1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic red_rackham Stories Collection ~ [Orific][Cerpen][Fanfic]

Discussion in 'Fiction' started by red_rackham, Jun 23, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    [Tantangan Kencan Fantasi]: Cinta Tak Kenal Batas

    Gie Yume berlari dengan langkah ringan menyusuri lorong istana. Gadis bertubuh mungil itu sedang merasa sangat gembira hari ini. Senyum manis terus tersungging di wajahnya yang cantik, meski terlihat kekanakan. Ekor Gie yang panjang dan berbulu lembut tidak henti-hentinya bergoyang ketika dia berlari.

    Ketika Gie berlari menyusuri lorong istana, semua yang berpapasan dengannya langsung memberi hormat sambil menyapa dengan sopan. Gie segera membalas hormat mereka dengan senyuman manisnya, tapi dia sama sekali tidak mau memperlambat langkahnya.

    Dia tidak mau sampai melewatkan salah satu saat-saat terbaik yang sudah tidak tunggu-tunggu selama beberapa hari ini.

    Tidak butuh waktu lama sampai putri Kerajaan Gilvana itu tiba di pintu gerbang istananya. Di tempat itu rupanya sudah berkumpul para prajurit dan ksatria kerajaan yang mengenakan armor lengkap, serta memegang panji-panji kerajaan. Mereka semua berbaris berjajar di sisi kiri dan kanan jalan utama kastil. Diantara barisan itu, terlihat pula beberapa orang ksatria elit kerajaan yang duduk dengan gagah di atas kuda perang mereka.

    Ketika Gie datang, seorang ksatria elit bertubuh besar tampak menghampiri gadis itu.

    “Apa mereka sudah datang?” seru Gie pada ksatria itu.

    “Belum. Anda datang tepat waktu, tuan putri,” ujar ksatria itu sambil menundukkan kepalanya dengan penuh hormat.

    Gie langsung bersorak gembira.

    “Bagus!” Dia lalu memandangi barisan ksatria dan prajurit di hadapannya, kemdian gadis itu bertanya lagi pada si ksatria. “Ehm....dimana tempat aku bisa melihat iring-iringan nanti?”

    Sang ksatria elit langsung melambaikan tangannya ke arah sebuah kuda perang yang tampak tanpa penunggang.

    “Saya sudah mempersiapkan tunggangan untuk anda, tuan putri,” ujar ksatria elit itu sambil tersenyum ramah. “Anda pasti bisa melihat sosok yang anda kagumi lebih jelas, kalau anda menunggangi kuda saya.”

    “Terima kasih!”

    Gie segera berlari menghampiri kuda perang itu dan langsung menaikinya, tentu saja dengan dibantu oleh seorang prajurit yang memegangi tali kekang kuda tersebut.

    Tepat ketika sang putri menaiki kuda perangnya, suara terompet kerajaan bergema di seluruh istana. Gie langsung menoleh ke arah gerbang istana dan melihat iring-iringan prajurit dan ksatria datang memasuki istana. Mereka semua tampak lelah dan beberapa bahkan terluka, tapi wajah para prajurit dan ksatria itu tetap terlihat tegar. Bahkan ekspresi lega, gembira dan bangga terlukis di masing-masing wajah mereka karena telah berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik.

    Pasukan itu adalah pasukan yang dikirim untuk menumpas gerombolan bandit gunung yang sudah meresahkan warga di sisi Utara Kerajaan Gilvana. Tapi kini gerombolan bandit itu sudah tinggal sejarah karena Satuan Silveria, pasukan elit Kerajaan Gilvana, telah menghabisi sebagian besar dari mereka.

    Sambil mengamati iring-iringan pasukan itu, Gie mencari-cari sosok yang telah dia tunggu-tunggu selama beberapa hari. Tidak sulit bagi putri itu untuk menemukannya, karena sosok yang dia cari itu adalah seorang ksatria muda yang mengenakan armor berwarna hitam.

    Sosok ksatria muda itu terlihat gagah diatas kuda perangnya, yang juga mengenakan armor serba hitam. Sebilah pedang tampak terselip di sabuk pinggangnya, sementara sebuah kapak perang tergantung di sisi kiri kuda perang sang ksatria. Ekspresi wajah ksatria muda itu memang terlihat keras, tapi tatapan matanya tampak lembut.

    “Bing~!!”

    Gie berseru pada sang ksatria muda sambil melambaikan tangannya. Ketika Gie berseru, kuping kucing sang ksatria muda itu langsung bergerak. Dia lalu tersenyum tipis ke arah Gie, tapi ksatria bernama Bing itu terus berderap dengan kudanya menuju ke arah halaman aula utama.

    Ketika melihat sosok Bing yang tampak sehat, tanpa luka sedikitpun, Gie langsung bersyukur pada para Dewa. Dia bersyukur karena sosok ksatria yang dia kagumi, dan dia cintai itu, kembali dari medan pertempuran dengan selamat.

    Perlahan-lahan Gie menyentuh liontin yang dia kenakan di balik gaunnya.

    Syukurlah kau kembali dengan selamat, Bing, ujar Gie dalam hati.



    ****

    Bing Babyshark berlutut di hadapan Raja Kerajaan Gilvana. Ksatria muda itu baru saja kembali dari misi yang diberikan kepadanya, untuk mengamankan wilayah Utara kerajaan dari para bandit gunung. Tentu saja dia berhasil menjalankan misinya dengan baik, terutama berkat bantuan rekan-rekan terlatihnya yang gagah berani.

    “Jadi...kau berhasil menumpas mereka semua?” tanya sang Raja pada Bing.

    Kuping kucing ksatria muda itu sempat menegak sejenak, lalu terkulai lagi.

    “Maafkan hamba paduka. Hamba berhasil menumpas sebagian besar anggota bandit gunung itu beserta pimpinannya. Namun...” Bing berhenti sejenak karena ragu, tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk melanjutkan perkataannya. “....namun hamba gagal menghabisi beberapa orang penting dari kelompok bandit itu. Hamba sudah menyuruh beberapa orang pemburu, penjaga hutan dan ksatria elit untuk memburu mereka. Tapi sampai sekarang kami belum bisa menemukan mereka.”

    Sang Raja yang sudah berumur cukup tua langsung mengelus janggut hitamnya.

    “Begitu? Tidak masalah. Mereka akan tertangkap dan berakhir di panggung eksekusi tidak lama lagi. Hanya masalah waktu saja,” ujar sang Raja sambil berdiri dari singgasananya. Dia lalu berjalan turun dan menghampiri Bing sambil menepuk bahu ksatria itu. “Berdirilah! Kau sudah menjalankan misimu dengan baik. Kabarkan pada rekan-rekanmu. Mereka akan diberi imbalan yang pantas dan diperbolehkan bersenang-senang sampai 2 minggu ke depan. Nah. Sekarang kau boleh beristirahat.”

    Ksatria Bing segera berdiri perlahan-lahan dan menatap wajah sang Raja yang berdiri di hadapannya.

    “Terima kasih banyak, Yang Mulia!” ujar Bing. Dia lalu memberi hormat kepada sang Raja, kemudian berbalik dan meninggalkan ruang singgasana raja.

    Tapi ksatria itu baru saja berjalan keluar ruangan beberapa langkah, ketika seseorang menubruknya dari belakang. Tentu saja karena dia sedang mengenakan baju baja, orang yang telah menabraknya itulah yang kesakitan.

    “Aduuuh~~!”

    Bing langsung berbalik dan mendapati sosok yang begitu dia kenal, sedang duduk di lantai. Sosok itu tidak lain adalah Gie Yume, putri Kerajaan Gilvana. Melihat sang putri tampak sedang kesakitan, Bing langsung khawatir.

    “Anda tidak apa-apa tuan putri?” tanya Bing.

    Pertanyaan Bing justru membuat Gie langsung merengut. Begitu melihat ekspresi wajah sang putri, Bing sang ksatria muda langsung tersenyum.

    “Kamu tidak apa-apa, Gie?” tanya Bing lagi.

    Kali ini ucapan Bing langsung membuat Gie balas tersenyum lebar. Putri itu segera berdiri dan memeluk tubuh ksatria yang ada di hadapannya.

    “Bing! Syukurlah kau kembali dengan selamat!” seru Gie dengan penuh rasa lega.

    “Aku pulang, Gie,” balas Bing dengan lembut sambil menepuk kepala sang putri.

    Gie tersenyum girang dan mengibaskan ekornya. Gadis itu lalu melepaskan pelukannya dan memandangi sosok Bing yang masih mengenakan baju perangnya. Selama beberapa detik, dia terdiam.

    “Bing. Apa besok kau ada waktu luang?” tanya Gie dengan penuh harap.

    “Tentu saja. Yang Mulia memberi kami waktu istirahat sampai 2 minggu ke depan. Jadi tentu saja aku ada cukup waktu luang,” balas Bing. Dia lalu menambahkan sambil mengedipkan sebelah matanya. “Dan tentu saja aku akan selalu punya waktu luang untukmu.”

    Wajah Gie langsung memerah karena malu dan gadis itu meninju dada Bing, tapi dia langsung mengaduh kesakitan karena tinjunya menghantam baju baja sang ksatria. Tapi putri bertubuh mungil itu lalu berjalan mundur menjauhi Bing.

    “Kalau begitu, aku akan menemuimu besok pagi di Aula Ksatria. Jangan lupa kenakan pakaian terbaikmu!” seru sang putri sebelum berbalik dan berlari kecil meninggalkan Bing sendirian. Ekor Gie yang berbulu lembut tidak henti-hentinya bergoyang ketika dia berlari.

    Bing hanya bisa tersenyum melihat tingkah sang putri. Tapi senyuman Bing perlahan-lahan memudar. Gie memang sosok yang bisa membuat semua orang terpana dan terpikat, termasuk dirinya. Sejak Bing diangkat menjadi Ksatria Elit di Satuan Silveria dan ditempatkan di istana, dirinya sudah jatuh cinta pada sang putri. Hanya saja ada masalah yang membuat ksatria muda itu tidak berani menyatakan cintanya pada Gie, selain statusnya tentu saja.

    Masalah itu pula yang membuat Bing merasa tidak pantas untuk dicintai oleh Gie. Tapi sayangnya dia tidak bisa menipu dirinya sendiri. Dia sangat mencintai Gie dan bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri bagi sang putri.

    Apa yang sebaiknya kulakukan, Gie....gumam Bing dalam hati.



    ****

    “Bing!” Gie berseru dengan nada jengkel. Kuping dan ekornya terangkat tegak menandakan kalau dia memang sedang kesal.

    “Apa?” balas Bing singkat.

    “Kan aku sudah menyuruhmu memakai pakaian terbaikmu! Kenapa kau malah berpakaian seperti itu?” seru Gie lagi sambil menunjuk ke arah Bing.

    “Ini kan salah satu pakaian terbaik yang aku punya,” kilah Bing.

    Sebenarnya perkataan Bing tidak salah juga. Saat ini dia sedang mengenakan setelan baju dilengkapi armor ringan yang biasa dia kenakan sehari-hari. Penampilan Bing sebenarnya cukup untuk membuat para gadis berseru kagum, tapi tidak dengan Gie. Putri itu malah jengkel karena Bing tetap berkeras mengenakan baju bajanya, lengkap dengan pedang kebanggannya. Padahal Gie sendiri sudah mengenakan salah satu setelan baju favoritnya demi menyenangkan Bing.

    “Ya sudahlah! Ayo kita pergi!” ujar Gie pada akhirnya. Dia lalu menarik tangan Bing dan memaksa ksatria muda itu untuk mengikutinya.

    Keduanya lalu berjalan menuruni bukit, tempat istana Kerajaan Gilvana berdiri, menuju ke arah kota yang terletak tidak jauh dari sana. Langkah Gie yang ringan dan cepat membuat Bing terpaksa mempercepat langkahnya juga untuk mengimbangi sang putri.

    Suasana kota pagi itu sama seperti biasanya. Ramai. Jalanan utama kota Tiernog seperti biasanya dipenuhi oleh berbagai macam orang yang lalu lalang. Kereta kuda dan karavan sesekali melintas di jalanan ibukota Kerajaan Gilvana itu. Deretan pertokoan tampak berjejer rapi di sisi jalan dan berbagai jenis pedagang asongan sesekali terlihat menggelar dagangannya di tepi jalan.

    Wajah Gie tampak gembira dan putri kerajaan itu sesekali berhenti di depan toko atau gerobak pedagang asongan yang ada di sisi jalan. Dia tampak tertarik dengan berbagai macam barang yang ditawarkan oleh para pedagang.

    “Bing! Coba lihat ini!” Gie berseru sambil mengangkat sebuah benda yang dijual di sebuah kios kecil. Bing mengernyit ketika melihat benda itu. Benda yang diangkat putri Gie adalah awetan kepala troll yang diciutkan hingga hanya sebesar kepalan tangan.

    “Ugh....jelek sekali...” celetuk Bing.

    “Benarkah? Menurutku ini cukup keren,” balas Gie sambil mengamati barang mengerikan itu tanpa rasa takut sama sekali. “Kata penjualnya ini bisa membawa keberuntungan bagi yang menyimpannya.”

    Yang benar saja, celetuk Bing dalam hati, sambil melirik ke arah penjual benda mengerikan itu dengan tatapan tidak percaya.

    Bing mendesah. Putri Gie memang adalah sosok yang cantik, menawan, ceria dan baik hati. Hanya saja selera sang putri memang tidak wajar. Gie selalu menyukai benda-benda eksotis yang seringkali tampak sangat mengerikan di mata orang lain.

    Kamar putri Kerajaan Gilvana itu saja dipenuhi oleh terlalu banyak benda-benda menyeramkan, hingga daripada kamar seorang putri, kamar Gie lebih mirip kamar seorang Necromancer. Dan harus Bing akui, beberapa barang yang disimpan di kamar Gie memang peralatan ritual Necromancer atau Warlock sungguhan. Tentu saja para Necromancer dan Warlock kerajaan sudah menyegel atau menghapus kekuatan sihir di benda-benda ritual itu, sebelum merelakan benda-benda itu diminta oleh putri Gie. Mereka sangat menyayangi putri kerajaan mereka itu dan tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya, terutama dikarenakan selera sang putri yang memang tidak normal.

    “Bing! Sudah kuputuskan!”

    Tiba-tiba Gie berseru dan membuat Bing terkesiap.

    “Aku akan memberikan ini sebagai hadiah karena kau sudah pulang dengan selamat!”

    Gie tersenyum lebar sambil menyodorkan awetan kepala troll yang dia pegang ke arah Bing. Meski sambil mengernyitkan dahi, Bing terpaksa menerima hadiah mengerikan itu. Dia tidak mau mengecewakan sang putri dengan menolak pemberiannya.

    “Terima kasih tuan putri....hamba tersanjung sekali....” ujar Bing sambil menunduk hormat. Sekilas mata ksatria muda itu melirik ke arah awetan di tangannya, sementara kuping kucing dan ekor panjangnya terkulai lemas. Selama beberapa detik, Bing mengendus awetan itu dengan hidungnya yang peka, berusaha mencium kalau-kalau ada sesuatu yang salah dengan benda itu. Tapi dia tidak mencium apapun selain wangi rempah-rempah bercampur balsam yang digunakan untuk mengawetkan kepala troll itu.

    Jangan sampai benda ini hidup nanti malam dan mencoba menggigit leherku! Bing menggerutu dalam hati.

    Dia memang pernah mengalami hal semacam itu, ketika Gie memberinya awetan hewan besar yang mirip seekor macan kumbang, hanya saja dengan tubuh dipenuhi duri tajam. Awetan hewan itu tiba-tiba saja jadi hidup suatu malam dan nyaris menghabisi nyawa Bing, kalau saja dia tidak sengaja terbangun malam itu.

