1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Historical Places Sejarah Borneo dan Isi Perjanjian Tumbang Anoi

Discussion in 'Indonesian History' started by blacksheep, Jun 27, 2009.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. blacksheep M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 23, 2008
    Messages:
    4,594
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +25,113 / -0
    Sejarah Pulau Borneo (Kalimantan)

    Pulau Borneo (Kalimantan) merupakan pulau ketiga terbesar di dunia setelah Pulau Greenland dan Pulau Papua. Luas keseluruhan Pulau Borneo adalah 736.000 KM 2. Pulau Borneo terdapat juga lintasan pegunungan di sebelah timur laut dengan gunung tertinggi adalah Gunung Kinabalu dengan puncak setinggi 4.175 M. Pulau ini beriklim tropis basah dengan suhu rata-rata 24-25 derajat celcius dan dilewati oleh garis khatulistiwa.

    Diketahui bahwa bangsa asing sudah berhubungan dengan penduduk di Pulau Borneo ini sejak sekitar abad ke-1 M.

    Berdasarkan peninggalan-peninggalan artefak sejarah yang sempat ditemukan, bahwa artefak yang paling tua yang ditemukan di Pulau Borneo ini adalah artefak dari Kerajaan Kutai yaitu dari masa abad ke-4 M yang beraliran hindu, terletak di pesisir timur dari pulau ini. Bahkan berdasarkan temuan artefak sejarah ini, bahwa artefak Kerajaan Kutai adalah temuan artefak yang tertua di Nusantara ini.

    Pada abad ke-8 M Kerajaan Sriwijaya pernah berpengaruh di sepanjang pesisir barat Pulau Borneo ini dan pada abad ke-14 M Kerajaan Majapahit berpengaruh hampir di seluruh Pulau ini.

    Pada awal abad ke-16 M orang-orang eropa mulai berdatangan di Pulau Borneo ini.

    Berdasarkan catatan orang eropa disebutkan bahwa orang eropa pertama yang mendatangi Pulau Borneo ini adalah orang Italia yang bernama Ludovico de Verthana yaitu pada tahun 1507 M yang kemudian dilanjutkan dengan orang Portugis yang bernama Laurenco de Gomez pada tahun 1518 M terus disusul oleh orang Spanyol yang bernama Ferdinand Magellen pada tahun 1519 yaitu dalam perjalanan mengelilingi dunia, baru kemudian disusul dengan Belanda, Inggris dan Prancis. Dari orang-orang Eropa inilah kemudian nama Borneo di kenal sejak abad ke-15 M. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol {bahasa Latin: Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang banyak tumbuh di Kalimantan,[1][2] kemudian oleh para pedagang dari Eropa disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol,dari sebutan orang-orang eropa itu terhadap nama Kerajaan Brunei,karena saat itu Kerajaan Brunei merupakan Kerajaan yang paling dominan / terbesar di pulau ini sehingga setiap orang asing yang datang di Pulau ini, akan mengunjungi Kerajaan Brunei [3] sehingga kemudian nama Brunei menjadi ikon bagi pulau ini yang kemudian dipelatkan oleh lidah orang eropa menjadi Borneo yang kemudian terus dipakai hingga ke masa pendudukan kolonial Belanda yaitu “ Pulau Borneo “.

    Pada tanggal 7 Juli 1607 Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, tetapi seluruh ABK dibunuh penduduk sebagai pembalasan atas perampasan oleh VOC terhadap dua jung Banjar yang berlabuh di Banten tanun 1595. Pada tahun 1612 di masa Sultan Mustain Billah, Belanda datang ke Banjarmasin untuk menghukum Kesultanan Banjarmasin atas insiden 1607 dan menembak hancur Banjar Lama (kampung Keraton) di Kuin, sehingga ibukota kerajaan Banjar dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura.

    Berdasarkan dokumen yang ada bahwa perjanjian tertulis pertama antara orang eropa dengan penduduk Pulau Borneo di lakukan pada tahun 1609 M yaitu perjanjian perdagangan antara perusahaan dagang Belanda yaitu VOC dengan Raja Panembahan Sambas yaitu Ratu Sapudak walaupun kemudian bahwa hubungan perdagangan antara kedua belah pihak ini tidak berkembang.

    Perjanjian kesepakatan VOC yang kedua dengan Kerajaan di Pulau Borneo ini adalah dengan Kesultanan Banjarmasin yang ditandatangani pada tahun 4 September 1635 di masa Sultan Inayatullah. Isi kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjar untuk menghadapi serangan dari luar. Aktivitas VOC kemudian lebih berkembang di sebelah timur dibandingkan dengan sebelah barat Pulau Borneo yaitu karena sebelah timur Pulau Borneo berhampiran dengan pusat lada dunia yaitu Kepulauan Maluku.

    Pada masa kedatangan orang-orang eropa ini yang dimulai pada awal abad ke-16 M itu hingga kemudian masa kolonialisme mereka sampai abad ke-20 M, Kerajaan-Kerajaan yang terkemuka di Pulau Borneo ini disamping Kesultanan Brunei yaitu Kesultanan Banjarmasin, Kesultanan Sukadana, kesultanan Sambas dan Kesultanan Pontianak.

    Sehubungan dengan serangan Napoleon ke Belanda pada paruh ke-3 abad ke-18 M kemudian membuat seluruh kekuatan VOC di Nusantara ini termasuk di Borneo di tarik kembali ke Belanda dan posisi Belanda di Nusantara ini kemudian digantikan oleh Inggris.

    Setelah selesai perang dengan Napoleon, Belanda kemudian menempati lagi posisinya di Nusantara ini termasuk di Pulau Borneo namun kali ini aktivitas Belanda tidak lagi atas nama VOC tetapi langsung oleh Kerajaan Belanda dengan nama Pemerintah Hindia Belanda.

    Pada tahun 1819 M Sultan Pontianak ke-3 (Sultan Syarif Usman Al Qadri) ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin Afdeling Pontianak.

    Sampai tahun 1839 M, pengaruh kekuasaan di Pulau Borneo ini terbagi dalam 3 kawasan kekuasaan yaitu Sebelah barat daya di kuasai oleh Kesultanan Brunei, sebelah timur laut dikuasai oleh Kesultanan Sulu dan sebelah tengah dan selatan di kuasai Pemerintah Hindia Belanda yang sebagian besar wilayahnya diperolehnya dari Sultan Banjar, Tamjidullah I pada Perjanjian 20 Oktober 1756. Sebagian besar wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu kemudian direbut oleh James Brooke yang menjadi Raja di Sarawak.

    Aktivitas Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Borneo ini jauh lebih agresif daripada masa VOC yang lalu karena saat itu Belanda bersaing keras dengan Inggris dalam merebut pengaruh di Pulau Borneo ini apalagi setelah diangkatnya James Brooke (orang Inggris) yang menjadi Raja Putih di Sarawak pada tahun 1841.

