1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic red_rackham Stories Collection ~ [Orific][Cerpen][Fanfic]

Discussion in 'Fiction' started by red_rackham, Jun 23, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Nope....saia masih galau mo majang entry FF2012 saia atau ga.....
    Di list cerpen yg udah masuk ada banyak sekali nama para master2 fantasy yg saia kenal dan itu bikin saia kena sindrom IC (inferiority complex) akut :madesu:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
  4. audioaddictz Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 21, 2009
    Messages:
    10
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +1 / -0
    bagus bener ceritanya.
     
  5. bano17 Members

    Offline

    Joined:
    Sep 10, 2011
    Messages:
    8
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    keep posting gan
     
  6. cornellex Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 23, 2011
    Messages:
    247
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +19 / -0

    nah... akhirnya ini yang saya cari dapet juga :hehe: cerita non happy-end :hahai:
    ada lanjutannya gak bang ???
     
  7. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Murid Ke-Tujuh

    New Entry setelah sekian lama vakum di dunia tulis-menulis fiksi :ogpeace:

    Murid Ke-Tujuh

    Aku hanya terdiam menyaksikan situasi ganjil yang sedang terjadi di hadapanku ini.

    Enam orang murid duduk menunduk dalam diam, sementara tangan mereka sibuk menuliskan sesuatu di atas meja. Entah apa yang mereka tuliskan di atas meja kayu mereka, tapi yang jelas mereka tampak terobsesi dengan apa yang mereka tuliskan.

    Aku menatap sekilas ke arah meja salah satu murid dan melihat simbol-simbol aneh sudah tertera disana. Tapi karena berulang kali dituliskan, simbol-simbol itu kini sudah terukir di meja yang terbuat dari kayu itu.

    Suara goresan pena yang terus menerus tanpa henti membuat suasana semakin terasa mencekam. Tapi diantara mereka, ada satu orang murid yang hanya diam dan memandangiku sambil tersenyum.

    Dia adalah murid ke-tujuh.

    Wajahnya sekilas terasa familiar bagiku, tapi aku tahu pasti dia bukan bagian dari kelasku. Aku yakin 100% kalau aku belum pernah melihatnya sebelumnya di sekolah, tapi entah kenapa aku merasa mengenal siapa dirinya.

    Pandanganku teralih ke arah Irfan, guru pelajaran matematika, yang berdiri di sebelah kiriku. Biasanya dia selalu terlihat galak dan tegas, tapi kali ini dia jelas-jelas ketakutan. Kebiasaan lamanya menggigiti kuku kalau gelisah kembali, meskipun sudah tiga tahun aku tidak pernah melihatnya melakukan itu. Di sampingnya ada bu Nadia, guru pelajaran fisika. Kalau dia sih tidak usah ditanya. Bu Nadia benar-benar panik. Air mata masih saja mengalir di pipinya.

    Aku kembali mengalihkan pandangan ke depan. Keenam murid di hadapanku masih saja sibuk menulis, sementara si murid ke-tujuh tetap memandangiku. Lama kelamaan aku jadi ngeri dengan caranya menatap langsung ke mataku. Rasanya seperti dia berusaha menatap langsung ke dalam jiwaku.

    "Baiklah. Ada apa ini sebenarnya?"

    Aku akhirnya bertanya, entah pada siapa. Tapi tidak ada yang menjawab.

    Sambil menghela nafas, aku menoleh ke arah Irfan. Tadi dialah yang memanggilku kemari dengan tergesa-gesa, tapi sayangnya Irfan tidak sekalipun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya mengatakan satu kalimat pendek. "Darurat!"

    "Irfan. Bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi disini?" tanyaku sekali lagi.

    Irfan tampak terkesiap dan berhenti menggigiti kukunya.

    "A..aku tidak tahu. Tadinya bu Nadia memanggil keenam anak ini untuk melakukan tes remedial dan kemudian meninggalkan kelas setelah membagikan lembaran soal..." Irfan terdiam sejenak. "Tapi ketika dia kembali....mereka semua sudah seperti itu."

    Aku melirik ke arah bu Nadia. Dia masih gemetar dan menangis karena ketakutan.

    "Sudah ada yang mencoba bicara pada mereka?" tanyaku lagi.

    Kulihat Irfan mengangguk ragu. "Su...sudah....pak Indra sudah mencoba bicara....tapi....."

    "Tapi apa?"

    Aku langsung punya firasat buruk soal apa yang akan diucapkan Irfan selanjutnya.

    Irfan menggigiti kukunya lagi. Jelas telah terjadi sesuatu pada pak Indra, guru pelajaran kimia itu.

    "Irfan!"

    "Pak Indra sekarang ada di rumah sakit!" ujar Irfan setengah berteriak.

    "Kenapa?"

    Dia lalu menunjuk ke arah gadis yang duduk di bangku paling pinggir. "Di...dia menusuk mata pak Indra dengan pena!" sahut Irfan. "Kemudian gadis itu duduk lagi di bangkunya dan kembali menulis."

    Aku menatap ke arah gadis yang dimaksud.

    Ara. Namanya Ara. Gadis itu memang tidak terlalu pintar, tapi dia bukan tipe anak yang bisa melakukan hal mengerikan seperti itu.

    Satu persatu aku memandangi deretan anak-anak yang duduk di sampingnya.

    Rudi. Fahru. Ahmad. Linda. Mahmud.

    Aku kenal mereka semua. Mereka semua anak yang baik. Tidak satupun dari mereka pernah terlibat masalah besar di sekolah, ataupun di luar sekolah. Rasanya tidak mungkin mereka tiba-tiba berubah seperti ini.

    "Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?" tanya Irfan.

    Aku mengangkat bahu.

    "Entahlah. Tapi kurasa dia tahu jawabannya."

    Aku menunjuk ke arah murid ke-tujuh yang duduk manis di depan keenam murid lainnya.

    "Dia satu-satunya murid yang tidak gila menulis," ujarku. "Dan dari tadi dia terus memandangiku dengan tatapan yang tidak mengenakkan."

    Aku kaget karena Irfan kini mengernyitkan dahinya ke arahku dan memandangiku dengan tatapan bingung.

    "Ja...jangan bercanda! Kau menunjuk kemana?" ujar Irfan kebingungan.

    Giliran aku yang bingung.

    "Bicara apa kau? Tentu saja aku menunjuk ke arah murid laki-laki yang duduk paling depan itu," sahutku.

    Wajah Irfan semakin memucat. Aku bisa melihat kedua matanya menyapu seluruh isi ruangan dengan bingung. Seketika itu juga, aku sadar...dia tidak bisa melihat murid ke-tujuh ini! Dan itu berarti sang murid ke-tujuh ini bukan manusia.

