ke ujung mejanya. Dia lalu membuat sebuah lingkaran, “Run O Sang Samudra.” Ujarnya. Tidak terjadi apa-apa.

    Dia lalu menambah sebuah segi empat, “Ano, Chakra.” Ujarnya lagi. Kembali tidak terjadi apa-apa.

    “Hah… Aku ditipu ya?” Kara tersenyum karena merasa dirinya konyol dan menghapus seal yang dibuatnya.

    Percobaannya itu membuktikan bahwa seal-seal yang dibuat di lorong semuanya palsu. Artinya siswa-siswi itu menggunakan tipuan saat berlomba mengumpulkan kertas. Seal yang tidak palsu mungkin hanya seal dinding yang Kara tidak sengaja injak. Seal tipe permanen yang dibuat dengan rune berupa sentuhan fisik, dalam kasus itu adalah injakan.

    Kara lalu mengambil bukunya dari dalam tas dan Kara mulai belajar. Waktunya sangat sedikit dan masih banyak yang harus dia lakukan. Namun, setidaknya Kara sudah memiliki rencana untuk apa yang harus dia lakukan besok.

    *****​

    Curtis dan Kara berjalan keesokan harinya. Mereka saling menanyakan waktu tidur lagi, meskipun kali ini tidak ada yang menguap. Curtis dan Kara, tanpa sadar mempercepat langkah mereka, mereka mempunyai rencana masing-masing untuk teman di kelas. Mereka akhirnya tiba di sekolah. Saat itulah mereka baru sadar seberapa cepat langkah mereka.

    “Curtis, ini makan siangmu. Jangan lupa dimakan!” Kara memberikan sebuah kotak kepada Curtis, kotak makan siang.

    “Ok. Hati-hati.” Ujar Curtis.

    Mereka berdua berbalik. Namun tidak ada yang berjalan selangkahpun. Mereka menguatkan hati mereka untuk menghadapi apa yang mereka ingin jalani.

    Lalu seorang siswa berjalan melewati gerbang. Saat itulah Curtis dan Kara mengambil langkah mereka.

    Di kelas, awalnya Curtis dan Kara berniat mengatakan rencana mereka secepatnya. Namun posisi tempat duduk anggota kelompok yang tidak tepat membuat mereka mengurungkan niat mereka. Mereka memutuskan untuk menunggu waktu makan siang. Beberapa saat kemudian, guru sudah masuk ke dalam kelas.

    “Selamat pagi, semoga kalian tidak bosan melihat guru wali kalian ini karena hampir setiap pagi saya masuk ke kelas kalian. Saya ingin mengingatkan pada kalian bahwa kalian hanya akan belajar hingga hari jum’at. Tenang, jangan senang dulu, ini bukan karena sabtu hari libur. Mungkin sabtu minggu ini benar. Tapi sabtu-sabtu yang akan datang akan diisi kegiatan. Wajar kalau kamu tidak tahu, hari senin kamu tidak masuk.

    Sabar anak-anak, jangan tanya terlalu banyak dan terlalu bertubi-tubi. Mengenai kegiatan hari sabtu, kalian akan tahu juga nanti jadi pertanyaan seputar ini tidak akan saya jawab. Saya mengerti ada pelajaran yang sangat banyak yang harus kalian pelajari, tapi bukannya itu tugas pelajar?

    Ha… Ha… Saya hanya bercanda. Sedikit bocoran, dari tahun kedua, pelajaran-pelajaran seperti itu tidak memberi efek terlalu besar pada nilai akhir. Yang memberi efek lebih besar? Tentu saja praktek! Selama satu minggu ini, atau lebih tepatnya tiga hari ini, kalian akan mendapat berbagai ilmu dasar yang akan kalian gunakan untuk praktek minggu depan. Benar, praktek kalian minggu depan. Tenang, praktek minggu depan hanya sekedar pengenalan, bukan penilaian.”

    Guru wali lalu melanjutkan dengan beberapa penjelasan, namun bagi Curtis dan Kara, informasi yang sudah diberikan oleh gurunya itu sudah cukup. Mereka sudah bisa membuat jadwal kegiatan mereka dan kelompok mereka masing-masing selama sisa waktu yang diberikan.

    Tanpa terasa, waktu makan siangpun tiba.

    *****​

    “Bryan, apa yang kau tahu tentang Ergonic?”

    “Hm? Tidak begitu banyak. Hanya yang ada di televisi dan dari produk-produk rumahan yang kakakku beli. Itu juga elemen Ergonicnya berada di dalam alatnya sehingga tidak bisa aku perhatikan.”

    “Bagaimana denganmu Mark?”

    “Sama saja.”

    “Aku juga.” Reece menjawab dengan cepat agar pembicaraan bisa berkembang.

    “Jadi bagaimana dengan kesiapan kalian?”

    “Minimal aku rasa.” Jawab Johanna.

    “Memangnya kenapa?” Bryan balik bertanya.

    “Sebelumnya aku ingin bertanya, kalian tidak punya jadwal setelah sekolah ‘kan?”

    Masing-masing dari mereka mengatakan tidak.

    “Bagus, karena tentu saja sesuai kalian pikirkan, aku punya ide.”

    “Hm? Apa?” Mark bertanya setelah menelan makanannya.

    “Kau yakin itu bisa membantu?” Johanna segera bertanya.

    “Sebuah latihan, namun kita tidak bisa membicarakannya terlalu lengkap dengan kondisi sekarang. Kita butuh suasana yang mendukung untuk melakukannya. Selesai kelas, bagaimana kalau kita berkumpul?”

    Mereka masing-masing setuju. Mereka lalu kembali makan.

    Setelah jeda sejenak, “Ngomong-ngomong Bryan, dimana Hana?”

    *****​

    “Silva, seberapa banyak kau tahu tentang Acrust?”

    “Lumayanlah. Kau tahu, aku sudah sering dijejali berbagai hal mengenai Acrust oleh orang tuaku. Rasanya menyebalkan.” Jawab Silva tidak bersemangat.

    “Kalau kau sebal kenapa kau memilih jalur Acrust? Biasanya kudengar anak muda sekarang ini senang menentang keinginan orang tua.”

    “Karena aku sudah belajar dari kecil makanya aku pilih ini! Jadi aku tidak perlu belajar terlalu sulit.” Silva terus makan sambil berbicara.

    “He… Bagaimana denganmu Laura?”

    “Tidak begitu banyak.” Laura menjawab singkat. Dia dan Joanne masih berada dalam perang dingin. Mungkin lebih tepat perang dingin selama mereka makan di meja ini dan perang terbuka di luar meja tersebut. Laura tampaknya datang karena dia berjanji untuk makan bersama lagi.

    “He… Kalau kau Joanne?”

    “Tidak begitu banyak.” Ujar Joanne yang tampaknya sengaja meniru nada Laura.

    “Yamada! Bagaimana denganmu?” Potongan cepat ini membuat Laura yang tadinya sudah ingin mengeluarkan emosinya menahannya kembali.

    “Hm… Aku rasa tidak banyak… Aku hanya tahu sedikit… He… He…” Yamada menjawab sambil menggaruk-garuk kepalanya.

    “Begitu. Aku ingin bertanya, kalian tidak punya jadwal setelah sekolah ‘kan?”

    “Kau tidak bertanya padaku?” Tanya Hans, namun Kara tidak menghiraukan.

    “Aku rasa aku punya…” Silva menjawab sambil mengalihkan pandangannya ke kiri.

    “Tidak baik berbohong.” Hans menatap tajam ke arah Silva yang hanya tertawa kecil.

    “Aku pikir…” Laura berusaha berkomentar.

    “Kau tahu, tidak baik mengorbankan prestasi demi pandangan idealis yang sempit.”

    “Sempit!?” Laura berusaha berbicara.

    “Aku tidak bermaksud melecehkan pandangan atau pengalamanmu. Tapi kau tentu saja sadarkan kalau begini terus hal ini akan mempengaruhi pandangan guru yang tidak begitu mengenalmu tentangmu dan akan mempengaruhi penilaiannya kepadamu? Iya ‘kan?”

    “Terserah, asalkan itu berakibat bagus untuk nilaiku aku terima saja.” Joanne yang dipandangi tajam, balik menatap, lalu menjawab sebelum melanjutkan memakan makanannya dan berhenti menatap.

    “Aku kosong!” Yamada menjawab dengan semangat.

    “Bagus kalau begitu. Aku punya rencana untuk praktek minggu depan. Tapi kondisi sekarang, kondisi di kelas ini saat ini, tidak memungkinkan aku mangatakannya. Aku akan tunggu kalian di sini nanti sore!”

    “Hahh… Aku ma-… Ugghhh!!!” Silva tersedak saat berusaha berbicara, “…Ha…n…ssss…” Silva berusaha menjangkau Hans.

    “Itu seharusnya memberi anda pelajaran untuk tidak bicara sambil makan. Sudah berapa kali coba ini terjadi?” Hans menjawab dingin dan meneguk air putih.

    “Ha… Ha… Aku tunggu nanti sore ya…”

    *****​

    1 Minggu 5 Hari kemudian

    Gilroy masuk ke dalam sebuah tenda. Di dalamnya sudah terdapat sekitar delapan orang, tujuh diantaranya duduk bersila, masing-masing di atas karpet kecil, sementara satu orang yang terlihat berumur 17 tahun berdiri depan mereka.

    “Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba memanggilku? Aku bahkan belum sempat mencapai tujuanku…” Gilroy segera mengeluh sesampainya dia di dalam tenda itu.

    Tenda itu berukuran cukup besar, lebih luas bahkan dari rumah pada umumnya. Namun bukan ukurannya yang membuat tenda ini tidak biasa. Sebuah layar LCD terpasang di dalamnya, di belakang orang yang berdiri di depan mereka semua.

    “Ada hal penting yang harus aku sampaikan.” Orang yang berdiri di depannya segera menjawab.

    “Aku tahu itu, ketua Barley. Tapi kenapa aku yang harus mewakili sukuku disini? Lagipula denganku, baru Sembilan suku yang berkumpul. Waktuku tidak banyak.”

    “Waktu kita tidak banyak.” Barley, sang ketua salah satu suku immortal, berusaha menekankan bahwa kondisi saat ini sangat kritis, “Maka dari itu aku akan memulai ini sekarang.”

    Layar yang berada di belakang Barley tiba-tiba menyala setelah Gilroy duduk di tempatnya.

    “Ini adalah hasil sadapan kita terhadap seal pengintaian milik Anri. Daerah yang mereka intai adalah sebuah pulau kecil yang terletak di selatan lepas pantai Gardal. Tepatnya 500 meter dari ujung Tanjung Ujung.”

    “Pertanyaan, kenapa Anri tertarik memata-matai tempat itu?” Seseorang dari delapan orang yang berada di lantai bertanya.

    “Tidak hanya Anri. Irem juga memata-matai tempat itu. Tapi hanya sekarang saja mereka melakukannya. Alasannya? Ini.” Di layar tampak seseorang mengenakan jaket yang biasa digunakan petinju saat berlatih.

    “Kau!!! Itu hartaku!!! Beraninya kau menghancurkan harta karunku!!!” Terdengar suara seseorang berteriak.

    Layar lalu menjauh dari orang itu, tampak beberapa puluh orang mengerumuni orang berjaket. Orang yang tadi berteriak dengan nada berat memiliki janggut yang sangat lebat dan panjang. Penutup mata hitam dan topinya memastikan dia adalah kapten bajak laut, atau mungkin hanya bertingkah seperti kapten.

    Acrust milik Anri memiliki keunggulan disini, di bidang detail. Dengan kemampuan mendapatkan suara dan detail kejadian dari sudut pandang yang diinginkan, satelit-satelit Irem yang membutuhkan waktu beberapa menit untuk mendapat informasi yang sama dengan kualitas yang jauh lebih kecil tentu saja tidak bisa dibandingkan, meskipun mereka mampu mencapai lokasi penyadapan dengan lebih mudah.

    Orang berjaket itu menatap tajam ke arah orang yang berteriak itu. Mata merah menyalanya dan mukanya yang tidak tampak memberikan aura menakutkan ke sekelilingnya. Dia tersenyum, atau setidaknya itu yang Gilroy pikir dia lihat dari orang itu. Dengan cepat orang berjaket itu menyikut orang paling dekat di sebelah kanannya. Dia lalu memasang kuda-kuda dan menghadap arah berlawanan dari orang yang disikunya.

    “Cih!!! Serang!!!” Laki-laki berjanggut itu berteriak. Semua orang berlari, menyerang orang berjaket itu.

    Dia pertama mengambil langkah dengan kaki kirinya, lalu mengeluarkan tinjuan tangan kanan dan membuat salah satu penyerangnya terlempar jauh, dengan punggung tangan kanannya, dia menghajar kepala penyerang di belakangnya, dilanjutkan dengan pukulan diperutnya dengan sisi tangan kanannya. Dia lalu memukul penyerang di samping kirinya dengan tiga pukulan menggunakan sisi kepalan tangan kirinya, masing-masing ke kepala, dada, dan perut lalu meninju orang itu dari bawah.

    Dia lalu meloncat dan melakukan tendangan berputar seperti gasing. Semakin ke bawah dia berputar, dia bergerak semakin maju. Semua yang berada di sekitarnya terjatuh dengan keras. Putarannya berhenti tepat di depan laki-laki berjanggut lebat.

    Gilroy bisa merasakan bagaimana orang berjaket itu tersenyum lalu menghajar laki-laki berjanggut itu dari bawah hingga dia sendiri meloncat, sementara orang itu sendiri terlempar jauh. Dari tangannya tampak ada kilat saat dia meninju orang itu.

    Orang berjaket itu memalingkan kepalanya, seolah-olah tahu bahwa seseorang melihatnya dan dia melihat balik orang-orang itu. Kali ini, bisa melihat dia tersenyum. Dia menatap ke udara, dan setelah itu dia terbang dan menghilang. Dari kakinya muncul sesuatu yang terlihat sangat panas saat dia melesat. Dari kakinya muncul lava.

    “Ini rekaman lima belas menit yang lalu. Orang-orang yang dihajar tadi dipastikan mati. Mengenai latar belakang mereka, kemungkinan besar mereka adalah bajak laut yang biasa beroperasi di sekitar lautan barat. Kapten mereka, orang dengan janggut lebat, dikenal dengan nama Black Vader. Mereka pergi ke tempat itu karena mengikuti petunjuk sebuah peta harta karun. Saat mereka mencapai pulau itu, orang ini muncul.”

