1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Sayang Kalau Dibuang

Discussion in 'Fiction' started by mabdulkarim, Mar 30, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    “Aduh,” keluhku mengerutkan dahi melihat salah satu paragraf yang ada di belakang buku Permainan dunia. Sudah hampir dua minggu berlalu setelah aku selesai menyelesaikan buku ini, tapi masih saja aku bingung maksud dari angka-angka ini;


    1 9 2 0 0 9 1 1 1 0 1 0 2 4 5 1 0 9 0 5 3

    1 9 9 0 1 2 0 5 1 0 1 0 3 5 2 1 0 4 0 8 1

    0 8 9 0 1 1 0 4 1 0 1 0 3 5 5 1 0 7 0 5 3

    2 0 1 0 1 1 0 2 1 0 1 0 3 5 5 1 0 2 0 4 7

    2 0 0 0 1 1 0 9 0 1 1 0 4 0 3 0 1 6 0 5 5

    “Ini angka asal-asalan atau ada artinya?” pikir aku kebingungan sambil mengaruk-garuk rambut. Angka ganjil-genap bukan. Angka yang dipakai kode-kode supermarket bukan. Lalu ini angka apa? Hanya ada dua kemungkinan; ini angka asal-asalan dibuat atau angka yang dibuat oleh seorang yang bisa dibilang jago memainkan angka.


    Selama dua minggu ini, terjadi beberapa kejadian di Yabar; kerusuhan di Jorong. Kerusuhan di Jorong terjadi karena disebabkan kesalahpahaman antara para Senopati yang menyulut api permusuhan dan terjadilah pertempuran yang berdarah tersebut di sore pada tanggal 2 November. Ratusan orang mati dan ribuan terluka. Peristiwa tersebut menambah daftar kelam institusi kepolisian federal Yabar. Para petinggi Bhayangkara Yabar merasa malu berat dan mengundurkan diri karena peristiwa ini. Selain itu, kerusuhan tersebut membuat perayaan sepuluh tahun peristiwa Jorong di tanggal 4 November dibatalkan oleh Bhre Yabar. Ada beberapa orang yang menafsirkan kejadian tersebut punya relasi dengan peristiwa 10 tahun lalu. Aku sendiri tak mau mencoba-coba menafsirkan. Takut salah.


    “Kembali ke masalah angka,” gumamku lalu mencoret-coret kertas kosong, mencoba untuk mendapat petunjuk maksud dari angka tersebut. Aku pernah berdiskusi dengan Kepsek soal angka ini. Tapi ia menyarankan aku untuk tidak terlalu serius menanggapi angka-angka ini. “Kalau kau terlalu serius dengan angka-angka tersebut, bisa-bisa kau sudah stres berat,” katanya dengan mantap. Dia juga bilang tak perlu mementingkan sesuatu yang tidak penting tak penting seperti mencari tahu maksud angka-angka tersebut. Lebih baik urusi sekolah dulu, katanya. Maaf Kepsek, aku yang tipikal suka penasaran ini terpaksa tidak mematuhi saran bijakmu.


    “Bos, anda sedang apa?” tanya Guntur yang baru saja duduk di sebelahku, mencoba mengamati apa yang aku lakukan. Baru saja Guntur menyelesaikan tugasnya membersihkan papan tulis, sekarang jam peralihan dan kami yang ada di kelas menunggu kedatangan guru dengan aktivitas yang bermacam-macam; bermain kartu dan ponsel, mengobrol, dan tidur.


    “Menyelidiki arti angka-angka,” jawabku sedikit lesu, kelelahan berpikir untuk memecahkan arti angka-angka ini.


    Guntur melihat lembaran berisi angka-angka ini. Terlihat mengerut dahinya, mengartikan ia tak mengerti. Maklum, Guntur selalu mencontek kalau ulangan matematika sama aku. Ia langsung beranjak dari kursinya dan pergi bermain dengan teman-temannya, pertanda ia tak mau menggangguku.


    Aku mulai mencoba menghitung jumlah kolom dan baris. Kolom di tiap paragraf berjumlah 21 sedangkan baris berjumlah 5, 105 hasil dari perkalian kolom dan baris ditiap paragraph. Tapi aku merasa apa gunanya aku menghitung perkalian kolom dengan baris?! Jawaban perkalian tersebut tetap tak menjawab apa maksud dari angka-angka ini!


    Ada beberapa orang yang pernah aku ajak mencoba memecahkan angka-angka ini seperti Kosim yang lumayan pintar dalam matematika. Tapi ketika aku tunjukan angka ini kepadanya waktu aku menghampirinya di kelasnya ketika istirahat, ia langsung penging kepalanya dan berkata, “Kak, sudah cukup aku stres dengan dilematik kehidupan ini. Jangan tambah masalahku.”


    Dan ketika aku bertanya kepada Rina saat ia berjalan bersama Dina di daerah Tabet, ia hanya memegang dagunya dan memperhatikan angka-angka ini selama 5 menit tanpa berkata sepatah pun kepadaku. Berpikir kali dia, pikir aku waktu itu. “Aku tak bisa mengerjakan angka barcode ini, Eka,” jawab dingin oleh gadis yang selalu bungkam ketika ditanya masa lalunya oleh siapapun. Seingatku angka barcode jumlahnya tak sampai 21!


    Pernahku coba menghubungi Kak Manguri yang ahli matematika dan fisika itu, tapi ia selalu saja membalas dengan pesannya, “Maaf, Eka. Kakak sedang sibuk”


    Eri juga aku pernah tanyai waktu aku bertemunya di sekitar area sekolahnya, tapi kecerdasannya terbatas untuk menemukan apa arti angka ini, itulah yang ia katakan kepadaku saat melihat angka-angka ini. “Maaf, Eka. Ilmuku belum sampai ke tahap ini,” kata gadis yang rambut pendek tersebut dengan ramah.


    Pernah aku mencoba bertanya dengan Kidang soal angka-angka seperti ini. “Angka-angka ini mirip kode-kode mata-mata. Kalau kau mau memecahkannya, kau harus jeli dan berwawasan luas layaknya telik sandi Nusatoro,” katanya sambil menyerahkan buku ini kembali kepadaku. Benar apa yang dikatakan Kidang. Bisa jadi ini kode rahasia yang diberikan penulis kepada para pembaca dengan maksud tertentu. Semakin rahasia semakin susah untuk dipecahkan, itulah hukum berlaku dalam dunia teka-teki. “Eka, hati-hati dengan buku ini,” pesannya kepadaku tatapan serius, tatapan yang jarang keluar dari orang yang menunggu masa pemberhentiannya. Pesan tersebut cukup bermakna luas, mungkin maksud dari pesan Kidang menyuruhku untuk tidak memberontak kepada Bhre Cakra dan Mahapatih Modo. Tenang Kidang, aku akan loyal dengan Konfederasi sampai akhir hayatku.


    “Mari coba menjumlahkan tiap nilai angka dari baris pertama,” gumamku mulai berhitung. Orang akan cenderung menganggap satu baris itu bernilai sama, tapi bagiku tidak. Ada spasi yang memisahkan angka-angka, pertanda tiap angka tak saling terkait secara besarnya nilai. Pernah di awal-awal aku mencoba mencari arti dari angka ini dengan menjumlahkan baris dengan baris yang menghasilkan 881.054.314.151.710.438.289, sebuah angka yang cukup besar dan membingungkan karena apa maksud dari 881.054.314.151.710.438.289? Apakah angka tersebut termasuk bahasa programmer? Entahlah. Diriku tak mengerti bahasa komputer. Yang hanya aku tahu hanya angka satu melambangkan iya, benar, dan ada sedangkan nol melambangkan tidak, salah, dan ketiadaan.


    “Ehm, hasilnya 54,” gumamku melihat hasil coret-coretanku. “Coba tambahkan jumlah semua baris dan bagi dengan angka 5, angka jumlah barisan.”


    “54 ditambah 53 ditambah 54 ditambah 36 ditambah 39 sama dengan 236. 236 dibagi 5 sama dengan 47,2,” aku seraya memegang jenggot kecilku melihat jawabanku. Aku memastikan jawabanku benar dengan menyuruh kacamataku menghitung perhitunganku.


    Kacamata hitam ini adalah kacamata canggih yang aku milik. Mungkin satu-satunya di dunia untuk saat ini karena Kakek Lutfhi, sang pencipta kacamata ini mengatakan bahwasanya kacamata sepertiku akan dikomersialkan pada tahun sekitar 2012 tahun Levtxsan atau 902 tahun Nusatoro. Kakekku memberikan kacamata ini beberapa bulan sebelum ia wafat. Kacamata ini merupakan mahakaryanya dan mungkin juga bagi para ilmuwan Nusatoro. Mungkin aku akan terkenal dengan memiliki kacamata ini yang bisa berselancar di dunia maya –jika ada sinyal WIFI, memotret dan merekam video, bisa dioperasikan hanya dengan suara, bisa menghitung perhitungan sulit, kebal air, dan bisa menambah jarak pandang kalau tidak kelihatan suatu objek. Hanya saja Kakekku berpesan untuk merahasiakan kemampuan kacamata ini kepada siapapun, termasuk orang tuaku. Selain itu, ia berpesan untuk berhati-hati menggunakan kacamata ini yang katanya punya kekuatan misterius. “Ah, klenik sekali Kakek ini. Padahal Kakek Lutfhi itu ilmuwan,” ujarku kepadanya saat diberi tahunya. Entah apa yang misterius dari kacamata ini. Yang jelas aku sedikit curiga dengan kacamata ini karena jikalau aku tak memakai kacamata ini, orang bisa menonjok dengan mudah seperti apa yang Kosim lakukan waktu aku suruh kemarin. Tapi begitu aku pakai kacamata, Kosim tak mampu melesatkan tinjunya. Ia bergemetaran dan lari ketakutan dari pandanganku. Merasakan aura yang menakutkan dan mengitimidasi, ujar Kosim menjelaskan maksud dari ketakutannya. Entah ada penjelasan rasional tentang kekuatan kacamata ini.


    Tiap kali mau ujian, aku melepas kacamata ini demi menjaga asas kejujuran. Aku berusaha sejujur mungkin untuk mendapatkan nilai, baik itu jelek maupun bagus. Selain itu, aku melepas kacamata ini saat berenang, sholat, mandi, dan tidur. Keberadaan kacamata ini benar-benar mengubah hidupku. Semua yang aku inginkan terwujud kecuali keinginan menembakan laser, melihat dalaman orang, dan menghubungi orang layaknya ponsel.


    “Aduh,” kedua tanganku memegang kepalaku yang kebingungan dengan angka-angka ini. “Apa arti angka ini?”


    Angka punya arti karena memiliki nilai, entah itu 0, 1, dan seterusnya. Dan apa arti dari angka-angka ini? Itulah pertanyaan yang berulang kali muncul dipikiranku semenjak memulai mencari arti dari lembar terakhir buku ini. Stres aku memikirkan angka-angka ini. Mungkin sudah berada di angka 52. Tak ada jalan lain selain menunda mencari jawaban angka-angka ini.


    Di dunia maya, banyak orang yang mencoba memecahkan kode-kode angka seperti ini. Tapi seperti halnya aku, mereka juga mengalami kebuntuan meskipun sudah menghitung dari berbagai cara seperti pengakaran, pengkoordinatan, dan matriks. Ada juga yang mencoba menghitung angka ini dengan rumus matematika tingkat tinggi, yang tak bakal dimengerti anak STM sepertiku. Beberapa orang menilai angka ini merupakan angka asal-asalan yang dibuat penulis Permainan Dunia.


    “Sudah ah memikirkan angka-angka ini,” pikirku lalu memasukan kertas-kertas coretan dan buku Permainan Dunia ke dalam tas. “Tidur dulu sebentar,” gumamku lalu tiduran di atas meja. Lelah dan pening otakku mencari jawaban angka-angka tersebut, sama seperti waktu aku ujian nasional matematika.


    ***

    “Ehm, kolom ke-4, ke-12 dan 19 nol semua angkanya,” gumamku melihat kolom ke-4, ke-12, dan ke-19. Sepulangnya dari sekolah, aku memutuskan untuk kembali mencari jawaban angka ini setelah melihat di internet ada orang yang mengatakan bahwa kolom ke-4, ke-12 dan ke-19 sama semua angkanya sehingga muncul ide untuk memisahkan angka-angka yang ada di kolom satu sampai tiga dengan kolom lain. Orang tersebut menulis, “Nol adalah angka tidak ada, seperti spasi yang tidak ada keberadaannya dan memisahkan angka-angka bagaikan perbatasan negara.”


    “Menarik. Benar-benar menarik,” gumamku tersenyum tipis melihat tulisan orang tersebut dari kacamataku. Selain itu, ada yang menyatakan bahwa di tiap barisan ada kalanya angka tidak dituliskan seperti di baris kesatu, angka 6, 7, dan 8 tidak ada. Dan di baris kedua angka 6,7 tidak ada. Aku mencoba mencari sendiri dan benar, ada beberapa angka yang tak ada. Di baris ketiga, angka 2 dan 6. 6 dan 8 di baris ke empat. Dan di baris kelima, 7 dan 8. Apa maksud dari ini? Kebetulan? Bisa iya dan juga bisa tidak.


    “Semua orang sekarang mencoba dengan caranya masing-masing,” gumamku melihat artikel-artikel di dunia maya yang membahas angka-angka ini. Ada yang membalik kolom menjadi baris dan sebaliknya untuk menemukan jawaban dari angka-angka ini. Ada juga yang mencoba menghubungan dengan paragraph selanjutnya yang bisa aku bilang ada kesamaan; kolom ke-4, ke-12 dan 19 nol semua. Semuanya berinovasi dan inovasi tersebutlah yang melahirkan kemenarikan angka-angk ini. “Sepertinya aku harus memakai caraku sendiri. Tapi bagaimana caranya?”


    Aku langsung melepas kacamataku dan menatap angka-angka ini. “Ehm, kolom ke-5, ke-7, ke-9, ke-10, ke-16, dan ke-17 memilik kaitan: sama-sama berisi angka 1 atau 0 yang berjumlah 4.”


    Kalender yang ada dinding kamarku kutatap sebentar, kalender Nusatoro, kalender yang hanya berlaku di daerah Konfederasi. Ada 4 kalender yang biasanya dipakai di Konfederasi; Nusatoro, Levtxsan, Hijriah, dan Dakian. Levtxsan dipakai sebagai penanggalan internasional, hijriah dipakai orang Islam, dan Dakian rata-rata dipakai para ilmuwan karena Dakian merupakan pusat ilmu pengetahuan selain Levtxsan dan Amrik. Levtxsan, Nusatoro, dan Dakian mengambil penanggalan matahari. Levtxsan memulai perhitungan penanggalan semenjak agama Kristen masuk ke benua tersebut. Sementara itu, bangsa Dakian memulai penanggal dari awal kerajaan pemersatu bangsa Dakian berdiri, sama seperti kasus kalender Nusatoro yang memakai berdiri kekaisaran pertama di wilayah Konfederasi berdiri, Sanfoni, yang melambang sebagai pemersatu negeri ini.


    Aku berpikir kalau angka-angka yang ada di depan tiap baris mirip angka tahun-tahun Levtxsan dan Dakian yang hanya beda 10 tahun saja. Apa jadinya jika angka-angka tersebut merupakan angka penanggalan? Pasti menarik. Tetapi aneh saja buah angka penanggalan yang berjumlah 21 suku angka. Setahu aku, penanggalan angka biasanya berjumlah delapan atau tujuh angka.


    “Tapi mungkin saja itu penanggalan. Di kolom kesembilan, hampir semuanya angka nol, cocok untuk pemisah penanggalan dengan angka yang tak terkait,” pikir aku memegang jenggot. Ada satu angka di baris kelima dan kolom kesembilan yang berangka satu, tapi aku rasa tak masalah kalau aku menanggap angka satu itu karena ini caraku. Caraku; terserah aku, teori seenaknya buatanku.


    Aku duduk di atas kasur lalu mengambil kertas kosong dari buku tulisku yang ada di dalam tasku. Dengan papan jalan, aku meletakkan selembar kertas ini dan memulai menuliskan angka-angka yang ada di buku Permainan Dunia.


    1920-09-11, 1990-12-05,0890-11-04, 2010-11-02, dan 2000-11-09. Angka-angka yang benar-benar mewujudkan penanggalan.Tahun-bulan-tanggal merupakan penanggalan Dakian dan Levtxsan sedangkan Nusatoro memakai tanggal-bulan-tahun.


    Yes, kolom satu sampai delapan terpecahkan,” gumamku tersenyum puas. “Tapi yang menjadi masalah kolom tujuh dan delapan. Selain itu, apa maksud dari penanggalan ini? Kenapa tahunnya beda-beda?” Pertanyaan ini mungkin akan terjawab setelah aku memecahkan angka-angka selanjutnya.


    Angka tahun-tahun ini menarik perhatianku. Aku mulai memfokuskan memecahkan maksud kolom kesatu sampai keempat ini. “Ehm, mungkin berbeda karena beda jenis penanggalan,” pikir aku. Kemungkinan besar angka yang menunjukan tahun dengan empat angka berasal dari Levtxsan dan Dakian sedangkan untuk tiga angka berasal dari Nusatoro. Ehm, masuk akal kalau logikanya seperti itu. Menemukan penanggalan jenis Nusatoro gampang sekali: baris ke-3. Tapi sisanya membuat bingung karena susah membedakan yang mana tahun Levtxsan dan mana yang Dakian. Bisa jadi keempat baris tersebut semuanya berpenanggalan Levtxsan atau bisa juga Dakian.


    “Apa maksud dari penulis memakai campuran penanggalan?” pikirku melihat angka-angka lembaran terakhir buku ini. Adakah maksud tertentu? Apakah ia sengaja memakai penanggalan yang sering dipakai orang-orang guna menyampaikan sesuatu? Bisa jadi. Tapi kepada siapa? Semua orang? Tentu semua orang tak bisa menelaah maksud angka-angka ciptaan penulis.


    Aku terdiam. Otakku bekerja semaksimal mungkin menentukan penanggalan yang dipakai penulis. Kalau memakai kalender Levtxsan, tentu yang paham hampir semua masyarakat internasional. Berbeda dengan kalender Dakian, yang paham hanya masyarakat Dakian dan para ilmuwan.


    “Apa mungkin memakai tingkatan pengaruh?” berhipotesis aku setelah berpikir panjang. Pengaruh Levtxsan jauh lebih besar dibanding Dakian di kancah dunia, apalagi di Nusatoro. Kalau aku analogikan baris kesatu itu memakai penanggalan Levtxsan, maka yang keduanya bisa jadi memakai Dakian dan ketiganya Nusatoro. Ehm, cukup masuk akal, tapi bagaimana dengan empat dan lima? Apakah mereka mengikuti aturan tingkatan pengaruh? Fifty-fifty.


    Tunggu, apa landasan bagiku mengatakan keempat baris ini pakai penanggalan Dakian dan Levtxsan? Bisa jadi keempat baris ini memakai Levtxsan. Kalau aku berpikir lebih jauh bisa-bisa kebenaran yang seharusnya aku temukan menghilang.


    “Coba cek peristiwa yang terjadi di tahun-tahun ini,” pikir aku mencoba menengahi dualisme yang ada di otakku.


    Kacamata kembali aku kenakan. “Kacamata, cari informasi yang terjadi di tanggal 11 bulan September 1920 dengan penanggalan internasional!” perintahku dan kacamata ini langsung mengeluarkan banyak alamat website. Sepertinya di tanggal 11 September 1920 tak terjadi peristiwa apapun selain kelahiran orang-orang terkenal. Namun ketika aku cari dengan versi penanggalan Dakian, terjadi peristiwa revolusi Kelapa Hijau.


    1990-12-05 versi internasional terjadi peristiwa Bitoru. Bitoru adalah seorang penembak misterius yang disebut-sebut membasmi para penjahat dan koruptor. Ia ditangkap setelah ketahuan membunuh duta Republik Rus dan dipenjarakan di pulau khusus narapidana kelas berbahaya. Ia melarikan diri ketika pengadilan menaikan hukumannya dari seumur hidup menjadi hukum mati. Keberadaan Bitoru tidak diketahui setelah itu, tapi ada yang rumor yang mengatakan Bitoru berperan besar dalam pengulingan Bhre Yabar kala itu dan berimbas dengan naiknya Arjuna. Itulah cerita tentang Bitoru yang kutahui. 1990-12-05 versi Dakian tak terjadi kejadian apa-apa.


    2010-11-02 versi Levtxsan terjadi insiden Jorong kedua beberapa saat lalu. Sedangkan versi Dakian tak ada karena tahun Dakian saat ini masih tahun 2000.


    2000-11-09 menurut Dakian adalah tanggal untuk lusa dari sekarang sedangkan menurut penanggalan Levtxsan, tanggal tersebut terjadi peristiwa krisis monoter global, yang pernah berimbas pada ekonomi Konfederasi Nusatoro, tapi tak lama.


    “Dakian, Levtxsan, Nusatoro, Levtxsan, dan Dakian. Seperti sebuah urutan, urutan pengaruh suatu bangsa kepada dunia,” gumamku sambil mencoret-coret angka penanggalan di kertas ini. Ada beberapa yang mengatakan pengaruh Dakian kepada dunia lebih besar ketimbang benua imperialis Levtxsan mengingat bangsa Dakian yang membuat tanjakan menuju era modern. Sepertinya penulis ini menganggap Dakian yang berpengaruh dan apa maksud penulis menulis tanggal-tanggal yang terjadi suatu peristiwa-peristiwa penting di Yabar?


    “Revolusi Kelapa Hijau, Bitoru, Jorong I, Jorong II, dan…. Lusa?” gumamku berpikir sambil mengerutkan kening. Pulpen kuketuk-ketuk ke kening ini, pertanda sedang mencari jawaban suatu masalah.


    Sepertinya ada maksud tertentu oleh penulis mengkorelasikan keempat peristiwa yang mempengaruhi Yabar, baik yang terjadi di Yabar maupun tidak seperti kaburnya Bitoru. Semuanya tak terkait secara ikatan maupun kejadian, tapi punya satu kesamaan; peristiwa besar yang mempengaruhi stabilitas Yabar.


    Baru ada empat peristiwa yang terjadi dan sepertinya akan terjadi suatu peristiwa besar pada lusa. Ehm, apa maksud dari penulis? Memperingatkan atau menakut-nakuti? Atau ada maksud lain mengingat buku ini berisi bagaimana caranya memberontak? Hanya Tuhan dan penulis yang tahu.


    Kalau lusa akan terjadi suatu peristiwa, di mana akan terjadi dan kapan terjadi serta apa yang akan terjadi? Akan ada kerusuhan seperti di Jorong? Atau jatuhnya pemimpin? Sepertinya pertanyaanku akan terjawab jika aku menunggu lusa. Tapi kalau aku menunggu, bisa saja terjadi sesuatu yang sangat buruk dan harus dicegah jika aku mengetahui rencana tersebut. Mungkin aku harus mencari tahu lebih mendalam dengan menterjemahkan angka-angka setelah kolom delapan.


    Apakah aku harus mempublikasikan ini atau memberi tahu Bhayangkara? Sepertinya jangan dulu mengingat aku belum punya argumen dan bukti kuat. Mungkin hanya aku seorang yang berhasil menterjemahkan maksud angka-angka ini sampai kolom delapan, sisanya masih menunggu untuk dipecahkan.


    “10, 10, 10, 10, dan 01,” gumamku melihat angka-angka setelah kolom delapan. Angka-angka seperti ini mirip dengan angka bahasa komputer; benar dan tidak, 1 dan 0.


    Sepertinya maksud angka “10” pertanda benar, true, dan semacamnya. Sedangkan angka 01 adalah kontradiksinya. Dan angka-angka tersebut sepertinya menandakan peristiwa sudah terjadi atau belum. Kolom delapan dan sembelian terpecahkan misterinya!!


    “Sepertinya aku bisa menyelesaikan paragraf satu bahkan semuanya hari ini juga,” gumamku dengan keyakinan total, disertai senyuman tipis.


    Keyakinan tersebut disertai sedikit rasa sombong mulai pudar dan menghilang seiring waktu terbuang karena bingung maksud kolom sepuluh dan sebelas. “Semua angka di sama semua. Dan jika disamakan dengan kolom sebelumnya, tentu akan berkontrakdisi!” gumamku sedikit kesal.


    Apa mungkin kolom sepuluh berdiri sendiri? Bisa jadi. Dan kemungkinan berkaitan dengan kolom sebelas, dan belas bisa juga terjadi seperti kolom satu sampai delapan. 1, 10, 102, 1024, 10245, 102451, 1024510, 10245109, 102451090, 1024510905, dan 10245109053. Semua kemungkinan kolom-kolom punya kaitan aku tuliskan di kertas ini yang mulai penuh akan coretan angka. Apa ada kemungkinan kolom sebelas tergabung dengan kolom sebelumnya? Bisa jadi. Kata ‘mungkin’, ‘bisa jadi’, dan ‘entahlah’ menjadi kata yang sering aku pakai dalam berhipotesis. Hipotesis masih perlu dibuktikan dan ketika terbukti, teori liar ini akan naik pangkat menjadi kebenaran.


    Angka 1 bisa jadi arti dari benar, tapi tak mungkin semuanya benar karena ada satu peristiwa yang belum terjadi. Dan angka selanjutnya….


    “Ah, pusing,” keluhku sambil mengacak-acak rambut ikal hitam ini. “ Nanti saja kulanjutkan.”


    Buku dan kertas ini aku taruh sembarangan di atas kasur ini. Aku beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri setelah seharian di STM Panzer, melelahkan dan menguras energi.


    “Angka 10245 mirip angka-angka kode pos,” gumamku berpikir sembarangan selagi berjalan. Bisa jadi pikiran liarku benar dan perlu pembuktian dengan menganalisa setiap daerah terjadinya peristiwa. Aku berpikiran selagi mandi apakah benar kolom satu sampai delapan itu penanggalan? Ada saja kemungkinan peristiwa dan penanggalan hanya memakai ilmu cocok-mencocokan dan kebetulan.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Senin, 10 November 900, inilah tanggal di mana akan terjadi peristiwa besar menurut hipotesisku. Kemarin sore, aku mencoba mencocokan angka kolom sebelas sampai lima belas dengan kode pos tiap wilayah terjadinya peristiwa. Hasilnya mengejutkanku karena angka-angka tersebut tepat dengan daerah-daerah terjadinya peristiwa. Kebetulan lagi atau kesengajaan penulis? Seperti kesengajaan, yakin 90% aku.


    Wilayah yang akan terjadinya tak lain Majoran dan saat ini, wilayah Majoran merupakan tempat berlangsungnya pertemuan Bhre Cakra dengan parlemennya mengingat Majoran merupakan tempat parlemen berada. Sepertinya peristiwa besar ada hubungannya dengan pertemuan tersebut, tapi apa? Pembunuhan masal? Bhre Cakra dibunuh? Aku tak mau berspekulasi liar. Yang jelas aku harus menghentikan kejadian besar ini dengan segala cara dan pertanyaannya masih sama dengan pertanyaan sebelumnya; kejadian apa yang akan terjadi?


    Oleh karena itu, aku memutuskan absen dari sekolah dengan alasan sakit sariwan dan tentu saja aku sedang sariawan. Sakit sariawan ini membuatku tak bisa merasakan makanan yang pedas-pedas. Ah, ini pasti kurang makan buah-buahan mengandung vitamin C.


    Aku bersama Fursan berkeliling daerah parlemen Yabar. Banyak personil Bhayangkara berjaga baik di luar maupun di dalam. Mungkin sekitar 1.000 Bhayangkara menjaga gedung yang usianya sudah 90 tahun tersebut. Banyak Bhayangkara yang bersenjatakan lengkap dengan membawa senapan laras panjang dan mengenakan rompi anti peluru. Beberapa dari mereka ada yang memakai helm, mungkin takut jadi sasaran kepala mereka. Ada beberapa mobil lapis baja di luar pagar parlemen. Beberapa rantai barikade sudah disiapkan pihak polisi padahal tak ada demo ataupun kerusuhan di sekitar parlemen. Semua kondusif dan aman.


    Bangunan parlemen lumayan megah, tapi tak semegah istana Bhre. Bertingkat empat lantai dan gayanya ala barat. tercat putih gedung parlemen padahal aku kurang suka melihat bangunan berwarna putih. Halaman parlemen sangat luas. Indah dan asri sekali. Banyak bunga tumbuh di pekarangan parlemen. Pastinya bunga-bunga tersebut dirawat dengan uang negara.


    Di dalam parlemen ini, Bhre Cakra dikabarkan akan diminta laporannya selama setahun ia menjabat sebagai pemimpin Yabar. Sepertinya semua pemimpin harus begitu, baik tingkat kecil seperti ketua kelas sampai perdana menteri.


    “Sepertinya aman-aman saja parlemen,” gumamku sambil menunggangi Fursan melihat parlemen dari jalanan yang kulalui. Sudah 5 jam aku berkeliling daerah sekitar parlemen dan jam arlojiku sudah menunjukan jam 2 siang. Sidang parlemen akan berlangsung pada jam 10 pagi sampai jam 3 sore.


    “Harus apa aku?” pikir aku kebingungan.


    Orang yang ingin membuat peristiwa besar mungkin ada hubungannya dengan penulis buku Permainan Dunia. Tapi ada saja kemungkinan tak terkait. Semua kemungkinan bisa terjadi.


    Aku menghentikan derapan Fursan. Fursan kuparkirkan di dekat bangku trotoar ini. Bangku ini kotor akan dedaunan yang berasal dari pohon jati dekat tempat aku duduk ini. Daun-daun yang masih hijau ini aku bersihkan dengan tangan-tangan ceking ini. Aku tumpuk benda-benda penghasil oksigen ini di bagian kiri bangku kayu ini yang merupakan tempat kosong semenjak aku duduk. Setelah bersih, aku duduk santai di tengah letihnya fisik ini. Berkeliling menaiki kuda bisa memelahkan bagi sang penunggang apalagi kudanya.


    “Mau daun?” tawar aku memegang beberapa helai daun kepada Fursan.


    Fursan menerima makanan yang kuberikan. Lidahnya dijulur-julurkannya setelah melahap dedaunan tersebut, pertanda ia meminta air pada empunya. Maaf sekali temanku, aku tak punya cukup air untuk dibagi padamu. Kalau ada pedagang minuman lewat, pasti aku beri kau air.


    Para pejalan kaki dan pengendara yang melewati tempatku memperhatikan aku dan Fursan. Sepertinya baru pertama kali mereka melihat ada orang berbaju STM Panzer suka menunggangi kuda.


    Di depan hadapanku ada gerbang parlemen, yang hanya dipisahkan jalanan raya lengang ini. Beberapa anggota Bhayangkara memperhatikan gerak-gerik orang-orang lewat. Terkadang mata mereka melirik tajam kepadaku, menatap waspada.


    Semua kode angka di paragraf 1 hampir semuanya berhasil kupecahkan. Prestasi bagus bagiku karena orang-orang yang ada di dunia maya masih kebingungan dengan angka-angka ini. Mereka kurang bisa memakai imajinasi liar, menurutku.


    Kolom delapan belas, sembilan belas, dua puluh, dan dua puluh satu masih menjadi misteri. Angka-angka ini bukanlah angka kode pos, penanggalan, benar tidaknya, atau jam. Imajinasi liarku belum bisa meraba-aba angka macam apa ini. Selesai memecahkan keempat kolom ini berarti aku siap memecahkan angka di paragraf selanjutnya.


    “Kacamata, buka livestreaming parlemen,” perintahku lirih kepada kacamata ini. Ada beberapa website di internet yang menayangkan rapat di parlemen untuk menunjukan good government permerintah Yabar.


    Kacamataku langsung menayangkan apa yang terjadi di parlemen. Terlihat Bhre Cakra sedang berbicara di podium, sepertinya ia sedang membacakan laporan kinerjanya selama setahun. Berjuanglah Bhre muda, aku akan mendukungmu terus selama kau masih ada di jalan benar.


    Matahari tak terlihat ketika aku mendongak. Hanya banyak awan di langit, pertanda mau hujan tapi masalahnya awannya masih putih, belum hitam kelabu. “Mungkin aku harusnya bersyukur,” gumamku tersenyum tipis.


    Kembali ke permasalah apa yang akan terjadi hari ini. Kalau aku menjadi perencana, apa yang akan aku lakukan untuk mengguncang stabilitas Yabar? Menghancurkan parlemen dari bawah tanah seperti di film? Ah, rasa tidak mungkin mengingat di Yabar tak ada kereta bawah tanah atau gorong-gorong air besar layaknya di barat.


    Melirik kesana-kemari mata ini. Di sekitar parlemen lumayan banyak gedung-gedung pencakar langit. Mungkin yang tertinggi berlantai lima puluh dan gedung tersebut tak lain adalah apartemen. Lumayan banyak apartemen di sini, mungkin ada 4 tapi baru 3 saja yang baru dikomersialkan, yang satu lagi masih dibangun. Terlihat sudah jadi apartemen yang sedang dibangun, tapi puncaknya masih kerangka-kerangka baja. Aku dengar apartemen tersebut bermasalah izin tanahnya dan disegal oleh Pemda setempat. Bagaimana bisa apartemen yang hampir jadi itu baru ketahuan izin tanahnya bermasalah sekarang-sekarang? Sungguh aneh.


    “Bisa saja ada sniper di gedung tersebut,” gumamku melontarkan pikiran liarku.


    Tunggu dulu! Bisa jadi apa yang aku katakan tadi benar mengingat beberapa puluh menit lagi sidang parlemen akan usai dan Bhre berserta jajaran petinggi parlemen akan keluar. Mungkin akan lebih baik aku cek ke dalam apartemen itu. Tapi apa jadinya jika aku bertemu dengan pelaku yang mungkin saja bersenjata lengkap? Kabur, itu opsi terbaik yang aku punya selain bertempur habis-habisan denganya.


    Aku menunggangi Fursan dan pergi ke apartemen tersebut yang jaraknya mungkin hanya 60 meter dari parlemen, jarak yang cukup dekat dan memungkinkan seorang menembak dengan senapan sniper. Selama menunggu sampai ke tujuan, aku berpikir apa tujuan orang yang ingin mengguncangkan stabilitas Yabar? Kenapa mesti Yabar? Kenapa tidak Briangan atau Nusatoro? Apa karena Yabar pusat ekonomi di Konfederasi? Ah, itu jawaban yang cukup kuat dalilnya. Kali saja ini yang dimaksud permainan dunia –lebih tepatnya permainan Nusatoro– oleh penulis.


    Sesampainya di depan apartemen, aku memarkirkan Fursan di dekat pepohonan yang rindang. Keahlian menyelinapku cukup tinggi sehingga pintu masuk lahan proyek yang disegel ini tak susah untuk diretas. Aku masuk ke dalam area apartemen ini. Terlihat tempat ini masih dalam proses pembangunan. Dinding-dinding masih cokelat, belum dicat. keramik lantai belum dipasangkan. Seng-seng besi dan balok-balok kaya masih berserakan di mana-mana. Untuk naik ke tingkatan selanjutnya harus memakai tangga karena lift proyek dimatikan oleh pihak apartemen.


    Selama menaiki tangga yang belum punya penyangganya, mataku melirik sekeliling untuk waspada. Bisa saja pelaku menyerangku tiba-tiba. Baru pertama kalinya aku merasakan suasana tegang seperti ini, mencekam dan


    “Apa aku panggil Bhayangkara saja ya?” gumamku, khawatir dengan keselamatanku.


    Mungkin saja memanggil pihak yang berwajib adalah pilihan terbaik. Tapi mesti diingat kalau aku belum punya bukti kuat. Dilema aku menghadapi masalah seperti inI. Mungkin ada baiknya aku pergi ke atas bersama orang-orang tangguh seperti Kosim atau Kidang. Kalau ada salah satu dari mereka, musuh mana pun yang tak bersenjata bisa mereka kalahkan. Akan beda ceritanya jika musuh memakai senapan. Mungkin hanya Kidang yang bisa adu tembak-tembakan dengan musuh walaupun usianya sudah senja.


    “Ada baiknya aku minta tolong dia,” gumamku lalu menghentikan langkah kaki.


    Aku duduk di tangga kotor ini dan mengeluarkan ponsel untuk memanggil anggota Bhayangkara yang aku kenal. Kalau punya kenalan di intansi pasti akan mudah urusan hukum, pepatah yang selalu menghiasi Bhayangkara dalam konotasi negatif, nepotisme.


    “Halo, dengan siapa ini?”


    “Kak Johan, ini Eka. Bisa aku minta tolong kau?”


    Kak Johan terkejut, terdengar dari suaranya. Ia bertanya dari mana aku mendapatkan nomernya. Aku menjelaskan bahwa adiknya yang memberikan nomernya kepadaku, secara cuma-cuma atas jasaku membantu adiknya sewaku ia pergi ke tempat konselingku. Ellena bisa tahu siapa yang memberi saran akademi kepadanya gara-gara aku kelupaan memakai alat penyamar suara dan baru kusadari setelah klientku menundukan kepalanya dan berkata, “Terima kasih banyak, Eka!” Mungkin itu keuntungan dari ketidaksengajaan yang sebenarnya berakibat luas kalau gadis berambut pendek tersebut bukan temanku.


    “Kak Johan, bisakah kau pergi ke apartemen yang disegel dekat parlemen sekarang juga?” pintaku kepadanya dengan berharap banyak. “Aku butuh bantuanmu. Dan akan aku jelaskan di sini kenapa aku perlu bantuanmu!”


    Johan hanya menjawab, “Maaf Eka. Aku sedang bekerja sebagai polisi lalu lintas dan ini saja aku menjawab ponselmu ketika aku sedang makan siang. Sekali lagi maafkan aku, Eka.”


    Ia putuskan sambungannya, mungkin seharusnya aku jelaskan alasan pemanggilannya. Harapanku pupus sudah, namun bukan berarti aku tak akan melanjutkan misi menghentikan insiden Majoran. Misi ini harus lanjut, harus!! Apapun caranya asal tak mengorbankan nyawa ini.


    Langkah demi langkah kulanjutkan, mungkin sudah lantai 10 sekarang. Tujuanku adalah lantai teratas karena semakin keatas, semakin bagus sebagai tempat bersembunyi sniper. Lantai tertinggi di apartemen ini mungkin lantai 20 dan kemungkinan menjadi sarang sniper cukup besar. Arlojiku menunjukan jam 2.15 dan aku masih punya 45 menit untuk melacak sniper dugaanku. Biasanya sniper membawa orang yang disebut spotter. Fungsi dari spotter aku tak tahu, tapi dari namanya seharusnya tugasnya adalah melacak musuh.


    “Aku harus bisa menyembunyikan keberadaanku dengan berjalan pelan-pelan,” pikir aku lalu memperlambat langkah sepatuku.


    Suara yang ditimbulkan hentakan sepatu hitam ini lumayan terdengar. Minimal radius dua meter dari tempat aku berada dipastikan bisa mendengar suara sepatu yang aku beli saat kelas 10 ini.


    Lantai 15 berhasil aku capai. Aku beristirahat dulu dengan duduk di anak tangga kotor ini dan dahagaku langsung hilang selepas minum botol air ini. Semoga Fursan bisa menunggu sampai aku keluar. Aku berjanji akan memberikannya minum sepuasnya.


    Dari tempat aku duduk, ada lubang berbingkai kayu jati berbentuk kotak yang cukup besar dan sepertinya merupakan tempat memasang jendela kelak. Dari lubang tersebut aku bisa melihat langit siang menjelang sore yang masih berawan saja, belum menunjukan mau hujan. Dan ketika aku berdiri, dapat aku lihat pemandangan perkotaan Majoran. Kecil-kecil bangunan dan parlemen terlihat putih sendiri di tengah kepungan warna cokelat yang berasal dari atap-atap ruko dan gedung. Bagi yang punya penyakit ketinggian, sudah pasti ketakutan dan gemetaran bahkan kencing di celana melihat pemandangan ini.


    “Akan lebih spektakuler ketika melihat dari ketinggian lantai 30 ke atas. Jabar bakal seperti susunan lego,” gumamku tersenyum tipis sambil berkecak pinggang.


    Lantai 16, 17. 18, dan 19 kulewati. Tangga yang membawaku ke lantai 20 tak punya lanjutannya; terputus. Kalau ingin naik ke atas, mesti naik lift.


    “Sekarang waktunya mencari sniper,” gumamku lalu melangkah dengan waspada di lorong ini.


    Aku berjalan pelan, sangat pelan seperti pencuri yang sedang bergerak di rumah targetnya. Setiap ruangan yang aku lalui –yang belum dipasangkan daun pintunya– kusempatkan melirik sedikit ke dalam dan sampai ruangan ke delapan belas, aku belum temukan si sniper ataupun spotter. Masih ada tiga belas ruangan lagi yang dapat kulacak, tapi waktu terus berjalan dan saat ini arloji ini menunjukan jam 14.45 . Mesti cepat aku!


    “Bisa jadi bukan di gedung ini ia ada,” gumamku. “Atau bisa jadi hanya imajinasi liarku saja kalau ada sniper ingin membunuh salah satu petinggi Yabar.”


    Semua hal yang berkontradiksi dengan apa yang aku lakukan terpikir. Hal ini tentu punya tujuan; merayuku mundur dan menanggap apa yang aku lakukan sia-sia. Aku terus meyakinkan diriku untuk terus bergerak. “Jika tak terjadi apa-apa hari ini, syukurlah,” gumamku tersenyum tipis.


    Sudah lima belas ruangan aku lihat. Belum ada tanda-tanda sniper ataupun spotter. Mesti bersyukur atau kesal? Akan aku pilih bersyukur jika aku tak menemukannya dan para petinggi Yabar masih hidup sampai hari ini selesai.


    Aku sampai di balik dinding ruangan enam belas. Mendongak sebentar aku dan melihat lorong ini tak ada lampu penerangan. Hanya ada kabel saja yang kemungkinan dipakai untuk memasang lampu.


    Dengan hati-hatinya kepalaku masuk ke pintu tak berdaun ini dan melihat seseorang berbadan besar, berjaket hitam, tudung jaketnya tak dikenakannya, dan seperti bukan orang negeri ini memegang senapan sniper dengan tangan kirinya. Tangan kanannya tak terlihat jelas dan sepertinya orang tersebut merupakan sniper. Ia sepertinya sedang menunggu targetnya keluar dari parlemen, entah siapa.


    Kepalaku dengan cepat kembali ke posisi semula; tegak dengan badan yang bersandar di dinding ini. Badanku gemetaran melihatnya. Bulu kudukku berdiri. Baru pertama kalinya aku melihat seorang sniper bersiap menyantap targetnya. Biasanya di film aksi seorang sniper itu mukanya sudah mati ekspersi dan punya falsafah satu peluru satu nyawa. Apa yang harus aku lakukan untuk melawa-


    Bunyi tembakan ratusan peluru terdengar keras di telingaku. Dinding tempat aku bersandar bergoyang-goyang mau hancur layaknya gempa mengguncang. Baruku sadari kalau dinding ini ditembaki oleh sniper tersebut. Aku dengan paniknya melarikan diri ke ruangan lain. Sesempatnya aku menoleh ke belakang dan melihat sniper tersebut keluar dari ruangan tersebut. Badannya menjulang ke langit, sekiranya 2.15 meter tingginya. Rambutnya hitam dan hidungnya sedikit mancung. Sniper tersebut seperti orang Dakian yang berkulit putih dan berbola mata jingga. Tangan kanannya seperti tangan robot dan sebuah gatling gun yang besar terpasang di tangan mekanik tersebut. Berasap sedikit senapan mesin tersebut. Cyborg seperti orang tersebut. Baru pertama kalinya aku melihat Cyborg selain dari film. Negara manakah yang berhasil membuat Cyborg tersebut? Lupakanlah masalah Cyborg, Eka. Selamatkan dirimu karena ia menatap tajamku dan sepertinya ia ingin menghabisiku!


    Auranya gelap, mirip pernyataan orang-orang yang ingin menyerangku. Pantas saja ia tak takut menyerangku, gelap lawan gelap. Kalau saja kacamata ini bisa mengeluarkan senjata, pastinya keren selain menjadi alat pelindungku dari serangan para berandalan.


    Aku berguling ala roll up saat memasuki suatu ruangan ketika ratusan peluru dilontarkan gatling gun tersebut. Bingung aku bagaimana bisa orang tersebut mengendalikan tangan robotnya? Apakah ini mimpi? Kuharap iya. Kalau ini mimpi tolong jadikan mimpi ini sebuah mimpi indah! Aku tak mau mati di tempat ini!


    Aku melihat di ruangan ini ada sebuah jendela besar yang belum dipasang kacanya, hanya ada rangkanya saja terpasang dan membuatku bisa melihat pemandangan Majoran. Mungkin aku bisa melompat ke jendela tersebut yang akan berimbas kepada matinya Eka Jaya. Tentu aku tak akan melompat karena melompat adalah opsi orang yang sudah hilang akal.


    “Tunggus!!” teriaknya beraksen Dakian yang berakhiran –s setiap kali berkata. Seram sekali suaranya, lebih seram dari sergahan personil Bhayangkara menghentikan pengemudi ugal-ugalan.


    “Namakus Aftaruss!!” teriaknya lagi memperkenalkan diri. Ah, kenapa sniper tersebut memperkenalkan identitasnya kepadaku? Apakah itu hanya nama palsunya? Bisa jadi. Tak pernah aku mendengar orang Dakian punya nama tanpa nama keluarganya di belakang nama dan nama daerah di tengah.


    Aku menoleh kesana-kemari, mencari senjata atau tameng untuk menghentikan sniper tersebut. Tapi di ruangan ini tak ada benda apapun. Balok kayu atau seng besi tak ada di tempat ini padahal beberapa ruangan lalu aku melihat ada barang-barang tersebut. Biasanya anak STM membawa senjata tajam di tas mereka untuk persiapan tawuran sepulang sekolah. Mungkin seharusnya aku meneruskan kebiasaan burukku jikalau ada kejadian seperti ini.


    Tak tahu harus apa, aku terpaksa masuk ke sebuah ruangan yang sepertinya akan dipakai sebagai kamar mandi, terlihat dari beberapa lubang seperti lubang selokan kamar mandi. Aku bersembunyi di balik dinding dekat pintu masuk ruangan ini, untuk menyerangnya tiba-tiba tanpa mesti terkena tembakan gilanya. Aku sempat mendengar gemuruh runtuhan dinding dan tembakan gatling gun. Sepertinya Aftarus menghancurkan sebagian besar dinding dekat pintu masuk, menurut pendengaranku.


    Kalau ini film aksi, pastinya aku ini adalah jagoannya, protagonis. Dan Aftarus itu adalah penjahatnya, musuh dan antagonisnya. Jagoan selalu menang di akhir meski ia harus kehilangan apa yang ia punya saat itu, baik orang tercinta maupun anggota badannya. Tapi di sini tak akan berlaku. Aku harus berjuang mati-matian jika ingin melanjutkan hidup.


    Detakan jantungku terasa cepat, lebih cepat dibanding saat aku bersiap menerima hasil ujian nasional. Kedua kakiku gemetaran. Keringat keluar dengan cepat dari pori-pori. Tetasan keringat mengalir dari dahi dan masuk ke mata ini akibat alis tak mampu menahan derasnya peluh ini. Mata kananku kesakitan, tapi aku tak bisa merintih ataupun mengeluh mengingat Aftarus sudah masuk dan bergerak perlahan menuju tempat ini, menurut lirikanku beberapa saat lalu dari pintu.


    Kemungkinan hidupku hanya 30%. Kalaupun masih hidup, pasti baju seragam dan tas ini basah dengan darahku. Seandainya aku bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup, aku akan bernazar untuk mengkhatamkan Al-Qur’an yang belum kelar tahun ini –biasanya aku bisa mengkhatamkan Al-Qur’an setahun dua kali– dan menyatakan perasaan ini kepada Rina secara terang-terangan. Tak enak rasanya jika mati tanpa pernah menyatakan perasaan kepada orang yang disukai.


    “Aih?” spontan aku mendengar suara tembakan, tembakan sebuah pistol.


    Aku menoleh ke luar dan melihat seseorang menembaki badan belakang Aftarus. Aftarus menoleh dan dengan wajah marahnya, ia membalas tembakan tersebut dengan ratusan peluru gatling gun-nya. Ada dua kebingungan aku; bagaimana bisa gatling gun tersebut menyimpan banyaknya peluru dan siapa yang menembak Aftarus?