    Oke.....sialan!


    "Baiklah. Kalian semua tunggu di luar. Ini urusanku."

    Aku menepuk bahu Irfan dan bu Nadia, lalu perlahan-lahan mendorong mereka agar keluar ruangan. Bu Nadia yang sudah tidak bisa menahan tangisnya langsung menangis sejadi-jadinya di lorong, sedangkan Irfan memandangiku dengan tatapan ngeri.

    "Jangan memandangiku seperti itu! Semuanya akan baik-baik saja. Aku jamin!"

    "Ta...tapi...!"

    Aku mengabaikan protes Irfan dan membanting pintu kelas di belakangku.

    Setelah menarik nafas panjang, aku melangkah maju ke depan kelas. Lebih tepatnya ke depan si murid ke-tujuh.

    "Baiklah. Sekarang para pengganggu sudah pergi," ujarku sambil berkacak pinggang. "Aku ingin tahu siapa kau dan mau apa kau dengan murid-muridku."

    Murid ke-tujuh itu tiba-tiba tersenyum lebar. Saking lebarnya aku takut mulutnya akan sobek.

    "Apa kau yakin kau mau berada di dalam sini sendirian?"

    Aku terkejut. Suara murid itu langsung terdengar di dalam pikiranku. Aku yakin sekali aku tidak mendengar suaranya melalui telingaku, tapi aku mendengar suaranya melalui otakku.

    Mendengar itu, aku langsung tahu aku berhadapan dengan siapa...atau lebih tepatnya...dengan apa.

    Bagus sekali.....ini akan amat sangat merepotkan.

    "Baiklah jagoan. Aku minta kau membebaskan mereka semua dari pengaruhmu. Tidak baik kalau melibatkan mereka dalam urusanmu denganku."

    "Oh? Tapi justru itu tujuanku."

    Tiba-tiba si murid ke-tujuh mengangkat tangan dan mengibaskannya ke bawah. Aku terkejut bukan main ketika sebilah pisau muncul entah darimana dan menancap di atas meja tiap murid. Pada saat yang sama, keenam murid yang lain berhenti menulis dan memandangiku, sementara tangan mereka bergerak dari pena ke pisau di depan masing-masing.

    Uh-oh! Ini tidak bagus! Sangat tidak bagus!

    "Aku yakin kau tahu apa artinya ini kan, pak Guru?" ujar si murid ke-tujuh sambil berdiri sambil mengambil pisaunya. "Biar bagaimanapun kau tidak bisa menyerang muridmu sendiri kan?"

    Aku balas tersenyum.

    "Kalau itu sih mudah. Aku tinggal berusaha tidak ditusuk. Itu saja," ujarku. "Aku peringatkan sekali lagi...bebaskan mereka dan tinggalkan tempat ini."

    Senyumanku langsung hilang ketika murid-murid yang lain mulai berdiri dan berjalan perlahan mendekatiku.

    "Berhenti!" seruku panik. Sayangnya tidak ada yang berhenti. Mereka semua kini berdiri berbaris di depanku sambil mengacungkan pisau masing-masing ke arahku. Kilau baja berkilat dengan pantulan sinar matahari sore membuatku menelan ludah.

    Pastinya sakit sekali kalau ditusuk dengan pisau sebesar itu.

    "Pak Guru. Anda boleh mati sekarang!"

    Tentu saja aku tidak diam saja membiarkan mereka menikamku dengan pisau sebesar itu. Aku langsung berkelit dan melompat jauh ke belakang kelas. Tapi gara-gara salah mendarat, aku menabrak meja paling belakang sebelum akhirnya terbanting ke papan tulis belakang dengan sangat keras.

    "ADUH!!"

    Buru-buru aku bangun, tapi belum sempat aku berbuat apa-apa, sebilah pisau sudah menancap dalam di perutku. Diikuti dengan bilah pisau kedua...ketiga...keempat...Dalam sekejap sudah ada tujuh bilah pisau menancap di tubuhku.

    Rasa sakitnya tidak usah ditanya.

    Aku langsung roboh berlutut tanpa sempat menjerit kesakitan. Darah segar langsung mengalir bagaikan sungai dari luka-lukaku. Pandanganku langsung buram dan berwarna merah.

    "Bagamana rasanya, pak Guru? Sakit?"

    Suara si murid ke-tujuh masih terdengar jelas di dalam kepalaku. Jelas dia terdengar gembira melihat kondisiku yang begitu mengenaskan.

    "Tapi kurasa itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang kurasakan ketika anda melemparkanku ke Gerbang Neraka tahun lalu," ujar murid itu lagi. "Kali ini giliranku melemparkan anda ke dalam sana."

    Ucapannya langsung membuatku tertawa lebar. Sambil menahan sakit yang luar biasa, aku langsung berdiri dan meraih lehernya. Aku lalu meremas leher si murid ke-tujuh dengan sekuat tenaga. Kedua matanya melotot karena kesakitan campur ketakutan. Mulutnya terbuka dan tertutup seperti ikan yang baru saja diangkat keluar dari dalam air.

    "Baiklah...tadi itu keterlaluan sekali. Kau tidak seharusnya menusuk orang dengan benda ini..." gumamku lirih sambil mencabut satu persatu pisau yang menancap di tubuhku, kemudian melemparkan semuanya ke lantai.

    "Ba..bagaimana bisa...ka...kau....?!" ucapan si murid ke-tujuh terputus-putus karena lehernya sedang kucekik.

    "Bagaimana bisa? Kok bisa-bisanya kau lupa kalau aku ini tidak beda denganmu?" ujarku sambil balas tersenyum. "Kurasa terlalu lama terpanggang api Neraka membuat otakmu tidak beres."

    Sambil bicara, aku membanting murid itu ke lantai dengan begitu keras, hingga lantai kayu di bawahnya hancur jadi serpihan.

    "Ti...tidak! A..aku....aku tidak....tidak mau kem...kembali kesana!!"

    Si murid ke-tujuh berontak di bawah cengkramanku. Tapi usahanya sia-sia. Sekali tertangkap, aku tidak akan membiarkannya lepas.

    "Salahmu sendiri. Harusnya kau tidak kembali ke sini dan mencoba balas dendam padaku...iblis kecil."

    Tanpa basa-basi lagi, aku menghujamkan sebelah tanganku yang masih bebas ke lantai. Lantai kayu di bawahku bergolak bagaikan terbuat dari cairan. Sebuah pintu gerbang besar yang terbuat dari logam, tiba-tiba muncul begitu saja.