    “Lalu? Memangnya kenapa kalau ada satu Trump muncul begitu saja?” Gilroy bertanya dengan nada bosan.

    “Ketua! Ada sinyal lagi dari orang itu!” Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam tenda sambil berlari.

    “Bagus, dimana orang itu berada sekarang?”

    “Anri…” Ujar orang itu, membawa hawa tegang ke dalam tenda, terkecuali Gilroy yang menatap layar dengan malas.

    “Tidak mungkin! Bahkan untuk kendaraan tercepat, Anri perlu waktu setidaknya satu jam untuk mencapai pantai terdekatnya, Wongsul! Tidak mungkin dia bisa mencapainya dalam waktu lima belas menit!” Seseorang berteriak dengan nada marah berusaha menyibak hawa tegang di tenda itu.

    “Tidak, bukan pantai Wongsul, tapi pusat militer Anri, markas besar Gung-geug-ui (baca: gun-ge-gai).”

    “!!!” Hawa mencekam kembali melanda, lagi-lagi kecuali bagi Gilroy yang masih tampak bosan.

    “Kirimkan gambarnya ke layar!” Perintah Barley dan kembali tampak orang itu. Kali ini dia tidak mengenakan jaket, namun mengenakan celana hitam panjang dengan motif naga di sisi-sisinya, terlihat kain panjang berwarna putih yang terikat di pinggangnya, digunakan seperti ikat pinggang, dan karena bertelanjang dada, terlihat kain putih melapisi perutnya.

    Terlihat bahwa dia berambut merah pendek dan matanya berwarna merah. Mukanya yang tampan dan rambut belah tengahnya yang tertata rapi secara sekilas membuatnya tampak polos. Namun, senyuman penuh kemenangan saat dia berdiri diatas tumpukan mayat-mayat yang hitam legam membuat citra itu hilang dengan cepat.

    “Ini… Dalam lima belas menit?” Salah seorang, entah siapa, berbicara memecah keheningan. Informasi yang menambah ketegangan di ruangan itu.

    Sang pembawa pesan memberi informasi yang tidak begitu dipedulikan sebenarnya, kejadian ini terjadi dalam sepuluh menit karena orang itu membutuhkan waktu lima menit untuk mencapai tempat itu. Informasi yang menambah ketegangan di ruangan itu. Gilroy sendiri tidak bereaksi apa-apa.

    Tiba-tiba di layar, seseorang muncul dari balik sebuah tenda. Terlihat sangat tua dengan janggut putih panjang. Dia mengenaka baju berwarna coklat tanah yang menutup seluruh tubuhnya terkecuali kepalanya yang mengenakan sorban. Dia adalah salah seorang council.

    “Trump (baca Anri: torampu)… Yokuzo koko ni korentanda na…” Ujar orang tua itu dengan penuh kebencian.

    “Omee miteena jiji wa kirai zee!!!” Teriak orang itu penuh semangat seraya berbalik dan kembali tersenyum.

    Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu saling terjang. Efek yang tercipta mengakibatkan energi kuat menjalar ke sekelilingnya dan menghancurkan seal, gambarpun menghilang dari layar.

    *****​
     
  9. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Trump, Acrust, Ergonic: Words of Tale
    Chapter 3: Explanation/03/Chorus


    Jam menunjukkan jam tiga sore. Hampir semua siswa keluar dari kelas 2-1 gedung Ergonic. Hampir karena ada beberapa yang tinggal. Kemarin hanya Curtis, selain karena memang jadwal piket baginya, itu memang kebiasaannya. Hari ini ada enam siswa yang tinggal, tapi bukan karena hari itu bagian piket mereka.

    “Aku tahu kalau kita akan tinggal di kelas selesai jam pelajaran. Tapi aku tidak menduga hanya akan kita berenam disini.” Bryan mengeluh sambil mengambil sapu, “Maksudku, kenapa harus kita yang piket!? Ini ‘kan bukan jadwal kita!!!”

    “Hana… Tolong tangani dia dong…” Johanna berkata malas, dia sebenarnya juga tidak ingin melakukan bersih-bersih kelas, tapi dia tidak mau dikatakan sebagai orang yang senang mengeluh. Walaupun sebenarnya dia sedang mengeluh.

    “Jangan mengeluh Bryan, kalau kelas kita bersih ‘kan kita juga yang menikmati…” Hana menasehati Bryan sambil terus menyapu. Hana yang ketika makan siang tidak ada di kelas, kembali ketika waktu makan siang berakhir.

    “Aku tahu itu…” Bryan melipat tangannya di depan dada, “Tapi kenapa harus kita?”

    “Kalau bukan kita siapa lagi?” Curtis balik bertanya.

    “Orang yang seharusnya piket?”

    “Meskipun buruk untuk disiplin mereka, tapi kita akan lebih leluasa ‘kan kalau melakukan ini. Toh, kelas ini tetap kelas kita.”

    “Aku jadi ingin tahu apa rencanamu untuk minggu depan.” Mark menaruh sapu di pundaknya, “Jangan bilang, ‘membersihkan kelas agar menarik perhatian guru’.”

    “Tentu saja tidak. Untuk apa melakukan hal yang tidak berefek langsung pada praktek seperti itu?”

    “Ah aku tahu! Kau ingin melatih kami seperti di film-film atau bacaan-bacaan itu ‘kan!? Pertamanya kami akan mengira kegiatan seperti tidak berguna, hanya cara supaya kamu bisa bersantai-santai. Tapi pada akhirnya kami akan menyadari bahwa kekuatan kami sudah bertambah setelah semua kegiatan bersih-bersih ini!!!” Johanna berbicara penuh semangat dan memukul-mukulkan tangannya ke udara.

    “Er… Aku rasa Ergonic tidak berhubungan langsung dengan itu. Jadi maaf, kegiatan ini memang hanya sebatas membersihkan kelas saja.” Curtis merasa dia bisa mendengarkan sesuatu terjatuh ketika dia berkata seperti itu, tapi mungkin hanya imajinasinya saja.

    “Lalu apa rencana yang kau punyai Curtis?” Reece yang kali ini angkat bicara.

    “Bagaimana kalau kita selesaikan dulu membersihkan kelas baru kita bicara lebih lanjut?” Curtis berbicara sambil tersenyum. Mereka akhirnya membersihkan kelas tersebut hingga jam tiga lebih lima belas.

    “Yap, semua sudah bersih.” Curtis melihat ke arah kelas yang baru saja dibersihkan.

    “Jadi, kau bisa mengatakannya sekarang?” Mark segera bertanya.

    “Mari kita mulai dengan ‘sejauh apa yang kalian tahu tentang Ergonic?’”

    “Bahwa kita membutuhkan trivia dan fokus utamanya adalah pembuatan Syst?”

    “Jadi kalian tahu bagaimana menggunakan trivia dalam ergonic?”

    “Erm… Magic?” Johanna berusaha menebak.

    “…” Curtis menatap datar Johanna, begitu juga dengan yang lain.

    “Eh, kenapa kalian begitu?” Johanna tampak panik.

    “Ada tebakan yang lebih bagus?” Lanjut Curtis tampak memperdulikan reaksi Johanna.

    “Dengan menggunakan circuit?” Kali ini Mark yang menebak.

    “Tepat sekali.” Curtis tersenyum mendengarnya.

    “Tapi bukannya itu pengetahuan umum ya?” Reece berkomentar.

    “Lagipula bukannya nanti juga kita akan mempelajari hal dasar seperti itu? Kalau tidak salah besok atau lusa ‘kan?” Bryan mengeluarkan nada mengeluh, tampaknya dia masih merasa terbebani dengan bersih-bersih kelas tadi.

    “Teori penting. Tapi kalian tidak akan bisa praktek dengan baik kalau hanya tahu teori.” Curtis mengeluarkan sesuatu berbentuk tabung dari arah punggungnya.

    Ada beberapa tombol di permukaannya, tepatnya lima tombol. Ukurannya beragam dan tampak tidak teratur. Namun, penempatan tombol ini sebenarnya mengikuti desain ergonomis mengikuti jangkauan ibu jari tangan kiri.

    “Kalian tahu ini apa?” Curtis kembali berbicara dengan tersenyum. Dia memutar-mutar batang itu

    “Hm?” Mereka semua memperhatikan tabung yang dipegang tangan kiri Curtis. Melihat betapa seriusnya mereka memperhatikan, Curtis berhenti memutarkan tabung tersebut.

    Setelah melihat selama beberapa saat, mereka masih belum juga menjawab, Curtis menjawab sendiri pertanyaannya, “Ini Proto-System.”

    “He… Begini yang namanya proto-system? Aku sering dengar tapi tidak pernah melihat yang asli.” Bryan berkomentar dengan tatapan terkagum-kagum.

    “Tapi ini bentuk penyimpanan, bentuk kerjanya…” Curtis menekan tombol paling kecil di batang tersebut. Tiba-tiba dari batang itu muncul layar berwarna biru yang memanjang ke kanan, dan di layar biru itu tampak sketsa sebuah perangkat. “…Seperti ini.”

    “He…” Selain Mark, yang lain mengeluarkan suara itu.

    “Aku ingin bertanya.” Mark mengangkat tangannya, “Bukankah praktek nanti kita hanya akan dites sejauh apa kemampuan kita? Tidak ada penilaian ‘kan?”

    “Aku tidak akan seoptimis itu.” Jawab Curtis. Dia berkaca pada pengalamannya yang tidak terduga kemarin.

    “Begitu…” Mark menanggapi dengan tidak puas, namun dia diam.

    “Mark, kau tahu apa perbedaan cetak biru dan proto-system?” Kali ini Reece yang bertanya.

    “Sebenarnya tidak ada…” Curtis mendengus, namun dia masih tersenyum, “Hanya untuk membedakan.”

    “Tapi kenapa bentuknya keren begini?” Bryan segera menimpali.

    “Ini bentuknya jaman sekarang, hanya untuk mempermudah penyimpanan.”

    “Lalu itu sketsa apa?” Mark segera bertanya.

    “Sebelum itu, aku ingin bertanya. Menurut kalian kita akan melakukan apa sekarang?”

    “Sudah jelas ‘kan? Praktek?” Jawab Johanna tidak yakin.

    “Mungkin. Tapi kita tidak hanya sekedar praktek. Kita akan mengenal masing-masing bagian penting dari ergonic.”

    “Ehm. Bukannya nanti minggu depan kita akan diajarkan hal yang sama?” Mark kembali bertanya, suaranya semakin tidak puas.

    “Bagaimana kalau kau anggap ini les gratis?”

    “…” Mark terlihat semakin tidak puas.

    “Lalu, kita akan membuat ini?” Reece menunjuk proto-system.

    “Ini sudah ada hasilnya. Ergonic ini cukup standar kok, atau kalau kukatakan, dibawah standar.” Sambil duduk di kursi, Curtis membuka tas pinggang yang berada di pinggang kanannya yang dia pakai sejak kelas selesai.

    Curtis mengeluarkan sebuah benda mirip pistol, namun larasnya jauh lebih besar dari pistol biasa karena larasanya memiliki beberapa lapisan dimana lapisan paling luarnya tampak ‘menempel’ diatas karena kedua ujungnya tidak tersambung lagi saling menyambung seperti lapisan di dalamnya.

    Curtis mengarahkan benda itu ke depan, seperti seseorang yang akan menembak.

    “Wowowow!!!!” Semua orang melompat ke belakang ketika melihat itu.

    BUUUUUNNNNGGG

    Terdengar suara dengung yang cukup keras. Tapi tidak tampak tembakan atau bekas tembakan dimanapun. Mereka terdiam sesaat.

    “Kalian tahu, ini pengering rambut.” Ujarnya Curtis membuat semua orang menjatuhkan pundak mereka.

    “Ha… Ha…” Bryan tertawa sarkastik.

    “Ergonic ini sudah memiliki beberapa bagian dasar dari Ergonic. Circuit dan Mono. Tapi ini tidak cukup.” Komentar Curtis.

    “Ada lima bagian yang menyusun Ergonic, namun akan makan waktu lama untuk menjelaskannya disini dan aku pikir kita akan belajar setidaknya tiga bagian dalam dua hari ke depan. Teorinya di kelas, prakteknya bersamaku. Namun, keinginanku yang paling mendasar mengumpulkan kalian semua disini adalah ini.”

    Curtis menarik proto-system lain dari arah punggungnya dengan tangan kiri, ini membuat mereka yang lain berpikir ada kantung ajaib di punggungnya karena mereka tidak melihat ada tempat penyimpanan disana.

    Sama seperti tadi, Curtis menekan tombol yang paling kecil. Namun kali ini dilanjutkan dengan tombol berwarna biru di atasnya. Kembali muncul layar berwarna biru yang melebar ke kanan, namun setelah selesai melebar, layar itu membesar beberapa kali.

    “Kita akan membuat ini.”

    Mereka semua mendekat proto-system itu.

    “Hm!?” Johanna menggumam dengan ekspresi terkejut.

    “Besar juga…” Komentar Reece.

    “Karena besar itulah aku pikir ini cocok untuk latihan kita berenam.”

    “Tapi, membuat ini berarti kita butuh tempat yang luas.” Mark terdengar antusias, berbeda dengan ekspresi sebelumnya.

    “Aku punya tempatnya. Tapi aku ingin memastikan sekali lagi. Kalian tidak punya jadwal setelah sekolah ‘kan?” Pertanyaan yang sama seperti ketika makan siang, tapi kali ini mereka semua mengerti maksud Curtis.

    “Tentu saja!” Hana tiba-tiba berkata.

    “Baiklah. Mari kita tempat yang kumaksud.” Curtis lalu berjalan, diikuti oleh teman-temanya.

    *****​

    “Kara… Sepertinya aku harus ke toilet…” Silva berbicara dengan senyum lebar.

    “Kau yakin hanya ke toilet?” Tanya Kara.

    “Mungkin…” Jawabnya dengan tidak tegas.

    “Ah… Aku juga ingin ke toilet…” Yamada segera berlari di tempat, terlihat tidak mampu menahan lebih lama.

    “Ok kalau begitu… Aku tunggu di sini.” Ujar Kara.

    Mereka lalu pergi ke toilet dan Kara baru sadar bahwa dia sendirian di kelas. Laura dan Joanne tampaknya juga pergi ke toilet.

    Kara menghela nafas. Dia menatap langit yang cerah, meskipun matahari sudah tidak lagi di puncaknya. Setelah menghela nafas lagi, dia lalu berdiri.