    Kacamataku memperjelas penglihatanku dan ternyata orang yang menghindari tembakan Aftarus itu dengan berguling-guling ternyata Kidang. Hoi, ini film aksi ya sampai-sampai ada adegan tembak-tembakan?


    Ternyata Kidang tak sendiri menyerang Aftarus. Ada sekitar tiga puluh Bhayangkara bersenjata lengkap menembaki Aftarus. Bhayangkara-Bhayangkara tersebut dikomandoi Senopati Jaka, murid seniornya Kidang. Kidang terlihat memakai rompi anti peluru dan helm tentara. Di sabuknya terpasang pistol-pistol siap pakai. Sepertinya itu pistol-pistol yang sering ia pajang di dinding pos satpam Panzer. Sedangkan Senopati Jaka membawa sebuah senapan laras panjang siap tembak. Ia berserta pasukannya memakai seragam dan helm pasukan SWAT. Banyak pasukannya menembaki target dengan AK-47 sedangkan yang lain menggunakan senapan serbu. Tampak jenggot dari Jaka lebat dan menyatu dengan kumis panjang melalui cambang yang sepertinya belum ia potong-potong semenjak terakhir aku bertemunya, November tahun lalu ketika acara ulang tahun Kidang. Umurnya masih 26 tahun tapi jenggotnya mirip bapak-bapak usia 40 tahun, aneh memang muridnya Kidang ini. Rela memakai minyak penumbuh jenggot untuk punya jenggot selebat itu!


    Walaupun ditembak semua bagian tubuhnya, Aftarus tak terlihat menunjukan rasa sakit. Malah sebaliknya, ia tersenyum jahat dan menembaki membabi-buta semua yang menembakinya. Tempat di mana peluru bersarang di tubuhnya tak mengeluarkan darah, hanya berbekas saja. Apakah ini kekuatan seorang manusia setengah robot yang dulunya hanya eksis di khayalan manusia saja?


    “Tembak terus!!!” perintah Jaka sambil menembaki muka Aftarus dari balik reruntuhan tembok dekat pintu masuk.


    Beberapa prajurit Bhayangkara tersungkur di tanah. Bersimbah darah pada rompi mereka. Terlihat muka-muka korban tembakan basah akan darah. Mereka tak bergerak lagi, pertanda ajal sudah menjemput setelah ratusan peluru bersarang di sekujur tubuh mereka. Adegan ini lebih mengerikan dibanding film-film perang barat yang mengandalkan CGI kelas tinggi.


    “Bazoka!!” jerit Kidang menoleh ke Jaka. Kidang berlari dengan gesit menembaki Aftarus, memutari Cyborg Dakian tersebut.


    Jaka menangguk. Ia memberi aba-aba kepada bawahannya untuk menggunakan bazoka untuk menghancurkan Cyborg tersebut. Dari mana mereka mendapatkan bazoka? Apakah mereka membawa senjata penghancur tank tersebut semenjak datang ke apartemen ini membawa bazoka? Kalau iya pastinya mereka sudah tahu ada Cyborg di sini dan yang menjadi pertanyaan dari pertanyaan; dari mana mereka tahu? Apakah mereka sudah menterjemahkan kode seperti aku? Akan aku tanyakan kalau Aftarus berhasil dikalahkan, seandainya.


    Misil bazoka diluncurkan. Misil tersebut mengarah ke muka Aftarus. Aftarus menyadari kedatangan misil dan dengan cekatannya ia mengarahkan gatling gun-nya lalu menembaki misil tersebut. Aftarus berhasil menghancurkan misil tersebut tapi harus dibayar dengan habisnya peluru gatling-nya. Aftarus mencabut gatling gunnya, membuangnya layaknya barang tak terpakai, dan mengambil sebuah tangan mekanik dari tas punggungnya. Tangan tersebut bukan seperti tangan, lebih mirip sebilah pedang tajam kataku. Ukurannya mencapai semeter menurutku. Makin keujung makin runcing dan lancip. Batang kayu jati sepertinya yang hanya bisa dipotong dengan gergaji mesin bisa dibelah hanya dengan sekali tebas oleh tangan pedang tersebut.


    “Matilahh kalianh!” ujarnya tersenyum kejam lalu berlari menuju orang-orang yang menembakinya.


    Dalam waktu semenit, satu per satu Bhayangkara tersungkur di lantai, dengan badan terbelah menjadi dua gara-gara hempaskan tangan pedang Aftarus. Terlihat organ-organnya tubuh dari luka potong tersebut, berbeda jauh dari ilustrasi yang ada di buku biologi SMP milikku. Baru pertama kali aku melihat ada senjata seperti itu di realita. Akankah Senopati dan Kidang bisa mengalahkannya?


    Makin banyak korban berjatuhan. Kidang, Senopati, dan lima belas Bhayangkara tersisa kehabisan peluru, terlihat dari senpi mereka yang tak mengeluarkan peluru lagi dan umpatan mereka ketika mencoba mengambil peluru cadangan dari kantong baju. Beberapa Bhayangkara ketakutan dan melarikan diri. Sepertinya moral mereka anjlok melihat puluhan temannya dibabat habis oleh Cyborg gila. Senopati memerintahkan pasukannya untuk tetap tenang dan meminta pasukannya untuk menembaki Aftarus dengan Bazoka. Sementara di sisi lain, Kidang membuang semua pistolnya dan mengeluarkan parang serta keris dari sabuknya.


    “Lawanmu adalah aku!!” teriak Kidang seraya berlari menuju Aftarus. Lumayan gesit larinya Kidang padahal umurnya sudah 55-60 tahun.


    Aftarus menoleh ke belakang dan meninggalkan targetnya, seorang personil Bhayangkara yang ketakutan dan mencoba melarikan diri dari ruangan. Kidang dan Cyborg tersebut terlibat pertempuran satu lawan satu. Cukup sengit jalannya laga tersebut. Aftarus mengibaskan tangan pedangnya dengan kencang bisa ditepis keras oleh parang dan keris veteran tersebut. Agak terdorong Kidang saat mencoba menahan serangan tersebut. Kanuragan dan ilmu silat si Kidang masih cukup tangguh, akankah ilmu bela dirinya bisa mengalahkan Aftarus?


    Senopati ikut membantu Kidang bertarung dengan Aftarus dengan memakai goloknya. Baru pertama kalinya aku melihat seorang perwira Bhayangkara membawa senjata tajam seperti keris.


    Senopati dan Kidang mengeluarkan habis-habisan ilmu silat mereka. Tebasan, hempasan, tikaman, dan tusukan berulang kali diperagakan senjata-senjata mereka. Di saat Kidang menahan serangan musuh, Senopati mengonter dan sebaliknya.


    Dua menit berlalu, tapi mereka sepertinya sudah letih, terlihat dari banyaknya keringat yang menjalar di muka dan badan mereka. Terlihat luka sabetan di badan dan muka mereka dalam jumlah tak sedikit, sementara lawan tak sedikit pun terluka, paling hanya ada bekas-bekas baretan di kulit-kulit berlapis baja sasaran Kidang dan Senopati. Benar-benar pertarungan tak berimbang. Kalau saja musuh mereka manusia normal, sudah pasti mereka keluar menjadi pemenang.


    “Siapah kalianh?” tanya Aftarus selagi melancarkan serangannya.


    Kidang dan Senopati tak menjawab. Mereka lebih memilih fokus menangkis serangan lawannya dan mengonter kalau punya kesempatan. Biasanya di film-film hero dan penjahat saling berbicara saat bertarung, tapi kali ini para hero memilih bungkam. Anti mainstream, kataku.


    “Baiklahh. Otakh! Carih informasih merekah berduah!!” perintah Aftarus galak.


    “Maaf. Pulsa anda tak mencukupi untuk browsing. Silahkan isi pulsa di toko-toko pulsa terdekat!”


    Suara tersebut terdengar dari kepala Aftarus, seperti suara-suara operator pulsa ponsel. Ehm, sepertinya otaknya mirip kacamataku, bisa terkoneksi dengan internet, tapi kacamataku hanya bisa terkoneksi hanya dengan WIFI, tak bisa dengan pulsa ponsel. Aku bingung, bagaimana otak Cyborg yang dulunya otak manusia bisa terhubung dengan internet?


    Aku melirik ke reruntuhan dinding. Di sana ada beberapa prajurit Bhayangkara tersisa –yang tidak melarikan diri– menyiapkan bazoka. Sepertinya tujuan Kidang dan Senopati sudah terbaca; mengulur waktu untuk menyiapkan tembakan bazoka. Menurutku Cyborg gila tersebut tak akan tahan dengan tembakan bazoka, rudal, dan artileri yang daya ledaknya lebih hebat ketimbang peluru senpi.


    “Tembak!!” teriak personil Bhayangkara yang memegang bazoka dan misil dengan kecepatan tinggi keluar dari bazoka tersebut.


    Dengan kecepatan tinggi, misil tersebut mengarah ke pundak kanan Aftarus. Misil bazoka meledak tepat di sasaran dan hancur sudah pundak Aftarus. Terlihat darah bercampur baut-baut dan kabel berjatuhan di lantai disertai putusnya tangan mekanik. Tubuhnya menyisakan tangan kirinya yang masih merupakan tangan dari manusia. Pundak kirinya bekas meledaknya misil mengucurkan banyak darah. Terlihat tulang bahu kanan dari Aftarus, putih tapi berlumuran darah. Serangan Aftarus resmi dihentikan. Kidang berserta Senopati terdiam melihat musuhnya terluka parah. Kalau semisalnya yang ditembakkan ke manusia biasa, sudah dipastikan orang tersebut langsung tersungkur dan mati mengenaskan.


    “K-Kalianh M-menangh!” ujar Aftarus merintih kesakitan. “B-Beruntung tangan kiriku masih ada. Masih bisa buat cebok dan makan nasi goreng Panzer.”


    Nasi goreng Panzer? Oh, pasti dia pelanggan setia nasi goreng Kosim. Harus bangga atau tidak ya si Kosim dan Rina mendengar ada Cyborg teroris makan di tempat mereka?


    Aftarus berjalan terpincang-pincang menuju bingkai jendela berada, mau kabur sepertinya dia. “Hentikan langkahmu, Cyborg!!” teriak Senopati dengan posisi siap menyerang, begitu juga dengan Kidang dan para personil Bhayangkara. “Menyerahlah sekarang atau kami akan hancurkan kau!”


    Aftarus tertawa disertai rintihan. Ia tak mempedulikan ancaman Jaka. Jaka memberikan kode untuk menyiapkan tembakan bazoka lagi. Bazoka tersebut diisi lagi dengan misil dan bersiap dilancarkan ke target yang sedang berjalan menuju jendela. Apakah Aftarus ingin meloncat dari jendela atau ia mau terbang? Ah, mana mungkin Aftarus terbang. Baik Cyborg ataupun manusia perlu kendaraan kalau mau terbang karena saat ini belum ditemukan alat terbang bebas di udara. Kalau ada mungkin mobil tak akan laku lagi.


    “TEMBAK!!” pekik Senopati seraya menunjuk Aftarus dengan goloknya.


    Misil bazoka langsung diluncurkan. Sangat cepat misil tersebut dan sepertinya mengarah ke kepala Aftarus. Aftarus melirik sedikit ke belakang, tak tahu aku maksudnya apa mengingat tak jelas pandangan matanya dari tempat aku berada. Cyborg tersebut sudah berada di bingkai jendela dan menjatuhkan diri sebelum misil mencapai target. Misil tersebut meledak setelah melewati jendela tersebut.


    Kidang dan Senopati langsung berlari ke jendela, mencoba melihat apakah Cyborg tersebut mendarat dengan sukses atau terkapar di tanah layaknya orang bunuh diri. Aku ikutan mereka. Dari jendela tempat aku berada, tak terlihat Aftarus terkapar malah ia terlihat berhasil mendarat dengan mulus layaknya kucing. “Tidak mungkin,” mengeleng tak percaya Kidang melihat Aftarus masih bisa hidup setelah terjun dari ketinggian lantai 20.


    Aftarus terlihat berlari terpincang-pincang secepat mungkin untuk menghindari kejaran personil-personil Bhayangkara yang ada di bawah. Terlihat beberapa mobil kepolisian di bawah, sepertinya Jaka sudah memerintah sebagian bawahannya untuk opsi seperti ini. Pada akhirnya, Cyborg tersebut berhasil kabur dan Bhayangkara gagal menangkapnya. Kejadian ini mirip di film-film saja. Seharusnya aku rekam dengan kacamataku dari awal Aftarus mengejarku sampai Aftarus melarikan diri. Pasti aku akan dapat piala citra atau oscar karena film dokumenter aksi ini.


    “Cih, gagal aku,” mendesah kesal Jaka melihat Aftarus kabur. Mungkin jika Jaka berhasil menangkap Aftarus, pangkatnya bakal naik.


    Aku melihat Kidang bersandar di pojok dinding, kelelahan sepertinya. Ia melepaskan rompinya yang penuh dengan luka, baik goresan maupun tembakan. Nafasnya terlihat terengah-engah. Semoga ia tak mati karena kesusahan bernafas. Parang dan kerisnya ia masukan kembali ke sarung sabuknya.

    Di dekat reruntuhan dinding pintu, aku melihat beberapa Bhayangkara tersisa yang berjumlah lima orang menghampiri mayat-mayat teman mereka, baik yang terbelah badannya maupun mati karena tembakan gatling gun. Ada yang langsung mengadahkan tangannya ke atas, mendoakan kawan mereka. Selain itu, ada beberapa personil Bhayangkara yang membuat tanda salib di dada. Sekitar sembilan belas orang tewas terbunuh Aftarus. sepuluh mati karena tembakan sedangkan sisanya tewas sangat mengenaskan lantaran hempasan tangan pedang Cyborg.


    Jaka duduk sila di samping Kidang, ikut beristirahat. Mukanya banjir akan keringat, rompinya banyak goresannya, dan beberapa bagian badannya terlihat mengucurkan darah karena kena tangan pedang Aftarus. Goloknya ia masukkan ke sarung senjatanya. Ia mengeluarkan secarik sapu tangan dari kantong celananya dan membersihkan mukanya juga mukanya. Sepertinya perlu beberapa hari untuk menyembuhkan luka-luka Senopati Jaka dan Kidang.


    Kidang melirik aku. Ia berseru kepadaku, “Kemari kau, Eka!”


    Aku menghampiri Kidang dan langsung ditonjok pipi kiriku seketika ia berdiri. “Kenapa kau bolos sekolah!!” marahnya melihat aku terjatuh dan tersungkur di lantai tak berubin ini. “Kepsek dan Bapakmu memerintahkan aku untuk menonjokmu jika aku bertemu dengan kau!”


    “Aku bilang ke pihak sekolah kalau aku sakit sariawan!!” mengelak aku. Baru aku tahu kalau Bapakku tahu kalau aku tidak pergi sekolah padahal ketika berangkat bilangnya pergi ke sekolah. Mungkin ia kesal denganku dan berkomplotan dengan sahabat baik dan lamanya untuk memberikan aku pelajaran.


    “Orang sakit sariawan tidak parah sakitnya!!”


    Oke, kau menang Kidang. Sakit juga tonjokanmu. Pakai Kanuragan ya? Kalau iya berarti orang-orang yang punya kanarungan tak ketakutan melihat aura menakutkan kacamata ini.


    Kidang dan Jaka menjelaskan mereka datang ke tempat ini setelah ada informasi keberadaan Aftarus, Cyborg pertama di dunia buatan Dakian tahun 897 dan merupakan buronan Interpol semenjak Cyborg tersebut membunuh perdana menteri Dakian. Dulunya Aftarus adalah seorang perwira yang mati suri dan militer Dakian mengubahnya menjadi Cyborg. Pengubahan tersebut berjalanan dengan sukses dan ia digunakan sebagai senjata rahasia militer Dakian tapi ada drawback dari penciptaan Cyborg; kejiwaannya tak stabil dan berani bertindak sesuka hatinya. Aftarus menghilang sejak membunuh perdana menteri Dakian. Ia dikabarkan terlibat beberapa kasus seperti pembunuhan dan pembantaian militer di berbagai negara.


    Kidang ikut operasi Jaka karena merasa Mahagurunya, sebutan untuk Kidang, bisa membantu operasi polisinya. Mereka penasaran dari mana aku bisa ada di apartemen ini. Aku menjelaskan kepada mereka dari kode-kode angka di buku permainan dunia dan hipotesis rencana pembunuhan petinggi Yabar. Hipotesisku terbukti benar mengingat Aftarus dari bersiap dalam posisi sniper.


    “Eka, jangan coba memecah kode angka-angka buku Permainan Dunia. Biarlah Bhayangkara Yabar yang menanganinya,” kata Jaka memperingatkan. “Kami sudah memecahkan beberapa angka di paragraf pertama. Itulah kenapa kami bisa sampai ke apartemen ini, apartemen yang berpeluang menjadi tempat penembak runduk dicurigai Aftarus berdiam.” Wah, ternyata bukan aku saja yang berhasil memecahkan angka sampai kolom tujuh belas. Aku curiga telik sandi Yabar sudah berhasil memecahkan empat angka terakhir paragraf pertama.



    “Benar itu, Eka. Kalau kau berani melakukannya, bisa saja kau berada di kondisi seperti ini dan terancam mati jika kami tak datang ke tempat ini,” Kidang setuju apa yang dikatakan muridnya.


    Aku menangguk-angguk mendengar nasehat mereka. Memang benar, jika aku tidak melanjutkan menjadi detektif angka Permainan Dunia, mungkin hidupku bakal tenang saja layaknya remaja biasanya. Tapi jika aku bersikeras melanjutkan, kehidupanku akan berubah dan mungkin aku akan menghadapi kejadian-kejadian yang bisa merengut nyawaku, seperti halnya tadi. Atau mungkin orang-orang disekitarku seperti Guntur dan Eko akan kehilangan jiwanya karena ulahku.


    “Baiklah. Akan aku hentikan pemecahan angka-angka di Permainan Dunia,” ujarku setelah menimbang-nimbang konsenkuensinya.


    Kidang dan Senopati berjenggot lebat tersebut langsung menepuk kedua pundakku; Kidang kiri sedangkan Senopati kanan. Mereka tersenyum dan berkata,” Terima kasih.”


    Aku bersama Kidang, Senopati dan pasukannya pergi meninggalkan tempat. Lift apartemen ini dipaksa dinyalakan oleh pasukan Jaka, guna memperlancar proses mengangkutan kantong-kantong yang berisi jenazah rekan-rekan mereka. Aku sempat menciup bau dari kantong jenazah yang digotong pasukannya Jaka, baunya menyengat dan busuk.


    Aku mendengar dari Senopati bahwasanya para petinggi Yabar, baik Bhre maupun Ketua Parlemen tak terluka ataupun tewas, mereka baik-baik saja. Hari ini peristiwa besar atau insiden yang sepertinya terencana gagal total menurutku. Kemungkinan ada pihak yang bermain di peristiwa-peristiwa besar di Yabar seperti insiden Jorong I dan II. Ah, mungkin saja pikiranku ini salah, terlalu banyak termakan teori konspirasi. Tapi bisa saja kecurigaanku benar. Ada beberapa hal yang menguatkan kecurigaanku; kesalahpahaman Bhayangkara kemungkinan direncanakan oleh suatu pihak untuk merusak citra Bhayangkara, entah pihak internal ataupun eksternal.


    Aftarus bergerak sendiri sepertinya, itulah yang diutarakan Senopati setelah mendapati informasi tak ditemukan rekan yang dicurigai sebagai spotter. Motif dan rencana Aftarus masih abu-abu. Apakah Aftarus bergerak atas komando seseorang atau komando atau atas inisiatifnya, Senopati dan Kidang tak tahu.


    ***

    “Sampai juga di rumah,” gumamku melihat rumahku terlihat dari atas punggung Fursan.


    Aku menggaruk-garuk kepala dan menemukan sesuatu. “Apa ini?” bingung aku melihat jarum yang aku dapati di belakang leherku. Jarum ini mirip tusuk gigi ukurannya, tak terlalu tajam tapi tak terlalu pendek. Sepertinya benda ini sudah menancap di area tulang belakangku semenjak aku meninggalkan apartemen dan tak aku rasakan keberadaannya sampai sekarang. Siapakah orang iseng yang berani menancapkan benda ini entah memakai tangannya atau ditembakan pakai sumpit?


    “Biarlah,” gumamku lalu membuang jarum ini ke jalanan. “Yang penting aku tak keracunan terkena benda tersebut.”
     
  4. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Nazar

    Beberapa minggu lalu, aku bernazar kalau seandainya selamat dari Aftarus, aku akan mengkhatamkan Al-Qur’an dan nazar tersebut sudah berhasil aku tuntaskan kemarin sore. Masih ada satu lagi nazar dan sepertinya ini adalah nazar terberatku, menyatakan perasaanku kepada Rina. Aku punya kesempatan lima bulan lagi untuk menyatakan perasaan ini karena menurut informasi yang kudapatkan dari Dina, Rina sudah mendapatkan tawaran bekerja di Levtxsan-zand dan ia bakal meninggalkan negeri ini bersamaan dengan pengumuman lulus sekolahnya. Mungkin aku bisa menyatakan perasaan suka ini kepadanya lewat surat atau pesan singkat posnel, tapi mengingat aku bernazar untuk menyatakan secara terang-terangan, di depan hadapannya, pasti susah untuk dikerjakan oleh aku yang selalu takut berurusan masalah percintaan.


    Nazar menurut agama wajib dilaksanakan. Hanya saja jika nazarnya jelek seperti ingin mabuk-mabukan jikalau lulus ujian itu dilarang dilaksanakan, berdosa jika dilakukan. Nazarku mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan nazar yang bagus. Bagaimana dengan nazar menyatakan perasaan? Kalau menurutku tak apa karena hanya ingin melontarkan isi hati.


    ***

    Hari ini adalah aku bersama semua anak Panzer berwisata ke Nusatoro. Jika ada anak sekolah lain bingung kenapa anak kelas tiga wisata, pasti kami akan menjawab, “selama enam tahun terakhir, STM Panzer tak pernah mengadakan karyawisata.”


    Wisata kali ini tentu istimewa bagi kami karena selain membayarnya hanya perlu Er240 –cukup murah untuk ukuran wisata jarak jauh, kami akan pergi dengan kereta listrik yang bisa membawa kami ke Nusatoro hanya dalam waktu 8 jam, tiga kali lebih cepat ketimbang naik bus mengingat jarak Nusatoropura dengan Yabar berkisar 760 kilometer. Selain masalah biaya, kami akan menginap di Nusatoropura selama tiga hari dua malam di hotel kelas tiga, jalan-jalan menyelusuri keindahan Nusatoropura seperti gunung dan hutan yang asri nan eksotis. Tak ada yang namanya menulis jawaban dari soal yang diberikan sekolah mengingat ini karyawisata, bukan study tour yang artinya beda tapi selalu disamakan oleh masyarakat.


    Di stasiun tempat aku berada sekarang, stasiun Yabar. Stasiun Yabar terletak di daerah Mandong, suatu daerah di timur Tabet. Stastiun ini merupakan stasiun terbesar di pulau Yawana bahkan seantero negeri. Stasiun ini sekarang standar internasional, berbeda dengan terakhir kali aku datang ke tempat ini sekitar enam tahun lalu yang masih jelek dan tak layak disebut stasiun standar nasional. Stasiun Yabar terlihat lengkap infrakstukturnya seperti adanya fasilitas orang cacat, restoran tradisional dan kafe, toko serba ada, dan toiletnya yang bersih, lengkap dengan WC duduk.


    Di negeri ini, kereta merupakan transportasi yang digemari selain mobil dan bus. Banyak orang yang rela berdesak-desakan untuk pulang kampung dengan kereta api saat musim liburan dan lebaran tiba. Kualitas kereta di negeri ini bisa dibilang cukup lumayan. Hanya saja transporatasi lokomotif ini hanya ada di tiga wilayah saja: dua pulau diantaranya Yawana dan satu daerah di semenanjung padahal di Konfederasi ada enam wilayah besar.


    Jam 9 tepat merupakan jam pemberangkatan kami. Aku sudah membawa barang-barang yang akan aku perlukan dalam wisata ini di dalam koper kecil ini. Dari jam 8 pagi, aku bersama Guntur dan Eko sudah ada di stasiun ini. Ketika kami datang, orang-orang yang mengenakan seragam Panzer seperti kami jumlahnya masih bisa dihitung dengan jemari. Tapi jumlah anak Panzer lama-kelamaan meningkat seiring waktu berjalan. Sampai jam 8.45, lengkap sudah jumlah anak Panzer dari kelas 10 sampai yang hampir memenuhi peron 8 ini. Aku, Guntur, dan Eko duduk bersama di bangku besi ini sambil mengunggu kereta datang. Sambil mengisi waktu pemberangkatan, kami memakan kripik kentang yang dibeli Eko dari pedagang asongan. Semoga tak sakit perut aku memakan jajanan ini. Pernah di kelas 6 SD, aku bersama Bapakku naik kereta dari sini ke Brianganpura dan di tengah perjalanan, aku buang air besar terus gara-gara kebanyakan makan batagor di peron. “Makanya jangan jajan sembarangan,” Bapakku memberi nasehat yang terkadang kulanggar sekarang.


    Kami bertiga diantara oleh Bapakku dengan mobilnya ke stasiun. Ia berjumpa dengan sahabat lamanya, Kepsek sesaat kami masuk ke peron ini. Dalam waktu tiga menit, mereka berbincang-bincang dengan akrabnya. Tak diketahui apa yang mereka bicarakan mengingat tempat mereka mengobrol cukup jauh dari tempat aku duduk sekarang, tapi masih bisa kelihatan raut muka saat bercakap-cakap, santai disertai tertawa. Mereka seperti Rina dan Dina saja yang punya kepribadian berbeda; Kepsek lebih pesimis dalam menjalani kehidupan daripada Bapakku yang optimis setinggi langit.


    Kepsek Panji kenal Bapakku semenjak mereka satu kelas sewaktu kelas 8 bersama mantan Kepsek Panzer Rendi Cempaka. Mereka bertiga mulai berteman dekat, selalu berpergian bersama, dan sekelas terus sampai kelulusan SMA. Bapakku pernah memberi tahuku apa pandangan hidup Panji, “Jangan terlalu tinggi bermimpi karena mimpi bisa saja mengkhinatimu ketika realita berpandangan lain denganmu.” Pandangan tersebut masih berlaku sampai sekarang, menurut pengamatanku. Melihat siapa yang lebih sukses sekarang pastinya Bapakku ketimbang Panji yang pekerjaannya hanya dua; menjadi Kepsek di STM Panzer Yabar dan direktur perusahaan mebel ternama di Yabar. Mereka sama-sama kaya tapi berbicara siapa yang lebih kaya, tentunya Okto Wirdhana.


    Terlihat segerombolan guru Panzer berbaju bebas berjalan melewati tempat dudukku. Sepertinya mereka ingin membeli sesuatu sebagai bekal di perjalanan. Aku menoleh ke kanan dan melihat Kosim mengobrol akrab dengan kawanannya di dekat kios makanan ringan. Mereka berdiri mengingat bangku-bangku di sekitar mereka sudah dipenuhi anak-anak Panzer kelas 12-1.


    Aku menoleh ke kiri dan berdetak kencang jantungku melihat ada Rina memegang erat gagang koper tariknya yang bisa kukatakan ukurannya sama seperti koper Guntur, agak besar. Terlihat gadis berambut panjang tersebut memakai baju berlengan panjang, berwarna putih sedikit keabu-abuan dengan motif kupu-kupu hijau, memakai rok hitam panjang dan kaus kaki putih panjang, dan sepatu hitam ikat layaknya gerombolan Panzer. Manisnya.


    Para pria yang masih perjaka maupun beristri pasti akan bersiul melihatnya, termasuk murid-murid Panzer yang belum mengenalnya. “Cakep tuh cewek,” ungkap mereka melewati Rina. Tapi Rina tak menghiraukan godaan tersebut. Mukanya datar dan pandangannya terlihat dingin. Sepertinya ia sedang menunggu kereta datang, terlihat dari pandangan matanya melihat rel kereta. Ke mana ia mau pergi?


    “Kesempatanku,” pikir aku sedikit tersenyum.


    Tapi mana berani aku untuk bergerak sekarang. Terlalu banyak saksi mata di sini, baik orang Panzer maupun orang biasa. Bisa-bisa kalau aku bergerak sekarang, pasti semuanya akan terkejut bercampur senang. Pastinya mereka berkata, “Ahai, mantan Ketua dapat pacar!!” Dan menggodaku terus di kereta. Selain itu, isu Eka Jaya, menembak cewek pasti akan menyebar luas ke seantero Yabar. Bisa saja ada media di peron ini dan meliput apa yang aku lakukan lalu menaruh berita ini di kolom halaman terakhir “Seorang Anak STM Panzer Menembak Gadis Impiannya Di Tengah Keramaian Peron 8 Yabar.” Malu berat pasti aku dan Rina.


    Tunggu kalau sepi. Kalau bisa hanya aku dan Rina saja biar tidak ada kejadian-kejadian yang tak diinginkan.


    ***

    Kereta ekspres ini bergerak dengan cepat, melintasi persawahan dan perbukitan bahkan jurang-jurang dengan jembatan tentunya. Kereta ini sudah meninggalkan Yabar semenjak 15 menit lalu dan sekarang kami berada di daerah Briangan, tanah para Raja penakluk harimau Yawana yang terkenal buas dan tehnya yang enak.


    Kereta ini merupakan kereta kelas eksekutif, kereta terbagus dibanding kelas ekonomi karena selain semua penumpang mendapatkan tempat duduk, kereta bertenaga listrik ini dilengkapi toilet di setiap gerbongnya. Jadi tak ada ceritanya anak STM Panzer berantem hanya karena tak sabar menunggu giliran.


    Semua kelas kereta di negeri ini sudah ber-AC semua, berbeda dengan dua tahun lalu yang ber-AC hanya kelas Raja dan eksekutif saja. Harga tiket kereta kelas eksekutif jurusan Yabar-Nusatoropura Er40, lebih mahal dua kali dibanding kelas ekonomi. Kereta eksekutif dilengkapi dengan internet yang bisa kubilang cukup cepat dan kugunakan fasilitas WIFI ini untuk nonton televisi via kacamata.


    Tempat duduk di kereta ini semuanya ada tiga kursi, yang empuk dan enak buat tidur. Aku duduk di tengah. Di sebelah kiriku ada Kosim yang dari tadi diam dan memandangi jendela untuk melihat pemandangan. Di sebelah kananku ada Guntur yang sekarang sedang makan roti. Di depan tempat dudukku terdapat tempat duduk lagi dan semuanya sudah terisi. Terlihat ada Kidang duduk di tengah dan di sebelah kirinya ada Senopati Jaka. Kidang terlihat memakai baju batik hijau dan celana panjang hitam. Ia ikut karena ingin melihat kampung halamannya bersama rombongan Panzer dan meninggalkan satpam baru seorang diri di STM Panzer. Sementara itu, Senopati Jaka sedang mengambil cuti dan pergi liburan ke Nusatoropura dengan menaiki kereta ini. Jaka mengenakan baju yang sama persis dengan Kidang, hanya saja celananya panjangnya jeans. Terlihat orang berjenggot lebat tersebut tertidur lelap semenjak kereta meninggalkan Yabar. Aku mencoba membayangkan bagaimana pria berkulit cokelat tersebut tanpa jenggot dan kumis lebatnya, pasti dia tak akan dikira Senopati Jaka oleh anak buahnya.


    Terlihat beberapa perban di beberapa bagian di muka dan tangan Kidang dan Senopati. Sepertinya luka pertempuran dengan Aftarus masih berbekas kepada mereka berdua, baik fisik maupun batin. Mereka tidak menanyakan apakah aku masih menjadi dektektif angka Permainan Dunia, pertanda mereka percaya sepenuhnya denganku.


    Jaka mengiler dan air liurnya membasahi jenggotnya. Benar-benar pemandangan menjijikan. Kidang yang ada di sebelahnya memang terganggu, tapi ia membiarkan ilur tersebut mengalir sampai membasahi kursi Jaka. Satpam yang akan keluar dari Panzer di bulan Desember tersebut sedang membaca koran dengan khusyunya. Ehm, topik yang tertera di kover koran tersebut cukup menarik, Mahapatih dan demokrasi. Ada isu yang beredar mengatakan para petinggi Nusatoro ingin mengadakan Pemilu untuk mengganti Mahapatih Modo yang bisa dikatakan usianya tak jauh dari Kidang. Kalau seandainya benar pastinya akan menarik karena negeri ini akan seperti monarki parlementer di negera-negara barat yang dipimpin perdana menteri dengan masa jabatan 4-5 tahun satu sesi. Mungkin aku akan mencoba jadi calon mahapatih kalau sudah kuat posisi di dunia perpolitikan negeri ini. Bermimpilah setinggi langit, karena semakin tinggi target, Tuhan akan mengetahui siapa yang benar-benar berusaha keras.


    Di sebelah kanan Kidang ada seseorang yang dari tadi mengganggu perhatianku, Rina. Semenjak aku, Kosim, dan Guntur mengambil tempat duduk ini sebagai tempat kami, ia sudah ada di situ, membaca suatu majalah sastra dengan saksama sampai sekarang. Kami sempat mengobrol dengannya kala Kidang dan Jaka belum ada, tapi hanya sebentar. Akhirnya aku tahu maksud tujuan dari Rina pergi ke Nusatoropura; ia diundang secara khusus dalam acara masak. Ia memenuhi undangan tersebut dan mengambil izin selama 4 hari.


    Senopati dan Kidang menempati tempat duduk dekat Rina hanya karena semua kursi di gerbong ini sudah penuh oleh anak-anak Panzer dan guru-guru. Sewaktu kedua orang tersebut duduk setelah mendapatkan izin dari Rina, Rina menghentikan obrolan dan kembali membaca majalahnya.


    “Kesempatan kedua datang,” kataku dalam hati. “Ingat Eka, kesempatan seperti ini mungkin saja tak akan datang lagi.”


    Aku teringat cerita klinetku. Ia bercerita bahwasanya ketika ia ingin menyatakan perasaannya kepada orang yang ia sukai, semuanya pasti meninggal sebelum hari H ia mau menyatakan isi hatinya. Sudah tiga kali kejadian seperti itu dan ia kapok berurusan dengan masalah cinta. Entah klient siswa SMA 20 sepantara denganku ini sedang dikutuk atau tidak.


    Kalau aku menyatakan perasaan ini sekarang, konsenkuensinya mungkin lebih rendah ketimbang menyatakan di peron. Kebanyakan orang di gerbong ini fokus dengan urusan masing-masing; bermain kartu, makan, tidur, dan mengobrol. Tapi tetap saja aku malu menyatakannya di depan hadapan Kosim, Guntur, dan Kidang. Aduh, susah amat menyatakan perasaan ini. Nyatakan perasaan lalu sudah! Tak perlu sampai ke tingkatan selanjutnya kalau tidak mau. Tapi egoku sepertinya masih sangat kuat, menyegahku untuk melaksanakan rencana ini.


    “Eka!!”


    Aku merasa seseorang memanggilku. Suaranya seperti suara lirih Kidang.


    “Kidang, kau memanggilku?”


    “Tidak,” jawab singkatnya. Ia fokus membaca dan tak melirik sedikit pun kepadaku.


    Aneh sekali. Jelas-jelas aku mendengar suaranya. Apa aku sedang mabuk perjalanan? Tidak, tidak. Tak ada namanya orang mabuk daratan atau laut kayak habis minum khmar, paling hanya muntah-muntah saja.


    “Guntur, apakah kau mendengar tadi seruan Kidang?” tanya aku memastikan.


    Asistenku menggeleng. “Tidak, Bos. Yang saya dengar orang muntah saja,” ujarnya menunjuk Shaka, teman sekelasnya Kosim, berjalan di lorong gerbong sambil memuntahkan isi perutnya ke dalam kantong plastik ditemani Mahesa. Sepertinya Mahesa membawa Shaka ke toilet. Aduh, aku mulai mual melihat kejadian tersebut. Semoga berujung ke tahap muntah, amin.


    “Bos, kenapa tak ada pedagang asongan?” tanya Guntur penasaran.


    “Guntur, kereta ini beda sama kereta biasa yang kau tumpangi, kelas ekonomi. Di kereta eksekutif ini namanya pedagang asongan atau pengamen dilarang eksistensinya,” jelas aku memberikan pencerah kepada anak buahku yang hanya bisa menangguk-angguk “oh” saja.

    ***

    Sudah dua jam berlalu. Kereta ini terus melaju dengan kecepatan tinggi melintasi daerah perbukitan kebun teh. Kidang, Guntur, dan Rina ikut tertidur seperti Senopati. Aku melihat sekelilingku. Banyak anak Panzer dan guru-guru tidur dengan lelap. Tak terlihat siapa yang masih melek. Sepertinya hanya aku dan Kosim saja di gerbong ini yang masih melek. Kosim masih saja melihati pemandangan alam dari jendela kaca. Tak henti-hentinya ia mengucapkan Subhanallah. Terkadang aku ikut melantunkan kalimat tasbih kalau melihat pemandangan alam yang menakjubkan.


    Sekitar 40 menit lalu, Kidang memintaku untuk memainkan game homofon, sepertinya ia tahu dari anak-anak Panzer soal game homofon dan homograf mengingat dulu pernah aku perkenalkan permainan buatanku kepada publik. Dengan senang hati, aku terima permintaannya dan permainan ini diikuti juga oleh Guntur. Selama permainan berlangsung, Kidang melontarkan kalimat-kalimat yang memuat kata-kata homofon, aku ikut membalas dengan kalimat yang berbeda, sementara Guntur hanya bisa pelongo saja tak mengerti. Setelah 10 menit kami bermain, Kidang dan Guntur mulai mengantuk dan akhir tertidur. Disusul dengan Rina yang sepertinya habis bahan bacaan majalahnya.


    Dari jendela kaca berbentuk kotak, langit terlihat gelap kelabu. Semoga kereta ini tak apa-apa mengingat banyak kasus kecelakaan kereta akibat longsor. “Tenang, Kak. Pemerintah Briangan sudah mengantisipasi hal tersebut dan menyegah terjadinya longsor dengan membuat beberapa dinding penahan di sekitar areal rel kereta,” lontar Kosim dengan santainya mendengar kekhawatiranku.


    Kidang terlihat mengeluarkan iler, tapi tak sebanyak sebelahnya yang sudah kebanjiran akan ilur. Kalau aku melihat mereka bertiga, mereka mirip dengan keluarga; Kidang sebagai kakek, Senopati sebagai bapak, dan Rina sebagai anak. Tapi para ahli hereditas pasti akan mempertanyakan pendapatku karena mereka bertiga tidak ada miripnya sama sekali. Senopati tidur dengan mengorok, tapi tak terlalu kencang. Berbeda dengan Kidang dan Rina yang tidurnya anteng. Rina tidur sedikit memiringkan kepalanya dan bahu kanan Kidang dipakainya sebagai bantalnya sedangkan Kidang menyandarkan kepala pada bantalan kursi. Seperti Kakek dan cucu saja.


    Majalah bekas Rina baca tergeletak di atas pahanya dan kedua tangannya masih memegang majalah tersebut. Seharusnya ia memasukan kembali majalahnya ke dalam kopernya yang ditaruhnya di kolong tempat duduk.


    Rina kalau tidur sangat manis. Baru pertama kalinya aku melihat cewek tidur seperti apa. Biasanya aku melihat Eko dan Guntur tidur seperti apa, menjijikan. Wajah putihnya menunjukkan wajah orang yang polos, tak dingin seperti biasanya. Beberapa helai rambutnya sedikit menutupi kelopak mata kirinya. Kalau jendela kaca dibuka, pastinya rambutnya akan terhembas-hembas dan menambah keanggunannya. Aku berandai jikalau Rina itu anak yang tidak terlalu introver, pasti teman dekatnya tidak hanya Dina, aku, Guntur, dan Kosim. Mungkin dia sudah terkenal di kalangan sebayanya tak hanya di bidang kuliner saja. Ehm, aku penasaran dengan masa lalunya yang sangat ditutupi olehnya dan juga masa depannya.


    Oh ya. Dulu Rina pernah memerah mukanya waktu kejadian nasi goreng unta. Pertanda dia ada rasa denganku? Ah, terlalu naïf aku waktu itu mengatakan ia suka denganku

    .

    “Kakak!!”


    Aku merasa ada yang memanggilku. Kali ini suaranya seperti suara Eko. Pandangan mataku langsung aku alihkan dari Rina menuju tempat duduk Eka yang ada di sebelah tempat dudukku, hanya dipisahkan lorong gerbong. Eko terlihat tertidur lelap. Tak ada tanda-tanda ia siuman dan memanggilku. Untuk memastikan tadi Eko memanggilku atau tidak, aku bertanya kepada Kosim. “Tidak, Kak. Aku tak mendengar Eko berseru,” jawabnya lalu mengalihkan pandangan ke jendela lagi. Terlihat dari jendela hujan sudah turun. Cukup hujannya deras dan gemuruh petir sering terdengar. Kaca mulai berembun. Tak jelas lagi panorama alam. Semoga tak terjadi malapetaka mengingat kereta ini masih melintasi kawasan rawan longsor.


    “Kak Eka, dari tadi kamu mengamati si Rina ya?” tanya pria berpeci tersebut tanpa melirik kepadaku.


    Aku terkejut. Tak pernah kusangka Kosim menyadari aku memandangi Rina padahal tak ada seorang pun tahu ke mana lirikan mataku selama aku mengenakan kacamata ini. Punya indra keenam ya si Kosim?


    “D-Dari mana kamu tahu?” tanya balikku mecoba menenangkan diri.


    “Rina perempuan sendiri di tempat kita. Kemungkinan Kak Eka mengamatinya terbuka luas,” jelas Kosim sedikit melirik kepadaku. “Apakah Kak Eka suka dengannya?”


    Gelegar petir terdengar bersamaan dengan pertanyaan Kosim. Aduh mesti jawab apa? Kalau aku pakai opsi berbohong pasti ketahuan mengingat Kosim melihat gerak-gerik tidak tenangku. Baiklah, sudah saatnya ada orang yang tahu hal ini. Aku menjelaskan kepada Kosim soal aku menyukai Rina yang menyerempet-nyerempet masalah Aftarus dan nazar. Kasus Aftarus cukup heboh di masyarakat. Para petinggi Yabar termasuk Bhre Cakra terkejut dan lega mengetahui orang yang ingin membunuh salah satu dari mereka dapat digagalkan usahanya. Senopati Jaka memang tak mendapatkan promosi tapi ia mendapatkan kehormatan yang cukup tinggi sehingga mungkin saja bulan depan jabatannya naik. Keberadaan aku saat penyerangan Aftarus tak dijelaskan oleh pihak Bhayangkara kepada media massa karena aku meminta untuk dirahasiakan keberadaanku kepada Senopati.


    “Oh, saya mengerti,” ungkap Kosim menangguk setelah mendengar ceritaku.


    “Masih normal berarti Kak Eka,” ujar Kosim tersenyum tipis. “Wajar kalau remaja suka sama lawan jenis.”


    “Kalau nazar itu secepatnya dilakukan, Kak Eka,” sarannya sambil menepuk pundakku. “Semangat ya!”


    “I-iya.”


    ***

    Pada jam 3 sore, rombonganku akhirnya sampai di Nusatoropura. Tanpa ada musibah seperti rel blong atau longsor yang aku khawatirkan. Di peron stasiun Nusatoropura, aku berpisah dengan Senopati Jaka dan Rina. Semoga dia dan aku masih diperpanjang umurnya sampai kita bertemu lagi. Kalau kami bertemu lagi, akan aku penuhi nazar ini. Semoga.


    Sewaktu kami turun dari kereta, Senopati menawarkan Rina untuk mengantarnya dengan selamat. Tapi tawaran ramah Senopati ditolak dengan sopannya oleh Rina dengan menunjuk orang-orang jas hitam layaknya bodyguard yang berdiri di dekat pintu keluar area peron. Sepertinya mereka orang suruhan koki yang mengundang Rina. Sabar ya, Senopati. Rencanamu jalan berdua dengan gadis cantik gagal. Lagi pula aku tak mendukung rencana tersiratmu, Senopati!


    Wisata hari ini cukup menyenangkan. Aku berserta rombongan Panzer mengunjungi beberapa kuil yang arsitekturnya menakjubkan dan candi-candi kuno. Melelahkan tapi tak apa asal terbayar dengan keindahan bangunan-bangunan kuno tersebut. Sebelum-sebelumnya, kami pergi ke hotel dulu untuk check in. Pada jam 9 malam, rombongan kami kembali ke hotel untuk beristirahat.


    Selama seharian ini, aku merasa dipanggil oleh orang tapi orang yang memanggilku tak ada wujudnya atau sedang tidur lelap sekitar empat kali atau orangnya tak merasa berseru kepadaku; pertama Kidang, kedua Eko, ketiga Kepsek sewaktu di peron, dan keempat Bapakku sewaktu aku mandi. Apa sebenarnya terjadi kepadaku? Itulah pertanyaan yang menghantuiku seharian ini.


    Di kamar hotel ini, aku sekamar dengan Guntur, Eko, dan Kosim. Kamar ini hanya dilengkapi oleh dua kasur saja dan aku harus rela berbagi tempat dengan adik tiriku yang sudah tidur bersamaan dengan Guntur dan Kosim beberapa menit lalu.


    Lampu kamar ini masih aku nyalakan tapi tak mengganggu orang-orang yang sudah tidur. Jam dinding kamar ini sudah menunjukan jam 11 malam tepat. Aku belum mau tidur sebelum menemukan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Apakah ini gangguan makhluk halus atau kejiwaanku yang terancam?


    Aku terus berpikir. Jawaban belum ditemukan gara-gara pikiranku mutar-mutar terus, kebingungan. Tanpa terasa sekarang sudah jam 11.20 malam, 40 menit lagi hari akan berganti.


    “Ah, sudahlah. Tidur saja sekarang!!” gumamku lalu mematikan lampu dan langsung merebut sebagaian bantal kasur ini yang dimonopoli Eko. Harusnya aku komplain pada pihak hotel masalah satu kasur satu bantal dan satu guling. Tapi sudah larut, mereka hanya akan menerima komplainku pada hari esok.
     
  5. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Paragraf kedua

    Bulan November sepenuhnya sudah kulalui. Banyak kejadian yang terjadi di bulan kemarin; Aftarus, nazar, usahaku untuk menyatakan perasaan yang selalu gagal, dan wisata ke Nusatoropura yang bisa dinyatakan membawa kenang-kenangan manis bagi semua anak Panzer yang ikut. Di bulan November juga terjadi suatu peristiwa yang bisa dibilang akan mengubah negeri ini; Pemilu untuk memilih Mahapatih baru. Pertemuan besar antara pihak Nusatoro dengan negera-negara bagian menghasilkan keputusan tersebut yang menimbulkan pro dan kontra. Pro karena jabatan Mahapatih bisa dinikmati bukan hanya kalangan militer dan Nusatoro, tapi kontra karena khawatir Pemilu tak akan berjalan mulus mengingat negeri ini kebanyakan menganut sifat kedaerahan, belum total menyatu dengan nasionalisme. Pemilu sendiri akan dilaksanakan pada tahun 903 oleh komisi yang baru saja dibentuk, Komisi Pemilu Nusatoro atau KPN. Untuk menjadi kandidat Mahapatih ada lima persyaratkan; orang Konfederasi Nusatoro, berumur antara 30-50 tahun, tak boleh orang keluarga kerajaan manapun, tak boleh menjadi pemimpin atau pejabat di daerah manapun, dan di dukung 52% negera-negera bagian. Persoalan agama, suku, dan gender tak dipermasalahkan mengingat Konfederasi menganut asas egaliter. Orang-orang yang mendapatkan hak memilih adalah orang-orang yang sudah mendapatkan kartu indentitas diri atau KID. KID hanya bisa didapatkan kalau usianya sudah 17 tahun, usia yang dianggap sudah dewasa versi Nusatoro. Berbeda dengan Nusatoro, negara-negara Levtxsan dan Amrik menanggap umur 18 tahun adalah usia orang yang sudah dewasa.