    Melihat pintu itu, si murid ke-tujuh langsung menjerit sejadi-jadinya. Dia mulai mencakari wajah dan tubuhku, tapi aku tidak peduli. Dengan sebelah tangan, aku menarik salah satu daun pintu hingga terbuka dan menampakkan bara api abadi di baliknya.

    "TIDAAAAKKK!!! TIDAAAKKK!!!"

    "Ya!"

    Aku mengangkat murid itu tinggi-tinggi dengan sebelah tangan, lalu melemparkan tubuhnya masuk ke dalam api membara di balik gerbang di bawahku. Suara jeritannya dengan segera ditelan oleh suara gemuruh api yang bergolak. Kemudian tanpa bantuanku, pintu gerbang itu menutup sendiri dengan suara berdebam nyaring dan menghliang begitu saja tanpa bekas.

    Aku langsung duduk lemas dan memandang ke sekelilingku.

    Murid-murid yang tadi berusaha membunuhku, kini sudah terkapar tidak sadarkan diri. Kuharap tidak satupun dari mereka mengingat apa yang baru saja terjadi hari ini. Kalau tidak mereka bisa stress sendiri. Terutama Ara.....dia pasti akan merasa bersalah sekali karena telah membuat pak Indra masuk rumah sakit.

    Setelah menarik nafas panjang dan berusaha mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhku, aku berseru sekuat tenaga.

    "Irfan! Bu Nadia! Kalian bisa masuk sekarang!"

    Aku berseru kepada dua orang guru yang pastinya sudah menunggu di luar ruangan dengan cemas. Segera setelah aku berteriak, mereka berdua langsung menghambur masuk ke dalam ruangan. Sialnya yang dilihat bu Nadia pertama kali adalah tampangku yang masih agak berantakan. Tanpa malu-malu dia langsung pingsan ditempat.

    "K...kau tidak apa-apa?" Irfan bertanya sambil membantuku berdiri.

    Dia lalu menahan nafas ketika melihat kucuran darah masih jatuh ke lantai.

    "Menurutmu bagaimana?" balasku.

    "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Irfan sambil memandang ke segala arah dengan kebingungan. Kedua matanya lalu terpaku pada bilah-bilah pisau berdarah yang berserakan di lantai. "Apa kau baru saja...."

    "...ditusuk dengan pisau? Ya." sahutku sebelum dia selesai bicara. "Ada iblis yang masuk ke dalam kelas dan mempengaruhi murid-muridku untuk membunuhku. Usahanya bagus sebenarnya...."

    Aku berhenti sejenak untuk mengerang kesakitan.

    "Aku pernah berurusan dengannya setahun yang lalu dan aku sudah membuatnya menderita..." gumamku. "Dia kembali untuk balas dendam. Tapi sayangnya dia lupa kalau aku tidak bisa dibunuh semudah itu...."

    Irfan hanya bisa melongo mendengar penjelasanku. Pandangannya bolak-balik terarah dari luka tusukan di tubuhku ke wajahku. Dia tampak khawatir dengan kondisiku yang tampak sudah tinggal selangkah lagi dari gerbang kematian.

    Aku langsung tersenyum lebar.

    "Jangan dipikirkan. Aku akan pulih besok pagi."

    "Ta...tapi...." Irfan ingin membantah, tapi dia lalu berhenti bicara dan menghela nafas panjang. "Oh...lupakan saja!"

    Dia lalu membantuku berjalan dan bergumam lirih.

    "Kira-kira apa yang harus kita katakan pada bu Nadia dan yang lainnya soal kejadian hari ini?" tanya Irfan. Dia lalu melirik ke arah papan tulis dan tembok yang retak, serta lantai di belakang kelas yang hancur berantakan. "Dan...bagaimana aku menjelaskan soal semua kekacauan ini?"

    Aku mengangkat kedua bahuku.

    "Entahlah. Bilang saja ini kasus kerasukan seperti biasa. Kan kau sudah biasa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu."

    Irfan langsung melotot ke arahku, tapi dia lalu menghela nafas panjang.

    "Punya Guru keturunan iblis sepertimu di sekolah ini memang merepotkan."

    ~FIN~

    red_rackham 2012

    780_468149413242894_467624625_n.jpg

    Tantangan dari Three Word Hall
     
  8. andotri23 Members

    Offline

    Joined:
    Mar 5, 2011
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    ficnya ini ceritanya?
     
  9. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
  10. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ikut komen :lalala:

    sasuga kk sepuh kalo nulis pasti aja aku selalu larut di ceritanya :sembah:

    untuk yang satu ini, well, sebenernya agak bingung ama masalah penokohan sih. di awal aku kira MC adalah salah satu murid yang dikumpulkan, eh ternyata guru ya :iii:

    pengembangan scene udah apik, kalimat tertata dan gaya bahasa juga ok :hmm:

    awalnya sempet mikir ini cerita bakal twist banget. yah, seperti sosok hantu itu mungkin sebenernya punya nama yang ga boleh disebut di itu sekolah, ato masa lalunya kelam, ato berasal dari sosok murid yang bernama siapa gitu, tapi yah, udah cukup bagus kok :peace:
     
  12. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Thanks karena udah mampir dan ngasih komen :top:

    Sebenernya ini menurut saia termasuk cerpen yg gagal twist :tega:
    Yah, mo gimana lagi, ini saia bikin slesai dalam one-sit, tanpa kerangka, dan minim edit plot (kecuali EYD). Yang penting jadi! :elegan:
     
  13. Heilel_Realz012 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2011
    Messages:
    811
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +826 / -0
    coba untuk komentar beberapa cerita yang menggunakan 1st POV cewek.

    Sahabatku seekor kucing

    kesan pertama yang terlintas.. Lesie. tapi ternyata. waduh siluman?
    gadis penyendiri yang gemar melihat kehidupan di sekitarnya. duduk untuk memahami kadaan atau sekedar meleapskan penat. gak segan-segan bilang kata idiot, melongo. gak jaga imej dirinya. wa tebak dari gerak-geriknya aisyah ini umurnya remaja smp-an kali ya.

    menceritakan pertemuan seorang manusia dengan seekor kucing spesial.
    moe lagi. percakapannya bikin ~Nghhhhhhh
    persahabatan bagai kepompong. tema yang gak pernah mati. wa ngerti maksud dari pembabakan cerita hingga berkurva dari plain naik dan turun untuk memberikan kesan haru. gak buruk. buat beberapa orang mungkin sinar persahabatan ini biasa aja. tdak spesial. gak bisa wa ilhami penuh. pertemuan - kegembiraan - penantian. kayaknya tinggal perbaiki impactnya aja. dibuat lebih cura saat asiyahnya benar-benar ditinggalkan dan berharap kawannya itu kembali.

    cerita ini cukup heartwarming sih.