    Lalu, 45 menit sudah berlalu dan sebagian besar orang tidak akan menggunakan toilet selama itu, kecuali tentu saja untuk beberapa hal. Hanya saja Kara menyadari bahwa dari sudut pintu tampak Silva mengintip.

    “Kami kembali…” Silva tertawa kecil saat mengatakannya. Dia tampaknya merasa bersalah, apalagi melihat kelas telah dibersihkan oleh Kara sendirian.

    “Kami kembali!!!” Yamada datang dengan meloncat-loncat dari belakang Silva. Dia menghampiri Kara, dan Kara mengelus-ngelus kepalanya.

    Laura dan Joanne juga berdiri di belakang Silva. Hubungan mereka tampaknya masih tidak ada perkembangan. Kara menghela nafas dan melihat ke arah Hans yang tersenyum melihatnya. Kara tidak tahu apa yang mereka bicarakan dalam waktu 45 menit di toilet, tapi tampaknya itu cukup membuat mereka kembali.

    “Aku ingin bertanya sekali lagi. Kalian tidak punya jadwal setelah sekolah ‘kan?”

    “He… He… Sepertinya tidak…” Silva menutup mulutnya dengan kipas.

    “Ehm…” Hans membatuk dan menekan pinggang Silva.

    “Nye… Iya-iya… Tidak ada…” Silva merubah ucapannya.

    “Laura? Joanne?”

    “Selama aku tidak perlu berinteraksi terlalu banyak dengan dia.” Ujar Laura.

    “Begitulah.” Timpal Joanne.

    “Hm…” Kara tersenyum, “Tenang, akan kupastikan kalian sering-sering berkomunikasi.” Senyum Kara makin lebar.

    “Eh!? Sudah kubilang…” Laura menatap Kara dengan kaget, namun melihat senyum Kara yang lebar, dia tidak bisa berkata apa-apa dan hanya menghela nafas.

    Sementara itu, Joanne menatap Kara dengan tatapan tidak aman, entah mengapa. Dia lalu mengalihkan pandangannya, ekspresinya masih penuh khawatir.

    “Yamada, bagaimana denganmu?” Kara merubah senyumnya kembali ke normal.

    “Tentu saja kosong!” Dia tersenyum lebar, Kara kembali mengelus kepalanya.

    “Jadi, apa yang akan kita lakukan?” Tanya Hans.

    “Aku ingin tahu, kalian bisa seal dan rune apa saja…”

    “Ho… Seal dan rune itu apa?” Yamada menaruh jari telunjuknya di mulut.

    “Kau tidak membaca koran atau majalah Yamada? Bagaimana kalau melihat siaran ilmu pengetahuan?” Kara tidak heran bahwa Yamada tidak tahu karena memang ada orang yang memilih jurusan bukan karena ketertarikan, hanya sekedar iseng. Yamada tampak cocok dengan deskripsi itu.

    “Aku cuma baca komik dan melihat siaran kartun saja…” Yamada tertawa sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.

    “Begitu? Waktu kita terbatas juga. Aku rasa sebaiknya kita pindah tempat dulu.” Kara berdiri.

    “Kemana Kara?” Tanya Silva, dia masih menutup mulutnya dengan kipas.

    “Aku mendapat tempat latihan yang bagus di sekitar sini. Lebih baik kita latihan disana.” Kara lalu berjalan keluar kelas, diikuti teman-temannya.

    “Jauh tidak?” Silva bertanya sambil mengikuti Kara.

    “Dekat-dekat sini kok.”

    Mereka lalu menggunakan elevator menuju lantai satu. Mereka kembali berjalan tapi tidak menuju pintu depan. Mereka melewati ruang guru dan terus berjalan di lorong tersebut. Mereka sebenarnya belum pernah melewati tempat ini sebelumnya karena waktu istarahat siang dihabiskan untuk makan siang sementara sore hari mereka selalu pulang tepat waktu.

    “Kara, kau yakin kita tidak akan tersesat?” Ujar Silva penuh kekhawatiran.

    “Tenang saja…” Kara tersenyum menjawabnya.

    Perjalanan ini sendiri memakan waktu hampir 15 menit. Mereka lalu sampai di sebuah pintu. Setibanya di luar, mereka disuguhi pemandangan lapangan hijau yang luas dan hutan yang lebat sebagai latarnya. Mereka masih terus berjalan dan tampaknya akan masuk ke dalam hutan.

    “Kara! Kau yakin kita tidak akan tersesat!?” Silva tampak sangat bimbang.

    “Aku yakin…” Kara mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum makin lebar. Silva hanya bisa mendengus dan berjalan dengan khawatir.

    “Jangan khawatir, saya ada disini kalau terjadi apa-apa pada nona.” Hans berbisik pada Silva yang berterima kasih padanya dan mereka bertukar senyum.

    Sementara itu Joanne, yang berada di samping Laura, mundur ke belakang, ke tempat Hans berada sambil menaruh pandangannya ke kiri bawah. Setelah mundur, dia baru mengangkat kepalanya lagi.

    Laura yang sebelumnya berjalan dengan mengalihkan pandangan dari Joanna melihat ke sampingnya dan sempat kaget karena Joanne sudah tidak ada. Dia sempat mengira Joanne kabur, namun dia segera melihat Joanne di belakang Hans. Dia berdecak lalu menatap lurus ke depan.

    Sementara itu Yamada berjalan dengan penuh semangat di samping Kara seolah-olah hutan yang lebat ini hanya jalan setapak yang biasa dia lalui. Kara tersenyum melihat tingkah Yamada.

    “Kita akan latihan disini.” Kara tiba-tiba berhenti dan berbalik.

    “Disini!? Di hutan begini!?” Silva tiba-tiba menunjukkan ekspresi ketakutan.

    “Bukan disini, tapi disini.” Kara memiringkan tubuhnya dan terlihat lapangan hijau yang hampir sama luasnya dengan lapangan hijau yang mereka lewati sebelumnya. Terlihat Yamada sudah berlari-lari.

    Mereka semua terkesima. Meskipun sama-sama lapangan hijau, lapangan ini lebih hidup. Ada banyak bunga dengan berbagai ragam. Juga kupu-kupu dan binatang-binatang kecil lain. Tingkah Yamada yang berusaha menangkap seekor kupu-kupu memperkuat bayangan seolah tempat ini adalah kebun depan rumah.

    “Kenapa disini Kara?” Hans yang tampak sangat kagum bertanya pada Kara, masih dengan tatapan kekaguman itu.

    “Kalian ingat ‘kan lapangan sebelumnya?” Mereka semua, terkecuali Yamada yang sedang mengejar-ngejar kupu-kupu, mengangguk, “Itu adalah tempat praktek kita.”

    “Darimana kau tahu?” Tanya Joanne.

    “Kemarin sebelum pulang ke rumah, aku sempat dulu bertanya pada seorang guru.” Kara menyipitkan matanya dan memandang ke kejauhan. Mungkin sebenarnya lebih dekat.

    “Tempat ini cocok untuk tempat latihan.” Lanjutnya.

    “Bukankah minggu depan kita hanya akan diuji?” Laura kini yang bertanya.

    “Aku tidak akan seoptimis itu. Berdasarkan info yang kudapat, minggu depan adalah penilaian awal kita. Semakin baik kita, semakin besar nilai awal kita.”

    “Kara! Ayo kesini!” Yamada berteriak sambil melambaikan tangannya.

    “Jadi, mari kita mulai…” Kara tersenyum lebar dan mereka lalu berjalan menuju lapangan itu.

    *****​

    Curtis dan teman-temannya tiba di sebuah gudang penuh dengan barang rongsokan. Gudang ini sebenarnya, atau seharusnya, memiliki nilai sejarah. Menjadi sebuah gudang tebu ketika Irem menjajah negeri ini, atau lebih tepatnya Uctdh (baca: Ukh) waktu itu karena negara itu belum lebur ke dalam Irem AKA dan Irem AKA memang belum terbentuk.

    Jaman berganti dan begitu juga fungsi gedung ini. Feudal, nama negara yang berdiri di Anri sebelum pemberontak mengambil alih pemerintahan, mengusir Uctdh dari Gardal dan gedung ini beralih fungsi menjadi gedung amunisi. Meskipun penting, gedung ini agak jauh dari medan perang dan akhirnya hanya menjadi gedung amunisi cadangan.

    Ketika pemberontakan terjadi di Feudal dan Irem AKA berhasil memukul mundur Feudal di hampir seluruh front perang, Gardal lahir dan gedung ini kembali beralih fungsi. Dari gedung penyimpanan, gedung ini menjadi sebuah markas militer. Tepatnya sebuah bandara kecil.

    Meskipun menjadi sebuah posisi yang vital dalam perang melawan Irem AKA, sejalan dengan kestabilan perdamaian dunia, gedung ini terlupakan. Bahkan saat ini tampaknya hanya Curtis, hewan-hewan liar, dan tanaman-tanaman di sekitarnya yang tahu.

    “Kita sampai.” Ujar Curtis.

    “Biar kutebak, kita akan menggunakan barang-barang bekas ini untuk membuat syst dalam proto-systemmu?” Mark tampak jelas lebih antusias dari sebelumnya.

    “Tepat sekali. Tapi tahu bahwa kita punya bahan hanya memberi kita kesempatan untuk bernafas lega untuk sesaat.” Sambil berbicara, Curtis mengatur beberapa kursi dan sebuah meja. Mark, Bryan, dan Reece membantunya.

    “Lalu kita akan melakukan apa untuk sekarang?” Tanya Johanna sambil duduk di salah satu kursi yang ada.

    “Kita perlu merencakan apa yang akan kita buat. Kalau kita semua bisa menggunakan waktu setelah sekolah, kita bisa menyelesaikan syst ini dalam waktu dua minggu dari sekarang.”

    “Sedikit bocoran, aku sempat bertanya pada guru, sepertinya kegiatan praktek akan dilakukan sore hari selama satu minggu ke depan.” Reece berkomentar.

    “Begitu? Yah, kalau aku mungkin bisa mengerjakannya sendirian pulang sekolah. Tapi aku ingin kita bisa menyelesaikannya. Paling lambat, dengan asumsi setiap sore digunakan, satu bulan lagi syst ini selesai.”

    “Kau obsesif sekali.” Komentar Bryan.

    “Yah, ini mimpiku sejak dulu.” Curtis tersenyum sambil melihat tumpukan rongsokan, “Mimpi ketika aku bermain RTS sih. Selain itu ada alasan lain yang sebaiknya kujelaskan secara mendetail.”

    “Begitu? Lalu rencana yang kau bicarakan itu apa?” Bryan kembali bertanya.

    “Rencananya aku ingin kita membuat bagian ini dan ketiga bagian ini.” Curtis menunjuk beberapa bagian di proto-system itu.

    “He… Kenapa bagian-bagian ini?”

    “Bagian ini…” Curtis menunjuk bagian sketsa yang tampak seperti laras pistol, “Menggunakan circuit, mono, dan Astrogoust. Tiga bagian standar dari ergonic.”

    Istilah yang Curtis kenal tampaknya memang bukan bagian dari pengetahuan umum. Bagaimanapun juga, ketiga bagian ergonic yang disebut oleh Curtis itu bisa sejajarkan dengan nama-nama enzim di biologi. Hanya mereka yang mendalami dengan serius yang bisa ingat apa fungsinya, atau bahkan mendengarkan.

    “Aku rasa kalian tahu circuit, tapi biar kujelaskan kelima komponen penting dari ergonic. Circuit berfungsi untuk merubah trivia menjadi objek yang diinginkan. Mono berguna untuk mengumpulkan trivia yang berada disekitar, intinya untuk memaksimalkan fungsi circuit. Astrogoust berguna untuk menyelaraskan dua atau lebih circuit.
    Lalu ada Trident, berfungsi untuk menggabungkan dua buah perangkat ergonic berbeda agar penggunaan trivianya tidak saling bertabrakan dan menghasilkan efek yang tidak diinginkan. Terakhir Al-tack, berfungsi untuk menstabilkan kinerja circuit dan juga sebagai sistem pengaman kalau-kalau trivia yang ada tidak mencukupi dan berpotensi menghasilkan Efek Vortex, efek dimana gelombang besar energi terlepas untuk menutupi defisit trivia di satu tempat.”

    Mereka semua mengangguk. Circuit memang hal yang cukup umum, sebagian besar ergonic sudah bisa disebut ergonic ketika sudah memiliki circuit. Namun bagian-bagian lain ergonic agak khusus karena mono misalnya, jarang digunakan karena tidak semua ergonic perlu jumlah trivia yang terlalu besar. Hanya saja penjelasan Curtis yang langsung tepat sasaran dan tidak menggunakan analogi membuatnya mudah untuk dipahami.

    “Kau sepertinya tahu banyak ya Curtis?” Reece berkomentar.

    “Aku sudah tertarik pada Ergonic cukup lama. Aku rasa aku agak maniak juga.”

    “Setidaknya maniak yang baik.” Komentar Bryan, Hana tampak tidak nyaman.

    “Kembali ke permasalahan. Untuk tiga bagian yang lain aku memilihnya karena terdapat circuit, mono, trident, dan al-tack yang digunakan. Intinya dengan keempat bagian in, kita sudah mengetahui bagian-bagian penting dari Ergonic.”

    “Begitu?” Johanna melihat dengan senyuman kecil karena sangat tertarik. Meskipun sembunyi-sembunyi, Curtis bisa melihat Hana melirik ke arah Bryan lalu Johanna, setelah itu memejamkan mata, membukanya lalu tersenyum sambil menatap proto-system Curtis. Sementara itu, Curtis berusaha tidak memperdulikan.

    “Tapi karena skalanya yang seperti ini tampaknya kita tidak mungkin menampilkan ini untuk praktek minggu depan.” Lanjut Curtis.

    “Lalu bagaimana? Apa gunanya kita melakukan ini sekarang.” Bryan bertanya dengan tatapan heran.

    “Sudah kukatakan ini hanya latihan. Kita juga akan membuat proto-system untuk hari senin kok. Meskipun aku yakin hari jum’at nanti akan diberi tahu detail praktek senin nanti.”

    “Tampaknya kita perlu kerja keras.” Mark berkomentar, namun nada semangatnya semakin terasa.