    Di bulan Desember ini, aku sudah mempersiapkan rencana struktur dan masif untuk memenuhi nazarku. Moga saja egoku bisa aku taklukan saat menyatakan perasaan. Selain masalah nazar, aku kembali tertarik untuk meneliti angka paragraf kedua buku Permainan Dunia:


    8 0 0 1 1 1 0 8 2 0 0 4 0 1 3 0 1 2 9 0 0

    8 2 0 0 9 2 9 8 4 0 0 1 0 7 0 5 0 1 9 0 1

    8 5 4 0 4 0 2 8 4 0 0 1 0 7 1 6 0 4 9 0 1

    8 6 4 0 6 2 1 8 7 9 1 2 1 6 0 3 0 5 9 0 1

    8 8 7 0 7 0 7 8 9 9 1 0 2 0 2 1 0 7 9 0 1

    Memang Kidang–yang sekarang sudah pensiun–dan Senopati Jaka melarangku menterjemahkan angka-angka ini, tapi apa salahnya jika memecahkan angka tanpa bergerak. Kalau aku tak bergerak seperti apa yang kulakukan pas kejadian Aftarus, mungkin tak akan terjadi suatu kejadian buruk yang menimpaku.


    “Paragraf satu saja belum selesai. Bagaimana bisa lanjut ke paragraf dua?” gumamku sambil mengamati angka-angka ini. “Tapi apa salahnya dicoba!”


    Selama aku berpikir, teringat aku kejadian yang menimpaku di penghujung bulan November; suara-suara orang baik yang masih ada maupun sudah wafat dan fatamorgana orang-orang seperti Kepsek, Kosim, Eko, dan Guntur. Kalau aku menghampiri mereka, wujud mereka sirna bagaikan halusinasi.


    Awalnya aku berspekulasi bahwasanya aku terkena gangguan gaib dari bangsa jin. Tapi setelah kutelusuri kronologi kejadian, aku mulai menduga diriku terkena racun dari jarum setelah kumeninggalkan apartemen tempat pertempuran Aftarus. Sepertinya racun jarum tersebut membuat korbannya tak bisa membedakan mana yang fantasi mana yang realita karena kedua dunia tersebut telah bercampur di alam pikiran korban. Berhalusinasi singkatnya. Mirip dengan kasus orang kebanyakan memakai obat terlarang.


    Racun jarum ini kemungkinan berasal dari bunga langka di pegunungan Himala yang dipakai penduduk Himala saat melawan pasukan Dakian yang ingin menganeksasi Himala di era Kaizerh Hetazania. Orang-orang Himala bertempur dengan cara gerilya dan membuat pasukan Dakian butuh waktu sekitar tiga tahun untuk mencaplok wilayah Himala, dengan kerugian yang cukup besar.

    Pasukan Dakian menyebut racun yang dipakai orang Himala dengan nama ‘Hatarx’ yang berarti dalam bahasa Dakian fantasi gila. Nama Hatarx dipakai dunia internasional dalam menyebut racun ini ketimbang memakai bahasa Himala yang runyam dan panjang. Racun Hatarx dapat membuat korbannya menjadi gila karena dalam semakin lama mengidap racun ini, korbannya mulai melihat orang dan suara yang seharusnya tak ada di tempatnya, mirip orang yang pusing akibat obat-obatan sakit kepala. Hampir lima ratus prajurit Dakian gila karena tembakan sumpit Hatarx dan tujuh ratus tewas hanya gara-gara friendly fire yang diakibatkan fantasi pasukan Dakian.


    Saat ini racun Hatarx masih dipergunakan tapi hanya beredar di dunia gelap, menurut informasi kacamataku. Hatarx dianggap sama seperti obat-obatan narkotika, tapi mereka salah karena para ahli mengkategorikan Hatarx racun karena Hatarx tak membuat ketagihan korban seperti narkotika.


    Para ahli membagi empat fase keracunan Hatarx; fase pertama adalah fase di mana korbannya mulai mendengar suara-suara orang seperti memanggilnya atau suara-suara yang sering didengar layaknya suara deringan ponsel atau meteran listrik yang mau habis pulsanya. Aku jadi teringat saat aku bertanya kepada Eko apakah ia mendengar bunyi meteran listrik.


    “Aku tak mendengar suara apapun, Kak,” jawab Eko yang sepertinya jujur.


    Terkadang aku butuh dua kali atau lebih kala dipanggil seseorang dan terkadang aku juga bertanya kepada seseorang untuk memastikan apakah aku dipanggil atau tidak.


    Fase kedua adalah fase di mana korban mulai melihat orang padahal orang tersebut tak ada di tempat layak fatamorgana. Fase ketiga adalah fase di mana korban mulai tak bisa membedakan mana yang realita dan khayalannya. Dan Fase terakhir, keempat, adalah fase terparah karena fase ini adalah fase di mana korbannya mulai gila. Korban mulai menanggap orang di sekitarnya tak nyata dan bingung tingkat tinggi mana yang realita mana yang fantasi. Jangka waktu korban naik ke fase selanjutnya tak menentu, tergantung dengan kondisi mental mereka.


    Cara mengobati Hatarx cukup mudah tapi susah untuk direalisasikan; usaha sendiri melawan gempuran rekaan Hatarx. Orang yang keracunan Hatarx harus berjuang untuk bisa membedakan mana yang realita dan fantasi. Selain itu, mereka tak boleh stres karena stres mempercepat laju perkembangan Hatarx. Mungkin inilah yang terjadi kepadaku gara-gara terlalu banyak berpikir seperti memikirkan rencana menyatakan perasaan kepada Rina dan mencarikan solusi klientku. Tak mau naik ke fase ketiga, aku memutuskan untuk menutup sementara konselingku dengan alasan ingin istirahat.


    Tak ada seorang pun tahu aku keracunan Hatarx. Rasanya belum saatnya aku memberi tahu Bapakku bahwasanya aku keracunan Hatarx.


    Siapakah yang meracuniku? Peluang diracuni oleh Aftarus cukup besar, tapi aku lebih yakin yang menembakan jarum beracun dengan sumpit adalah si spotter, teman dari Aftarus yang tak muncul kepermukaan saat penyerangan. Tapi kenapa aku diracuni? Apa gara-gara aku mengganggu rencana Aftarus? Cukup meyakinkan penalaran tersebut. Apakah Kidang dan Senopati terkena racun Hatarx? Ada spekulasi mereka juga terkena racun Hatarx, tapi mereka tak menunjukan gejala sepertiku sewaktu di kereta menuju Nusatoropura. Bisa saja mereka menyembunyikan kebingungan atas Hatarx. Akan aku coba tanyakan kepada mereka jika ada kesempatan bertemu.


    Sudah cukup memikirkan masalah Hatarx. Kembali ke masalah angka. Angka-angka ini memiliki keunikan sendiri seperti paragraf pertama; banyaknya angka delapan. Aku mulai menyelidiki apakah angka-angka ini layaknya paragraf pertama; penanggalan Dakian-Levtxsan-Nusatoro, benar-tidak, kode pos, dan satu lagi yang masih belum kuketahui dari maksud empat kolom terakhir.


    “Eka, kau tak boleh memecahkan kode ini!!”


    Suara bisikan tersebut seperti suara Kidang. Pengaruh racun Hatarx yang ada di kepalaku mulai kambuh.


    “Baiklah. Aku tak akan memecahkan angka ini,” gumamku mendesah. “Lagi pula aku tak mau naik ke fase ketiga gara-gara kebanyakan berpikir.”


    “Bagus,” suara bisikan muncul lagi. Kali ini suara Senopati Jaka.


    “Aku akan memberikan angka-angka ini kepada orang-oreng berpotensial seperti aku,” aku tersenyum jahat. Ide brilian muncul di otakku. Sepertinya bagus untuk menerapkan ide tersebut.


    ***

    Di tempat yang sudahku tentukan –aman, enak dan bukan di kandang kuda, aku mengundang Kosim, Ellena, dan Rina ke sebuah tenda di lapangan Tabet pada Sabtu sore. Tenda ini biasa aku gunakan untuk konseling dan yang menyadari hal tersebut hanya aku, Guntur, pak RT, dan Eri saja. Dinding tenda ini yang berwarna hijau baik dari luar maupun dalam tak akan rubuh hanya karena tendangan bocah di lapangan Tabet, walaupun tendangannya dilakukan oleh pemain profesional. Tenda ini dilengkapi kipas angin yang cukup menyejukkan seisi tenda dan lampu bohlam yang bisa menyinari tenda ini yang bisa kubilang gelap.


    Saat semua sudah berkumpul dan kebingungan maksud dikumpulkan di sini. Hampir semuanya saling mengenal satu sama lain, hanya Rina dan Dina saja yang belum mengenal Eri. Agar mereka bisa mengenal sesama, aku pancing dengan katalisator pertemanan; kesamaan hobi, yaitu Antropologi. Kalau aku bertemu dengan Eri dan bersamanya dengan waktu lama–tentu saja ditemani Guntur, ia selalu membahas permasalahan antropologi, begitu juga dengan Rina. Yang membedakan mereka adalah durasi pembahasan dan tingkatan semangatnya. Aku hanya bisa menangguk-angguk ketika mereka bersemangat menjelaskan kebudayaan-kebudayaan yang ada di negeri ini, kadang mengerti kadang tidak paham. Aku bingung dengan mereka berdua, kenapa mereka suka antropologi padahal mereka tidak pernah mengenyam ilmu sosiologi di sekolah? Itulah hobi. Kalau orang lain menanggap antropologi hanya ilmu tak penting, bagi Rina dan Ellena itu kesalahan besar. Sama halnya ketika orang hobi mengkoleksi mayat kecoak yang dianggap aneh oleh masyarakat.


    Aku mulai melancarkan katalisator dengan bertanya kepada Ellena soal kebudayaan Dakian. Dengan bersemangat, ia menjelaskan ilmu percabangan sosilogi ini layaknya dosen. Penjabarannya mulai masuk ke ranah sejarah Dakian seperti asal usul bangsa Dakian, penanggalan Dakian, berdirinya tembok raksasa Dakian, agama Dakai–agama orang Dakian, dan invansi Dakian. Ilmu antropologi memang masih ada kaitannya dengan ilmu sejarah dan tentu saja sosiologi.


    Rina mulai tertarik dengan pembicaraan kami dan dengan muka dinginnya, ia ikut menambahkan pada bagian-bagian yang dianggapnya kurang jelas. Itulah awal dari pertemanan mereka berdua yang kurasa lebih cepat akrabnya ketimbang aku dan Guntur saat bertemu dengannya. Dina, Kosim, dan Guntur dari rautnya tak mengerti maksud pembicaraan kami bertiga. Sabar. orang ketiga memang nasibnya tak bagus.


    “Namaku Ellena Rudi,” Eri seraya mengulurkan tangan, ingin berjabat tangan kepada teman barunya disertai senyuman lebar.


    “Rina Iriana,” sahut Rina dengan senyuman tipis. Mereka berdua akhirnya bersalaman. Baru tahu aku nama panjang dari Rina. Waktu aku berkenalan dengannya, ia hanya menyebut nama panggilannya dan tak mau bersalaman denganku. Mungkin pengaruh perbedaan gender.


    Setelah sama Rina, Eri berkenalan dengan Dina. Mereka bersalaman, saling tersenyum lebar, berbeda dengan orang sebelumnya.


    ***

    Tujuanku mengumpulkan mereka semua untuk memecahkan angka-angka Permainan Dunia. Jadinya aku tak perlu berpikir, cukup mereka yang bekerja. Kalau mereka buntu, akan ku bantu sebisanya. Dengan cara ini, aku tak melanggar janjiku dengan Senopati dan Kidang. Untuk membuat mereka paham maksud aku mengumpulkan mereka, kujelaskan apa itu Permainan dunia, angka-angka punya maksud tersirat, paragraf pertama, kejadian Aftarus, dan hasil analisa sementaraku soal paragraf kedua. Rahasia soal Hatarx masih kujaga. Aku juga menjelaskan kepada mereka soal bahayanya ikut campur seperti apa yang aku lakukan. Mereka tidak takut, malah berminat memecahkan angka-angka ini.


    “Ehm, sepertinya menarik untuk dipecahkan angka-angka ini dengan bersama-sama,” ujar Ellena melirik Rina, sahabat barunya. Ia tersenyum lebar dengan sahabatnya dan dibalas dengan sedikit menangkat pipinya, mirip dengan orang tersenyum tipis tapi apa yang aku artikan dari rautnya bukanlah senyuman tipis.


    “Ya. Mari kita pecahkan angka-angka ini,” sahut Rina yang tak lagi mengira angka-angka ini angka barcode. Semangat bagus itu, Rina.


    “Oke,” balas Kosim lalu mulai menyalin angka-angka paragraf Permainan Dunia di bagian belakang buku tulisnya yang masih kosong. Hebat ya si Kosim. Membawa buku tulis sendirian di dalam tas punggung besar yang selalu ia bawa ke mana saja.


    Ellena, Rina, dan Kosim mulai bergerak. Dina dan Guntur kebingungan, tak tahu harus apa. Mematung mereka seperti tak ada eksistensinya. Sedangkan aku diam, melipat kedua tangan di dada, dan duduk dengan manis layaknya bos mengawasi anak buahnya bekerja.


    Kesempatan menyatakan perasaan memang ada, terbuka luas. Tapi menurut rencana terstruktur dan sistematisku, kondisi seperti ini jangan laksanakan nazar. Kalau sepi, barulah laksanakan rencana ini.


    “Angka di kolom satu delapan semua,” lontar Kosim atas penyelidikan singkatnya. “Angkanya kalau dibalik secara horizontal menjadi simbol infinite, tak terhingga.


    “80, 82, 84, 86, dan 88. Kedua angka ini memiliki karakteristik sama; genap. Bisa jadi ada maksud dari kegenapan bilangan ini.”


    Bagus Kosim. Teruskan berpikir!


    “Angka-angka ini mirip penanggalan Nusatoro. Tapi bukannya penanggalan itu ada delapan angka ya seperti paragraf satu?” bingung Eri melihati lembaran terakhir buku Permainan Dunia yang kugeletakan di tengah meja.


    “Bisa jadi si penulis memakai penanggalan Nusatoro,” timpal Rina yang duduk di sebelah kanan Ellena.

    Bagus sekali penalaranmu, Rina. Penulis buku ini pernah menulis suatu halaman “lupakan yang dulu, majulah untuk ke depan”.


    “Apa jadinya kalau semua angka dari kolom satu sampai delapan belas itu penanggalan?” berspekulasi si Kosim. Kosim duduk seposisi dengan Eri, hanya dipisahkan oleh meja persegi panjang ini. Meja yang ukurannya tak terlalu besar ini kupinjam dari ketua RT. Masa pinjamnya hanya sampai azan Magrib. Meja ini lumayan bagus kataku baik warnanya yang hijau maupun kekokohannya mengingat meja ini katanya dibeli Januari tahun kemarin.


    “Bisa jadi,” Rina mendukung spekulasi Kosim.


    Guntur dan Dina mulai bergerak. Mereka sepertinya tak mau diam saja melihati kawan-kawannya berpikir. Kedua orang tersebut mengambil kertas yang diberikan Kosim setelah mereka memintannya. Mereka berdua bertindak sebagai sekretaris; Dina sebagai sekretaris Rina dan Guntur sebagai sekretaris Eri. Tugas mereka selain menulis, mencarikan informasi tentang tanggal-tanggal tersebut lewat ponsel mereka atas permintaan atasan mereka. Sebenarnya aku sudah menemukannya di kacamata, tapi aku tak mau terlibat sejauh itu.


    “Allahhu Akbar. Allahhu Akbar!!”


    Suara azan? Perasaan baru jam 16.45 dan aku rasa orang-orang di tenda ini tak ada yang memasang ringtone azan. Kosim saja yang tampangnya paling memungkinkan ringtone-nya memakai lagu-lagu anime yang aku tak mengerti maksud liriknya. Lagi pula suara azannya cukup samar-samar, nyaris tak terdengar secara jelas. Tak seperti suara azan yang sering kudengar dari tenda konseling ini.


    “Tanggal 10 November 800 terjadi peristiwa pembentukan kerajaan Nusatoro dan naiknya Senopati Raga sebagai Mahapatih pertama Nusatoro,” baca Guntur atas ponselnya setelah menemukan apa yang ia cari. Semuanya memperhatikan Guntur dan melaah informasi tersebut.

    “Tanggal 29 September 820 merupakan tanggal transisi kekuasaan Mahapatih Raga kepada Rakayan Nadastala setelah Mahapatih Raga merasa tak sanggup menjalankan roda pemerintahan. Di tanggal 2 April 854, Mahapatih Nadastala meninggal dan Raja Nusatoro mempercayakan jabatan Mahapatih kepada Rakryan Rangga Nila yang cukup berjasa membawa Nusatoro sebagai penguasa terkuat dan terbentuknya Konfederasi Nusatoro. Di tanggal 21 Juni 864, Nila mengundurkan diri karena merasa sudah lanjut dan jabatan digantikan oleh Tadah. Di tanggal 7 Febuari 887, Mahapatih Tadah mulai merasa tak mampu menjalankan pemerintahan dan memberikan kepada Modo yang berimbas dengan majunya negeri ini di sektor militer dan maritim,” pungkas Guntur mulai kelelahan membaca.


    Posisinya digantikan oleh Dina. Dengan lantang ia membaca isi ponselnya, “Tanggal 1 April 820 merupakan tanggal di mana kerajaan Levtxsan-zand mendeklarasikan perang kepada Enggris yang berimbas dengan Perang Akbar Dunia I yang berlangsung selama lima tahun lima bulan dan korban yang berjatuhan hampir dua juta orang, korban yang sangat banyak di sejarah manusia. Tanggal 7 Januari 840, Perang Akbar Dunia II dimulai dan berakhir pada tanggal 20 September 846 setelah nuklir Amrik dijatuhkan ke dua kota penting musuh di negeri timur. Perang besar ini berimbas dengan merdekanya banyak kolonil bangsa imperialis Levtxsan dan berkorelasi dengan perang Nusatoro-koalisi Levtxsan demi membebaskan wilayah-wilayah negeri ini yang masih didiami bangsa imperialis yang dimulai pada tanggal 2 April 860.


    “Pada tanggal 16 Desember 879, Raja Nusatoro ketiga terbunuh oleh bawahannya yang merupakan antek pemberontak dan berimbas destablisasi Konfederasi juga naiknya pamor Mahapatih sekarang atas jasanya meredam pemberontakan. Di tanggal 20 Oktober 899, harga minyak dunia naik dengan drastis dan tak terduga akibat habisnya minyak di kilang-kilang minyak di Republik Rus, negara terluas di dunia dan juga penghasil minyak kedua di dunia setelah Kerajaan Arab.”


    “Dan saat itu, STM Panzer berhasil melunasi hutang sekolah dan rencana busuk Arjuna digagalkan,” sela aku membuat semua mata di tenda ini memandangku. Pandangan sinis mereka sepertinya mengatakan, “Pengganggu”.


    Rencana busuk Arjuna buatku adalah mengalihkan aset Panzer kepadanya karena utang sekolah kepadanya. Menurut intel sekolah, Arjuna berencana menjual tanah kepada pihak swasta dengan harga lebih mahal ketimbang sekolah ini dijual oleh Kepsek Rendi. Hutang sekolah mencapai ratusan juta erak gara-gara Kepsek Rendi sering meminjam kepadanya karena Arjuna tak memakai sistem bunga dan uang yang ditawarkan cukup besar sehingga bisa mendukung kelanjutan sekolah. Waktu itu aku berpikir, “Kenapa Kepsek bisa sebodoh itu dengan menerima tawaran pinzaman Bhre?” Sudahlah. Itu sudah masa lampau dan menjadi pelajaran untuk sekarang dan masa depan.


    “Lanjutkan!” seruku sedikit gugup. Harusnya aku tak sela pekerjaan mereka.


    Mereka akhirnya melanjutkan berdiskusi. Syukurlah.


    Rina dan Eri bingung apa maksud dari kolom satu sampai kolom tujuh yang membahas kejadian-kejadian mangkat dan naiknya Mahapatih baru. Selain itu, kebingungan mereka berlanjut kepada kolom delapan sampai empat belas yang memuat kejadian-kejadian besar di dunia dan di negeri ini. Kebingungan tersebut akhirnya bisa dihilangkan ketika Ellena melontarkan bahwasanya ada korelasi antara kolom satu sampai tujuh dengan delapan sampai empat belas yaitu peristiwa kejadian terjadi saat masa jabatan Mahapatih.


    “Tapi kenapa kejadiannya bercampuran antara peristiwa internasional dengan dalam negeri?” kata Guntur kebingungan sambil memegang dagunya.


    “Benar apa yang dikatakan Guntur,” setuju Kosim, sama-sama bingung seperti Guntur.

    “Menurutku semua kejadian berpengaruh dengan Nusatoro dalam berbagai aspek seperti ekonomi, militer, stabilitas, dan wilayah,” berpendapat Rina.


    “Bagaimana dengan peristiwa di baris kelima?” sanggah si Dina. “ Peristiwa di baris lima cukup ambigu menurutku karena selain peristiwa Panzer, terjadi juga naiknya harga minyak dalam tingkatan cukup tinggi.”


    “Naiknya harga minyak mempengaruhi semua negera di dunia ini sedangkan peristiwa Panzer hanya mempengaruhi Yabar saja,” lontar Eri dengan mantap. “Naiknya harga minyak sedikit mengoyangkan stabilisasi ekonomi negeri ini. Lagipula naiknya cukup tinggi dari sebelum-sebelumnya dan mengagetkan pemerintahan Nusatoro”


    Semuanya mendukung pernyataan Eri termasuk aku walaupun mereka tak meminta dukunganku. Kolom satu sampai empat belas berhasil terpecahkan dan lanjut ke kolom selanjutnya. Semoga bisa selesai sebelum azan magrib terdengar mengingat sekarang sudah jam 17.10 dan waktu magrib setahuku dimulai pada jam 17.45.


    “Angka-angka ini penanggalan atau punya maksud tertentu?” bingung Rina melihati kolom lima belas sampai dua puluh satu sambil mengerutkan dahinya.


    Eri mengambil buku Permainan Dunia dan memperhatikannya dengan seksama. “Ini angka penanggalan juga, Rina. Hanya saja dibalik dari tanggal-bulan-tahun menjadi tahun-bulan-tanggal. Lihat saja tiga angka dari belakang: 900 dan 901!”


    Ah, aku baru menyadari tujuh angka dari belakang itu penanggalan juga. Hebat juga ya penyelisikan si calon dokter anak. Lanjutkan!


    “900-12-30, 901-01-05, 901-04-16, 901-05-03, dan 901-07-21. Apa maksud dari angka-angka ini?” kata Rina memegang dagunya. Rautnya serius dan pandangan matanya memandangi buku permainan Dunia.


    “Tanggal yang akan terjadinya peristiwa ujarku,” ujarku beranalisis membuat semua mata menatapku. “Seperti kejadian Aftarus.”


    Mereka semua tercenang. Kosim, Dina, dan Guntur tampak terkejut. Dari raut ketiga orang tersebut gelisah bercampur takut. Sedangkan di sisi lain, Rina dan Eri tampak tenang. Mereka berdua menatapku seakan-akan ingin mengetahui maksud dari analisisku.


    “A-Apa yang akan terjadi di tanggal-tanggal tersebut, Kak Eka?” tanya Kosim sedikit gemetaran badannya.


    “Peristiwa besar seperti pembunuhan, revolusi, dan perang yang sepertinya terencana!” jawabku menyeringai.


    “Siapa yang merencana hal tersebut?” tanya Rina tajam, langsung ke intinya.


    Aku menangkat kedua pundakku disertia gelengan. “Entahlah. Yang pasti kita tak boleh ikut campur kalau tidak mau kehilangan nyawa!”


    Semua terdiam. Kosim menundukan kepalanya dan sepertinya ia kesal, tampak dari ia menggigit bibirnya dan desahannya. Yang lain juga sama. Hanya Rina saja yang tetap tenang. Ia terlihat menutup matanya umpama orang sedang tidur dan melipat tangannya di dadanya. Hening tempat ini.


    “Apa tujuan si Penulis membuat buku ini dan menuliskan tanggal-tanggal ini?” tanya si Eri menghancurkan kesunyian ini. Pandangan matanya tajam. Rautnya seperti orang marah.


    “Entahlah,” jawabku tak tahu. “Entah dia orang jahat yang merencana semua ini atau orang baik yang memperingatkan kita, masih tak jelas. Biarlah kita serahkan hal ini ke pihak berwajib.”


    “Bagaimana bisa kita menyerahkan hal ini ke pihak berwajib kalau mereka pernah bertempur satu sama lain di peristiwa Jorong yang hampir menewaskan kakakku!!” ketus si Eri sambil memukul meja dengan wajah tampak kesal. Meja bergetar. Wajar saja pukulannya keras karena ia master karate di sekolahnya. Beruntung meja ini masih kokoh, tidak hancur. Kalau hancur aku disuruh ganti rugi. Ia marah menurut layak karena di peristiwa Jorong II, Johan hampir saja mati kalau saja ia tak pergi ke sana untuk mengantar berkas. Beruntung ia diare sebelum berangkat dan tugasnya diserahkan kepada temannya yang akhirnya mati mengenaskan gara-gara peristiwa tersebut.


    “Sabar,” coba menenangkan temanku.


    Rina menepuk pundak kiri Ellena. Lirikannya kepada teman barunya mengisyaratkan untuk tenang. Terima kasih Rina atas bantuannya. Pada akhirnya adik satu-satunya Johan tersebut menenangkan diri dan terdiam. Bagus.


    Memang benar ada sesuatu yang aneh di insitusi kepolisian federal. Bertempur karena kesalahpahaman? Menurutku ada pihak yang sengaja membuat kesalahpahaman dan menyebabkan insiden Jorong II. Pertanyaannya adalah siapa? Orang dalam Bhayangkara atau pihak luar? Sepertinya pertanyaan ini tetap akan menjadi misteri abadi bagi orang sipil sepertiku.


    Rina meminta kertas kepada Kosim dan pulpen kepada Dina. Ia mulai menuliskan sesuatu dengan cepatnya, lebih cepat ketimbang sekretaris OSIS Panzer eraku. Semua yang ada di tenda ini memperhatikan kecepatan menulis calon koki internasional tersebut. Terperangah semuanya termasuk Dina yang selalu dekat dengan Rina. Tak percaya atas kemampuan Rina.


    Selesai menulis, Rina membaca, “820-04-01 Perang Akbar Dunia I, 820-09-11 revolusi Kelapa Hijau, 840-01-07 Perang Akbar Dunia II, 860-04-02 konflik Nusatoro-Levtxsan, 879-12-16 Raja Nusatoro dibunuh, 880-12-05 Bitoru, 890-11-04 Jorong, 899-10-20 minyak, 900-11-02 Jorong II, 900-11-09 Aftarus, 900-12-30, 901-01-05, 901-04-16, 901-05-03, dan 901-07-21. Korelasinya adalah kejadian yang mempengaruhi negeri ini.”


    “Rina, kau lupa memasang tanggal-tanggal naik dan mangkatnya Mahapatih,” potongku mengingatkan. Mungkin ia sengaja tak menuliskan karena menanggap peristiwa tersebut tak penting padahal setiap angka ditiap paragraf meskipun tidak terllau penting. Ah, empat angka kolom terakhir paragarf harus bisa dipecahkan mereka. Mungkin maksud dari paragraf kesatu akan semakin jelas. Aku akan memancing mereka untuk memecahkan empat angka tersebut kalau sudah selesai urusan paragraf kedua.


    “Terima kasih,” ujarnya singkat dengan tatapan dingin.


    Ia kembali menulis dengan cepat dan setelah 1 menit berlalu, Rina kembali membaca, “800-11-10 Nusatoro terbentuk dan Raga naik sebagai Mahapatih, 820-04-01 Perang Akbar Dunia I, 820-09-11 revolusi Kelapa Hijau, 820-09-29 Nadastala naik, 840-01-07 Perang Akbar Dunia II, 854-04-02 Nila naik, 860-04-02 konflik Nusatoro-Levtxsan, 864-06-21 Mahapatih Tadah naik, 879-12-16 Raja Nusatoro dibunuh, 880-12-05 Bitoru, 887-07-07 Modo naik, 890-11-04 Jorong, 899-10-20 minyak, 900-11-02 Jorong II, 900-11-09 Aftarus, 900-12-30, 901-01-05, 901-04-16, 901-05-03, dan 901-07-21. Korelasi: Kejadian yang mempengaruhi negeri ini.”


    “Semua kejadian tersebut apakah terencana?” tanya Kosim kepada Rina dengan sedikit gelisah, mulai tenang si Kosim.


    “Terencana sepertinya,” jawab sebisanya Rina. “Ada yang terencana oleh pihak Nusatoro, ada yang terencana oleh pihak Levtxsan, dan ada yang sepertinya terencana oleh pihak tak bertanggu- Tunggu dulu. Apakah bisa semua yang terjadi terencana oleh satu pihak?”


    Semuanya terkejut. Penasaran apa maksud Rina. Ah, mulai deh teori konspirasi tingkat tinggi.


    “Ehm, bisa jadi karena semuanya ditulis di buku ini,” Eri setuju dengan teman barunya. “Kalau seandainya satu pihak berarti pihak ini adalah pihak yang mengendalikan dunia dari balik layar dunia. Suatu organisasi yang bermain atas dunia ini!”


    Semua yang ada di tenda ini kecuali aku tertarik dengan bahasan Ellena dan sepertinya mendukung teorinya. Aku berpikir apa yang dikatakan Eri sama seperti bahasan pencinta konspirasi dan teori konspirasi bercampur-campur kebenaran dengan kebohongan. Membuat bingung orang awam dan tak bagus terlalu berburuk sangka seperti halnya teori-teori konspirasi yang beredar di dunia maya. Akan tetapi kadang kala teori konspirasi benar jika punya bukti yang cukup kuat.


    Apa yang dikatakan Eri kurasa masih terlalu awal untuk menyatakan hal tersebut. Belum kuat asumsinya dengan tanggal-tanggal yang berhasil dipecahkan mereka. Hanya judul Permainan Dunia dan hipotesis tanggal-tanggal inilah pendukung teorinya. Kontradiksi dari teori si gadis berambut pendek tersebut adalah buku ini hanya terbit di wilayah Konfederasi. Tak ditemukan buku ini di luar negeri walaupun yang membahas buku ini dari kalangan netizen[1] dari berbagai negara, baik timur maupun barat.



    Kalau semisalnya semua angka di ketiga paragraf ini berhasil dipecahkan, sudah layak ia menyatakan hipotesisnya. Kurasa aku perlu mengingatkannya.


    “Ekah!”


    Suara tersebut berasal dari seseorang yang berdiri di pojok. Tinggi dan memakai jubah hitam. Tudungnya tak dipakainya dan mukanya seperti… AFTARUS!! Tampaknya tangan kanannya sudah betul dan mengenakan tangan mekanik bersenjata gatling gun. Pandangan matanya tajam kepadaku. Badannya yang menjulang ke langit membuat dirinya terpaksa sedikit menundukan sedikit kepalanya supaya tak menabrak langit-langit tenda. Sejak kapan ia ada di situ? Pasti ini efek Hatarx karena tak ada selain aku menyadari keberadaannya yang muncul tiba-tiba.


    “Ellana, aku bingung kenapa di angka-angka ini tak ada kode pos seperti paragraf?” tanya Guntur kepada Eri yang sepertinya menanggap adik Johan tersebut gurunya. Mungkin karena pernyataannya tadi.


    Aku sempat melirik kembali ke pojok tenda. Menghilang si Aftarus. Syukurlah.


    “Bisa jadi ada kode pos di paragraf kedua. Tapi tersirat,” kata Rina berpedapat sebelum Ellena mau menjawab pertanyaan asistenku .


    Eri mendukung pendapat teman barunya. “Mungkin saja tanggal-tanggal yang akan datang punya kode pos di paragraf ini sebagai tempat terlaksana, seperti yang ada di paragraf pertama,” ujar Eri memegangi dagunya mengamati paragarf kedua lembar terakhir Permainan Dunia.


    “Semisalnya ada, bagaimana cara menemukannya?” tanya Dina mulai tertarik untuk memecahkan angka-angka ini secara langsung.


    “Nalar,” jawab singkat Kosim dengan raut muka mulai serius.


    Dengan kompaknya, Kosim, Rina, dan Ellena bersama-sama mencoba mencari kode pos. Sasaran angka mereka dari kolom satu sampai kolom terakhir. Guntur dan Dina membantu mereka bertiga semampu mungkin dengan memberikan pendapat dan membantu mencarikan informasi yang diminta dengan ponsel masing-masing. Aku hanya terdiam. Tak punya kesempatan untuk mengingatkan si Ellena kalau teorinya bisa saja salah.


    Arloji kukeluarkan dari kantong baju ini. Sudah jam 17.40. Sebentar lagi magrib. Sudah waktunya untuk menghentikan diskusi ini.


    “Cepat hentikan!!”


    Suara tersebut seperti suara tenor pak RT. Dari mana asalnya tak kuketahui. Pengaruh Hatarx tapi positif untuk mengingatkanku.


    “Oke semua. Sudah mau magrib. Kita lanjutkan minggu depan!!” seruku seraya bangkit dari tempat dudukku dan menepuk tangan.


    Rina, Dina, Eri, Kosim, dan Guntur mengerti. Mereka membereskan apa yang ada di meja dan satu per satu bersalaman satu sama lain, aku diacuhkan mereka. Tak apa karena palingan aku akan menjadi yang terakhir bersalaman dengan mereka semua.


    Selesai bersalaman denganku, mereka terkecuali Guntur keluar dari tenda besar ini. Aku memberi komando kepada asistenku untuk membereskan tempat ini. Guntur menaati perintahku dan aku memilih berjalan keluar, mengejar seseorang yang seharunys belum pergi jauh dari tempat ini.


    Aku keluar dari tenda dan mencari ke mana Rina berada. Yang terlihat di mataku hanya hamparan rumput dan bocah-bocah kampung yang sedang main bola, seharusnya mereka sudah pulang mengingat ada hantu penculik bocah kalau magrib tiba.. Oh ya, itu mitos di pedesaan, orang kota tak terpengaruh dengan mitos tersebut.


    “Mana dia?” bingung aku melihat semua yang keluar tadi sudah menghilang.


    Jarak jalan raya dari sini tak terlalu jauh. Mungkin berjalan selama 10 menit ke arah utara akan sampai ke jalan utama yang ramai dan macet setiap harinya. Aku mendesah, kecewa karena gagal menyatakan perasaan. Menurut rencanaku, siasat B, aku menghampirinya setelah ia meninggalkan tenda dan menyatakan perasaan mengingat yang melihat paling hanya Dina atau Eri saja. Terpaksa aku kembali ke siasat A yang bisa kubilang kemungkinan dilaksanakan cukup besar, tapi masalahnya hanya waktu kesiapan saja.


    Mungkin keren kalau aku menyatakan perasaan di tengah cuaca senja ini yang cerah, cahanya kejinggaan menyinari lapangan ini, dan angin sepoi-sepoi sore berhembus tak terlalu kencang. Aku berandai jikalau aku menyatakan perasaan, dia juga mengatakan perasaan bahwasanya ia juga suka kepadaku. Jika itu terjadi, aku tak tahu harus apa. Tujuanku tak sampai ke tahapan pacaran walaupun ada niat untuk terus bersama dengannya, suatu niat yang tak pernah muncul sebelum-sebelumnya.


    “Kembali ke tenda,” gumamku lemas.


    “Bagaimana dengan kacamata yang kuberikan kepadamu?”


    “AH!!!” jeritku melihat seseorang yang seharusnya tak ada lagi di dunia ini, Kakekku. Ia mengenakan toga putih. Jenggot putihnya lebat seperti ia sebelum wafat. Mukanya keriput total. Rautnya serius. Memakai kacamata tebal dengan frame hitam. Memegang sebuah tongkat kayu untuk memandunya berjalan. Tatapan matanya mengarah kepadaku, tajam.


    “Ada apa, Bos?” tanya Guntur heran sambil membereskan kursi-kursi.


    Wujud Kakekku menghilang. Aku menghela nafas lega.


    “T-Tak ada-apa,” jawabku menenangkan diri sehabis terkejut setengah mati.


    [1] Netizen: sebutan penduduk dunia maya.
     
  6. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Laskar Garong
    Desember pertengahan bulan menjelang liburan natal, aku belum juga menuntaskan nazarku. Pemecahan angka-angka paragraf ketiga mesti tertunda mengingat semuanya berhalangan; Kosim mencert-mencert, Ellana dan Guntur punya acara keluarga, Rina sakit panas dan Dina mesti merawat teman sekamarnya. Mengetahui orang yang kusukai sakit, aku pergi menjenguknya di asramanya dengan membawa buah-buahan segar seperti apel, jeruk, dan anggur. Pergi ke asramanya Rina harus ditemani satpam karena pihak sekolah khawatir terjadi apa-apa kalau seorang perjaka sepertiku pergi sendirian ke asrama putri. Tak apa-apa bagiku ditemani seorang satpam gendut berwajah tak punya semangat hidup dan satpam ceking yang mukanya mirip satpam Panzer baru, saudara yang terpisahkan ketika bayi?

    Terbaring lemas dan kaku si Rina. Rambut dahinya berantakan dan beberapa helai menutupi kedua matanya. Baju piama berwarna biru masih dikenakannya. Tak perlu kupegang dahinya karena aku sudah merasakan panasnya tubuh Rina dari raut wajahnya. Wajahnya dingin seperti wajah seseorang yang berusaha kuat di tengah sakitnya. Itulah salah satu keunikan Rina. Timbul rasa iba melihat orang yang kusukai sakit.

    Dina mengkonfirmasi bahwasanya temannya sakit karena masuk angin setelah pergi ke Cangkarang–wilayah tempat bandara internasional Yabar berada–di malam hari sendirian beberapa hari lalu. Bungkam si Rina ketika ditanya Dina alasan ia pergi. Mencurigakan.

    Sebelum beranjak pulang, aku menjelaskan kepada mereka bahwa teori Eri dari Rina belum kuat buktinya dan masih kupertanyakan. Beruntung, kedua orang tersebut percaya dengan omonganku. Memang ada kesempatan untuk menyatakan perasaan, tapi rasanya tak etis untuk dilakukan. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah manusia punya etika dan akal. Jikalau tak dimanfaatkan keduanya, sama saja manusia dengan hewan. Itulah penjelasan etika versi Kak Manguri yang kuingat sampai sekarang.

    Setelah meninggalkan asramanya Rina, kedua satpam tersebut sempat bertanya kepadaku apa hubunganku dengan Rina. Aku hanya menjawab dengan santai, “Hanya teman saja.”


    ***
    Mengetahui semuanya berhalangan, aku tadinya ingin memecahkan angka ini tapi mengingat resikonya cukup besar; naik ke fase Hatarx selanjutnya dan melanggar janji, tak jadi kulakukan. Tunggu Sabtu depan datang, insya Allah operasi pemecahan paragraf ketiga akan dilakukan.

    “Di tanggal 30 sekarang akan terjadi peristiwa. Peristiwa apa?” gumamku kebingungan.
    Pada malam ini, aku berada di restoran sate kambing Pak Johar yang terletak tak jauh dari STM Panzer. Makan sendiri bukanlah hal tak mengenakan bagiku karena jika aku makan sendiri, jatahnya untuk sendiri, tak dibagi ke orang lain.

    “Apa aku terlalu introver ya kalau seperti ini terus?” gumamku menekur. Lantai yang ada di bawah meja ini cukup bersih dan putih. Bagus juga pihak restoran ini yang pamornya sudah terdengar se-Yabar.

    Tudung jaket hitam ini kukenakan, demi merahasiakan identitasku sebagai Eka Jaya. Biasanya banyak anak STM ataupun sekolah rival Panzer berkeliaran di sini. Aku tak mau cari ribut di restoran ini atau membayari makan anak Panzer yang sok akrab denganku dan meminta ditraktir. Semoga pihak restoran tak mengira aku ini teroris atau penjahat dengan pakaian yang menarik perhatian banyak mata; jaket hitam, kacamata hitam, dan sandal hitam (oh, yang ini tak berpengaruh).

    “Lama juga pesananku,” keluhku mengamati arlojiku yang menunjukan 10 menit sudah berlalu. Pesananku tak lain 20 tusuk sate kambing dan 10 tusuk sate ayam. Tak akan gendut aku mengingat beratku masih 58 kilogram. Masih normal ketimbang asistenku yang beratnya 42 kilogram.

    Aku melirik kesana-kemari orang-orang yang ada di restoran ini. Kebanyakan orang-orang yang berkeluarga dan membawa anak yang masih kecil, kisaran umur tujuh-delapan tahun. Kalaupun ada anak muda, paling sepantara anak kuliahan yang membawa teman atau kekasih. Tempat ini bakal banyak anak muda kalau malam minggu. Oh ya, sekarang malam Selasa dan sebenarnya aman saja kalau aku lepas tudung ini. Lepas? Tidak. Aku sudah nyaman dan enak memakai tudung jaket ini.

    “Mahaguru, sepertinya Kara ada Laskar Garong!!”

    Suara tersebut seperti suara Senopati Jaka. Apa ini pengaruh Hatarx? Sebaiknya aku cek dulu dengan melirik kesana-kemari. Lagi.

    Ketemu! Senopati Jaka terlihat memakai jas hitam, kacamata hitam, rambutnya diberi minyak, mengenakan sepatu fentofel, dan pakaiannya mirip seorang bodyguard. Pantas saja aku tadi tak mengenali Senopati, penampilannya kontras dengan wujud biasanya.

    Senopati terlihat duduk satu meja dengan seseorang yang memegang tongkat kayu, tua, reot mukanya, mengenakan jubah hitam, memakai sandal jepit hijau, dan cukup kukenal mukanya. “Kidang!!” gumamku terkejut setelah mengamati seksama wajahnya lewat pembesar kacamata.

    Untuk apa mereka ada di sini? Makan sate kambing? Ah, paling Jaka saja yang makan sate kambing sedangkan aki-aki tersebut paling bisanya makan sate ayam. Menghindari kolesterol. Apa yang mereka bicarakan? Akan aku pasang telingaku untuk menyadap pembicaraan mereka. Jarak meja mereka dengan mejaku hanya 4 meter saja dan sepertinya mereka tak menyadari kehadiranku. Bagus.

    “Apa maksudmu?” tanya Kidang tampak penasaran. Kedua tangannya dilipat di atas meja.

    “Sebelum peristiwa November, aku sudah menyium aroma tak benar dari Kara Jorong. Kubu Senopati Jaraga mencurigai kubu Senopati Otong akan bertindak makar, begitu juga dengan kubu Senopati Otong.”

    “Tunggu dulu muridku!!” sela Kidang. “Senopati Jaraga dan Senopati Otong? Dua orang yang sangat berpengaruh di kalangan Senopati Kara Yabar? Bagaimana bisa kedua orang hebat itu saling menanggap satu sama lain akan berbuat makar?”

    “Itu dia yang aku bingungkan sampai sekarang. Aku curiga ada pihak yang sengaja membuat mereka berdua saling membunuh. Pihak yang sangat bisa mempengaruhi sanubari mereka berdua sehingga rela mengarahkan bawahannya untuk menyerang kubu lain dengan anggapan menghancurkan kubu makar,” jelas Senopati berspekulasi.

    Kara? Pasti sebutan Bhayangkara Yabar versi mereka berdua dan Laskar Garong kuartikan sebagai para pembuat masalah. Sepertinya mereka sengaja memakai beberapa sebutan yang tak diketahui orang awan dikarenakan latar mereka berbincang di tempat umum. Aku heran kenapa mereka membicarakan peristiwa Jorong II di restoran ini? Apa karena kesengajaan? Sepertinya mengingat mereka berdua memakai pakaian layaknya bodyguard dan majikan.

    “Eka, tak bagus menguping!”

    Suara tersebut seperti suara ibuku. Raut ketakutan muncul di mukaku. Darah yang ada di seluruh tubuhku berdesir kencang. Bului kudukku berdiri semua. Kalau tak kuat mental, bisa jadi aku sudah kencing di celana sekarang juga. Aku menoleh ke belakang dan melihat wujud ibuku yang bisa dibilang masih muda, putih, dan cantik walaupun usianya sudah 30 tahun sebelum ia wafat. Pintar juga ya Bapakku bisa mendapat dua istri cantik yang juga temen SMA-nya. Apalagi aku dengar waktu SMA, Bapakku terkenal dan disukai banyak siswi-siswi yang membuatnya dijauhi teman laki-laki sampai-sampai yang dekat dengannya hanya Kepsek Panji dan Mantan Kepsek Rendi. Untung saja Bapakku hanya memilih dua gadis yang nantinya akan menjadi ibuku dan Eko. Semoga aku tak mewarisi bakat Bapakku. Aku bukan penganut paham poligami.

    Ia mengenakan jilbab hijau yang merupakan jilbab yang biasa ia kenakan semasa hidupnya. Dia menatapku. Tersenyum dan menggeleng-geleng dan jari telunjuk yang ada di tangan kirinya digoyang-goyangkan seakan-akan jarinya berkata, “Jangan”.

    Melihat wujud ibuku membuatku ingin memeluknya. Terakhir aku peluk dia ketika ia bersama ibu tirinya pergi berwisata bersama perusahaan milik mereka. Tapi sayang, sebelum mereka beranjak ke tempat wisata, kereta yang ditumpangi kedua ibuku terjatuh ke jurang gara-gara relnya blong.

    Ketika pemakaman kedua ibuku selesai, Bapakku yang sesenggukan berkata kepadaku, “Nak, jangan pernah mencintai seseorang atau benda berlebihan karena mereka punya umur, masa berlakunya, dan milik Tuhan.”

    Aku tak terlalu mengerti saat itu. Tapi nasehat tersebut baru kupahami sekarang.
    Aku berkedip sebentar dan wujud ibuku menghilang seketika. Menghela nafas lega aku. Semoga aku tak stres kelas berat gara-gara sering melihat wujud-wujud orang yang sudah mati seperti ibuku.

    Kembali aku lanjutkan menguping walaupun kelewatan beberapa kata yang dilontarkan Jaka.

    “Jaka, bagaimana kabar tim telik sandi Kara? Aku dengan mereka semua mati mengenaskan dibunuh seseorang tak dikenal. Apa itu benar?” tanya Kidang menatap Jaka penasaran.

    Jaka menangguk. “Kemarin pagi, aku berkunjung ke kantor telik sandi Kara divisi IV penanganan Permainan Dunia. Aku sangat terkejut ke menemukan semua personil divisi IV yang berjumlah lima belas orang tewas mengenaskan ketika mencoba menterjemahkan paragraf ketiga!”

    “Jaka, menurutmu siapa yang membunuh semua orang telik sandi Kara pemerintah pusat? Apakah masih ada kaitannya dengan buronan Aftarus?”

    “Saat ini Kara Yabar sedang menginvestigasi lebih lanjut. Dugaan orang luar menyerang cukup kupertanyakan mengingat pejagaan di sekitar kantor divisi IV berdomisili Yabar cukup ketat dan para penjaga tak menyadari orang-orang sekantor tewas dibunuh orang.”

    “Apa menurutmu ada permainan orang dalam di Kara dan petinggi Nusatoro seperti kasus Jorong II?”

    “Aku berpikir iya. Tapi masih belum kuat asumsiku.”

    Jaka dan Kidang berhenti berkata sesaat seorang pelayan membawakan pesanan mereka, 20 tusuk sate ayam dan 10 tusuk sate kambing. Mereka langsung menyantap makanan mereka begitu pelayan meninggalkan mereka. Belum sempat lagi mereka melanjutkan perbincangan serius tentang divisi IV. Aku penasaran kenapa divisi IV telik sandi Bhayangkara dibunuh semua saat mencoba menterjemahkan paragraf ketiga? Apa… Tunggu, apa jadinya jika Rina, Dina, Kosim, Ellena, dan Guntur mati gara-gara mencoba menterjemahkan paragraf ketiga walaupun hanya sebatas main-main saja? Apakah mungkin terjadi? Hanya bisa kujawab: mungkin. Ada baiknya aku mengikuti pembicaraan mereka sampai habis dan ngomong-ngomong kapan pesananku datang ya?