    Selesai memberi Bing hadiah yang cukup mengerikan, Gie lalu mengajak ksatria muda itu berkeliling kota. Seperti layaknya seorang gadis, Gie berkali-kali berhenti di toko aksesoris dan pakaian. Gadis itu terlihat bahagia sekali karena bisa menghabiskan waktunya bersama sosok yang dia kagumi, dan dia cintai. Bing juga begitu. Dia juga sangat menikmati saat-saat seperti ini, ketika dia dan Gie menghabiskan waktu bersama.

    Tapi karena terlalu gembira, Bing tidak menyadari kalau putri Gie sudah mengajaknya berjalan melalui wilayah berbahaya di kota Tiernog. Meskipun ibukota kerajaan itu pada dasarnya adalah tempat yang damai dan aman, tapi seperti halnya semua kota di dunia, selalu saja ada satu-dua bagian kota yang sebaiknya tidak dikunjungi. Bing segera menyadari hal itu ketika melewati sebuah bar yang terlihat kumuh.

    “Gie!” seru Bing sambil menghentikan langkahnya.

    “Ada apa?” tanya Gie kebingungan.

    “Tempat ini tidak aman untukmu. Sebaiknya kita pergi secepatnya dari sini,” ujar Bing sambil berjalan cepat mendekati Gie. Kedua kupingnya tampak sibuk bergerak-gerak untuk menangkap suara apapun yang terdengar mencurigakan.

    “Kenapa memangnya dengan tempat ini?” tanya Gie lagi.

    “Tempat ini berbahaya. Ini adalah daerah ‘hitam’ di kota Tiernog. Ada banyak penjahat berkeliaran di tempat ini. Bahkan para ksatria enggan masuk sendirian ke daerah ini,” ujar Bing dengan nada tinggi. “Ayo!”

    Tapi sebelum keduanya sempat berjalan terlalu jauh, tiba-tiba sesosok pria berwajah mirip gorila dan berlulu lebat menghalangi jalan. Begitu melihat pria itu, Bing langsung tahu kalau dirinya sedang dalam masalah.

    Bing segera berbalik dan menarik tangan Gie, tapi jalan lainnya juga sudah dihadang oleh para pria bertampang sangar. Total ada 6 orang yang menghadang Bing dan Gie dan jelas mereka sama sekali tidak bermaksud baik. Di tangan masing-masing orang itu sudah tergenggam sebilah pedang. Bing sendiri sedari tadi sudah mencabut pedangnya dan mengacungkannya di depan wajahnya.

    “Minggirlah! Aku tidak ingin ada masalah disini!” seru Bing dengan nada tegas kepada orang-orang yang mengepungnya. “Apa kalian tidak tahu aku adalah Ksatria dari Satuan Silveria? Kalau kalian tidak mau mati, menyingkirlah sekarang dan sarungkan pedang kalian!”

    Alih-alih ketakutan, orang-orang yang mengepung Bing dan Gie justru tertawa terbahak-bahak.

    “Justru karena tahu kau adalah Ksatria Satuan Silveria kami mengepungmu,” geram salah seorang dari pada pengepung Bing dan Gie. “Kau pikir kau bisa bebas begitu saja setelah kau menghancurkan kelompok kami?! Kami akan memburumu sampai ke ujung dunia kalau perlu!”

    Bing memicingkan matanya dan mengubah kuda-kudanya. Dia tahu sekarang dirinya sedang berhadapan dengan siapa. Orang-orang ini sepertinya adalah sisa-sisa bandit gunung yang baru-baru ini berhasil dia tumpas bersama satuannya. Rupanya mereka mengejar Bing dan satuannya hingga ke ibukota untuk membalas dendam.

    Gawat....ini tidak bagus! ujar Bing dalam hati.

    “Jadi kalian berniat balas dendam?” ujar Bing sambil sekilas melirik ke arah Gie. Putri kerajaan itu tampak ketakutan dan bersembunyi di balik Bing. “Biar kuperingatkan. Sebelum kepala kalian menggelinding di tanah, lebih baik kalian semua pergi, lalu berhentilah menjadi penjahat!”

    “Mengancam kami? Hah! Itu tidak akan berhasil!” seru si manusia berwajah gorila sambil mengangkat pedang besarnya. “Bunuh ksatria sial ini, lalu kita bisa jual wanitanya ke pasar budak!”

    “Bing!!” Gie berseru ketakutan ketika melihat lawan-lawannya menerjang maju.

    Bing sendiri langsung melompat maju ke arah salah satu lawannya dan mengayunkan pedangnya. Darah langsung menyembur ketika pedang Bing menebas tubuh lawannya itu. Tanpa berhenti, Bing melanjutkan serangannya. Bagaikan menari, Bing mengayunkan pedangnya dan menebas lawan-lawannya. Dalam waktu singkat tiga orang bandit gunung yang mengepungnya sudah terkapar tidak bernyawa di tanah.

    Tapi karena terlalu sibuk menyerang dan mempertahankan diri, Bing melupakan sosok Gie yang ada di dekatnya. Akibatnya seorang lawannya berhasil menyelinap dan menjadikan sang putri sebagai sandera.

    “Jangan bergerak atau leher wanita ini akan kugorok!” seru bandit yang menyandera Gie.

    Bing langsung menoleh ke arah Gie dan terkejut bukan main. Tapi gara-gara itu dia jadi lengah. Salah seorang lawannya memanfaatkan kesempatan itu dan berhasil menahan pedang Bing, lalu menendang tubuh ksatria muda itu cukup keras hingga dia terlempar ke dinding.

    “Agh!!” jerit Bing kesakitan. Ksatria itu berusaha bangkit dengan segera, sayangnya salah seorang bandit gunung yang menyerangnya segera mengacungkan pedangnya ke leher Bing.

    “Kena juga kau!!” seru bandit yang mengacungkan pedangnya. Pria bertubuh kekar itu tampak gembira karena telah berhasil memojokkan lawannya. “Tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu cepat-cepat. Aku ingin kau menderita dulu sebelum mati!”

    Bing memandangi lawannya itu dengan tatapan tajam. Dia sebenarnya tidak takut dengan ancaman sang bandit, hanya saja ksatria itu tidak mau Gie yang sedang disandera mengalami luka karena perlawanannya.

    “Bing! Hajar dia! Jangan khawatirkan aku!”

    Putri Gie berseru nyaring tanpa memperdulikan posisinya yang sedang terjepit. Bing terkejut karena melihat sang putri tampak tidak takut dengan bilah pedang yang menempel di lehernya.

    “Tapi!” balas Bing ragu.

    “Jangan macam-macam!! Kau mungkin bisa lolos, tapi wanitamu tidak akan lolos!” ancam bandit yang memojokkan Bing. “Sekarang jatuhkan pedangmu atau temanku akan menggorok leher wanita itu!”

    Bing mengepalkan tangan karena geram, tapi akhirnya dia menyerah. Biar bagaimanapun lebih baik dia mati daripada membiarkan Gie terluka. Bing baru saja akan menyerah ketika hembusan angin lembut tiba-tiba saja bertiup berputar di sekitarnya. Dengan heran ksatria muda itu mengikuti arah datangnya angin dan terkejut bukan main, ketika melihat tubuh putri Gie bercahaya.

    Bandit yang menyandera Gie tampak kaget dan bingung setengah mati. Tapi berkat itu, pedang yang tadinya tertempel di leher sang putri, kini bergeser sedikit. Kesempatan itu dimanfaatkan Gie dengan sebaik-baiknya.

    “Wahai angin! Jadilah sekutuku dan hempaskan musuh-musuhku!!”

    Gie berseru nyaring dalam bahasa yang tidak dikenal Bing. Sedetik kemudian tubuh sang putri diselimuti tornado mini yang membuat semua bandit yang ada disekitarnya beterbangan bagaikan dedaunan. Tubuh mereka terhempas ke segala arah dan semuanya langsung tidak sadarkan diri ketika mendarat dengan keras. Meski dahsyat, tapi anehnya angin tornado itu tidak membuat Bing ikut terlempar. Angin itu justru berputar lembut di sekitar tubuh sang ksatria sebelum akhirnya menghilang begitu saja.

    Sihir?! Seru Bing kaget dalam hati. SIHIR?!

    Bing hanya bisa terpaku melihat kejadian itu. Dia sama sekali tidak mengira kalau Gie, yang selama ini dia sangka hanya seorang putri yang lemah, ternyata menguasai sihir hingga tingkat seperti itu.

    “Ayo Bing! Kita lari sekarang!” seru putri Gie sambil menarik tangan Bing.

    Bing yang masih kebingungan hanya bisa pasrah dan membiarkan Gie menarik tangannya. Keduanya lalu lari secepat mungkin, meninggalkan wilayah berbahaya kota Tiernog. Sambil berlari Bing terus bertanya-tanya dalam hati.

    Sejak kapan Gie menguasai sihir seperti itu?! ujar Bing dalam hati.



    ****

    Setelah berhasil melarikan diri, Bing dan Gie akhirnya sampai di sebuah taman yang berada tidak jauh dari pusat kota Tiernog. Gie tampak kelelahan setelah berlari cukup lama. Putri Kerajaan Gilvana itu tampak berbaring di atas rumput sambil terengah-engah.

    “Akhirnya kita lolos juga!” ujar Gie sambil tersenyum lebar, sementara Bing masih memandanginya dengan tatapa tidak percaya.

    Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Bing melontarkan pertanyaan pada Gie.

    “Gie....sejak kapan kau....”

    “Sejak setengah tahun yang lalu,” potong Gie sebelum Bing sempat menyelesaikan kalimatnya. “Aku belajar sihir elemental dari Rhendie, sang Seal Master. Yah....harus kuakui aku juga belajar sedikit sihir hitam dari Smith, sang Death Bringer. Tapi yang barusan itu sihir elemental kok.”

    Bing semakin terkejut lagi mendengar pengakuan Gie. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Gie rupanya benar-benar mempelajari sihir dari seorang Warlock dan Necromancer istana.

    “Untuk apa?!” seru Bing dengan kedua kuping tegak karena kesal bercampur kaget. “Untuk apa kau belajar sihir? Itu...itu tidak pantas! Seorang putri pewaris kerajaan tidak pantas menggunakan sihir! Apalagi kalau itu sihir hitam!”

    Gie langsung merengut mendengar seruan Bing. Putri itu langsung berdiri di hadapan sang ksatria muda. Kuping anjing dan ekornya tampak tegak karena emosi.

    “Memangnya kenapa kalau aku belajar sihir untuk melindungi diriku sendiri dan....” Gie berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya lagi. “...dan untuk melindungi dirimu! Ya! Aku belajar sihir demi kau!!”

    Bing semakin terkejut lagi mendengar pengakuan dari Gie.

    “A....apa?” tanya Bing tergagap.

    “A....aku harus mengakui sesuatu....” ujar Gie dengan suara lirih. “Setiap kali kau pergi bertugas, aku merasa sangat khawatir karena tidak bisa melakukan apapun untuk dirimu. Setiap kali kau mengangkat pedangmu demi negeri ini, aku hanya bisa diam di dalam istana dan menunggumu pulang. Aku tidak mau itu! Aku ingin bersamamu! Aku ingin bersama dirimu menempuh tugas-tugas berbahaya demi Kerajaan Gilvana! Aku tidak ingin terpisah darimu walau sedetikpun!!”

    Bing makin terkejut ketika mengetahui perasaan Gie kepadanya. Rupanya putri itu juga mencintainya. Bing sebenarnya merasa gembira sekali ketika mendengar hal itu, tapi dengan segera dia kembali murung karena teringat satu masalah yang menghalangi cintanya.

    Ksatria muda itu lalu menyentuh pundak Gie dengan kedua tangannya.

    “G...Gie....aku ingin mengakui sesuatu....aku....aku....” Kata yang ingin diucapkan Bing terasa berat di tenggorokannya. Dia ingin mengakui bahwa dirinya sudah cukup lama menyimpan rahasia dari sang putri. Tapi dia sulit sekali mengatakan kebenaran itu.

    “Apa?” tanya Gie penasaran.

    Bing lalu membulatkan tekadnya dan menatap lurus ke arah mata Gie yang berbinar-binar.

    “Gie...aku juga tidak ingin terpisah dari dirimu! Aku ingin selalu bersamamu! Hanya saja...” Bing berhenti sejenak. “Aku tidak pantas bersamamu.”

    Gie langsung tersentak dan berseru marah.

    “Kenapa?! Karena perbedaan status kita? Itu tidak pernah menjadi masalah bagiku!” seru Gie emosi.

    “Bukan itu!” balas Bing.

    “Lalu apa?!” sahut Gie dengan nada tinggi.

    “Gie! Aku ini sebenarnya adalah seorang wanita!” seru Bing dengan nada penuh penyesalan. “Maafkan aku karena telah menipumu dan seluruh istana. Tapi itu adalah kenyataan. Aku sebenarnya adalah seorang wanita! Aku berpakaian seperti ini supaya orang-orang tidak memandang rendah diriku! Maafkan aku....sekali lagi maafkan aku.....”

    Bing langsung tertunduk lesu. Dia sudah mengakui kalau dirinya sudah menipu semua orang di istana, termasuk Gie, orang yang dia cintai. Ksatria muda itu merasa begitu malu hingga dia ingin sekali mencabut pedangnya dan menusuk perutnya sendiri. Tapi dia tidak melakukan itu dan hanya terdiam. Air mata tanpa sadar bergulir di pipi Bing.

    “Bing....”

    Sentuhan lembut Gie di kepala Bing membuat ksatria muda itu menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah Gie. Putri pewaris Kerajaan Gilvana itu tampak sedang tersenyum lembut ke arahnya.

    “Aku sudah tahu sejak cukup lama kalau kau sebenarnya adalah seorang wanita. Maafkan aku karena aku tidak pernah memberitahumu, kalau aku sebenarnya sudah mengetahui rahasiamu,” ujar Gie dengan lembut. “Biarpun kau seorang wanita, tapi kau tetap orang yang paling berarti bagiku.”

    Bing kembali terkejut dengan ucapan Gie. Dia sama sekali tidak menyangka kalau sang putri sudah mengetahui rahasianya. Tapi tetap saja ksatria muda itu merasa dirinya tidak pantas untuk bersama dengan sang putri.

    “Tapi....ini tidak pantas!” seru Bing lagi. “Seorang putri kerajaan tidak seharusnya jatuh cinta pada seorang ksatria muda...yang juga sesama wanita!! Gie!! Aku.....”

    Seruan Bing terhenti ketika bibir Gie menempel di bibirnya. Kedua mata ksatria muda itu terbelalak lebar. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi bagi Bing itu rasanya bagaikan beberapa jam. Putri Gie lalu mundur beberapa langkah sambil tetap tersenyum manis ke arah Bing, sang ksatria muda.

    “Aku sudah bilang meskipun kau wanita, aku tetap tidak akan berhenti menganggapmu sebagai orang yang paling berarti bagiku,” ujar Gie dengan lembut. Senyuman tulus dari putri cantik itu benar-benar bisa membuat siapapun jatuh hati seketika. Senyuman itulah yang membuat Bing jatuh cinta pada sang putri.

    “Gie....” gumam Bing.

    “Lagipula.....”

    Gie tiba-tiba menghentikan ucapannya lalu terdiam dan menunduk sejenak. Tapi tiba-tiba saja putri pewaris Kerajaan Gilvana itu kembali mengangkat wajahnya. Anehnya kini senyuman Gie sudah digantikan dengan sebuah cengiran lebar.

    “Gie?” tanya Bing heran.