    Untuk mengantisipasi ekspansi pengaruh dari James Brooke ke wilayahnya, maka Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai tahun 1846 M mengadakan perjalanan Tim Ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda yang menyusuri seluruh tepi batas wilayahnya dengan wilayah yang dikuasai James Brooke. Tim Ekspedisi pertama dipimpin oleh Letnan II D. van Kessel yang menjelajahi arah barat dan kemudian dilanjutkan oleh Tim Ekspedisi yang dipimpin oleh Dr. CM. Schwaner yang menjelajahi arah timur.

    Pada awalnya wilayah tengah dan selatan Pulau Borneo yang dikuasai Belanda ini dibagi oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam 3 Afdeling yaitu Afdeling Pantai Selatan dan Timur, Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak.

    Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak menjadi bernama Borneo Westkust membagi secara keseluruhan wilayahnya terbagi dalam 2 wilayah administrasi yaitu Borneo Westkust (Borneo sebelah barat) dan Borneo Zuid Oostkust (Borneo sebelah tengah dan timur) nama ini selanjutnya berganti menjadi Borneo Westerafdeling dan Borneo ZuidOostterafdeling.

    Untuk mempersatukan wilayah borneo, maka pada tahun 1894, atas prakarsa Damang Batu, dari desa Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah mengumpulkan semua orang yang memiliki gelar tamanggung, damang, dambung, dohong..se-borneo, dalam perjanjian Tumbang Anoi yang juga dihadiri oleh Afdeling Pontianak, yang waktu itu masih perwira pengganti yang didatangkan dari Bogor. sampai sekarang situs peninggalan perjanjian di Tumbang Anoi masih tersisa. Namun atas rekayasa pemerintah Belanda, pada saat itu Tempat Perjanjian Tumbang Anoi yang berupa BETANG, dihancurkan oleh tentara belanda agar perjanjian di Tumbang Anoi di anggap tidak ada. bahan bangunannya dipindahkan sebagian ke Kuala Kapuas, namun tidak dapat mengangkut semua materialnya karena terbuat dari batang ulin yang sangat dalam tertancap tanah, besar, berat serta medan yang panjang melalui sungai yang panjang untuk mengangkutnya.

    Pada akhir masa kolonialisme Belanda di Pulau Borneo ini terdapat 2 daerah Residentie yaitu Residentie Pontianak dan Residentie Banjarmasin.

    Kalimantan Barat
    Lambang Kalimantan Barat
    "Akcaya"
    (Bahasa Indonesia: "Tak Kunjung Binasa")
    Berkas:Locator kalbar final.png
    Peta lokasi Kalimantan Barat
    Koordinat
    Dasar hukum
    Tanggal penting 1 Januari 1957 (hari jadi)
    Ibu kota Pontianak
    Gubernur Drs. Cornelis MH
    Luas 146.807 km²
    Penduduk 4.073.304 (sensus 2004)
    Kepadatan
    Kabupaten 10
    Kodya/Kota 2
    Kecamatan 136
    Kelurahan/Desa 1445
    Suku Suku Dayak , Suku Melayu, Suku Tionghoa, Suku Jawa, Suku Madura, Suku Bugis
    Agama Islam (57,6%), Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), lain-lain (1,7%)
    Bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Dayak, Bahasa melayu, Bahasa Tionghoa
    Zona waktu WIB
    Lagu daerah Cik Cik Periook

    Kalimantan Tengah
    Lambang Kalimantan Tengah
    Isen Mulang
    (Bahasa Sangen: Pantang Mundur)
    Berkas:Locator kalteng final.png
    Peta lokasi Kalimantan Tengah
    Koordinat
    Dasar hukum
    Tanggal penting 23 Mei 1957 (hari jadi)
    Ibu kota Palangka Raya
    Gubernur Agustin Teras Narang, SH
    Luas 157.983 km²

    Pantai: 750 km
    Penduduk 2.004.110 (2006)
    Kepadatan 12/km²
    Kabupaten 13
    Kodya/Kota 1
    Kecamatan 88
    Kelurahan/Desa 1.136
    Suku Suku Dayak (Ngaju, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Siang, Murung, Dusun, Bawo, Dayak Sampit, Ot Danum, Dayak Kotawaringin, Taboyan), Suku Banjar, Suku Jawa, Suku Madura, Suku Bugis
    Agama Islam (69,67%), Protestan (16,41%), Hindu (10,69), Katolik (3,11%), Buddha (0,12%)
    Bahasa Bahasa Dayak, Bahasa Indonesia
    Zona waktu WIB
    Lagu daerah Kalayar, Naluya, Palu Cempang Pupoi, Tumpi Wayu, Saluang Kitik-Kitik, Manasai

    Kalimantan Selatan Lambang Kalimantan Selatan
    Lambang Kalimantan Selatan
    Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing
    (Bahasa Banjar: Tetap bersemangat dan kuat seperti baja dari awal sampai akhir)
    Berkas:Locator kalsel final.png
    Peta lokasi Kalimantan Selatan
    Koordinat
    Dasar hukum
    Tanggal penting 14 Agustus 1950 (hari jadi)
    Ibu kota Banjarmasin
    Gubernur Drs. H. Rudi Ariffin
    Luas 36.985 km²
    Penduduk 3.054.129 (2002)

    Angka kematian anak: 67/1.000 kelahiran
    Kepadatan
    Kabupaten 11
    Kodya/Kota 2
    Kecamatan 138
    Kelurahan/Desa 1.958
    Suku Banjar, Bukit, Bakumpai, Dusun Deyah, Maanyan
    Agama Islam (96,80%), Protestan (28,51%), Katolik (18,12%), Hindu (9,51%), Buddha (17,59%)
    Bahasa Bahasa Indonesia(id), Bahasa Banjar (bjn), Bahasa Bakumpai (bkr), Bahasa Bukit (bvu), Bahasa Dusun Deyah (dun), Bahasa Maanyan (mhy)
    Zona waktu WITA
    Lagu daerah Ampar-ampar Pisang