    “Ini pesanannya,” seru seorang pelayan tua dengan muka datar lalu menaruh pesananku di tengah meja. Akhirnya datang juga.

    Dengan nafsu makan yang bergejolak, aku langsung memakan sate-sate yang ada dihadapanku.

    “Ingat rakyatku! Jangan makan tusukan satenya kalau makan sate ayam ataupun kambing!”

    Suara tersebut seperti suara Bhre Cakra. Nyaring dan bass suaranya seumpama orang pidato saja. Aku menoleh kesana-kemari, tak ada tanda-tanda ada Bhre Yabar di ruangan ini, baik wujud halusinasi ataupun orang aslinya. Televisi di ruangan ini pun tak menayangkan pidato Cakra, malah yang ada acara dangdut koplo. Kenapa halusinasi suaraku merembet ke suara Bhre Cakra?

    Di penghujung habisnya sate-sateku, aku melihat Kidang dan Jaka telah menghabiskan makanannya. Mereka kembali membicarakan soal divisi IV. Pasang telingamu baik-baik, Eka!

    “Jaka, menurutmu apakah para petinggi bermain dalam kasus Jorong, divisi IV, dan Aftarus?” tanya Kidang sambil membersihkan sela-sela giginya dengan tusuk gigi.

    “Seperti yang kubilang tadi, aku belum mau berasumsi setinggi itu, Mahaguru,” jawab Jaka membersihkan mulutnya dengan secarik tisu toilet yang disediakan di meja.

    “Semisalnya mereka tak terkait, akan menjadi janggal kasus Jorong II karena satu-satunya pihak yang paling kucurigai sebagai penyebar api adalah internal Kara.”

    “Mahaguru, jangan berburuk sangka dulu!” Jaka mengingatkan.

    “Oke-oke,” Kidang mengerti. “Apakah penyerangan divisi IV menghilangkan sesuatu?”

    “Hampir semua yang dikerjakan divisi IV hilang tak berbekas seperti kertas-kertas terjemahan paragraf satu dan dua, beberapa kertas coretan spekulasi tempat terjadinya peristiwa yang akan terjadi di paragraf kedua, dan asumsi kasar tentang paragraf ketiga.

    “Hanya satu yang masih tersisa; buku Permainan Dunia,” jawab Jaka seraya mengeluarkan buku Permainan Dunia dari kantong jasnya. Buku Permainan Dunia ukurannya memang tak terlalu besar tapi juga tak terlalu kecil. “Aku mengambil buku ini demi menjaga barang bukti mengingat aku yang memimpin penyelidikan penyerangan divisi IV.

    “Lembar terakhir buku ini masih polos seperti buku baru. Lihatlah,” Jaka seraya memberikan buku tersebut kepada Kidang.

    Kidang mengambil kacamata tebalnya dan mengamati angka-angka Permainan Dunia. “Jaka, menurutmu siapa orang yang membuat buku ini? Apakah ia masih punya koneksi dengan semua kejadian yang terjadi di tanggal-tanggal paragraf kesatu dan kedua?” tanya Kidang menaruh buku tersebut di tengah meja. Piring-piring bekas mereka makan dipingirkan. Menunggu dijemput pelayan yang bertugas membersihkan meja.

    “Kalau menurutmu orang yang membuat buku ini punya koneksi dengan Aftarus, tentu aku setuju mengingat ada kode-kode nama di paragraf pertama!” sahut Jaka.

    Kolom keempat di paragraf pertama? Sepertinya menarik jika aku ikut perbincangan mereka. Makanan sate ini sudah kulalap habis. Pesan Bhre Cakra versi Hatarx telah dilaksanakan.

    “Boleh aku bergabung?” tanyaku berjalanan ke meja mereka memberanikan diri.

    Mereka langsung menoleh ke arahku. Pandangan mereka tajam dan tersenyum buaya. “Tepat kami duga. Kau melanggar janjimu, Eka!” seru Kidang menggertakan giginya.

    “Ternyata pancingan pembicaraan ini ada gunanya juga,” ujar Jaka mengepalkan kedua tangannya, seperti mau menonjok orang. Ada aturan yang mengatakan seorang personil Bhayangkara dilarang keras memukul warga sipil kecuali jika terpaksa atau mereka bersalah.

    Oh, tidak. Aku baru menyadari mereka sengaja berbicara tanpa ada rasa takut disadap karena sengaja untuk menjebakku. Dasar.


    ***
    Setelah menerima dua pukulan keras Jaka di muka dengan ilmu kanarugan, aku terpaksa menjelaskan kalau aku melalui teman-temanku sedang menyelidiki paragraf kedua. Kujelaskan siapa saja yang terlibat dan sampai mana mereka berhasil menyelidiki angka-angka paragraf kedua. Spekulasi Eri, kemungkinan ada pihak yang bermain tingkat tinggi, dan sebagainya kututurkan juga.

    “Ah, kenapa kau melibatkan orang lain, Eka?” tanya Jaka terlihat kecewa.

    “Untuk menjaga janjiku dan menyegah banyak berpikir untuk memperlambat pengaruh Hatarx!” jawabku dengan percaya diri sambil memegang pipi kiriku yang kesakitan ini.

    “Hatarx?!” bingung mereka berdua.

    Sepertinya mereka berdua tak tahu Hatarx. Spekulasi mereka berdua tak terjangkit mulai kelihatan dan ternyata benar, mereka tak merasakan halusinasi yang menimpaku sehabis kujelaskan apa itu Hatarx dan kronologi masukan racun ini ke tubuhku.

    “Kasihan sekali kau, Eka,” Kidang menatap iba kepadaku dan menepuk pundak kiriku mengingat aku duduk di sebelah kanannya. “Masih muda tapi terancam gila gara-gara Hatarx!”

    Jaka juga berkata seperti Kidang; melontarkan rasa prihatin. Ia teringat tentang Hatarak dan memberi informasi kepadaku bahwasanya racun Hatarx akan hilang dengan sendirinya setelah enam bulan berada di tubuh si korban. Baru kutahu kalau ada jangka hidup dari racun Hatarx dan selayaknya aku berjuang habis-habisan mempertahankan akal sehatku selama enam bulan serta tingkatan stres harus berada dikisaran 30 ke bawah. Dari 10 orang di dunia ini yang terkena Hatarx, hanya satu saja yang berhasil melewati masa-masa berat setelah enam bulan berlalu, sisanya ada yang menjadi gila dan bunuh diri karena bingung apakah ia ada di mimpi atau tidak. Semoga aku termasuk diantaranya.

    Jaka dan Kidang beranjak dari tempat duduknya. “Eka, kamu ke sini naik apa?” tanya Jaka menoleh sedikit ke arahku.

    “Angkot. Tak enak naik kuda ke restoran seperti ini.”

    “Kalau begitu maukah kau pulang dengan mobilku?” tawar Jaka seraya menunjuk-nunjuk mobil sedan hitam yang terlihat diparkirkan di depan restoran ini.

    Tawaran tersebut kuterima. Kami bertiga masuk ke mobil tersebut setelah membayar biaya makan. Semua tagihan dibayar Jaka, baik juga Senopati ini.

    ***
    Di dalam mobilnya, Jaka menjelaskan soal empat kolom terakhir paragraf pertama setelah aku memintanya untuk dijelaskan. Tapi ada syarat yang mesti kupenuhi; aku tak boleh membocorkan rahasia ini kepada siapapun kecuali teman-temanku yang sedang memecahkan angka paragraf kedua. Persyaratan tersebut aku turuti dan dengan senang hati, ia menjelaskan apa yang dimintaku, “Menurut divisi IV, si penulis membuat huruf-huruf menyerupai angka-angka.”

    Jaka menyalakan terlebih dahulu lampu penerangan mobil. Ia mengambil secarik kertas dan buku Permainan Dunia. Aku dan Kidang memperhatikan apa yang ditulisnya dari belakang jok mobil ini. “Angka nol diartikan sebagai huruf O, satu berarti I, dua adalah Z, tiga berarti E versi kirinya, empat berarti H kecil yang dibalik vertikal lalu dibalik lagi ke kiri, lima itu S, enam sama dengan B kecil, tujuh sama dengan R kecil ke kiri, delapan sama dengan X, dan sembilan sama dengan Q kecil.”

    “Tunggu! Bukannya delapan lebih condong ke huruf B ketimbang X?” Kidang meragukan penjelasan Jaka yang bersumber dari telik sandi Yabar.

    “Memang iya sih. Beberapa anggota divisi IV juga berpikiran seperti itu. Tapi yang memperkuat dugaan huruf X adalah huruf X lebih mirip ke angka delapan baik huruf kecil maupun besar. Kalau B hanya huruf kapitalnya saja.”

    Pikiranku yang tadi sama seperti Kidang akhirnya tercerahkan. Menarik sekali kode-kode huruf ini. Apa maksud dari huruf-huruf ini?

    “Baris pertama 9 0 5 3 berarti QOSE, 4 0 8 1 berarti HOXI, 7 0 5 3 berarti ROSE, 2 0 4 7 berarti ZOHR, dan di baris terakhir berangka 6 0 5 5 yang berarti BOSS!” jelas Jaka menyudahi menulis angka-angka dan huruf-huruf spekulasi divisi IV.

    “Maksud dari kode-kode huruf itu apa, Senopati?” tanyaku penasaran. Terlintas asumsi bahwa kode-kode tersebut yang dipakai orang-orang layaknya Aftarus.

    “Kode-kode agen,” jawab Jaka sedikit menyeringai. “Aftarus berkode BOSS, penyulut api Jorong II ZOHR, dan sebagainya.”

    “Apakah ini berarti Penulis Permainan Dunia itu dalang dari rencana ini?” Kidang berasumsi dengan raut serius.

    “Tak bisa dipastikan,” balas Jaka seraya memasukan kertas yang ditulisnya ke dalam saku celananya. “Aku pernah mencoba melusuri penerbit buku Permainan Dunia, tapi alamat yang tertera di buku tersebut palsu dan sepertinya Penulis memakai sistem self publishing. Hanya saja ia menempelkan logo penerbit antah-berantah sepertinya buatannya.

    “Semua bisa terjadi dunia ini. Bahkan teman yang kita kira akan setia terus bisa menusuk dari belakang!!”
    “Orang yang menusuk dari belakang, berkhianat dan membuat jatuh temannya sendiri adalah orang paling busuk di dunia,” ujar Kidang bernada ketus. “Hukuman bagi orang yang melakukannya adalah mati,” ia dengan raut menakutkan seraya memperlihatkan sebilah keris yang ada di saku jubah bagian belakangnya. Tak kusangka ia membawa barang yang sekali menikam orang, bisa dipastikan racun menjalar ke tubuh korban dan mati.

    “Lupakan masalah menusuk dari belakang, Mahaguru,” Jaka mencoba menenangkan Kidang. Kidang pun akhirnya bisa tenang dan kerisnya yang cukup tajam ujungnya kembali ia masukan ke dalam bajunya.

    “Eka, menurutmu kenapa Aftarus dan penyulut Jorong II punya kode layaknya agen rahasia?” tanya Jaka seraya menatapku. Tatapannya mengatakan “coba jawab semampumu”.

    “Sepertinya. Asumi lemahku mengatakan kalau mereka dikenalikan oleh sebuah organisasi yang sepertinya bertujuan mengoyahkan Nusatoro.”

    “Mengoyahkan Nusatoro? Aku berpikir mereka malah ingin memgoyangkan pemerintahan-pemerintahan di dunia alias ingin membuat utopia pemerintahan dunia!” timpal Kidang.

    “Mahaguru. Apa yang dikatakan Eka sepertinya cukup masuk akal mengingat buku Permainan Dunia hanya terbit di negeri ini dan orang-orang terdahulu sering menyebut negeri ini sebagai ‘Bumi Dvipantara’, ‘Bumi dari Bumi Sumber Daya’, dan ‘Bumi Rempah-Rempah,” tutur Jaka mendukungku.

    “Tapi muridku, kau harus tahu bahwasanya ada beberapa kasus buku seperti Permainan Dunia di luar negeri. Kau tahu buku Operation? Buku semacam Permainan Dunia dengan penulisnya anonim, penerbit antah-berantah, dan isinya sama persis. Buku tersebut terbit sekitar tiga tahun lalu dan memilik kode angka yang berbeda dari buku ini. Apakah kau tak merasa penulisnya sama seperti penulis Permainan Dunia?”

    Jaka memegang jenggot tebalnya. Berpikir sepertinya. “Oh ya, aku lupa kalau ada buku-buku seperti itu di luar negeri. Pastinya divisi IV sudah tahu masalah buku-buku seperti itu.”

    “Kalau semisalnya mereka tahu, pastinya mereka sudah mencoba menyelisik lebih jauh soal hubungan Aftarus-penulis-Jorong!” ujarku berpendapat.

    “Betul apa yang dikatakan Eka. Aku yakin bahwasanya para petinggi Nusatoro dan Bhayangkara Yabar punya keterlibatan dengan peristiwa Jorong II dan Aftarus. Kautahu kalau orang baik seperti Bhre Cakra akan selalu disingkirkan dari jabatannya kalau mengancam mereka dengan segala cara,” Kidang berspekulasi. Tak bagus berburuk sangka, aki-aki!

    Jaka meradang dengan spekulasi Mahagurunya. Sepertinya ia tak suka kalau Kidang menuduh para petingginya berbuat sejauh itu padahal kemungkinannya cukup terbuka.

    “Ah, hanya satu cara terbaik untuk menyingkap kebenaran dari Permainan Dunia: menangkap Aftarus dan kita paksa dia untuk buka mulut agar semua teka-teki ini bisa selesai!” lontar Jaka seraya tersenyum mengelus-elus janggutnya. Seperti tersirat suatu rencana dari tampangnya.

    “Tapi bukan berarti semuanya akan selesai jika Aftarus berhasil ditangkap hidup-hidup,” sahut Kidang. Tangannya terlihat dilipat di dadanya. “Malahan bisa jadi akan muncul babak baru seperti Laskar Garong akan menampakan diri”

    Jaka melirikku seketika mematikan lampu mobil. “Eka, apakah kau berserta teman-temanmu mau memecahkan paragraf ketiga? Matinya semua anggota divisi IV membuat operasi menelusuran angka-angka Permainan Dunia terhenti dan aku sangat penasaran dengan maksud paragraf terakhir. Aku yakin kau dan teman-temanmu yang masih muda bisa memecahkan angka-angka tersebut.”

    “Hoi Jaka, apakah kau yakin menyerahkan penyelidikan divisi IV kepada anak-anak yang masih mencari jati diri?” Kidang mempertanyakan maksud Jaka. Tak yakin teman-temanku bisa memecahkan angka-angka rumit ini yang sampai saat ini masih membingungkan para netizen. Kalau sudah tahu kuncinya maka angka-angka ini akan terlihat aslinya, itulah yang aku dapati dari ketiga paragraf Permainan Dunia.

    “Aku yakin mereka bisa. Tanpa Eka ikut campur, mereka mampu memecahkan angka dalam satu hari padahal telik sendi butuh waktu tiga hari untuk memecahkannya!!” jelas Jaka mengepalkan tangan kriinya bak ingin meninju orang. “Lagi pula mereka semua masih dalam safe zone, area aman dari incaran Laskar Garong dan dengan pengawasanmu, Mahaguru, aku yakin akan aman teman-temannya Eka dalam memecahkan angka. Apakah kau bersedia mengawasi mereka, Mahaguru?” pinta Jaka tersenyum tipis. Tersirat keyakinan penuh bahwasanya Kidang yang sedang berpikir itu mengabulkan permintaannya. Seumpamanya kalau Kidang bergabung dan mengawasi teman-temanku bekerja, mungkin bagus untuk mengantisipasi kejadian-kejadian tak diinginkan seperti apa yang terjadi pada divisi IV.

    “Oke oke,” Kidang mengabulkan permintaan murid kesayangannya dengan muka tak bersemangat.

    “Lagi pula enak kalau setenda bareng gadis-gadis camanis,” Kidang mendadak tersenyum lebar. Dasar. Ingat istr- oh ya, sudah meninggal lama istrinya Kidang.

    “Eka, kalau semisalnya teman-temanmu berhasil menemukan maksud dari paragraf ketiga, tolong beritahu aku lewat nomer ini,” Jaka seraya mengeluarkan kartu nama dan memberikan kepadaku. “Kalau ada masalah, bicarakan kepadaku.”

    “Baiklah,” aku menyeringai.
    ***
    Malam ini aku mendapatkan tiga informasi penting yaitu tentang Hatarx, divisi IV, dan spekulasi Jorong II langsung dari internal Bhayangkara. Selain itu, aku diberikan juga kepercayaan dari Senopati yang tak boleh kulanggar. Kepercayaan dan kejujuran adalah kunci bertahan hidup di jalan yang benar, itulah yang dilontarkan Mahapatih Modo dalam pidatonya yang terakhir kali kudengar.

    Halusinasiku frekuensinya mulai kambuh semenjak aku pulang ke rumah. Terkadang aku mendengar suara gema iqamat, suara panggilan Eko padahal dia sudah tidur, dan suara bunyi televisi padahal tak ada televisi menyala seketika kupulang. Terkadang aku melihat wujud Kakekku, ibuku, dan ibu tiriku. Bahkan sebelum mau beranjak tidur, aku melihat Guntur duduk di atas kasurku.

    “Bos, kabarnya bagaimana?” itulah pertanyaan yang diajukan Guntur versi ilusi dan ia menghilang seketika seraya mata ini kukedip-kedip berkali-kali.
     
  7. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Paragraf Ketiga

    Dipenghujung semester ini, Kepsek berhasil merevisi game buatannya. Cerjab revisinya tak jauh berbeda dengan Cerjab sebelumnya. Hanya ada aturan tambahan dan untuk bermain Cerjab kedua pemain diharusnya punya suatu tempat layaknya brangkas untuk menyimpan soal dan jawaban jikalau mereka ingin berhenti sejenak alias mem-pause game. Selain itu jikalau diakhir imbang skornya atau belum ada yang berhasil mendapatkan poin, akan ditambah satu babak dan seterusnya sampai keluar pemenang.


    Peraturan-peraturan Cerjab ditulis di suatu gulungan kertas dan ia merencanakan akan mempublikasikan permainan ini ke teman-teman yang berintelek tinggi. Dari aturan-aturan yang ditulisnya, ada aturan yang mengelitikku; pemain tak boleh membuat cerita yang jenisnya sama melebihi satu cerita dan ceritanya mesti terkait dengan penjabaran cerita, minimal 40%. Kepsek pasti tak ingin semua pemain memakai jenis cerita seumpama cerita Bapak Joni.


    “Eka, apakah kau mau bermain Cerjab lagi denganku?” tawar Kepsek. Kursi Kepsek yang didudukinya disinari cahaya kejinggaan senja yang masuk dari jendela, mirip dengan visual effect film ketika para pahlawan yang datang mendatangi pengikutnya.


    Aku menjawab dengan isyarat gelengan lemah. Kurasa bermain Cerjab akan menjadi katalisator bagi Hatarx dan seperti yang aku duga, Kepsek sudah tahu aku mengidap Hatarx dari Bapakku dan informasi Hatarx didapati Bapakku dari Kidang. Ah, isu Hatarx tersebar cepat kepada orang-orang penting dalam kehidupanku. Tak apalah asal teman-temanku jangan thau sebelum aku memberi tahu mereka.


    “Mungkin Cerjab akan membuatmu stres,” sahut Kepsek mengaduk cangkir tehnya.


    “Eka, sebaiknya kau tak berbicara dengan wujud-wujud khayalanmu kalau semisalnya mereka mengajak bicara,” saran Kepsek lalu meminum tehnya. “Seumpamanya kau melakukan, aku berani menjamin racun Hatarx akan lebih bereaksi lebih tinggi ketimbang sebelum-sebelumnya.”


    Benar apa yang dikatakan Kepsek Panji. Kalau aku meladeni halusiansiku, frekuensinya tentu akan meningkat bahkan tajam seperti halnya polisi mengajak mengobrol penjahat dan akhirnya polisi menjadi lengah karena pembicaraan akrab tersebut lalu mati ditusuk atau ditembak penjahat.


    “Baik, Kepsek,” aku menuruti sarannya sebelum beranjak pergi dari ruangannya.


    “Sebelum pergi sebaiknya minum teh dulu.”


    “Oke, Kepsek.”

    ***

    Libur sudah tiba. Seharusnya penyelidikan paragraf ketiga bisa dimulai di pertengahan Desember tapi sayang, teman-temanku punya halangan sehingga penyelidikan baru bisa dimulai di minggu-minggu akhir bulan ini, tepatnya di tanggal 27 Desember 900. Itupun anggotanya harus berkurang karena Guntur, Dina, dan Kosim merasa tak sanggup untuk ikut-ikutan penyelidikan. Spekulasi mereka takut mati lumayan kuat alibinya,. Ah, terpaksa penyelidikan ini hanya bisa diikuti Rina, Ellena, dan anggota baru yang bertindak sebagai pengawas, Kidang.


    Di sore ini, aku memperkenalkan Kidang kepada Eri. Seperti biasa, aki-aki tersebut hanya mesem ketika bersalaman dengan gadis tersebut. Eri hanya membalas dengan senyuman lebar yang menurutku terpaksa.


    Sebelum memulai, Kidang menjelaskan tujuannya ada di sini, siapa sebenarnya dia, divisi IV, empat kolom terakhir paragraf kesatu, membantahan asumsi Eri–atas permintaanku, dan kecurigaannya kepada para petinggi Bhayangkara Yabar dan Nusatoro. Kidang memberi tahu kepada kami bahwasanya ia sekarang pensiun dan tinggal sendiri di suatu rumah yang diceritakannya ukurannya tidak terlalu besar dan bergaya modern. Uang hasil pensiunan militer dan tabungannya bisa dikatakan cukup, kata Kidang. Aku penasaran dengan rumahnya.


    “Pak Kidang, apakah menurut anda akan terjadi peristiwa di tanggal 30 Desember 900?” Ellena menanyakan pendapat Kidang. Raut mukanya serius.


    “Kalau tertulis di paragraf kedua, sudah dipastikan akan terjadi. Tapi masih bisa dicegah.”


    “Apakah Bhayangkara Yabar sudah bersiaga pada tanggal 30?” tanya Rina dengan pandangan dinding kepada Kidang. Seperti kemarin lalu, ia duduk di sebelah teman barunya.


    “Menurut Jaka, petinggi Bhayangkara baru tidak mengeluarkan operasi besar-besaran pada tanggal 30. Tapi Jaka akan mengakali atasannya untuk bersiaga dpada tangal segitu. Menurutnya, para petinggi kurang menghiraukan temuan-temuan divisi IV dan itu menambah kecurigaanku kepada mereka.


    “Eka, menurutmu di manakah akan terjadi insiden? Gedung pemerintahan atau penjara atau tempat keramaian?” tanya Kidang meminta pendapatku.


    “Semua kemungkinan bisa terjadi, Kidang,” jawab semampu.


    Kidang menghela nafas lalu memperhatikan aku, Rina, dan Ellena. Tersenyum tipis ia dan kembali berkata seraya menepuk tangan, “Oke, mari kita mulai bekerja, pemuda-pemudi cerdas!”


    Entah sarkasme atau tidak, yang jelas Rina dan Ellena langsung bekerja dengan membaca seksama lembar terakhir Permainan Dunia, sedangkan aku hanya menjadi penonton. Ada Kidang yang seperti aku, mengamati kedua gadis tersebut bertindak tapi ia merupakan pengawas kami, bukan penonton penangguran sepertiku.



    Kidang terlihat mengenakan jubah putih, baju dalam oblongnya yang berwarna putih kelihatan dan tampak sebilah keris serta pistol di balik jubahnya. Pertahanan diri katanya. Selain itu, ia mengenakan celana hitam panjang hitam yang biasa ia kenakan saat menjadi satpam dan di kakinya ada sandal jepit yang pernah dikenakannya saat di restoran sate kambing. Ia terlihat melipat tangannya dan matanya fokus mengamati Rina dan Eri.


    Eri terlihat mengenakan kemeja kotak-kotak dan mengenakan celana jeans sementara Rina memakai baju dan rok yang sama seperti waktu di stasiun Yabar. Keduanya mengenakan sandal dan menurutku Ellena itu agak tomboi walaupun masih dalam kisaran normal. Aku berani menjamin kalau para lelaki sebayaku yang suka tipikal gadis rambut pendek akan menyukai bahkan jatuh cinta kepada temanku satu ini. Kebetulan Ellena senasib dengan aku, belum pernah punya kekasih.


    Aku pernah berandai-andai jika mereka bermain bersama ratusan anak kucing di tengah hamparan rumput. Mereka dikerumuni anak kucing yang warna bulunya bermacam-macam dan senang bukan main mereka berdua. Tersenyum bahagia terpapar dari wajah manis mereka. Mereka sangat menikmati bermain dengan mereka layaknya majikan dengan peliharaan. Sayangnya dalam realita, mereka berdua alergi dengan bulu kucing. Coba saja ada kucing masuk ke tenda ini, bisa kujamin mereka berdua bersin-bersin. Itulah yang kutahu setelah berteman lama dengan mereka. Kesamaan tersebut membuat mereka makin lengket saja, selengket Rina dengan Dina. Baguslah Rina punya teman dekat selain Dina.


    Buku Permainan Dunia ditaruh Rina di tengah meja. Sejenak kulihati angka paragarf ketiga:


    0 0 1 5 4 1 0 2 0 2 0 0 1 0 2 0 5 2 4 3 1

    1 1 5 4 0 0 5 1 4 2 0 0 2 0 6 3 0 1 2 0 0

    1 1 5 9 0 0 2 2 4 2 0 0 1 0 5 1 2 2 4 2 1

    1 1 8 3 0 0 6 1 5 2 0 0 2 0 4 0 4 0 0 0 0

    1 1 8 9 0 1 1 2 0 2 0 0 5 1 2 1 2 1 2 0 2


    “Lumayan susah ketimbang sebelumnya,” gumamku mulai meragukan apakah Rina dan Ellena bisa memecahkan angka ini secepat mungkin.


    Aku ingin mencoba membantu tapi terdengar suara gema Jaka di telingaku. Racun ini kabuh juga akhirnya setelah semenjak pagi aku bangun.


    “Jangan, Eka. Jangan.”


    Itulah yang diucapkan Jaka versi Hatarx. Tenang. Tetap Tenang, Eka.


    “Bos, ayolah pecahkan angka ini.”


    Kali ini suara Guntur. Wahai Guntur versi Hatarx, godaanmu tak akan cukup mengoyahkan pendirianku.


    Beberapa suara rayuan untuk memecahkan angka ini terdengar terus di telinga kiri dan kanan. Suaranya bermacam-macam, mulai dari Kepsek Panji, Kosim, Eko, Bapakku, sampai Kakekku. Tapi aku masih teguh dan tetap tenang. Tak mau stres aku karena suara-suara ini. Kuanggap ini suara-suara tersebut hanyalah dengusan Fursan saja (maaf ya Fursan).


    Suara-suara rayuan Hatarx mulai sirna dari telingaku setelah beberapa menit berlalu. Syukurlah.

    ***

    “Rina, menurutmu kolom satu dari baris pertama hingga terakhir mengartikan apa?”


    “Angka benar atau tidak, 0 dan 1,” jawab Rina seraya menuliskan sesuatu. Sepertinya ia menuliskan asumsi-asumsi tentang angka-angka paragraf ketiga.


    “Dan sepertinya kolom satu dan dua masih sejenis, Eri,” ujar Rina melirik sedikit kepada teman barunya sambil memutar-mutarkan pulpennya. “Apakah kamu punya asumsi pada angka-angka lain?”


    “Ada. Kolom dua sampai lima dari baris dua sampai lima mirip penanggalan tahun Levtxsan,” Eri berspekulasi. “Jadi maksud kolom satu apa?”


    “Kemungkinan kolam satu baris pertama yang ada angka nol bisa diartikan tanda minus seperti tahun sebelum masehi,” tambah Kidang membantu analisis mereka berdua.


    “Cukup kuat asumsi si Kidang,” kata Eri lalu membalas jasa aki-akai tersebut dengan senyuman hangat. Mantan satpam Panzer tersebut tersenyum sipu.


    “Angka-angka selanjutnya sepertinya bulan dan tanggal,” Rina berpendapat sesudah memperhatikan kolom selanjutnya sampai kolom kesepuluh.


    “Eri, carikan aku informasi kejadian-kejadian pada tanggal-tanggal kolom-kolom ini, versi penanggalan Levtxsan,” perintah Rina tegas layaknya ia sebagai ketua tim penyelidikan.


    Sepertinya aku hanya menjadi pajangan saja di penyelidikan ini. Menyedihkan tapi terpaksa. Kalau semisalnya aku bukan yang punya tenda ini, mungkin lebih baik sekarang aku di rumah saja dan menunggu pemberitahuan hasil analisa Rina-Eri.


    Dengan cekatan, Ellena mengambil ponselnya dari saku kemejanya dan tak sampai dua menit, ia mendapatkan apa yang diinginkannya dan menuturkan kepada Rina, “Tanggal 20 Oktober 156 sebelum masehi versi Levtxsan, kertas ditemukan bangsa Sino. Tanggal 14 Mei 1540 benua baru ditemukan bangsa Levtxsan. Tanggal 24 Febuari 1590, mesin cetak ditemukan oleh bangsa Levtxsan dan pembuatan buku secara masal dibuat lebih mudah dari sebelumnya.


    “Tanggal 15 Juni 1830, Kaizerh Hetazania memimpin Dakian keluar dari tembok dan melancarkan serangan ke berbagai negeri. Hari itu juga dunia mulai mengenal teknologi baru, lokomotif, mesin uap, dan alat-alat industri lainnya. Tanggal 20 November 1890, kalkulator ditemukan dan penemuan tersebut sebagai pionir teknologi komputer dan Cyborg.”


    Tanggal-tanggal penemuan yang mempengaruhi kehidupan manusia, sepertinya yang aku bisa tangkap dari tanggal-tanggal tersebut, walaupun tak semua tanggal dan bulan untuk penemuan kertas diverifikasikan benar. Tapi apa maksudnya? Itulah yang pasti dipikiran sekarang orang-orang di tenda ini selain aku. Tumben sekali penangalan ada tanggal sebelum masehi-nya. Pasti sang penulis tak mau memakai tanda “-“ mengingat paragraf ini adalah angka. Ia adalah seorang pemain angka dan tak memanfaatkan ilmunya untuk membuat kode-kode yang tak pernah dibuat oleh manusia sebelumnya.

    ***

    Angka selanjutnya mulai dilirik Rina sang leader. Kolom berikutnya mirip angka penanggalan versi Levtxsan lagi, kata sang leader. Tanpa basa-basi, Rina memerintahkan Ellena untuk mencari angka-angka penanggalan. Kharismanya keluar, membuat Ellena terpaku dan bersemangat bekerja atau lebih tepatnya membantunya. Kebutuhan dari pemimpin telah dipenuhi Rina. Hanya saja ada satu permasalahan; dia terlalu introver. Orang terdekatnya saja tak tahu masalah apa yang menimpanya.


    Tak masalah seorang introver kelas berat layaknya bekerja sebagai pemimpin di restoran atau perusahaan, yang dibutuhkan ditempat tersebut inteligensinya. Tapi kalau menjadi bupati atau camat, aku meragukannya karena seorang pemimpin masyarakat harus bagus dalam berkomunikasi sedangkan Rina itu orangnya pendiam, jarang berbicara bahkan membisu kalau ditanya suatu tak penting.


    “Bukan berarti dia tak bisa, Eka.”


    Bisikan tersebut seperti bisikan Kepsek Panji. Aku sedikit melirik ke sebelah kananku dan melihat wujud Kepsek Panji.


    “Iya, Pak. Kita sebagai manusia hanya bisa memikirkan teori saja, belum tentu penerapannya sejalan dengan apa yang dipikirkan.”


    “Betul itu. Rina bisa saja sukses memimpin suatu daerah walaupun dia introver berat.”


    “Eka, kau sedang berbicara sama siapa?” tanya Ellena penasaran melihatku mengobrol dengan halusinasiku, begitu juga dengan Kidang dan Rina yang memandangiku. Aduh, nasehat Kepsek gagal kupenuhi!


    “S-sama diri sendiri,” jawabku sedikit gugup. Semoga kedua temanku ini tak menanggapku gila.


    Terlihat senyuman tipis dari muka Kidang dan dari raut bisa kuartikan dia mengerti kalau racun Hatarx aku sedang kambuh. Sementara itu, Rina dan Ellena hanya bisa menggeleng-geleng saja sambil berkata, “Awas, bisa gila kalau keseringan bicara sendiri.” Terima kasih atas doanya.

    ***

    “Rina, sepertinya tanggal-tanggal ini tidak memakai penanggalan Levtxsan!” seru Eri setelah tak mendapati informasi-informasi penting pada tanggal-tanggal yang dicarinya. “Kemungkinan ini penanggalan Dakian yang mengartikan tanggal-tanggal ini adalah tanggal yang akan datang, masa depan!”


    “Kalau begitu mari kita terjemahkna tanggal-tanggal ini,” ujar Rina lalu ia bersama Eri langsung menterjemahkan tanggal Dakian ke tanggal Nusatoro.


    Bagaikan simbiosis mutalisme, mereka berdua saling bekerja sama; Rina bagian menulis. Ellena bagian menterjemahkan. Dalam waktu tiga menit, mereka selesai dan menunjukan hasilnya kepada aku dan Kidang.


    “2001 dalam Dakian berarti tahun 901, begitu juga dengan tahun 2002 yang berarti 902 dan 2005 setara dengan 905,” jelas Ellena.


    “Kalau digabungkan dengan semua tanggal di paragraf satu dan dua, akan jadi begini:


    -1266-10-20, 430-14-5, 480-2-24, 15-6-720, 780-11-20,820-04-01, 820-09-11, 840-01-07,860-04-02, 879-12-16, 880-12-05, 890-11-04, 899-10-20, 900-11-02, 900-11-09,900-12-30, 901-01-05, 901-02-05, 901-04-16, 901-05-03, 901-05-12 dan 901-07-21, 902-04- 04, 902-06-30,905- 12-12.


    “Semua penanggalan telah dikumpulkan. Tinggal empat kolom lagi dan paling hanya kode nama seperti paragraf pertama,” tutur Rina yakin. Sambil mengepalkan tangan kirinya untuk memantapkan keyakinannya, kontras dengan mukanya yang datar.


    “Ada dua puluh lima tanggal dan yang masih berada di era ke depan hanyalah sepuluh tanggal saja,” tambah Ellena.


    Ehm, dua puluh lima tanggal. Kalau aku pakai sudut pandang Eri; konspirasi tingkat tinggi suatu kelompok yang bisa disebut kelompok X. Kelompok X bergerak semenjak kertas ditemukan. Mereka mulai meluaskan pengaruh sampai benua Levtxsan dan ikut dalam kejadian-kejadian penting dari abad kelima sampai sekarang. Kelompok X adalah kelompok yang menancapkan pengaruhnya mendunia. Ah, suduh pandang ini terlalu absurd untukku. Logikaku tak sampai kalau ada suatu kelompok sudah hidup dari abad kertas ditemukan.


    Menurut sudut pandangku, si penulis sengaja memakai tanggal-tanggal kejadian berpengaruh kepada manusia karena ia ingin eksistensi kekuatannya dikenal. Semua tanggal yang telah terjadi di berskala global bukan ulah mereka. Kalau skala Nusatoro mungkin seperti Jorong II dan Aftarus. Aku punya alibi kuat pada spekulasi ini tapi bisa saja hipotesis ini salah di kemudian hari. Hukum relativisasi sangat berpengaruh di ranah asumsi.


    “Kidang, apakah kau sudah punya rencana untuk bertindak pada tanggal-tanggal yang akan datang?” tanya Rina dangan lirikan serius.


    “Bukan aku yang berencana. Jaka-lah yang akan berencana dan bertindak,” jelas Kidang. “Jangan pernah remehkan Jaka dalam membuat rencana. Ilmu perencanaannya satu dua dengan Kepsek Panji!


    “Aku yakin setelah kuberi tahu informasi ini, ia akan langsung menyusun rencana untuk menyegah terjadi peristiwa yang tak diinginkan. Jaka pernah bersumpah akan menangkap Aftarus dan membongkar maksud penulis Permainan Dunia!”


    Rina dan Eri menepuk tangannya, kagum atas kepribadian Jaka dalam penjabaran Kidang. Semoga Senopati bisa menangkapnya kalau Aftarus tampak lagi.


    ***

    Rina dan Ellena mulai fokus ke empat kolom terakhir. Jam arlojiku sudah menunjukan jam 5.15, 20 menit lagi pak RT akan datang untuk memintaku untuk mengembalikan meja ini. Semoga penyelidikan ini bisa secepatannya selesai dan tak berlanjut pada pekan depan.


    Di tenda ini kami hanya berempat dan sepertinya kesempatan ketujuh untuk menyatakan perasaan terbuka lebar bagiku. Beberapa kali kesempatan datang seperti bertemu dengannya di jalanan tapi layaknya mental pengecut, aku tak berani melakukannya walaupun di tempat yang sempit. Aku heran dengan orang-orang yang sering gonta-ganti kekasih. Mengapa mereka bisa gampang menyatakan perasaan? Apakah sudah terbiasa? Bisa kujawab iya. Orang sudah terbiasa tak akan terbawa beban seperti binaragawan dapat menangkat barbel 10 kiliogram karena sudah sering latihan dan terbiasa.


    “Selesai,” Ellena seraya menghela nafas. Ia tersenyum bahagia setelah berhasil memecahkan semua kode angka ini. Sekitar tiga menit mereka manfaatkan untuk memecahkan angka-angka ini. Hebat. Kalau aku yang melakukannya mungkin baru selesai empat menit.


    Kertas bekas tulisan Rina ditaruh di tengah meja. Kode-kode dari tanggal-tanggal yang akan datang tertera dan aku mencoba membacanya;


    2431 = ZHEI

    1200 = IZOO

    2421 = ZHZI

    0000 = OOOO

    1202 = IZOZ

    Banyak angka duanya dan nol. Berbeda dengan paragraf satu yang dominannya hanya angka nol. Nama-nama kode yang aneh menurutku.


    “Selesai akhirnya,” Ellena seraya menghela nafas lalu menatap Kidang. Tatapan bola matanya yang hitam terlihat serius. Bayangan Kidang terbentuk di bola matanya, menurut pengamatan kacamataku setelah ditambah jarak penglihatnanya. “Ki, semua paragraf telah diselesaikan. Apakah dengan ini Senopati bisa mengungkap siapa pelaku Jorong II?”


    “Belum pasti. Tapi ini membantunya untuk mengetahui apa yang akan terjadi kelak,” jawab Kidang.


    “Terima kasih atas bantuannya, Ellena, Rina,” tutur Kidang lalu bangkit dari kursinya dan tersenyum kepada mereka berdua. Aku tak disebut?


    Ellena membalas dengan senyuman hangat sementara Rina menanggukkan kepalanya, wajahnya datar seperti biasa. Kertas-kertas yang berisi spekulasi mereka berdua diberikan Ellena kepada Kidang. Kidang memasukan kertas-kertas tersebut yang berjumlah lima lembar ke dalam saku jubahnya setelah dilipat dengan hati-hati. Buku Permainan Dunia dikembalikan Rina kepadaku. Timbul rencana untuk segera menyatakan perasana sesaat Rina keluar dari tenda. Kesempatan yang bisa kubilang terakhir di tahun ini mengingat Rina akan pergi liburan bersama Dina sampai awal tahun baru.


    “Kesempatan bisa saja tak akan datang lagi, Eka,” bisik suara Kosim di telinga kiriku.


    Hiraukan bisikan Hatarx! Hiraukan!


    “Wahai pemuda, jikalau kesempatan sudah muncul, segeralah nyatakan!” bisik suara Bhre Cakra di telinga kanan.


    “Wahai perjaka berkacamata hitam, cinta itu indah, menyenangkan sekaligus menyakitkan. Manfaatkanlah sebaik mungkin jika orang kau suka masih ada!” bisik Mahapatih Modo di telinga kiriku.


    Bisakah kalian diam? Aku tak akan gila karena bisa ini dan kau, Mahapatih Modo versi Hatarx, ini debut pertamamu membisikku dan tak pernah kusangka kalau kau cukup romantis.


    Suara-suara bisikan lenyap. Syukurlah. Jadinya aku tak perlu membuka mulut ini dan memarahi suara-suara tanpa wujud tersebut. Lagi pula setahuku, marah-marah dapat mengkatalis Hatarx.

    ***

    “Kami pulang dulu ya,” seru Rina dan Ellena sambil melambaikan tangan lalu keluar dari tenda ini, bersama-sama.


    Kidang yang baru saja membalas lambai tersebut dengan lambaian juga bangkit dari kursinya. Kedua tangannya dimasukan veteran tersebut ke dalam saku celana. Ia melirik ke semua tempat di tenda ini, mendesah setelah itu. Matanya memandang mataku. Tersirat tatap serius dari matanya yang hitam. Dengan ruat santai, ia berkata, “Penyelidikan Permainan Dunia sudah selesai. Tapi bukan berarti aku dan Jaka tidak membutuhkan kalian lagi. Suatu saat mungkin kami akan meminta bantuan kalian.


    “Tak tahu bagaimana caranya kami membalas kebaikan kalian yang bekerja tanpa pamrih. Kami sebenarnya bisa memberikan kalian upah berupa uang tapi berikan aku penjelasan, kenapa Rina dan Ellena tak mau dibayar?”


    “Mereka menikmati penyelidikan angka. Mereka orang jenius, ber-IQ tinggi. Tak lama lagi mereka akan menjadi orang-orang hebat,” jelas aku mengutarakan pendapat. “Aku yakin, di umur mereka ke dua puluh lima, nama Rina akan terkenal sebagai koki hebat sedunia sementara Ellena merupakan penyelamat banyak ibu dan bayi.”


    Kidang mengerti dengan tandanya menangguk-angguk disertai senyuman tipis. “Mereka memang wanita-wanita muda hebat. Sejak negeri ini menerapkan egaliter, banyak wanita hebat bermunculan di berbagai aspek masyarakat. Apakah kau suka dari antara mereka berdua?” tanya mendadak Kidang disertai seringai di muka reotnya. Tak pernah diperkirakan sebelumnya pertanyaan tersebut keluar dari mulutnya layaknya serangan dadakan suku pedalaman kepada pasukan kompeni di hutan tropis.


    Aku gugup. Detak jantungku bertambah cepat. Keringatku mulai keluar dari kelenjar-kelenjar minyak di sekitar mukaku. Bingung harus memilih menjawab dengan jujur atau mengelak. Kalau bohong, lama-lama akan ketahuan dan berdosa. Kalau jujur, paling ia hanya menggodaku terus. Resikonya hanya malu saja. Baiklah, sudah kutentukan; aku akan mengatakannya. Tahan malumu, Eka!


    Aku menjabarkan kepadanya siapa yang aku suka, kenapa aku suka kepadanya, dan nazarku. Singkat dan padat tapi gugup dan rasa malunya setengah mati. Selesai menjelaskan, aku langsung menghela nafas lega.


    “Ah, darah muda darah asmara,” Kidang menyeringai di depan hadapanku.


    “Sebaiknya kamu cepat bergerak untuk menyatakan perasaan karena aku khawatir racun yang ada di tubuhmu akan bereaksi lebih kejam pada bulan depan.


    “Lakukan sekarang, Eka,” perintahnya seraya menunjuk pintu tenda ini. “CEPAT!!”


    Pada dasarnya aku tak ingin melakukannya sekarang, malu berat kalau seandainya dilakukan. Tapi benar apa yang dikatakan Kidang, aku harus bergerak sekarang juga sebelum Rina meninggalkan tempat ini lebih jauh.


    Aku bangkit dari kursi dan berlari dengan secepat mungkin. “Semangat ya,” seru Kidang menyeringai sambil melambai-lambaikan tangan, memberi semangat.


    Aku keluar dari tenda. Cahaya sore yang kejinggaan membuat mataku kaget dan menjadikan kedua mata ini menjadi sipit sementara. Menoleh kesana-kemari, tapi tak terlihat Rina. Yang ada hanyalah alang-alang dan lapangan bola di mana banyak bocah masih bermain bola serta Fursan yang makan rumput di dekat pohon beringin. Meringkik-ringkik si Fursan, pertanda ia puas makan rumput terus.


    Kacamata ini langsung menaikan jarak jangkau mata layaknya teropong setelah menerima perintahku. “Ketemu,” gumamku senang melihat Rina masih ada di sekitar lapangan ini. Ia bersama Eri terlihat sedang memandangi anak-anak bermain bola di dekat hamparan alang-alangan. Sepertinya mereka berdua sedang berbicara dan tak terdengar sampai sini suaranya mengingat jarak tempat ini dengan tempat Rina sekitar 20 meter dari sini.


    “Lari!!” seruku bersemangat berapi-api, walaupun di dalam jiwaku aku gugup dan malu.


    “Awas jatuh!!” ingatkan Kosim versi bisikan Hatarx.


    “Semangat, Bos,” seru suara Guntur Hatarx.


    Setelah berlari kencang, aku sampai di tempat Rina berada. Kedua perempuan tersebut kebingungan sepertinya tapi yang menunjukan raut ‘apa yang sebenarnya terjadi’ hanya Ellena saja, Rina masih mukanya datar. Mereka memperhatikanku menghela-hela nafas dan setelah paru-paru merasa lebih enak, aku berdiri tegak dan berusaha untuk mengatakannya, tapi aku tak tahu harus berkata apa?!


    Gugup habis aku. Otakku buyar pikirannya untuk menyusun kata. Begitu juga lidah ini yang terasa berat untuk berkata. Minimal sepatah kata. Tak usah panjang-panjang karena rasa malu dan gugup ini sudah mencapai tingkat batasnya. Badan dan wajah basah akan keringat yang terus mengucur. Batinku berkata seharusnya aku bernazar puasa seminggu saja ketimbang menyatakan perasaan yang untung di sisi pahala maupun kesehatan.


    “A-a…” kebingungan aku untuk berkata. Di depan hadapnku, Rina dan Ellena kebingungan dan heran. Sampai-sampai Ellena berbisik kepada temannya, “Apa yang ingin sebenarnya Eka mau katakan?” Dan dijawab dengan gelengan lemah.


    “Kelamaan Eka. Paksakan dirimu!!” ujar Kepsek Panji versi Hatarx yang terlihat berdiri di sebelahku sesaat kumelirik ke kanan. Terlihat ia melipat tangannya dan memperhatikanku dengan raut serius. Wujudnya akan hilang segera. Pasti.


    “R-Rina, se-se..”


    “Terlalu lama!!” seru Bapakku versi Hatarx. Ia berdiri di sebelah kiriku dan menatapku dengan serius. Ah, kenapa muncul dua orang ini! Memangnya ini acara meminang?!


    “RINA SEBENARNYA SUDAH LAMA AKU SUKA PADAMU!!”


    Akhirnya, nazarku terpenuhi juga. Detak jantungku kembali normal tapi belum total. Badanku tak bergetar lagi. Beban hidupku berkurang sudah. Aku langsung menoleh ke belakang, tak sempat melihat reaksi Rina ataupun Ellena. Terdengar suara tepuk tangan dari Kepsek dan Bapakku versi Hatarx lalu wujud mereka menghilang. Sudah lega aku tapi malu berat aku gara-gara pernyataan tersebut. Seharusnya aku tak berteriak, terlebih menambahkan “sejak lama” karena aku mulai suka dia lagi semenjak Oktober. Beberapa anak kecil menghentikan permainan mereka dan terdengar tawaan mereka. Di tempat lain, depan tenda, terlihat Kidang bersandar di pintu masuk tenda dan cengar-cengir sendiri. Ini gara-gara teriakan tadi, Eka!!


    Oke, lupakan masalah mengutuk diri sendiri. Sekarang aku harus berlari secepat mungkin ke perkampungan lalu melompat ke empang untuk meluapkan rasa malu ini. Tak masalah menabrak anak-anak kecil atau berenang bersama ratusan lele di empang yang penuh dengan kotoran manusia. Aku merasa hari ini adalah hari terakhir aku hidup sebagai manusia normal. Baiklah Eka, ayo mulai ancang-ancang lari dari sekarang.