    “Lagipula......aku ini sebenarnya seorang laki-laki,” ujar Gie dengan riang. “Jadi tidak masalah kan kalau kau tetap bersamaku?”

    Kali ini Bing tidak mampu berkata apapun. Ksatria muda itu hanya terbelalak lebar sambil melongo ketika mendengar pengakuan dari sang putri. Tadinya Bing mengira kalau itu hanya akal-akalan Gie untuk membuatnya shock. Tapi tatapan mata Gie begitu serius sehingga membuat Bing menelan ludahnya.

    “G....Gie? Kau hanya bercanda kan?” ujar Bing terbata-bata.

    “Tidak! Aku serius!” balas Gie, masih sambil nyengir lebar. “Maafkan aku karena aku tidak pernah memberitahukannya padamu. Tapi ini memang rahasia kerajaan sih.”

    Kali ini Bing langsung jatuh pingsan ketika mendengar pengakuan dari Gie.



    ****

    ~FIN~

    red_rackham_2012

    Cerpen ini juga bisa dilihat di Red Sign Palace dan K.com
     
    • Thanks Thanks x 3
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. lawren M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jun 4, 2009
    Messages:
    428
    Trophy Points:
    222
    Ratings:
    +8,683 / -0
    :shock: kirain cerita romance yuri, ternyata... :top:

    btw Bing itu kucing, dan Gie itu anjing toh? kirain sama-sama kucing :hoho:

    ehm, Gie bner-bner menjiwai perannya, ga kliatan kalo dia itu laki-laki jantan, di awal-awal aja tingkahnya kaya cewe gitu...
     
    • Thanks Thanks x 1
  4. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Trolololol.

    Cerita ringan nan bahagia, memang unik kalo cewenya gede cowonya kecil.

    Walau gw lebih (paling) suka model ekor ama telinga serigala (paling lebat). Di banding ekor kucing.
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :hahai:

    :peace:

    Saia pakai anime Working!! (lupa eps brp) + Baka Test to Shokanjuu utk ide dasar ceritanya :fufufu:

    :top:

    Saia lagi pengen beralih ke heartwarming stories :malu: sebelum bikin lagi yg macabre-bloody-violence :piso:

    Yep, betoel sekali...kuping en ekor serigala terlihat lebih keren.
     
    Last edited: Jan 11, 2012
  6. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    [Lomba Fiksi Fantasi 2012] Kinuta Sang Cerpelai Sakti

    KEYWORD: cerpelai, pasar malam, pohon pisang, gula-gula, rasi, rajah, polkadot, jelantah


    Di suatu hutan yang damai dan tentram hiduplah seekor cerpelai sakti bernama Kinuta. Cerpelai tua itu hidup di sebuah rumah mungil yang dia bangun di bawah sebuah pohon pisang raksasa yang tumbuh di pinggiran hutan. Oleh seluruh penghuni hutan, Kinuta dikenal sebagai hewan yang murah hati, bijak dan suka menolong orang lain. Dia juga dikenal ahli sihir serta membaca petunjuk rasi bintang. Karena keahlian dan sifatnya itulah hewan – hewan yang tinggal di dalam hutan sering mengunjungi Kinuta untuk meminta bantuan. Kinuta tidak pernah meminta imbalan atas bantuan yang dia berikan, tapi para penghuni hutan tahu kalau cerpelai itu sangat menggemari gula-gula, sehingga mereka sering memberikan gula-gula pada Kinuta sebagai rasa terima kasih.

    Hari ini seperti biasanya Kinuta berjalan-jalan di sekitar pohon pisang tempatnya tinggal. Suara kicauan burung terdengar bersahutan di dalam hutan. Matahari bersinar cerah dan angin pun berhembus lembut, membuat suasana pagi itu menjadi begitu menyejukkan hati.

    “Pagi ini pun semuanya terasa damai,” ujar Kinuta sambil berjalan tertatih-tatih mengelilingi rumahnya sendiri.

    Tapi hari itu ada yang berbeda. Biasanya pagi-pagi begini sudah ada hewan yang datang mengunjungi Kinuta untuk meminta bantuan atau saran. Tapi sampai matahari agak tinggi seperti ini, belum satupun tamu datang berkunjung ke rumahnya. Kinuta memang merasa heran, tapi cerpelai tua itu tidak ambil pusing dan melanjutkan acara jalan-jalan paginya.

    Dengan langkahnya yang lamban, Kinuta berjalan menyusuri hutan dan semakin bingung karena tidak satupun hewan yang dia kenal menampakkan dirinya.

    Ada apa ini? pikir Kinuta kebingungan. Ah sebaiknya aku pergi ke rumah Netsuki...

    Kinuta lalu berjalan menuju rumah sahabat baiknya, seekor rubah sakti yang bernama Netsuki. Tempat tinggal rubah yang tidak bisa menua itu, berada di dekat sebuah kolam kecil di sisi lain hutan. Jaraknya memang cukup jauh dari rumah Kinuta, karena itu dia jarang pergi ke sana.

    Meskipun butuh waktu agak lama, akhirnya Kinuta tiba di rumah Netsuki. Sosok seekor rubah yang sedang memanen jamur, tampak terlihat di depan sebuah pohon beringin berukuran cukup besar. Begitu melihat sosok itu, Kinuta langsung merasa lega.

    “Netsuki~!” sapa Kinuta.

    Netsuki langsung menoleh ke arah hewan yang memanggilnya.

    “Ah~! Kinuta! Lama tidak berjumpa. Apa kabar?” seru Netsuki sambil melambaikan tangannya. “Kau datang di saat yang tepat! Jamur yang kutanam 3 bulan yang lalu sudah bisa dipanen! Malam ini aku akan masak sup jamur. Apa kau mau makan di rumahku?”

    Kinuta tersenyum lebar dan bergegas menghampiri sahabatnya itu.

    “Tentu aku mau,” sahut Kinuta. “Tapi aku bingung. Kenapa hari ini hutan sepi sekali? Dimana hewan yang lainnya?”

    Ucapan Kinuta membuat Netsuki tertawa.

    “Ah! Kau memang sudah tua. Apa kau lupa hari ini ada apa?” ujar Netsuki sambil terkikik. “Hari ini Sang Raja Hutan berulang tahun, dan seperti biasa seluruh hutan akan merayakannya sambil membuka pasar malam! Apa kau lupa?”

    Kinuta langsung menepuk dahinya.

    “Astaga! Kau benar!” seru Kinuta kaget, cerpelai tua itu lalu menambahkan dengan lesu. “Dan aku belum menyiapkan hadiah untuk Paduka.....”

    Netsuki langsung menepuk pundak Kinuta.

    “Jangan khawatir. Aku tahu kau pasti bisa memberi kejutan pada Raja Hutan,” ujar Netsuki dengan riang. “Aku ingat kejadian heboh tahun lalu, waktu kau memberikan hadiah sebuah payung polkadot yang bisa bernyanyi. Semua hewan terkejut bukan main ketika payung yang kau berikan itu mulai menyanyikan lagu ‘selamat ulang tahun’ untuk Paduka Raja....tapi dengan suara sumbang yang bisa bikin hewan mati bangkit dari kuburnya.”

    Kinuta tersenyum kecut mendengar ucapan Netsuki. Dia tidak mungkin memberikan hadiah seperti itu lagi pada Paduka Raja. Meski Sang Raja Hutan sangat menyukainya, tapi ada saja hewan yang pingsan karena mendengar suara sumbang sang payung ajaib. Akibatnya sekarang Sang Raja Hutan hampir tidak pernah mengeluarkan payung polkadot unik itu dari peti hartanya.

    “Nah. Selagi kau berpikir, kenapa kita tidak masuk dan makan? Sebentar lagi matahari sudah diatas kepala dan aku tahu kau pasti lapar.”

    Ajakan Netsuki membuat Kinuta terbangun dari lamunannya. Cerpelai tua itu lalu menggelengkan kepalanya.

    “Tidak...tidak terima kasih. Aku harus pulang dan menyiapkan hadiah untuk Paduka Raja,” tolak Kinuta dengan sopan.

    Netsuki langsung nyengir lebar mendengar ucapan Kinuta.

    “Oke! Kuharap tahun ini kau bisa membuat kejutan lagi!” seru Netsuki.

    Kinuta tidak menjawab dan mulai berjalan menjauh dari rubah itu. Sambil berjalan cerpelai sakti itu berpikir keras.

    Hadiah apa yang harus kuberikan kepada Paduka Raja tahun ini? tanya Kinuta pada dirinya sendiri.



    ****

    Kinuta berjalan pulang ke rumahnya dengan terburu-buru. Dia kebingungan karena tidak bisa memikirkan hadiah yang tepat untuk Paduka Raja. Tapi tiba-tiba cerpelai tua itu teringat akan suatu tempat yang suda lama tidak dia kunjungi. Ladang Bunga Pelangi-Bulan. Sebuah padang terbuka yang ada di sisi timur hutan, tempat tumbuhnya bunga langka yang disebut Bunga Pelangi-Bulan. Bunga yang kalau siang hari akan berwarna-warni bagaikan pelangi, sedangkan pada malam hari akan berpendar lembut bagaikan bulan.

    “Itu dia!” seru Kinuta sambil menepukkan kedua tangannya. “Bunga Pelangi-Bulan akan jadi hadiah yang istimewa bagi Paduka Raja!”

    Sambil tersenyum riang, Kinuta bergegas menuju rumahnya. Dia harus membawa beberapa benda penting sebelum bisa mencapai Ladang Bunga Pelangi-Bulan. Untuk mencapai padang itu, Kinuta harus berjalan melewati Lingkaran Semak Pemakan Daging, sebuah rumpun semak belukar tumbuh mengelilingi Ladang Bunga Pelangi-Bulan. Tempat itu dipenuhi tumbuhan Semak Pemakan Daging yang akan memakan hewan apapun yang mendekatinya. Tapi tentu saja Kinuta tahu bagaimana mengatasi tumbuhan-tumbuhan ganas itu.

    Segera setelah sampai di rumahnya, Kinuta segera bergegas menuju ke dapur dan mengambil minyak jelantah dari kendi di samping tungku masaknya. Minyak itu akan dia gunakan untuk menghadapi Semak Pemakan Daging, yang akan jadi lebih ‘jinak’ ketika akarnya disiram dengan minyak jelantah, sehingga Kinuta bisa lewat dengan aman.

    “Yap! Semuanya sudah siap!”

    Kinuta berseru pada dirinya sendiri kemudian meraih tongkat bepergiannya dan segera berjalan keluar rumah, menuju ke arah Ladang Bunga Pelangi-Bulan. Kinuta segera menggunakan kesaktiannya dan memanggil angin untuk meringankan langkahnya.

    Dengan cepat cerpelai sakti itu melesat ke arah Ladang Bunga Pelangi-Bulan. Sesuai dugaannya, rumpun Semak Pemakan Daging yang melindungi padang bunga itu langsung bergerak liar ketika merasakan Kinuta datang. Dengan cepat Kinuta menyiramkan minyak jelantah dari kendi yang dia bawa.

    Ajaib. Tumbuhan-tumbuhan ganas di sekitarnya langsung terlihat lebih tenang dan tidak memperdulikan Kinuta yang melangkah cepat diantara mereka. Tidak butuh waktu lama sampai Kinuta tiba di tempat tujuannya.

    Untuk beberapa saat, Kinuta tertegun melihat bunga-bunga yang berwarna-warni bagaikan pelangi.

    “Indah sekali.....” gumam cerpelai tua itu. “Ups! Bukan saatnya terkagum-kagum.”

    Dengan cepat, Kinuta memetik beberapa tangkai bunga dan mengumpulkannya di kendi yang dia bawa. Tapi selagi dia melakukan itu, tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap suara sayup-sayup.

    Kinuta menoleh ke arah datangnya suara dan terkejut bukan main ketika melihat seekor hewan dalam masalah besar. Seekor harimau kecil tampak terbelit oleh sulur-sulur ganas milik Semak Pemakan Daging.

    Astaga! jerit Kinuta kaget. Cerpelai tua itu bergegas menghampiri harimau itu dan berkata dengan suara lembut.

    “Jangan bergerak. Aku akan menyelamatkanmu,” ujar Kinuta.

    Harimau kecil itu langsung diam ketika melihat sosok Kinuta datang.

    “Tolong aku....” pinta sang harimau.

    Kinuta lalu menyiramkan sisa minyak jelantah di kendinya ke sulur yang membelit sang harimau. Sulur-sulur tebal itu mendadak mengendurkan belitannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan sang harimau yang langsung berontak dan akhirnya berhasil meloloskan diri.

    “Terima kasih,” ujar sang harimau.

    “Tidak masalah,” sahut Kinuta. “Kenapa anda bisa disini, tuan putri Agita? Tempat ini berbahaya.”

    Putri Agita, yang sebenarnya adalah putri tunggal Raja Hutan langsung tertunduk lesu.

    “Aku kesini untuk mengambil Bunga Pelangi-Bulan sebagai hadiah untuk ayahku....” ujar harimau kecil itu. “Aku tahu tempat ini berbahaya....tapi aku ingin memberikan bunga itu sebagai hadiah ulang tahun. Aku tahu ayah akan menyukainya.”

    Kinuta tersenyum lembut pada putri Agita. Cerpelai tua itu lalu membelai kepala sang putri.

    “Sudahlah. Aku tahu maksud anda baik. Tapi lain kali jangan kesini sendirian. Tempat ini berbahaya sekali,” nasihat Kinuta dengan nada lembut, dia lalu menambahkan sambil mengedipkan sebelah matanya. “Lagipula aku juga ingin memberikan Bunga Pelangi-Bulan sebagai hadiah ulang tahun untuk ayah anda, sang Raja Hutan. Bagaimana kalau kita berikan hadiah itu berdua? Paduka pasti akan gembira sekali.”

    Kedua mata putri Agita langsung berbinar-binar mendengar ucapan Kinuta.

    “Benarkah?!” seru harimau kecil itu.

    “Tentu saja,” balas Kinuta. “Nah, sekarang ayo kita pergi ke pesta ulang tahun Paduka Raja, lalu aku akan mengajakmu pergi ke pasar malam.”

    Putri Agita langsung melompat girang dan memeluk Kinuta dengan erat.



    ****

    Ketika Kinuta dan putri Agita datang ke pesta pada malam harinya, semua orang, terutama sang Raja Hutan langsung menyambut keduanya dengan suka cita. Rupanya sang Raja Hutan sudah mengetahui kalau putri kesayangannya pergi tanpa sepengetahuan dirinya. Harimau tua itu sangat khawatir akan keselamatan anaknya dan begitu lega ketika melihat Kinuta bersama putrinya.

    “Putriku!! Oh...aku sangat khawatir ketika kau pergi tanpa pamit!” seru Raja Hutan sambil memeluk putri Agita. “Kemana saja kau?”

    “Aku pergi ke Ladang Bunga Pelangi-Bulan untuk mencari hadiah ulang tahun ayah. Sayangnya aku tetangkap Semak Pemakan Daging, tapi Kinuta menyelamatkanku,” jawab putri Agita.

    Sang Raja Hutan langsung menoleh ke arah cerpelai tua yang kini berlutut tidak jauh di hadapannya.

    “Benarkah itu?” tanya sang Raja Hutan.

    “Ampun paduka. Perkataan tuan putri Agita adalah benar adanya,” jawab Kinuta, masih sambil berlutut. “Dan inilah hadiah dari hamba dan tuan putri. Semoga anda menyukainya.”

    Kinuta lalu membuka bungkusan kain yang dia bawa dan menunjukkan sebuah mahkota yang terbuat dari jalinan Bunga Pelangi-Bulan. Mahkota itu tampak berpendar lembut memancarkan cahaya bulan. Semua hewan yang hadir di pesta itu langsung berdecak kagum karena keindahan mahkota yang dibawa Kinuta.