    Kalimantan Timur Lambang Kalimantan Timur
    Lambang Kalimantan Timur
    Ruhui Rahayu
    (Bahasa Banjar: "semoga Tuhan memberkati")
    Berkas:Locator kaltim final.png
    Peta lokasi Kalimantan Timur
    Koordinat 113°44' - 119°00' BT
    4°24' LU - 2°25' LS
    Dasar hukum UU No. 25 Tahun 1956
    Tanggal penting 1 Januari 1957
    Ibu kota Samarinda
    Gubernur Awang Faroek Ishak
    Luas 245.237,80[1] km²
    Penduduk 2.750.369[1] jiwa (2004)
    Kepadatan 11,22[1] jiwa/km²
    Kabupaten 10
    Kodya/Kota 4
    Kecamatan 122[2]
    Kelurahan/Desa 191 / 1.347[2]
    Suku Jawa (29,55%), Bugis (18,26%), Banjar (13,94%), Dayak (9,91%) dan Kutai (9,21%) dan suku lainnya 19,13%.[3]
    Agama Islam (85,2%), Kristen (Protestan & Katolik) (13,9%), Hindu (0,19%), dan Budha (0,62%) (2000)
    Bahasa Bahasa Indonesia, Banjar, Dayak, Kutai
    Zona waktu WITA (UTC+8)
    Lagu daerah Indung-Indung, Buah Bolok, Lamin Talunsur

    Etimologi

    * Pertama Borneo dari kata Kesultanan Brunei Darussalam yang sebelumnya merupakan kerajaan besar dan luas (mencakup Serawak dan sebagian Sabah karena sebagian Sabah ini milik kesultanan Sulu-Mindanao. Para pedagang Portugis menyebutnya Borneo dan digunakan oleh orang-orang Eropa. Namun penduduk asli menyebutnya sebagai pulo Klemantan.

    * Kedua menurut Crowfurd dalam Descriptive Dictionary of the Indian Island (1856), kata Kalimantan adalah nama sejenis mangga sehingga pulau Kalimantan adalah pulau mangga namun dia menambahkan bahwa kata itu berbau dongeng dan tidak populer.

    * Ketiga menurut Dr. B. Ch. Chhabra dalam jurnal M.B.R.A.S vol XV part 3 hlm 79 menyebutkan kebiasaan bangsa India kuno menyebutkan nama tempat sesuai hasil bumi seperti jewawut dalam bahasa sanksekerta yawa sehingga pulau itu disebut yawadwipa yang dikenal sebagai pulau Jawa sehingga berdasarkan analogi itu pulau itu yang dengan nama Sansekerta Amra-dwipa atau pulau mangga.

    * Keempat menurut dari C.Hose dan Mac Dougall menyebutkan bahwa kata Kalimantan berasal dari 6 golongan suku-suku setempat yakni Dayak Laut (Iban), Kayan, Kenya, Klemantan, Munut, dan Punan. Dalam karangannya, Natural Man, a Record from Borneo (1926), C Hose menjelaskan bahwa Klemantan adalah nama baru yang digunakan oleh bangsa Melayu.

    * Kelima menurut W.H Treacher dalam British Borneo dalam jurnal M.B.R.A.S (1889), mangga liar tidak dikenal di Kalimantan utara. Lagi pula Borneo tidak pernah dikenal sebagai pulau yang menghasilkan mangga malah mungkin sekali dari sebutan Sago Island (pulau Sagu) karena kata Lamantah adalah nama asli sagu mentah.

    * Keenam menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006), kata Kalimantan bukan kata melayu asli tapi kata pinjaman sebagai halnya kata malaya, melayu yang berasal dari India (malaya yang berarti gunung). Kalimantan atau Klemantan berasal dari Sanksekerta, Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal[a]: musim, waktu dan manthan[a]: membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan

    Nama lain

    * "Waruna Pura"
    * "Tanjungpura" (Bakulapura) artinya pulau yang banyak memiliki tanjung (bakula), nama kerajaan Tanjungpura yang sering dipakai sebagai nama pulaunya.
    * "Tanjungnagara" adalah sebutan untuk pulau Borneo oleh Kerajaan Majapahit, sebagai salah satu daerah yang delapan taklukan Kerajaan Majapahit.
    * "Hujung Tanah" atau "Ujung Tanah" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam Hikayat Banjar dan Hikayat Raja-raja Pasai, nampaknya ini adalah nama yang dipakai oleh penduduk Sumatera dan sekitarnya untuk menyebut pulau Kalimantan.
    * "Pulau Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam Ramalan Prabu Jayabaya dari Majapahit mengenai akan dikuasai Tanah Jawa oleh bangsa Jepang yang datang dari arah pulau Kencana (Kalimantan).
    * "Jaba Daje" artinya "Jawa di Utara (dari pulau Madura) sebutan suku Madura terhadap pulau Kalimantan.

    Masa Republik Indonesia Serikat

    Setelah mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang, NICA mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Maka dibentuklah Dewan Kalimantan Barat tanggal 28 Oktober 1946, yang menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri atas 13 kerajaan sebagai swapraja.
    Pangeran Muhammad Noor

    Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember 1946, dan selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut dan Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan Tenggara. Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi Kalimantan Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi Dewan Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari Kesultanan Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit daerah federal akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari 1948.

    Gubernur Kalimantan dalam pemerintahan Pemerintah RI di Yogyakarta, yaitu Pangeran Muhammad Noor, mengirim Cilik Riwut dan Hasan Basry dalam misi perjuangan mempertahankan kemerdekaan untuk menghadapi kekuatan NICA. Pada tanggal 17 Mei 1949, Letkol Hasan Basry selaku Gubernur Tentara ALRI Wilayah IV Pertahanan Kalimantan memproklamirkan sebuah Proklamasi Kalimantan yang isinya bahwa "Daerah Kalimantan Selatan" (daerah-daerah di luar Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Daerah Istimewa Kalimantan Timur) tetap sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah Gubernur Militer ini merupakan upaya tandingan terhadap terbentuknya Dewan Banjar yang didirikan Belanda.

    Di masa Republik Indonesia Serikat, Kalimantan menjadi beberapa daerah yaitu :

    1. Daerah Istimewa Kalimantan Barat
    2. Daerah Istimewa Kalimantan Timur
    3. Dayak Besar
    4. Daerah Banjar
    5. Federasi Kalimantan Tenggara

    Sejak tahun 1938, Borneo-Hindia Belanda (Kalimantan) merupakan satu kesatuan daerah administratif di bawah seorang gubernur, yang berkedudukan di Banjarmasin, dan memiliki wakil di Volksrad. Wakil Kalimantan di Volksrad :

    1. Pangeran Muhammad Ali (sebelum 1935) digantikan anaknya,
    2. Pangeran Muhammad Noor (1935-1939) digantikan oleh,
    3. Mr. Tadjuddin Noor (1939-1945)

    * Gubernur Borneo

    1. Dr. A. Haga (1938-1942), gubernur dari Kegubernuran Borneo berkedudukan di Banjarmasin
    2. Pangeran Musa Ardi Kesuma (1942-1945), Ridzie Kalimantan Selatan dan Tengah
    3. Ir. Pangeran Muhammad Noor (2 September 1945), gubernur Kalimantan berkedudukan di Yogyakarta
    4. dr. Moerjani (14 Agustus 1950), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin
    5. Mas Subarjo (1953-1955), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin
    6. Raden Tumenggung Arya Milono (1955-1957), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.