    I'M Home

    yang ini ada kesan sci-fic. intronya menarik apalagi post apocalypse. :hihi:
    klo dari kondisi dan tema mungkin ini salah satu contoh bagaimana sikap cewek yang dewasa diceritakan. terkesan pemarah tapi kurang keras orangnya bagi wanita yang turun ke lapangan. walau wmang terkadang penulis karena minat atau hal lainnya lebih suka menempatkan wanita kayak begini di fict (sama kayak wa nempatin Elenna yg lemah lembut dan polos di msa post apocalypse keras).

    deskripsi alur ceritanya dan keadaan yang dialami tokohnya jadi inget neng Lara croft. Oblivion banget tapi yang ini aliennya lebih mirip ke knowing (dalam artian menyelamatkan umat manusia). wa kira sci ficnya bakalan kental lagi selain masalah exosskeleton + emggambaran teknologi aliennya. Tapi keliatan bukan kesana tujuan ceritanya. seperti yang pernah wa bilang ke penulis lain. terkadang drama ini lebih penting dari hal rumit lainnya.
    sebeenrnya udah ketebak dari awal pasti begini. lebih mengharukan yang begini klo menurut wa. walaupun emang udah banyak yang pake cara ceritanya. menanti seseorang pulang hingga tubuh telah renta dia baru bisa bertemu lagi.

    versi 18++ nya mana ini link-nya? dibuat sama member se kastil fantasi?


    btw ini umumnya dipecah 4 part. jumlah full di wordnya berapa? 10.000 kata/ 20.000 kata?
     
  14. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :lol: :top:

    Sahabatku Seekor Kucing => yah, kurang lebih penokohannya saia buat anak ABG (emang ga saia jelasin umurnya setara SMP/SMA). Trik naik-turun alur cerita ini saia dapet setelah beberapa kali bikin cerpen dengan pembabakan 3 atao 4 part, dan setelah itu saia nyaman dengan gaya begini. Yah, ini masih kelemahan terbesar saia...emosi. Saia pernah baca di buku Art of War for Writers, katanya salah satu unsur vital dalam cerita itu emosi-emosi-emosi. Sehebat apapun world building, segila (dan mindblowing) plotnya, tapi klo emosi ceritanya datar, ga bakal menarik <--- masih saia pelajari ilmu ini.

    I'm Home => ini eksperimental sih. Saia coba mengesampingkan detail teknis dan coba masukin unsur drama yang lebih kental, walaupun sekali lagi...saia masih gagal mengolah emosi yang bagus.

    Errrr....versi 18++ silahkan dikau copas paragraf pertama I'm Home ke google. Ntar ketauan dimana tuh. Yang bikin bukan anak KasFan atau LCDP.

    Jumlah kata per-cerpen saia umumnya < 5000 kata (menurut MS.Word) kok :elegan:
     
  15. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
  16. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
  17. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Tantangan Teen-lit: Pelindung Bumi?

    Yak... mencoba kembali naik dari dasar lautan untuk posting cerita lagi :hero:

    Kali ini yang saia posting adalah cerpen hasil tantangan yang digelar di http://www.kemudian.com/

    Silahkeun dibaca dan dinikmati :elegan:

    Tantangan Teen-lit: Pelindung Bumi?

    “Kamu adalah orang yang terpilih sebagai Pelindung Bumi. Sekarang, bangun dan terima takdirmu!”

    Alvian Cahyadi tertegun menyaksikan seekor burung berbulu merah bertengger di jendela kamarnya, kemudian mengucapkan kalimat barusan. Dia mengucek mata beberapa kali, mengorek telinga, kemudian mencubit pipinya. Sekedar memastikan kalau dia sudah benar-benar bangun, bukan sedang bermimpi.

    “Aku masih mimpi ya? Masa sih ada burung bisa bicara?” Alvian bergumam sendiri sembari berbaring, kemudian menarik kembali selimutnya. “Selamat tidur.”

    “HEI!” Si burung merah berseru protes, kemudian meloncat ke atas tubuh Alvian. “Ini bukan mimpi, dan aku serius! Hei! BANGUN!”

    “Berisik ah! Ini kan cuma mimpi,” gerutu Alvian dari balik selimutnya. “Sudah deh, pergi sana! Aku mau tidur.”

    Mendengar ucapan Alvian, si burung merah tiba-tiba saja mematuk tubuh pemuda itu dengan paruhnya yang panjang dan tajam. Tindakannya itu membuat Alvian berteriak kaget, meloncat ke samping, kemudian jatuh dari tempat tidur.

    “SAKIT!”

    Alvian berseru protes sambil mengusap belakang kepalanya yang terasa sakit setelah menghantam lantai keramik yang keras.

    “Huh! Rasakan!” dengus si burung merah. Dia lalu mengibaskan sayapnya dan menunjuk ke arah Alvian. “Dengarkan aku baik-baik, dunia tempat tinggalmu dalam masalah, dan hanya kamu yang bisa menyelamatkannya! Jadi, bangkitlah dan jadilah Pelindung Bumi!”

    “Ogah!” jawab Alvian tanpa pikir panjang.

    “HEI!” protes si burung merah. “Ini serius!”

    “Aku juga serius,” balas Alvian sambil berdiri, namun tetap menjaga jarak dari burung ganjil di atas kasurnya itu. “Memangnya siapa sih kau ini? Tahu-tahu muncul dan seenaknya bilang aku ini penyelamat atau semacamnya...”

    Si burung merah terlihat berpikir sejenak, dia lalu menepuk dada dengan sebelah sayapnya.

    “Namaku Vermeil, sang Penjaga Keseimbangan,” ujar si burung merah. Dia lalu menunjuk lagi ke arah Alvian. “Dan kau adalah Pelindung Bumi yang terpilih.”

    “Pelindung Bumi?” ulang Alvian bingung.

    “Ya, Pelindung Bumi. Orang terpilih yang akan melindungi dunia ini dari kekacauan yang dibawa oleh Utusan Kegelapan, Eldive. Dengan kekuatanmu, kau bisa menyelamatkan dunia ini sebelum seluruhnya ditelan kekuatan gelap,” ujar Vermeil lagi. “Apa kau mengerti?”

    Alvian menatap burung ajaib di depannya itu sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan. Dia masih berusaha mencerna arti ucapan Vermeil barusan.