    “Selamat ulang tahun, ayah!”

    “Selamat ulang tahun, Paduka.”

    Sang Raja Hutan terbelalak ketika melihat hadiah yang begitu indah itu. Dengan segera dia melepaskan mahkota yang dia kenakan dan menggantinya dengan mahkota bunga yang dihadiahkan kepadanya. Sang Raja Hutan lalu berdiri tegak. Sosoknya yang dilengkapi mahkota bersinar di atas kepalanya itu, tampak begitu kuat, berwibawa, anggun namun lembut. Dia lalu tersenyum gembira ke arah Kinuta dan putri Agita.

    “Terima kasih banyak. Ini benar-benar hadiah yang sangat istimewa. Terima kasih!”

    Bersamaan dengan ucapan terima kasih dari sang Raja Hutan, suara tepuk tangan terdengar begemuruh dari semua hewan yang hadir di pesta. Kinuta, sang cerpelai tua hanya tersenyum bangga.

    ****

    ~FIN~

    Dibuat sebagai entry Lomba Fiksi Fantasi 2012 by Ninelights Production dan Nulisbuku.com

    Tulisan ini juga bisa dilihat di blog saia:
    Red Sign Palace
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    [Cerpen EAT 2011]: Pengembaraan Sang Penjaga Labirin

    Lena menatap tajam ke arah kota Niehls, sebuah kota pertambangan tua yang nyaris runtuh dimakan waktu dan dilupakan para dewa. Kota yang menjadi saksi kebangkitan dan keruntuhan Kerajaan Galena yang dulu pernah menguasai separuh benua ini. Namun keserakahan para penguasa kerajaan itu telah membuka portal menuju dunia para Deimos, makhluk-makhluk yang akhirnya meruntuhkan kejayaan Kerajaan Galena dan menebar teror di seluruh benua pada masa lalu. Kini yang tersisa dari Kerajaan Galena adalah cerita-cerita mengenai kejayaan dan kemegahan di masa lampau.

    Kota ini begitu suram sekarang....gumam Lena dalam hati sambil memandangi sebuah pabrik bertenaga uap di kejauhan.

    Dalam benaknya Lena masih bisa mengingat kemegahan kota Niehls, ibukota Kerajaan Galena. Dia masih bisa mengingat saat-saat dirinya masih manusia biasa. Saat-saat dirinya bukanlah penjaga gerbang Labirin Ilusi, labirin raksasa di bawah kota Niehls yang dibangun untuk menahan keganasan para Deimos.

    Hembusan angin lembut berputar di sekitar Lena, membuat lonceng kecil di pergelangan tangannya berdenting dengan suara jernih namun tegas. Pada saat yang sama, suara denting lonceng lain juga terdengar namun suaranya terdengar jauh ringan dan lembut.

    Lena menoleh ke samping dan melihat sosok Yuki yang berdiri di sampingnya. Ketika memandangi gadis itu, Lena menyadari ada sesuatu yang tidak biasa. Wajah Yuki yang biasanya cerah dan penuh senyum, akhir-akhir ini terlihat muram. Tentu saja ini membuat Lena khawatir.

    “Kenapa kau?” tanya Lena.

    “Lena, maafkan aku....” balas Yuki dengan lirih.

    “Untuk apa?” sahut Lena dengan nada agak ketus.

    Yuki terdiam dan tampak tidak berani melanjutkan perkataannya. Gadis itu akhirnya membisu, membuat Lena semakin bertanya-tanya.

    Dia ingin bertanya lagi pada Yuki, namun sosok-sosok makhluk yang tidak seharusnya berkeliaran di kota telah menarik perhatiannya.

    “Deimos!” seru Lena penuh kebencian. Tanpa sadar senyum mengerikan tersungging di bibir tipisnya.

    Sambil mengeratkan lilitan syal di lehernya, Lena mengambil ancang-ancang.

    “Yuki! Ayo!”

    Lena langsung melompat tinggi ke udara, meninggalkan Yuki yang tetap terdiam di tempat. Mata gadis itu tampak terarah ke tempat lain, bukan ke arah para Deimos yang sedang mengendap-endap di antara kegelapan kota Niehls.

    Sejenak Lena bertanya-tanya mengenai keanehan sikap Yuki akhir-akhir ini. Tapi Lena tahu dirinya tidak boleh memikirkan itu sekarang. Sekarang ada beberapa ekor Deimos yang berhasil keluar dari Labirin Ilusi.

    Sebagai penjaga kota Niehls, sudah menjadi tugas Lena dan Yuki untuk ‘mengirim’ iblis-iblis itu pulang ke labirin, atau menghabisi mereka. Sebuah tugas yang mereka emban demi menyelamatkan orang-orang yang mereka sayangi. Sebuah tanggung jawab sekaligus kutukan yang telah dijalani Lena dan Yuki selama ratusan tahun.

    Lena tidak pernah menyesal karena menukar sisi ‘manusia’ miliknya dengan kekuatan untuk melawan para Deimos. Selama ada Yuki disampingnya, dia tidak akan kesepian dan merasa sedih. Yuki selalu ada di sampingnya dan selalu menjadi penopang bagi Lena setiap saat.

    Tapi ada satu pertanyaan yang selama ini selalu mengganggu pikiran Lena.

    Apakah Yuki bahagia dengan hidup seperti ini?

    Meski selalu menganggu pikirannya, Lena tidak berani menanyakan itu pada Yuki. Gadis itu takut tidak bisa menerima jawaban yang akan diberikan oleh orang yang paling dia sayangi itu.

    Lena menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran negatif dalam kepalanya. Saat ini dia harus berkonsentrasi penuh agar perburuannya malam ini tidak gagal.

    “Kalian bisa lari, Deimos. Tapi tidak bisa sembunyi dariku!” Lena berseru nyaring sambil mendarat di atap sebuah rumah. Sambil bersiul pelan, Penjaga Labirin itu membunyikan lonceng kecil di tangannya dan memulai perburuannya.


    ****

    Sama seperti biasanya, Lena bangun menjelang matahari terbenam. Dengan segera gadis itu berganti pakaian dan berjalan keluar dari tempat tinggalnya. Sekilas dia memandangi menara tinggi yang menjadi tempat tinggalnya itu. Menara tinggi itu adalah satu dari sedikit bangunan yang bertahan dari masa keruntuhan Kerajaan Galena. Selain menara itu, ada satu lagi menara serupa di sisi lain kota Niehls, yang merupakan tempat tinggal Yuki.

    Seperti yang telah dia lakukan selama ratusan tahun, Lena berjalan mendaki bukit yang ada di tengah kota Niehls. Dia lalu duduk di potongan tembok dari sebuah kastil yang sudah lama runtuh. Sambil melamun, Lena memandangi warga kota Niehls yang bergegas pulang ke rumah masing-masing. Biarpun Lena dan Yuki selalu melindungi kota Niehls, warga kota itu tahu nyawa mereka tetap dalam bahaya selama mereka berada di luar rumah. Itulah mengapa kota tua ini sudah seperti kota mati, meskipun matahari baru terbenam kira-kira satu jam yang lalu.

    Lena lalu membaringkan tubuhnya dan menunggu kedatangan Yuki.

    Cukup lama Lena menunggu tapi sosok Yuki tidak kunjung muncul, padahal bulan sudah mulai tinggi di langit.

    Kenapa Yuki lama sekali? tanya Lena kebingungan.

    Lena segera bangkit dan memandang ke segala arah. Tapi dia tidak bisa menemukan tanda-tanda keberadaan Yuki sama sekali.

    Dimana kau?

    Sekali lagi Lena memicingkan matanya dan memandang ke segala arah. Tapi dia tetap gagal menemukan dimana Yuki berada. Perasaan gadis itu mulai tidak karuan. Lena langsung melompat tinggi ke udara, kemudian melesat menuju ke arah menara tempat tinggal Yuki. Sesampainya di depan menara tinggi itu, Lena tertegun sesaat karena menyadari tidak ada yang aneh di menara itu. Pintu menara terkunci rapat dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan disana.

    “YUKI!!”

    Lena berseru nyaring, kemudian menunggu selama beberapa menit. Namun sama sekali tidak ada jawaban dari Yuki. Kekhawatiran Lena semakin menjadi-jadi. Gadis itu lalu mendobrak paksa pintu menara dengan satu tendangan dan segera melangkah masuk. Lena semakin kebingungan karena tidak menemukan Yuki dimanapun.

    Yuki....apa yang terjadi? Dimana kau sebenarnya? tanya Lena kalut.

    Sekali lagi Lena menggeledah seluruh isi menara tempat tinggal Yuki, namun dia tidak menemukan satupun petunjuk dimana gadis itu berada.

    Tiba-tiba Lena mendapatkan satu pemikiran yang tidak menyenangkan.

    Yuki diculik oleh pada Deimos!

    Ketika pikiran itu terlintas di benaknya, Lena langsung menghambur ke luar menara dan berlari dengan kecepatan tinggi ke arah bukit tinggi, tempat dia dan Yuki biasa bertemu. Dengan cepat Lena berlari ke arah sebuah kuil kecil.

    Saat Lena hendak masuk ke kuil, tiba-tiba gadis itu melihat sesuatu yang berkilau di tanah. Kedua mata Lena terbelalak lebar ketika melihat kalau benda itu tidak lain adalah lonceng kecil milik Yuki. Lonceng itu selalu tergantung di leher Yuki dan tidak pernah dia lepaskan sama sekali.

    Ketika melihat lonceng itu ada di depan kuil itu, kemarahan Lena meledak seketika. Dia sekarang yakin kalau Yuki memang diculik oleh para Deimos. Tanpa pikir panjang gadis itu berjalan menuruni tangga lorong yang terhubung dengan pintu gerbang menuju Labirin Ilusi, tempat para Deimos terperangkap selama ini. Dengan paksa Lena membuka gerbang labirin dan langsung dihadang oleh kegelapan pekat yang tampak berputar-putar menyesatkan.

    “MINGGIR!”

    Lena meraung sambil menghentakkan kakinya. Seketika itu juga kegelapan di hadapannya langsung tersibak, menampakkan barisan makhluk-makhluk mengerikan yang dinamakan Deimos itu. Mereka semua kebingungan karena labirin ajaib yang menyesatkan mereka tiba-tiba saja hilang. Para Deimos itu lalu ketakutan ketika melihat sosok Lena yang tiba-tiba saja datang ke labirin. Makhluk-makhluk yang biasanya menebar ketakutan di hati manusia, kini berbalik menjadi mangsa ketakutan itu sendiri.

    “Siapa diantara kalian yang menculik Yuki?!” geram Lena sambil mengepalkan kedua tangannya. “JAWAB!”

    Sunyi.

    Tidak satupun Deimos berani mengeluarkan suara. Mereka semua tahu kalau Lena memiliki kekuatan melebihi Raja Deimos sekalipun. Kalau ada Deimos yang nekat menyerang, maka dia pasti akan mati konyol di tangan Lena. Itu alasan mengapa makhluk-makhluk itu sebenarnya pasrah setiap kali Lena atau Yuki mengejar mereka yang berhasil keluar dari labirin. “Baiklah. Kalau tidak satupun dari kalian yang mau menjawab....aku akan bertanya dengan cara lain....” Lena berhenti sejenak, lalu mengangkat tinjunya. “....dengan ini tentu saja!”

    Kepanikan langsung melanda ruang labirin luas yang nyaris tanpa batas itu. Para Deimos langsung berhamburan ke segala arah. Mereka berusaha menyelamatkan diri dari amukan Lena. Meskipun beberapa Deimos sempat melawan dengan gigih, tapi sayangnya mereka yang melawan dihabisi dengan cara yang mengerikan. Pada akhirnya para Deimos itu harus pasrah menerima amukan Lena, sambil berharap mereka mati dengan cepat dan tanpa rasa sakit.

    Sambil terus mengamuk dan menghabisi Deimos manapun yang menghalangi jalannya, Lena terus-menerus berseru dalam hati.

    Yuki! Aku akan menyelamatkanmu!!!


    ****

    Lena keluar dari Labirin Ilusi dengan langkah gontai. Penyerbuannya ke dalam labirin tidak membuahkan hasil, dia bahkan berkelana terlalu dalam hingga akhirnya mencapai area yang tidak terikat waktu. Akibatnya tanpa disadarinya, Lena sudah menghabiskan waktu beberapa minggu di dalam sarang para Deimos itu.

    Yuki....kenapa kau menghilang begitu saja?

    Lena bertanya pada dirinya sendiri sambil menengadah. Tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. Gadis itu lalu menyeka air matanya dengan tangannya yang berlumur darah para Deimos. Meski dirinya sudah menjelajah ke seluruh sudut Labirin Ilusi, tapi dia tidak menemukan petunjuk dimana Yuki berada.

    Sambil terus memikirkan Yuki, Lena berjalan tanpa arah hingga akhirnya sampai di dekat tembok tinggi dan tebal yang mengelilingi kota Niehls. Sebuah gerbang logam raksasa tampak berdiri kokoh di depan sang Penjaga Labirin itu. Karena sedih, kebingungan dan putus asa, Lena akhirnya duduk bersandar di pintu gerbang kota.

    “Yuki....” gumam Lena pilu.

    Sambil menunduk, Lena mulai menangis tanpa suara. Selama ini Yuki selalu ada di sisinya dan selalu menjadi kekuatan untuk melalui tahun-tahun yang amat sangat panjang dalam hidup abadi Lena. Gadis itu tidak pernah membayangkan dirinya akan terpisah dari Yuki dengan cara seperti ini.

    Lena merogoh kantungnya dan mengeluarkan lonceng kecil yang biasanya selalu tergantung di leher Yuki. Dengan sedih Lena memandangi benda mungil itu. Lonceng itu adalah bukti kesanggupan dirinya dan Yuki untuk menjaga kota Niehls dari para Deimos. Bagi Lena lonceng kecil itu merupakan benda yang sangat berharga, sekaligus sebuah kenangan dari masa sebelum dirinya melepaskan sisi manusia-nya.

    “No...nona kenapa duduk disitu?”

    Tiba-tiba Lena mendengar ada yang menyapanya. Gadis itu menengadah dan melihat sosok seorang prajurit penjaga kota berdiri di hadapannya. Prajurit itu tampak membawa sebuah lentera dan sebatang tombak di tangannya. Di samping prajurit itu, ada dua orang prajurit lain yang tampak ketakutan melihat sosok Lena.

    Wajar saja. Di kota Niehls, tidak ada orang yang tidak mengenal sosok Lena dan Yuki. Mereka berdua dipuja, dikagumi, sekaligus ditakuti oleh penduduk kota. Banyak yang menganggap kedua gadis itu sebagai dewi pelindung, tapi banyak juga yang menganggap mereka tidak berbeda jauh dari para Deimos.

    “Pergilah! Jangan ganggu aku....aku ingin sendirian,”geram Lena.

    Sang prajurit tampak bergeming karena nada bicara Lena yang ketus dan dingin.

    “Se...sendirian?” tanya si prajurit kebingungan sekaligus ketakutan.

    “Benar! Ada masalah?” balas Lena sambil berdiri, membuat ketiga prajurit di depannya langsung mundur dengan raut wajah dipenuhi ketakutan luar biasa.

    “Ti...tidak....tapi....beberapa minggu lalu kami lihat Penjaga Labirin yang satu lagi pergi melewati gerbang kota bersama seseorang,” ujar si prajurit pembawa lentera dengan tergagap karena ngeri.