    Pembentukan kembali provinsi Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 sesudah bubarnya RIS, diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan (dahulu bernama provinsi Kalimantan, salah satu provinsi pertama). Tahun 1957 Kalimantan dibagi menjadi 3 provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Selanjutnya tahun 1958, terbentuklah propinsi Kalimantan Tengah sebagai pemekaran dari Kalimantan Selatan.
    Code:
    http://bs-ba.facebook.com/group.php?gid=100831626578&ref=mf
    Wilayah Barito, Kapuas dan Kotawaringin sangat kaya akan sumber daya alam (SDA). Namun sayang selama tergabun dengan Kalimantan Selatan, tak menikmati hasil kekayaan itu. Dalam kondisi memprihatinkan ini, muncul keinginan tokoh Dayak untuk memiliki provinsi sendiri yang terpisah dari Kalsel. ELLEN D, Palangka Raya
    KEINGINAN terbentuknya provinsi sendiri ini menghasilkan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) tanggal 20 Juli 1950 di Desa Tangkahen. Sahari Andung merupakan ketuanya. Dalam kongres SKDI di Desa Bahu Palawa tanggal 15 – 22 Juli 1953, muncul keinginan masyarakat Dayak agar diberikan daerah otonom lepas dari Kalsel. Kongres tersebut mengeluarkan mosi Nomor 1/Kong/1953 tanggal 22 Juli 1953 yang isinya mendesak pemerintah pusat membentuk Provinsi Kalteng sebelum Pemilu 1955 dengan wilayah meliputi Kabupaten Barito, Kapuas dan Kotawaringin. Namun, mosi itu tak ditanggapi oleh Mendagri masa itu.
    Desember 1955 di Jakarta, Kongres Rakyat Seluruh Indonesia (KRSI) dilaksanakan. Ini merupakan kesempatan masyarakat Dayak menegakkan kembali tuntutannya. Tetapi, sekali lagi, tuntutan tersebut belum dapat dipenuhi pemerintah pusat. Kongres tersebut hanya menyetujui pemekaran Provinsi Kalimantan menjadi tiga, yaitu Kalbar, Kalsel dan Kaltim. Wilayah Kalteng (Barito, Kapuas dan Kotawaringin) berada di bawah Kalsel.
    Alasan pemerintah pusat saat itu, Kalteng belum mampu membiayai urusan rumah tangga daerah sebagai daerah otonom dan keadaan keuangan negara masih belum mengizinkan membentuk provinsi baru. Sumber daya manusia (SDM) di wilayah ini terutama tenaga terampil dan terdidik untuk tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan juga dinyatakan masih kurang.
    “Masyarakat Dayak Kalteng sangat menyesalkan pidato radio Mendagri (masa itu, Red) yang menyatakan belum saatnya dibentuk Provinsi Kalteng karena penduduknya baru mencapai sekitar 500 ribu jiwa. Dikatakan pula suku Dayak belum menjadi suatu komunitas yang memiliki ketetapan hidup/masyarakat yang mapan dan belum ada kaum intelektualnya. Sebenarnya alasan itu sangat lemah dan dicari-cari,” demikian sekilas isi buku sejarah perjuangan pembentukan Provinsi Kalteng yang ditulis Drs F Sion Ibat dan Chornain Lambung SmHk ini.
    Meskipun tuntutan tak dipenuhi, semangat isen mulang (pantang mundur) untuk mencapai provinsi otonom tetap tertanam di hati masyarakat Dayak saat itu. Di satu sisi, tokoh Dayak menggelar konser rakyat Kalteng yang dipelopori Mahir Mahar. Di sisi lain, para pemuda di bawah pimpinan Christian Simbar alias Uria Mapas bergelar Mandulin tengah berjuang mengangkat senjata melalui Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS). Anggota GMTPS bertekad berjuang sampai titik darah penghabisan. Karena itu, GMTPS disinyalir oleh pihak keamanan sebagai gerakan yang membuat keamanan tak stabil.
    Momentum ini digunakan kongres mendesak pemerintah pusat agar segera membentuk Provinsi Kalteng. Kongres Rakyat Kalteng kemudian digelar di Gedung Chung Hua Tsung Hui, Jalan P Samudera Banjarmasin tanggal 2 – 5 Desember 1956. Sementara kongres berlangsung, pasukan GMTPS melakukan perjuangan bersenjata di daerah pedalaman. Sejak arena kongres, Sahari Andung sudah menduga akan ada penangkapan. Dugaan itu betul karena sekembalinya dari kongres, Sahari Andung, Willy Djimat dan Robert Bana ditangkap di tempat masing-masing oleh pihak keamanan dan dijebloskan ke penjara Teluk Dalam, Banjarmasin selama tiga bulan.
    “Tanggal 19 Oktober 1953, markas induk GMTPS di Desa Bundar diserang aparat Kepolisian Buntok sehingga menimbulkan korban warga sipil, yaitu Tina (murid sekolah rakyat/SR) yang mati/meninggal di tempat. Getuk dan Nyurek (masyarakat) mengalami luka serius. Akibat serangan polisi, 86 anggota GMTPS dipimpin Christian Simbar melakukan serangan balik terhadap markas Kepolisian Buntok pada 22 November 1953. Pertempuran itu membawa banyak korban baik dari aparat keamanan, pegawai negeri, masyarakat sipil maupun GMTPS. Markas polisi dikepung dari dua jurusan sehingga tak ada jalan keluar dan banyak dari mereka yang jadi korban,” tulis kedua penulis pada halaman 22.
    Pemilu 1955 menghentikan kegiatan fisik GMTPS karena tak ingin dikatakan sebagai pihak yang membuat kekacauan. Pasca pemilu, kontak senjata kembali terjadi. Antara lain di Pujon pada November 1955, kontak senjata di Desa Madara dengan TNI, Desa Butong, Desa Hayaping dan Desa Lahei. Dalam bentrok fisik tentara dan GMTPS di Hayaping pada 15 Desember 1955, Rusine Tate yang istri Christian Simbar menjadikan dirinya umpan untuk ditangkap Batalyon 605 sehingga pasukan GMTPS dapat menghindar dan menyelamatkan diri.
    Kegiatan fisik GMTPS semakin meningkat pada 1956 karena belum ada tanda-tanda keseriusan pemerintah membentuk Provinsi Kalteng. Kontak senjata dengan aparat keamanan sering terjadi. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Mendagri tanggal SK Nomor U/34/41/24 tanggal 28 Desember 1956, kantor persiapan Provinsi Kalteng mulai dibentuk terhitung 1 Januari 1957. Pemerintah pusat melalui siaran radio juga meminta agar kontak senjata dihentikan.
    Pantia Penyelesaian Korban Kekacauan Daerah (PPKKD) Kalteng yang diketuai Mahir Mahar dibentuk. Tugasnya, melakukan pembicaraan dengan GMTPS. Tanggal 1 Maret 1957, terjadilah perundingan di Desa Madara, Buntok. Perundingan menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain pembentukan Provinsi Kalteng dengan wilayah meliputi Kabupaten Barito, Kapuas dan Kotawaringin dapat disetujui pemerintah. Tidak ada tuntutan/proses hukum atas semua korban, baik dari pihak GMTPS maupun pihak aparat keamanan dan penyaluran anggota GMTPS yang berminat menjadi tentara, polisi atau pegawai negeri. Kemudian, bantuan modal bagi anggota GMTPS yang ingin berusaha sesuai keahliannya dan penyerahan senjata GMTPS kepada pemerintah melalui upacara adat. Perundingan dalam perkembangannya berakhir dengan pembentukan Provinsi Kalteng pada 23 Mei 1957 dengan Tjilik Riwut sebagai gubernur pertamanya.
    “Kalteng adalah satu-satunya provinsi yang dibentuk dengan UU Darurat. Pembentukannya merupakan titik temu antara tuntutan masyarakat Dayak baik melalui perundingan maupun gerakan bersenjata GMTPS dengan keseriusan pemerintah dalam menyikapi tuntuta tersebut. Selanjutnya, setiap tanggal 23 Mei diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kalteng,” tulis Sion Ibat dan Chornain Lambung. (habis) ==> Dari situs koran lokal "Kalteng Pos Online"
    Code:
    http://zheenchan.blog.friendster.com/
    ISI PERJANJIAN TUMBANG ANOI