    “Tentu saja. Tapi hadiahnya adalah ketika semua ini selesai. Bagaimanapun juga, bagian paling menarik dari Ergonic bukan dari proses pembuatannya, tapi hasil akhirnya.” Curtis tersenyum dan tampak yang lain sepakat untuk mulai mengerjakannya hari itu. Mereka mulai bergerak.

    *****​

    “Silva, kau bisa membantuku menjelaskan bagian mendasar dari seal dan rune?” Kara berkata lalu tersenyum pada Silva yang berdiri di sebelahnya.

    “Kenapa harus aku?”

    “Karena kau sudah melakukannya dari kecil.”

    “Ngomong-ngomong Silva, kenapa kau harus latihan acrust dari kecil?” Yamada bertanya sambil mengangkat tangannya.

    “Pertanyaan bagus. Kau tahu, aku ini keturunan bangsawan. Menyebalkan, tapi begitulah alasannya, tidak lebih dan tidak kurang.”

    “Jadi kenapa kau tidak segera memulainya?” Kara masih tersenyum pada Silva.

    “Baiklah.” Silva lalu mulai menjelaskan dasar-dasar tentang seal dan rune - bahwa seal merupakan bagan yang dibuat untuk mengeluarkan acrust dan rune sebagai pemicu - seperti seseorang yang sedang membaca buku manual dan hanya yang mendasar saja yang dia jelaskan.

    “Itu saja? Ayolah Silva, aku yakin itu tidak cukup buat mereka.” Komentar Kara setelah Silva selesai menjelaskan.

    “Lalu apa yang harus kujelaskan?”

    “Bagaimana kalau trik membuat seal dengan cepat?”

    “Urgh, aku sendiri belum bisa membuat dengan cepat.”

    “He… Itu standar ‘kan?”

    “Kara-Kara, aku mencoba membuat seal, tapi kok tidak muncul apa-apa ya?” Yamada terlihat menggores-goreskan tangannya ke tanah, namun berbeda dengan Silva yang saat tangannya menggores ke tanah mengeluarkan cahaya, tidak nampak sesuatupun dari goresan Yamada.

    “Tentu saja, sebelumnya kau harus ‘disuntik’ trivia terlebih dahulu.” Jawab Kara.

    “He!? Disuntik!? Aku tidak mau disuntik!!!” Yamada terlihat merengek.

    “Tidak kok, ‘disuntik’ hanya istilah. Lebih tepatnya mengisi tubuh kita dengan trivia.” Kara menunjukkan telunjuk kanannya dan menggerak-gerakannya seolah-olah menusuk sesuatu.

    “Bagaimana kita melakukannya?” Tanya Laura.

    “Dengan ini…” Kara mengayunkan tangannya.

    Sebuah lingkaran di udara. Di dalamnya dia membuat beberapa segi delapan hingga menyerupai lingkaran penuh, “Jolt.” Lalu muncul semacam pistol di dari sana yang lalu dia tangkap. Pistol itu tampak aneh karena di lubang peluru keluar, ada spiral lapis tiga yang semakin besar.

    “Pertama ditaruh di kulit, lalu terdengar ‘britzz!’, setelah itu trivia masuk. Tenang, tidak lebih sakit dari gigitan semut.” Kara berkomentar dengan senyum yang lebar.

    “HIII!!!???” Yamada mundur kebelakang mendengar deskripsi yang tidak lebih tidak menyakitkan dibandingkan suntikan. Namun tidak hanya Yamada, Silvapun meloncat ke belakang.

    “Kenapa Silva?” Kara menunjukkan raut yang aneh, seolah-olah Silva bertingkah laku terlalu tidak wajar.

    “Aku tidak pernah menggunakan alat seperti itu.” Silva melihat alat itu dengan seram.

    “Kara bohong! Katanya tidak akan ada suntikan!” Yamada merengek.

    “Tenang, bercanda kok…” Kara lalu membuat lingkaran disekitar pistol itu dan membuat gerakan membentuk tanda koma, “Coma.” Pistol itu lalu menghilang.

    “Pistol itu digunakan ketika tidak ada yang bisa mentransferkan trivia ke dalam tubuh. Karena ada aku dan Silva disini, kau tidak perlu takut Yamada.” Kara tersenyum lebar.

    “Sungguh?” Tanya Yamada.

    “Yups.”

    “Jangan bohong ya…” Yamada mendekat dan memeluk Kara, seperti anak yang datang pada ibunya yang selesai marah. Kara mengelus-ngelus kepalanya.

    “Jadi, kita akan memulai dengan menyuntikkan trivia ke dalam tubuh kita, begitu?” Laura menanyakan sekali lagi untuk meyakinkan.

    “Benar. Namun aku ingin mengatakan ini selagi masih sempat, meskipun jika kalian berkomitmen masuk jurusan acrust, mau tidak mau suatu saat kalian akan melakukan transfer trivia ini.” Kara mengeluarkan nada serius.

    “Setidaknya jika kalian tidak mau, aku masih bisa membantu kalian untuk keluar dari jurusan ini. Ingat, setelah kalian melakukan transfer trivia, trivia itu menjadi bagian dari kalian.

    Jika trivia kalian habis, kemungkinan kalian hidup bisa disamakan dengan nol. Benda-benda ergonic akan menjadi sangat berbahaya bagi kalian karena ergonic menyerap trivia tanpa pandang bulu, baik dari alam maupun acrust.

    Kalian tidak akan bisa menikmati lagi ergonic atau menyentuhnya sedikitpun saat ergonic itu aktif. Apa kalian mau?” Lanjut Kara.

    Hans tersenyum, “Aku akan berjalan dimanapun nona berjalan.”

    Silva tampak memerah dan memalingkan mukanya, “Bodoh, kau tidak perlu mengatakan itu.”

    “Seperti yang kau bilang, itu pertanyaan yang terlambat.” Jawab Laura dengan senyuman dan ketegasan.

    “Aku mau!” Yamada menjawab dengan semangat, lalu Kara mengelus kepalanya.

    “Yamada, kau pertama ya. Kau ingin dipanggil Yamada atau yang lain?” Kara mendekati Yamada dan mengangkat tangan kiri Yamada.

    “Yamada saja.” Jawab Yamada segera.

    Kara lalu membuat sebuah lingkaran. Dia lalu membuat lapisan-lapisan lingkaran yang semakin kecil. Lingkaran-lingkaran itu lalu bergerak dengan arah-arah yang berbeda. “Yamada, Trivia Access.” Yamada lalu memejamkan matanya.

    Berbeda dengan disuntik, Yamada tidak merasakan sakit. Dia hanya merasa agak gatal, namun selebihnya adalah sejuk. Yamada tampak bergetar merasakannya. Setelah seal itu redup, Yamada membuka matanya dan tersenyum cerah.

    Hans lalu berjalan menuju Silva. Hans yang berdiri di sisi lebih tinggi dari dataran hijau itu tampak sejajar dengan Silva disini. “Aku mulai ya.” Silva tidak menatap Hans dan memegang tangan kirinya, “Kau yakin?” Tanya Silva berusaha memastikan, tanpa menatap langsung Hans.

    “Tentu saja nona.”

    Setelah mendengus, Silva segera membuat seal yang sama, “Celestial, Trivia Access.”

    “Laura, kita langsung saja agar cepat selesai?” Ujar Kara saat Silva sedang mentransfer trivia.

    “Baiklah.” Dia maju lalu Kara membuat seal dan mengucapkan runenya.

    “Joanne, kau mau melakukannya?” Kara bertanya sambil dia mentransfer Trivia.

    “Aku sudah melakukannya.” Ujar Joanne sambil membuat sebuah seal. Kara menatap tajam. Joanne tidak menyebut rune seal itu, tapi Kara tahu seal apa itu. Sagita.

    “Begitu? Bolehku tahu kenapa?”

    “Aku punya alasanku sendiri.”

    “Huh, paling hanya ingin pamer dan baru sadar efeknya seberbahaya itu sekarang.” Laura berkomentar pedas.

    “Terserah pendapatmu saja.”

    “Kenapa kau tidak berbicara dari tadi Joanne?” Kara menghela nafasnya melihat tingkah Joanne.

    “Aku tidak ingin kau suruh mentransfer trivia ke Laura.” Joanne memalingkan mukanya.

    “Siapa yang ingin ditransfer olehmu?” Laura berbicara pedas lagi sambil mengalihkan pandangannya dari Joanne dengan kasar.

    “Sudah-sudah, jangan terlalu ribut, aku tidak bisa konsen.” Kara berusaha melerai mereka.

    Setelah beberapa saat, Silva selesai melakukan transfer, diikuti Kara. Sementara itu, Yamada membuat beberapa lingkaran. Dia tampak senang melihat dari tangannya muncul cahaya putih.

    Sebenarnya Kara agak terkejut, karena untuk mengeluarkan garis putih perlu melatih transfer trivia keluar, dan itu belum membicarakan efisiensi agar tidak boros. Namun Kara hanya tersenyum. Bagaimanapun juga ketika pertama kali dia berhasil melakukannya dia melakukannya sendiri.

    “Kara, sekarang apa yang akan kita lakukan?” Tanya Hans.

    “Meskipun aku yakin nanti akan ada informasi tambahan, tapi sebaiknya kita memang berlatih dasarnya dulu. Aku berpikir kita perlu mempelajari seal dan rune sederhana seperti seal membuat air. Namun, ada baiknya melakukan apa yang Yamada lakukan. Bagaimanapun juga, mengeluarkan garis seal dan membaca rune adalah hal paling menarik dari Acrust.” Ujar Kara sambil senyum dia lalu membuat sebuah garis putih horizontal.

    *****​

    Sekarang sudah hari senin minggu kedua sekolah, yang bertepatan dengan minggu kedua bulan tersebut. Selama beberapa hari belakangan, baik Curtis dan Kara selama beberapa hari itu terus berlatih bersama kelompok mereka masing-masing. Hanya saja, meskipun menyembunyikan bahwa mereka latihan kelompok dari satu sama lain, itu tidak menghalangi mereka untuk bertukar makan siang di hari sabtu dan minggu.

    Sesuai perkiraan mereka, ada informasi baru yang diberikan oleh pihak sekolah mengenai praktek hari ini. Saat ini, mereka sedang berbagi informasi selagi mereka bersiap-siap di rumah Curtis.

    “Jadi kau diharuskan mengenakan ‘seragam’ bebas begitu?” Tanya Curtis yang sedang berganti baju di lorong di lantai dua.

    “Begitulah. Aku agak bingung sebenarnya, kenapa kita tidak memakai seragam yang sudah ditetapkan. Kebebasan berekspresi? Bagaimana menurutmu Curtis?” Kara sedang berganti baju di dalam kamar Curtis.

    “Entahlah, ergonic tidak memintaku melakukan yang seperti itu. Sudah selesai Kara?”

    “Aku rasa…”

    Curtis lalu membuka pintu kamar. Di dalamnya Kara berdiri dengan baju yang megah, atau mungkin gagah, dengan dominan warna coklat dan garis luar berwarna emas. Dengan mantel yang tampak seperti mantel militer negara-negara Irem 400 hingga 500 tahun lalu, lengkap dengan sarung tangan putih dan rantai emas disaku dadanya, untuk yang satu ini karena rantai tersebut adalah rantai jam saku. Tidak lupa syal putih di bagian dalam kerahnya yang tidak dikancing, menutupi daerah antara leher dan dadanya. Bahkan Kara mengenakan celana panjang.

    “Kenapa? Kau tidak senang?” Kara segera berkacak pinggang dan memasang tampang masam.

    “Tidak. Cocok malah kalau boleh kubilang. Tapi kenapa kau memilih ‘seragam’ yang menyusahkan sekali seperti itu?”

    “Ini seragam peninggalan ibuku. Rasanya sayang sekali kalau tidak aku pakai.” Kara mengambil sebuah tongkat dengan sebuah bola Kristal berwarna merah darah di ujungnya.

    “Kenapa kau membawa tongkat itu?”

    “Ini namanya True-Master. Ini alat yang diisi beberapa seal. Memberikan keuntungan beberapa detik dalam adu Acrust, atau supaya tidak perlu pusing menghafal terlalu banyak seal untuk dibuat.” Kara mengangkat tongkatnya. Tongkat itu sendiri cukup panjang, dari lantai tongkat itu mencapai dahi Kara.

    “Terdengar berbahaya, apa akan ada duel atau semacamnya?” Curtis mengerutkan dahi.

    “Tenang kok, ini untuk mempermudah praktek. Lagipula aku disuruh membawa ini.” Kara mengibaskan tangannya untuk menenangkan Curtis.

    “Ho…” Curtis berjalan menuju mejanya dan mengambil tas.

    “Bagaimana denganmu Curtis? Kau tidak membawa perlengkapan untuk praktek?” Komentar Kara melihat tas Curtis yang tidak tampak ada perbedaan.

    “Tidak, kami diminta untuk membuat ergonic di tempat dengan bahan yang sudah disediakan.”

    “Begitu? Kau ingin membuat apa?”

    “Yang mudah saja sepertinya, exo-skeleton mungkin.”

    “Hm? Bukannya itu membutuhkan waktu lama?” Kara ingat bagaimana untuk membuat sesuatu yang mudah seperti jam dinding, setidaknya itu mudah untuk Kara, dia membutuhkan waktu 30 menit tanpa acrust. Dan itu tidak bisa dibandingkan dengan exo-skeleton yang kemampuan untuk membuat sebuah jam setera dengan kemampuan membuat paha exo-skeleteon yang fungsional.

    “Tenang, aku ini terbiasa membuat sesuatu dengan cepat. Kalau kau diminta membuatnya dengan acrust, perlu berapa lama kira-kira?” Curtis menaruh tas di punggungnya.

    “Hm… Tiga-lima detik sepertinya.” Ujar Kara sambil berjalan di samping Curtis.

    “Nah, aku bisa membuatnya dalam tiga-lima jam. Waktu yang diminta untuk praktek.” Curtis tersenyum lebar, sementara Kara hanya membalas senyum itu sambil menghela nafas.

    “Jangan terlalu percaya diri ah.” Ujarnya sambil menatap ke arah lain.

    Curtis dan Kara lalu keluar dari rumah. Mereka lalu membicarakan mengenai beberapa hal yang mereka anggap penting seperti kemungkinan kejadian seperti hari selasa minggu lalu, atau kemungkinan mereka bertemu Trump lain selain Gilroy.