    “Aku juga suka padamu.”


    Seperti suara Rina, tapi berbeda dari biasanya. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Semoga bukan suara Hatarx.


    Angin sore terhembus kencang. Mataku tercenang dan terpukau melihat rambut panjang dari Rina terhempas-hempas oleh angin, elok!! Ia tersenyum bahagia dan matanya berbinar-binar sambil berlinang air mata. Baru pertama kalinya aku melihat ia tersenyum seperti ini dan juga menangis! Kedua tangannya didekapkan di dadanya layaknya orang berharap. Sedikit merah mukanya. Ini pertama kalinya badanku membeku melihat seorang gadis tersenyum manis seperti ini di depan hadapanku.


    “Senang aku mendengar kau juga suka denganku,” ujarnya sambil sesenggukan.


    “Rasanya ini hari terbaik dalam hidupku selama ini,” tambahnya yang kurasa agak hiperbolis.


    Rasanya persentase si Rina suka sama aku hanya dua puluh persen saja, sementara sisanya dicampakan dengan diacuhkan. Dan juga aku tak pernah membayangkan kalau Rina akanberubah drastis kepribadiannya dari orang tipikal dingin bisa seperti ini. Kalau lebih memilih, aku akan pilih kepribadian yang dingin saja. Kalau seperti ini, lebih baik di waktu-waktu tertentu saja seperti sekarang dan itulah yang membuat Rina unik di mataku. Suatu tak biasa akan menjadi spesial seperti jarang makan gurame asam manis karena alasan finasial akan menjadikan gurame asam manis spesial saat dimakan.


    Aku bingung kenapa ia bisa suka denganku? Sejak kapan ia mulai suka denganku? Ah, itulah yang aku tak mengerti dengan cinta. Dari dulu aku tak merasakan Rina suka sama aku kecuali ketika kejadian nasi goreng unta yang menaikan kemungkinan suka. Tatapan dinginnya tak pernahku lihat dalam-dalam mengingat aku agak takut menandang lawan jenis. Kalau sesama jenis sering aku dulu sehingga aku tahu apakah Guntur berbohong atau tidak. Orang yang tak pandai bohong akan menunjukan tanda-tanda di tubuhnya.


    “Selamat,” seru Ellena menepuk-nepuk tangan dan senang melihat kami berdua saling menyatakan perasaan.


    Ehm, rasanya aku perlu menjelaskan kepada Rina maksud dari pernyataanku mengingat bisa saja terjadi kesalahpahaman fatal; Rina menanggapku sebagai kekasihnya sementara aku menanggapnya sebagai teman yang disukai. Dengan terpaksa aku menjelaskan nazarku saat kejadian Aftarus kepada mereka.


    “Aku juga tak ingin berpacaran,” ungkap Rina seraya tersenyum tipis lalu menyeka dengan tangan kirinya. Pernyataan tersebut membuat Ellena dan Kidang tercenang. Syukurlah. Kita sepaham sepertinya, Rina.
     
  8. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Blitzkrieg

    “Kalian harus tahu bagaimana cerita saat kami habis-habisan bertempur melawan mereka. Sangat menegangkan, sangat heriok, sangat berdarah, sangat brutal, sangat dramatis, dan sangat sadis,” tutur Kidang kepada kami dengan hiperbolis versinya.


    Sekitar empat hari lalu, terjadi peristiwa besar di tanggal 30 Desember yang disebut media massa dengan sebutan “Pertempuran Cyborg”. Aku, Kosim, Rina, dan Ellena yang ada di siap mendengarkan cerita lengkap kejadian Pertempuran Cyborg. Selama ini, kami hanya mendapati dari media tentang kejadian 30 Desember, tapi tidak selengkap dan seseru dengan cerita yang akan diceritakan oleh salah seorang yang ikut di kejadian tersebut, Kidang.


    Selama tanggal 30 Desember 900, Kidang melarang kami untuk pergi keluar karena akan terjadi sesuatu yang bisa membahayakan dan terbukti itu terjadi, darurat militer. Sebagai gantinya, ia akan menceritakan secara gamblang kejadian 30 Desember. Terlihat raut penasaran kelas berat dari Kosim dan Eri, sedangkan Rina telah kembali ke pribadian semulanya; datar mukanya, dingin suaranya sesaat berkata, dan tatapannya kosong bak Kepsek Panji.


    Tapi ada yang berbeda darinya. Ketika ia melirikku, Rina yang duduk di sebelah Ellena tersenyum tipis dan berkaca-kaca membuatku sedikit memalingkan kepala, tak sanggup menahan rasa malu ini aku. Senang bukan main sepertinya melihat orang disuka Rina ada di dekatnya mengingat ini baru pertama kalinya kami bertemu setelah kejadian 27 Desember. Aku beranikan diri dan membalas senyumannya dengan senyuman juga. Semua yang ada di dalam tenda tersenyum kecil dan Ellena meledek, “Enak ya kalau orang yang disukaimu juga suka denganmu.”


    Aku hanya tertawa kecil sedangkan Rina menundukan kepalanya, menyembunyikan rasa malunya di tengah wajahnya yang datar sedikit memerah.


    Terlihat Rina dan Ellena memakai pakaian yang sama seperti tanggal 27 Desember. Hanya saja yang membedakan si Eri memakai rok panjang berwarna cokelat sedangkan Rina memakai rok panjang berwarna kejinggaan. Di pihak pria, terlihat Kosim mengenakan kaus oblong, celana panjang cokelat yang sepertinya celana sekolah, dan peci hitam sementara Kidang memakai pakaian sama terakhir aku bertemu dengannya. Hanya saja jubahnya sekarang berwarna hitam. Pertanda sedang garang-garangnya dia menurut penafsiran liarku.


    Melihat pakaian yang dikenakan Rina, batinku berkata, “Rina, tambah cantik kau kalau memakai baju yang kau kenakan.” Dan membuat mataku akhu memandang ke tempat kalau tak mau ketahuan. Ah, aku terlalu pengecut untuk mujinya terang-terangan.


    ***

    Banyak yang sudah mengetahui aku menyatakan perasaan seperti Bapakku, Guntur, dan Dina. Sepertinya ketika aku masuk sekolah di hari Senin, 5 Januari, semuanya bakal cengar-cengir dan menggodaku habis-habisan layaknya Bapakku waktu aku kembali ke rumah setelah merapikan tenda. “Akhirnya, aku punya mantu juga,” godanya menyeringai. Harusnya aku minta Eri dan Kidang untuk tak menceritakan kejadian penyataan perasaan aku dan Rina.


    Hanya ada Kosim, Rina, Ellena, aku, dan Kidang di tenda ini. Kosim ikutan karena aku memberi tahunya perihal penjabaran kejadian 30 Desember lewat ponsel. Awalnya aku juga mengundang Guntur dan Dina, anggota lama penyelidikan, tapi mereka punya acara keluarga sehingga mereka tak hadir di sore ini. Kasihan sekali mereka.


    “Kalian tahu bahwa Jaka setelah mendapati informasi paragraf ketiga, ia langsung menyusun rencana dan berdiskusi bersamaku. Setelah sukses membuat rencana yang terdiri dari dua rencana, Jaka diam-diam bertemu empat mata dengan Patih Yabar, Cahyono, dan Bhre Cakra di istana Yabar. Di sana, Jaka menjabarkan semua kejadian mulai dari Permainan Dunia, Jorong II, penyerbuan Aftarus, divisi IV, dan penyelidikan bocah-bocah masih tingkatan SLTA versinya. Ia memberi tahu bahwa ada yang tak beres di Bhayangkara Yabar.


    “Bhre dan Patih Yabar mengatakan kepada Jaka bahwasanya mereka merasakan ada yang tak beres di institusi Bhayangkara Yabar. Mereka ingin tahu siapakah yang menjadi Laskar Garong dan terjadilah pakta tak tertulis antara mereka dengan Jaka. Jaka diberikan otoritas layak seorang jenderal dengan memberikan kemampuan mengatur militer federal. Rencana pertamanya sukses!


    “Rencana kedua Jaka ialah menempatkan beberapa tentara federal yang setiap regunya berjumlah dua puluh prajurit di tempat-tempat persembunyian di sekitar tempat dikiranya berpotensi terjadi insiden. Jaka memberi komando kepada pasukan tersebut untuk keluar kalau terjadi kejadian semisalnya ledakan bom. Jaka membentuk lima puluh regu yang satu regunya berjumlah dua puluh personil prajurit terlatih.


    “Sesuai dengan rencana ketiga Jaka; Patih dan Bhre Yabar akan mengadakan pertemuan informal dengan para petinggi Yabar di saat 30 Desember. Para petinggi baik dari Bhyaangkara maupun militer federal tak akan mengetahui penempatan tentara mengingat ada alibi salah seorang bahkan lebih dari mereka bisa saja orang yang bertanggung jawab atas terjadinya insiden Jorong II.


    “Pada hari H, Jaka bersamaku menyamar menjadi penduduk sipil dan berjalan-jalan di sekitar wilayah perkantoran Tabet, mengawasi orang-orang yang lewat sekiranya mencurigakan. Pada jam 12.00, insiden mulai terjadi,” tutur Kidang yang memasang mimik pas ketika menceritakan sesuatu. Bagus Kidang, kau punya bakat menjadi pencerita!


    Ia menghela nafas terlebih dahulu. Mengambil secangkir teh yang sudah disiapkan. Seperti kebiasaannya, ia menghirup dulu aroma teh lalu meminumnya, perlahan-lahan. Kemudian ia kembali melanjutkan bercerita, “Ledakan bom di lantai sembilan belas menara Bank Yabar yang tingginya mencapai lima puluh meter. Kalian pasti sudah mengetahuinya dari media kan?”


    Serentak kami semua menangguk.


    “Ledakan tersebut mengagetkan semua yang ada di sekitar, termasuk kami. Orang-orang sipil panik dan orang-orang yang ada di dalam gedung Bank Yabar berhamburan keluar. Para tentara langsung keluar dari tempat persembunyian dan Jaka yang telah diberikan otoritas oleh Bhre memerintahkan sebagian para prajurit untuk melindungi dan memandu warga sipil ke tempat yang lebih aman. Sebagian lagi bersamanya untuk menyisir tempat ini karena Jaka merasa pelaku masih ada di sekitarnya.


    “Belum semenit berlalu, terjadi ledakan di lantai dua belas di gedung Wisma Yura yang ada di seberang gedung Bank Yabar. “Sepertinya akan banyak ledakan di hari ini,” kata Jaka kepadaku, dengan wajah serius dan kedua tangannya memegang kedua saku celana jeans. Setelah memberi pernyataan seperti itu, Jaka menghubungi tentara-tentaranya di berbagai tempat penting di Yabar. ternyata benar apa yang diduga Jaka, banyak gedung-gedung pencakar langit meledak. Setiap empat puluh detik berlalu, selalu ada ledakan dan mengegerkan kami berdua. Serangan cepat, blitzkrieg, telah dilancarkan orang musuh yang tak kami kethaui. Siapa yang melakukan ini? Aftarus? Itulah yang kupikiran waktu itu.


    “Jam 12.10, kami bergerak ke tempat lain. Wilayah Bank Yabar dan Wisma Yura serta beberapa gedung pencakar langit yang terjadi ledakan disterilkan tentara dan polisi yang baru datang. Jaka mendapatkan informasi bahwasanya terjadi letakan di gardu-gardu listrik di distrik-distrik Yabar dan menyebabkan setengah wilayah Yabar mati listrik termasuk istana Yabar. Sepertinya musuh punya rencana tersendiri dengan mematikan listrik istana, kata Jaka tersenyum tipis. Tersirat sebuah rencana baru dari raut Jaka ketika itu.


    Kidang menghentikan sejenak ceritanya. Ia kembali meminum teh sampai habis. “Tambah tehnya,” pintanya tersenyum kepadaku dan kutuangkan teh manis yang warnanya kemerahan dari sebuah teko. Teko tersebut milik Ellena dan teh hangat yang ada di dalamnya dibuat oleh si empunya sendiri. Kidang sempat mengira teh ini adalah teh Levtxsan-zand yang dikenal enak dan mahal setelah menghirup sejenak aromanya bagaimana. “Ki, ini teh celup Briangan,” bantahnya secara halus dengan senyum meledek. Kidang hanya tertawa kecil mendengar ia salah, menyembunyikan rasa malunya sepertinya.


    Sehabis Kidang meminum cangkirnya yang sudah terisi penuh, ia kembali melanjutkan cerita, “Jam 12.30, tak ada lagi ledakan lagi, itulah informasi pertama yang kami dapati. Informasi kedua adalah muncul pasukan berjubah hitam dengan topeng mirip wayang Petruk bersenjatakan senapan mesin dan pedang berjalan dari segala arah menuju istana dan yang memimpin di tersebut adalah Aftarus. Aftarus, menurut informan kami, tangan kanan mekaniknya sudah betul dan diberitakan si Aftarus menembaki banyak tentara yang mencoba menghalangi jalannya dengan gatling gun-nya. “Pasti ada seorang profesor atau ahli mekanik yang memperbaiki tangan Aftarus,” ujar Jaka kepadaku setelah mendapati kabar Aftarus.


    “Kami sempat berdebat siapa yang membetulkan tangan mekanik Aftarus. Jaka berasumsi orang negeri inilah yang membetulkannya, tapi aku menyangkalnya karena menurutku belum ada ahli mekanik atau profesor asil Nusatoro yang mampu membuat tangan Cyborg. Hanya orang dari negari seperti Dakian, Amrik, Rus, Israel, Sino, dan Levtxsan yang kurasa bisa melakukannya. “Mahaguru, kau selalu mencurigai orang luar negeri,” katanya mengingatkan aku. Aku hanya bisa bilang “iya iya” saja padanya.


    “Kami bergerak menuju tempat pertempuran sedang berlangsung dengan mobil-mobil militer. Kondisi kota saat itu benar-benar sedang panik dan Patih Cahyono melalui siaran televisi melarang penduduk sipil untuk keluar dari rumah setelah mendapatkan izin dari pusat. Yabar benar-benar darurat militer, itulah kata yang terlontar dari mulut ini mengetahui Patih. Apakah kalian menuruti perintah militer?”


    Kami semua menangguk. Aku terkejut bukan main akan ada kejadian darurat militer pada saat itu. Kukira kejadiannya akan seperti waktu Aftarus ternyata tidak! Selama hari darurat militer, aku menghabiskan waktu dengan bermain di kandang kuda, menulis blog, dan berusaha untuk melawan racun Hatarx yang kambuh seperti biasanya.


    “Bagus. Itulah warga negara baik,” serunya senang menepuk kedua tangannya dengan keras.


    “Oke, kembali ke cerita. Seketika kami sampai di tempat kejadian perkara–dengan mengenakan baju seragam militer, pasukan bertopeng Petruk terus maju ke istana yang tinggal 100 meter. Semua bangunan di sekitar tempat ini banyak yang hancur dan sepertinya ditinggalkan warga sipil mengingat tentara memaksa mereka untuk mengungsi.


    “Jika kalian bertanya-tanya kenapa banyak reruntuhan bangunan akan aku jelaskan; ada lima artileri dikerahkan untuk menghancurkan Aftarus, tapi semuanya meleset tembakannya. Malahan para prajurit yang membawa artileri jadi sasaran segar Aftarus. Dan perlu kalian ketahui, banyak bom yang disembunyikan pasukan Konfederasi di banyak bangunan untuk membunuh musuh yang bersembunyi atau yang ingin lewat.


    “Banyak tentara angkatan darat Nusatoro tewas yang mayoritas di tangan Aftarus. Aftarus lebih gila dan meningkat kemampuan tembaknya serta kelincahannya semenjak terakhir kali aku bertemu denganya, itulah hasil pemangatan kasarku dari teropong. Aku melihat dia menembaki musuh tanpa belas kasihan, membabi buta, dan girang melihat musuhnya meringis kesakitan. Ia tega menembaki seorang prajurit yang sedang diobati anggota palang merah dari jauh. Jarak tembak gatling gun-nya bisa mencapai 50 meter, dua kali dari sebelumnya. Dan juga aku menghitung gatling gun-nya dapat melontarkan 900 peluru sebelum diisi ulang.


    “Selain itu, seumpamanya detektor, ia dapat mendeteksi semua musuhnya radius 20 meter dan menyerangnya dengan pedang panjangnya yang bisa kubilang lebih tajam dan menyakitkan kalau kena hempasannya, walaupun sedikit. Tikaman, sabetan, hempasan, dan berbagai macam istilah serangan yang menyeramkan diterapkan Aftarus. Banyak prajurit yang tak sempat melarikan diri akhirnya menjadi santapan monster robot tersebut,” tuturnya mengeleng-geleng dengan raut iba. Rasanya ia kasihan dengan nyawa-nyawa prajurit yang mati secara sadis di tnagan Aftarus. Hanya aku sepertinya yang bisa merasakan sepenuhnya bagaimana kejamnya Aftarus. Semoga aku tak bertemu dengannya!


    Ehm, aku penasaran apakah Aftarus berakhir dengan kabur dari kejadian itu atau berhasil ditangkap atau mati karena tembakan bazoka? Sebaiknya kutunggu cerita Kidang sampai ke tahap sana.


    “Bagaimana rupanya Aftarus si Cyborg, Ki?” tanya Kosim penasaran mewakili Rina dan Eri. Terlihat Rina yang datar mukanya dan Ellena yang rautnya berkata ‘ingin tahu’ menunggu penjabaran Kidang tentang Aftarus. Kedua perempuan ini tak merasa geli dengan Aftarus, malah mereka tertarik mendalami cerita Aftarus.


    Kidang dengan senang hati menjelaskan rupa Aftarus. Persis dengan kenyataan apa yang dijabarkan Kidang. Ia tak menambahkan kalau Aftarus bergigi taring laksana harimau atau mengeluarkan nafas api atau jenis hiperbol lainnya untuk menambah keseraman dan kegarangannya. Baguslah.


    Kidang kembali melanjutkan bercerita, “Tak hanya Aftarus saja yang jago, pasukannya bsia kubilang sangat ahli menembak dan mahir bertempur jarak dekat. Mereka sepertinya menguasai ilmu bela diri tapi berbeda dengan silat. Mungkin jenis bela diri mereka campuran antara karate, judo, dan muay Thai. Senjata tajam mereka tak lain pedang dan kapak, berbeda dengan tentara yang memakai pisau dan golok.


    “Aku dan Jaka berserta tentara yang kami bawa berkisar tujuh puluh orang tak mau hanya menonton pembantaian ini. Pada jam 13.10 setelah lima menit sampai di sini, Kami ikut membantu mereka dan ketika aku mendongak, aku melihat jet-jet tempur dan helikopter terbang di atas langit. Bantuan angkatan udara diharapkan membantu kubu Yabar tapi tak pelak, Aftarus yang melihat bantuan tersebut langsung mengganti tangan mekaniknya dari gatling gun menjadi sebuah tangan baru yang bisa kubilang mirip moncong meriam tank, turrent tank!


    Turrent tersebut panjangnya kira-kira satu meter. Diameter lubangnya tak terlalu jelas di mataku yang sudah tua. Turrent tersebut diarahkan ke sebuah helikopter yang berada di ketinggaan sepuluh meter. Dalam waktu empat detik, keluarlah suara ledakan bak tembakan meriam dan asap tebal dari tangan mekanik tersebut. Aku mendongak dan melihat helikopter yang sedang menembaki musuh–yang sedang kocar-kacir–meledak. Tak ada yang selamat kru helikopter. Mereka hangus mengenaskan,” tutur Kidang mengernyit sambil menggeleng kepalanya.


    “Tangan mekanik baru Aftarus memang menakutkan. Semua yang melihatnya merasa ngeri. Tak berani lagi untuk maju dan berjibaku dengannya. Semua prajurit langsung duduk di puing-puing bangungan dan menekur dengan raut kecut. Masing-masing mengatakan bahwa tak mungkin mereka menang melawan monster tersebut. Tapi Jaka langsung mengubah mental pengecut mereka menjadi mental pejuang dengan kata-katanya yang dilontarkan dengan lantang, “Pasukan Konfederasi. Apakah kalian tak malu melihat aku, seorang Senopati Kepolisian, dan orang tua di sebelahku yang merupakan veteran masih bisa berdiri gagah? Kita bisa mengalah bahkan menghancurkan monster tersebut dengan bazoka!!”


    “Semua prajurit langsung terbakar dengan pidato Jaka yang cukup berkharisma. Saat itu, aku bisa melihat bayangan seorang pemimpin besar di negeri ini di diri muridku. Beberapa prajurit langsung mengambil beberapa bazoka dari mobil-mobil mereka. Jaka memerintahkan kepada mereka untuk bersiap menembakan ke arah tangan mekanik Aftarus yang merupakan titik terkuat dari Cyborg tersebut sekaligus terlemah. Saat Cyborg yang ada di tengah jalan raya tersebut sedang mengisi ulang peluru turrent-nya–yang diperkirakan akan berlangsung dua-tiga menit mengingat mengisi turrent itu tak gampang, tiga prajurit bersembunyi dibalik reruntuhan bangunan ruko dan bersiap menembaknya dari jarak 30 meter. Tinggal menunggu komando Jaka.


    “Tapi masalah datang. Beberapa pasukan Aftarus berkisar sepuluh orang mendeteksi keberadaan kami dan bergerak ke tempat kami berada. “Mahaguru, tolong bawa delapan orang dari dua puluh prajurit elitku untuk menyerang pasukan musuh yang bergerak. Segera!!” perintahnya seolah-olah ia atasanku.


    “Aku langsung menurutinya dan urban warfare akhirnya terjadi…”
     
  9. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Urban warfare


    “Kami mulai bergerak ke area musuh berada sekitarnya arah jam 10 dari tempat kami berada. Semua mata prajuritku dalam kondisi siaga termasuk aku, melirik kesana-kemair. Jika yakin tak ada musuh di kanan-kiri, aku akan mendongak, demi mengetahui apakah ada serangan dari atas atau bangunan yang berpotensi menjadi sarang sniper.


    “Dan dugaan liarku terbukti benar, beberapa prajuritku di sisi kanan tertembak di kepala, headshot, dari suatu tempat tak diketahui kami. Mulai panik prajuritku dan aku melirik kesana-kemari mencari gedung tinggi di sekitar. “Ketemu!!” lontarku saat melihat sebuah ruko yang punya tiga lantai dan berdiri kokoh sekitar 40 meter dari tempat ini. Aku langsung menyemangati pasukanku dan menyuruh mereka ke tempat aman dari tembakan sniper.

    “Kami bersembunyi di sebuah reruntuhan tembok. Tempat kami bersembunyi cukup aman karena jikalau ada tembakan baik sniper atau prajurit musuh biasa, harus bisa menghancurkan tembok-tembok di sekitar kami yang tingginya kurang lebih satu meter.


    “Di tempat persembunyi ini, aku bersama lima prajuritku menyusun taktik dan terdengar bunyi tembakan–baik dentuman artileri maupun tembakan jet dan senapan– yang tak pernah berhenti-henti. Terdengar juga suara ledakan dari langit. Aku mendongak dan terkejut bukan main melihat jet yang ketinggiannya ratusan bahkan ribuan meter dari permukaan meledak dan pelakunya pasti Aftarus!! Apakah ia memakai turrent atau tangan mekanik jenis barunya, surface-to-air-missiles, aku tak tahu. Yang pasti negara telah rugi banyak karenanya dan ia adalah momok menakutkan bagi militer negeri ini bahkan dunia. Tak pernah aku melihat musuh seganas dia, yang tak bisa dihancurkan dengan apapun kecuali misil berdaya ledak tinggi.


    “Setelah selesai menyusun taktik, aku memerintahkan salah seorang prajurit untuk bertugas menjadi Bekel dan terpilihan prajurit yang masih awam bernama Udin sebagai Bekel. “Bekel Udin, aku perintahkan kau untuk bergerak ke gedung itu secara diam-diam,” perintahku menunjuk gedung target. Bekel Udin mengerti dan bersama tiga prajuritnya langsung bergerak. Aku dan pasukanku tetap di sini untuk mengalihkan perhatian musuh.


    “Musuh bergerak ke tempat kami. Aku bersama prajurit-prajuritku menembaki mereka dari titik buta dan berhasil membuat musuh mundur. Pada jam 13.45 setelah 20 menit Bekel Udin bergerak, walkie-talkie-ku berbunyi dan Udin mengkonfirmasi bahwasanya regunya telah menemukan titik sniper dan menangkap sang sniper beserta spotter. Ia juga mengkonfirmasikan satu prajuritnya tewas karena tembakan sniper.


    Kidang sejenak menghela nafas dan minum teh, kelelahan akibat kebanyakan bicara. Semua berwajah tegang dan menunggu ia melanjutkan ceritanya termasuk aku.


    “Jam 13.55, aku dan Udin kembali bergabung dan aku mendapatkan informasi dari Jaka bahwasanya ia butuh bantuanku karena Aftarus mengendus keberadaannya dan sekarang, ia sedang bertarung satu lawan satu melawannya, golok lawan pedang. Semua pasukannya sudah dimampuskan Aftarus dan berat kata Jaka bertarung dengan Cyborg sendirian.


    “Kami langsung bergerak ke tempat Jaka dan di tengah perjalanan, kami terlibat beberapa adu tembak dengan musuh. Butuh enam belas menit untuk sampai ke sana dengan selamat dan pasukan yang kami bawa pun harus berkurang sampai dua orang saja, itupun Bekel Udin mesti terluka parah.”


    “Kidang, rupa Bekel Udin seperti apa? Masih muda atau sudah berumur seperti Jaka? Rupawan atau jelek? Apakah ia masih hidup sekarang?” tanya Ellena penasaran kelas berat, memotong cerita si Kidang. Ia tak termasuk tipikal gadis centil, malah sebaliknya, tapi jarang sekali ia bertanya rupa orang seperti apa. Tak apalah. Aku juga penasaran bagaimana rupa bekel dadakan saudara Udin.


    “Dia masih muda, kisaran dua puluh satu. Bisa dibilang tampan menurutku. Gesit dalam mengambil keputusan. Tak punya jenggot kegagahan seperti Jaka dan-“


    “Jenggot kegagahan?!” potong Rina kebingungan, mewakili apa yang sepertinya dipikirkan Ellena dan Kosim.


    “Jenggot yang lebat. Bewok dan cambangnya mirip orang Arab tapi lebih lebat seperti gorila. Dan juga misainya tebal,” terang Kidang sambil memperagakan ukuran jenggot muridnya. “Jaka menyebut jenggotnya sebagai ‘jenggot kegagahan’ dan jenggot si Jaka lumayan panjang menurutku, menutupi lehernya, berkibar kalau angin lewat. Beruntung Bhayangkara tak mengatur apakah personilnya mesti punya jenggot atau tidak. Kalau saja dilarang berjenggot, sudah pasti Jaka tak akan garang mukanya.”


    Mendengar maksud jenggot kegagahan, Kosim tertawa kecil, Rina tersenyum tipis, sedangkan aku terkekeh. Hanya Eri saja yang tak mengerti dan rautnya kebingungan. Maklum, ia belum pernah berjumpa dengan Jaka. Mungkin hanya kakaknya sajalah yang pernah. Sabarlah, kawan.


    Aku memegang jenggot pendekku. Semoga kalau sudah umur dua puluh ke atas jenggot ini tak seperti Senopati Jaka!


    “Kembali ke medan pertempuran. Kami akhirnya sampai ke tempat Jaka berada. Jaka terlihat sudah berdarah-darah tubuh, tangan, dan mukanya karena musuhnya. Ini pertarungan seperti Daud dan Jalut, kecil lawan raksasa. Pertarungan ini tak berimbang, kedua goloknya nyaris tak mampu menangkal serangan Aftarus, tapi Jaka terus berjuang, terus mengeluarkan semua kemampuan silat yang pernah kuajarkan kepadanya.


    “Aku segera mengintruksikan kepada semua pasukanku untuk mengambil bazoka yang ada tergeletak di sekitar mayat-mayat prajurit Konfederasi. Di saat mereka bergerak, aku mengambil pistolku dan mengarahkannya ke arah Aftarus. Kalian pasti tahu kalau Cyborg bisa menangkal tembakan peluru tapi ada satu area yang pasti tak akan kebal dengan peluru; mata. Ide untuk menembak matanya baru muncul saat itu dan dengan satu peluru yang tersisa, akan aku tembak mata kanannya. Aku mengerahkan semua kemampuan menembakku yang pernah kupelajari dari dari zaman dahulu.Pelatuk sudah kupegang. Moncong pistol kuarahkan ke mata kanan Aftarus. Jarakku dengannya berkisar tiga meter. One shot, one bullet akan kulakukan.


    “Kena?” tanyaku penasaran dengan semangat penuh.


    “Sayang sekali tidak,” jawabnya dengan mengernyit dahi, tersenyum kecil, dan menggeleng-geleng kepalanya. Pendengar kecewa!!


    “Aku memang gagal menembaknya tapi bukan berarti kegagalanku merembet ke pasukanku. Pasukanku berhasil menembakan bazoka ke tangan mekanik Aftarus setelah aku berteriak, “TEMBAK!” Aftarus tak menyadari kehadiranku –rasanya ia terlalu fokus menyerang Jaka–dan tembakan tersebut membuatnya lumpuh sementara. Tangan mekaniknya putus. Ia mau terjatuh tapi kedua kakinya menumpu, bangkit si Aftarus dan mencoba untuk bertarung lagi meskipun darah mengocor banyak dari lukanya. Dari rautnya, ia sepertinya menahan rasa sakit yang luar biasa seolah-olah ia sudah terbiasa terluka semacam itu!


    “Tangan kanan Aftarus mengambil pedang tangannya dan menggunakannya sebagai senjatanya. Tak ada opsi kabur lagi buatnya mengingat jikalau Aftarus kabur, serangan pasukannya tak ada artinya. Aftarus adalah jantung dari serangan ini. Melumpuhkan atau menghancurkannya berarti menang pihak negeri ini, itulah yang terpikir di kepalaku saat itu.


    “Aftarus menyerang lagi Jaka, tapi kekuatan serangan dan kelincahannya berkurang drastis. Jaka mampu mengimbangi pertarungan ini. Semua serangan Aftarus sia-sia kataku gara-gara Jaka dapat menangkisnya dengan gesit. Hampir dua menit pertarungannya berlangsung dan mendadak terhenti ketika ia menoleh ke kami dan berteriak, “Lari”.


    “Serentak kami berlari, diikuti Jaka berlari terpincang-pincang. Aftarus mencaci maki Jaka karena meninggalkan pertarungan layaknya pengecut. Kami tak tahu kenapa Jaka meminta kami lari tapi pada akhirnya, kami mengerti kenapa ia memerintahkan untuk lari; ada Main Battle Tank yang biasaku singkat MBT mengarahkan turrent ke arah Aftarus dan meledaklah Aftarus layaknya ledakan jet yang ia tembaki.


    “Kami menghampiri tempat Aftarus berada. Badannya hancur. Kepalanya yang berisi teknologi canggih masih berbekas tapi gosong. Tangan kirinya enam puluh persen hancur. Kedua kakinya tujuh persen rusak parah. Tempat bersungkurnya Aftarus bersimbah akan darah yang bercampur dengan kabel dan besi. “Seharusnya mereka tak menghancurkan Aftarus,” ujar Jaka kepadaku dengan kesalnya melihat kondisi Aftarus. Jaka mengutarakan kepadaku bahwa ia mendapatkan info dari walkie-talkienya bahwasanya ada MBT yang diperintahkan Patih Cahyono menuju tempatnya dan menembakan tembakkan ke Aftarus. Patih Yabar beralasan menangkap Cyborg Dakian percuma karena tak mungkin monster tersebut buka mulut soal Permainan Dunia walaupun disiksa berat. Jaka tak bisa menolak perintah Patih Yabar dan terpaksa merelakan kunci utama Permainan Dunia mati. Mulai sedikit curiga aku kepada Patih Cahyono setelah mendapati informasi dari Patih bahwasanya tak ada mencurigakan dari para petinggi dan kemungkinan pelaku Jorong II bukan dari petinggi melainkan dari bawahan atau orang luar.


    “Jam 15.20, serangan pasukan Aftarus resmi terhenti. Pasukan musuh yang disebut Jaka sebagai prajurit Walolo–Jaka mendapatkan sebutan tersebut dari Aftarus yang menyebut-nyebut pasukannya “Waloloh” – banyak yang berhasil ditangkap dengan ditembaki mukanya. Ketika dilihat secara dekat dan seksama, ternyata mereka semua bermuka orang Nusatoro! Mereka mengaku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa mereka bisa ada di sini. Asumsi Jaka sanya mereka diculik, dicuci otak, dan dikendalikan oleh Aftarus melalui topeng cukup kuat mengingat prajurit Walolo tak akan berhenti menyerang dengan senjata apapun kalau topengnya tak hancur. Topeng tersebut selain memakai teknologi yang belum diketahui bangsa Nusatoro, pasti juga memakai ilmu-ilmu hitam dan perpaduan teknologi dengan ilmu guna-guna adalah hal yang menakutkan bagiku!”


    Ilmu hitam alias sihir adalah suatu hal yang berkontradiksi dengan sains, metafiska dengan fisika-kimia-biologi. Dan cukup menakutkan bagiku jika apa yang diperkirakan Jaka itu benar, sihir dapat bergabung dengan sains. Kalau seandainya sihir memang bisa bekerjasama dengan sains, sepertinya negeri ini akan disegani militernya mengingat dukun Nusatoro jago-jago. Lihat saja di internet bahwasanya banyak dukun yang menawarkan jasa gaibnya! Ingat Eka, syirik itu dosa besar!!


    Kidang mengambil nafas panjang dan mengeluarkan karbon dioksida dari paru-parunya dari kedua lubang hidungnya. Sudah mau jam lima sore menurut arlojiku dan suara gelegar petir terdengar. Kemungkinan hujan besar akan turun mencapai delapan puluh persen mengingat tadi jam setengah empat, langit sudah kelabu warnanya. Semoga hujan tak turun sebelum cerita Kidang selesai mengingat ramalan cuaca mengatakan sampai mala mini diperkirakan hanya mendung saja. Bisa repot aku membereskan tenda ini dan bantuan Pak RT tak bisa diharapkan mengingat ia dan keluarganya sedang liburan tahun baru ke Briangan.


    “Kalian tahu, pasukan Walolo tak diketahui secara pasti jumlahnya tapi yang tewas sekitar 253 orang sedangkan terluka parah baik parah maupun sedang berkisar 421 orang. Di pihak kami, 534 prajurit tewas, sebagai bunga bangsa dan yang baik terluka parah maupun sedang ada 636 orang.


    “Benar-benar pertempuran yang menakutkan bagi militer negeri ini. Negara merugi puluhan miliar erak akibat serangan tersebut, itupun belum termasuk infrasturktur yang dibom dan dihancurkan musuh. Banyak prajurit Konfederasi trauma berat melihat bagaimana Aftarus membantai habis-habisan pasukan Nusatoro. Jaka termasuk yang terluka sedang dan sampai saat ini, ia masih dirawat di rumah sakit Yabar internasional. Apa kalian berminat menengoknya?”


    Serentak kami semua menangguk. Kami semua berdiskusi tanggal berapa kami berempat bisa membesuk Senopati jenggot berkibar tersebut dan akhirnya ketemu tanggal yang pas: 18 Januari 901. Kidang berjanji kepada kami akan mengantar kami ke tempat Jaka berada mengingat ruangan Jaka berada dijaga sama militer dan orang sipil seperti kami ini dilarang besuk kecuali ditemani Kidang.


    “Apa kalian tahu kalau pertempuran yang aku ceritakan tadi akan dijadikan film?”


    Tersentak semuanya mendengarnya, sangat tak memperrcayai pernyataan Kidang. Bagaimana bisa ada produser yang ingin memfilmkan kejadian yang belum seminggu berlalu?


    “Ini buktinya!!” seru Kidang memunjukan foto produser, Bhre Yabar, sutradara bersamanya. Saling bersalaman dan memandang dengan senyuman. Apa! Sudah dapat izin Yabar?! Berarti tinggal urusan produksinya saja.


    Tunggu dulu! Rasanya sutradaranya pernah kulihat sebelumnya. Kuperhatikan coba perhatikan seksama dan tercenang aku mengetahui sutradaranya si Yunus bin Zakaria, klient pertamaku dan sutradara film dan opera sabun atau sinetron bergenre romantis!! Semoga film perang buatan pertamanya tak epic failed. Kuharap kalaupun epic failed, jangan sampai di bawah film Wozah!! Itu film aksi terburuk buatan lokal yang pernah aku lihat waktu SMP kelas 8. Kepalaku pening mencoba mengingat cerita lengkapnya bagaimana. Yang aku ingat akting para pemainnya kaku dan buruk walaupun diperankan pemainan papan atas. Ceritanya buruk, baik dari sisi penyajian maupun plotnya. Dan lebih buruknya lagi adalah aksi dan visual efeknya! Bagusan film indie aksi berdana seribu erak ketimbang film Wozah!! berdana 15.200 erak. Habis untuk membayar pemainnya menurutku ketimbang meningkatkan mutu film!


    Kalau berbicara film aksi, aku, Rina, Eri, Kidang, dan Kosim setelah bermusyawarah panjang akhirnya setuju memilih film aksi lokal Hendro sang Pencangkul yang beredar di tahun 899sebagai film terbaik di negeri ini. Mulai dari penyajian cerita, akting pemain, visual efek, dan aksinya, semuanya masterpiece! Pantaslah sutradara dan pemain utamanya mendapat penghargaan di piala Citra.


    Inti cerita Hendro sang Pencangkul adalah seorang tukang pencangkul yang bertarung dengan cangkulnya menghadapi bandit-bandit kampungnya dan di final filmnya, sang pendekar silat bersama orang-orang sekampung akan berhadapan dengan mafia penyebab munculnya bandit-bandit di kampungnya! Aku tak pernah terpikir bagaimana caranya bertarung melawan seorang kekar yang bersenjatakan keris dengan cangkul saja! Mungkin Kidang bisa mencoba bertarung hanya dengan cangkul tapi sayang, ia menyatakan berhenti dari dunia-dunia pertarungan dan memilih untuk hidup damai.


    Dalam dunia film, sutradara adalah orang yang bisa menentukan film akan bagus atau tidak. Ada kalanya film berdana sedikit bisa dibuat semaksimal mungkin dan balik modal puluhan kali dari modal awal. Ada juga film berdana jutaan dozh tapi buruk karena sutradaranya tak bisa memaksimalkan kemampuannya. Itulah yang aku bisa analisis dari dunia perfilman.


    Sutradara mirip dengan penulis novel atau komikus. Punya cerita bagus tapi tak bisa menyajikan secara maksimal. Itulah kenapa manusia dituntut untuk belajar dari kesalahan.

    ***

    “Sudah selesai. Sebaiknya kita pulang,” ujar Kidang lalu bangkit dari tempat duduk dan berjalan keluar. Langkah kakinya terhenti ketika mendengar gemuruh petir dan ternyata sudah hujan deras setelah Kidang mengintip sedikit dari pintu tenda. Pantas saja dari tadi aku dengar suara hujan padahal awalnya kukira itu suara Hatarx. Akhir-akhir ini aku sering mendengar suara-suara gemuruh hujan beberapa hari ini.


    Beruntung hari ini aku pergi ke tempat ini dengan angkot. Kalau saja kau menunggangi Fursan, mungkin terpaksa aku berlari ke luar dan membawa masuk Fursan masuk ke tenda. Tak mau aku melihat kuda kesayanganku hujan-hujanan sementara empunya nyaman di dalam tenda yang kering dan hangat!


    Ah, ramalan cuaca tadi pagi salah lagi dan sudah ratusan kali para ahli ilmu cuaca salah memprediksi apa yang akan terjadi pada sore. Ada pepatah untuk jangan mempercayai seratus persen omongan dukun, politikus, dan peramal cuaca. Aku akhirnya mengerti total maksud dari pepatah tersebut sekarang.


    “Sebaiknya kita tunggu di sini dan menunggu hujan reda dengan bercerita pengalaman,” ujar Kidang seraya melirik satu-persatu keempat pemuda-pemudi. Inilah konsekuensi dari Kidang yang dari tadi bercerita.


    Aku dan ketiga temanku menyatakan tak masalah untuk bercerita. Tak ada satupun dari kami membawa jas hujan ataupun payung. Mengulur waktu dengan bercerita adalah ide yang bagus untuk memperkuat ikatan sosial antara kami berempat.
     
  10. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Truth Unravels

    “Oke, mulai dari siapa?” lirik Kidang kesana-kemari, mencari mangsa pertama sambil menyeringai.


    Keempat mangsanya hanya duduk dengan tenang. Takzim menunggu siapa yang akan ditunjuk. Sepertinya bagi yang lain tak masalah bercerita pengalaman hidup tapi yang menjadi bagiku tidak karena aku bingung cerita apa yang akan kusajikan? Tak mungkin aku pakai cerita dari Cerjab mengingat sang pemangsa meminta kami untuk bercerita pengalaman. Pengalaman hidupku terlalu banyak dan susah untuk dipilih.


    “Yang paling aman saja, Eka.”


    Bisikan suara Hatarx muncul lagi berserta wujudnya yang berdiri di sebelah kiriku. Aku melirik sedikit ke kiri dan melihat sesosok Jaka sedang berkacak pinggang dan dengan raut datar, mengamati Kidang dan orang-orang yang ada di tenda. Janggutnya berkibar layaknya bendera mengikuti arah angin hujan yang masuk ke tenda ini.


    Wujud Senopati yang punya ‘Janggut Keagungan” menghilang seketika setelah aku berkedip lima kali. Syukurlah.


    “Kau duluan, seru Kidang menunjuk si Kosim.


    Menghela nafas panjang Kosim sebentar sebelum bercerita. Semua yang ada di tenda ini menunggu ia bercerita. Terdengar secara jelas suara hujan yang menggemuruh. Suhu dingin dari hujan menusuk semua bagian kulitku. Terlihat si Kidang memeluk dirinya sendiri, pertanda kedinginan dia padahal ia memakai jubah. Si Rina, Kosim, dan Eri merasa enak-enak saja dan takzim dengan suhu dingin ini, sama seperti aku yang terbiasa dengan AC. Seharian ini, mendung Nikmati saja suhu dingin nan sejuk ini, Kidang!


    “Kosim, aku sarankan kau bercerita waktu kau pesantren. Aku penasaran betul bagaimana kehidupan asrama yang mengajarkan agamamu itu!” saran Kidang mengingat ia beragama Hindu dan non-muslim sendiri di dalam tenda.


    Jika ada yang bertanya apa agama kami berempat, serentak menjawab “Islam” dan memperlihatkan kartu identitas baik dari sekolah maupun negara. Tapi jika ditanya Islam abangan atau taat, semuanya bungkam seribu bahasa. Hanya Tuhan saja yang tahu siapa yang bertaqwa siapa yang tidak.


    Pernah dulu aku pernah mengira Ellena dan kakaknya itu nasrani hanya karena namanya mirip orang barat. Kebenaran datang ketika melihat mereka berdua sholat dan mereka memberi tahuku bahwasanya ayah mereka memberi nama kebarat-baratan biar keren. Aneh sekali tipikal orang tua seperti itu!


    Dengan senang hati, Kosim menerima sarannya Kidang dan mulai bercerita kehidupannya di pesantrennya, singkat dan padat tapi mengena dan kocak dibagian komedinya. Ia bercerita bagaimana ia masuk ke pesantren dengan alasan lampu diskotik. Bagimana ia menghabiskan waktunya di pesantren untuk menimba baik ilmu agama maupun ilmu umum selama tiga tahun, bagaimana ia belajar silat kepada kiai-kiainya, dan bagaimana ia merantau ke Yabar dan masuk ke Panzer. Waktu yang dihabiskannya untuk bercerita hanya tujuh menit, lumayan singkat kataku ketimbang cerita Kidang yang menghabiskan setengah jam lebih.


    “Oh, begitu ya ceritanya Nak Kosim. Masuk Panzer terpaksa karena semua sekolah sudah menutup pendaftaran,” kata Kidang memegang dagunya.


    “Daripada jadi pengangguran,” celetuk Kosim membuat semua orang di tenda ini tertawa kecuali Rina yang datar mukanya. Sepertinya ia hanya tertawa dalam batinnya saja, tak mau menunjukan kepada orang lain.


    “Oke, sekarang kau, Nona Teh!” seru Kidang menunjuk Eri. Ah, Nona Teh, julukan baru si Ellena gara-gara tehnya dan sepertinya si Ellena tak mempermasalahkan panggilan agak sarkastis tersebut. Kalau saja Eri membawa kue saja untuk mendengar cerita pertempuran Jaka-Aftarus, mungkin Kidang akan memanggilnya “Nona Kue”.


    Seperti biasa, orang yang mau bercerita mengambil nafas panjang dan ia pun mulai bercerita. Kali ini Ellena bercerita tentang kisahnya bagaimana ia bisa menjadi ketua OSIS Imalia. Tak terlalu panjang penjabaran ceritanya. Ringkas ceritanya si Eri waktu kelas 10 nilainya bagus-bagus, berprestasi dalam dunia karate, dan berkharisma tinggi sehingga disegani semua orang di sekolah selain kecantikannya. Pada akhirnya di awal tahun 898, ia diminta oleh senior di klub karate dan seluruh teman-teman seangkatannya untuk menjadi ketua OSIS. Ketika penghitungan suara selesai, si Ellena mendapatkan lima puluh dua persen dari total pemilih, berbeda denganku yanbg mendapatkan delapan puluh satu persen suara ketika dipilih jadi ketua OSIS Panzer periode pertama dan sembilan puluh dua persen suara saat melanjut ke periode kedua.


    Cerita Ellena selesai dalam waktu delapan menit. Kurang berkena ceritanya dibanding punyanya Kosim, tapi tetap kuhargai penuturan pengalaman hidupnya yang cukup menginspirasi.


    Yang bercerita selanjutnya adalah aku setelah Kidang menunjukku. “Silahkan bercerita apa saja. Terserah kau!!” serunya menyeringai setelah menunjukku. Pernyataannya menguntungkanku karena tadinya aku berpikir dia memintaku bercerita bagaimana aku bisa suka dengan Rina. Kalau semisalnya itu terjadi, tentu aku akan mencoba mengelak dengan bercerita cerita yang lain.


    “Baiklah, akan aku ceritakan sebuah cerita pengalaman hidupku,” tuturku sedikit menundukan kepala dan tersenyum tipis bak seorang koboi di suatu bar yang secara cuma-cuma bercerita kepada orang lain tentang kehidupannya yang ganas.


    Semua mata menatapku. Rasa penasaran berlebihan tertuang di raut Kidang, Eri, dan Kosim sedangkan Rina terlihat tenang, tersenyum tipis dengan pandangan mata penasaran seperti yang lain.


    “Hilangnya Celana Dalam Kepsek Rendi,” mulaiku dengan memperkenalkan judulnya terlebih dahulu. Kidang dan Kosim tertawa terpingkal-pingkal mendengar judul ceritaku sementara yang lain plongo tak mengerti.


    “Setelah jam pulang berlalu, aku dan Guntur menyusuri empang Panzer untuk melihat seberapa kotor empang sekolah. Terdengar seruan minta tolong dari toilet dan suara tersebut berasal dari Kepsek Rendi. Aku dan Guntur menghampiri toilet dan Kepsek menceritakan kepada kami bahwasanya celana dalamnya berserta celana panjang cokelatnya menghilang dari dalam toilet. Kepsek Rendi memberikan tugas kepada kami dengan ganjaran hadiah uang sebesar 700 erak. Siapapun akan tergiur dengan hadiah tersebut termasuk kami diantaranya.


    “Awal niatnya hanya aku dan Guntur saja yang ingin mencari celana Kepsek. Tapi karena merasa butuh bantuan, jadinya aku pergi ke setiap kelas dan ruangan yang masih ada manusianya dan mengumpulkan mereka semua di lapangan.


    “Di tengah lapangan, aku yang berdiri di depan bak seorang pemimpin memberi tahu semua orang, mulai dari guru sampai anak-anak Panzer, tentang hilangnya celana dalam Kepsek dan hadiahnya juga. Semua orang tergiur termasuk mereka berdua ini!” tuturku seraya melirik dan menunjuk Kosim lalu Kidang. Mereka cengar-cengir saja melihat lirikanku.