    Seketika itu juga Lena langsung meraih kerah pakaian si prajurit dan mendorongnya sampai membentur pintu gerbang kota.

    “Siapa orang itu?! Siapa orang yang berani membawa pergi Yuki dari kota ini?! SIAPA?!!!”

    Prajurit yang ditahan oleh Lena langsung gemetar tidak karuan. Karena tidak sabar, Lena menyentuh dahi si prajurit dan menggunakan kekuatannya menyelami ingatan si prajurit. Dengan cepat dia berhasil menemukan ingatan ketika sang prajurit melihat Yuki pergi meninggalkan kota Niehls bersama seorang pria. Begitu melihat ingatan itu, Lena langsung meraung murka.

    DIA! Orang itu yang membawa pergi Yuki dari kota ini!! Tidak akan kumaafkan!!!

    Lena ‘membakar’ sosok sang pria itu dalam ingatannya. Sosok pria berambut keemasan dengan pakaian sederhana, langsung tergambar dengan sangat jelas dalam benak Lena. Wajah dan sorot mata pria itu tampak lembut, sangat kontras dengan tubuhnya yang cukup kekar. Sebuah senjata semacam bumerang besar tampak tergantung di punggungnya. Dari ingatan si prajurit, Lena mengetahui nama sang pria itu adalah Raff dan dia adalah seorang pengelana. Tampaknya Raff dan Yuki bermaksud menuju ke Melria, sebuah kota yang berada jauh di utara Niehls.

    Raff....Melria.....YUKI!! jerit Lena dalam hati.

    Setelah selesai mengambil ingatan dari si prajurit, Lena mendorong si prajurit dengan kasar. Kedua orang prajurit lainnya langsung kabur secepat mungkin sebelum Lena mengamuk. Tapi gadis itu tidak berniat mengamuk. Dia mengulurkan kedua tangannya dan menyentuh gerbang kota Niehls yang berukuran raksasa.

    Dengan sekali dorongan, gerbang berat itu terbuka dengan suara derit nyaring yang memekakkan telinga. Suara itu sudah lebih dari cukup untuk membuat para prajurit penjaga gerbang segera berkumpul, tapi tidak seorangpun berani mengambil tindakan. Mereka semua hanya bisa terdiam menyaksikan Lena membuka paksa gerbang kota dengan tangan kosong.

    Tunggu aku Yuki! Aku pasti akan menemukanmu dan membawamu pulang ke Niehls!

    Begitu gerbang terbuka, Lena tanpa ratu melangkahkan kakinya melewati gerbang tersebut. Sekilas dia menoleh ke arah para prajurit yang masih terpaku di tempat, kemudian berseru nyaring sambil terus melangkah keluar dari kota Niehls.

    “Kalian semua! Jaga kota baik-baik!! Jangan sampai ada Deimos yang berkeliaran di dalam kota! Ingat itu!!”

    Para prajurit penjaga kota hanya bisa ternganga ketika mendengar perintah Lena.


    ****

    Perjalanan menyusuri jejak Yuki menuju ke kota Melria bukanlah perjalanan yang mudah bagi Lena. Berbagai macam rintangan silih berganti menghadang dan selalu menghambat perjalanannya. Tentu saja Lena bisa mengatasi semua rintangan yang menghadang dengan kekuatannya. Tapi pada saat yang sama dia juga menebar kekacauan dan kehancuran di tempat-tempat yang dilewatinya.

    Kota Vrox adalah yang pertama menjadi korban kekuatan Lena. Kota yang merupakan tempat tinggal orang-orang berkekuatan supranatural itu, kini hampir setengahnya rata dengan tanah. Lena mengamuk ketika Guild kota Vrox menyerangnya dan amukannya itu telah meruntuhkan sebagian besar gedung di kota tersebut. Entah berapa banyak nyawa yang melayang, tapi Lena tidak peduli. Gadis itu sanggup melakukan apapun demi mengejar sosok Yuki yang semakin jauh dari jangkauannya.

    Yuki!

    Kota berikutnya yang hancur setelah dilewati Lena adalah Cruzon, sebuah kota besar yang sedang dilanda perang saudara. Tanpa memandang kubu yang sedang bertikai di kota itu, Lena menyapu bersih pasukan militer yang nekat menghalangi jalannya. Hanya dalam waktu kurang dari 4 hari, perang saudara di kota Cruzon terhenti karena warga kota kini berhadapan musuh baru yang jauh lebih berbahaya. Namun pada akhirnya ribuan nyawa melayang begitu saja dalam usaha untuk membunuh Lena.

    Yuki!!

    Kota ketiga yang disinggahi Lena adalah Exar, sebuah kota yang makmur. Berbeda dengan kota yang dia lewati selama ini, Exar adalah satu-satunya kota yang warganya tidak berusaha membunuhnya. Sayangnya itu tidak berlangsung lama karena ada orang-orang yang ingin memanipulasi Rena demi memperkaya diri mereka. Seminggu setelah Lena singgah, kota Exar berubah menjadi kota yang miskin akibat kemarahan sang Penjaga Labirin kota Niehls itu.

    Yuki!!!

    Lena sudah tidak ingat lagi berapa banyak tempat yang telah dihancurkannya. Dia sudah tidak bisa menghitung berapa banyak nyawa yang dia hilangkan. Gadis itu bahkan nyaris kehilangan dirinya sendiri. Untung saja lonceng miliknya tetap membuatnya sadar siapa dirinya. Sayangnya apa yang telah Lena perbuat dalam perjalanannya, tidak berbeda dengan apa yang diperbuat oleh para Deimos jauh di masa lampau. Tapi Lena sudah tidak mau memikirkan itu lagi. Pikirannya hanya tertuju pada sosok gadis yang begitu berarti baginya.

    Yuki...........

    Lena berbaring di tengah genangan lumpur dan darah. Tatapan mata gadis itu tampak kosong ketika dia memandangi awan kelabu yang tergantung rendah di langit. Sekujur tubuh gadis itu terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Di sekitar Lena tampak terbaring makhluk-makhluk mengerikan dengan berbagai wujud, tapi mereka semua sudah tidak bernyawa.

    Aku tidak tahan lagi......ini siksaan.....

    Lena bergumam sambil menangis. Dia sudah hampir putus asa untuk melanjutkan perjalanannya. Saat ini dirinya berada di kota Tartaria, sarang monster-monster yang bahkan jauh lebih ganas dari para Deimos di bawah kota Niehls. Tapi kini tidak lagi. Hampir setengah monster yang hidup di kota itu telah dibantai habis oleh Lena. Sayangnya dalam pertarungan dahsyat itu Lena terluka parah dan kehilangan sebelah tangannya.

    Kematian terasa jauh lebih mudah daripada terpisah darimu....Yuki....

    Lena sudah kehilangan semangat dan harapan. Kini dia hanya ingin mati. Sayangnya dia tidak bisa mati. Bagaikan seekor phoenix, Lena dan Yuki akan bangkit kembali dari sebutir telur ketika kematian menjemput. Namun keduanya tidak pernah merasakan itu, karena selama ini mereka belum pernah mati.

    Dengan pasrah Lena menutup matanya dan ingin membiarkan kematian merenggutnya. Tapi suara lonceng kecil yang ada di pergelangan tangannya membuat Lena kembali bangkit.

    Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Sebelum bertemu Yuki, aku tidak akan menyerah!! Aku pasti akan menemukannya!


    ****

    Lena meneruskan perjalanan dengan sisa tenaga yang dia miliki. Meski dengan susah payah, akhirnya gadis itu sampai di tempat tujuannya. Kota Melria. Ketika melihat kota para pemburu monster itu, Lena menahan nafasnya. Setelah menempuh perjalanan panjang yang mengerikan, akhirnya dia tiba di tempat tujuannya.

    Tapi kini Lena gelisah dan ketakutan. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia berjalan untuk mencapai kota ini. Dia takut dirinya tidak bisa menemukan Yuki di kota Melria. Lena tahu tubuhnya sudah lama melewati batas kematian. Hanya kekuatan tekad untuk bertemu Yuki saja yang membuatnya terus bertahan. Lena bahkan sudah melupakan kemarahannya pada Raff, lelaki yang telah membawa Yuki pergi dari kota Niehls. Saat ini yang diinginkan Lena hanyalah bertemu Yuki untuk terakhir kalinya.

    Sambil menggenggam erat loncengnya, Lena berdoa sepenuh hati.

    Wahai penguasa takdir....aku mohon padamu! Pertemukan aku dengan Yuki di kota ini! Jangan biarkan aku menderita lebih lama lagi!

    Bagai menjawab doanya, tiba-tiba suara lonceng terdengar dari kantungnya. Dengan mata terbelalak, Lena menyadari suara itu berasal dari lonceng milik Yuki yang dibawanya.

    YUKI?!

    Seketika itu Lena memandang ke segala arah. Pandangannya lalu terpaku ke sosok gadis berambut perak yang tampak bersandar di tembok sebuah bangunan. Gadis itu tidak lain adalah Yuki. Begitu melihat sosok Yuki, Lena langsung berlari sambil berseru penuh sukacita dan penuh kesedihan mendalam.

    “Yuki!!” Lena menjerit memanggil nama Yuki

    Tapi belum sampai Lena ke tempat Yuki, mendadak dia terjatuh. Kini Lena menyadari kalau ajal sudah menjemputnya. Sambil terbaring tidak berdaya, Lena memandangi sosok Yuki yang berlari menghampirinya. Air mata membasahi pipi Yuki ketika gadis itu memeluk tubuh Lena.

    “Lena, apa yang kau....”

    “Akhirnya aku menemukanmu.....” Lena berbisik lirih sambil mengambil lonceng kecil dari kantungnya, kemudian menyodorkan benda itu pada Yuki. “Kau melupakan ini....”

    Melihat lonceng itu, tangis Yuki semakin menjadi. Sayangnya Lena sudah tidak bisa mendengar atau melihat apapun. Dia merasakan kematian perlahan-lahan merasuk ke dalam tubuh abadinya. Sekujur tubuh Lena perlahan-lahan memudar dan tampak berkilauan.

    “Yuki....aku bahagia bisa melihat wajahmu untuk terakhir kalinya....” bisik Lena lirih sambil membelai pipi Yuki dengan lembut. “Kalau aku kembali ke fase awal....jagalah aku. Aku tidak ingin sendirian lagi. Aku ingin selalu bersamamu ketika terlahir lagi ke dunia ini.......”

    Seiring dengan ucapan itu, Lena menyerahkan dirinya pada kematian. Senyum damai tersungging di bibir gadis itu. Meskipun harus menunggu entah berapa lama sampai terlahir kembali, Lena tahu kalau Yuki akan selalu ada disisinya. Lena berjanji ketika bangun dari tidur panjangnya dia akan selalu berada di sisi Yuki, apapun yang terjadi.

    Aku akan selalu berada di sisimu, Yuki. Selamanya.

    ****

    ~FIN~

    Merupakan cerpen yg saia buat dengan kolaborasi bersama Kyuukou Okami untuk event EAT 2011. Cerpen ini dapat dibaca juga di k.com dan blog saia.

    Pararel story dari cerpen ini (buatan Kyuukou Okami) dapat dilihat pada link berikut:
    [Cerpen EAT 2011]: Perjalanan Sang Penjaga Labirin
     
    • Thanks Thanks x 2
  8. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    :tolong: I got this feeling. The feeling when you lost a spark of your soul after you read *fin* :tolong:

    There's enough pain and agony in this fic to make me feel like this (this is a good thing).

    Fic kayak gini yang bikin terharu. Apa lagi ada adegan severed limb (my personal favourite) :tolong:

    Ga bisa komen banyak :tolong:
     
    • Thanks Thanks x 1
  9. plesdis M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Apr 24, 2011
    Messages:
    275
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +34 / -0
    wah kenal sama yang bikin fatamorgana ya?? keren nih konsepnya.. endingnya oke lagi serasa baca chap 1.5 ..

    ini cuma IMO tapi lebih keren ini dari fatamorgana yg asli.. terlihat ga shonen banget
     
    • Thanks Thanks x 1
  10. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    I'm Home

    Angin kuat disertai partikel debu radioaktif mendera tubuhku, membuatku sulit berjalan maju ke depan. Meskipun sudah mengenakan exoskeleton suit, tapi tetap saja kekuatan baju canggih itu tidak sanggup melawan kekuatan alam.

    “George!! Berapa lama lagi kita harus berjalan?! Aku sudah tidak sanggup bergerak lagi!”

    Aku berseru ke arah rekanku yang berjalan di depan. Terlihat jelas kalau dia juga kesulitan untuk bergerak menembus badai pasir ganas ini. Langkahnya yang tadi begitu tegap, kini terlihat limbung karena hempasan angin yang begitu kuat.

    “Tinggal sedikit lagi!! Kalau kita bisa berjalan melewati badai ini, kita akan sampai di checkpoint selanjutnya!!”

    George membalas perkataanku melalui jaringan komunikasi di pakaian canggihnya.

    “Bertahanlah! Aku tahu kau bisa bertahan! Jangan menyerah!”

    George berseru lagi padaku. Aku langsung berusaha melangkah maju dan memaksa mesin di sendi-sendi exoskeleton suit-ku bekerja lebih keras. Suara dengung generator dan derak samar roda gigi di pakaian canggihku itu langsung memenuhi telingaku.

    Ayolah! Jangan sampai ada part yang rusak!!

    Aku berdoa semoga pakaianku tidak memutuskan untuk rusak sekarang. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan nyawaku akan melayang dalam hitungan menit. Tidak ada manusia yang bisa bertahan dalam badai yang tercemar debu radioaktif seperti ini. Kalau tidak karena exoskeleton suit yang kukenakan, aku tidak akan bisa berjalan di luar seperti ini.

    Sejak perang nuklir 40 tahun yang lalu, udara dan tanah di bumi sudah tercemar berat oleh berbagai jenis radioaktif dan bahan-bahan berbahaya lainnya. Akibatnya manusia sekarang dipaksa untuk tinggal di shelter-shelter di bawah tanah, serta hanya bisa keluar kalau mengenakan exoskeleton suit seperti ini.

    Langkahku semakin berat, meski sudah ditopang dan dibantu oleh sendi-sendi mekanik exoskeleton suit-ku. Kami terus berjalan dan akhirnya tiba di sebuah gunung karang raksasa, yang memiliki sebuah gua di bawahnya. Aku melihat George masuk ke dalam gua itu dan segera mengikutinya.

    Gua itu tidak luas, tapi setidaknya terlindung dari badai pasir yang mengamuk diluar. Aku langsung duduk di lantai gua dan menghembuskan nafas lega. Sudah 4 hari kami berjalan kaki seperti ini dan paling tidak sudah 3 kali kami menghadapi ganasnya kekuatan alam, seperti badai pasir ini.

    “Akhirnya bisa istirahat...” ujar George sambil mengambil sebuah piramida metalik dari dalam ranselnya. Dia segera meletakkan piramida itu di tanah, lalu memutar puncaknya. Sebuah selubung mirip jeli langsung keluar dari piramida metalik itu, kemudian membentuk semacam piramida kenyal yang melindungi kami berdua. Pada saat yang sama, suara mendesis terdengar ketika mekanisme air purifier di piramida itu bekerja.

    Setelah menunggu beberapa saat, aku menekan sebuah tombol di sisi kiri helm exoskeleton suit-ku. Dengan suara mendesis dan berderak pelan, helm titanium yang kukenakan akhirnya terbuka. Aku membiarkan rambut panjangku tergerai keluar, lalu menoleh ke arah George, yang juga sudah membuka helmnya.

    “Badai yang menakutkan,” celetuk George. “Untung kita bisa bertahan sampai di checkpoint ini.”

    Aku langsung mencibir ke arah George.