    #fullpost{display:inline;} [​IMG]














    Pertemuan Kuala Kapuas, 14 Juni 1893 membahas:
    1. Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus sebagai tuan rumah untuk menghentikan 3 H (Hakayau=Saling mengayau, Hopunu’=saling membunuh, dan Hatetek=Saling memotong kepala musuhnya).
    2. Merencanakan di mana tempat perdamaian itu.
    3. Kapan pelaksanaan perdamaian itu.
    4. Berapa lama sidang damai itu bisa dilaksanakan.
    5. Residen Banjar menawarkan siapa yang bersedia menjadi tuan rumah dan menanggung beaya pertemuan. Damang Batu’ menyanggupi. Karena semua yang hadir juga tahu bahwa Damang Batu’ memiliki wawasan yang luas tentang adat-istiadat yang ada di Kalimantan pada waktu itu, maka akhirnya semua yang hadir setuju dan ini disyahkan oleh Residen Banjar.

    Lalu disepakati bahwa:

    1. Pertemuan damai akan dilaksanakan di Lewu’ (kampung) Tumbang Anoi, yaitu di Betang tempat tinggalnya Damang Batu’.
    2. Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Batu’ untuk mempersiapkan acara.
    3. Pertemuan itu akan berlangsung selama tiga bulan lamanya.
    4. Undangan disampaikan melalui tokoh/kepala suku masing-masing daerah secara lisan sejak bubarnya rapat di Tumbang Kapuas.
    5. Utusan yang akan menghadiri pertemuan damai itu haruslah tokoh atau kepala suku yang betul-betul menguasai adat-istiadat di daerahnya masing-masing.
    6. Pertemuan Damai itu akan di mulai tepat pada tanggal 1 Januari 1894 dan akan berakhir pada tanggal 30 Maret 1894.

    Pertemuan Damai dari 1 Januari 1894 hingga 30 Maret 1894, di Rumah Betang Damang Batu’ di Tumbang Anoi. Dalam pertemuan Damai itu, dengan keputusan:

    1. Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim di sebut 3H (Hakayou =saling mengayau, Hapunu’ = saling membunuh, dan Hatetek = saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu itu).
    2. Menghentikan sistem Jipen’ (hamba atau budak belian) dan membebaskan para Jipen dari segala keterikatannya dari Tempu (majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya yang bebas.
    3. Menggantikan wujud Jipen yang dari manusia dengan barang yang bisa di nilai seperti baanga’ (tempayan mahal atau tajau), halamaung, lalang, tanah / kebun atau lainnya.
    4. Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum Adat yang bersifat umum, seperti : bagi yang membunuh orang lain maka ia harus membayar Sahiring (sanksi adat) sesuai ketentuan yang berlaku. pada yang digunakan lawan*nya manu*sia.
    5. Memutuskan agar setiap orang yang membunuh suku lain, ia harus membayar Sahiring sesuai dengan putusan sidang adat yang diketuai oleh Damang Batu’. Semuanya itu harus di bayar langsung pada waktu itu juga, oleh pihak yang bersalah.
    7. Menata dan memberlakukan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tatanan kehidupan yang di anggap baik.
    Code:
    http://www.miank.web.id/2007/05/isi-perjanjian-tumbang-anoi.html
    Ngayau kerap diidentikan dengan pembunuhan yang sadis, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Namun dibalik anggapan itu ada semangat heroik dari Suku Dayak. Apakah sebenarnya ngayau tersebut?

    Bagi orang Dayak, ngayau adalah adat. Ritual yang dilakukan secara khusus. Tidak bisa sebarang orang mengayau. Ada aturan mengikat yang harus diikuti. Pengayauan sesungguhnya adalah hukuman teramat berat bagi pemenang.

    Mengayau artinya mencari musuh, mencari kepala musuh. Menurut bahasa Dayak Iban, kayau artinya musuh. Menurut DR. Fridolin Ukur da*lam buku “Tantang Jawab Suku Dayak”, mengayau artinya men*cari, memotong kepala manusia.

    Menurut Alfred Russel Wallage dalam “The Malay Archipelago, 1896, head hunting is “a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe”.

    Edi Petebang dalam bukunya ‘Dayak Sakti’ menyebutkan, mengayau identik dengan Dayak. Namun tidak semua subsuku Dayak mengayau. Orang Dayak Jelai di sepanjang aliran sungai Jelai dan Jelai kiri; orang Dayak Pesaguan di sepanjang sungai Pesaguan, ketiganya di Kabupaten Ketapang, tidak mempunyai tradisi mengayau

    “Mengayau tak sekedar perbuatan sadis, kejam dan kanibal. Lebih dari itu, ngayau menunjukkan sikap heroik seorang Dayak. Sikap patriotisme dalam menghadapi orang yang cukup membahayakan,” kata Edi Petebang, peneliti Institute Dayakologi di Pontianak, kemarin.

    Dalam tradisi orang Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau arti*nya men*cari kepala; ngayau adalah orang yang menca*ri kepala. “Ada ngayau”, artinya ada orang yang mencari kepala (memenggal).