    “Pencarian dimulai dan area pencariannya mencapai seluruh area sekolah termasuk hutan Panzer. Kosim dan kelasnya dikabarkan mencari di sekitar empang sampai-sampai rela menyelam ke dalam empang kotor nan menjijikan itu dengan menggunakan pakaian seadanya bak penyelam uang koin yang ditumpahkan penghuni kapal sehabis beranjak dari pelabuhan.”


    Seringai terlihat dari muka Kosim. Bangga sedikit rasanya ia disebut kemampuan renangnya sejago para penyelam yang sudah terbiasa dengan dunia bahari. Aku akui kemampuanmu dalam renang melebihiku, Kosim!


    “Maaf Eka gara-gara memintamu mencari celana dalamku!!”


    Seruan tersebut berasal dari wujud Rendi yang muncul mendadak di sebelah kananku. Ia tersenyum melihat aku menatapnya. Terlihat ia memakai pakaian yang sering dikenakannya sewaktu menjadi jadi kepala sekolah Panzer; kemeja kotak-kotak hijau, celana panjang berwarna hitam, dan sepatu fentofelnya. Ah, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan Kepsek Rendi.


    “Bagaimana kabarmu, Eka?” tanya lagi Rendi seraya tersenyum lebar kepadaku.


    Haruskah aku jawab pertanyaan Rendi Hatarx. Tentu saja kalau aku masih waras, acuhkan pertanyaan tersebut dan melanjutkan cerita ini.


    “Semua tempat ditelusuri dan aku mendapatkan kabar ada anak STM yang melihat anak SMA 1 membawa celana dalam putih. Muncul spekulasi celana dalam Kepsek dicuri oleh rival Panzer demi melampiaskan dendam akibat kekalahan di tawuran sebelumnya dengan Panzer. Aku menugaskan Eko dan para pejuang Panzer berjumlah lima puluh orang untuk berangkat ke medan tawuran. Sebelum Eko pergi, aku memberikan ia senjata tambah selain parang dan bambu runcing; kunci inggris, senjata tawuran favoritku. Kunci inggris sangat berguna untuk memukul lawan sampai knock out atau KO!”


    Sempat aku lirik ke kanan. Sudah menghilang si Rendi imitasi Hatarx. Baguslah.


    “Aku dan warga STM Panzer melanjutkan pencarian celana panjangnya Kepsek sampai jam lima. Pada akhirnya, Kosim berhasil menemukan celana panjang Kepsek lengkap dengan celana dalam di sela-sela keluar-masuknya udara ke dalam toilet yang ada di belakang toilet. Kedua barang tersebut tersembunyi dari pandangan manusia selama ini dan Kepsek pun baru menyadarinya setelah mendongak ke atas. Dasar Kepsek! Perjuangan Eko dan pasukannya yang sampai berdarah-darahan tak dihargai malahan dicampakan oleh Kepsek!”


    Itulah akhir dari ceritaku. Kosim dan Kidang tertawa mengingat cerita konyol tersebut sedangkan Ellena memaksakan diri untuk ketawa sementara si Rina datar mukanya yang mengartikan bingung apa yang lucu dari cerita yang merupakan aib dari Kepsek selain peristiwa hujan nasi uduk.


    Peristiwa nasi uduk adalah peristiwa yang terjadi beberapa hari setelah peristiwa hilangnya celana Kepsek. Ringkas ceritanya sewaktu upacara hari Senin, Kepsek Rendi melihati semua peserta upacara yang lemas dan lesu. Terlontar ide untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa untuk menurunkan hujan nasi uduk dan ternyata jadi yang namanya hujan nasi uduk. Semua yang ada di lapangan memumuti bungkus nasi uduk yang bertebaran di lapangan layaknya air hujan dan memakannya dengan lahap betul. Sekitar sepuluh menit berselang, semua yang memakan nasi uduk –termasuk Rendi diantaranya– sakit perut mendadak dan penyakit diare langsung menyerang kami semua.


    Ternyata nasi uduk yang tadi turun dari langit merupakan nasi uduk basi yang dibuang sembarangan oleh pesawat katering setelah diinvestigasi Bhayangkara–atas permintan Rendi dan Panji yang merasa diracuni.


    Sepertinya Tuhan mengistimewakan STM Panzer atau malahan mengutuk sekolah ini yang sering terjadi beberapa peristiwa absurd seperti hujan nasi uduk. Banyak keanehan di sekolah ini yang tak akan terjadi di sekolah lain layaknya Kepsek Rendi yang tak berani mengeluarkan orang-orang yang terlibat tawuran karena jika ia keluarkan mereka, sekolah hanya akan tersisa satu atau dua orang dan uang sekolah saat itu masih berdasarkan SPP, bukan dari negara seperti sekarang dan sekolah bisa mendapatkan dana negara lagi setelah Panji menyakinkan Mahapatih Modo bahwasanya Panzer akan berubah.


    Saat ini, orang yang tawuran diancam dikeluarkan oleh Kepsek Panji dan itulah mengapa sekarang kalau tawuran, semua anak Panzer yang terlibat memakai helm untuk tak dikenali dan tingkatan keberhasilannya hanya berkisar tujuh puluh persen. Sayonara dari Panzer jika sudah ketahuan.


    Ah, aku ingat masa lalu. Sebagai orang yang paling ditakuti seantero dunia berandal Yabar, aku berani melakukan hal-hal yang belum pernah terjadi di dunia tawuran layaknya memakai meriam mercon, menyerang musuh dari segala arah bak perang betulan, dan melempar kunci inggris dan alat-alat reparasi mesin ke area musuh. Asyik, gila tapi berdosa dan dikutuk masyarakat serta Bhayangkara. Itulah mengapa kalau ada yang mengajak tawuran, kutatap dia dengan tajam dan takut bukan main orang yang mengajakku!


    ***

    “Oke, sekarang kau!!” seru Kidang menunjuk Rina.


    Rina terdiam sambil memejamkan matanya, layaknya orang menenangkan diri. Semua roang di tenda menatapnya dan menunggu ceritanya dimulai. Penasaran betul aku kepada ceritanya Rina, melebihi rasa penasaranku pada cerita Kidang.


    “Ini kisah terjadi sewaktu aku kecil,” ujar Rina dengan mata menatap ke bawah, rautnya kelihatan lesu dan cenderung tak bersemangat. Jangan dipaksakan kalau tidak mau!


    “Dahulu kala aku tinggal di Cangkarang semenjak aku orok. Keluargaku cukup berkepunyaan. Ayahku seorang direktur di perusahaan plastik dekat rumah sementara ibuku itu punya beberapa kios bakso di Yabar saat itu. Walaupun mereka sibuk tapi mereka harmonis. Semua anggota keluarga saling menyayangi satu sama lain, kakek dan nenek kepada cucu, bapak dan ibu kepada semua anaknya, dan aku kepada kakak laki dan adik perempuanku. Saat aku menimba ilmu di sekolah dasar negeri Cangkarang, prestasi akademik mengalir. Guru-guru dan teman-temanku memuji-muji nilai. Hidupku bisa dibilang enak menurut kalian tapi semua itu berubah saat aku kelas 3 SD,” tutur Rina dengan mata berlinang-linang. Semua yang ada di tenda ini bukan main kagetnya mendengar cerita masa lalu Rina yang menjadi misteri kelas berat macam keberadaan penulis Permainan Dunia.


    Terhenti sejak mulutnya berkata. Rina menandang pintu tenda dan melihat hujan bercampur angin yang bisa dibilang lumayan kencang masuk ke tenda ini. Tenang saja, tenda ini tak akan kebanjiran ataupun rubuh. Pontensi tersambar petir pun bisa kubilang kecil karena Bapakku pernah mengatakan bahwa petir menyambar gedung tinggi dulu ketimbang bangunan rendah. Kontraksi tenda ini tahan dengan segala keadaan kecuali gempa, kebakaran, tembakan meriam, dan meteorid jatuh.


    “Saat aku beranjak kelas 3, terjadi kebakaran hebat di pabrik ayahku dan merembet ke rumah-rumah penduduk, termasuk diantaranya rumahku. Malam itu adalah malam terburuk sepanjang aku hidup. Tak pernah terbayang saat aku bangun tengah malam saat ingin kencing, sudah banyak api ketika aku buka pintu. Aku langsung ketakutan. Bingung, tak tahu harus apa. Ayahku langsung pergi ke kamarku dan memboyongku pergi dengan mengendongku. Aku terus bertanya bagaimaan keadaan semua orang tapi ia bungkam seribu bahasa. Langkah kaki ayahku terhenti setelah ia tersandung kayu. Ia mencoba berdiri tapi lutut kirinya mengucurkan darah.”


    ““Pergi, pergi sana, Rina!!” teriak ayahku sambil merintih kesakitan bukan main sepertinya. Aku terdiam melihatnya terbujur kaku. Aku berniat untuk menolongnya tapi badanku tak mampu menangkatnya. Kayu dari langit-langit yang menimpa penunggung ayahku. Ia tak menjerit tapi menahan rasa sakitnya dari ekspersinya. “PERGI!!” perintah ayahku dan pada akhirnya, aku meninggalkannya dalam kondisi maut akan tiba.


    “Seluruh keluargaku dikabarkan petugas pemadam dan Bhayangkara tewas mengenaskan. Aku bisa keluar hidup-hidup dari api tersebut dengan meninggalkan bekas luka bakar ini.” Rina menarik lengan baju kirinya dan memperlihatkan sebagian tangan kirinya yang hitam dan rusak kepada kami. Mengerikan! Itulah kata yang terlontar dari mulut Kidang dan sepertinya ia geli melihat lukanya Rina. Ellena tercengang dan menepuk-nepuk pundak kiri Rina demi menunjukan rasa simpatinya.


    Rina menangis sewaktu bercerita soal kebakaran. Tak tega aku melihat perempuan yang sudah biasa dingin sepertinya menangis tapi apa boleh buat, menangis adalah bagian tak terpisahkan dari manusia. Ia menyeka air matanya sebelum melanjutkan ceritanya.


    “Aku yatim piatu. Tak tahu harus pergi ke mana. Perusahaan ayahku bangkrut dan usaha ibuku diambil alih sepenuhnya oleh orang tak bertanggung jawab yang tak lain adalah teman ibuku! Harta tak ada sehingga terpaksa harus keluar dari sekolah. Tak punya pakaian. Miskin lagi tak punya tujuan hidup.”


    Seharusnya waktu itu Rina pergi ke panti asuhan saja dan diadopsi oleh keluarga lain. Apakah Rina tak terpikir untuk pergi ke panti asuhan atau sebaliknya, panti asuhan mengajak ia tinggal di rumah panti asuhan.


    “Untuk bertahan hidup, aku terpaksa menjadi pemulung,makan dari hasil penjualan sampah yang aku dapati di jalanan, dan tinggal di rumah kardus buatan sendiri di tempat pembuangan sampah. Setelah menjalani hidup seperti ini selama sebelas bulan lebih, aku mulai bekerja di sebuah Warteg sebagai pencuci piring setelah menawarkan diri demi mendapati pekerjaan lebih baik. Melihat api elpiji, phobia takut apa–gara-gara kebakaran–muncul dan panik bukan main saat itu. Tapi berkat usaha empu Warteg, Pak Gandi, aku mulai berani lagi dengan api dan mulai bisa memasak. Dari situlah aku mulai mengembangkan bakat masakku semenjak menjadi pembantu masak.Aku banyak diajarkan istrinya Pak Gandi resep-resep masakan yang belum pernah kupelajari sebelumnya seperti cap kangkung. Aku di keluarga Pak Gandi sudah dianggap anak angkat saja, bukan lagi pembantu gara-gara kedua pasangan suami-istri tersebut tak punya keturunan. Mandul si istrinya Pak Gandi.”


    Aduh, kasihan.



    “Ketika aku baru masuk SMP, istri Pak Gandi wafat dan Pak Gandi menangkatku sebagai pemasak utama. Warteg Pak Gandi makin lama makin ramai saja. Berita seorang siswi SMP dengan masakan setara lezatnya dengan masakan restoran makin meluas saja di kalangan pecinta makanan dan itulah mengapa Sekolah Tata Boga Yabar menawarkan beasiswa untuk bersekolah kepadaku.”


    Rina menutup ceritanya dengan senyuman. Semua yang mendengar menepuk tangan, kagum atas perjuangan Rina. Tak pernah aku pikirkan kalau masa lalu Rina seberat itu. Aku rasa sikap dinginnya dan wajahnya yang datar karena masa lalunya. Tapi aku heran kenapa ia selalu bungkam kalau ditanya masa lalunya?


    “Menunggu waku yang tepat si Rina!


    “Ketika ia berada di tempat yang nyaman seperti sekarang, pasti batinnya tergerak untuk menceritakannya.”


    Jawaban tersebut berasal dari wujud Kepsek Panji yang muncul di tempat Rendi tadi muncul. Ia melipat tangannya. Rautnya seperti orang serius saat memperhatikan Rina tersenyum-senyum sendiri. Memang benar apa yang dikatakan Kepsek versi Hatarx tapi bagaimana ia bisa berkata seperti itu? Bukannya hatarx berasal dari pikiran sang korban?


    Panji menghilang setelah kedipan kesembilan. Hal ini membuatku bingung kenapa paruh waktu kedipan makin lama makin terasa bertambah? Fase ketiga sepertinya makin dekat denganku! Berhati-hatilah wahai diriku!


    Rina terlihat ingin berbicara lagi. Sepertinya belum habis ceritanya.


    “Dan di Sekolah Tata Boga, aku bertemu dengan sahabat terbaikku, Dina. Dan beberapa tahun kemudian, aku bertemu dengan orang yang hampir diinjak Elephs maximus Hamaradasius dan mulai saat itu, aku sedikit tertarik padanya,” tuturnya lalu melirikku mesra sambil tersenyum. “Dan senang bukan main aku ketika dia menyatakan ia suka denganku dan sama pandangannya denganku.”


    Aku baru tahu kalau ia mulai tertarik denganku saat pertama kali bertemu. Jujur sekali kau, Rina, membuatku tersipu, jantung berdetak cepat melebihi batas normal, dan menjadi bahan ledekan Kidang, Ellena, dan Kosim.


    ***

    “Hujan sudah reda!” seruku melihat keadaan di luar, basah dan banyak genangan di mana-mana. Langit masih gelap, udara bekas hujan sangat dingin layaknya di pegunungan, matahari tak terlihat dan cenderung gelap suasana luar. Azan Magrib mulai bergema dan ini bukan Hatarx mengingat Kosim mendengar apa yang kudengar!


    Rina dan Ellena pulang duluan dengan diantara Kidang sementara aku dan Kosim membereskan tempat ini. Sepertinya ini adalah hari terakhir tempat ini dipakai untuk pertemuan semacam ini. Akan kurindukan pertemuan-pertemuan seperti ini.


    “Kak Eka, menurutmu kenapa Aftarus melakukan huru-hara di tanggal 30 Desember?” tanya Kosim sambil membereskan kursi-kursi.


    “Entahlah. Spekulasi liarku mengatakan ia sengaja membuat kekacauan, dan kita dapat melihat seberapa serius dia menyerang Yabar dengan pertambahan tipe senjatanya,” jawabku sambil menyapu.


    “Kak Eka, kau bicara sama siapa?” tanya Kosim kebingungan.


    “Sama kau, Kosim!!”


    “Ah, perasaan saya tidak pernah berbicara dengan anda,” jawabnya dengan nada meyakinkan.


    “Lagi pula, dari tadi anda bengong,” tambahnya mengejutkanku.



    Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku? Apakah fantasi Hatarx sudah masuk ke sendi-sendi realitaku?
     
  11. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Lethal Fantasi Realita


    Aku mulai merasakan fantasiku sudah bercampur ke realita. Mulai sedikit tak bisa membedakan mana yang rekaan Hatarx mana yang asli. Contohnya saja waktu membesuk Jaka. Sewaktu aku bersama Rina, Kosim, Kidang, dan Eri membesuk Senopati Jaka. Ia sudah terlihat bugar fisiknya. Sepoian kipas angin kamarnya membuat jenggot kegagahannya berkibar-kibar. Terlihat perban di bagian-bagian lengan dan pipinya. Kata Jaka, ia dibolehkan keluar dari rumah sakit pada tanggal 25 Januari karena menurut dokter, masih ada beberapa luka yang belum sembuh total di badan Jaka.


    Kembali inti permaslahan. Ketika aku dan Jaka hanya berdua di kamar, kami membahas soal Aftarus. Jaka melontarkan kemungkinan-kemungkinan apa tujuan Aftarus, kecurigaannya soal Jorong II yang mengarah ke Patih Cahyono, konspirasi tingkat tinggi Nusatoro, dan spekulasi kenapa tak terjadi kejadian di tanggal 5 Januari. Jaka memang tak seperti Kidang, gampang curiga, tapi kali ini ia menunjukan kecurigaannya kepada orang nomer dua di Yabar walaupun cukup kecil asumsi mengatakan bahwasanya Cahyono terlibat di Jorong II.


    “Eka, kau bicara sama aku ya?” tanya Jaka membuatku sadar bahwasanya perbincangan tadi hanya ada di khayalanku.


    Itulah satu contoh kasus yang menimpaku. Aku menyebut kasus ini dengan sebutan Fantasi Hatarx.


    Jaka memperingatkanku bahwasanya fase ketiga akan segera menimpaku. Jangan kebingungan dan stres, jalani hidup seperti biasa, sarannya.


    Dan apa yang dikatakan Jaka ada benarnya. Semakin hari frekuensi kasus seperti ini bertambah terus. Semuanya seperti kenyataan. Fantasi tak berujung seumpama kapal di tengah laut tanpa ada tempat untuk berlabuh.


    Pernah suatu ketika di malam hari kala aku mau tidur, ada suara pukul pagar besi yang dibunyikan oleh anggota siskamling, tapi suara tersebut tak berhenti dalam beberapa puluh menit dan terus bergema di telingaku sampai aku sakit kepala dan angkat tangan. Aku yakin ini pengaruh Hatarx kuat, bukan keisengan anggota siskamling.


    Ada baru yang menimpaku, time loop dan ini dimulai saat aku bertemu dengan mantan Kepsek Panzer, Rendi Cempaka, di trotoar sekitar Tabet di minggu terakhir bulan Januari 901. Aku merasa pernah bertemu dengannya di tempat tersebut, tapi memoriku agak kabur. Kejadian tersebut terjadi tiga kali–dengan dialog yang sama dan kejadian yang sama–dan semuanya adalah pengaruh Hatarx. Dalam realita, tak pernah ada peristiwa pertemuanku dengan Rendi, itulah yang dikonfirmasi Kepsek Panji setelah menelepon Rendi. Aku rela melakukan hal tersebut demi memastikan apakah ini Hatarx atau tidak.


    “Eka, berhati-hatilah dengan kondisimu seperti Ini. Ingat ujian kelulusan!” Nasehat Panji kepadaku mengingat sekitar tiga bulan lagi aka nada ujian kelulusan, ujian penentu apakah siswa bisa diluluskan atau tidak dari sekolah.


    Tak seperti SMA, SMK, MA, dan STM yang fokus ke ujian nasional atau biasaku singkat UN. Sekolah ini memakai kurikulum khusus layaknya sekolah internasional. Jika di sekolah biasa, ujian sekolah 50% dengan 50% ujian nasional untuk mendapatkan ijazah, maka di Panzer punya sistem tersendiri; 100% nilai sekolah. Di STM Panzer ada enam semester dan tiap semester perlu nilai total rata-rata 6. Ujian kelulusan adalah ujian yang disebut Kepsek untuk semester terakhir. Sebenarnya tidak ada ujian seperti UN, hanya ada ujian layaknya ujian semester tapi dilakukan saat UN dilaksanakan dan ada ujian prakteknya yang diadakan di bulan Maret. Bagi yang sakit saat ujian semester akhir bisa menyusul di awal bulan Mei. Semisalnya awal Mei tak bisa, aku mendengar dari Kepsek bahwasanya orang tersebut harus rela tinggal kelas. Menyedihkan.


    Ah, April. Bulan akhir Hatarx juga dan aku takut masuk fase keempat saat ujian. Solusinya adalah tetap tenang dan jangan stres tapi berkontradiksi dengan ujian yang perlu banyak belajar dan menjadikan stres. Kepsek memberi saran kepadaku agar tak terlalu tertekan menghadapi ujian. Memang saran yang bagus tapi apa gunanya kalau susah untuk diterapkan, itulah yang kurasakan sekarang, tertekan atas kebingungan atas Time Loop Hatarx, sebutanku kepada time loop versiHatarx.


    Kejadian Time Loop dan Fantasi Hatarx mulai menggila sejak memasuki Febuari. Dan yang terparah adalah kejadian di hari Selasa, 3 Febuari 901, sehari setelah kejadian hujan nasi goreng basi di istana Nusatoro dan STM Panzer.


    Kejadian hujan nasi goreng basi terjadi pada pagi hari di STM Panzer. Aku dan semua warga sekolah Panzer geger dengan hujan tersebut. Karena sebagaian besar trauma dengan hujan nasi uduk, kami tak mengambil bungkus nasi goreng–yang dibungkus dengan kertas koran– yang bertebaran di lapangan dan atap-atap gedung. Junior yang masih kelas 10 pun mengikuti langkah kami.


    Kejadian hujan nasi goreng basi juga terjadi pada warga istana Nusatoro, empat jam setelah kejadian di Panzer, tapi yang berbedanya adalah si Mahapatih memerintahkan untuk pasukannya untuk meneliti semua bungkus nasi goreng, bukan seperti kami yang langsung membuangnya ke tempat sampah.


    Setelah diteliti dengan intensif, diketahui semua nasi goreng ayam tersebut basi dan beracun. Beruntung aku dan kawan-kawan Panzer tak memakan nasi goreng tersebut. Kalau saja kami memakan nasi tersebut, bisa jadi kejadian diare masal dan sekolah diliburkan sehari terjadi lagi.


    Senopati Jaka memimpin penyelidikan nasi goreng di Yabar. Ia mengatakan kepadaku bahwasanya nasi goreng basi yang ada di Panzer dan istana Nusatoro dibawa oleh pesawat tak dikenal. Sangat memungkinkan ini adalah bagian rencana yang ada di buku Permainan Dunia, menurut Jaka.


    Ketika aku ingin mengetahui lebih jelas, ia dengan nada tegas berkata “Ini urusan divisiku! Kau sedang kena Hatarx dan jangan memikiran hal ini” dan sambungan ponselku terputus. Walaupun awalnya sedikit sebal, pada akhirnya aku mengerti maksudmu itu baik, Senopati! Oh ya, divisi apa yang dimaksud Jaka?


    Kembali ke permasalahan tanggal 3 Febuari 901. Kejadian hari itu dimulai saat aku menunggangi kuda ke sekolah dan bertemu Kosim di jalan. Aku merasa aku sudah bertemu dengannya dan ketika aku tanyai hal tersebut, ia menggeleng tak tahu. Dan beberapa menit kemudian, merasa sedang naik kuda ke sekolah dan berjumpa dengannya lagi. Aku menyahutnya dan bertanya apakah kita tadi bertemu, ia menjawab dengan menggeleng layaknya mengulang kejadian sebelumnya, déjà vu. Time Loop Hatarx biasanya berakhir dengan sendirinya dan juga ingatanku soal kejadian di Time Loop Hatarx rada kabur, tapi kali ini tidak! Aku berusaha mencari celah untuk mengakhiri dengan menghentikan derapan Fursan tapi Fursan menolak, ia terus berjalan dengan sendirinya layaknya sudah diprogram saja.


    Terpaksa aku turun dari kuda dan berlari ke sekolah. “Aku akan menghentikan Time Loop Hatarx,” kataku saat itu dengan rencana menghentikan apa yang membuat déjà vu kejadian ini.


    Sukses besar rencanaku. Time Loop Hatarx berhenti seraya aku masuk ke dalam sekolah STM Panzer. Aku langsung memanggil Fursan dengan siulan dan ia menghampiriku. Saat itu aku bertanya-tanya apakah ini kenyataan atau tidak karena semisalnya ini Fantasi Hatarx. Kalau semisalnya iya, percuma saja melakukan apapun karena tak akan berefek ke dunia nyata! Pertanyaan tersebut akhirnya terjawab setelah Bapakku berseru-seru kepadaku yang bengong terus di depan kadang kuda dan berbicara sendiri menjelang berangkat sekolah.


    Kejadian-kejadian Time Loop dan Fantasi Hatarx membuatku merasa seperti orang yang berusaha bangun dari mimpinya yang tak mau selesai-selesai.


    Sehabis jam sekolah berakhir, aku pergi ke kantor Kepsek Panji dan memberi tahunya soal aku mulai tak bisa membedakan mana yang fantasi mana yang realita.


    “Eka, apakah kau berpikir aku dan pertemuan ini fantasi Hatarx?” tanya Kepsek kepadaku.


    Aku menggeleng tak tahu. Bingung sekali aku untuk memilih jawaban. Kalau aku jawab tidak, bisa saja ini fantasi. Kalau aku jawab iya, bisa saja ini realita. Percuma aku memukul diri sendiri, rasa sakitnya berlaku juga di dunia fantasi.


    “Banyak kasus korban Hatarx yang mengidap Fantasi Hatarx. Akan tetapi untuk Time Loop Hatarx baru pertama kalinya kudengar,” tutur Kepsek lalu meminum tehnya.


    “Eka, kau sudah masuk ke fase ketiga dan jangka racun Hatarx di tubuhmu kurang lebih dua bulan lagi. Apakah kau sanggup mengikuti ujian dalam kondisi seperti ini?” tanya Kepsek dengan wajah datarnya dan pandangan matanya yang dingin.


    “Entahlah. Kemungkinan masuk ke fase keempat terbuka lebar dan pastinya akan mengganggu proses kelulusanku,” jawabku mulai parsah dengan nasib.


    “Apakah anda punya solusi untuk saya, Kepsek?”


    “Sejujurnya orang yang kena Hatarx seharusnya dari awal direhabilitasi di suatu tempat yang nyaman, dan tidak menimbulkan stres, tapi sayang sekali kau tidak melakukannya dari awal.


    “Saya pernah memberi saran kepadamu untuk tenang, tapi melihat kondisimu seperti ini, aku menawarkan beberapa solusi baru kepadamu.


    “Pertama, kau harus menjelaskan kasus ini secara detail kepada Okto Wirdhana. Pasti belum tahu soal kau sudah masuk ke fase ketiga. Kedua kau harus menenangkan diri dengan tak bersekolah dan direhablitasi baik di rumah atau rumah sakit.”


    “Eh, memangnya bisa?” kejut aku. “Kan sebentar lagi mau ujian!”


    “Jadi kau lebih milih menjadi gila?” sergah Kepsek.


    Aku menggeleng sedikit terkejut. Tak kusangka Kepsek entah versi Hatarx atau asli bisa menyergah juga.


    “Aku bisa mengurus kondisimu dan sebisanya kau masuk sekolah lagi di bulan Mei untuk mengikuti ujian susulan.


    Terima kasih, Kepsek. Kau baik sekali!


    “Kalau kau bertemu denganku lagi, baik di realita maupun di fantasimu, sampaikan salamku kepada diriku!


    “Dan hargailah usahaku walaupun kau menanggapku fantasi,” ujarnya lalu tersenyum tipis.


    “Oke, Kepsek.”

    ***

    Di hari selanjutnya versi realita, aku tidak masuk sekolah dengan alasan sakit dan seterusnya sampai awal Mei. Baru pertama kali ini ada dispensasi yang diberikan Kepsek Panzer kepada muridnya untuk dibolehkan beristirahat selama dua bulan lebih. Keterangan yang diberikan Kepsek Panji kepadaku hanyalah sakit berat dan Kepsek memberi tak wali kelasku serta guru-guru lain soal racun Hatarx yang menimpaku, sisanya seperti teman-teman sekelasku tak tahu penyakit apa yang mengidapku.


    Pernah mereka berkunjung melihat kondisiku dan kuberi tahu kepada mereka soal Hatarx, tapi sayang, pertemuan itu hanya terjadi di Fantasi Hatarx, di realita mereka belum sempat mengunjungiku.


    Hanya Guntur dan Kosim yang pernah berkunjung. Aku memberi tahu mereka tentang Hatarx secara kronologis, dari Aftarus sampai sekarang. Mereka bersimpati kepadaku dan menyemangatiku agar terus berjuang untuk tidak gila. Kalau sudah gila, aku tak tahu apa yang akan dirasakan orang-orang di sekitarku. Pasti mereka merasa kasihan dan tak tega melihat orang sepertiku menjadi gila hanya karena racun.


    “Guntur, kau boleh memberi tahu penyakitku kepada siapa saja, tapi jangan sampai diketahui si Rina!” pintaku kepada Guntur.


    “Eh, kenapa Bos?” tanya Guntur bingung.

    “T-Tidak apa-apa,” jawab aku sedikit malu-malu.


    Guntur dan Kosim menyeringai lalu menangguk mengerti. Semoga mereka bisa memegang amanah ini.


    Terakhir kali aku bertemu dengan Rina waktu membesuk Jaka. Waktu itu kami tak berbicara satu sama lain. Ketika berpisah, kami hanya saling tersenyum saja lalu berpaling dan berjalan berlawanan arah. Semoga kalau aku bertemu dengannya, aku sudah sembuh total dari Hatarx. Senang jiwaku saat bertemu dengannya. Rasanya ini baru pertama kalinya aku bisa menikmati apa itu cinta dan aku merasakan rasa suka ini seperti rasa suka dari dulu saja.


    Semenjak hari Kosim dan Guntur mengunjungiku, banyak teman-teman kelas dan juniorku menjengukku. Hampir semua orang yang kukenal menengokku. Beruntungnya diriku punya banyak teman walaupun di sisi lain punya banyak musuh bekas rival tawuran.


    Pernah suatu saat Rina dan Dina berjengukku. Terkejut bukan main aku melihat mereka datang dengan membawa kue puding. Wajahnya dingin ketika masuk ke rumah dan disambut Bapakku tapi berubah sesaat melihatku, tersenyum.


    “Pasti Kosim membocorkan hal ini,” pikirku saat itu dengan detakan jantung tak menentu sehabis melihat Rina tersenyum.


    Pada akhirnya, aku mengetahui Rina mengunjungiku hanyalah Fantasi Hatarx, padahal aku senang di samping rasa tegangku bertemu dengannya lagi.

    ***

    Sewaktu aku sholat Isya berjamaah bersama Bapakku, Bapakku langsung berdiri lagi padahal aku merasa ini sudah rakaat keempat dan seharusnya Bapakku duduk tahyat akhir untuk mengakhiri sholat ini. Awalnya aku mengira ini hanya Time loop Hatarx, aslinya aku bengong dan membatalkan sholat. Tapi ternyata Bapakku yang salah karena kelupaan. Seharusnya aku mengingatkannya dengan mengucapkan subhanallah kalau aku merasa imamnya melakukan kesalahan! Itulah sekelumit cerita tentang sensai time loop yang bisa dirasakan semua orang.


    Semenjak aku disuruh Kepsek untuk memberi tahu kondisi terbaruku soal Hatarx, Bapakku langsung memutuskan untuk tetap di rumah terus, membuat rumah ini sebagai tempat rehabilitasi Hatarx dengan tangannya sendiri, dan mengawasiku setiap harinya. Ia belum mau memanggil dokter-dokter karena melihat kondisiku belum terlalu parah. Setuju-setuju saja aku dengan caranya selama tak membahayakanku.


    Di pertengahan bulan Febuari, Ellena menghubungiku lewat ponsel dan memberi tahuku dengan nada agak pamer sedikit bahwasanya kakaknya masuk ke divisi khusus yang menyelidiki kasus-kasus Permainan Dunia di bawah pimpinan Senopati Jaka. Divisi tersebut bernama Fadas dan divisi tersebut terbentuk atas keputusan Mahapatih, pengganti divisi IV. Divisi Fadas terbentuk semenjak Jaka keluar dari rumah sakit dan Mahapatih melihat kemampuan Jaka semenjak penyerbuan Aftarus di bulan November. Kata Ellena, Kak Johan dijadikan asisten pribadi si Jaka. Sepertinya mereka berdua akan melesat karirnya jika sukses di divisi Fadas dan semoga si Johan tak ketularan jenggot lebatnya Jaka. Hanya orang tertentu saja yang cocok punya jenggotnya Jaka.


    “Eka, aku dengar kau terkena racun bernama Hatarx. Bagaimana rasanya?” tanya Eri penasaran.


    “Menyeramkan. Dan juga aku tak tahu apakah pembicaraan kita ini fantasiku atau tidak!”


    “Ah, kau boleh anggap aku fantasi. Dan aku baru saja mendapatkan informasi tentang Hatarx, apakah kau mau dengar?”


    “Boleh saja,” jawabku. Apa yang ingin diberi tahu Ellena? Apakah ada informasi yang belum aku ketahui tentang Hatarx?


    “Eka, jikalau kau sudah melewati enam bulan masa Hatarx, apakah kaukira efek Hatarx akan hilang?”


    “Tentu,” jawabku yakin.


    “Salah besar kau. Menurut informasi yang kudapati dari buku dunia dokteranku, pengidap racun Hatarx yang sudah masuk ke fase di atas dua, akan mengalami beberapa gejala Hatarx dalam tensi kecil.”


    “Terima kasih atas informasi itu!”


    “Iya iya. Dan apakah kautahu Eka, orang yang sudah gila karena Hatarx tak akan sembuh lagi karena kesadarannya sudah dimanipulasi seluruhnya oleh Hatarx!!”


    “Eh, mana mungkin kesadaran bisa dimanipulasi?!” kejut aku bukan main.


    “Eka, aku ingin menutup telepon dan apakah tadi aku berbicara soal memanipulasi kesadaran?”


    Baru kusadari kalau tadi Fantasi Hatarx kambuh sebentar. Ellena menjelaskan kepadaku bahwa memang benar kesadaran bisa dimanipulasi dan membuat si korban Hatarx menjadi gila. Tapi bukan berarti si korban tak bisa sembuh. Semoga aku tak sampai gila gara-gara racun ini!

    ***

    Hari demi hari kulewati. Kuhabiskan waktuku di rumah. Bapakku menganjurkanku untuk beristirahat dan menenangkan pikiran di kamar tidurku, tapi bagaimana bisa aku santai kalau aku bingung apakah ajuran tersebut berasal dari Fantasi Hatarx atau tidak! Awalnya bingung tapi pada akhirnya aku mendapati nasehat tersebut asli, bukan rekaan Hatarx.


    Membedakan yang mana Hatarx mana yang tidak sebenarnya tinggal menunggu waktu saja seperti dibangunkan, tapi semakin hari semakin susah saja membedakan mana yang realita dan fantasi. Sudah menyatu sepertinya dalam satu garis kehidupan. Pembangunkan pun sudah kubilang tak efektif lagi karena ada kalanya itu bagian dari Fantasi Hatarx. Dan mimpiku juga mulai terkontaminasi dengan Fantasi Hatarx yang membuat realita berlanjut di dunia alam bawah sadar.


    Tapi beruntung aku berhasil menemukan cara untuk membedakan fantasi dan realita; kode rahasia. Aku memberikan kode rahasia kepada Eko seperti “Kucing lari terbang”. Semisalnya si Eko tak tahu atau tak ingat, berarti saat ini aku berada di dunia fantasi atau sewaktu aku memberi tahunya, aku berada di fase Fantasi Hatarx. Cara ini lumayan efektif dan aku berhasil membedakan mana realita mana fantasi. Tekanan Hatarx terasa sudah menurun. Time Loop Hatarx mulai jarang terjadi. Tingkatan stresku mulai menurun ke titik aman. Pertanda bagus untukku di pertengahan bulan Febuari.


    Di akhir bulan Febuari, cara kode rahasia mulai tak relevan dan aku mulai mencium bau-bau yang muncul sendiri seperti kasus di toilet. Ketika aku berjalan menuju toilet, aku mencium bau pesing dan ketika aku mengecek toilet, tidak ada air seni yang belum disiram. Sepertinya Hatarx mulai merambah ke indra penciuman. Kemungkinan indra pengecapan dan peraba akan menjadi target dari racun tubuhku.


    Pernah beberapa kali aku buang air besar dan kecil dalam Fantasi dan Time Loop Hatarx. Dan beruntung, aku tak mengompol atau buang ampas di celana sehabis aku tersadar.


    Aku pernah bertanya kepadaku apakah aku boleh menggunakan obat penenang untuk meredakan stres yang kurasa tingkatannya sudah cukup tinggi.


    “Jangan!! Memakai obat penenang sama saja mengindikasikan kau sudah gila!!” marah Bapakku.


    Memang benar apa yang dikatakan Bapakku, memakai obat penenang sama saja mendoakan aku menjadi gila. Dan juga kudengar pemakain obat penenang bisa memberikan efek samping besar kepada kesehatan jasmani.


    Seperti biasa, Bapakku menasehatiku untuk menenangkan diri, berdoa kepada Tuhan, dan berpikiran positif. Cara-cara yang diberikan Bapakku sudah kulakukan tapi kurasa cara-cara ini taka akan bisa menghentikan laju racun yang ada di tubuhku. Aku sudah mulai pesimis dengan kondisiku.


    Menjelang hari-hari di akhir bulan Febuari, aku merasa semua pengindraanku jatuh ke tangan racun tubuhku. Pasrah total aku dengan kondisi seperti ini walaupun orang di sekitarku beruaha membantuku dengan membangunkanku dari Fantasi Hatarx. Aku sudah membiarkan kebingungan ini berlalu dan membuatku mengalir antara dunia fantasi dan realita yang amat sangat sulit untuk dibedakan. Terlalu realistik mengatakan ini fantasi dan sebaliknya.

    ***

    Hari ini sudah masuk bulan Maret dan pertanda umurku sudah 19 tahun. Banyak teman sebayaku bingung kenapa usiaku sangat tua dibanding usia mereka. Tentu alasan paling rasional adalah aku pernah tinggal kelas waktu kelas tujuh dan delapan SMP yang merupakan saat-saat aku menjadi berandalan.


    Tak ada perayaan hari ini karena seketika aku bangun dari tidur dan keluar dari kamar, semua yang bergerak berhenti layaknya mematung seperti Bapakku yang sedang menuangkan teh, Eko yang terpleset akibat lari di lantai basah, jam berhenti bergerak dan berdetak, dan rintikan air hujan yang ada di luar rumah terlihat dari jendela terhenti.


    “Apa ini yang di sebut menghentikan waktu?!” gumamku seraya mengamati sekeliling. Teringat sedikit kejadian aku ketika di gudang sekolah sewaktu mengambil baterai bersama Guntur,


    Pengaruh Hatarx, pasti! Tapi bagaimana mana bisa Hatarx mempengaruhi waktu? Mustahil kelas berat!


    Hanya satu asumsiku; ini adalah dunia rekaan Fantasi Hatarx. Layaknya Time Loop Hatarx, peristiwa ini juga berhubungan dengan waktu dan akan kusebut peristiwa ini sebagai Menghentikan Waktu Hatarx!


    “Harus apa aku?” gumamku kebingungan menoleh kesana-kemari.


    “Berlarilah, Eka!!”


    Suara bisikan tersebut mirip total dengan suara diriku yang sering kudengar dari rekaman video. Semenjak Hatarx masuk ke tubuhku,baru pertama kalinya aku mendengar suara bisikan dari diriku sendiri. Aku melirik ke asal suara, sebelah kananku, tapi tak ada wujud diriku. Haruskan aku mengikutinya? Sepertinya. Tak ada salahnya untuk mengikuti bisikan diriku versi Hatarx.


    Aku berlari secepat mungkin, mengikuti mataku memandang.Baru pertama kalinya aku berlari sebebas ini tanpa ada rasa malu layaknya bocah ingusan. Dapur, lorong, dan ruang tamu kulalui. Sesaat aku membuka pintu keluar utama rumah, kosong apa yang aku lihat dari kedua mataku. Putih, kosong, tak ada satupun objek, dan sunyi layaknya apa yang aku pernah khayalankan sewaktu di gudang Panzer, hanya saja waktu itu latarnya hitam. Ke mana air hujan taman yang aku lihat dari jendela beberapa saat lalu? Ah, mataku telah dibohongi Hatarx sepertinya, sama seperti tempat aku berada, rekaan Hatarx.


    Aku menoleh ke belakang dan rumah besar bergaya Victoria milikku menghilang layaknya tak pernah ada. Semua yang ada di sekitarku putih, begitu juga tempat aku berpijak, beiang sekali layaknya kaca yang baru dibersihkan. Aku menekur dan melihat langit yang putih bagaikan kertas putih polos. Sepertinya langit ini tak ada ujungnya kalau aku mencoba terbang dengan sayap.


    “Bagaimana cara aku keluar?” gumamku kebingungan seraya memegang jenggot tipis ini dan menoleh kesana-kemari.


    “Selamat datang, Eka!” sambut seseorang dari belakang dan suaranya jelas mirip dengan suaraku.


    Aku memalingkan kepala ke belakang dan melihat wujud diriku yang biasa kulihat di kaca. Pakaian yang dikenakannya sama persis denganku. Berkacamata hitam. Berjenggot tipis. Memakai sendal yang sama persis dengan apa yang kukenakan sekarang.Ia tampak tersenyum tipis. Aku yakin seratus persen ia adalah diriku versi Hatarx.


    “Eka, sudah waktunya kau sadar; dunia kau berada adalah rekaanmu!!”


    “A-Apa maksudmu, diriku versi Hatarx?!” tanyaku.


    “Hatarx adalah klimas dari skenario tak jelasmu. Kau adalah orang gila di dunia nyata, Eka. Orang-orang yang ada di dunia ini seperti Bapakmu, Eko, Rina, Kosim, Ellena, Jaka, dan Panji hanyalah rekaanmu saja dan sebenarnya di dunia asli, mereka semua sudah mati!”


    Ah, lelocan macam apa itu! Hatarx sepertinya ingin menghancurkan kesadaranku dengan menanggap dunia ini, dunia Nusatoro, adalah dunia rekaan orang gila. Pertahankan pendirianmu, Eka!!


    “Apa maksudmu, Hatarx?!” tanyaku layaknya meledek orang seraya terkekeh. “Tak mungkin dunia Nusatoro itu rekaanku!”


    “Eka, kau sudah terlalu lama berada di dunia rekaanmu. Kau tahu kenapa kau gila? Karena kau tak pernah menerima kenyataan!! Sudah saatnya kau sadar, bangun, dan hadapi duniamu!!”


    Aduh, kenapa kepalaku sakit sedikit ya? Apakah ini pengaruh Hatarx?


    Melihat aku pening, diriku versi Hatarx mulai menyeringai. “Oh, kau sakit kepala ya? Pasti alam bawah sadarmu sudah menyadari kebenaran bahwasanya kau tidak kaya! Berlawanan dari di dunia nyata. Bapakmu bukan bekerja sebagai juragan mie ayam bahkan lebih melasnya, ia adalah tukang mie ayam gerobak sebelum wafat.


    “Dunia ini adalah visualisasi dari apa yang berlawanan dari realita. Apa yang tak pernah kau wujudkan, kau visualisasi di dunia rekaanmu. Cyborg, Mahapatih, Bhayangkara, STM Panzer, Dakian, Fursan, Levtxsan-zand, Cakra, Arjuna, Kidang, dan Permainan Dunia hanyalah fantasi belakamu yang terinspirasi dari dunia nyata dan kau mengunakannya untuk lari dari kenyataan.


    “Kalau kau mencoba mengingat masa lampau versi dunia nyata, pastinya tak akan ada karena kau sudah mengkorupsi ingatan aslimu dan mengaburkannya dengan menaruh ingatan versi buatanmu.


    “Sudah empat tahun kau begini, Eka. Sudah saatnya kau bangkit menjadi pria yang berani menghadapi dunia lagi,” seru diriku versi Hatarx seraya mengepal tangan kanannya dan meninju langit.


    “Tunggu dulu diriku versi Hatarx, aku tak yakin apa yang kau katakan itu benar. Aku punya banyak kontradiksi dari apa yang kau tuturkan. Bolehkah aku sebutkan satu-persatu?”


    Diriku versi Hatarx sambil bertolak pinggang menangguk.


    “Kesatu, saat ini aku sedang kena Hatarx dan bisa saja apa yang kau katakan hanyalah kebohongan belaka agar aku naik ke tahap ke fase selanjutnya!” tuturku dengan keyakinan penuh. Biarlah si diriku versi Hatarx menyangkal. Ada pepatah maling tak akan mengaku mencuri dalam keadaan apapun.


    “Kedua, bagaimana bisa aku membuat dunia layak Nusatoro yang amat sangat realistik seperti sensasi stres karena ujian nasional, berdebar-debat jantung kalau melihat orang yang disukai, dan mimpi saat tidur? Jikalau ini memang dunia rekaanku, harusnya aku sudah tahu apa yang terjadi dan mengatur dunia ini layaknya Lucid dream, orang yang bermimpi menjadi sutradara di mimpinya!


    “Terakhir, kenapa kau memintaku untuk sadar? Apa pentingnya bagi dirimu untuk menyadarkanku jikalau apa yang kau katakan itu benar?” tukasku seraya menyeringai lebar. Kemenangan ada di genggamanku dan pendirian tak akan goyah karenanya karena pendirianku kokoh layaknya baja tank Panzer.


    Diriku versi Hatarx menghela nafas panjang. Menatapku sebentar dengan senyuman tipis dan berkata, “Ah, Eka. Kau sudah larut di dunia rekaanmu, membiarkan dirimu terombang-ambing di skenario cerita yang berasal dari alam bawah sadarmu.


    “Kalau kau bertanya kenapa aku ingin sekali menyadarkanmu, hanya ada satu jawaban yang mengkonter kontradiksi pertama dan ketiga anda; aku adalah kau, kau adalah aku. Aku adalah kesadaran aslimu. Wujudmu adalah wujudku. Hatarx adalah klimaks dari ceritamu, yang sudah kusiapkan dari jauh-jauh hari untuk menyadarkanmu. Aku sudah muak melihat dirimu menjadi pelari dari dunia, membuat dunia yang tak ada tanda akhirnya. Kau tak bisa menerima kenyataan layaknya seorang janda hamil tua yang keguguran dan menganggap boneka tidurnya sebagai anaknya!!”


    Aduh, kenapa kepalaku mendadak pusing sekali? Apakah ini karena ocehan dia yang tak ada hentinya? Atau bisa saja apa yang dikatakannya benar, alam bawah sadarku mulai bereaksi.


    Tak mungkin. Paling ini hanya karena terlalu banyak mendengar ocehannya!


    “Bisakah kau diam sebentar?! Kepalaku sakit,” pintaku memaksa.


    “Ha, benar apa yang kukatakan; alam bawah sadarmu sudah menyadari kebenaran yang kukatakan!” serunya bersemangat layaknya sudah jadi pemenang. Terlalu percaya diri kau, Hatarx!


    “Terlalu absrud mengatakan alam bawah sadarku percaya apa yang kau katakan, Hatarx!” seruku.


    “Berhentilah menganggapku Hatarx, Eka! Aku adalah kau. Hatarx hanyalah skenario belaka-“


    “Kalau kau memang kesadaranku, jelaskan di mana tempat aku berpijak sekarang?!”


    “Kau berada di alam bawah sadarmu, Eka. Kau tahu mimpi? Saat manusia tidur, alam bawah sadar memvisualkan dunia rekaan sampai manusia terbangun. Hal ini sama sepertimu sekarang!


    “Jikalau kau bingung kenapa dunia bisa sebaik dengan dunia asli, asal kau tahu, Eka, bahwasanya kau mampu memvisualkan dunia ini layaknya dunia nyata karena otakmu sudah terbiasa berimajinasi ke tingkat paling tinggi!”


    Ehm, aku mulai merasa apa yang dikatakannya bisa saja benar. Semua kontradiksiku dapat dibalas dengan jawaban yang cukup meyakinkan. Pendirianku mulai luluh perlahan-lahan semenjak ia melontarkan jawaban pertamanya dan akhirnya mendekati keruntuhan total mulai detik ini. Semua kemungkinan bisa terjadi termasuk yang dikatakannya. Kebiasaan burukku mulai keluar, peragu kelas berat.