    “Yeah. Tapi kalau badai ini tidak berhenti besok, aku tidak bisa bergerak,” gerutuku sambil mengambil bungkusan makanan dari tasku. “Persediaan energi di exoskeleton suit-ku tinggal seperempat. Kalau kita tidak melihat matahari besok, aku tidak akan bisa membuat SOL untuk bajuku ini.”

    “Kalau begitu berdoa saja semoga besok badai ini sudah reda,” balas George sambil tersenyum. “Dengan begitu kita bisa melanjutkan perjalanan lagi dan kau bisa membuat SOL untuk bajumu itu.”

    Aku mendengus kesal. Kadang-kadang sikap optimis George bisa membuatku jengkel.

    “Berapa jauh lagi kita dari tujuan kita?” tanyaku sambil membuka bungkusan makanan yang kupegang, lalu mulai memakan isinya. “Dan yang lebih penting lagi....apa tempat yang kau bicarakan itu benar-benar ada?”

    “Kalau dengan berjalan kaki. Kita seharusnya akan sampai ke tujuan 4 hari lagi,” balas George sambil menekan beberapa tombol di komputer mini, yang ada di pergelangan tangannya. Sebuah peta holografis langsung muncul di depan pria itu. Dia lalu menunjuk ke arah sebuah titik merah di peta itu. “Ini tempat yang akan kita tuju, unknown area no.25. Tempat ini benar-benar ada. Setidaknya di peta...”

    Aku memandangi peta holografis itu sejenak. Kalau saja George tidak menerima sinyal misterius dari area itu, kami tidak akan melakukan perjalanan yang terkesan konyol ini. Isi sinyal komunikasi yang dia terima itu sangat sederhana.

    Kami ada disini...

    Hanya satu kalimat singkat itulah isi pesan yang ter-encode dalam sinyal misterius yang diterima George. Setelah memaksaku melacak asal sinyal itu, kami menemukan sinyal ini dikirim dari unknown area no. 25, area yang seharusnya tidak ada apa-apanya itu.

    Tadinya kupikir ini hanya ulah iseng seseorang, tapi setelah mengamati sistem kode sinyal yang digunakan untuk mengirimkan pesan itu, aku terkejut. Sistem kode dalam sinyal itu terlalu canggih dan rumit untuk ukuran keisengan yang dilakukan seseorang. Bahkan kalau melihat dari tipe sinyalnya, sinyal ini hanya bisa ditangkap oleh peralatan penerima sinyal canggih, seperti yang ada di fasilitas penelitian dalam shelter tempat kami tinggal.

    “Irene, tidurlah. Malam ini biar aku yang berjaga. Kau pasti lelah setelah berjuang menembus badai pasir tadi.”

    Ucapan George membuyarkan lamunanku. Aku langsung melotot ke arah pria itu.
    “Jangan meremehkanku! Biar aku perempuan, tapi aku tidak lemah!” protesku.

    George mengabaikan protesku dan melambaikan tangannya.

    “Ya..ya..aku tahu. Sekarang tidur sana! Besok perjalanan kita bisa saja lebih berat dari hari ini,” balas George sambil nyengir lebar.

    Aku melemparkan bungkus makanan ke arahnya, kemudian bangkit dan mengambil sebuah silinder hitam dari ranselku. Dengan satu sentuhan ringan, silinder itu mendesis membuka dan berubah menjadi sebuah kapsul seukuran tubuh manusia, yang terbuat dari serat nano-carbon.

    “Selamat tidur!”

    Aku berkata dengan nada ketus sambil membungkus tubuhku dengan kapsul itu. Tidak lama kemudian aku sudah tertidur pulas.

    ****

    Perjalanan kami di hari berikutnya tidak lebih mudah, meskipun badai pasir sudah reda dan matahari bersinar dengan teriknya. Dataran rendah yang datar dan beralaskan pasir yang tadi kami jelajahi, kini sudah berganti menjadi lereng-lereng gunung yang terjal dan curam. Unknown area no.25 memang adalah daerah pegunungan karang yang belum pernah dijelajahi siapapun sejak 40 tahun yang lalu. Sehingga tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di balik pegunungan tinggi ini.

    Aku berhenti sejenak sambil memandangi lereng terjal yang sedang kudaki bersama George. Ini sudah hari ke-4 sejak kami beristirahat di dalam gua, saat terjebak badai pasir. Kalau perhitungan dan peta milik George itu benar, maka di balik gunung ini kami akan mendapatkan jawaban mengenai apa, atau siapa yang mengirimkan sinyal misterius itu.

    “Kau tidak apa-apa??”

    George berseru padaku dari atas. Pria itu sedang duduk diatas batu yang cukup besar sambil memandang ke arahku.

    “Tidak! Aku akan segera naik! Pergilah duluan!!”

    Perlahan-lahan aku mulai mendaki lagi lereng gunung yang curam ini. Untungnya dengan kekuatan lengan exoskeleton suit-ku, kegiatan memanjat gunung seperti ini menjadi sesuatu yang mudah. Hanya saja aku harus tetap hati-hati. Kalau aku salah pijakan, aku akan segera terjun bebas ke dasar jurang yang dalamnya lebih dari 600 meter ini.

    Setelah berjuang beberapa saat, akhirnya aku sampai di puncak gunung. Begitu sampai, aku langsung memandang berkeliling dan melihat George sedang berdiri terpaku di pinggiran tebing. Karena penasaran, aku langsung menghampiri pria itu dan menepuk pundaknya.

    “Ada apa? Kenapa kau....Astaga!”

    Aku berseru kaget ketika melihat apa yang membuatnya terpaku ditempat. Jauh di bawah pegunungan tinggi yang sudah kudaki ini, tampak kerimbunan hutan lebat yang membentang sejauh mata memandang. Dari atas gunung ini saja, aku bisa melihat beberapa pohon yang tumbuh terlalu tinggi sampai menembus awan.

    “Itu............apa?” tanyaku sambil melongo.

    “Hutan....memangnya apalagi?” sahut George spontan.

    “Bukan! Maksudku...kenapa ada hutan disini?” tanyaku lagi. “Sejak kapan ada hutan yang bisa tumbuh lebat di tanah yang dipenuhi debu radioaktif dan bahan beracun ini?!”

    “Mana kutahu. Tapi itulah tempat yang kita tuju. Unknown area no. 25. Tempat asal sinyal misterius yang kuterima waktu itu,” jawab George sambil mengecek lagi peta holografisnya. “Tidak salah lagi.”

    Aku memandangi hutan itu sejenak. Hutan itu sangat tidak normal sekali dan seperti bukan berasal dari dunia ini.

    “Ayo kita turun kesana.”

    Ucapan George spontan membuatku tersentak kaget.

    “Apa kau gila?! Kita bahkan tidak tahu ada makhluk apa saja di dalam sana?!” seruku sambil meninju pundak George.

    “Yah. Mau bagaimana lagi? Memangnya kalau sudah sejauh ini, kau mau pulang begitu saja? Tentu tidak kan? Aku tahu kau bukan orang seperti itu.”

    Aku melotot ke arah George karena ucapannya benar mengenai sifatku. Aku lalu meraih senapan yang tergantung di sisi tas ranselku dan mengokangnya.

    “Kalau begitu. Persiapkan senjatamu. Aku tidak yakin disana aman.”

    George langsung meraih senapannya dan juga mengokang senjata itu. Dia lalu menoleh ke arahku.

    “Oke. Ayo kita berangkat.”

    Tanpa menunggu jawabanku, George langsung berjalan menuruni lereng landai yang menjadi jalan setapak menunju ke hutan dibawah sana. Aku langsung mengikuti pria itu sambil berharap siapapun, atau apapun yang mengirim sinyal misterius itu, tidak akan berusaha membunuh kami.

    ****

    “Ini menakjubkan...”

    Aku mendengar George bergumam sambil berjalan. Harus kuakui dia benar. Hutan ini benar-benar menakjubkan. Aku sama sekali tidak pernah berpikir akan melihat kerimbunan hutan seperti ini diluar shelter. Tadinya kupikir tanah diluar sini sudah tidak cocok untuk ditumbuhi tumbuhan apapun. Tapi hutan ini benar-benar mematahkan anggapanku.

    “Kira-kira siapa yang mengirimkan sinyal misterius itu?”

    Aku bertanya pada George.

    “Entahlah. Tapi yang jelas siapapun atau apapun itu, mereka punya teknologi yang sama canggih dengan yang kita punya,” balas George. Tiba-tiba dia berhenti mendadak dan mengacungkan senapannya ke arah kerimbunan semak. “Siapa itu!!”

    Aku langsung berbalik dan mengarahkan senapanku ke arah George mengacungkan senapannya. Aku menelan ludah. Suara gemerisik dedaunan di semak-semak itu membuatku semakin tegang. Jariku sudah melingkar di pelatuk senapan, siap menarik picunya kapanpun diperlukan.

    “Siapa disana?! Tunjukkan wujudmu!”

    Aku berseru sambil berjalan mendekati George. Aku melihat kalau dia sama tegangnya denganku. Tapi kemudian ketegangan kami berubah menjadi keterkejutan ketika melihat sosok manusia berjalan keluar dari kerimbunan semak hutan. Yang membuatku sangat terkejut adalah kenyataan bahwa dia tidak mengenakan helm, masker, ataupun pakaian pelindung lainnya. Dia hanya mengenakan pakaian tipis seadanya.

    Mustahil! Bagaimana dia bisa bertahan di udara yang tercemar seperti ini?!

    Sekilas aku melihat ke arah hologram yang tampak di helm exoskeleton suit yang kukenakan. Kadar debu radioaktif di udara sangat tinggi, sehingga harusnya manusia tidak bisa bertahan dalam kondisi seperti ini. Tapi gadis itu bisa.

    “Akhirnya kalian datang!”

    Gadis itu berseru riang sambil berjalan cepat mendekati kami, tapi langkahnya kemudian terhenti ketika melihat senjata di tanganku dan George. Anehnya dia tidak takut dan justru tersenyum lebar.

    “Selamat datang. Kami sudah menunggu kalian berdua.”

    Aku dan George saling pandang sejenak, lalu kembali mengarahkan pandangan kami ke gadis misterius itu.

    “Siapa kau? Apa kau yang mengirimkan sinyal radio berisi pesan singkat kepada kami?” tanyaku.

    Gadis misterius itu mengangguk.

    “Benar. Ikutlah denganku. Kami sudah menunggu kalian sejak lama.”

    Tanpa menunggu jawaban dariku atau dari George, gadis itu berbalik dan mulai berjalan menembus kerimbunan hutan. Aku dan George saling pandang lagi, tapi akhirnya kuputuskan untuk mengikuti gadis itu. Begitu pula dengan George. Dia segera berjalan mengikutiku dan si gadis misterius.

    Kami bertiga berjalan menyusuri kerimbunan hutan, hingga akhirnya sampai di sebuah lapangan luas yang tampaknya berada tepat di tengah hutan lebat ini. Ketika sampai di lapangan terbuka itu, si gadis misterius langsung berhenti dan berbalik ke arah kami.

    “Kita sampai.”

    Aku dan George langsung memandang ke segala arah. Tapi selain sebuah lapangan berumput yang luas dan dikelilingi hutan, kami tidak melihat apapun.

    “Apa maksudmu? Siapa sebenarnya kau ini?”

    Aku bertanya pada si gadis misterius sambil mengacungkan senapanku.

    “Aku adalah utusan dari ras Ignantia. Ras berakal yang lebih maju daripada manusia di bumi. Wujudku ini kuambil dari wujud kalian, agar kalian tidak takut padaku. Sudah lama kami menunggu ada yang datang karena panggilan kami.”

    Ucapan gadis itu langsung membuatku melongo.

    Alien? Itu tidak mungkin!

    “Oke....jadi kau ini alien? Lalu kenapa kau mengirimkan sinyal komunikasi itu? Apa tujuanmu?”

    George bertanya sambil berjalan mendekati gadis itu. Dia sama sekali tidak takut pada kemungkinan bahwa si gadis alien itu akan menyerangnya.

    “Kami ingin membawa sebanyak mungkin manusia dari bumi. Kami ingin menyelamatkan kalian. Bumi sudah tidak lagi bisa dihuni oleh manusia karena kesalahan ras kalian sendiri. Jadi sebelum kalian punah, kami sudah menyiapkan planet baru untuk kalian tinggal.”

    Ucapan gadis alien itu membuatku curiga. Untuk apa alien sepertinya repot-repot datang ke bumi, apalagi sampai repot-repot menyiapkan planet untuk tempat tinggal manusia selanjutnya. Rasanya tidak masuk akal.

    “Hah? Apa? Kenapa kau mau repot-repot berbuat seperti itu? Apa istimewanya manusia bagi kalian?” tanyaku.

    “Manusia adalah satu-satunya ras berakal yang berhasil mengembangkan peradabannya tanpa banyak campur tangan dari ras-ras berakal lainnya. Kalian istimewa. Kalau dibiarkan berkembang beberapa ratus tahun lagi, kalian akan mampu berada sejajar dengan ras-ras berteknologi tinggi seperti kami,” ujar si gadis alien. “Sayangnya kalian sudah merusak dunia kalian sendiri. Kalau kalian dibiarkan saja, dalam beberapa ratus tahun berikutnya, kalian akan sepenuhnya punah dari bumi. Sebagai ras yang bertugas menjaga ras-ras berakal yang sedang berkembang, kami ras Ignantia berkewajiban untuk menyelamatkan kalian.”

    Aku terdiam karena memikirkan ucapan si gadis yang mengaku alien itu. Ucapannya memang masuk akal. Shelter tempatku dan George tinggal pun tidak akan bertahan terlalu lama. Persediaan makanan yang ada nyaris tidak mencukupi, sementara jumlah manusia yang tinggal di shelter itu semakin banyak.

    “Lalu seandainya kami menerima tawaranmu, apa yang harus kami lakukan?”

    Ucapan George membuatku tersentak kaget. Aku langsung berbalik dan mengguncang bahu pria itu.

    “George!? Apa kau gila?! Apa yang membuatmu percaya pada gadis aneh ini?” seruku marah. Aku lalu beralih memandangi si alien dan mengacungkan senapanku ke arah kepalanya. “Jangan-jangan ini semua hanya usahanya untuk memanen manusia, lalu entah akan dia gunakan untuk apa! Jangan percaya kata-katanya!”

    “Kalau kau tidak percaya. Itu wajar saja. Kami tidak akan memaksa kalian untuk mempercayai kami. Tapi yang pasti. Niat kami untuk menyelamatkan ras kalian itu tulus,” ujar si gadis lagi. Dia lalu mengangkat sebelah tangannya.

    Sebuah kilatan cahaya membuatku terpaksa menutup mata dan ketika aku membuka mata lagi, aku melihat sesuatu yang luar biasa menakjubkan.

    Sebuah UFO yang berbentuk seperti sebuah cakram tampak melayang rendah di angkasa. Ukuran benda itu sama besar dengan lapangan luas tempat kami berada sekarang. Benda raksasa itu mengeluarkan suara dengungan rendah, yang anehnya tidak kudengar tadi.

    “Luar biasa...” gumam George lirih.

    “Ini adalah kendaraan yang akan kami gunakan untuk memindahkan manusia secara bertahap. Mungkin akan butuh waktu lama sampai seluruh manusia bisa kami pindahkan dari bumi. Tapi kami tidak peduli. Sebisa mungkin kami ingin menyelamatkan kalian dari kepunahan.”