    Mereka berjalan santai dan di jalan mereka bisa melihat orang-orang berpakaian ‘aneh’ lain. Inti dari tugas di jurusan Acrust adalah mengenakan ‘seragam’. Namun tidak disebutkan batasannya. Ada yang menggunakan gaun atau jas megah. Ada yang mengenakan seragam militer seperti Kara, meskipun lebih modern dibandingkan seragam Kara yang klasik. Ada juga yang sengaja memakai piyama, Kara dan Curtis berpikir mereka sedang mengukur sebebas apa kata ‘seragam’ ini.

    Batasannya sebenarnya jelas, ‘seragam’ berarti pakaian yang berhubungan secara sejarah dengan Acrust. Seragam sekolah yang biasa berhubungan dengan ‘Gardal’ bukan dengan ‘Acrust’ secara khusus. Pada dasarnya ini seperti seragam di sekolah agama, namun di dunia ini tidak ada sekolah yang secara khusus mempelajari agama, karena agama adalah keputusan masing-masing orang dan kebebasan masing-masing orang.

    Namun di dunia ini ada Acrust dan Ergonic. Ada dua hal itu dan bagi sekolah dengan fokus pada salah satu berarti sekolah itu akan berusaha menonjolkan kefokusannya. Baik Acrust maupun Ergonic mempunyai ‘seragam’ yang berbeda. Sebagaimana Acrust mengutamakan sejarah, seragam Ergonic adalah temuan. Jika temuan itu bisa dikenakan sehari-hari, itulah ‘seragam’ mereka.

    Sekolah Kara dan Curtis, meskipun berdiri di tempat yang sama dan pemisahan antara acrust dan ergnoic setara dengan pemisahan IPA dan IPS di sekolah lain, berada dalam kondisi unik. Sekolah ini, saat bercabang menjadi acrust dan ergonic adalah dua sekolah berbeda dengan staff berbeda, gedung berbeda, perlengkapan berbeda, hingga beberapa aturan berbeda. Meskipun tetap memiliki kepala sekolah yang sama dan kurikulum yang sama, kurikulum Gardal untuk sekolah persatuan acrust dan ergonic.

    Maka dari itu, untuk mereka yang menggunakan pakaian semacam piyama, bisa saja itu digunakan, jika dan hanya jika ada seorang Acrust populer, yang berperan besar dalam perkembangan Acrust, selalu atau hanya mengenakan piyama sebagai pakaian sehari-hari. Orang itu, sayangnya bagi mereka yang menggunakan piyama, tidak ada. Mereka lalu harus pulang dan mengganti pakaian mereka.

    Seragam Kara, meskipun mempunyai penampilan yang mirip dengan jas petinggi militer Irem jaman dahulu, juga merupakan jas petinggi militer negara Feudal, negara yang sekarang menjadi Anri. Dengan kata lain ‘seragam’ Kara diterima atau bahkan sangat kental hubungannya dengan Acrust.

    Setelah menjejakkan kaki mereka di sekolah, langkah selanjutnya akan sangat berat bagi Kara dan Curtis. Sebelumnya, yang memisahkan mereka hanya dua buah gedung, namun tanah yang mereka pijak masih sama. Kini, ada dinding lain, dinding bernama Acrust dan Ergonic.

    Tapi selama dinding itu bukan Trump, dinding ini malah akan menjadi perekat. Karena tahu fakta itulah mereka bisa mengambil langkah selanjutnya. Karena setelah ini semua selesai, dinding yang memisahkan mereka akan sangat membantu mereka ke depan untuk hidup di Gardal, yang memandang sebelah mata mereka yang melihat acrust dan ergonic secara ekstrim.

    Setelah ini, akan ada sebuah tes. Dan setelahnya, akan ada kisah Acrust dan Ergonic.

    *****​

    Jam pelajaran sudah habis, Curtis bersiap-siap berjalan menuju ruang praktek.

    Bagi Kara, itu artinya dia harus berjalan menuju lapangan hijau yang berada sebelum tempat latihan rahasianya.

    Untuk mencapai sana, Curtis perlu menuju lantai dasar lalu melewati lorong-lorong yang sebagian besar siswa belum pernah lalui. Curtis sendiri sudah melewati sebagian besar lorong itu kemarin.

    Kara segera berkumpul dengan kelompoknya. Silva mengenakan gaun pesta berwarna putih dengan rok lebar berenda yang sangat pas dengannya, dan dengan Hans yang mengenakan tuxedo disampingnya, darah bangsawannya terasa dengan jelas.

    Curtis melihat-lihat ke sekitarnya, dia mencari anggota kelompok yang lain selain Bryan, Hana, dan Johanna yang sudah berjalan di sampingnya. Mereka perlu menyusun strategi, karena meskipun sebagian besar proses akan berjalan secara individual, nilai yang akan didapatkan berdasarkan seberapa cepat seluruh anggota kelompok itu menyelesaikan praktek dan kualitas karya seluruh anggotanya.

    Yamada lalu muncul dari belakang Kara. Dia mengenakan gaun berwarna pink, yang mengeluarkan aura berbeda dari gaun Silva. Dia terlihat seperti tokoh pahlawan di acara tv anak-anak, dan itu sangat pas, apalagi true-master miliknya adalah tongkat kecil dengan bintang di ujungnya. Laura dan Joanne juga tampak merapat. Laura mengenakan t-shirt putih longgar dan rok panjang berwarna coklat. Sementara Joanne di sisi lain mengenakan tuxedo seperti Hans, namun dengan dasi normal, bukan kupu-kupu.

    Dengan Reece dan Mark sudah berada dalam barisan kelompok, Curtis mulai meminta mereka memusatkan perhatian. Mereka tidak bisa berbicara terang-terangan karena kemungkinan orang untuk merusak rencana mereka jika ketahuan cukup tinggi. Selain itu, mereka menginginkan hasil terbaik dan menjadi satu-satunya yang terbaik, akan sangat tidak bijak jika orang lain mendengar rencana mereka dan megikuti langkah mereka. Curtis berbicara dengan pelan, namun pasti dan tegas.

    Sempat terjadi kebimbangan dalam diri Laura karena memang tidak ada rencana yang bisa berjalan sempurna, apalagi rencana Kara cukup sederhana. Namun Kara memastikan jika semuanya melakukan apa yang dia rencakan semuanya akan berjalan lancar. Waktu mereka tidak banyak, pintu keluar sudah tampak, meskipun mereka menggunakan tangga, tapi jika berjalan dengan berbicara waktu tidak akan terasa dan jarak sejauh apapun akan menghilang dalam sekejap.

    Mereka akhirnya tiba di tempat praktek. Tidak peduli itu Acrust atau Ergonic. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, aura tempat ini saja sudah membuat mereka merasakan ketegangan. Kecuali jika orang itu adalah Curtis atau Kara, atau beberapa individu lain di kelas mereka. Yang berada di tempat ini tidak hanya satu kelas. Satu angkatan, tepatnya enam kelas untuk masing-masing Acrust dan Ergonic, hadir dan berdiri di tempat luas bernama tempat praktek itu. Waktu berdiskusi untuk strategi sudah habis, tapi saat untuk memulai pratek masih harus menunggu instruksi selanjutnya. Tiba-tiba muncul gambar kepala sekolah yang memberi sambutan, memberikan instruksi tambahan untuk praktek, dan membuka kegiatan ini. Waktu mereka yang tidak banyak telah dimulai.

    Curtis segera menjangkau bahan-bahan yang ada. Tujuan awalnya adalah membuat rangka untuk exo-skeletonnya. Namun selain itu, dia perlu membuat al-tack dan trident. Dia menugaskan Johanna dan Bryan untuk membuat circuit, sementara Hana membuat kerangka untuk dirinya, Johanna, dan Bryan. Mark dan Reece masing-masing membuat kerangka ergonic mereka, juga membuat astrogoust. Mono dibuat terakhir karena prosesnya yang cepat. Curtis melihat proto-systemnya sesekali. Tampak normal, namun, sebenarnya Curtis dan kelompoknya berkomunikasi lewat sandi huruf di proto-system mereka.

    Sesuai perkiraan, Laura berhasil melakukan tesnya dengan baik, namun akurasinya yang masih buruk membutuhkan bantuan dari Kara, dan Joanne sesekali, tentu saja sembunyi-sembunyi karena tugas yang diberikan harus dilakukan secara individual. Pada dasarnya strategi bantuan berselang dan tersembunyi ini dipilih karena tugas yang diberikan dipilih secara acak dan belum semua anggota keompok mahir. Tugas teleportasi akhirnya berhasil dilalui Laura dengan baik, dan tampaknya Yamada mendapat tugas yang mudah. Silva jelas membantu Hans. Seharusnya semua berjalan lancar, pikir Kara.

    Memasuki tahap akhir, Curtis mulai memfokuskan dirinya pada pembuatan mono. Tidak perlu sesuatu yang berat untuk membuat mono, sekumpulan kapasitor dan sedikit modifikasi pada acceptor elektron sudah cukup. Namun Curtis tidak sadar, tidak semua orang hanya terfokus pada tugas. Utamanya mereka yang ambisius. Maha Jayabrata berjalan dan mendekati Curtis dan menaruh pesannya.

    Kara tidak tahu maksud dari orang itu, maksud dari Anggun Anggraeni. Dia tidak tahu apa yang dia inginkan, atau bagaimana dia akan melakukan apa yang dia tuliskan di pesan itu, hanya saja dia tahu tidak mungkin perempuan ini main-main. Kara meremas kertas yang dipegangnya, tugasnya sebentar lagi selesai dan bukan haknya untuk menghambat kelompoknya.

    *****​

    Selasa, 15.00

    Curtis berjalan keluar dari kelas. Seharusnya praktek akan dilakukan hingga hari sabtu nanti. Namun, hasil kelasnya kemarin yang melebihi standar membuat praktek selama satu minggu ditiadakan untuk mereka, artinya sore hari kelas mereka kosong. Curtis saat ini sedang berjalan menuju sebuah tempat yang ditunjukkan di kertas yang Maha berikan padanya.

    Sebenarnya dia ingin pergi ke gudang untuk menyelesaikan systnya, namun meskipun bebas dari praktek tidak berarti mereka boleh pulang. Tampaknya Maha Jayabrata mengetahui ini, pikir Curtis. Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan urusannya dengan Maha, namun mau tidak mau dia harus berhenti.

    Di lorong-lorong yang mirip labirin ini terdengar dua orang seperti sedang diinterogasi. Curtis menepuk kepalanya karena berpikir menggunakan kata sopan, bagaimanapun juga mereka bukan diinterogasi, mereka sedang dipalak.

    “Kalian mau kemana hah?” Curtis melihat seseorang berbadan kurus dan kulit gelap dengan tatapan menyeramkan bertanya, ada lima hingga enam siswa lain disampingnya.

    “Tempat ini tempat kami kau tahu!” Siswa yang berbadan tambun melanjutkan perkataan orang sebelumnya. Curtis melihat ke dinding sekelilingnya. Tampaknya tempat ini merupakan titik buta dari lima kamera pengawas.

    “Kalian tidak berpikir untuk bisa melewati tempat ini begitu saja ‘kan?” Siswa paling kurus yang berada di samping di samping siswa tambun juga ikut berbicara. Curtis berpikir apakah mereka semacam paduan suara menyebalkan atau hanya sekedar menyebalkan.

    “Sudahlah, kalian tahu kami hanya butuh yang biasa saja.” Di belakang mereka tampak seorang siswa dengan perawakan tegap, tampaknya dia pemimpin kelompok kecil ini. Curtis menghela nafas, dia sudah positif ini adalah pemalakan sekarang.

    “Kalian tidak berpikir semuanya bisa berjalan seperti ini terus dan tidak ada yang menggubris ‘kan?” Curtis tiba-tiba muncul dan berjalan mendekat.

    “Ha!?”

    Curtis segera melihat bahwa sebagian besar dari mereka kurus, terkecuali seorang siswa tambun dan pemimpin mereka yang tegap. Namun ternyata pemimpin mereka bukan-lah yang paling tinggi. Seorang yang tampak menatap dengan malas sepertinya mencapai 190 cm. Curtis lalu berpikir mengenai perbedaan sepuluh cm diantara mereka berdua, namun bukan waktunya untuk berpikir yang tidak perlu.

    “Aku katakan, kalian tidak berpikir semuanya bisa berjalan seperti ini terus dan tidak ada yang menggubris ‘kan?” Dia punya waktu kurang dari sepuluh menit untuk menyelesaikan semua ini.

    *****​

    Dua orang siswi tampak bertengkar, tapi lebih tepatnya seorang siswi memarahi siswi yang lain, karena hanya seorang siswi yang mendominasi percakapan. Dan Kara berdiri di balik dinding, mendengar pertengkaran itu saat dia berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Anggun.

    Kara bisa mendengar ucapan sumpah serapah dari siswi itu. Siswi yang ditekan berusaha membalas, namun tidak berhasil. Suaranya terlalu lemah dan dia tidak mampu melawan arus suara yang keluar dari mulut siswi satunya.

    Siswi yang sedang memarahi siswi yang lain adalah Inggrid Anggraeni. Sementara siswi yang ditekan adalah Maya Mailani.

    Masih teringat jelas bagaimana Inggrid mengejek Maya minggu lalu karena Maya terjatuh. Namun pertengkaran mereka selalu saja terjadi selama satu minggu ini, dimana Inggrid akan selalu mendominasi pembicaraan sementara Maya akan selalu diposisi yang membuat orang iba namun tidak bisa berbuat apa-apa.

    Dari ucapan Inggrid, tampaknya Maya adalah adik tiri Inggrid dan tampaknya pertengkaran mereka kali ini karena masalah laki-laki. Kara menghela nafas, alasan sepele. Dia mencoba melangkah untuk menyelesaikan masalah, namun tampaknya bantuannya tidak diperlukan, laki-laki dalam perbincangan sudah datang.

    Hanung Oktovus. Dia datang, bukan karena dia ingin menyelesaikan masalah, dia hanya sekedar ingin jalan melewati tempat itu dan kebetulan di jalan yang dilewatinya terdapat Inggrid dan Maya.

    Kara mendengar bagaimana Inggrid berubah perangai. Wanita itu segera merayu Hanung dan membawanya pergi. Meninggalkan Maya sendirian. Meskipun begitu dia tetap tersenyum saat Hanung membalikkan kepalanya seolah meminta maaf.

    Kara menghela nafasnya, masih ada waktu baginya untuk mencoba melakukan sesuatu. Dia lalu melangkah menuju gadis berambut hitam seleher itu, “Menyebalkan.” Komentarnya pelan.