    “Sebentar... siapa yang seenaknya menunjukku jadi Pelindung Bumi?” tanya Alvian. “Tuhan?”

    Vermeil tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya ke arah lain.

    “Eeh... bukan,” jawabnya.

    “Terus, siapa?” desak Alvian.

    “Aku,” jawab Vermeil dengan nada riang dan polos.

    “Kalau begitu, lupakan!” geram Alvian. “Aku enggak tahu kau ini sebenarnya apa, tapi jangan ganggu kehidupan normalku! Lagi pula, paling ini semua cuma lelucon. Pasti kau ini burung beo terlatih yang sengaja dikirim untuk membuatku bingung, iya kan?”

    Vermeil terdiam mendengar ucapan Alvian. Tiba-tiba saja sorot mata burung merah itu berubah menjadi tajam. Pada saat yang bersamaan, suhu kamar kos Alvian terasa meningkat tajam. Seolah-olah ada yang sedang menyalakan alat pemanas di dalam ruangan sempit itu.

    “Jadi, kau perlu bukti ya? Baiklah.”

    Nada bicara Vermeil mendadak berubah menjadi dingin. Alvian langsung merinding karena merasa baru saja membuat sebuah kesalahan fatal.

    “Akan kutunjukkan wujud asliku agar kamu tahu, aku tidak main-main!”

    Vermeil bicara sambil mengangkat kedua sayapnya. Pada saat yang sama, pusaran api mendadak muncul entah dari mana dan melahap tubuh mungil burung merah itu. Hawa panas yang dihasilkan kobaran itu membuat Alvian menjerit ketakutan. Dia mengira tubuhnya akan habis terbakar oleh api ajaib yang mendadak berkobar itu. Namun anehnya, tidak satu pun barang di kamar Alvian yang ikut terbakar, begitu pula tubuhnya. Meskipun hawa panasnya nyaris tidak tertahankan, tapi tubuh Alvian masih utuh.

    “Cukup! Maaf! Aku tadi enggak sopan! Jangan bakar aku!”

    Akhirnya Alvian tidak tahan lagi dan memohon agar Vermeil menghentikan apinya.

    Nyaris sama mendadak dengan kemunculannya, kobaran api di sekitar Vermeil menghilang begitu saja dan menampilkan wujud asli burung ajaib itu. Begitu perubahan wujudnya selesai, dia langsung berkata dengan bangga pada Alvian.

    “Nah? Bagaimana? Hebat kan?” seru Vermeil.

    Kali ini Alvian hanya bisa melongo.

    Soalnya kali ini yang di hadapannya berdiri seorang gadis cantik berambut merah dan bersayap mungil. Gadis itu berdiri berkacak pinggang tanpa mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya... alias telanjang bulat.


    ****

    “Jadi... sebenarnya Eldive itu seperti apa sih?”

    Alvian bertanya sambil menahan kapas yang menyumbat lubang hidungnya. Setelah nyaris kehabisan darah akibat mimisan, Alvian berhasil meyakinkan Vermeil untuk mengenakan pakaian. Meskipun sempat protes, tapi akhirnya Vermeil mau mengenakan satu setel pakaian yang dipinjamkan Alvian. Tidak lama kemudian, keduanya setuju untuk pergi keluar dan mencari Eldive yang disebut-sebut Vermeil tadi.

    “Hmm... dia itu iblis dari dunia lain,” sahut Vermeil dengan entengnya. “Sekitar 10 Athurn, atau dalam hitungan kalian, 10.000 tahun yang lalu, dia muncul dan menenggelamkan peradaban awal kalian. Sekarang dia muncul lagi. Kalau tidak dicegah, hal yang sama akan terulang kembali.”

    “Apa?!” Alvian berseru kaget.

    “Aku tidak main-main,” sahut Vermeil dengan serius. “Itu alasan aku membutuhkanmu. Hanya Pelindung Bumi yang bisa menemukan dan menghancurkan Eldive sebelum dia terlalu kuat untuk dikalahkan.”

    Alvian sekilas melirik ke arah Vermeil. Kalau bukan karena sayap mungil dan mata keemasannya, Vermeil terlihat seperti gadis biasa dengan wajah cantik dan bentuk tubuh yang ideal. Pantas saja reaksi Alvian begitu kuat ketika Vermeil menunjukkan wujud aslinya tadi.

    “Hei! Kamu dengar tidak?” Vermeil protes melihat Alvian yang menatapnya dengan tatapan kosong. “Jangan bengong! Ini serius! Aku merasakan tanda-tanda kehadiran Eldive di kota ini, dan itu tidak bagus!”

    Setelah menggelengkan kepala untuk menyingkirkan bayangan mesumnya, Alvian balas bertanya pada Vermeil.

    “Eldive ada di kota ini!? Di mana?” tanya Alvian.

    Lagi-lagi Vermeil mengalihkan pandangannya ke arah lain.

    “Eeh... entahlah,” jawabnya enteng.

    Jawaban Vermeil membuat Alvian kembali geram. Dia pun melotot ke arah sang gadis, yang kini mati-matian menghindari tatapan tajam dari Alvian.

    “Se... sebenarnya aku cuma pernah bertemu Eldive sekali saja... itu pun waktu dia muncul pertama kali di dunia ini 10 Athurn yang lalu,” ujar Vermeil salah tingkah. Ketika melihat Alvian menepuk wajahnya dengan sebelah tangan, dia kembali bicara.

    Sembari mengutuk takdir aneh yang menimpanya itu, Alvian bertanya-tanya kenapa dia bisa terlibat dalam masalah se-absurd ini.

    “Lalu gimana kau bisa menemukan Eldive, kalau wujudnya seperti apa saja kau tidak tahu?!” tanya Alvian.

    Vermeil tiba-tiba balik menunjuk ke arah Alvian.

    “Bukan aku yang akan mencarinya, tapi kamu, Pelindung Bumi!” ujarnya sambil tersenyum lebar.

    “Bagaimana caranya? Aku kan...”

    “Pakai ini dan berubahlah jadi Pelindung Bumi!” potong Vermeil sambil menjentikkan jari. Sedetik kemudian, sebuah ponsel bergaya futuristik muncul begitu saja dari udara. Ketika mewujud, Vermeil langsung melemparkan benda itu ke arah Alvian. “Tinggal tekan tombolnya dan... BUM! Kamu akan berubah wujud!”

    Alvian menatap benda asing di tangannya itu dengan seksama. Sekilas memang terlihat seperti ponsel canggih yang sering dia lihat di film-film sains fiksi. Tapi alih-alih ada banyak tombol, hanya ada satu tombol merah di tengah benda itu.