    Sepertinya benar kata diriku versi Hatarx, aku adalah pelari dari kehidupan nyata yang tak bisa menerima kenyataan hidup. Mengkorupsi ataupun memanipulasi ingatan bisa saja terjadi selama ada yang mengendalikannya adalah si empu otak.Menyedihkan. Hina sekali diriku jikalau apa yang dikatakannya benar. Beberapa bukti seperti kepala pusing mungkin karena alam bawah sadar mulai menyadari kebenaran. Pasti di kehidupan nyata, aku yang gila ini berbicara sendiri layaknya bercakap-cakap. Tersenyum dan tertawa sendiri di tengah mengkhayal orang yang ada di depanku adalah temanku, entah itu Guntur atau Kosim. Makan nasi goreng buatan Rina padahal tak makan apa-apa atau menanggap yang dimakan adalah nasi goreng dalam khayalanku. Bermain Cerjab dengan Kepsek padahal bermain dengan sendiri –tak habis pikir aku bagaimana bisa aku stres sendiri dengan pertanyaan Kepsek yang aslinya hanyalah rekaanku. Dan buang air kecil padahal aslinya mengompol ataupun sedang bau air kecil di toilet rumah sakit jiwa.


    Ah, Eka! Tetap pertahankan pendirianmu. Sadarlah kalau orang yang di depanku ini hanya memancingku untuk bingung, stres, dan menerima keadaan bahwasanya aku gila!


    Masih ada satu kontradiksi lagi untuk menyangkal semua pernyataannya. Kalau semisalnya kontradiksiku ini gagal lagi, akan aku putuskan diriku versi Hatarx menang. Tapi jika ia tak gagal menjawab kontradiksi dengan argument yang meyakinkan, aku tak tahu harus apa. Aku bingung bagaimana aku keluar dari tempat ini. Harapanku hanya satu; dibangunkan Bapakku atau Eko ataupun penghuni rumah lainnya.


    Terlihat diriku versi Hatarx menungguku berkata lagi dengan tersenyum tipis. Kedua tangannya dikepal di depan perutnya. Badannya tegap layaknya satpam baru STM Panzer yang aku lupa namanya.


    “Ada satu lagi pertanyaan yang ingin kutanyakan. Kalau kau berhasil meyakinkanku dengan jawabanmu, aku akan terima kau adalah kesadaranku dan aku ini gila,” ujarku mulai menipis keyakinan.


    “Baiklah. Apa itu?” tanyanya santai.


    “Pernyataan ‘kau adalah aku dan aku adalah kau’ mengganjal dipikiranku. Kalau seandainya kau adalah aku, seharusnya kau tahu apa yang aku pikirkan sekarang dan sebaliknya, aku tahu apa yang kau ingin jelaskan!


    “Dan juga aku ingin tahu dari mana pelajaran-pelajaran layaknya matariks, logaritma? Semisalnya aku gila pada saat SMP, tak mungkin aku mendapatkan pelajaran SMA seperti itu!”


    Tak terlihat raut kejut ataupun cemas tak bisa menjawab, justu sebaliknya, ia tersenyum lebar dan menjawab, “Itu hanya sebatas metafora belaka saja, Eka. Aku tak sepenuhnya kamu, begitu juga dengan sebaliknya. Aku memang kesadaranmu tapi kendali total berada padamu, Eka!


    “Mengenai pelajaran yang kau dapati dari dunia rekaanmu, aku harus bilang memang benar kau gila saat menjelang kelulusan SMP. Dan semua pelajaran yang ada di duniamu sama persis dengan pelajaran di dunia nyata karena pernah beberapa kali kau membuka buku SMA kala pergi ke perpustakaan SMP-mu.”


    Oke, kau menang, Kesadaranku! Sepertinya selama ini aku sudah berfantasi terlalu jauh. Cyborg, Hatarx, Mahapatih, satpam Kidang punya senjata di pos satpam, Jenggot kegagahan Jaka, nasi goreng unta, kuda Aftarus, hujan nasi uduk dan goreng basi, dan Permainan Dunia kurasa memang agak aneh dan absurd untuk ukuran dunia realita. Aku memang tak memiliki memori tentang dunia nyata yang menjadi misteri bagiku, tapi apa salahnya jika aku bangkit dan menghadapi dunia nyata lagi.


    “Hai Kesadaranku, aku penasaran dengan dunia nyata seperti apa. Bagaimana caranya aku sadar dari kegilaan ini?” tanya aku kepadanya dengan ramah.


    Kesadaranku menyeringai. Ia menepuk tangannya seraya menjawab pertanyaanku, “Cukup tiduran di tempat kau berpinjak dan mencoba untuk tidur lelap.”


    “Sampai jumpa di kehidupan nyata, Eka,” serunya disertai seringaian lalu ia menghilang layaknya jin lampu masuk ke kendi.


    Sendiri total aku sekarang. Hening. Sepi. Tak objek di tempat ini selain diriku. Kalau aku berteriak, pastinya suaraku akan menyebar dan tak akan hilang mengingat tak ada benda yang menyerap atau menghalangi suara ini, itulah hipotesis kasarku.


    Tempat ini menurutku merupakan tempat terbaik bagi orang yang ingin mengasingkan dari lingkaran sosial masyarakat ataupun menurunkan tensi stres. Tapi sayang, mereka tak akan menemukan tempat seperti ini selain diimajinasi mereka. Sepertinya aku harus melakukan apa yang dikatakan Kesadaranku. Aku langsung duduk di tempat pijakanku lalu berbaring. Kedua tanganku kujadikan menjadi bantalan kepala. Berusaha relaks untuk tidur. Selama mata ini terbuka, aku menatap langit putih layaknya kertas HVS yang belum ternoda oleh tinta.


    Aku melepas kacamata hitam ini. Tak ada koneksi internet wilayah ini. Kacamata ini tak mau mengidahkan perintahku dan sepertinya kacamata ini hilang fungsinya sesaat aku berada di tempat ini. Kacamata ini adalah bagaian rekaanku dan tak akan bisa kujumpai kacamata macam ini di kehidupan nyata, mungkin.


    Kupejamkan mataku dan sekarang otakku fokus untuk tidur. Aku berguling kesana-kemari dan berhasil mendapatkan posisi enak dengan posisi tidur ke arah kanan.


    Menit demi menit berlalu. Rasa kantukku mulai muncul. Perlahan-lahan aku mulai terbawa ke alam lain, entah mimpi atau alam realita.


    ***

    Aku membuka mataku dan melihat di sekelilingku gelap gulita. Ada sedikit cahaya dan sepertinya berasal dari sinar bulan yang masuk ke jendela ruangan ini. Aku merasakan sudah tertidur dalam waktu lama, berkisar delapan-sembilan jam. Terasa empuk tempat aku berbaring ini. Aku meraba-raba tempat kutiduri ini dan sepertinya tempat di mana aku terlentang ini merupakan kasur.


    “Di mana aku?” gumamkukebingungan.


    Tangan kiriku memegang jenggot keci- tunggu, ini jenggot kenapa terasa lebat ya? Panjang dan tak terurus teksturnya. Apa mungkin jenggot kegagahan Jaka muncul pada diriku versi dunia nyata?
     
  12. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Parjo

    “Eka, apakah kau masih ingat kenangan 5 tahun lalu sebelum engkau gila?” tanyanya dengan ramah.


    Aku menggeleng tak paham maksud orang yang sedang menyetir sedan miliknya, Parjo Syarifudin, orang yang menjemputku dari rumah sakit jiwa dan mengklaim sebagai pengasuhku setelah Bapakku wafat. Cukup terkejut aku melihat sang penjemput itu berpakaian jas rapi layaknya mau bertemu pengusaha besar, sepatu fantofel, dan rambut hitam sedikit memutih itu diberinya semacam minyak rambut. Ia mengaku mengabdi sebagai lurah di suatu daerah di Tangerang.


    Selama perjalanan menuju rumahnya, Pak Parjo menceritakan siapa aku menurut padangannya dan sepertinya tak masalah buatnya untuk membagi konsentrasi bercerita kala menyetir di jalan tol ini. Aku adalah anak dari istri pertama Okto Wirdhana. Sama persis silsilah keluargaku dengan versi dunia Nusatoro. Hanya saja yang membedakan Lutfhi Butana bukanlah profesor. Di dunia asli, ia adalah seorang teknisi jam yang punya keinginan menjadi ilmuwan tapi tak pernah kesampaian. Dia meninggal di tahun 2004 saat aku masih berumur delapan tahun, kata Pak Parjo. Pak Parjo memberikan arloji buatan Kakekku kepadaku dan bentuknya sama persis dengan arloji di duniaku, terinspirasikah?


    Bapakku memang punya dua istri dan dulunya ia adalah juragan mie ayam tapi tak sekaya di dunia rekaanku. Kata Pak Parjo, usahanya bangkrut karena dituduh oleh seseorang–yang sepertinya iri dengan usaha Bapakku–bahwasanya Bapakku meracuni pelanggan setelah terjadi kasus dua puluh pelanggan sakit perut. Beruntung kasus ini tak merembet ke kepolisian, tapi dagangan mie ayam Bapakku menjadi sepi layaknya diembargo orang-orang sekitarnya sehingga memaksanya hijrah ke Tangerang untuk kehidupan baru.


    Di Tangerang, ia membuka usahanya di tahun 2005 dan berjuang bersama kedua ibuku untuk bertahan hidup dengan mengais rezeki yang halal. Usaha mie ayamnya lumayan sukses tapi semangat Bapakku mulai sedikit menurun saat kedua istrinya meninggal di tahun 2006 dan usaha Bapakku mati total saat ia meninggal gara-gara ditabrak truk di tahun 2010.


    Sebelum aku gila, aku adalah seorang siswa berekonomian menengah ke bawah di sebuah SMP negeri di daerah Ciledug dan dari sanalah aku bertemu dengan Rina, Kosim, Ellena, dan Guntur. Dalam dunia ini yang kusebut dunia Indonesia, Kosim bukanlah adik kelasku dan kami sepantara, satu kelas lagi. Kami berlima sekelas terus dari kelas 7 sampai kelas 9 dan Pak Parjo menyebut mereka berempat sebagai teman terbaikku. Saat menjelang perpisahan, mereka berempat meninggal di tempat yang berbeda-beda pada hari yang sama; Kosim mati karena terjebak di medan tawuran sekolah di Jakarta selatan, Rina mati gara-gara kebakaran restoran yang di mana sedang mengadakan latihan masak untuk pemula, dan Ellena mati karena ditabrak truk penangkut mobil-mobil. Waktu mati mereka berdekatan dengan hari meninggalnya Eko–dia mati akibat tenggelam di sungai saat mengambil barang berharganya yang terjatuh– dan Bapakku. Kematian mereka semua membuatku menjadi tidak bisa menerima kenyataan, depresi berat, mengurung diri di kamar tidur, dan membuat skenario dunia sendiri, menurut Pak Parjo.


    “Aku menemukan kau mengurung diri di kamar setelah penasaran kenapa tak ada tanda-tanda kehidupan di kontrakannya Okto selama beberapa minggu. Sunguh mengenaskan sekali kondisimu waktu itu, Eka. Kau berbicara sendiri seolah-olah ada orang di depanmu dan badanmu tak terurus. Baju yang kau kenakan lusuh sekali dan sepertinya kau belum pernah mandi. Waktu itu aku berusaha menyadarkanmu tapi kau hanya tersenyum dan menanggapku sebagai Eko. Walaupun aku menampar-namparmu berkali-kali, kau hanya tertawa layak orang gila sambil berkata, “Eko, kalau kau marah karena ditolak wanita, jangan lampiaskan kepadaku!”” tutur Pak Parjo memeragakan gayaku berbicara seperti itu.


    “Itulah mengapa aku memasukanmu ke rumah sakit jiwa. Apakah kau dendam kepadaku setelah kuceritakan kenapa kau bisa mendekam di rumah skait jiwa tersebut?”


    Aku menggeleng. “Yang lalu biarlah berlalu, Pak Lurah,” ujarku dengan tenang.


    “Bagus sekali kata-katamu, Eka. Awalnya kukira kau masih punya bekas-bekas sakit jiwa tapi ternyata tidak,” kata Pak Parjo sembari tersenyum.


    Cerita kehidupan Rina versi Pak Parjo dengan versi yang kudapati dari dunia rekaanku tak jauh berbeda mengenai kebakaran rumah Rina, hanya nama daerahnya berbeda, Cangkarang menjadi Cengkareng. Yang berbeda di cerita Rina di kehidupan nyata adalah kelanjutan hidup sehabis kejadian kebakaran. Menurut cerita yang didapati Pak Parjo dariku kala aku belum gila, Rina hidup sebatang kara dan diasuh di panti asuhan selama dua tahun sebelum diasuh keluarga Gandi. Setelah diadopsi oleh pasangan suami-istri tak beranak tersebut, Rina yang trauma dengan api akhirnya berhasil sembuhnya dan kejadiannya sama seperti yang diceritakan Rina versi dunia rekaanku. Rina kata aku sebelum gila akan melanjutkan ke SMK jurusan tata boga. Sepertinya cita-cita Rina di dunia mana saja tak akan berbeda. Parjo menambahkan kalau si Rina orangnya dingin dan mukanya sering datar tapi tidak kalau ia bersama teman-teman dekatnya.


    Cerita kehidupan Kosim agak berbeda versi dari dunia rekaanku. Kesamaannya hanyalah Kosim merupakan perantau dari daerah Praingan (Bringan di dunia rekaanku) dan perbedaannya adalah si Kosim merantau bersama kedua orang tuanya yang katanya tak puas menjadi petani terus. Ingin mencari kehidupan lebih baik di kawasan Jabodetabek padahal menurut Parjo, pemikiran mereka salah besar dan malah bisa menyengsarakan keluarganya Kosim. Beruntung keluarganya Kosim dapat bertahan hidup dengan bekerja sebagai tukang gunting rambut di suatu pasar ternama di wilayah Ciledug. Kata aku kala dulu menurut Parjo, Kosim itu jago silat dan mampu mematahkan tangan seseorang yang ingin menyerangnya. Ia dikenal dengan alim dan ilmu agamanya cukup tinggi hanya karena sewaktu SD, Abdul Kosim selalu berguru dengan ulama-ulama di kampungnya. Kosim lahir tahun Januari 1997, lebih tua sedikit ketimbang Eko yang lahir Desember 1997 dan menjadi anak kelas 7 saat aku kelas 9.


    Cerita kehidupan Guntur sama persis di dunia manapun; Ayahnya bekerja sebagai pegawai swasta di perusahaan minyak sedangkan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Lahirnya juga sama tanggal dan bulannya, 19 Juni tapi yang berbeda tahunnya, 1996.


    Cerita kehidupan Ellena agak dramatis. Di dunia rekaanku, Ellena adalah anak dari pengusaha ternama di negeri Nusatoro yang menguasai banyak pabrik besi di Yabar. Di dunia nyata, Ellena adalah anak buangan dari keluarganya akibat persaingan kubu-kubu yang ada di keluarganya setelah wafat ayahnya Ellena di tahun 2003. Tak terlalu jelas informasi tentang masa lalu Ellena, kata Parjo. Setelah dibuang di suatu pasar, Ellena bertahan hidup layaknya anak-anak pemulung dan beruntung, belum seminggu menjadi pemulung, Ayah angkat Rina bertemu dengannya dan merasa kasihan kepada Ellena sehingga diadopsilah ia menjadi adiknya Rina. Umur si Rina memang sepantara dengan Ellena tapi yang berbeda Rina lahir di Januari 1996 sedangkan Ellena lahir Mei 1996. Semua tanggal lahir mereka berdua sama persis di dunia rekaanku, begitu juga dengan Kosim, Eko, dan Guntur.


    Dina tak diceritakannya. Mungkin saja si Dina itu hanyalah rekaanku saja, tak ada di realita seperti yang lain. Atau mungkin saja ada Dina di dunia nyata ini hanya saja aku tak pernah menyeritakannya kepada Pak Parjo.


    “Eka, apakah kau ingat waktu kau curhat kepadaku soal Rina sekitar enam tahun lalu?” tanya Pak Parjo dengan seringaian layaknya orang mengoda saja.


    Aku menggeleng dengan kebingungan memikirkan apa yang aku curahkan kepada lurah ini di samping detak jantung tak karuan.


    “Sepertinya memorimu sudah termanipulasi total oleh dirimu, Eka. Dicuci otak sebutan lainnya yang kurasa pas. Baiklah, akan aku jelaskan pembicaraan kita enam tahun lalu,” seru Parjo.


    “Waktu itu di warung tukang baso saat aku mentraktirmu, kau mengatakan kepadaku bahwa kau suka dengan Rina semenjak kelas 7, cinta pandangan pertama,” tuturnya menahan tawa di tengah mukanya yang menyeringai. “Hanya aku seorang yang tahu siapa orang yang kau suka, Eka!”


    Aku tertawa sedikit, menutupi rasa malu ini. Tak kusangka di dunia asli, aku orangnya agak terbuka soal perasaan.


    “Sayang, kau ini orangnya pemalu berat walaupun aslinya kau badung dan cerdas,” tambah Parjo. “Jadinya kau tak sempat mengungkapkan perasaanmu sebelum ia meninggal, kasihan.


    “Jadi Eka, apakah di dunia rekaanmu kau pernah mengungkapkan perasaanmu kepadanya?” tanya mendadak Parjo.


    “P-pernah,” jawabku sedikit malu-malu. “D-Dan dia juga mengatakan ia suka samaku setelah aku menyatakan perasaanku.”


    “Jadi apakah kalian berdua pacaran di dunia rekaanmu?”


    “Tidak.”


    “Ah, kenapa?” tanya Pak Parjo yang sepertinya cukup penasaran.


    “Selain rasa malu diriku yang lumayan besar, aku takut semisalnya mencampakan atau menyakiti pasangan. Aku sudah sering melihat hal ini di dunia rekaanku dan pastinya juga terjadi di dunia ini,” jelasku.


    “Ah, kau berani bertarung melawan sepuluh orang tapi tak berani tidak untuk wanita,” sindir Pak Parjo menyeringai. “Tapi menurutku bagus kalau kau punya persepsi seperti itu. Aku merasa anak muda sekarang sering gonta-ganti pasangan dengan alasan tak punya perasaan lagi atau dikhianati. Enakan zaman dulu di mana anak muda malu-malu tapi tak separah kau, Eka!


    “Lagi pula berdekatan dengan yang bukan muhrimnya menambah dosa dan berujung dengan zina,” pungkas Pak Parjo yang sepertinya sudah kelelahan mulutnya mengoceh terus. Bagus, aku tak suka kalau orang tipikal seperti Parjo itu cerewet. Masih diterima kalau tante-tante cerewet, tapi untuk lelaki tidak jikalau pembahasan ocehan tak karuannya bukan suatu yang penting.


    ***

    “Eka, bisakah kau ceritakan dunia rekaanmu kepadaku?” pinta Pak Parjo di tengah kemacetan tol ini. Baru sepuluh menit berlalu dan ocehannya akhirnya kembali keluar lagi.


    “Baiklah, Pak Lurah. Akan kuceritakan semua yang terjadi di dunia rekaanku,” ujarku seraya memulai menuturkan cerita. Cerita tentang dunia Nusatoro kumulai dari pembahasan negara Konfederasi Nusatoro, Mahapatih Gajah Modo dan Maharaja muda Nusatoro, negara federal republik Yabar, Bhayangkara, Senopati Jaka, Kidang, dan letak Nusatoro; tenggara benua Azia. Pembahasan benua Azia merembet-rembet ke negara-negara seperti Dakian, Jipang, Sino, Apel Jaya, Rus, Levtxsan, Israel, Amrik, dan lain-lain.


    “Wow, daya khayalanmu lumayan tinggi juga. Banyak negara asli terinspirasi dari kenyataan tapi ada juga yang tidak seperti Dakian dan Apel Jaya,” kagum Pak Lurah kepadaku.


    “Gajah Modo itu Gajah Mada, Mahapatih Majapahit dan sepertinya kau ini terlalu banyak membaca buku cerita Majapahit sehingga membuat negeri Nusatoro rekaan Majapahit versi modern!!


    “Dan aku tak bisa membayangkan Bhayangkara di dunia rekaanmu bertarung melawan musuh dengan golok jikalau kehabisan peluru. Di dunia ini, polisi hanya menggunakan pistol saja dan itupun polisinya mesti punya izin dulu.”


    “Di dunia Rekaanku juga seperti itu, Pak!” tambahku.


    “Oh, aku mengerti. Lanjutkan ceritamu!!”

    Aku menceritakan soal kekayaan Bapakku dan Pak Lurah tersenyum-senyum sendiri menahan tawanya. Sepertinya ia tak bisa membayangkan Bapakku yang tinggal di kontrakan miliknya menjadi orang terkaya ke sepuluh se-negara.


    Soal kacamata hitamku, aku ceritakan kepadanya tentang kacamata canggih yang bisa menakuti orang yang ingin menyerangku. “Oh, aku ingat soal kacamata yang bisa terkoneksi dengan internet dan melakukan apa yang si empu katakan. Kacamata tersebut mungkin beberapa tahun lagi akan dirilis ke pasaran. Tapi aku tak bisa membayangkan kacamata seperti itu ada penunggunya,” tuturnya disertai tawaan kecil.


    Rasanya kalau kacamata seperti itu keluar di pasaran, aku tak akan membelinya mengingat sudah sering aku memakai kacamata seperti itu, apalagi punyaku lebih canggih dan misterius.


    Aku mulai menceritakan tentang STM Panzer, dimulai dengan pendeskripsian detail seperti kondisi toilet Panzer dan hutan lebat Panzer. Selepas dari bagian bangunan, aku mulai menjelaskan soal Kepsek STM Panzer era awal sampai 899, Rendi Cempaka, dan Kepsek STM Panzer pencetus Cerjab, Panji Samudra, dan usahanya memberantas tawuran STM Panzer yang merajalela kala itu.


    “Kepsek seperti itu adalah tipe kepala sekolah yang jarang di negeri ini,” komentar Parjo.


    Aku penasaran dari mana aku terinspirasi orang-orang layaknya Kepsek Panji, Kidang, Jaka, Bhre Arjuna, dan Cakra. Menurut Pak Parjo, Arjuna itu adalah tokoh pewayangan Mahabarata dan untuk mengetahui karakternya seperti apa, Pak Parjo menyarankanku untuk mencarinya di internet atau buku.


    “Dan soal tawuran Panzer pastinya kau terinspirasi sama tradisi tawuran-tawuran sekolah-sekolah di Jakarta yang ganas, barbar, dan vandalis!” lanjut Parjo.


    “Mungkin saja,” sahutku tersenyum tipis. Tak tahu aku soal tawuran Jakarta. Yang aku tahu dari Jakarta adalah rumah sakit jiwa dan sekarang mobil ini masih ada di Jakarta, terjebak macet di tol.


    Aku melanjutkan cerita soal tawuran Panzer. Cerita tentang aku menjadi ketua OSIS Panzer, pemimpin berandalan Panzer, hujan nasi uduk basi, pengumpulan dana untuk melunasi hutang Panzer, Permainan Dunia, kejadian-kejadian di Nusatora, racun Hatarx, dan pertemuanku dengan Kesadaranku.


    “Terlalu banyak baca cerita konspirasi sehingga membuatmu berkhayal seperti itu,” berpendapat Pak Lurah. “Dan ketika sampai di kontrakanmu, bolehkah kau menuliskan angka-angka paragraf satu sampai tiga? Aku penasaran betul mendengar angka-angka yang digabungkan membuat suatu penanggalan terjadinya insiden!”


    “O-Oke. Kalau aku ingat,” responku sedikit kaget. “Tunggu, kontrakan?!”


    “Ya, kontrakan! Kontrakan yang dulu dipakai keluargamu tak pernah aku sewakan kepada siapapun karena aku tahu Eka akan kembali ke tempat itu. Aku dan anak buahku sudah membereskan kontrakanmu seperti baru. Selain itu kau tak usah membayar tagihan bulan ini dan akan aku berikan uang untuk usahamu!”


    Aduh, baik sekali kau. Pak Lurah. Sungguh terharu aku akan kebaikanmu. Dalam sanubariku, aku bertanya-tanya apakah aku mampu membalas kebaikannya. Pertanyaan apakah ia punya maksud tertentu dengan bertingkah baik sekali denganku tak kuhiraukan padahal diriku ini merupakan pencuriga, suatu penyakit yang tak bagus jika dipelihara terus.


    “Oh ya, Eka. Kenapa kau tak memotong jenggot lebat itu?!” tanya Pak Parjo dengan telunjuk kirinya menunjuk jenggotku yang mirip total dengan jenggot kegagahan Jaka. “Kau sudah mandi wajib kan sehabis sembuh dari gilamu?”


    “Sudah, Pak. Dan jenggot ini adalah kenang-kenangan dari dunia rekaanku,” jawabku sembari mengelus-elus jenggot ini. Pernah aku berkata kepada diriku sendiri bahwasanya aku tak mau punya jenggot layaknya Jaka, tapi aku mencabut pernyataan tersebut dari sekarang setelah merasakan enaknya punya jenggot seumpama Jaka. Seingatku, berjenggot itu sunah tapi kalau jenggot seperti ini harus dirapikan. Mungkin aku akan membuat jenggot kegagahan versiku, lebih rapi dan berseni walaupun aku tak terlalu mengerti ilmu keindahan.


    “Eka, apakah aku perlu menjelaskan apa yang terjadi di negeri ini selama kau gila?” tanya Pak Parjo dengan ramahnya.


    “Boleh saja.”


    Pak Parjo memulai menceritakan apa yang terjadi di negeri ini selama kurun waktu lima tahun. Ia menjelaskan siapa presiden sekarang –disertai riwayat perjuangannya dari wali kota Solo menjadi Presiden ke tujuh republik ini, siapa wakilnya, siapa jajaran menteri-menterinya, siapa gubenur Banten dan Jakarta sekarang, siapa wakil kota Tangerang, dan seterusnya ketingkatan terkecil sampai ke tingkatan RT yang kurasa tak terlalu penting.


    “Apakah kau mulai paham dengan negara tempatmu berpinjak, Eka?”


    “Paham. Tapi akan lebih baik kalau anda menjelaskan apa yang terjadi di dunia selama aku gila, dan keadaan Indonesia sebelum aku gila!” pintaku kepadanya dengan berharap banyak.


    “Maaf, Eka. Sebaiknya kau buka-buka internet saja atau buku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu,” saran Pak Parjo yang sepertinya tak punya kemampuan untuk menjawab semua pertanyaanku. Mungkin seandainya ia tak menjawab karena takut informasinya tak akurat dan salah. Pasti tak enak rasanya membuat orang awam dunia seperti aku mendapati informasi yang menyesatkan.


    ***

    “Kita sampai ke kontrakan!!” seru Pak Parjo seraya membimbingku ke sebuah kompleks kontrakan kecil yang tiap kontrakannya punya taman mini di depan pintu masuk. Baguslah ada tanaman hijau di pintu masuk rumah untuk menurunkan suhu dunia akibat global warming.


    Tampilan kontrakanku di depannya lumayan bagus warna catnya hijau. Meteran listrik terlihat di pojok atas jendela-jendela yang hitam. Semoga meteran tersebut tak membuatku trauma kala ia berbunyi-bunyi menuntut diisi pulsanya. Sudah cukup aku dihujani suara bunyi meteran listrik di dunia rekaanku!


    Di dekat meteran listrik tersebut terdapat jendela-jendela yang ditutupi oleh daun jendela dengan bingkai kayu merah. Layaknya kaca film, isi kontrakan ini tak terlihat dari jendela-jendela ini. Di depan jendela-jendela tersebut, ada dua kursi kayu yang cocok untuk menjadi tempat minum teh atau kopi kala pagi atau sore hari sembari memperhatikan lapangan kecil kompleks kontrakan ini. Pintu kayu kontrakanku berwarna hitam legam dan terpasang beberapa stiker iklan sedot WC. Berbicara sedot WC mengingatkanku dengan usaha Bapakku di dunia rekaanku. Kata Pak Parjo, Bapakku pernah bekerja sebagai tukang sedot WC sambilan di saat aku dan Eko menjaga warung selepas meninggalnya kedua ibuku.


    “Aku ingat ketika ia mengenakan baju yang dulunya dipakainya saat ia masih ada di masa jaya-jayanya sewaktu membuatkan mie ayam kepada pelanggang. Mengenaskan! Seorang juragan mie ayam harus turun kasta menjadi tukang mie ayam biasa dan baju yang dikenakannya tak berubah!” jelas Pak Parjo mengeleng-geleng kepalanya kasihan setelah bercerita soal masalah sedot WC tadi.


    Termenung aku sebentar sehabis mendengar cerita kelam tersebut. dunia rekaan sangat bertentangan dengam kenyataan dalam bidang ekonomi, kekuasaan, dan kekuatan. Di dunia nyata, si A lemah, miskin, dan jelek tapi di dunia rekaannya, ia Berjaya, tampan, dan kaya raya. Itulah yang terjadi pada diriku, sang pengecut dan pelari dari kenyataan. Ungkapan Bapakku untuk mengikhlaskan yang sudah tewas tak kuterapkan di dunia ini dan pernyataan tersebut dibenarkan keabsahannya oleh Pak Parjo.


    “Ayo masuk, Eka!!” seru Pak Parjo menyadarkanku seraya membuka pintu.


    Aku bersama Pak Parjo masuk ke dalam kontrakan ini. Properti-properti kontrakan ini tertata rapi dan tidak sekotor yang kubayangkan. Ada televisi LCD, komputer yang katanya masih windows XP, dan kamar mandi dengan WC duduk. Kontrakanku lumayan besar menurutku. Kata Pak Parjo, di rumah kontrakanku ini terdapat dua kamar tidur–lengkap dengan AC, satu dapur sendiri, dan terdapat fasilitas internet cepat. Katanya Pak Parjo kecepatan internet di kompleks kontrakannya mencapai rata-rata 500 mbps, mengalahkan kecepatan internet sekolah Panzer yang rata-rata 250 mbps. Internet cepat adalah hal yang langka di negeri Nusatoro dan juga di negara ini, menurut Parjo.


    “Beruntung di kompleks kontrakan ini pada tidak melek internet semua mengingat mayortias penghuninya merupakan pedagang di pasaran,” jelas Parjo tersenyum tipis. “Beruntung kau, Eka.”


    Bagus. Aku bisa memonopoli internet!!


    “Biaya sewa kontrakan ini sebesar Rp.950.000,00 sebulan!!” ungkap Pak Parjo membuatku kaget. “Itu sudah termasuk pendanaan internet cepat, dan air bersih!’


    Mahal sekali. Mana bisa aku bekerja mendapat upah sebesar itu jikalau ijazahku hanya lulusan SMP?!


    “Kalau kau tak mampu bayar uang kontrakan, kau dapat bekerja denganku dan akanku ringankan uang sewaan,” ujar Pak Parjo seraya tersenyum tipis kepadaku.


    Aku pergi ke kamarku didampingi Pak Parjo. Penasaran betul aku dengan kamar yang menjadi saksi aku berubah menjadi orang gila dan terjebak di fantasi sendiri.


    Pintu kamar kubuka dan terkejut aku dengan kamarku ini bersih, rapi, dan wangi layaknya kamar-kamar hotel saja. Aku melihat rak-rak bukuku tersusun dengan baik, sesuai dengan susun kata seperti buku tentang IPA di sebelah kanannya buku IPS dan buku agama di depannya buku tentang IPA. Beberapa bingkai foto terpasang di dinding. Aku melihat rupa diriku di foto-fotoku dengan berbagai macam kondisi umur seperti balita, SD, dan SMP.


    “Eka, kau ingin memberikan ini kepadamu!!” seru Pak Parjo dengan ramahnya.


    Aku menoleh ke belakang dan melihat Pak Parjo memegang satu file biru. Terlihat beberapa kertas ijazah yang ada namaku tertera di sana dan aku dinyatakan lulus dari SMP negeriku dengan nilai 33.


    “Karena kau gila dan tak dapat mengambil ijazahmu, terpaksa aku bertindak sebagai wakilmu dan menyimpan ijazah ini baik-baik sampai kau kembali,” tutur Parjo tersenyum ramah kepadaku.


    Ingin sekali aku memeluknya sebagai tanda terima kasihku atas jasa-jasanya yang kuberikan. Tapi rasa malu diriku memaksaku untuk tak melakukannya. Seingatku aku tak pernah memeluk seseorang sekalipun. Kalaupun pernah paling hanya pas tidur saja dan objeknya pun si Eko dan Bapakku.


    Setelah menimbang antara rasa malu dengan mengucapkan rasa terima kasih, akhirnya aku memutuskan untuk bersalam saja dengannya sebagai ungkapan terima kasihku atas jasanya yang sudah besar bagiku.


    Sehabis bersalaman, aku kembali memperhatikan foto-fotoku sementara Parjo memperhatikan gerak-gerikku. Sepertinya ia tak ingin aku sendirian karena takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan.


    “Apa ini?” gumamku bingung melihat suatu foto yang sangat menarik perhatianku. Di foto itu terdapat aku yang duduk di tengah dan di pinggirnya ada beberapa orang yang sepertinya kukenali.


    Pantas saja aku kenali, semua orang yang berdiri di dekatku dalam foto tersebut adalah orang yang mengikuti cerita Kidang tentang Aftarus, di tambah dengan Guntur. Foto tersebut berlatar di depan tiang bendera sekolah dan sepertinya foto tersebut diambil pada saat sore hari, sepulang sekolah dugaanku. Aku duduk di sebuah kursi kayu dengan mengenakan baju batik sekolah SMP tersebut dengan celana biru. Di sebelah kiriku terdapat Guntur. Kepalanya plontos seperti terakhir kali aku lihat di dunia rekaanku dan di sebelahnya lagi ada Ellena dengan rambut pendeknya yang sama seperti versi SMA-nya di dunia rekaanku.


    Di sebelah kananku ada Rina dan rambutnya masih sama dengan versi dunia rekaanku, panjang dan anggun. Terlihat kedua tangannya dalam posisi istirahat di tempat. Di sebelahnya Rina ada Kosim yang mengenakan peci hitam. Semua yang ada di foto ini berpakaian seperti aku dan ekspresi mereka mirip versi mereka di dunia rekaanku. Ada satu hal yang menarik bagiku, Rina tersenyum dan senyumannya membuatku detak jantungku tak menentu di samping rasa senang. Untuk mencegah diriku terkena serangan jantung, aku mengalihkan pandangku ke Pak Parjo. Pak Parjo terlihat cengar-cengir dan sudah dipastikan, ia menahan tawanya melihat reaksiku.


    Oh ya, kenapa yang raut mukaku di foto tersebut tegang? Apa karena di sampingku ada Rina?


    “Eka, apa kau tahu foto tersebut adalah foto terakhir sebelum Rina, Ellena, Guntur, dan Kosim meninggal. Menurut informasi yang kudapati dari kau waktu lalu, foto tersebut sebagai foto kenangan SMP sebelum kalian berlima beranjak ke tingkatan SMA,” tutur Pak Parjo. “Dan apakah kau tahu, Eka? Itu adalah foto pertama di mana Rina tersenyum!


    “Dan ketika aku masuk ke kamarmu waktu kau menjadi gila, aku melihat foto tersebut tergeletak di atas kasurmu dan banyak air berlinang di bingkai kaca foto tersebut. sepertinya kau menangis foto tersebut sampai kau mencapai tingkatan gila,” pungkas Pak Parjo.


    Aku kembali memperhatikan foto tersebut dan kuputuskan untuk menjaga baik-baik foto berharga tersebut dengan memasukannya ke dalam komputer jikalau foto tersebut usang akan waktu. Foto Rina tersenyum adalah harta kartu berharga bagiku dan juga kenang-kenangan akan cinta pertamaku.


    “Oh ya, Pak Lurah. Ada satu pertanyaan yang ingin kutanyakan. Bisakah kau jawab?”


    “Apa itu, Eka?” tanya Pak Parjo penasaran.


    “Kenapa raut mukaku di foto ini tegang?” tanyaku sambil menunjuk potret ekspresi mukaku. “Apakah karena di samping ada Rina?”


    “Tidak. Kata kau waktu dulu, saat itu kau sedang kebelet buang air besar dan terpaksa menahannya untuk foto kenang-kenangan walaupun sudah ada diujung daya tahanmu!”
     
  13. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Paragraf Imajiner

    “Hebat sekali daya khayalmu bisa membuat angka-angka seperti ini!” puji Pak Parjo sembari memperhatikan angka paragraf satu sampai ketiga yang baru saja kutuliskan di atas meja ruang tamuku. “Sepertinya akan menarik jika tanggal-tanggal peristiwa besar di negeri ini ataupun dunia tersirat di angka-angka ini,”


    “Ah, Pak Parjo, kau harus tahu bahwasanya kalau angka-angka ini menyebabkan masalah besar di dunia rekaanku.”


    “Tapi semisalnya angka-angka ini tersebar luas, bukankah rencana jahat orang-orang seperti Aftarus sudah ketahuan duluan?”


    “Itu dia yang dimasalahkan Senopati Jaka; apa tujuan penulis Permainan Dunia? Membocorkan atau memberi informasi kepada orang-orang seperti Aftarus untuk bertindak?!” berpendapat aku lalu mencoba memikirkan lagi masalah angka-angka Permainan Dunia.


    “Sudahlah Eka, lebih baik kau tak usah memikirkan masalah yang ada di dunia rekaanmu!!” Parjo bernasehat. “Hadapi dunia walaupun dunia ini kejam.


    “Kau tahu kenapa dunia ini kejam? Karena dunia harus kejam untuk membuat manusia berjuang dan terus berusaha melawan kekejaman dunia!!”


    “Tapi Pak Parjo, tak selamanya dunia ini kejam,” sanggah aku sembari memegang jenggot lebatku. “Terkadang dunia ini baik dengan munculnya orang-orang seperti anda, baik hati dan rela menolong tanpa pamrih!”


    “Ah, Eka. Jangan memujiku seperti itu,” seru Pak Lurah sedikit tersipu. “Niatku hanya menolong orang yang lemah saja karena agama mengajarkanku untuk menolong orang yang sedang kesusahan.”

    ***

    Setelah tiga minggu keluar dari rumah sakit jiwa, aku mulai mencari uang dengan bekerja sebagai tukang mie ayam layaknya orang tuaku waktu dulu. Pak Parjo memberikanku modal untuk membuka dagangan secara cuma-cuma. Baik sekali si Pak Parjo. Belum pernah aku melihat orang sebaiknya baik di dunia rekaanku maupun dunia ini.


    Pada awalnya, aku tak bisa memasak mie ayam tapi setelah Pak Parjo memberikanku buku panduan masak mie ayam, akhirnya aku bisa juga meracik mie ayam sendiri, meskipun kata Pak Parjo tak seenak buatan Bapakku yang resepnya original dan menghilang seketika orangnya wafat seperti resep api Yunani([1] yang hilang layaknya ditelan bumi bersamaan dengan hancurnya kerajaan Bizantium.


    Mie ayam Jenggot, itulah nama merek daganganku yang kudirikan di pinggir jalan raya menuju Pinang. Banyak orang yang mengira aku ini sudah berusia tiga puluh tahunan dan memanggilku “Pak Jenggot” padahal usiaku masih terbilang muda! Sepertinya ini yang bisa disebut penuaan dini.


    Di hari pertama aku berjualan, banyak orang –berkisar dua puluh sampai dua puluh lima– datang mencoba mie ayam sajianku. Tapi di hari berikutnya, jumlah pelanggan tak pernah melebihi hari pertama. Itulah konsenkuensi dari pedagang kecil sepertiku, mengadu nasib setiap harinya. Tak ada kepastian di hari ke depan seperti apakah besok laris ataukah tidak dan ke tidak pastian masa depan adalah hal yang dibutuhkan manusia, untuk terus maju menghadapi arus zaman, itulah yang dikatakan Pak Parjo kepadaku melihat daganganku tak terlalu ramai.


    Berbeda halnya dengan kalangan pedagang kecil, juragan-juragan mie ayam layaknya Bapakku di dunia rekaanku cukup menunggu setoran toko-toko mie ayamnya. Jikalau ada yang tak laku, bisa ditalangi oleh toko lain yang laku. Itulah yang enak dari menjadi juragan, direktur, dan ketua, tinggal menunggu uang mengalir saja. Memang sepertinya enak tapi jabatan seperti itu punya tanggung jawab besar atas anak buahnya.


    Kalau kupikir-pikir sekarang, sebenarnya aku bisa saja melanjutkan sekolahku jikalau umurku masih 17 layaknya waktu aku masuk STM Panzer, tapi mengingat umurku sudah 19 tahun, kurasa tak apa-apa tak melanjutkan walaupun ada pepatah menuntut ilmu tak mengenal usia. Cukup membaca buku dan mencari informasi dari internet saja kalau aku ingin menambah ilmuku. Lagi pula jikalau aku sekolah, bagaimana bisa aku bertahan hidup? Mana bisa aku menggantungkan diri kepada Pak Parjo terus!!

    ***

    Sudah tiga minggu aku berjualan mie ayam dan sekarang sudah masuk pertengahan bulan April. Usahaku bisa dibilang baik-baik saja dengan kondisi terkadang laku terkadang tidak. Kalau tak ada pelanggan, aku hanya duduk di kursi memperhatikan kecoak-kecoak yang bekeliaran di bawah meja. Kecoak-kecoak tersebut macam-macam ukurannya. Ada yang besar ada yang kecil. Makhluk-makhluk ini sering kutemui di mana saja, dan kapan saja. Kalau aku tak sempat membersihkan rumahku –dikarenakan aku selalu lebur jikalau dagangan sepi kala siang dan sore hari, pasti sering kutemui makhluk-makhluk ini muncul di tempat-tempat tak terduga. Semisalnya saja aku membersihkan total rumahku, bisa saja mereka muncul. Kata orang, kecoak adalah bagian dari kehidupan manusia yang tak terpisahkan–layaknya tikus–dan walaupun satu kota ditembakan nuklir, hanya kecoak saja yang masih hidup dan utuh seperti biasa!! Kebal singkat katanya!


    Sering kulihat kecoak sekarat kala aku sudah buang hajat besar di kamar mandi rumah, dari awalnya sampai titik ajalnya. Kadang juga aku membiarkan mayat kecoak membusuk di atas rak kaca dan dari situlah aku bisa mempelajari proses pembusukan mayat via kecoak. Ilmu biologi yang langsung belajar ke intinya.


    Pernah aku membuka suatu rak lemari dan melihat puluhan kecoak berhamburan keluar dari tempat tersebut. Pernah muncul pemikiran untuk membakar mereka dengan api Yunani yang sepertinya mengasyikan tapi tak mungkin aku lakukan karena aku tak tahu resep kimia pembuatan senjata tersebut. kalau membuat api amarah aku tahu caranya!


    Aku berandai-andai apa jadinya tank berbentuk layaknya lipas? Pastinya akan merambat-rambat aneh, namnya Panzer Lipas dan moncong meriamny- Tunggu! Itu bukannya lebih mirip kumbang ketimbang kecoak? Ah, sepertinya ini pengaruh karena kebanyakan main game perang serangga!


    Aku menatap jalanan raya yang dilewati lalu-lalang kendaraan yang didominasi motor sembari berpikir-pikir apakah aku bisa bertahan hidup dengan berdagang mie ayam? Ada pepatah geluti suatu pekerjaan yang disukai dan bisa kukatakan; aku tak terlalu suka dengan berjualan mie ayam, seperti halnya waktu aku di dunia rekaanku, tak punya niat meneruskan usaha dagang Bapakku dan ia memberikan aku bersekolah di STM Panzer. Walaupun tak suka bekerja seperti ini, aku pakasakan diriku untuk terus berjuang sampai aku mendapatkan modal cukup untuk usaha yang kusukai kendati diriku belum tahu mau kerja apa nantinya.


    Ada beberapa pekerjaan sampingan yang kugeluti sekarang seperti membuka konseling di dunia maya dengan nama “Konseling Pak Jenggot”. Konseling tersebut sama halnya dengan konseling Tabet; melayani semua curhatan klinet dan memberikannya solusi. Konseling Pak Jenggot aku buka pada tanggal 2 April 2015 dan ramai sekali websiteku kala itu yang masih menumpang di site blog.


    Ada lagi perkerjaan hasil asahan bakatku; menulis cerita. Pak Parjo bercerita waktu SMP, aku sering mengarang cerita tentang sains fiksi dan di dunia rekaanku, aku sering menulis cerita jenis tersebut di majalah dinding STM Panzer. Saat ini, aku sedang menulis cerita aksi, sains fiksi, dan sejarah dengan judul “Gajah Mada vs Tetraminator”. Cerita ini mengkisahkan bangsa alien bernama Tetraminator, bangsa yang fisiknya kayak robot tapi bisa berubah menjadi manusia ataupun kendaraan bermotor, yang menginvansi bumi di tahun 2100. Bangsa Tetraminator berhasil menguasai separuh bumi tapi banyak bangsa-bangsa yang memberikan perlawanan sengit kepada ras alien tersebut dengan gaya gerilya. Pada akhirnya ketua bangsa Tetraminator mengirimkan Tetraminator-Tetraminator terpilih untuk menghancurkan bangsa-bangsa tersebut dengan membunuh orang-orang penting di sejarah, salah satunya Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, di era keemasannya.


    Di cerita absurd karanganku, Tetraminator bernama Jhaza akan bertarung melawan, pasukan elit Majapahit, Bhayangkara, dengan sengit. Alien bertarung dengan kanarugan sepertinya keren dan aku tak bisa membayangkan bagaimana ribuan pasukan Majapahit dikerahkan untuk menghancurkan Jhaza yang gaya tarungnya terinspirasi dari Aftarus. Di akhir ceritanya aku merencanakan pertarungan kelas berat antara Jhaza dengan Gajah Mada di istana Majapahit dan dijamin intensitas pertarungannya melebihi Jaka melawan Aftarus final. Entar Jhaza tewas kena busurnya Hayam Wuruk setelah Gajah Mada hampir tewas. Semoga ada penerbit tertarik menerbitkan karanganku yang sudah bagus cara penulisannya walaupun persentasenya kecil.


    Aku mencoba berpikir apakah pendapatanku yang kudapati dari penjualan mie ayam ini cukup membiayai hidupku? Pendapatan netto dari mie ayam cukup untuk membiayai hidup sehari-hari dan kontrakan. Ada beberapa ratusan ribu rupiah yang kusisihkan setiap minggunya dalam tabungan ayam jagoku untuk jaga-jaga kondisi. Bisa saja aku perlu uang banyak kala pendapatanku dalam kondisi stagnan. Tapi apa jadinya jika aku sudah berkeluarga? Pastinya aku perlu uang banyak dan pendapatan mie ayam yang tak menentu tak bisa menjadi jaminan ke depan. Solusinya hanya satu; berhutang. Kalau semisalnya aku tidak mampu melunasi hutang, jangan pernah lagi lari dari kenyataan walaupun tekanan hidup sangat tinggi!


    Dari penalaranku, bisa disimpulkan jika pendapat masih tak menentu, lebih baik menjomblo saja dan itulah salah satu keuntungan menjadi perjaka. Semoga saja aku bisa menemukan pengganti si Rina semisalnya aku sudah sukses.


    Ada anjing berukuran sedang lewat di depan gerobakku. Sepertinya itu anjing liar dan mencari-cari makanan. Warna bulu anjing tersebut hitam dan lidahnya yang basah karena liur dijulur-julurkan, mengingatkanku dengan Fursan. Anjing tersebut menoleh ke tempat aku berada, kemungkinan ia menghampiriku cukup besar dan gemetaran bukan main aku. Aku punya phobia dengan anjing, baik di dunia rekaanmu maupun di dunia ini. Parjo pernah menerangkan kepadaku dulu ketika aku masih kecil, aku selalu lari terbirit-birit jikalau melihat anjing dan terjadilah kejar-kejaran antara aku dengan anjing.


    Pernah suatu ketika di pantai ketika aku kelas 10 versi rekaanku, aku sedang bermain-main membangun istana pasir dan bertemu dengan anjing hitam liar yang ukurannya besar. Aku langsung takut dan membuat garis lingkaran di sekitar tempatku untuk menghindari anjing tersebut mendekatiku. Caraku terbukti tak sukses, anjing tersebut makin mendekat saja denganku. Oleh karena itu, aku langsung membuat lingkaran pentagram tapi tetap saja anjing tersebut nyalinya tak menciut, malahan ia berjalan menunju tempatku. Tingkatan ketakutanku makin meninggi saja dan langsung saja, aku berlari secepat kilat ke tempat yang aman. Beruntung anjing tersebut tak mengidahkan aku dan memilih berjalan-jalan di sekitar garis pantai. Kalau saja ia meladeni lariku, mungkin aku bisa pingsan karena kehabisan nafas!