    *****​

    Posisi titik buta itu sebenarnya tidak besar, hanya seluas setengah lingkaran dengan tempat berdirinya pemimpin kelompok kecil itu sebagai titik paling luar. Namun wilayah kecil itu cukup untuk menumpuk keenam tubuh yang tidak sadarkan diri. Curtis menepuk tangannya setelah mengatur posisi tubuh itu.

    Tidak perlu waktu hingga sepuluh menit bagi Curtis, itu berarti dia masih punya waktu untuk berbicara dengan dua orang yang dipalak. Satu orang kurus tinggi dengan kacamata tebal, sementara yang lain gendut dengan rambut kurang terawat. Curtis mengenal mereka, Udin Bakagamar adalah yang mengenakan kacamata sementara yang gendut bernama Chris Ashifee.

    “Waktuku tidak banyak jadi mari kita lewatkan bagian tidak penting.” Curtis menghentikan Udin dan Chris yang ingin berterima kasih, “Kalian sudah pernah lewat sini?”

    “Uh… Iya…” Jawab mereke bedua.

    Curtis sebenarnya tahu jawaban yang akan mereka berikan, toh pemimpin kelompok itu mengatakan ‘seperti biasa’.

    “Lalu kenapa kalian masih jalan lewat sini kalau kalian tahu jalan ini tidak aman? Kalian sebenarnya mau kemana?”

    “Kami hanya kebetulan bertemu, tidak berencana bersama-sama.” Chris yang menjawab.

    “Tapi tampaknya kami sama-sama ingin pergi ke kantin yang ada di sana.” Udin menunjuk ke belakangnya.

    “Lalu, kenapa kalian tidak berbicara dengan guru masalah ini?”

    “Um… Kami tidak berani…” Mereka menjawab bersamaan.

    “? Kalian lebih memilih diperlakukan seperti ini dibandingkan melaporkannya pada guru?” Curtis berusaha bersikap tenang.

    “Yah, kami lebih suka semuanya berjalan damai.” Komentar Chris.

    “Semuanya bisa berjalan damai, namun tidak akan bisa tercapai begitu saja. Kalau kalian berbicara dengan guru mediasi akan terjadi dengan lancar ‘kan?”

    “Tapi kalau ada guru, maka kasus ini akan lebih rumit dari yang seharusnya.” Ujar Chris sambil tersenyum.

    “Begitu?” Curtis menghela nafas, sikap yang berusaha mengambil mudahnya saja begini yang dia kurang senangi, “Ah, aku harus pergi. Tapi aku ingin bertanya, setelah ini apa yang akan kalian lakukan?”

    “Makan mungkin?” Jawab Chris. Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan tempat itu, meskipun Curtis masih merasa tidak puas.

    Dia tiba di sebuah ruangan. Berada di sisi selatan lantai lima dari gedung oktagon ini, ruangan yang Curtis datangi tampak tidak berbeda dengan ruangan lain, kecuali tidak ada jendela di bagian lorong. Dia lalu masuk dan menemukan ruangan itu sangat gelap, dia juga bisa merasakan ada banyak rongsokan di dalamnya.

    Tiba-tiba pintu terkunci.

    “Jadi apa yang kau inginkan?” Curtis menatap jauh ke sisi lain ruangan.

    “Membuktikan sekuat apa kau, begitulah.” Sebuah tembakan menerjang menuju Curtis. Dengan cepat tangan kiri Curtis menahan tembakan itu. Bukan tangannya sebenarnya yang menahan, tetapi yang digenggamnya. Sebuah balok hitam yang ukurannya sangat pas dengan genggaman tangannya.

    “Alasan konyol. Lalu bagaimana aku bisa keluar?”

    “Aku punya kuncinya. Kalahkan aku untuk mendapatkannya.”

    “He…”

    Tiba-tiba lampu menyala. Ruangan itu sebenarnya putih bersih, namun ada banyak rongsokan di sana. Maha tidak terlihat dimanapun. Dari arah serangan, dia seharusnya berada di kiri atas, di atas tumpukan rongsokan. Tapi dia tidak ada disana.

    Dua tembakan beruntun menerjang kepala Curtis dari sisi lain ruangan, namun dia mampu menghindari dengan mudah dengan dua gerakan kepalanya.

    “Dasar, aku sebenarnya tidak ingin menggunakan ini untuk orang yang tidak menyebalkanku. Tapi, ya sudahlah.”

    Dia menggengam balok itu tangan kanan lalu mengibaskannya. Circuit yang berada di kotak itu bereaksi dengan trivia, dan sebuah bentuk muncul dari balok itu, sebuah senjata berlaras panjang. Desainnya dibuat mirip dengan senjata yang Curtis temukan di sekolah, tapi sebagai pengganti circuit di ujung senjata itu, ada pisau yang terlihat sangat tajam.

    Curti lalu menekan sebuah tuas di bagian kiri dengan ibu jari kanannya.

    “Ayo.” Ujarnya sambil mengangkat senjatanya.

    *****​

    “Maya, kenapa kamu tidak melawan?”

    “Aku melawan, tapi tidak mungkin bisa berhasil. Bagaimanapun juga aku hanya anak pungut.” Maya menjawab lirih.

    Melihat Maya yang tampak sedu, Kara menggaruk belakang kepalanya, “Yah, sebenarnya aku lihat sih kau melawan. Tapi aku rasa kau tidak serius melakukannya.”

    “Aku serius!” Dia tampak tidak terima dikatakan seperti itu oleh Kara, “Tapi bagaimana lagi, aku sangat tergantung pada wanita itu.”

    Kara ingat dengan jelas percakapan mereka yang menyebutkan bahwa Maya tinggal di rumah itu, “Lalu apa yang kau lakukan di rumah itu?”

    “Hm?”

    “Maksudku apa kau benar-benar tidak berkontribusi apa-apa dan hanya datang ke rumah itu lalu tidur?”

    “Mmm…” Maya tampak ragu, “Aku tidak ingin terlihat sombong atau membesarkan diri sendiri, tap semua pekerjaan rumah seperti menyapu dan menyuci, aku yang kerjakan.”

    “Begitu? Lalu hubunganmu dan Hanung apa?” Maya kaget dan mukanya memerah mendengar pernyataan Kara.

    “Uhm… Tidak ada yang khusus kok… Hanya saja aku mengenalnya cukup dekat.”

    “Kenapa kau tidak mencoba tinggal dengannya?”

    “Eh!? Tapi dia ‘kan laki-laki dan aku perempuan! Tidak baik tinggal satu rumah!”

    “Bahkan untuk menjadi pembantu misalnya?”

    “Hm!?”

    “Kenyataannya kau tidak lebih dari pembantu di rumah Inggrid ‘kan? Kalau kau memang diperlakukan sebagai adik, perlakuannya tidak akan semena-mena ini.

    Kenapa kau tidak menunjukkan betapa dia tidak bisa apa-apa tanpa kamu. Toh kalau misalnya ada pembantu lain, seharusnya dia tidak keberatan. Apalagi kamu tidak digaji ‘kan?”

    “Em… Iya…”

    “Kalau halangannya adalah Hanung laki-laki dan kamu perempuan, kenapa tidak dengan alasan dia majikan dan kamu pembantu. Toh aku yakin dia bukan anak yang ditinggal sendiri oleh orang tuanya ‘kan?”

    “Kau… Kau benar… Terima kasih Kara, aku jadi lebih bersemangat. Meskipun aku rasa masih tidak mungkin menjadi pembantu.”

    “Ah, kalau tidak bisa tidak usah, toh aku cuma memberimu nasehat asal-asalan yang tidak masuk akal. Aku minta maaf.”

    Maya lalu pergi dari tempat mereka duduk. Kara tetap diam, dia tidak bergerak ke ruangan yang dia tuju, dia tidak perlu. Di ujung lorong berdiri sosok yang mengundangnya, Anggun Anggraeni.

    Dia mengenakan kemeja putih yang dibungkas jas hitam selengan dan rok berenda dengan motif kotak-kotak yang tidak sampai lututnya, di lehernya terlihat rantai, tampaknya dia mengenakan kalung atau liontin. Dahulu di Feudal ada sekolah berseragam seperti ini, mungkin ini alasan kenapa ‘seragam’ Anggun diterima.

    “Aku tidak tahu kau bagus dalam konseling.”

    “Aku tidak tahu kalau kau orang yang tidak sabaran.”

    Mereka terdiam, lalu, “Sagita!” Keduanya berteriak setelah dengan cepat membuat seal di udara, dan berdiri untuk kasus Kara.

    Seal sagita tidak tergolong mudah, tapi sagita adalah seal yang paling sering dipakai karena tingkat kesulitannya yang hanya tingkat tiga dari lima tingkat namun dengan posisi merusak yang tinggi. Seharusnya menggenggam panah sagita saja sudah akan membuat pemegang terkena luka bakar parah.

    “Boleh aku bertanya kenapa kau melakukan ini?”

    “Bilang saja aku bosan, tapi aku ingin tahu hubunganmu dengan Curtis Hang.”

    Kara menajamkan matanya dan menatap dengan tatapan yang tidak biasa.

    “Mata yang bagus.” Komentar Anggun.

    “Kita bisa berbicara panjang lebar, tapi aku rasa kau tidak akan repot-repot mengundangku kesini kalau kita hanya akan berbicara.” Kara menarik true-masternya yang tersimpan di punggungnya, “Ayo.”

    *****​

    Curtis mengincar kemenangan cepat. Setelah saling bertukar tembakan, dia berlari menuju sebuah gundukan rongsokan yang agak terpisah dari ‘pegunungan’ rongsokan. Namun saat Curtis menghampiri rongsokan itu, tiba-tiba rongsokan itu runtuh ke atasnya.

    Dia menghentikan langkahnya tiba-tiba dan lantai yang licin membuatnya terjatuh, sebelum dia mendorong tubuhnya sendiri ke sisi kanan menghindari rongsokan yang jatuh itu. Dia mengeluarkan beberapa tembakan ke belakang rongsokan itu, namun tidak ada orang disana.

    Dari rongsokan di samping kiri rongsokan yang jatuh, Curtis terlihat moncong senjata. Curtis segera diberondong tembakan yang membabi buta. Curtis segera mendorong tubuhnya lebih jauh ke belakang. Dia lalu menabrak gundukan rongsokan lain di belakangnya, lalu dengan cepat berlindung di belakang gundukan itu.

    Berbeda dengan senjata yang digunakannya saat mengumpulkan kertas, Maha tampaknya menggunakan peluru. Lebih boros trivia dari tekanan udara tapi jelas lebih mematikan. Salah satu pelurunya menyerempet pundak dan paha Curtis. “Apa aku perlu menggunakan mode ini ya?” Curtis melihat senjatanya.

    Dia tiba-tiba mengarahkan senjatanya ke kiri dan menembak, tembakannya mengenai peluru yang keluar dari pinggir sebuah gundukan. Seperti tadi, ada berondongan peluru, tapi sekarang Curtis tidak menghindar.

    Dia berdiri menghadap arah tembakan, dia merubah mode dari ‘Aim’ ke ‘Brutal’. Tanpa perlu mengakurasikan tembakannya, dia langsung menembak menuju gundukan tempat peluru datang. Meskipun brutal dan terlihat tidak terarah, setiap tembakan Curtis, yang terlihat hanya mengeluarkan tekanan udara, menghancurkan peluru yang muncul dari belakang gundukan.

    Tidak hanya menghancurkan peluru yang datang, tembakan yang keluar juga makin banyak. Sambil menembak Curtis juga berjalan maju, meskipun perlahan. Efek tembakannya tidak hanya menghancurkan peluru yang datang, tembakannya juga merusak gundukan rongsokan di hadapannya.

    Saat gundukan itu jatuh, debu yang terkumpul terlempar ke udara dan menghalangi pemandangan, juga pernafasan. Dalam kegelapan, atau dari ujung matanya yang perih, dia melihat cahaya merah di sebelah kirinya bergerak maju ke kanan depan.

    Secara reflek dia menghindar dengan melompat ke kiri, dan memang muncul tembakan dari arah cahaya merah itu. Dan tidak hanya satu, tembakan itu muncul semakin ke kanan, tampaknya Maha menembak sambil bergerak. Curtis menghindar dan bergerak mundur, mencoba mencari jarak.

    Curtis berusaha memprediksikan arah tembakan selanjutnya, dia lalu mengambil pisau dari ujung senjatanya, dia lalu melempar pisau itu ke arah tembakan terakhir muncul. Namun, dari belakang Curtis tiba-tiba seseorang melompat dengan tembakan mengarah langsung ke arah Curtis.

    “Kau pikir…” Curtis segera berbalik, dia meraih kerah orang itu, kerah Maha, “…Aku bodoh? HAH!?” Dan memukul keras kepala Maha dengan ujung senjatanya.

    *****​

    Kara dan Anggun berjalan sejajar ke arah kiri Kara. Dinding yang membentuk sekat-sekat menjadi penghalang pandangan mereka, dan mereka saling menyesuaikan bidikan mereka satu sama lain di lorong gedung itu. Bukan hal yang mudah karena setiap kali ada dinding, target mereka hilang, dan saat di lorong, target mereka tidak berada di posisi yang sama.

    Namun, jika berhasil memfokuskan pada target secara akurat setelah beberapa saat, tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Karena salah satu dari mereka akan menghilang setelahnya.

    Kara segera menghentikan langkahnya setelah melihat Anggun menghilang dari pandangan, dia kemungkinan berada di lorong sebelumnya. Di kedua lengannya tiba-tiba muncul tiga buah seal, dia tidak menggambarnya, tapi seal ini sudah tersimpan dalam true-masternya.

    Cara kerja true-master sangat mudah. Karena di dalamnya sudah terdapat sekian banyak seal, maka seorang Acrust hanya perlu memanggilnya dengan memikirkan seal apa yang ingin dia keluarkan dan dimana diletakkannya. Meskipun mereka tetap perlu mengucapkan rune.

    Dorbah, Soddu, Khofod.” Ujar Kara.

    Anggun segera muncul dari balik dinding di sebelah kanan dan menyerang dengan tangan kiri, yang dengan sigap ditahan oleh Kara dengan tangan kanannya. Anggun segera menyerang dengan tangan kanannya, lalu, sambil mendesak mundur Kara, dilanjutkan dengan serangan memotong dengan sisi tangan kiri ke perut, sisi tangan kanan ke kepala lalu ke perut lalu membabi buta, setelah itu punggung tangan kiri ke perut. Kara menangkis semuanya dengan cepat menggunakan tangan kanannya.