    “Tunggu apa lagi? Jangan lama-lama, ayo berubah!” desak Vermeil. Karena tidak sabar, dia langsung menghampiri Alvian, kemudian memaksa pemuda itu menekan tombol di ponsel canggihnya. Alvian yang terkejut tidak bisa berbuat apa-apa ketika cahaya menyilaukan mendadak menyelimuti tubuhnya.

    “UWAAAH!!”

    Tentu saja dia tidak malu-malu untuk berteriak. Sebab pada saat cahaya itu muncul, Alvian juga merasakan sensasi menggelenyar dan menggelegak dari dalam tubuhnya. Seolah-olah ada sesuatu yang minta dikeluarkan dengan segera, dan itu rasanya amat sangat tidak nyaman.

    “He... hentikan!” seru Alvian ketakutan.

    Alih-alih membantu, Vermeil justru mengacungkan jempolnya sambil melayangkan ekspresi puas di wajahnya.

    “Jangan khawatir, tidak sakit kan?” ujarnya dengan nada riang.

    “Iya, tapi...!!”

    Protes Alvian terhenti ketika sensasi aneh dan cahaya menyilaukan yang menyelimuti tubuhnya itu mendadak hilang.

    “Nah. Itu sudah selesai,” kata Vermeil. “Bagaimana rasanya?”

    Alvian terdiam sejenak untuk mengamati kalau-kalau dirinya berubah menjadi burung aneh, sama seperti wujud Vermeil sebelumnya. Sekilas dia masih berwujud seperti manusia. Setidaknya dia masih memiliki sepasang tangan, dan sepasang kaki. Tapi dengan segera dia sadar kalau ada tambahan lain di tubuhnya, yang sebelumnya tidak dia miliki.

    “Vermeil?” tanya Alvian.

    “Ya?” jawab Vermeil singkat

    “Ini apa?” Alvian kembali bertanya sambil menunjuk ke arah dadanya.

    “Ayrudar,” jawab Vermeil, lagi-lagi dengan singkat.

    “Ay... apa?!” tanya Alvian lagi, kali ini sambil menyentuh dadanya sendiri.

    “Eh...” Vermeil terdiam sejenak untuk berpikir, kemudian tersenyum lebar. “Ayrudar... atau kalau dalam bahasa kalian, kurasa itu namanya payudara.”

    Seketika itu juga Alvian menyadari kalau secara ajaib dirinya sudah berubah menjadi seorang perempuan.

    ****

    “Rasanya aneh...”

    Alvian berkomentar sambil memandangi bayangan dirinya di cermin kecil yang dipegangnya.

    “Jangan banyak komentar! Nanti juga terbiasa,” Vermeil berseru mengabaikan komentar gadis yang melompat di sampingnya itu. “Sekarang fokus pada energi Eldive-nya! Jangan sampai kamu kehilangan jejaknya!”

    Alvian hanya bisa merengut dan kembali berkonsentrasi.

    Saat ini dia dan Vermeil sedang sibuk melompat-lompat dari satu atap ke atap rumah lainnya dengan kecepatan tinggi. Entah bagaimana, dia yang sekarang ini bisa merasakan ada ‘hawa tidak enak’ datang dari salah satu sudut kotanya. Menurut Vermeil, itu kemungkinan adalah salah satu tanda-tanda kemunculan Eldive. Hanya saja berhubung gadis itu tidak tahu seperti apa wujud iblis yang dicarinya itu, Alvian jadi semakin ketakutan. Sebab dalam benaknya sudah terbayang sosok monster mengerikan seperti yang sering dia lihat dalam film-film horor.

    “Vermeil.”

    “Ya?”

    “Boleh enggak aku kabur sekarang?”

    Vermeil menoleh ke arah Alvian, kemudian menyunggingkan senyuman tipis yang kira-kira artinya ‘kalau nekat kabur, kamu akan kupanggang’. Itu saja sudah cukup untuk membuat Alvian mengurungkan niatnya untuk lari.

    “Vermeil?”

    “Apalagi?”

    “Apa kita enggak terlalu mencolok?” Alvian kembali bertanya, tepat saat dia melompati seorang ibu rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaiannya. “Apa ini enggak bakal jadi berita heboh?”

    Vermeil tertawa dengan suara merdu yang menyejukkan hati.

    “Jangan khawatir soal itu. Apapun yang kita lakukan, begitu orang yang melihat kita berbalik, dia akan melupakan kejadian yang disaksikannya barusan,” ucap Vermeil sambil tersenyum lebar. “Hebat kan? Selain itu dengan wujudmu sekarang, tidak akan ada yang tahu jati dirimu yang sebenarnya. Kujamin!”

    Meskipun masih ragu, Alvian setidaknya percaya kalau jati dirinya benar terlindung. Soalnya saat ini dia sama sekali bukan Alvian, melainkan seorang gadis cantik yang sambil melompat-lompat ala parkour di atas atap. Sama sekali tidak mencolok.

    “Ngomong-ngomong, bagaimana aku bisa mengalahkan Eldive? Katamu dia sangat kuat, sampai-sampai bisa menghancurkan dunia. Terus, bagaimana orang seperti ku bisa menang melawannya?” Alvian kembali bertanya. Kali ini, pertanyaannya benar-benar bagus.

    “Pakai itu.” Vermeil menjawab dengan singkat, kemudian menunjuk ke arah kedua tangan Alvian, yang kini tampak langsing dan berjari lentik.

    “Kedua tanganku?” Alvian balas bertanya kebingungan.

    “Ya. Memangnya pakai apa lagi?” sahut Vermeil.

    “Tidak ada senjata?” Alvian kembali bertanya. Kali ini dengan raut wajah memucat akibat membayangkan dirinya duel tangan kosong melawan seekor monster.

    “Buat apa senjata? Bikin repot saja. Langsung hantam dan selesaikan dengan ini!” Vermeil mengacungkan tinjunya yang kini dibungkus kobaran api berwarna biru. “Beres kan?”

    Alvian kembali melongo karena jawaban Vermeil yang jelas asal-asalan. Tapi sekarang dia tidak punya waktu untuk berdebat, sebab dia sudah berada sangat dekat dengan ‘hawa tidak enak’ yang dia rasakan barusan.

    “Perhatikan! Itu dia!”

    Ekspresi wajah Vermeil langsung menegang ketika mengucapkan kalimat itu. Pandangannya juga langsung tertuju ke sebuah sosok yang berdiri di antara kerumunan orang di bawah sana. Alvian ikut mengalihkan pandangannya ke arah sosok yang sedang diamati Vermeil, namun dia terkejut bukan main. Sebab sosok yang diawasi gadis itu adalah seorang anak perempuan lucu yang berdiri sendirian di antara kerumunan orang.