    Aku memandangi sosok si alien dengan terkejut. Wujudnya kini sudah tidak lagi serupa manusia, melainkan lebih mirip seekor monster bertanduk yang berdiri dengan dua kaki. Ekor panjang dan tebal tampak melingkar di sekitar kakinya. Meskipun wujudnya mengerikan, tapi tatapan mata alien itu tetap tampak lembut. Aku sama sekali tidak melihat niatan buruk di mata alien dari ras Ignatia itu.

    “Bagaimana keputusan kalian?”

    Si alien itu kembali bertanya pada kami berdua. Aku menoleh ke arah George. Pria itu tiba-tiba saja melangkah maju ke arah si alien. Aku hendak berseru memperingatkannya, tapi tatapan mata George membuatku terdiam. George lalu memandangi alien berwujud mengerika di depannya itu.

    “Alien. Apa kau benar-benar akan membawa manusia ke dunia baru, ke dunia dimana kami bisa hidup tanpa takut terkontaminasi debu radioaktif atau bahan beracun lainnya?”
    “Ya. Itulah maksud kami datang ke bumi.”

    “Kalau begitu. Tunjukkan padaku dimana planet itu berada. Kemudian bawa aku kembali ke bumi, agar aku bisa memberitahu semua orang kalau kau tidak berbohong.”

    “Tentu saja. Tapi perjalanan ke planet itu dan kembali ke bumi, setidaknya akan memakan waktu 5 tahun, bahkan dengan teknologi yang kami miliki.”

    “Aku tidak peduli. Aku harus memastikan semuanya aman dan kau tidak berbohong.”

    Si alien terdiam sejenak, lalu menganggukkan kepalanya.

    “Aku paham. Kalau begitu ikutlah dengan kami.”

    Setelah mengatakan itu, sebuah lubang tiba-tiba terbuka dari bawah UFO yang melayang di udara. Dari lubang itu, sebuah sinar tampak jatuh mengenai tubuh George dan si alien. Kemudian keduanya terangkat ke udara secara perlahan-lahan.

    “George!!! Tunggu!! Apa yang mau kau lakukan?!! George!!”

    Aku berseru sekuat tenaga dan berjalan ke arah sinar itu, berharap sinar aneh itu akan menarikku juga ke atas. Tapi ternyata tidak. Kakiku tetap menapak tanah.

    “Irene! Aku akan pergi sebentar! Tunggulah di shelter. Aku pasti akan kembali!!” seru George sambil nyengir dibalik helm titanium yang dia kenakan. “Aku akan memastikan alien ini tidak berbohong, lalu aku akan kembali untuk menjemputmu dan semua orang di shelter!”

    “George! Berhenti! Kau tidak tahu apakah ucapannya benar atau hanya sebuah tipuan! Kembali kesini!!”

    Aku kembali berseru sekuat tenaga. Tapi sepertinya keputusan George sudah bulat. Dia sama sekali mengabaikan seruanku dan malah melambaikan tangannya.

    “Irene!! Aku pasti kembali! Aku janji!!”

    Itulah ucapan terakhir yang kudengar dari George, sebelum tubuhnya menghilang ke dalam piring terbang yang melayang di udara. Kemudian dengan diiringi suara dengung nyaring, UFO raksasa itu melesat cepat ke udara dan menghilang dibalik awan debu radioaktif yang menggantung rendah di langit.

    Aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain terduduk pasrah dan mulai menitikkan air mata.

    ****

    “Bibi Irene! Kau ada dimana?”

    Aku tersentak bangun dan menoleh ke arah pintu ruangan yang kubiarkan terbuka. Sambil merapikan rambutku, aku langsung berjalan keluar ruangan. Seorang anak perempuan tampak berjalan menyusuri lorong sambil memanggil namaku.

    “Aku disini Jeanne. Ada apa?”

    Begitu mendengar namanya dipanggil, Jeanne langsung menoleh dan berlari ke arahku. Gadis kecil itu lalu memelukku dengan erat. Dia lalu memandangi wajahku yang terlihat kusut karena baru bangun tidur.

    “Bibi...bibi habis tidur di ruang komunikasi lagi ya?”

    Aku mengelus kepala Jeanne dan menggendongnya, lalu kembali berjalan ke arah ruang komunikasi. Setelah menurunkan Jeanne di atas kursi yang biasa kugunakan, aku memandangi peralatan canggih yang ada di ruangan itu.

    Sudah 5 tahun berlalu sejak George pergi bersama alien yang mengaku berasal dari ras Ignatia dan mengaku berniat menyelamatkan manusia dari kepunahan. Selama 5 tahun ini aku selalu menunggu sinyal kepulangan dari George dan alien itu. Tapi sinyal itu tidak pernah datang, hingga aku mulai merasa kalau sebenarnya George ditipu oleh ucapan manis si alien.

    “Apa bibi sedang menunggu pesan dari seseorang?”

    Aku terdiam dan kembali mengelus kepala Jeanne dengan lembut. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menangkap perhatianku. Sebuah sinyal asing tampak baru saja diterima oleh mesin pemindai sinyal yang ada di sudut ruangan.

    Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke arah mesin itu dan mulai melakukan decoding terhadap sinyal itu. Jantungku berdebar tidak karuan ketika jemariku menari diatas keyboard. Tiba-tiba aku berhenti mengetik dan tanpa sadar mulai menangis.

    “Bibi kenapa?” tanya Jeanne sambil mengelus tanganku.

    Aku menoleh ke arah gadis kecil itu dan memeluknya dengan erat, hingga membuat Jeanne kebingungan. Aku terus memeluknya sementara layar komputer disampingku masih menampilkan satu kalimat, yang merupakan hasil decoding sinyal asing yang kuterima.

    Irene, i’m home...

    ****

    ~FIN~

    Also available at Aksarayana vol.4
     
    • Thanks Thanks x 1
  11. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Selamat Datang Di Kastil Kami~!

    “Selamat datang di Kastil kami, wahai pengembara yang tersesat. Silahkan masuk. Kami sudah menunggu kedatangan anda.”

    “A....apa? Dimana ini? Apa yang terjadi disini?”

    Aku bertanya pada sosok pria yang berdiri di depanku itu.

    “Ugh!” aku mengerang.

    Kepalaku terasa ringan. Aku juga sulit berpikir dan anehnya aku tidak bisa mengingat apapun. Rasanya seperti ada yang menghapus ingatanku dengan penghapus. Semuanya nyaris putih bersih. Kecuali namaku, aku tidak ingat apa-apa sama sekali. Aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi padaku hingga aku sampai di tempat ini. Aku bahkan tidak ingat dimana aku tinggal, siapa nama orang tuaku dan sebagainya.

    “Ah. Kulihat anda masih bingung. Tidak masalah. Semuanya juga begitu pada awalnya,” ujar pria misterius itu sambil membungkuk dengan hormat. “Tapi jangan khawatir, saya akan memandu anda.”

    Dia lalu mengetuk pintu gerbang raksasa dari kayu yang ada di belakangnya. Ajaib. Hanya dengan ketukan ringan, pintu gerbang itu mengayun terbuka dengan perlahan. Ketika pintu itu sudah terbuka lebar, pria misterius itu membungkuk sekali lagi.

    “Sekali lagi. Selamat datang di Kastil kami,” ujar pria itu. “Perkenalkan, nama saya Losta, saya adalah penjaga gerbang Kastil sekaligus pemandu anda.”

    Aku tidak bisa berkata apapun lagi karena terpana melihat pemandangan yang ada di balik pintu berat di depanku itu. Sebuah Kastil yang luar biasa megah dan besar tampak berdiri dengan kokoh. Menara-menara Kastil itu tampak menjulang menantang langit dan dihiasi dengan berbagai macam bendera serta umbul-umbul. Di halaman Kastil yang sangat luas, terlihat ada banyak orang berkerumun. Beberapa orang yang mengenakan seragam aneh tampak sibuk, sementara ada lebih banyak lagi orang yang hanya bergerombol sambil mengobrol.

    “Nah. Masuklah,” ujar Losta sambil mendorongku dengan lembut.

    Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melangkah maju dan melewati gerbang Kastil. Tapi ketika aku baru menginjakkan sebelah kakiku di Kastil itu, tiba-tiba saja aku mendengar suara bisikan entah darimana asalnya.

    Berhenti!

    Seketika itu juga aku berhenti di tempat sambil memandang ke segala arah, berusaha mencari darimana asalnya suara misterius itu. Tapi selagi aku melakukan itu, suara bisikan misterius itu kembali terdengar.

    Berbaliklah! Jangan masuk ke tempat ini! Pergilah!

    “Hah? Apa?” tanyaku bingung.

    “Ada masalah apa?”

    Losta bertanya padaku sambil tersenyum. Karena bingung, aku menggelengkan kepala dan terdiam sejenak. Tapi karena suara itu tidak terdengar lagi, aku memutuskan kalau itu hanya khayalanku saja.

    “Tidak. Tidak ada apa-apa.....” gumamku sambil terus berjalan. Namun begitu aku sudah berjalan cukup jauh melewati gerbang Kastil, tiba-tiba saja, pintu berat itu terayun tertutup dengan perlahan. Tentu saja aku kaget dan langsung berbalik.

    “Ke.....kenapa gerbangnya tertutup?!” tanyaku dengan suara bergetar.

    Aku mulai ketakutan dan itu sebenarnya wajar saja. Saat ini aku terjebak di tempat antah berantah, dengan seorang pria misterius memanduku, dan kini aku berada di dalam sebuah Kastil aneh yang gerbangnya baru saja tertutup. Lengkap sudah.

    “Ah. Kita tidak ingin ada tamu tidak diundang datang ke Kastil ini. Lagipula dengan begini sekarang kau aman.” Losta menjelaskan padaku sambil tetap tersenyum. Tapi anehnya, kali ini aku merasa ada yang tidak beres dengan senyuman pria misterius itu.

    Aku menelan ludah, lalu memberanikan diri bertanya pada Losta.

    “Tempat apa ini? Dimana ini sebenarnya?”

    Losta tampaknya sudah menunggu-nunggu pertanyaan itu. Dia langsung menepukkan kedua tangannya dan dengan nada riang langsung menjawab pertanyaanku.

    “Ah. Saya senang anda bertanya,” ujar Losta. “Ini adalah Kastil. Tempat para pengembara yang tersesat berkumpul. Tempat dimana anda bisa merasakan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat tujuan akhir dari pengembaraan yang anda lakukan seumur hidup anda. Disini hanya ada 1 hukum utama...anda harus tunduk, hormat, dan patuh terhadap titah Yang Mulia Ratu. Selain hukum itu, disini anda bebas melakukan apapun, selama itu tidak mengganggu orang lain. Anda pasti akan menyukai kehidupan anda disini.”

    Penjelasan Losta sama sekali tidak menjelaskan apapun. Aku malah semakin bingung gara-gara mendengar ucapannya.

    “Aku tidak mengerti...” sahutku spontan.

    “Ah. Semuanya begitu pada awalnya. Tapi pada akhirnya anda akan terbiasa dengan tempat ini,” ujar Losta lagi, masih sambil tersenyum. “Ayo. Kita jalan lagi.”

    Pada awalnya aku cukup menyukai senyuman pria itu, tapi lama kelamaan senyumannya jadi terasa sangat....menakutkan. Tanpa sadar aku melangkah mundur tapi gara-gara itu aku jadi menabrak seseorang.

    “Auw!” seru orang itu.

    Aku langsung berbalik dan bermaksud meminta maaf. Tapi aku malah terpaku ditempat dengan mulut terbuka lebar. Memang aku pasti terlihat seperti orang idiot, tapi aku yakin ini reaksi yang wajar. Soalnya orang yang kutabrak tadi itu bukan benar-benar ‘orang’, melainkan seekor panda yang berdiri dengan dua kaki dan mengenakan pakaian layaknya manusia.

    “Ati-ati kalau jalan! Dacal manucia!” protes manusia panda itu sambil berlalu.

    Aku masih melotot ke arah makhluk aneh itu selama beberapa saat, sebelum akhirnya menoleh lagi ke arah Losta. Pria itu mengangkat kedua bahunya dan tampak biasa saja melihat ada manusia panda lewat di depannya.

    “Yah. Panda yang itu memang agak pemarah, walau sebenarnya dia baik hati,” sahut Losta. “Nah. Sekarang biar saya memandu anda ke sekeliling Kastil dan memperkenalkan anda pada beberapa orang penting di tempat ini. Mari.”

    Meski masih shock, aku menurut saja dan mengikuti Losta. Sambil berkeliling aku baru menyadari kalau makhluk-makhluk aneh di tempat ini tidak hanya manusia panda saja. Sambil berjalan aku sempat melihat sebuah ‘pohon hidup’, yang tampak sedang mengajari sesuatu pada sekelompok orang yang duduk diam di hadapannya. Selain itu, aku sempat melihat sebuah danau besar di belakang Kastil, yang tampak dipenuhi berbagai jenis ‘manusia ikan’ yang sedang mengobrol sambil berjemur di pinggiran danau. Pemandangan yang sungguh absurd dan tidak masuk akal.

    “Te....tempat yang aneh.....” gumamku dengan suara lirih pada Losta.

    “Memang. Tapi jangan khawatir. Anda akan segera menemukan ‘tempat’ anda di Kastil ini. Jangan terburu-buru, nikmati saja waktu anda disini,” balas Losta, masih dengan senyuman di wajahnya.

    Aku kembali terdiam dan terus bertanya-tanya dalam hati.

    Sebenarnya tempat apa ini?!

    ****

    Aku tidak terlalu ingat berapa lama aku berada di tempat ini. Yang pasti rasanya cukup lama. Sebelum aku sepenuhnya sadar, tahu-tahu aku sudah berteman dengan beberapa orang yang mungkin bisa dibilang......aneh. Tapi meskipun mereka dan tempat ini memang aneh, tapi entah kenapa aku merasa nyaman berada di Kastil ini. Meskipun aku masih tetap tidak tahu kenapa dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini.

    “Mungkin kau dibawa alien dari planetmu, lalu ditempatkan disini. Tapi sebelumnya ingatanmu pasti dihapus dulu biar tidak bisa macam-macam.”

    Tsuki berkomentar sambil duduk di tepian danau. Pemuda yang satu ini memang agak aneh dan sepertinya punya lebih dari satu kepribadian. Yang kali ini ada di depanku adalah ‘Tsuki’, satu dari entah berapa banyak kepribadian yang dia miliki. Meski begitu, Tsuki sebenarnya sangat cerdas.

    “Jangan konyol! Tapi ngomong-ngomong teori itu bisa saja benar. Soalnya aku juga tidak ingat kenapa aku bisa ada di tempat ini.”

    Kali ini yang bicara adalah Yume, seorang gadis bertubuh mungil yang mengenakan penutup kepala aneh, hingga hanya wajahnya yang terlihat. Diantara orang-orang yang kukenal, Yume adalah yang berpikiran cukup ‘lurus’, meski dia bisa jadi ‘liar’ kalau melihat ada gadis imut lainnya.

    “Kalian berdua jangan bicara yang tidak-tidak. Lagipula tidak ada gunanya membahas hal itu. Toh kita sudah terlanjur disini dan tidak bisa kemana-mana....atau lebih tepatnya, tidak mau kemana-mana.”

    Aku menoleh dan melihat temanku yang lain. Temanku yang satu ini bernama Rilme dan hampir tidak pernah menujukkan wajahnya. Wajah pemuda itu ditutup oleh topeng tengkorak yang selalu dia kenakan, hingga kadang aku pikir....tengkorak itu memang wajahnya.

    “Memangnya kalian tidak pernah memikirkan alasan kenapa dan bagaimana kalian bisa sampai ke Kastil ini?”

    Kali ini giliran aku yang bertanya. Anehnya, semua teman-temanku itu tampak memikirkan pertanyaanku dengan serius. Ini membuatku semakin penasaran.