    “Syukurlah,” gumamku lega melihat anjing tersebut berjalan ke tempat yang lain.

    ***

    Sekarang sudah masuk pertengahan Mei. Sudah hampir dua bulan aku hidup di dunia nyata ini dan sekarang aku berhasil menyesuaikan diri dengan dunia ini secara total. Dulunya terkadang aku kebingungan dengan aspek-aspek di negeri ini seperti perekonomian dan perpolitikan. Tapi setelah aku baca-baca sejarah secara total tentang negeri ini, akhirnya zona mengerti berhasil kumasuki juga.


    Usahaku lumayan meningkat pendapatannya dari bulan kemarin dan di saat sore ini, aku sudah lengang, tak ada pelanggan datang. Aku menghabiskan waktuku dengan menulis-nuliskan angka-angka Permainan Dunia. Memori saat aku memecahkan paragraf pertama, dan mendengarkan diskusi paragraf kedua dan ketiga terkenang di pikiranku.


    Tunggu dulu, apa jadinya jika angka-angka ini aku susun secara susuan segitiga siku-siku?


    Isengku mulai keluar. Aku mulai mengerakan pensilku dan menciptakan susunan ketiga paragraf ini. Angka-angka ini sepertinya masih sama persis dengan angka-angka Permainan Dunia.


    1 9 2 0 0 9 1 1 1 0 1 0 2 4 5 1 0 9 0 5 3

    1 9 9 0 1 2 0 5 1 0 1 0 3 5 2 1 0 4 0 8 1

    0 8 9 0 1 1 0 4 1 0 1 0 3 5 5 1 0 7 0 5 3

    2 0 1 0 1 1 0 2 1 0 1 0 3 5 5 1 0 2 0 4 7

    2 0 0 0 1 1 0 9 0 1 1 0 4 0 3 0 1 6 0 5 5

    8 0 0 1 1 1 0 8 2 0 0 4 0 1 3 0 1 2 9 0 0 0 0 1 5 4 1 0 2 0 2 0 0 1 0 2 0 5 2 4 3 1

    8 2 0 0 9 2 9 8 4 0 0 1 0 7 0 5 0 1 9 0 1 1 1 5 4 0 0 5 1 4 2 0 0 2 0 6 3 0 1 2 0 0

    8 5 4 0 4 0 2 8 4 0 0 1 0 7 1 6 0 4 9 0 1 1 1 5 9 0 0 2 2 4 2 0 0 1 0 5 1 2 2 4 2 1

    8 6 4 0 6 2 1 8 7 9 1 2 1 6 0 3 0 5 9 0 1 1 1 8 3 0 0 6 1 5 2 0 0 2 0 4 0 4 0 0 0 0

    8 8 7 0 7 0 7 8 9 9 1 0 2 0 2 1 0 7 9 0 1 1 1 8 9 0 1 1 2 0 2 0 0 5 1 2 1 2 1 2 0 2

    Dalam segitiga, ada sisi A, sisi B, dan sisi C. Sisi A adalah titik awal dari segitiga dan sisi B adalah penghubungan antara titik A dan C. A melambangkan paragraf satu, B melambangkan paragraf kedua, dan C melambangkan paragraf ketiga. Jikalau aku berpikiran liar, bisa saja ada titik D.


    “Tunggu dulu! Titik D?!” gumamku terkejut sendiri atas pemikiran yang baru saja muncul.


    Apa mungkin ada paragraf tersembunyi atau imajiner, paragraf yang sebenarnya tak ada tapi sebenarnya ada, di antara ketiga paragraf ini? Bisa jadi! Semua spekulasiku bisa saja terjadi. Dan yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana caranya menemukan paragraf keempat? Ehm, sepertinya aku akan mencari caranya mengingat keisenganku dari tadi merayu-rayu untuk melakukannya dan waktu luangku sekarang terbilang luas, tak apa rasanya melakukan hal yang tak penting ini! Bisa mengasah otak sepertinya bermain angka-angka Permainan Dunia, menurutku.


    Aku berpikir kenapa waktu aku di dunia rekaan tak pernah terpikirkan untuk meminta Rina dan Ellena mendiskusikan soal kemungkinan adanya paragraf imajiner? Ah, biarlah. Itu sudah masa laluku dan juga khayalan tingkat tinggi yang tak punya efek kepada realitaku.


    “Mulai dari mana dulu ya?” gumamku kebingungan sambil menggaruk-garuk rambutku.


    Ada banyak cara terpikir di kepalaku seperti angka garis AC dengan rumusan pitagoras, dan mencari angka matriks. Tapi harus aku ingat, penulis Permainan Dunia memakai penalaran seperti yang terjadi di paragraf pertama sampai ketiga.


    Kalau cara penalaran mungkin aku harus membentuk segitiga simetris atau siku-siku lalu mengurutkan angka-angkanya mulai dari kolom sampai barisan.


    Tapi bisa saja ia memakai rumusan lain untuk menemukan angka-angka paragraf imajiner! Rumusan layaknya matriks.


    “Apa mungkin gabungan keduanya?” gumamku berspekulasi. Sepertinya.


    Menurut asumsi kuatku, angka-angka paragraf keempat bersumber dari angka paragraf pertama sampai ketiga dan semua angka ini bisa kupergunakan.


    Aku mulai mencari angka paragraf keempat dengan cara membentuk segitiga simetris. Paragraf ketiga kutaruh diatas sedangkan paragraf pertama ada di sisi kanan dan paragraf kedua di sisi kiri. Ketika aku amati seksama segitiga ini, aku menyadari kalau susunan seperti ini tak memberikan petunjuk apapun. Kalaupun sisi D ada di bawah dan membentuk bentuk kristal, tetap saja absurd kataku.


    Cara kedua kumulai dengan mengamati segitiga siku-siku yang tadi kubuat dan berandai-andai ada paragraf keempat di atas paragraf pertama. Setelah mengamati secara seksama segitiga ini, ingatan tentang kuadran koordinat muncul di otakku. Aku mencoba mengkhayalkan paragraf pertama ada di kuadran pertama yang ada di sisi timur laut, paragraf kedua di kuadran kedua di sisi tenggara, dan seterusnya. Ehm, apa mungkin aku harus coba menyusun paragraf-paragraf ini dengan sisi kuadran? Sepertinya mengingat ide ini lumayan memancing rasa penasaranku.


    Aku membuka lembaran baru di buku tulisku–yang berguna sebagai buku administrasiku– dan menuliskan pargarf-pargarf ini secara kuadran koordinat. Aku membuat garis pembatas tiap kuadran agar tak membingungkanku.


    1 9 2 0 0 9 1 1 1 0 1 0 2 4 5 1 0 9 0 5 3

    1 9 9 0 1 2 0 5 1 0 1 0 3 5 2 1 0 4 0 8 1

    IV 0 8 9 0 1 1 0 4 1 0 1 0 3 5 5 1 0 7 0 5 3

    2 0 1 0 1 1 0 2 1 0 1 0 3 5 5 1 0 2 0 4 7

    2 0 0 0 1 1 0 9 0 1 1 0 4 0 3 0 1 6 0 5 5


    0 0 1 5 4 1 0 2 0 2 0 0 1 0 2 0 5 2 4 3 1 8 0 0 1 1 1 0 8 2 0 0 4 0 1 3 0 1 2 9 0 0

    1 1 5 4 0 0 5 1 4 2 0 0 2 0 6 3 0 1 2 0 0 8 2 0 0 9 2 9 8 4 0 0 1 0 7 0 5 0 1 9 0 1

    1 1 5 9 0 0 2 2 4 2 0 0 1 0 5 1 2 2 4 2 1 8 5 4 0 4 0 2 8 4 0 0 1 0 7 1 6 0 4 9 0 1

    1 1 8 3 0 0 6 1 5 2 0 0 2 0 4 0 4 0 0 0 0 8 6 4 0 6 2 1 8 7 9 1 2 1 6 0 3 0 5 9 0 1

    1 1 8 9 0 1 1 2 0 2 0 0 5 1 2 1 2 1 2 0 2 8 8 7 0 7 0 7 8 9 9 1 0 2 0 2 1 0 7 9 0 1


    Aku memperhatikan kuadran koordinat ini dan teringat soal rumusan trigonometri: cos, sin, tan, dan sebagainya yang membuatku sakit kepala kalau mengingatnya.


    Sekarang aku mulai memikirkan angka untuk kolom pertama dan baris pertama. Dalam aturan yang berlaku di paragraf pertama sampai ketiga, angka-angka di kolom pertama sampai tujuh ataupun delapan adalah angka penanggalan dan yang jadi permasalahnya; dari mana kutemukan angka penanggalan?


    Mungkin saja aku bisa menemukan dari angka-angka penanggalan dari paragraf pertama sampai ketiga dan permasalahan yang muncul sekarang; caranya bagaimana? Bisa saja aku menggunakan penjumlahan ataupun pengurangan pada perhitungan yang kurencana; kolom pertama paragraf pertama akan kujumlahkan ke kolom-kolom yang ada di bawahnya sampai ke kolom pertama baris terakhir paragraf ketiga. Angka yang ada di kuadran pertama adalah angka positif sedangkan kuadran ketiga dan kedua merupakan angka negatif, sesuai dengan peta koordinat.


    Belum aku mulai menghitung, penalaranku mengatakan bahwasanya hasilnya bakal minus dan juga digitnya ada dua, bukan satu. Ini mengartikan caraku salah dan terpaksa aku harus memutar otak lagi memikirkan cara baru.


    Apa mungkin aku mesti memakai cara matriks? Ah, tak bisa! Matriks hasilnya seperti angka hasil pencarian garis miring segitiga siku-siku dan aku tak bisa memprediksikan apakah hasil matriks itu angka penanggalan, kode pos, atau kode rahasia Aftarus. Cari cara yang bagus, Eka!!


    Apa bisa aku gunakan Aljabar? Tidak! Cara aljabar saja aku sudah lupa bagaimana dan seandainya aku punya kacamata hitam canggih, pastinya aku akan cari di internet cara main aljabar. Ah, aku mendadak ingat cara aljabar dan langsung saja kutuliskan di kertas ini, lengkap dengan maksud-maksud variabelnya.


    Aku mulai memainkan angka-angka Permainan Dunia dan pencarianku atas paragraf keempat berakhir dengan kebuntuan otakku. Bingung total aku cara mencari satu angka paragraf keempat via aljbar. “Seharusnya aku pakai cara lain saja,” gumamku setelah menghela nafas.


    Pencarian paragraf keempat terpaksaku tunda lain waktu karena ada beberapa orang datang ke tempatku untuk membeli mie ayam. Entah kapan aku bisa melanjutkannya, entah satu jam lagi atau esok hari.

    ***

    Di penghujung bulan Mei ini akhirnya aku bisa melanjutkan pencarian angka paragraf keempat yang tujuh kali lebih susah ketimbang memecahkan maksud paragraf pertama sampai ketiga, dengan waktu yang tak akan terganggu lagi oleh orang lain karena di hari Minggu ini, aku memilih berlibur. Suka-suka yang jual kalau mau libur kapan saja!


    Pernah beberapa kali aku mencoba memecahkan angka dan sudah empat belas cara kucoba tapi sampai sekarang, satu angka pun belum ketemu. Menyedihkan.


    Selain berusaha memecahkan paragraf keempat, aku juga menulis pemikiranku di blogku yang dikenal dengan sebutan “Filsafat Pak Janggut”. Masyarakat dunia maya memuji pemikiranku di bidang sosial dan politik. Sepertinya aku ada bakat kerja sampian menjadi filsafat!


    Saat ini aku sedang mencoba memecahkan paragraf keempat dengan menanggap angka penanggalan di paragarf keempat memakai penanggalan Nusatoro. Aku punya asumsi kuat untuk memakai penanggalan Nusatoro karena aku melihat di paragraf pertama dan ketiga memakai penanggalan Levtxsan dan Dakian sehingga cukup memungkinkan memakai penanggalan Nusatoro di angka selanjutnya jikalau aku mengurutkan penanggalan, Levtxsan-Nusatoro-Levtxsan-Nusatoro!!


    “Tapi bagaimana caranya menentukan angkanya?” gumamku kebingungan sambil mengetuk-ngetuk pensilku pada meja komputerku.


    “Perbandingan?” gumamku setelah mendadak kepikiran.


    Iya, perbandingan penanggalan! Bisa saja ada angka perbandingan antara penanggalan kuadran pertama dengan ketiga yang bisa kuterapkan kepada kuadran kempat. Kenapa ya aku tak pernah kepikiran soal perbandingan?


    “1920-09-11 berbanding 0154-10-20, apa maksudnya?” ujarku jadi kebingungan sendiri.


    “Apa mungkin perbandingannya seperti ini,” gumamku lalu menuliskan pemikiranku.


    “1766-01-09,” ujarku seraya tersenyum tipis melihat tulisan ini. Sebenarnya ini bukan perbandingan, mungkin bisa dibilang jarak antara tanggal. Semua angka ini adalah pengurangan untuk kuadran keempat karena aku mengikuti polanya seharusnya memakai kuadran pertama dengan ketiga tapi firasatku mengatakan kuadran ketiga dengan pertama.


    xxxx-10-01, masih belum ketemu tanggal tahunnya. Kalaupun aku memakai angka 1766 untuk mengurangkannya, pastinya ketemu tahun 966 dan firasatku menerangkan terlalu jauh semisalnya terjadi insiden di tahun 966! Paling jauh seingatku hanya tahun 905. Kalaupun penulis mau menerangkan bakal terjadi 966 rasanya tak mungkin.


    Aku memandang tiga kolom terakhir di paragraf kedua. Oh ya, aku baru ingat kalau itu juga tanggal tahun juga dan tetap saja tak akan berpengaruh karena kalaupun memakai angka 1766 untuk mengurangkannya, keluarnya mirip sedikit; 866 dan aku rasa tak terjadi peristiwa penting di Nusatoro ataupun dunia versi rekaanku kala itu.


    “Oh ya, aku kelupaan memakai tahun Nusatoro di angka penanggalan tahun kuadran pertama dan ketiga,” desahku seraya menepuk dahi, kecewa kepada diri sendiri.


    Aku mencoba menghitung-hitung tahunnya, tapi aku menemukan tahun-tahun kuno seperti 209 padahal aku merasa tanggal-tanggal tahun ini masih terkait dengan peristiwa Aftarus, kelanjutannya mungkin. “Tapi dari mana bisa asumsiku dibenarkan oleh angka-angka ini?” gumamku kebingungan sendiri.


    Apa mungkin paragraf ini berkorelasi dengan tahun-tahun paragraf kedua tapi kebalikannya? Jadinya tahun 900-an di depan sedangkan 800-an di belakang?Bisa saja. Layak untuk dicoba! Tak ada ruginya juga semisalnya salah.


    900-10-01,901-08-20,901-02-24,901-05-12, dan 901-05-28. Ah, sepertinya angka-angka ini cuku bisa kuterima. Tanggal 900-10-01 seingatku terjadi peristiwa besar di Levtxsan-zand dan juga dunia, klonling manusia berhasil dilakukan dan manusia kloningan tersebut bernama Bardot, jenis kelaminnya adalah laki-laki dan saat dipublikasi, ia masih dalam kondisi orok. Di dunia rekaanku kloningan diperbolehkan sedangkan di dunia ini aku dengar mengkloning manusia dilarangan keras oleh hukum internasional!


    Pada tanggal 901-02-24 aku tak tahu terjadi peristiwa apa karena sewaktu hari tersebut berlangsung, aku masih kesulitan membedakan mana berita yang asli mana yang rekaan Hatarx sehingga memaksaku memutuskan diri dari koneksi informasi dunia.


    Fokusmu mulai beranjak dalam pencarian angka kolom sembilan dan seterusnya. Jika aku samakan dengan paragraf kedua, pasti penanggalan peristiwa juga dan yang jadi permasalahannya sekarang adalah bagaimana bisa aku menemukan penanggal di posisi tengah paragraf imajiner kalau tak ada petunjuknya!!


    “Benar-tidak ditambah kode pos, tanggal, dan tanggal lagi?” gumamku sambil berpikir keras. Belum pernah rasanya aku berpikir sekeras ini kala keluar dari rumah sakit jiwa.


    Ehm, kalau aku semisalnya menggunakan tanggal di posisi tengah paragraf keempat, bingung sendiri pakai tanggal apa. Dan jikalau aku memakai kode pos, bingung tujuh keliling aku menentukannya! Aku butuh gebrakan yang bisa menghancurkan kebuntuan otakku, tapi entah sampai menit kelima belas aku berpikir, belum ada pencerahan datang kepadaku!


    “Kapan-kapan saja melanjutkannya,” ujarku sudah putus asa mencari.

    ***

    Di hari Minggu awal bulan Juni, nafsuku untuk terus melanjutkan pencarian paragraf keempat tak pernah padam dan memaksaku untuk meliburkan diri di hari ini.


    “Mulai dari mana lagi aku harus mencari?” gumamku mulai berpikir.


    “Ah, kenapa aku tak menggabungkan semua tipe posisi tengah seperti Benar-tidak ditambah kode pos, tanggal, dan tanggal lagi!!” ujarku seraya menjentikan jari yang ada di tangan kanan. Kenapa aku tak kepikiran dari dulu?!


    Benar-tidak berjumlah dua digit, kode pos berjumlah lima digit, dan tanggal berjumlah delapan. Sepertinya kombinasi yang bagus! Kode nama sebenarnya terpikir untuk digabungkan tapi perlu kuketahui bahwasanya kode nama hanya diketahui penulis secara pasti. Sangat sulit menurutku menebak-nebak kode nama pelaku walaupun aku mainkan angka-angka ini keseluruhan!


    Aku mulai menulis-nulis secara kasar. Membentuk asumsi awalku soal paragraf keempat. Kalaupun aku masih memakai variabel, pastinya aku akan segera ganti jikalau sudah ketemu angka pastinya.


    0 9 0 0 1 0 0 1 0 1 X X X X X X X X X X X X X

    0 9 0 1 0 8 2 0 0 0 X X X X X X X X X X X X X

    0 9 0 1 0 2 2 4 0 1 X X X X X X X X X X X X X

    0 9 0 1 0 5 1 2 0 1 X X X X XX X X X X X X X

    0 9 0 1 0 5 2 8 0 1 X X X X X X X X X X X X X

    Angka 01 melambangkan tanggal yang sudah terjadi versi dunia rekaanku sedangkan angka 00 melambangkan belum terjadi. Semisalnya berhasil atau tidak layaknya yang dipakai paragraf kesatu sepertinya juga berlaku di paragraf ini jikalau semua yang terjadi memang benar-benar sukses dilaksanakan orang-orang seumpama Aftarus. Oh ya, kalau dilihat-lihat lebih dekat paragraf ini, mirip nomer telepon yang disensor saja.


    “Kode pos entar dulu, sekarang fokus mencari angka di kolom terakhir,” gumamku melontarkan isi pikiran. Tapi bingung bagaimana cara merealisasikannya! Merealisasikan jauh lebih sulit ketimbang merencanakan sesuatu, itulah pepatah bijak yang akhirnya terjadi pada diriku sekarang!


    Aku mengamati seksama kuadran koordinat ini, mencari inspirasi. Ehm, kuadran pertama itu absisnyadan ordinatnyapositif, kuadran kedua absisnya positif tapi ordinatnya negatif, di kuadran ketiga absisnya dan ordinatnya negatif, dan kuadran keempat absisnya negatif sedangkan ordinatnya positif. Apakah ini ada hubungannya dengan angka-angka kolom pargaraf keempat? Ehm, menarik untuk diselidiki.


    “Jika +,+ itu paragraf pertama, +,- paragraf kedua, -,- paragraf ketiga, dan -,+ untuk paragraf ketiga. Pastinya ada korelasi,” gumamku berasumsi seraya memainkan alat tulisku.


    Oh ya, paragraf kedua berkorelasi pada paragraf keempat dengan +,- dibalik menjadi -,+ dan kemungkinan paragraf pertama dan ketiga bisa digunakan, paragraf kedua tak bisa dipakai lagi, menurut asumsi liarku yang tak bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya.


    Aku mencoba melihat angka-angka paragraf pertama dan mulailah otakku kembali bekerja secara keras.


    “Kode pos, terbalikan?!”ujarku melontarkan spekulasi yang menuncul mendadak. “Bisa jadi!”


    10245, sebuah rangkaian angka yang membentuk kode pos di baris pertama paragraf pertama dan tak mungkin ada daerah yang memakai 54201 sebagai angka pos suatu tempat, baik di dunia ini maupun dunia rekaanku, menurutku. Apa mungkin tiga angka dari di belakangnya diacak-acak? Mari aku coba acak-acak ini angka!


    10542, 10425, 10452,10524, dan lain-lain adalah angka yang kudapati dari hasil acak-acak secara kasar, tapi hanya satu yang akan kupakai dan yang menjadi pertanyaannya adalah mana angka yang dapat aku pakai?!


    “Ah, mendingan aku pakai kebalikannya saja dan cara ini adalah cara yang lebih gampang dibanding memikirkan yang macam-macam!” kataku setelah mulai kebingungan sendiri.


    0 9 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 5 4 2 X X X X X X X X

    0 9 0 1 0 8 2 0 0 0 1 0 2 5 3 X X X X X X X X

    0 9 0 1 0 2 2 4 0 1 1 0 5 5 3 X X X X X X X X

    0 9 0 1 0 5 1 2 0 1 1 0 5 5 3 XX X X X X X X

    0 9 0 1 0 5 2 8 0 1 1 0 3 0 4 X X X X X X X X

    Tunggu dulu! Rasanya aku membuat suatu kesalaha- Oh ya, aku kelebihan digit ditiap baris; 23. Kelebihan berarti membuat paragraf imajiner tidak valid. Ada angka yang harus eliminasi dan sepertinya angka pembenaran atau tidak yang kurasa tak terlalu penting. Inilah konsenkuensiku karena tak memikirkan sesuatu matang-matang!!


    Oke, kolom-kolom yang masih misterius tinggal delapan dan pandanganku kuarahkan ke kuadran ketiga. Sepertinya kuketahui, paragraf ketiga menganut dwipenanggalan layaknya paragraf kedua. Dan pertanyaannya yang muncul dihadapanku adalah bagaimana aku menentukan angka penanggalan terakhir di paragraf keempat?! Tinggal sedikit lagi aku bisa terbebas dari tekanan kepenasaranku!


    “Lihat lagi paragaraf ketiga,” gumamku seraya memandangi angka-angka paragraf ketiga.


    Lima belas menit berlalu dan barulah muncul ide baruku untuk memandingkan penanggalan paragraf ketiga dengan kedua lalu aku coba. Penanggalan tanggal kedua paragraf kedua sudah kugunakan dan sepertinya sudah waktunya menggunakan penanggal tanggal yang lain di paragraf lain. Pastinya ini berefek kepada pembandingnya; hanya penanggalan tanggal pertama yang bisaku gunakan, untuk sementara.


    Beberapa saat lalu, aku mengira aku tak akan menggunakan cara ini tapi kali ini aku harus memakan pernyataanku mentah-mentah lagi. Mungkin tak apa kalau aku tidak menukarkan posisi kolom penanggalan akhir dan awal.


    Tunggu dulu wahai diriku! Kalau aku gunakan, pasti ada tambahan angka nol atau satu di depannya sebagai penegas keberadaan tahunnya. Ah, aku salah lagi memikirkan rumusan! Dengan terpaksa aku harus pakai penanggalan tanggal kedua di paragraf ketiga dan kembali menggunakan cara yang pernahku pakai tadi dengan cara yang berbeda: ditambah.


    ***

    “Fuh, akhirnya selesai juga!!” kataku lega melihat paragraf keempat versi Eka telah selesai disusun. Rasa puasnya dari pekerjaan ini belum pernah kurasakan sebelumnya setelah aku keluar dari rumah sakit jiwa. Benar tidak tak dipermasalahkan oleh siapapun!!





    0 9 0 0 1 0 0 1 1 0 5 4 2 0 9 0 1 0 3 1 4 1 9 2 0 0 9 1 1 1 0 1 0 2 4 5 1 0 9 0 5 3

    0 9 0 1 0 2 2 4 1 0 5 5 3 0 9 0 1 0 6 2 1 1 9 9 0 1 2 0 5 1 0 1 0 3 5 2 1 0 4 0 8 1

    0 9 0 1 0 8 2 0 1 0 2 5 3 0 9 0 2 0 9 0 9 0 8 9 0 1 1 0 4 1 0 1 0 3 5 5 1 0 7 0 5 3

    0 9 0 1 0 5 1 2 1 0 5 5 3 0 9 0 2 0 5 1 32 0 1 0 1 1 0 2 1 0 1 0 3 5 5 1 0 2 0 4 7

    0 9 0 1 0 5 2 8 1 0 3 0 4 0 9 0 6 0 1 2 1 2 0 0 0 1 1 0 9 0 1 1 0 4 0 3 0 1 6 0 5 5


    0 0 1 5 4 1 0 2 0 2 0 0 1 0 2 0 5 2 4 3 18 0 0 1 1 1 0 8 2 0 0 4 0 1 3 0 1 2 9 0 0

    1 1 5 4 0 0 5 1 4 2 0 0 2 0 6 3 0 1 2 0 0 8 2 0 0 9 2 9 8 4 0 0 1 0 7 0 5 0 1 9 0 1

    1 1 5 9 0 0 2 2 4 2 0 0 1 0 5 1 2 2 4 2 1 8 5 4 0 4 0 2 8 4 0 0 1 0 7 1 6 0 4 9 0 1

    1 1 8 3 0 0 6 1 5 2 0 0 2 0 4 0 4 0 0 0 0 8 6 4 0 6 2 1 8 7 9 1 2 1 6 0 3 0 5 9 0 1

    1 1 8 9 0 1 1 2 0 2 0 0 5 1 2 1 2 1 2 0 2 8 8 7 0 7 0 7 8 9 9 1 0 2 0 2 1 0 7 9 0 1

    Selesai sudah semua urusan Permainan Dunia. Aku tak pernah mengira adanya keberadaan paragraf imajiner dan seandainya Rina dan Ellena berhasil memecahkannya, pastinya rasio ketepatannya melebihi aku yang berkisar empat puluh persen.


    Berbicara Permainan Dunia, pastinya otakku mengeluarkan ingatan soal perjuanganku menghentikan Aftarus, dan mendapatkan racun Hatarx yang berujung dengan kebenaran atas diriku. Kalau saja dunia rekaanku itu adalah dunia realita, pastinya menyenangkan dengan hidup sebagai orang kaya, disegani, dan punya kuasa untuk menghentikan tindakan berbahaya layaknya Aftarus. Aku merasa sudah melewatkan seumur hidupku di dunia rekaan padahal aslinya hanya lima tahun. Inilah konsenkuensi terlalu menghayati sesuatu seperti halnya orang nonton bola lewat televisi, orang tersebut merasa berada di stadion dan tak merasa kondisi di sekitarnya.


    Ah, ingatan yang paling kukenang di dunia rekaan ada dua; waktu aku lawan Kepsek main Cerjab dan menenangkannya, dan penyataan perasaanku kepada Rina. Dan kenangan yang paling kukenang di dunia realita ini adalah keberhasilanku memecahkan paragraf imajiner versiku yang terjadi dua menit yang lalu.


    “Ehm, apa jadinya dunia ini adalah rekaanku dan dunia yang kuanggap fantasi adalah kebenaran?” gumamku berandai-andai tak jelas.


    Tunggu, dunia ini adalah fantasi? Rasanya bisa saja jikalau aku menanggap Kesadaran adalah diriku versi Hatarx dan apa yang ia jelaskan soal dunia Nusatoro sebenarnya terjadi pada dunia Indonesia.


    “Ah, terlalu absurd menanggap realita ini adalah fantasi belaka,” gumamku menyangkal pemikiran barusan. Lagi pula ada juga kemungkinan ini adalah fantasi dan dunia lalu juga fantasi sehingga aku sebenarnya sedang mendekam di rumah sakit jiwa jikalau aku berpikiran lebih liar lagi. Ha, absurd kelas berat!!


    Aku terdiam sebentar sehabis berpikiran liar dan termenung, memikirkan soal dunia ini dan dunia rekaanku. Kalau semisalnya ini adalah fantasi, tentu ada peluangnya walaupun kecil sekali. Kalau aku pakai sudut padang orang Indonesia, pastinya mereka berkata dunia Nusatoro hanya ada dalam khayalan belaka tapi jikalau aku pakai sudut pandang orang Nusatoro, pasti dunia yang aku tinggali sekarang adalah khayalan belakaku.


    Aku terdiam sebentar sehabis berpikiran liar dan termenung, memikirkan soal dunia ini dan dunia rekaanku. Kalau semisalnya ini adalah fantasi, tentu ada peluangnya walaupun kecil sekali.


    Coba kupikirkan matang-matang, bisa saja dunia ini memang benar rekaanku karena racun Hatarx dan ada kontradiksi besar atas pernyataan Kesadaran atau yang bisa kubilang sekarang diriku versi Hatarx, yaitu bagaimana bisa manusia bisa menciptakaan dunia rekaannya hanya karena gila seperti Nusatoro yang rasanya hidup dari orok? Kalau kasusnya berbeda seperti aku gila karena racun Hatarx dan membuat dunia fantasi seperti ini akan cukup kuat argumennya! Manusia memang bisa melupakan masa lalunya tapi tidak total, pasti berbekas walaupun dicampur adukan selama otaknya tak rusak parah. Aku rasa otakku belum rusak parah setelah keluar dari rumah sakit jiwa. Aduh, kenapa aku tak pernah kepikiran seperti ini sebelumnya?!


    Yang bisa dilakukan manusia kepada masa lalunya ada empat; dikenang, dibanggakan, dilupakan, atau diacuhkan sementara. Berbeda dengan masa depan yang hanya ada tiga kemungkinan bisa dilakukan manusia; ditunggu, dipersiapkan, atau diacuhkan sementara. Itulah yang kupelajari selama berada di dunia ini dan menjadi bahan penguatku soal manipulasi pikiran. Memang benar manusia bisa memanipulasi pikiran tapi tak akan sebanyak yang dikatakan si diriku versi Hatarx. Kalau seandainya pemikiranku bisa disangkal orang yang lebih berilmu, pastinya aku menerima dengan lapang dada.


    “Tapi aku bingung dari mana dunia terbuat?” gumamku kebingungan sendiri.


    “Kenapa dunia ini sangat realistas dengan dunia Nusatoro?” gumamku seraya berpikir. Dulu pernah kupikirkan dunia Nusatoro yang ada Cyborg, satpam punya senpi dan lain-lain adalah hal yang aneh. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, kemunculan Cyborg bisa saja terjadi di dunia realita, walaupun sangat susah diwujudkan. Dan satpam bisa saja punya senpi jikalau ia punya dan diizinkan aparat berwajib.


    Aku memandangi sekitarku dan bertanya-tanya kepada diriku bagaimana keluar dari dunia ini jika semisalnya dunia ini memang benar rekaan. Kalau tidak yang tidak apa-apa. Win-win solution menurutku!


    Tiba-tiba beberapa benda di sekitarku mulai hancur, terkisis-kikis partikel-partikelnya layaknya data komputer saja. Aku melirik cepat kesana-kemari, kebingungan bukan main melihat fenomena seperti ini. Dinding-dinding mulai hancur. Kursi tempatku duduki sekarang hancur sendiri dan memaksaku untuk berdiri. Sudah terlalu lama aku duduk di kursi ini, berkisar, dua jam kurang lebih, dan sepertinya maksud hancurkan kursiku baik untuk mengingatku bahwasanya terlalu lama duduk itu tak baik. Lain kali kalau ada kursi jongkok saja di atas kursi biar baik.


    Dalam waktu dua menit, semua yang ada di sekelilingku lenyap dan tak meninggalkan benda apapun. Apa yang kulihat di sekitarku hanyalah kegelapan tak berujung. Entah mataku yang mendadak tak bisa melihat atau memang gelap.


    Tak ada cahaya disekitarku. Bingung harus ke mana dan lebih bingungnya lagi, di mana aku sekarang?


    [1]Api Yunani atau Greek Fire adalah senjata rahasia Bizanitum atua bisa disebut juga Romawi timur yang tak akan pandam kalau disiram air. Cikal bakal flamethrower menurut penulis.
     
  14. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Kegelapan & Kode


    Aku terus berjalan, tak menentu, tak punya arah, dan sepertinya bergerak terus ke dalam kegelapan yang tak ada ujungnya. Selama langkah kakiku bergerak, aku memikirkan tempat apa ini? Apakah ini tempat yang sama seperti tempat bertemunya aku dengan diriku versi Hatarx dengan perbedaan latar; putih? Sepertinya. Dan hancurkan benda-benda di sekelilingku menunjukan bahwasanya dunia Indonesia adalah fantasi belakaku, walaupun ada kemungkinan aku sekarang sedang tertidur lelap dan bermimpi berjalan di kegelapan ini.


    “Bagaimana caranya aku keluar dari tempat ini?” gumamku melontarkan isi pikiranku.


    Aku menatap sekeliling. Gelap gulita dan mengingatkanku dengan luar angkasa, hanya saja di luar angkasa itu masih ada cahaya-cahaya bintang dan tata surya. Tempat ini layaknya ruangan hampa dan seandainya perumpamaanku memang terjadi, seharusnya aku sudah melayang-layang layaknya astronot.


    Kegelapan seperti ini mengingatkanku sewaktu aku mengkhayal di gudang STM Panzer. Tapi alangkah enaknya jika tempat ini bisa hancur hanya karena dibangunkan seseorang.


    Apakah waktu juga terhenti di tempat seperti ini? Pastinya tidak. Menghentikan waktu hanya di khayalan manusia saja, tak mungkin manusia bisa memanipulasi waktu!


    “Apa aku harus melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan dulu; tidur? Sepertinya,” ujarku seraya langkah kaki kuhentikan mendadak dan duduk bersila di bawah. Aku meraba-raba tempat aku berpinjak guna membersihkan tempat ini. Menurut telapak tanganku, tempat kuberpinjak sedikit halus layaknya meja komputerku yang terbuat dari kayu.


    Aku langsung berbaring dan menggunakan kedua tanganku sebagai bantalan. Melihat semua disekitarku gelap total, aku berandai-andai seandainya tempat ini putih dan terang layaknya tempat perantara dunia Nusatoro dengan Indonesia, pastinya enak.


    Tempat ini, tempat kegelapan, sepertinya alam bawah sadarku perantara dunia Indonesia dengan Nusatoro. Latar dunia ini hitam pekat dan gelap menurutku disebabkan perpindahan dunia, hitam melawan putih, fantasi melawan realita. Dan tempat seperti inilah yang menurutku sangat cocok untuk menjadi tempat tidur terbaik di jagat raya, tenang, tak ada cahaya, tak ada jam, dan tak ada yang akan menganggu, tapi konsekuensinya adalah tak ada yang akan bisa membangunkan si penidur.


    Mataku kututup rapat-rapat. Aku berusaha tidur nyenyak dengan tak berguling kesana-kemari. Kalau saja ada guling pastinya akan lebih enak tidurku ini.


    ***

    “Di mana aku?” gumamku kebingungan melihat sekelilingku gelap. Apakah aku sudah meninggalkan tempat kegelapan? Kegelapan tempat ini cukup menandingi tempat kegelapa- Oh, salah besar aku. Ada beberapa cahaya yang memasuki tempat ini dan sepertinya cahaya tersebut berasal dari sinar rembulan lewat jendela ruangan ini.


    Terasa empuk tempat aku berbaring ini. Aku meraba-raba tempat kutiduri ini dan sepertinya tempat ini adalah kasur. Tunggu dulu, rasanya aku pernah mengalami hal seperti ini, déjà vukah?


    ***

    Kejadian aku tersadar dari gilaku terjadi tiga hari yang lalu dan aku bisa berada di rumah sakit jiwa karena keputusan Bapakku yang stres sendiri melihat anaknya berbicara sendiri, sama seperti kasus Parjo memasukanku ke rumah sakit jiwa. Keputusan tersebut sangat disesali Bapakku dan ia memohon maaf sebesar-besarnya kepadaku, dengan isak tangisan menyesal.


    “Sudahlah, Bapak. Wajar saja kau memasukanku ke rumah sakit jiwa karena waktu itu fase Hatarx sudah ada di tingkat puncak-puncaknya,” kataku menenangkannya saat ia membesukku terakhir kalinya.


    Saat aku kembali ke rumah, bukan main terkejut aku melihat perayaan besar yang dibuat Bapakku untuk menyambutku. Eko, Bapakku, semua bawahan Bapakku, Senopati Jaka, Kepsek Panji dan Kidang ada di pesta tersebut yang menurutku tak terlalu mewah, hanya tumpengan nasi kuning yang membuat pesta ini layak disebut perayaan besar.


    Bapakku memberikan kacamata hitam yang sering kukenakan lalu sehabis kumemakai kacamata ini, ia tersenyum lebar dan berkata, “Selamat datang, nak!!”


    ***

    Selagi aku dan semuanya makan-makan, Kepsek Panji memberi tahuku bahwasanya aku tak lulus dari STM Panzer karena aku baru tersadar pada bulan Juni dan semua temanku seangkatanku sudah dinyatakan lulus, termasuk Guntur diantaranya dan ia bersama yang lain sudah dipekerjakan oleh negara. Pastinya si Ellena sedang berjuang masuk fakultas kedokteran sementara si Rina sudah berada di luar negeri sekarang, jauh dariku.


    “Jadi Eka, kau mau memilih mengulang bersama anak-anak kelas 11 atau berhenti bersekolah?” tanya Kepsek meminta keputusanku yang menentukan masa depan diriku.


    Bapakku, Eko, Kidang, dan Jaka langsung menatapku dan menunggu keputusanku. Sepertinya Bapakku membiarkan diriku membuat keputusan sendiri, terlihat cara dia menatapku. Rasanya wajar saja jika Bapakku tidak ikut campur dalam urusan anaknya yang sekarang sudah berumur sembilan belas tahun, sepantara dengan anak kuliahan.


    Ehm, kalau aku seandainya menolak untuk melanjutkan sekolah dengan alasan malu seperti diejek karena masih STM di tengah usia sudah 19-20 tahun, pastinya usaha kerasku menuntut ilmu selama dari SD akan sia-sia saja dan ada filosofis yang ada di batinku yang mengatakan tak boleh menyia-yiakan usaha keras yang telah dilakukan, baik oleh orang lain maupun diri sendiri. Lagi pula aku tak mau tinggalkan Panzer karena malu duduk bersama adik kelas.


    “Mengulang,” jawabku memberikan kepastian kepada Kepsek.


    “Bagus,” ujar Kepsek seraya mengarahkan tangan kanannya, memiringkan sedikit badannya, dan menepuk pundak kiriku mengingat dia duduk di depan hadapanku


    Eko terlihat tersenyum tipis–tersirat rasa senangnya karena bisa melihat abangnya setara tingkatannya dengannya–sementara Bapakku, Kidang, dan Jaka mendesah kagum dengan keputusanku, sepertinya.


    “Kalau begitu bersiaplah untuk bersekolah di Panzer bulan Juli nanti,” jelas Kepsek kepadaku.


    “Eka, kenapa sekarang jenggotmu seperti aku?” tanya Jaka seraya mengamati jenggotku yang mirip dengan jenggot kegagahannya. Semua yang duduk di tempat meja makan ini ikut melihati jenggotku lalu tertawa kecil Bapakku, Eko, dan Kidang, sedangkan Kepsek tersenyum tipis.


    “Ah, kenang-kenangan sewaktu aku gila,” jawabku sembari mengelus-elus jenggot ini. “Kau punya teman sejenggot sekarang, Senopati Jaka!”

    ***

    Sehabis acara makan-makan, aku menceritakan apa yang kualami di dunia rekaanku, Indonesia, mulai dari pertemuanku dengan diriku versi Hatarx, Parjo, cerita masa laluku dan orang-orang terdekatku versi Indonesia yang membuat Bapakku tersenyum-senyum sendiri, dan paragraf imajiner yang membuat Senopati dan Kidang terkejut bukan main.


    “Paragraf selanjutnya? Tuliskan semua angka itu Eka jika kau masih mengingatnya!!” perintah Jaka bersemangat tinggi seraya memberikan pulpen dan kertas A4 dari setelan jasnya kepadaku.


    Aku langsung menuliskan angka-angka paragraf keempat versiku di dalam koordinat kuadran yang kubuat ini. Di tengah kubekerja, semua yang ada di meja ini, Eko, Bapakku, Kidang, Kepsek, dan Jaka memperhatikanku dengan seksama sehingga membuatku merasa sedikit tertekan.


    “Ini dia!!” seruku seraya memperlihatkan koordinat kuadran versiku yang membuat Kepsek, Jaka, dan Kidang tercenang. Di lain pihak, Bapakku dan Eko kebingungan menelaah maksud angka-angka yang kutulis. Wajar menurutku mereka berdua tak mengerti karena mereka tak pernah diberi tahu soal maksud-maksud angka-angka Permainan Dunia.


    Aku memberikan kertas ini kepada Jaka. Jaka langsung membaca angka-angka paragraf empat dengan seksama, diikuti Kidang dan Kepsek yang juga penasaran.


    “Apakah ada kejadian terjadi sewaktu aku gila?” tanyaku kepada Jaka dan tentu saja pertanyaan ini boleh dijawab semua orang.


    “Ada empat kejadian yang terjadi di tahun ini mulai dari munculnya Cyborg-Cyborg baru yang mengamuk-amuk di ranah Briangan di tanggal 901-02-24 dan keberadaannya terakhir kali terlihat sewaktu mereka mengamuk-ngamuk di ibu kota Nusatoro pada tanggal 901-03-14. Pada tanggal 901-05-21, mantan Bhre Yabar, Arjuna, ditemukan terbunuh secara tragis di rumahnya, dan pada tanggal 901-05-28, terjadi peristiwa percobaan pembunuhan aku oleh Cyborg yang berakhir gagal,” tutur Senopati Jaka kepadaku lalu menghela nafas. “Sepertinya kau salah satu tanggal, Eka!!” ujarnya setelah memandangi kertasku disertai seringaian.


    Aku segera memperbaiki kesalahanku dengan mengambil kertas. “Tolong jelaskan soal percobaan pembunuhanmu dan kemunculan Cyborg?!” pintaku kepada Jaka dengan rasa penasaran tinggi.


    “Baiklah, akanku jelaskan keduanya dalam satu cerita,” ujar Jaka menerima permintaanku.


    “Pada pagi hari di tanggal 28 Mei, aku bersama tim divisi Fadas sedang bekerja menyelidiki bagaimana bisa mantan Bhre Arjuna terbunuh. Dan di tengah siang harinya ketika semuanya sedang keluar makan siang dan menyisakanku dan ajudan setiaku, Johan, di kantor dikarenakan kami sedang puasa sunah Kamis.


    “Saat aku pergi ke toilet dan buang air besar, tembok di dalam toilet bergetar. Awalnya kukira ada gempa tapi setelah aku lihat keluar sewaktu habis cebok, aku melihat pintu ruanganku terbuka dan yang membuka adalah Cyborg yang tingginya 160 sentimeter, kecil tapi sepertinya berbentuk badannya layaknya atlet. Mukanya ciri khas orang negeri ini dan kedua tangannya terbuat dari tangan mekanik yang terpasang senjata gatling gun. Perlu kau tahu Eka bahwasanya saat ini Cyborg ada yang perempuan, anak kecil, remaja, dan manula. Senjatanya pun sekarang bervariasi dan tahukah kau kalau Cyborg menurutu hitungan divisiku ada sekitar 100 orang!!”


    Wow, pasti merepotkan menghadapi monster-monster tersebut dan aku penasaran siapa yang membuat Cyborg-Cyborg tersebut?!


    “Aku terkejut bukan main dan langsung saja kuperintahkan si Johan yang tertidur di atas meja kerjanya untuk melawannya selagi aku memakai celanaku, mengulur waktu singkatnya. Johan menaati komando dan segera, ia mengambil pistolnya dari laci meja dan menembaki si Cyborg. Si Cyborg menembaki meja tempat berlindung Johan dan Johan terancam tewas. Beruntung si Cyborg tak menembaki pintu tolietku. Semisalnya ia melakukannya, sekarang mungkin aku sudah ada di alam kubur.


    “Seketika aku selesai memakai celana panjangku, aku langsung keluar dan membantu si Johan. Tapi sayang, si Johan sudah tewas mengenaskan karena tempat ia berlindung tak mampu menangkal ribuan peluru gatling gun.”


    Oh, sayang sekali kakaknya Ellena sudah tewas. Apakah adiknya terpukul atas kepergian kakak satu-satunya? Pastinya kalau ia masih punya hati.


    “Si Cyborg melirik tajam kepadaku dan langsung saja aku berlari ke jendela, untuk menyelamatkan diriku. Aku langsung melompat dan memecahkan jendela kaca. Beruntung mukaku tak terkena potongan kaca, hanya badan dan kedua tanganku saja yang tertancap puluhan potongan kaca. Tak mau membuang waktu untuk merintih, aku langsung berlari ke tempat tentara berada dan seketika aku menoleh, aku melihat Cyborg menghancurkan tembok dan mengejarku layaknya serigala memburu mangsanya.


    “Para tentara yang berjaga di pos masuk kantor terkejut melihatku dikejar-kejar Cyborg dan sepertinya mereka tak menyadari Cyborg menyelinap ke kantorku, dasar. Aku segera memerintahkan kepada mereka untuk mengambil senjata bazoka, senjata pamungkas menghancur Cyborg. Para tentara yang berjumlah lima belas orang langsung menaati perintahku dan segera, mereka melesatkan bazoka ke badan Cyborg tersebut. Cyborg tersebut langsung tersungkur dan setelah dicek oleh tentara, ia sudah tewas dengan perutnya hancur. Spekulasiku saat itu adalah Cyborg dikendalikan seseorang layaknya anak kecil memainkan remot kontrol pada mobil-mobilannya atau inisiatifnya,” pungkas Senopati Jaka seraya mengambil nafas lalu menghela, pertanda kelelahan berbicara.


    “Eka, apakah kau tertarik masuk divisi Fadas?” tanya Jaka dengan mendadak dan membuatku kaget.


    “Kau punya kemampuan memecahkan kode-kode seperti ini,” terang Jaka sambil menunjuk-unjuk angka-angka yang ada di koordinat kuadran. “Dan divisi Fadas butuh tipikal code breaker sepertimu!!”


    “Senopati, kau harus tahu kalau aku ini masih anak STM kelas 3 dan bukankah ada yang orang yang lebih baik daripadaku?! Lagi pula pemecahan kodeku masih ada kesalahan seperti yang tadi kau temukan. Dan bisa saja ada kesalahan lagi di paragraf keempat!!”


    “Iya. Dan orang yang lebih itu adalah kau. Kau bisa jadi anggota code breaker di samping menjadi anak sekolah,” jelas Jaka lalu tersenyum tipis kepadaku. “Wajar saja manusia melakukan kesalahan terlebih seorang pemecah kode dan seorang pemecah kode dituntut untuk memperkecil kesalahannya. Aku rasa kau bisa memperkecil kesalahanmu kalau kau diasah lagi kemampuannya layaknya pedang, makin diasah makin tajam dan mematikan!


    “Apakah kau mau?” tanyanya lagi dan membuat semua orang yang ada di meja makan ini kembali menatapku.


    Wow, menjadi pemecah koda. Sepertinya keren dan sesuai dengan cita-citaku yang sudah lama kubuang.


    “Baiklah, aku mau!!” terimaku seraya menjulurkan tangan kepada Jaka dan kami berdua bersalaman.


    “Bagus!!” bisik suara Aftarus versi Hatarx di telinga kiriku. Di hari ini beberapa kali aku mendengar suara bisikan ataupun bunyi rekaan Hatarx dan sepertinya ini yang pernah dijelaskan Ellena kepadaku; Hatarx akan berbekas dan tingkatannya tergantung fasenya saat mencapai enam bulan.
    Tamat!!
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.