    “Hei Vermeil, itu bukannya...”

    “Gawat! Dia melihat kita!!”

    Ucapan Alvian dipotong Vermeil yang mendadak melompat mundur. Sesaat Alvian bingung dengan tingkah gadis itu. Namun sedetik kemudian, kebingungannya berubah jadi kengerian. Sebab Vermeil tiba-tiba saja bagaikan dipukul oleh palu raksasa. Tubuhnya mendadak jatuh menembus atap rumah di bawahnya diiringi suara berdentum nyaring dan hempasan debu tebal.

    “VERMEIL!”

    Alvian langsung bangkit dan hendak menolong Vermeil. Namun dia tidak sempat berbuat apa-apa, sebab sesosok anak kecil mendadak muncul di hadapannya. Berbeda dengan yang dilihatnya beberapa detik lalu, anak perempuan yang ini sama sekali tidak imut. Wajahnya berkerut mengerikan dan dihiasi senyum sadis.

    “Kakak juga datang dari dunia atas ya?” Suara anak perempuan itu terdengar berdengung janggal. “Kalau begitu, kakak akan kukirim balik ke sana ya?”

    Mampus!! Alvian menjerit dalam hati, sembari bersiap untuk lari secepat dan sejauh mungkin. Namun alih-alih melarikan diri, tubuh Alvian mendadak bergerak sendiri seolah tahu apa sebenarnya yang harus dia lakukan. Sedetik kemudian, pemuda –yang saat ini sedang berwujud seorang gadis– tahu-tahu sudah melayangkan sebuah tinju dengan kekuatan penuh.

    Karena tidak menyangka akan diserang, tinju Alvian telak mengenai targetnya. Suara dentum keras yang disusul oleh kilatan cahaya biru terang muncul saat tinju Alvian mengenai tubuh anak jelmaan Eldive. Dengan seketika tubuh mungil anak itu langsung terpental dan menghantam tembok sebuah ruko di kejauhan.

    Melihat hasil perbuatannya, Alvian hanya bisa tertegun. Dia tidak menyangka kalau ucapan Vermeil tadi itu bukan main-main. Ternyata tinju Alvian benar-benar sangat kuat bagaikan pukulan seorang manusia super.

    “Hei! Jangan bengong saja! Kejar Eldive itu! Nanti dia keburu kabur!”

    Mendadak Alvian mendengar suara Vermeil. Dia pun segera menoleh ke arah datangnya suara, dan dengan lega melihat gadis itu masih hidup. Dia tampak berdiri tegak di antara kerumunan orang yang sudah memadati jalanan di bawah sana.

    “Vermeil! Kau tidak apa-apa?”

    Bukannya segera mengejar Eldive, Alvian justru balik bertanya pada Vermeil.

    “Lupakan soal diriku! Sekarang kau... MENUNDUK!!”

    Tanpa pikir panjang Alvian menunduk, tepat saat sebilah benda tajam melesat ke tempat lehernya tadi berada. Telat sedikit saja, sekarang kepalanya pasti sudah terguling di lantai. Dengan ngeri Alvian menatap ke arah monster yang berdiri tepat di depannya. Berbeda dengan sosok anak perempuan imut yang dihantamnya tadi, kali ini sosok yang menyeringai ke arahnya itu benar-benar mirip iblis, lengkap dengan tangan bercakar pisau dan mulut yang dipenuhi taring-taring tajam.

    “UWAAHH!!!”

    Tanpa basa-basi, Alvian menjerit ketakutan sambil melompat mundur, hanya untuk bertemu dengan cakar tajam yang langsung menembus tubuhnya. Rasa sakit yang dirasakannya sungguh sulit dibayangkan.

    Selama sesaat Alvian bagaikan buta.

    Dia juga tidak ingat apakah dia sempat menjerit kesakitan atau tidak.

    Yang jelas saat kembali sadar, tahu-tahu dia sudah berbaring di atas sebuah mobil yang atapnya ringsek akibat menahan jatuhnya. Dia hanya bisa pasrah melihat sang monster Eldive yang melompat menerkam ke arahnya.

    “Hyaaah~~!!!!”

    Suara seruan Vermeil mendadak memenuhi telinga Alvian dan memaksanya membuka mata. Dia terkejut melihat gadis itu tahu-tahu sudah menahan si monster di tembok terdekat dengan sekuat tenaga. Sementara itu api kembali berkobar dan menyelimuti tubuhnya.

    “Bangun!!” Vermeil berseru dengan susah payah pada Alvian. “Kau belum mati! Bangun dan bantu aku! CEPAT!!”

    Perlahan-lahan Alvian bangun dan menyadari kalau luka menganga di perutnya tadi sudah sembuh. Satu-satunya bekas yang tertinggal adalah robekan besar serta serta darah yang membasahi kaus yang dikenakannya.

    “Aku harus apa?!” tanya Alvian panik.

    “Tidak usah berpikir! Serahkan saja pada Pelindung Bumi dalam dirimu! Dia tahu apa yang harus dilakukan!” balas Vermeil. Dia masih berusaha mati-matian menahan Eldive dengan segenap tenaganya. “Cepat! Aku sudah tidak kuat lagi!”

    Seperti perintah Vermeil barusan, Alvian berhenti memikirkan betapa mengerikannya Eldive itu, dan keinginannya untuk segera kabur dari tempat ini. Ketika melakukan itu, tiba-tiba saja Alvian tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

    Menyadari itu, Alvin bangkit dan merentangkan kedua tangannya ke samping. Di saat yang sama, dua buah bola cahaya berbeda warna langsung muncul dari telapak tangannya. Sambil memfokuskan pikirannya pada sang monster, Alvian menepukkan kedua tangannya hingga dua bola cahaya tadi bersatu. Suara dentum nyaring, diiringi hempasan energi dahsyat, mengiringi bersatunya kedua bola cahaya tersebut.

    Seolah menyadari dirinya dalam bahaya, sang monster mendadak berontak dan tanpa terduga melemparkan Vermeil ke samping. Monster itu lalu melesat ke arah Alvian sambil meraung keras dan mengayunkan tangannya yang dipenuhi cakar tajam.

    Sayangnya kali ini Alvian sudah siap dengan serangan itu. Dengan gesit, dia memutar tubuh dan membiarkan cakar si monster menghantam mobil tempatnya berdiri barusan. Selama sedetik, gerakan Eldive terhenti karena cakarnya tersangkut di antara rangka logam mobil yang ditembusnya.