    Anggun kemudian memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala dan kembali di tangkis Kara, namun dia segera sadar kesalahannya. Tangan kiri Anggun sudah berisi seal dengan bangun sangat kompleks, namun karena ukuran sealnya yang kecil, Kara tidak bisa melihatnya dengan jelas.

    Tapi yang di dengar, “Numek, Chakra!” Membuatnya melempar tubuhnya ke belakang. Tapi tidak bisa.

    Tangan kanannya seolah-olah tertempel dengan tangan kanan Anggun. Respon tercepat Kara adalah menahan serangan laser yang keluar dari tangan kiri Anggun dengan true-masternya.

    Namun saat dia melakukannya, tangan kanannya di lempar oleh Anggun, dan dihadapannya adalah punggun tangan kanan Anggun yang segera diliputi seal, “Lejos” Dan secara telak menghajar mukanya.

    Kara terpental ke belakang. Dia berhasil untuk tidak jatuh namun dia masih tedorong beberapa meter meskipun sudah menapak kakinya di tanah. Dia melihat ke depan dan tampak lima hingga enam seal muncul di belakang Anggun. “Seis, Sagita!”

    Enam buah panah sagita yang kuning menyala segera keluar dan menyerang Kara dengan gerakan liar. Kara tidak berlari dari sagita itu, dia menerjangnya. Dengan sigap Kara menangkis semua sagita itu.

    “Bodoh! Infinitus, Sagita!” Tepat sebelum rune selesai muncul seal yang jumlahnya tak terhitung dari belakang Anggun memenuhi lorong sempit itu dan muncullah Sagita yang jumlahnya sangat banyak.

    Kara mengibas tangannya, lalu muncul seal dengan tiga lingkaran sama besar di tengah dan sebuah bangun belah ketupat melewati ketiga lingkaran itu, meskipun tidak tepat di pusat masing-masing lingkaran, lalu ada banyak bidang segi lima yang hampir membuatnya seperti lingkaran di sekitar ketiga lingkaran itu, diakhir dengan tiga lingkaran yang saling melapisi di luarnya. “Kamyou!”

    Seal itu lalu mengikuti kepalan tangannya. Setelah itu Kara memukul tumpukan sagita yang luar biasanya banyaknya itu. Hanya saja satu pukulan tidak akan cukup. Ada begitu banyak sagita yang belum berhasil dihilangkan dan terus menerjang, lalu menusuk lantai secara brutal.

    Namun Anggun segera mengalihkan pandangannya ke kanan, Kara sudah berdiri di ujung lorong di kananya dan segera berlari. Anggun segera bersiap-siap, namun ternyata dari arah kirinya muncul serangan laser. Anggun menahan serangan itu dengan tangan kanannya di bawah tangan kirinya yang sedang mengarah kepada Kara.

    “Kau bodoh ya…” Ujar Anggun sambil melihat true-master Kara yang ditinggal melayang untuk mengeluarkan seal laser tadi.

    Namun saat dia melihat kembali ke arah Kara, dia sadar akan kesalahannya.

    “Kalau aku bodoh…” Kara tidak berlari, dia terbang, terdapat dua seal di samping luar masing-masing mata kakinya. Seal yang tadi digunakan untuk menghentikan sagita masih ada di tangannya, atau mungkin dibuat kembali karena sekarang tidak hanya ada satu, tapi empat dengan tiga mengitari seal yang berada di kepalan tangannya, “…Lalu kenapa!? Hah!?” Tinjuan itu telak mengenai muka Anggun.

    *****​

    Maha terlempar jatuh ke belakang. Curtis, tanpa menunggu Maha segera melanjutkan tembakannya.

    “Woi, tunggu dulu!” Teriak Maha sambil berdiri dan melompat ke belakang.

    Mereka lalu saling bertukar tembakan dan menghindar. Maha dengan berlari, berputar di lantai, dan melompat ke kanan. Sementara Curtis dengan berjalan dan sesekali menggeserkan bagian tubuhnya.

    Setelah saling menjauhi cukup jauh, Curtis tiba di pinggiran pegunungan rongsokan. Curtis yang sedari tadi menembak dengan menghadap ke kiri, lalu menembakkan terbalik senjatanya ke belakang dengan tangan kanan sambil berjalan membelakangi Maha menuju bagian belakang rongsokan.

    “Kau hebat juga!” Maha berkomentar.

    Karena sulit untuk menembak dari tempar persembunyiannya dengan tangan kanan, Curtis menggunakan tangan kirinya untuk menarik pelatuk sekarang. Setelah saling tukar menembak, yang terasa tidak akan berhenti karena ‘tidak ada batas’ amunisi, Curtis lalu menggenggam laras senjatanya dan mengangkatnya cukup tinggi.

    Dia segera keluar dari tempat persembunyian lalu melakukan posisi seorang pemukul baseball. Dia melakukannya karena merasa mendengar sesuatu yang salah untuk pertarungan jarak dekat dan ruang tertutup. Sebuah granat melayang menuju arahnya.

    Dengan keras dia memukul granat itu, membuatnya kembali dengan melesat. Maha yang melihat itu segera keluar dari persembunyiannya dan menembak granat yang melayang kembali ke arahnya. Muncul asap yang tebal, tampaknya granat itu bukan granat ledak tapi granat asap.

    Dari bawah asap tampak sesuatu bergerak cepat, Maha segera mengarahkan senjatanya ke bawah. Namun yang ada di sana adalah senjata Curtis, Curtis sendiri melayang di udara dengan kepalan tangan kanan.

    Maha mengarahkan senjatanya ke atas, namun Curtis segera merubah arah senjata itu kesamping. Dia lalu menggenggam senjata itu agar Maha tidak bisa bergerak dan memukul muka Maha dengan punggung tangan kirinya. Maha dengan sigap menangkisnya dengan punggung tangan kanannya.

    Curtis dengan kasar menarik lepas senjata Maha sambil menekan tubuhnya dengan tangan kirinya. Setelah senjata itu terlempar, Curtis mengepalkan tangan kanannya dan mengarahkannya ke kepala. Maha membuang pukulan itu dengan tangan kiri.

    Curtis lalu memukul perut Maha dengan tangan kirinya, dilanjutkan dengan tangan kanan. Keduanya berhasil dibuang oleh Maha. Namun ketika dia berusaha menangkis serangan pukulan kiri itu, Curtis merubah serangannya dari pukulan dan menangkap tangan kanan Maha. Tangan kanannya yang sedang dibuang oleh Maha, juga menangkap tangan kiri.

    Dengan cepat, Curtis mebenturkan kepalanya. Maha tidak bisa menghindar, maka dia mendorong kepalanya ke depan agar keduanya mendapat efek yang sama. Keduanya terlempar sedikit ke belakang. Namun segera mereka mendapatkan posisi mereka lagi. Keduanya lalu memukul dengan tangan kanan ke kepala dan saling menghindar.

    Mereka lalu saling menjauh. Curtis segera meraih senjatanya yang terdapat di lantai. Dia memegang pegangan dengan tangan kiri dan menekan sebuah tombol di kanan pelatuk senjatanya. Circuit bereaksi lalu muncul semacam tuas besar berkaki di ujung laras yang dipegang Curtis dengan tangan kanannya.

    “HAAAAAAAAAAHHHHHHHH………….” Keluar suara dengan nada yang dalam dan berat dari mulut Curtis saat dia menarik tuas itu ke belakang, segera trivia yang berada di sekitarnya muncul di lubang peluru.

    Sambil menarik nafas dalam-dalam, dia menembakkan kumpulan energi yang berbentuk bola itu. Tuas yang dia tarik dengan keras kembali ke ujung laras.

    DUUUUUUUUUUUUUUUURRRRRRRRRRRRRRRR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    “WOOTS!!!” Maha hanya bisa menutup mukanya dengan kedua lengannya saat senjata itu ditembakkan. Namun, tembakan itu mengenai tumpukan rongsokan di sebelahnya.

    “He… He… He… Meleset ya?” Dia tertawa kecil dengan ekspresi mengejek.

    Namun dia mendengar sesuatu yang salah. Bunyinya seperti uap air panas yang melewati moncong ketel. Dia melihat bagaimana tumpukan-tumpukan rongsokan itu terkumpul ke satu titik, ke bola energi itu. Semakin banyak tumpukan itu, semakin kecil bola energi itu, namun energi gravitasinya semakin kuat.

    Bola energi itu tidak kehabisan materi, tapi terjadi semacam reaksi fusi disana. Hanya saja, karena materinya trivia, ada sebuah masalah yang muncul. Saat akhirnya bola energi itu terlalu kecil, dia akan langsung tercerai berai, bukannya membentuk atom baru. Dan saat tercerai berai, energi yang membuatnya bersatu akan terlepas secara liar keluar.

    TIK

    Bunyi pemicunya tidak perlu dan tidak pernah megah.

    DUAAAAAAAARRRRRRRRRRR!!!!!!!!!!

    Namun lain hal dengan bunyi ketika ledakan itu terjadi.

    “GGGGRRRRRRRAAAAAAAAAAHHHHHHHH!!!!!!!!!!!” Maha yang sudah berlari sejak mendengar suara aneh itu melompat ke balik tumpukan rongsokan.

    Curtis berdiri tenang sambil melihat ke tempat Maha bersembunyi.

    Tiba-tiba bagian-bagian rongsokan bergetar dan bergerak berkumpul ke satu titik.

    “JADI BEGITU MAUMU, HAH!!?” Maha berdiri di atas tumpukan tempat dia bersembunyi. Dia mengangkat sebuah kotak besar dan melepasnya di udara. Tiba-tiba, dengan menggunakan bagian rongsokan yang ada, kotak itu berubah wujud menjadi semacam meriam berkaki tiga. “KALAU, BEGITU TERIMA INI!!!”

    Rongsokan tetap bergerak ke arah Maha, bukan karena kotak itu menggunakan rongsokan untuk berubah, namun karena senjata Maha menghisap trivia dalam jumlah besar.

    Curtis tidak bergerak, dia berdiri menyamping dan memegang senjatanya dengan satu tangan. Maha melihatnya dengan tatapan membunuh, Curtis menatap balik dengan tatapan yang mirip tapi tanpa diliputi perasaan marah.

    Maha menarik tuas di atas senjata itu, lalu kedua tangannya siap pada pemicu di kedua sisi meriam itu. Saat lidah-lidah listrik keluar dari senjatanya, tatapan Maha menajam. Sementara Curtis merubah arah tuas kecil di samping kiri senjatanya dengan cepat.

    BLAAAAARRRRRR!!!!

    Curtis melihat ke kanan jauh. Serpihan-serpihan dinding beterbangan.

    “Curtis!!” Bryan terlihat di sana. Dia segera berlari menuju Curtis.

    Maha menekan pemicu senjatanya dan terdengar suara tembakan yang dahsyat. Bryan tiba-tiba berada di depan Curtis. Curtis terkejut melihatnya tiba-tiba disana.

    “Kau ingin dia mati, HAH!? DASAR BODOH!!!” Bryan meninju peluru yang keluar dari senjata itu dengan tangan kanannya, meninju peluru railgun itu.

    *****​

    Anggun terpental menabrak dinding, retakan muncul di dinding itu. Kara segera melanjutkan serangannya, namun Anggun berhasil menghindar ke kanan, dinding tempat Anggun bersandar tadi langsung hancur karena pukulan Kara.

    Kara melihat ke arah Anggun menghindar, namun dia tidak ada di sana. Sambil menghela nafas, Kara mengambil tongkatnya lalu masuk ke dalam ruangan yang berada di balik dinding yang dihancurkannya.

    Ruangan itu memilik sebuah kursi besar dari batu di atas lantai berundak di seberang sisi lubang yang Kara masuki. Ruangan ini jelas bukan berada di lantai tertinggi, namun cahaya matahari masuk ke dalamnya, atau tidak karena Kara melihat ada beberapa seal di langit-langit ruangan.

    Tampaknya seal-seal itu sudah ada sejak lama. Terlihat beberapa tanaman perdu menutupi sebagian besar lantai ruangan dan beberapa dinding. Tapi bagian atas dinding dan langit-langit tampak bersih. Selain tanaman, terdapat juga kupu-kupu. Sebersit pikiran tidak nyaman mampir ke dalam pikiran Kara. Tapi dia segera menghilangkannya dari pikiran Kara. Anggun sudah tiba.

    “Anggun, kau meminta izin untuk menggunakan ruangan ‘kan saat mengundangku?”

    “Tentu saja.” Suara Anggun terdengar dari balik dinding.

    “Bagaimana kau meminta izin?”

    “Kenapa? Kau ingin meminjam ruangan juga?”

    “Aku ingin tahu apa yang KAU ucapkan ketika meminjam ruangan INI.”

    “He… Kau sadar ini ruangan yang kupinjam ya?”

    Kara berpikir karena pada dasarnya mereka bertarung di jalan menuju ruangan ini.

    “Aku hanya mengatakan aku akan meminjam ruangan ini, itu saja.”

    Tiba-tiba muncul delapan cahaya laser menembus dinding. Salah satu cahaya melewati ruang di bawah kaki Kara. Kara segera melompat, dan cahaya itu lalu berputar dan bergerak memusat.

    Dim.”

    Muncul semacam pelindung berwarna merah di sekitar Kara dan membutnya tetap melayang, cahaya di sekitarnya terus bergerak memusat, namun tidak berhasil menembus pelindung itu.

    Dinding yang memisahkan mereka hancur. Anggun lalu berjalan masuk beberapa langkah dan berhenti.

    “Kau pikir itu cukup untuk mengalahkanku?” Tanya Kara ketika dia mendarat lagi.

    “Itu belum seberapa.” Anggun tersenyum congkak, “Infinitus, Kara, Chakra!” Seperti tadi, sebelum rune selesai dibacakan, muncul banyak seal, di seluruh dinding.

    Cahaya-cahaya itu bergerak dengan liar. Kara menekuk kakinya, meletakkan tangannya disamping setinggi perut, muncul listrik di genggamannya. Kara lalu menyeringai lebar, “Kukatakan, KAU PIKIR INI CUKUP!?”

    *****​

    Terjadi ledakan yang dahsyat dan asap memenuhi ruangan. Namun saat asap menghilang, semua masih berdiri. Curtis melihat tangan Bryan, di tangannya terdapat semacam gauntlet dari besi. Terdapat tonjolan-tonjolan tajam. Saat ini, tonjolan-tonjolan itu mengeluarkan lidah-lidah listrik kecil.