    Mengayau adalah ritual yang sarat dengan tradisi lisan. Pemahamannya hanya bisa dimengerti dalam ruang kepercayaan, tradisi lisan itu sendiri. Adat pengayauan itu sendiri sesuatu yang misteri, kaya makna kekuatan supra-natural.

    “Sangat langka tulisan tentang mengayau. Bahkan belum ada satu buku khusus yang membahas tentang pengayauan,” ungkap alumnus FISIP Universitas Tanjungpura ini.

    Perjanjian Tumbang Anoi (Kalteng) pada 1894 yang menghentikan adat pengayauan turut membantu tidak banyaknya sumber tertulis tersebut. Pertemuan itu diprakarsai oleh pemerintah Belanda.

    Pertemuan pertama dan terbesar dalam sejarah orang Dayak tersebut diikuti hampir seluruh kepala suku, panglima perang, tetua adat dari semua subsuku Dayak di Kalimantan. Mereka berikrar untuk tidak saling mengayau lagi.

    Menurut Edi, perjanjian Tumbang Anoi tidak otomatis menghilangkan pengayauan. “Sejumlah tetua, kepala suku, panglima Dayak mengaku hingga 1930-an masih ditemukan tradisi mengayau masih dilakukan oleh beberapa subsuku Dayak,” ungkapnya.

    Ia memperkira*kan sekitar 1930-an tersebut orang Dayak Punan dan Dayak Iban (Kapuas Hulu, Indonesia dan Sarawak, Malaysia); Dayak Laman*dau (Kalteng); serta beberapa subsuku Dayak lain*nya, masih mengayau.

    Adat mengayau sudah dilakukan masyarakat Dayak sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini bisa di lihat pada cerita Nek Baruang Kulub dari masyarakat Bukit atau hikayat Lawe’ dalam masyarakat Kayaan.

    Sedangkan pada masyarakat Uud Danum, kebiasaan mengayau itu sudah ada pada jaman KoLimoi (jaman yang kedua), yaitu ketika masyarakat Uud Danum masih berada di “langit”. Tetapi cerita yang lebih lugas tentang kebiasaan mengayau ini terdapat dalam legenda Tahtum (jaman ketiga) dalam sejarah hidup masyarakat Uud Danum.

    Ada yang memandang negatif mengayau. Namun tidak demikian sebenarnya jika mengetahui secara mendalam tentang pengayauan. Menghi***lang*kan nyawa orang apapun alasannya tidak bisa dibenar*kan tentu saja. Orang yang tidak memahami adat pengayauan memandang adat itu negatif.

    Pandangan ini berkembang keluar komunitas Dayak, terutama ke negara-negara Barat akibat publikasi para penulis, peneliti tentang Dayak yang tidak memahami adat pengayauan secara utuh.

    Pandangan negatif bahwa orang Dayak itu buas, kanibal, ternyata tidak benar. Dan itu dibantah para peneliti Barat lainnya. Menurut para peneliti seperti H.P.A. Bakker dalam bukunya “Het Rijk Sanggau” (Kerajaan Sanggau, 1884); M.C. Shadde (1910) Niewenhuis (1894) dan J.J.K. Enthoven (1903). Hanya orang Dayak Jangkang (Sang*gau) berbeda dari suku-suku lain di Sanggau.

    “Mereka pengayau yang sangat fanatik dan juga kani*bal. Bagi mereka kepala tidak cukup. Mereka juga membawa seluruh badan (kalau bisa), ambil segala daging, dimasukkan ke dalam bambu atau dimakan langsung. Terutama pipi, jantung dan otak adalah makan*an yang disukai, walaupun hanya yang berpe*rang boleh makan itu. Oleh karena itu suku ini ditakuti dan dihindari oleh suku lain. Tahun-tahun terakhir hal-hal semacam ini tidak terjadi lagi,” tulis Bakker.

    Orang Dayak bukanlah kanibal, bukan pembunuh berdarah dingin. Pengayauan dilakukan sportif, mempunyai aturan tertentu, tidak boleh sebarang membunuh orang. “Buktinya, setelah para peneliti Barat itu bertemu langsung dengan orang Da*yak, ternyata menurut mereka orang Dayak itu jujur, suka menerima dan menghargai tamu, lemah lembut, dan sebagainya,” jelas Edi.
    Mengayau tidak boleh di sembarang tempat. Harus ada pemberitahuan dan tempatnya ditentukan. Apabila orang mengayau di sembarang tempat, maka dia dianggap bukan pengayau yang baik. Adapun yang berangkat mengayau ini adalah lelaki semua, tua dan muda. Maka tidak mengherankan para peneliti berpen*dapat, bahwa sekitar tahun 1900-an populasi orang anak-anak dan perempuan lebih banyak. Mengapa? Karena banyak kaum lelaki tua dan muda mati mengayau ataupun dikayau.
    Code:
    http://gariskhatulistiwa.blogspot.com/2008/02/ngayau.html
    Code:
    http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan
     
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. daitze Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 1, 2009
    Messages:
    12
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +10 / -0
    nambah ya??
    di west-borneo
    ada keunikan lain,
    di antara semua nama Kabupaten yg ada di-INDONESIA.
    hanya Kabupaten LANDAK yg pakai nama binatang,
    Bupati pertama Kab Landak, yg merupakan putera daerah LAndak
    yg sekarang menjabat Gubenur KAL_BAR
    Drs.CORNELIS.MH.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  4. dejivrur M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jan 31, 2009
    Messages:
    3,877
    Trophy Points:
    131
    Ratings:
    +1,105 / -2
    ngomong ngomong LANDAK
    sungai LANDAK pun punya legenda unik dibalik keberadaannya

    kalimantan mulai maju... jadi iri sama kalimantan timur yg lebih maju dripada kalbar tercinta, kapan bisa lebih maju dari sebelah sebelahnye??
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  5. blacksheep M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 23, 2008
    Messages:
    4,594
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +25,113 / -0
    update
    foto foto orang dayak saat perjanjian tumbang anoi,
    perjanjian yang sangat berpengaruh besar pada perdamaian semua suku di pulau kalimantan baik itu suku dayak yang berada di kalimantan wilayah indonesia dan sebagian kalimantan yang masuk wilayah malaysia
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]
    [​IMG]

    Lima Ritual Besar Suku Dayak di Kalteng

    Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang memiliki aneka ragam tradisi yang berasal dari budaya Suku Dayak. Suku Dayak Kalimantan Tengah yang kemudian terbagi atas berbagai sub suku seperti Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Ma'anyan, Dayak Lawangan, Dayak Taboyan, Dayak Siang dan sub Suku Dayak lainnya memiliki keunikan aneka tradisi tersendiri.

    Tradisi berupa upacara ritual tersebut secara umum dibagi menjadi dua bagian yaitu ritus kehidupan dan kematian. Dari semua upacara ritual tersebut dikenal lima upacara yang bersifat besar dan melibatkan banyak orang serta dana yang tidak sedikit.

    Suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng) mengenal lima ritual besar, mau tau lima ritual besar suku Dayak di Kalteng tersebut? Untuk menjawab rasa penasaran Anda sebenarnya semua ritual tersebut telah diterbitkan pada artikel sebelumnya karena lima ritual besar Suku Dayak di Kalteng antara lain adalah sebagai berikut:


    1. Tiwah
    Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja.

    Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga - dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa.

    Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayakuntuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.

    Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.


    2. Pakanan Sahur Lewu Dayak.
    Upacara "Pakanan Sahur Lewu" Suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan satu dari lima macam upacara ritual besar khas Suku Dayak Kalteng. "Pakanan" berarti memberikan persembahan berupa sesajen kepada para leluhur atau orang-orang suci. "Sahur" diartikan sebagai leluhur atau dewa yang dipercaya menjaga kehidupan manusia, memberikan kesehatan, keselamatan, perdamaian, berkah dan anugerah bagi yang percaya kepada-Nya. "Lewu" sendiri dalam bahasa Indonesia adalah berarti kampung atau desa tempat bermukimnya suatu penduduk pada sebuah wilayah.

    Dengan demikian, Pakanan Sahur Lewu Dayak berarti memberikan sesajen kepada para leluhur atau para dewa yang melindungi warga desa atau kampung sebagai tanda terimakasih atas berkat dunia. Lewat ritual Pakanan Sahur Lewu Dayak ini diharapkan masyarakat luas dapat hidup tentram, rukun dan damai serta mendapatkan rejeki berlimpah dalam mengarungi hidup. Upacara ritual yang disebut Pakanan Sahur Lewu bagi Suku Dayak ini biasanya dilakukan secara berkala sekali dalam setahun. Umumnya Pakanan Sahur Lewu digelar setelah panen berladang atau sawah dan bertepatan dengan tahun baru kalender Dayak, yakni sekitar Bulan Mei dalam hitungan Kalender Masehi.

    Upacara Pakanan Sahur Lewu biasanya dipimpin oleh tokoh Agama Kaharingan (agama orang dayak) yang dalam bahasa setempat disebut sebagai Basir. Kendatipun kegiatan ini umumnya dilakukan oleh penganut Agama Kaharingan, namun tujuannya juga menyengkut kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, dewasa ini acara Pakanan Sahur Lewu juga sering mengikutsertakan tokoh dan kelompok agama lain.

    Selain sebagai sarana untuk menyampaikan ucapan syukur pada Sang Kuasa, Pakanan Sahur Lewu juga dimaksudkan sebagai wadah untuk menjalin semangat persaudaraan dan kegotong-royongan antar sesama warga dan pemeluk agama.


    3. Ritual Nahunan
    Merupakan upacara khas suku Dayak Kalimantan yakni upacara memandikan bayi secara ritual menurut kebiasaan suku Dayak Kalimantan Tengah. Maksud utama dari pelaksanaan Nahunan adalah prosesi pemberian nama sekaligus pembaptisan menurut Agama Kaharingan(agama orang dayak asli dari leluhur) kepada anak yang telah lahir.

    Upacara Nahunan sendiri berasal dari kata "Nahun" yang berarti Tahun. Dengan demikian, ritual ini umumnya digelar bagi bayi yang telah berusia setahun atau lebih. Prosesi pemberian nama dianggap oleh masyarakat Dayak sebagai sebuah prosesi yang merupakan hal sakral, karena alasan tersebut digelarlah upacara ritual Nahunan.

    Hasil pilihan nama anak tersebut lantas dikukuhkan menjadi nama aslinya.Selain sebagai sarana pemberian nama kepada anak, Nahunan juga dimaksudkan sebagai upacara membayar jasa bagi bidan yang membantu proses persalinan hingga si anak dapat lahir dalam keadaan selamat.

    Upacara Ritual Nahunan merupakan salah satu diantara "Lima Ritual Besar Suku Dayak Kalteng" selain beberapa ritual lainnya seperti Upacara Ritual Dayak Pakanan Batu dan Upacara Adat Dayak Manyanggar.

    Masyarakat Dayak khususnya Dayak di Pedalaman, hingga kini masih tetap setia melestarikan asset budaya ini sebagai kekayaan khasanah budaya bangsa Indonesia, selain untuk menghargai warisan leluhur, Suku Dayak meyakini jika keseimbangan antara Manusia, Alam dan Sang Pencipta merupakan suatu hubungan sinergis yang harus senantiasa tetap terjaga.


    4. Upacara Adat Dayak Manyanggar.
    Istilah Manyanggar berasal dari kata "Sangga". Artinya adalah batasan atau rambu-rambu. Upacara Manyanggar Suku Dayak kemudian diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan makhluk gaibyang tidak terlihat secara kasat mata.

    Ritual Dayak bernama Manyanggar ini ditradisikan olehmasyarakat Dayak karena mereka percaya bahwa dalam hidup di dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal batas denganroh halus tersebut diharapkan agar keduanya tidak saling mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain. Ritual Manyanggar biasanya digelar saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian,mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar.

    Melalui Upacara Ritual Manyanggar, apabila lokasi yang akan digunakan oleh manusia dihuni oleh makhluk halus (gaib) supaya bisa berpindah ke tempat lain secara damai sehingga tidak mengganggu manusia nantinya.


    5.Upacara Ritual Dayak Pananan Batu
    Adalah ritual tradisional yang digelar setelah panen ladang atau sawah. Upacara Suku Dayak bernama Pakanan Batu ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasih kepada peralatan yang dipakai saat bercocok tanam sejak membersihkan lahan hingga menuai hasil panen.

    Benda atau barang dituakan dalam ritual dayak ini adalah batu. Benda ini dianggap sebagai sumber energi, yaitu menajamkan alat-alat yang digunakan untuk becocok tanam. Misalnya untuk mengasah parang, balayung, kapak, ani-ani atau benda dari besi lainnya.

    Selain memberikan kelancaran pekerjaan, bagi para pemakai peralatan bercocok tanam danberladang, batu dianggap pula telah memberikan perlindungan bagi si pengguna peralatan sehingga tidak luka atau mengalami musibah saat membuka lahan untuk becocok tanam.