    Hanya sedetik, tapi itu sudah cukup bagi Alvian.

    “MAMPUS!!”

    Sambil meraung, Alvian mengayunkan tinjunya sekuat tenaga.

    Pukulan yang sudah diperkuat dengan energi dahsyat itu dengan telak menghantam tubuh sang monster.

    Ledakan cahaya, diiringi kilatan energi yang menyambar ke segala arah, mengiringi hancurnya tubuh Eldive hingga berkeping-keping. Saking kuatnya ledakan itu, mobil yang ada di bawah Alvian dan monster itu langsung meledak jadi serpihan kecil. Akibat ledakan tersebut, tubuh Alvian juga ikut terlempar dan menabrak sebuah mobil boks hingga ringsek. Untungnya dia sekarang sudah jadi manusia super, kalau tidak semua tulangnya pasti remuk akibat benturan barusan.

    Sambil terengah-engah Alvian menatap hasil kerjanya tadi. Sosok Eldive yang tadi begitu mengerikan kini sudah hancur berkeping-keping. Yang tersisa dari makhluk itu hanya sebuah kristal kecil yang bersinar dan melayang di udara.

    “Kerja bagus.”

    Vermeil berkomentar sambil melayang turun. Dia lalu mengambil kristal sisa Eldive dan dengan segera memasukkannya ke dalam sebuah kotak kecil. Setelah selesai, dia pun menoleh ke arah Alvian.

    “Tidak terlalu susah kan?” Vermeil berkomentar sambil tersenyum puas melihat hasil kerja Alvian.

    Alvian sebenarnya ingin sekali protes, tapi sepertinya dia sudah benar-benar kehabisan tenaga. Kekuatan yang beberapa saat lalu terasa meluap-luap dari dalam tubuh, kini sudah hilang sama sekali. Yang tersisa hanya rasa lelah yang luar biasa.

    “Walau ini baru pertama kalinya, tapi kerjamu bagus sekali,” puji Vermeil.

    “Vermeil?” tanya Alvian dengan nada lirih.

    “Ya?” sahut Vermeil.

    “Selamat tidur.”

    Tanpa basa-basi lagi, Alvian langsung jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri.

    ****

    Hal pertama yang dilihat Alvian saat kesadarannya pulih adalah langit-langit kamar kosnya yang bercat biru kusam. Tadinya dia berharap kalau semua kejadian ajaib yang telah dialaminya tadi itu hanya mimpi. Sayangnya dia langsung sadar kalau itu semua sama sekali bukan mimpi. Soalnya dia melihat Vermeil, sang gadis cantik jelmaan burung ajaib, sedang duduk di samping tempat tidurnya.

    “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya.

    “Lemas...” jawab Alvian. “Tapi aku senang semuanya sudah selesai.”

    Tiba-tiba Alvian sadar ada yang aneh. Soalnya saat dia mengucapkan kalimat barusan, Vermeil langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Itu kebiasaan yang dilakukannya kalau gadis itu berusaha menyembunyikan sebuah masalah.

    “Tunggu... ada yang salah...”

    Alvian terhenyak ketika menyadari dirinya belum kembali jadi seorang laki-laki. Kedua matanya langsung terpaku pada bayangan seorang gadis imut di cermin samping kasurnya. Gadis yang tidak lain adalah dirinya sendiri.

    “Ke... kenapa aku masih begini?!” seru Alvian panik. “Vermeil!”

    “Eeh...” Vermeil masih enggan menatap mata Alvian. Dia pun terlihat salah tingkah. “Jadi... sebenarnya Eldive itu tidak cuma satu itu saja. Masih ada 8 lagi yang tersisa. Dan... eeh... sepertinya kau baru bisa kembali normal kalau semua Eldive sudah dibasmi.”

    Mulut Alvin langsung terbuka lebar mendengar penjelasan gadis yang duduk di sampingnya itu.

    “Maaf ya, sepertinya kau akan tetap seperti itu selama beberapa waktu,” ujar Vermeil lagi. “Ehehe...”

    Kali ini Alvian merasa seperti ada sesuatu yang putus dalam kepalanya, dan dia pun menjerit sekuat tenaga.


    “JANGAN BERCANDAAAA~~~!!!!!”


    ****

    ~FIN?~

    red_rackham 2014

    Cerita ini merupakan entry untuk tantangan PTK 2014 di kemudian.com
     
    • Like Like x 1
  18. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    wah sasuga deh om red, permainan kata n narasinya udah tingkat dewa, keknya harus banyak belajar lagi nih aku :iii:

    hmm, tapi apa yaa? mungkin cuma perasaanku aja tapi scene actionnya rasanya dibuat sesingkat n secepet mungkin, keknya. soalnya kerasa agak kasar aja di beberapa tempat :iii:

    terus, ini kenapa sosok iblisnya bisa berada dalam wujud manusia juga gak dijelasin :hmm: well, keknya masih bersambung sih, jadi ga masalah :haha:
     
  19. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    baca yg pelindung bumi... berasa parody dari banyak cerita ya. Mulai dari tema the chosen one yang diancurin. Genderbender protag yg... ngingetin sama... err... kamper? apa pula judulnya. Trus partnernya cewek cantik, so ordinary, so usual. Ngelawan iblis demi menjaga bumi. Hooh. Biarpun aku nggak ngerti apa tantangan teenlitnya di sini. ._. rasanya kayak cerpen om red yg biasanya, koplak ver.
     
  20. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :fufufu:

    Soal scene action yg kelewat singkat...well...apa boleh buat, limit-nya cuma 3000 kata dan total kata dalam cerpen ini dah mepet banget :swt:

    :fufufu: Gimana ya... sekarang kayaknya saia mulai punya habit bikin cerpen itu mirip pilot chapter/project dari sesuatu cerita yang jauh lebih panjang. Soalnya yang kayak gini suatu saat bisa di-remake atau di-expand jadi series :elegan:

    Lebih kayak: berbagai trope dan klise cerita dijadikan satu ramuan yang rasanya ga jelas :lol:

    Tantangannya sebenarnya: bikin cerita fantasi, tapi teenlit, trus tema utamanya 'pencarian' + harus ada first met protag yg unik...setelah ngaduk2 ramuan beberapa LN dan manga, jadilah cerpen ini :elegan:
     
  21. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    komen dulu ya, :peace:
    ceritanya bagus juga, penggambaran setiap cerita bisa begitu terasa. Selain itu konsep ceritanya juga bagus banget :matabelo:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.