    “Wah… Wah… Kewalahan Maha?” Curtis melihat ke arah Bryan masuk. Seseorang berambut hitam tampak acak-acakan namun dengan sisiran ke belakang, tampak bersandar di gundukan rongsokan di dekatnya. Kulitnya sendiri sawo matang seperti yang lain, tapi agak gelap, mendekati coklat. Dia tidak lebih tinggi dari Curtis, sekitar 170 cm.

    “Tidak juga.” Maha meluncur turun sambil membawa kotak yang dia bawa.

    “Mau kubantu?”

    “Tidak, izinnya tidak mencakup pertarungan dua lawan dua.”

    “Maha, bagaimana tadi kau meminta izin?” Tanya Curtis.

    “Izin ruangan untuk melakukan eksperimen ergonic ciptaanku, Maha Jayabrata, juga ciptaan Curtis Hang.”

    Bryan berusaha memprotes, namun Bryan mencegahnya.

    “Ada parameter khusus?”

    “Hanya serangan non-lethal yang diperbolehkan. Sejak kapan kau sadar sebenarnya?”

    “Karena aku tidak mencium abu mesiu, aku sadar pelurumu peluru karet. Lagipula aku mengeceknya saat aku jatuh dekat tumpukan perlurumu.”

    “Ho…” Maha berjalan pergi, “Oh iya, bagaimana kau bisa tahu aku menyerangmu dari belakang.”

    “Kau bisa menebaknya sendiri.” Maha mendengus lalu pergi meninggalkan mereka.

    Pertarungan ini sebenarnya sudah bisa dipetakan dengan mudah, Maha berada di tempat ini lebih dulu. Jika mobilitasnya tidak masuk akal, berarti semua penanda keberadaannya adalah jebakan.

    Untuk melawan jebakan, seseorang bisa menjinakkan semua jebakan atau menyerang pusatnya secara langsung. Curtis sendiri memilih untuk membuat jebakannya sendiri. Curtis bisa tahu Maha akan menyerang dari belakang karena semua pergerakan Maha memang diarahkan Curtis agar Maha menyerang dari belakang.

    Curtis menghela nafas, “Bryan…” Curtis menepuk pundak Bryan lalu berjalan di depannya, “…Aku harus lebih dingin.”

    Bryan hanya melihat Curtis dengan heran lalu ikut berjalan.

    *****​

    Lantai ruangan itu hancur. Kara sekarang berdiri di lantai empat. Dia menatap keatas. Di puncak reruntuhan lantai yang menumpuk hingga ruangan sebelumnya, berdiri Anggun.

    “Kita akhiri disini. Aku meremehkanmu sepertinya.”

    “Begitu?” Tanya Kara saat Anggun berjalan pergi.

    Kara menghela nafas. Sebuah seal lalu muncul di bawah reruntuhan. “Re: Stand.”

    Di balik reruntuhan yang kembali ke posisinya di lantai lima, berdiri seorang laki-laki. Joni.

    “Aku baru saja mau melakukannya seandainya kau langsung pergi dari ruangan ini.” Ujar Joni tenang.

    “Aku ingin tahu, kenapa kalian mendiamkan pertarunganku dan Anggun?”

    “Kalian sedang latihan acrust. Duel adalah latihan terbaik.”

    “Itu kalau ami berencana menuju jalur militer ‘kan? Lagipula aku tidak yakin itu bisa disebut ‘latihan’.”

    Joni berjalan dengan santai sambil terus menjawab pertanyaan Kara, “Kalau hampir terjadi macam-macam, aku pasti mengintervensi kau tahu.”

    “Kau pikir kenapa dia menyerangku dari jarak dekat saat kami berada di lorong tadi?”

    “Tentu saja karena dia sudah memasang seal terlebih dahulu di jalurmu. Dia berusaha mempercepatnya saja.”

    “Agar semuanya berjalan cepat ya?”

    “Kau juga tahu ‘kan? Buktinya kau menahan laju hempasanmu akibat pukulan itu dan tidak mencoba menyerang dari jauh sembari terlempar.”

    Kara terdiam memikirkan.

    “Pak.” Tiba-tiba Kara memanggil Joni.

    Joni berhenti di tempatnya, dia baru saja akan melewati pintu, “Panggil aku Joni atau Pak Joni. Aku tidak pan…”

    Sebelum Joni bisa menyelesaikan kalimatnya, Kara tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

    Tampak seringai lebar menghiasi mukanya, “Aku harus lebih ‘panas’ lagi.” Ujar Kara sambil berlalu mendahului Joni.

    *****​

    6 Hari Kemudian

    “Jadi, setelah ini apa?” Gilroy melihat layar yang hitam dengan bosan. Layar masih belum menyala. Mereka memutuskan untuk menembus sistem keamanan satelit Irem, namun belum membuahkan hasil.

    “Rapat dihentikan dulu untuk sementara. Silahkan untuk keluar dulu.” Gilroy berdiri dan berjalan keluar. Pundaknya tiba-tiba ditepuk, “Tapi kalian tidak boleh pergi dari sini.” Ujar Barley dengan senyum.

    “He…” Protes Gilroy, namun dia hanya menghela nafas.

    Tenda itu berada di sebuah bukit yang dikelilingi hutan. Tenda itu tidak sendiri karena ada beberapa tenda lain, meskipun tidak ada yang sebesar tenda yang dimasuki Gilroy tadi. Ini adalah pedesaan dari suku immortal yang diketuai oleh Barley.

    “Hei, waktuku tidak banyak. Kalau kita disini hanya untuk melihat seorang Trump bertindak sesukanya, kenapa kau tidak mengirim saja videonya selagi aku berjalan pulang. Kau bisa kirim link untuk streaming atau kirim lewat e-mail atau lewat tyndus network. Terserah, aku harus pergi…”

    “Kalau memang hanya itu saja, aku yakin kau tahu aku tidak akan seiseng itu.”

    “Lalu, menurutmu dia apa?”

    “Hm? Tidak bertanya siapa?”

    “Aku tidak butuh nama untuk mengalahkan sesuatu. Kalau manusia tinggal kuhancurkan kepala atau dadanya. Kalau werewolf atau vampire tinggal kubunuh dengan perak. Kalau Elf, kusegel saja aliran trivianya. Kalau immortal, kujadikan babu juga cukup.”

    “Ha… Ha… Selera humormu tidak berubah…”

    “Ayolah, aku hanya ingin semua ini cepat selesai.”

    “Sejujurnya aku tidak begitu tahu itu apa.”

    “Hm? Lalu kenapa kau begitu khawatir?”

    “Karena gelombang trivianya, mukanya … Aku harap aku salah…”

    “Aku tidak tahu kau menjurus ke arah itu…” Gilroy mundur satu langkah sambil mengangkat tangannya menutupi mukanya. Dia merujuk bahwa Balrey memfokuskan pengamatannya pada bagian muka.

    “Kau tahu ‘kan aku sudah punya istri, bodoh!” Barley menghela nafas karena merasa tersinggung, “Aku benar-benar merasa tidak enak dengan kejadian ini kau tahu…” Raut muka Barley menjadi sangat serius.

    “Coba katakan tebakanmu padaku, siapa tahu aku tahu.”

    “Kau tidak akan tahu, aku masih sangat muda waktu itu.” Dia menarik nafasnya dalam-dalam. Ada jeda setelah itu, tidak seorangpun dari mereka berdua berkata apa-apa.

    “Ketua, kami butuh bantuan anda disini.” Seseorang datang dari dalam tenda.

    “Baik, aku akan kesana! Gilroy, aku harap kau tidak akan pergi kemana-mana.” Barley tersenyum lalu berlari pergi.

    “Payah…” Gilroy menghela nafas. Gilroy lalu berpikir untuk pergi, namun dia segera tersenyum. Tidak akan ada yang bahagia jika dia pergi dan meninggalkan masalah ini, yang ada dia akan dimarahi dan berakhir babak belur oleh ‘orang itu’ serta dipaksa untuk pergi membantu.

    Dia menunggu selama dua jam. Bagi Immortal, dua jam tidak begitu lama, bahkan dua jam menunggu adalah waktu yang dibutuhkan setiap immortal.

    “Kita sudah mendapat gambar lagi!” Gilroy segera masuk ke dalam.

    Gilroy berjalan masuk. Tampaknya perwakilan suku yang lain tidak ada yang pergi. Gilroy tidak mengenal mereka, artinya mereka adalah immortal dari suku mereka yang berada dalam posisi terdekat – seperti Gilroy – atau mereka immortal baru. Jika mereka immortal baru, maka siapa yang sekarang tidak bisa Gilroy jumpai lagi, Gilroy menghela nafas memikirkan itu.

    “Tampaknya seal pengintaian terdekat milik Anri hancur karena serangan ‘orang’ ini. Kita menggunakan satelit Irem untuk mengintai orang ini dari sekarang.” Balrey berbicara dengan tenang sementara para perwakilan kembali duduk.

    Kali ini layar mengambil gambar dari atas. Di bawah kakinya tampak seorang laki-laki. Dari penampilan secara sekilas, rambut dan janggut panjang berwarna putih serta pakaian warna-warni dari kain yang menutupi seluruh tubuhnya, meskipun saat ini tercabik-cabik, dia adalah council.

    “Kami sudah mengkonfirmasi dua council mati. Jumlah total tewas di Anri 500.000 dan masih bertambah.” Barley menghela nafasnya.

    Orang itu tidak bergerak, seolah-olah menunggu sesuatu. Dia tiba-tiba menatap ke atas dan tersenyum, seolah-olah menatap langsung ke orang-orang yang melihatnya lewat satelit di luar angkasa.

    Dia lalu tampak menekuk lututnya dan menghilang. Orang-orang dalam tenda ribut mencoba mendapatkan gambar yang lain. Pada akhirnya, mereka memutuskan memperkecil layar.

    Mereka mendapat sinyal trivia ‘orang’ itu. Dia sedang terbang menuju Irem. Di layar yang masih mengambil gambar jarak jauh, tampak garis kuning menandai rute yang sudah dia lalui, walaupun tidak lebih dari garis lurus. Karena arahnya menuju Irem, Gilroy segera menebak tempat tujuannya, Fort Nox.

    Layar segera memperbesar, melihat pergerakannya secara detail. Saat dia terbang, dia membelah laut, membuat barisan gunung berapi di samping kiri dan kanannya. Setelah beberapa saat, dia tampak terbang merendah. Dia mencicipi air laut di bawahnya, namun efek terbangnya yang merendah membuat gelombang.

    Sesuai teori, ketika gelombang tercipta di laut, kecepatannya sangat tinggi namun memiliki ketinggian yang rendah. Ketika mendekati pantai, gelombang itu melambat namun dinding airnya semakin tinggi. Begitulah teori tsunami. Namun, ada satu perbedaan. Kecepatan gelombang tidak pernah mencapai atau bahkan mendekati kecepatan suara. Gelombang ini jelas-jelas melewatinya. Juga volumenya cukup untuk membuat dasar lautan yang berada beberapa kilo dari bibir pantai tampak.

    Ini baru bibir pantai, namun tinggi gelombangnya sudah mencapai seratus meter. Saat ini dia tidak terbang, dia seolah-olah mengendarai ombak yang makin tinggi itu. Semua yang berada di sekitarnya hancur, pohon-pohon tercabut, rumah-rumah tersapu, dan satu-satunya yang bisa menghalangi adalah sebuah gunung, Elbaf, setinggi lima kilometer.

    Tidak lagi mengendarai ombak, orang itu kembali terbang. Dia lalu menggerakan kedua tangannya dari luar ke dalam. Saat dia menggerakkan tangannya, daratan tampak terangkat, seolah-olah tertarik oleh gaya gravitasi yang kuat, atau mungkin hidup. Daratan yang tampak tercerabut makin mendahului orang itu, mengikuti gerakan tangannya, lalu saling bertubrukan, namun gerakan tidak natural itu tidak berhenti dan mulai menjauhi orang itu.

    Di tempat dimana daratan itu bertabrakan, orang itu mendarat dan mulai berlari. Setiap langkahnya membuat tanah di depannya terangkat, seolah seperti orang yang sedang mengikuti balap lari, orang itu berlari lurus mendahului daratan yang tampaknya membentuk lambing infinite, atau mungkin rantai DNA, atau gelombang sin dan cos di grafik.

    Tepat saat daratan kembali bertabrakan, yang juga menabrak tanah yang pijak, dia melompat. Namun tampaknya daratan yang bergerak di sisi kiri dan kanannya tetap bergerak dengan pola yang sama dan kembali melewatinya. Orang itu lalu mendarat di daratan sebelah kanan, tepatnya di dindingnya yang berbentuk juring. Tanpa berhenti, dia meluncur seperti seseorang yang sedang menggunakan sketboard, perbedaannya dia tidak menggunakan apa-apa.

    Setelah mendekati Fort Nox, tampak benteng besar itu menembakkan banyak sekali meriam, namun dia menghindarinya dengan lincah. Gerakan berubah menjadi seperti orang berselancar. Setelah tepat berada di depan benteng yang tampak seperti bukit itu, dia berhenti sejenak, mengumpulkan cukup tenaga untuk meloncat, perbandingan dengan seseorang yang melompat dari papan loncat di kolam renang tidak terlalu meleset.

    Dia melompat dengan sekuat tenaga, namun masih ada kejutan lain. Saat dia meloncat, tanah seolah-olah mengikutinya, menabrak dan menghancurkan dinding benteng itu. Benteng yang disebut-sebut tidak akan mampu ditembus meskipun dihujani nuklir, namun kini dinding itu dihancurkan perlantai seperti seseorang menusuk-nusuk kertas dengan jarum, meskipun memang hanya satu sisi dari benteng itu. Namun semua baru dimulai.

    ‘Orang’ itu tidak terhentikan. Dia tidak bisa dihentikan. Dia masih terus melayang di udara, bukan terbang karena dia masih melayang disebabkan oleh loncatannya. “It is one small leap for me, but it is one big step for your destruction, humanity.” Ujarnya dengan seringai lebar dan kepalan tangan kanan.

    *****​

    Terima kasih sudah membaca dan mohon komentarnya buat nambah skill nulis saya...
    Sekali lagi, Terima Kasih... :peace:
     
    Last edited: Jun 28, 2011
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.