    Sumber : http://www.dayakpos.com
    Code:
    http://www.strov.co.cc/2010/05/lima-ritual-besar-suku-dayak-di-kalteng.html
    Asal Mula Suku Dayak
    Code:
    http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
    Code:
    http://15meh.blogspot.com/2008/05/asal-mula-suku-dayak-kalimantan.html
    Code:
    http://empetri.info/search/Asal%20Usul%20Suku%20Dayak
    http://www.isenmulang.com/mitos-budaya/mitos-asal-usul-manusia-dayak-dan-pembagian-suku-dayak
    
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jun 3, 2010
  6. blacksheep M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 23, 2008
    Messages:
    4,594
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +25,113 / -0
    Suku Dayak: Penjaga Terakhir Hutan Kalimantan
    Publik Indonesia tidak banyak yang tahu bahwa pada tanggal 27 Mei 2010, di sela-sela konfrensi Hutan dan Iklim Oslo, Indonesia yang diwakili oleh menteri luar negeri Marty Natalegawa telah menandatangani sebuah surat perjanjian (letter of intent/LOI) kerja sama penurunan gas rumah kaca.

    Penandatanganan yang disaksikan oleh kedua kepala Negara ini menjadi tahapan baru bagi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari penggundulan dan degradasi hutan, atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation and Degradation. Sebagai kompensasi atas program ini Indonesia akan mendapatkan pembayaran tunai atas kenaikan stok karbon tahun 2013.

    Tidak banyak yang tahu juga bahwa Indonesia akan mendapatkan secara hibah 1 MILIAR DOLLAR AMERIKA untuk program ini

    Yang publik Indonesia sadar adalah Indonesia mempunyai hutan yang besar, INDONESIA MERUPAKAN PARU-PARU DUNIA, dan Indonesia mempunyai Kerusakan hutan yang tak kalah besar. Hal ini adalah wajar, normal dan namun juga MEMPERIHATINKAN.


    Suku Dayak dan Hutan Kalimantan

    Lalu mengapa Suku Dayak dipilih menjadi judul tulisan ini dan apakah hubungannya?

    Tidak yakin apakah publik Indonesia tahu akan fakta ini atau tidak, tapi dari makalah yang dibuat beberapa anak SMA dari Purwokerto terlihat bahwa pemahaman atas hal ini adalah ada (lihat link ini). Bahwa orang-orang Suku Dayak pada hakikatnya sangat menghormati alam. Hakikat ini ada karena berasal dari kepercayaan “Pamais” mereka yang melihat alam sebagai penjaga mereka, dan dengan merusak lingkungan seperti menebang pohon-pohon secara tidak bertangung jawab adalah sama artinya dengan menebang Tuhan-nya.

    Suku Dayak dengan seadanaya tetap menanamkan dalam benak mereka bahwa alam adalah tumpuan mereka. Alam yang memberikan yang terbaik untuk mereka dan oleh sebab itu juga sebaliknya. Tidak heran masyarakat Dayak menjadi sangat hati-hati dan selective dalam pelaksanaan mengolah lahan dan hutan mereka.

    Dalam mengelola hutan lahan dan hutan mereka, mereka secara sederhana membedakan antara lahan yang boleh di gunakan untuk pertanian atau keperluan sehari-hari dan mana yang tidak boleh. Ada aturan dan tindak lanjut yang sangat tegas antara mereka jika salah satu anggota mereka melanggar kesepakatan bersama itu.

    Memang dalam kenyataannya suku dayak melalukan pembakaran lahan. Namun hal ini dilakukan agar menjadikan lahannya subur. Suku Dayak tidak melakukan proses penyuburan tradisional ini untuk membuka daerah baru. “Setiap keluarga mempunya lahan, tahun ini mereka pakai satu, tahun depan mereka bakar lahan pertama dan menggunakan lahan yang kedua, beberapa tahun kemudian kembali ke laham pertama” analoginya seperti itu jika boleh kita pahami pernyataan Kole Adjang, seorang kepala badan pengelola hutan desa Setulang. Singkat kata orang dayak menggunakan lahan mereka dari tahun ke tahun dan mereka tetap jaga kelestarian hutan sekitar.

    Disamping lahan dan hutan produksi mereka, Suku dayak mempunyai daerah hutan terlarang atau yang di sebut “Tana Olen”. Daerah yang sudah pasti bebas dari perusakan dan penebangan hutan. Dengan berdasarkan komitmen yang mantap, mereka rajin menjalankan patroli secara berkala untuk menghindari para PENGUSAHA-PENGUSAHA tamak dan tidak bertangung jawab untuk melakukan pembalakan liar.

    Kebiasaan mereka tetap mendarah daging dalam hidup mereka.Selalunya mereka merasa terberkati oleh alam. Karena itulah tidak heran jika banyak dari mereka berhasrat dan berinisiatif untuk memberikan hal lebih ke pada alam. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah seperti yang apa dilakukan oleh bapak Januminro Bunsal yang mengabdikan dirinya melaui penelitian rotan-rotan di Indonesia. Tulisan menariknya dapat dilihat di beberapa blog seperti
    http://www.rotantaman.blogspot.com/
    dan http://rotanindonesia.yolasite.com/
    Code:
    http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/16/suku-dayak-penjaga-terakhir-hutan-kalimantan/
    http://www.rotantaman.blogspot.com/ 
    http://rotanindonesia.yolasite.com/
    http://www.scribd.com/doc/12508127/THE-DAYAK
    
    he Forbidden forests of the Dayak, Borneo, Indonesia
    [video=youtube;tpbNo5k6NkI]http://www.youtube.com/watch?v=tpbNo5k6NkI[/video]
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jun 16, 2010
  7. 1c4ru5 Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Mar 9, 2010
    Messages:
    6,687
    Trophy Points:
    267
    Ratings:
    +6,223 / -1
    mantap kk ts info2nya lengkap banget mantap dah :top:
     
  8. yoshikanji Veteran

    Offline

    Superstar

    Joined:
    Dec 18, 2009
    Messages:
    18,453
    Trophy Points:
    266
    Ratings:
    +38,473 / -0
    avara kdavra, open sesame...
    auto lock open.



    Regards,
     
  9. bokeppers Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Sep 16, 2013
    Messages:
    19
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +0 / -0
    Well, info yang sangat membantu sekali,,
    Selama ini ane bingung kenapa kok dulu Serawak ama Sabah lebih milih ke Malaysia, ternyata dari trit agan ini ane dapetin info pengetahuan low emang Sabah ama Serawak merupakan jajahan Inggris di bawah komando James Brook. Kalau dilihat dari info tersebut, berarti benar adanya kalau Kesultanan Sulu berhak klaim atas wilayah Sabah yang maunya adalah bekas daerah mereka sebelum dirampas oleh Inggris..
    :obrokok:
     
  10. holando27 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 25, 2010
    Messages:
    163
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +58 / -0
    Kalimantan Utara belum masuk, gan ? Provinsi baru, pemekaran dari Kalimantan Timur

    Salut terhadap pembangunan kota Tarakan (kurang lebih 3 Tahun, pernah menetap di sana)..
    Kota Kecil (Pelosok, mungkin ?) tp didukung Pelabuhan + Bandar Udara

    :top:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.