    “Tidak,” jawab Tsuki.

    “Ehm...dulu sih. Tapi sekarang tidak lagi,” sahut Yume.

    “......hmmm......” gumam Rilme.

    Aku mendesah. Selalu saja begini. Dari semua orang yang kukenal di sekitar Kastil ini, mereka selalu mengatakan hal yang hampir sama kalau aku mulai bertanya pada mereka: kenapa dan bagaimana merea bisa sampai di sini?

    “Tidak perlu dipikirkan dengan serius. Toh disini tidak buruk juga. Walau dari depan terlihat kecil, tapi kalian kan tahu kalau Kastil ini sebenarnya sangat luas. Meliputi juga kota di dan hutan sebelah sana itu.”

    Yume bicara sambil menunjuk ke arah kejauhan. Memang ucapannya benar. Sejauh mata memandang, aku bisa melihat kota, hutan dan bahkan padang rumput, yang semuanya berada di dalam lindungan sebuah dinding yang sangat tinggi. Semua tempat itu masih merupakan bagian dari Kastil. Sungguh sebuah ‘kastil’ yang sangat luas sekali.

    “Tapi apa kalian tidak pernah benar-benar memikirkan...apa yang akan terjadi kalau kalian keluar dari tempat ini?” tanyaku lagi.

    “Emang ngapain aku keluar dari tempat ini?” balas Tsuki dengan nada ketus. Mendengar perubahan nada bicaranya, aku tahu yang ini adalah kepribadiannya yang lain dan kalau tidak salah...yang ini namanya Rai.

    “Yah....entahlah,” balasku sambil mengangkat bahu. “Memangnya tidak ada yang rindu dengan tempat asal kalian?”

    Sejenak ketiga temanku terdiam. Setelah beberapa lama, akhirnya Rilme yang bicara.

    “Memangnya kau masih bisa ingat dimana kau tinggal dulu dan bagaimana kehidupanmu sebelum sampai di tempat ini?”

    Ucapan Rilme langsung membuatku terhenyak. Dia benar! Aku sama sekali tidak punya ingatan tentang kehidupanku sebelum aku sampai di gerbang Kastil. Tapi aku masih merasa kalau aku harus keluar dari tempat ini dan ‘pulang’....meskipun sama sekali aku tidak tahu dimana rumahku berada.

    “Mungkin kau benar.....” gumamku pada akhirnya. “Tempat ini telah menjadi segalanya bagiku....tidak mungkin aku keluar dari tempat ini....”

    “Nah! Kalau kau sudah berpikiran seperti itu, bagaimana kalau kita pergi ke hutan?” usul Yume sambil tersenyum penuh semangat. “Sudah lama aku tidak mengunjungi Okami atau Kim.”

    “Usul yang bagus!” sahut Rilme sambil berdiri. “Dan kalau beruntung, kita mungkin bisa menjumpai Re-α disana.”

    “Kalo gitu, ayo pergi! Jangan lama-lama!” timpal Rai sambil ikut berdiri. “Oi. Ikut ga?”

    Aku menggelengkan kepala.

    “Tidak. Kalian pergi saja. Aku punya urusan lain.”

    Aku menjawab sambil berdiri dan meninggalkan teman-temanku itu. Mereka tampak memandangiku dengan tatapan heran, tapi aku tidak peduli. Ada satu hal penting yang seharusnya kulakukan sejak dulu.

    Aku harus bertemu Yang Mulia Ratu!

    ****

    Jantungku berdebar kencang ketika memasuki bangunan utama Kastil, sebuah istana raksasa yang berdiri tepat di depan pintu gerbang. Dari Losta, orang yang memanduku waktu itu, aku tahu kalau di istana itulah Yang Mulia Ratu tinggal. Sebagai tempat tinggal seorang Ratu, istana itu memang dijaga oleh banyak penjaga.....yang sebagian besar bukan manusia. Mereka tampak memandangiku dengan tatapan penuh selidik.

    Maklum saja. Walaupun sama sekali tidak ada larangan untuk masuk kesana, tapi selama aku disini, tidak ada orang –ataupun bukan orang– yang masuk ke dalam istana itu. Semuanya terkesan menjauhi bangunan megah itu. Entah apa alasannya.

    Ja...jangan-jangan Yang Mulia Ratu itu adalah sosok yang kejam dan....suka memenggal kepala orang........


    Tubuhku langsung gemetar ketika memikirkan kemungkinan itu. Tapi meskipun aku takut, aku harus masuk dan bertemu dengan Yang Mulia Ratu. Dari informasi yang kudengar, selain sebagai pimpinan Kastil, aku juga dengar Yang Mulia Ratu punya kekuatan ajaib yang bisa memulangkan orang dari tempat ini. Aku berharap semua informasi yang kudengar itu memang benar dan aku berharap Yang Mulia Ratu bersedia memulangkanku kembali ke ‘rumah’, walaupun aku tidak ingat dimana itu.

    Setelah bertanya pada orang-orang di dalam istana, aku tahu kalau Yang Mulia Ratu ada di puncak menara utama. Dengan segera aku berjalan mendaki ribuan anak tangga di hadapanku, hingga akhirnya aku sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari perak dan dihias dengan ukiran rumit.

    Sambil menelan ludah, aku mendorong pintu itu hingga terbuka. Ketika pintu itu terbuka, aku melihat sebuah singgasana tinggi yang berada jauh di seberang ruangan. Di atas singgasana itu, duduk seorang gadis mungil berparas imut bermahkota emas. Di sisi kiri dan kanan gadis itu, tampak berdiri seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita berjubah perang. Selain itu sesosok seorang pria transparan tampak melayang jauh di atas singgasana.

    Ketika melihat gadis mungil di singgasana itu, aku langsung mendapat kesan kalau dia adalah Yang Mulia Ratu. Walaupun rasanya mustahil kalau pimpinan Kastil ini adalah seorang anak kecil.

    “Aku sudah menunggumu. Masuklah.”

    Sang Ratu berbicara dengan nada tegas sambil mengacungkan jarinya ke arahku. Sayangnya aku justru terpaku ditempat dan tidak bisa bergerak. Rasanya ada sesuatu di dalam ruangan itu yang menahanku untuk melangkah masuk.

    “Aku tahu yang kau inginkan. Jadi mendekatlah kemari. SEKARANG!”

    Bersamaan dengan seruan Sang Ratu, tiba-tiba tubuhku melayang masuk seolah ditarik oleh sebuah tangan yang tidak terlihat. Aku langsung mengerang ketika tubuhku jatuh di depan tangga singgasana yang berlapis karpet tebal. Dengan ngeri aku memandang ke arah Sang Ratu yang duduk jauh di singgasananya.

    “Y....Yang Mulia....”

    “Aku tahu. Aku tahu,” sahut Sang Ratu sambil memandangku dengan tatapan bosan. “Kau ingin kembali ke tempat asalmu kan? Aku sudah tahu itu. Makanya kau kemari. Bukan begitu?”

    Aku menelan ludahku.

    Bagaimana dia bisa tahu?!

    “Be...benar Yang Mulia. Anda benar sekali,” gumamku lagi.

    Aku melihat ada kilatan aneh di mata Sang Ratu dan aku langsung berharap, semoga itu bukan berarti kalau dia akan memenggal leherku.

    “Membosankan sekali. Kenapa kau ingin keluar dari tempat ini? Apa kau tidak menyukai Kastil ini?” tanya Sang Ratu. “Katakan padaku. Kenapa kau ingin ‘pulang’?”

    Aku terdiam. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Jujur saja, tempat ini sangat menyenangkan. Ada banyak keajaiban dan hal menarik di tempat ini. Namun jauh di dalam hati, aku tetap ‘tahu’ kalau ini bukanlah ‘rumahku’.

    “Mohon maaf Yang Mulia....hamba juga tidak tahu kenapa hamba ingin pergi dari tempat ini. Kastil adalah tempat yang luar biasa dan disini hamba juga punya teman-teman yang luar biasa. Tapi.....” Aku terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapanku sambil mengepalkan tangannku. “...hamba merasa ini bukan ‘rumah’ hamba. Hamba ingin kembali ke ‘rumah’ hamba yang sesungguhnya.”

    Sang Ratu tampak terdiam mendengar ucapanku, lalu mendongak ke atas.

    Kau benar-benar ingin pulang?


    Tiba-tiba aku mendengar suara aneh dalam benakku. Suara itu sama dengan yang dulu sekali kudengar saat aku pertama kali memasuki Kastil. Aku langsung memandang ke segala arah. Tiba-tiba saja tatapanku terpaku pada si pria transparan yang melayang di atas singgasana. Pria itu langsung tersenyum ketika tatapan kami bertemu.

    Ya. Ini aku, Tungie sang Hantu yang bicara padamu, ujar si pria transparan, langsung ke dalam benakku. Kenapa kau ingin kembali ke kehidupan lamamu? Kau sudah susah payah datang kemari dan percayalah padaku....kau tidak ingin kembali ke ‘tempat itu’. Lagipula, setelah mengenal tempat ini sekali, kau tidak bisa sepenuhnya ‘pulang’.

    Aku tersentak.

    “Apa maksudmu?” tanyaku pada Tungie. “Kalau tidak salah, waktu pertama aku mau masuk ke tempat ini, kau seperti berusaha mencegahku. Tapi kenapa sekarang kau malah melarangku untuk pulang?”

    Yah...waktu itu kukira kau tidak benar-benar ingin pergi ke tempat ini. Jadi aku berusaha menghentikanmu. Soalnya orang yang datang kesini biasanya tidak akan mau kembali lagi ke ‘tempat asalnya’ sahut Tungie. Lagipula kau ini kan sebenar.....


    “Tungie, berhenti bicara! Nanti dia semakin bingung!” potong Sang Ratu sebelum Tungie sempat menyelesaikan ucapannya.

    Begitu mendengar ucapan Sang Ratu, Tungie langsung terdiam. Lalu tatapan mata Sang Ratu Kastil langsung terpaku ke arahku. Tanpa sadar aku merinding ketakutan.

    “Kalau dia ingin pulang. Biarkan dia pulang,” ujar Sang Ratu sambil tersenyum penuh arti. “Tidak ada kewajiban bagi kita untuk menahannya disini. Lagipula, ini keputusannya sendiri. Apapun resikonya, dia akan menanggungnya.”

    Baik, Yang Mulia.

    Suara Tungie masih dapat terdengar di dalam kepalaku. Aku langsung mendongak dan terkejut melihat sosok pria itu sudah menghilang.

    “Nah. Kau ingin pulang kan?” tanya Sang Ratu sambil terus memandangiku dengan tatapan penuh arti. Dia lalu menoleh ke arah pria berbaju putih yang berdiri disamping singgasananya. “Ren! Pulangkan dia ke ‘rumah’nya dan kembalikan semua ingatannya!”

    “Siap, Yang Mulia,” sahut pria berbaju putih bernama Ren itu.

    Ren langsung berjalan ke arahku. Dia tampak memasukkan sebelah tangannya ke balik bajunya dan mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti sebuah stempel berukuran besar. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibir pria itu ketika dia berjalan mendekatiku.

    “Jangan takut. Ini tidak akan sakit,” ujar Ren. “Sepertinya sih begitu....”

    Aku langsung ketakutan dan bersiap untuk kabur, tapi tiba-tiba saja tubuhku kaku dan tidak bisa digerakkan. Masih sambil tersenyum lebar, dia mengangkat stempel besar itu tinggi-tinggi, lalu menepukkan benda itu ke atas kepalaku.

    Seketika itu juga seluruh dunia jadi terasa berputar dan tubuhku langsung roboh ke lantai. Pandanganku langsung buram dan aku jadi tidak bisa berpikir. Suara Yang Mulia Ratu terdengar bergema dalam kepalaku.

    “Nah. Dengan ini kau resmi ‘dipulangkan’ dari Kastil,” ujar Sang Ratu. Sekilas aku melihatnya tersenyum lebar. “Selamat jalan....dan sampai jumpa lagi. Aku yakin kau akan segera kembali ke tempat ini.”

    Setelah itu, tubuhku langsung ditelan oleh kegelapan dan aku tidak bisa merasakan apapun.

    ****

    Ketika aku membuka mataku lagi, tahu-tahu aku sudah ada di dalam kamarku sendiri. Dengan bingung aku memandang ke segala arah untuk memastikan kalau aku benar-benar berada di dalam ‘kamarku’. Ketika melihat beberapa benda yang familiar, aku langsung yakin kalau tempat ini benar-benar kamarku. Rumahku. Tempat tinggalku.

    Dengan lega aku membaringkan tubuh lagi, tapi kemudian tanganku menyentuh beberapa benda aneh. Aku terkejut melihat sebuah tabung kecil dan pil-pil berwarna putih yang berserakan di samping bantalku.

    Apa ini? Tanyaku kebingungan. Obat?

    Meski penasaran, aku tidak mau banyak berpikir saat ini. Yang penting sekarang aku sudah kembali ke ‘rumah’ dan semoga saja semuanya kembali normal seperti biasa. Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku turun dari tempat tidurku dan berjalan ke arah pintu kamar. Aku harus memastikan kalau tempat ini benar-benar rumahku dan aku sudah kembali dari Kastil.

    Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja ucapan Tungie si hantu kembali terngiang di kepalaku.

    Kenapa kau ingin kembali ke kehidupan lamamu?

    Aku terdiam dan berpikir sejenak, tapi entah kenapa ingatanku terasa masih buram. Aku masih tidak bisa mengingat apapun selain masa-masa sewaktu aku tinggal di Kastil.

    Aneh sekali.....


    Aku bergumam sambil membuka pintu kamarku.

    ****

    Mungkin ini yang dimaksud oleh Tungie waktu itu....

    Aku berpikir sambil memandangi pemandangan kota dan orang-orang yang lalu lalang jauh di bawah sana. Saat ini aku sedang berdiri di lantai paling atas sebuah pusat perbelanjaan di kotaku. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Semuanya kacau. Semuanya berantakan. Semuanya....tidak normal.

    Sejak kembali dari Kastil, perlahan-lahan ingatanku kembali. Lebih tepatnya, ingatanku tidak kembali, tapi aku dipaksa menjalani kembali apa yang ada di dalam ingatanku.
    Kehidupanku ternyata benar-benar mengerikan. Lebih mirip neraka. Aku ternyata tidak lebih dari seorang pecundang yang gagal dalam hampir segala aspek kehidupanku. Di sekolah semua orang menjauhiku dan aku selalu dijadikan sasaran bullying oleh para pentolan sekolah. Tidak ada yang berusaha menolongku. Murid-murid yang melihatku disiksa malah tersenyum-senyum, bahkan ada yang terang-terangan tertawa. Di rumah, kedua orang tuaku adalah orang-orang berengsek. Mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri dan tidak menganggapku sebagai anak, bahkan mereka menganggapku sebagai beban. Aku sering dipukuli dan tidak jarang aku ditelantarkan tanpa makanan.

    Aku muak dengan kehidupanku. Aku muak dengan semua hal mengerikan yang terjadi padaku setiap hari. Aku sama sekali tidak berharga. Tidak akan ada yang merasa kehilangan kalau aku tiba-tiba saja ‘menghilang’ dari dunia ini.

    Tanpa sadar air mataku kembali mengalir. Aku akhirnya ingat kenapa ada tabung kecil dan pil-pil aneh ketika aku ‘terbangun’ dari Kastil. Pil-pil itu tidak lain adalah obat tidur yang sengaja kuminum sebanyak-banyaknya, dengan harapan aku tidak perlu bangun lagi dan menghadapi hidup yang mengerikan ini.

    Aku mendongak menatap langit. Kali ini aku ingat perkataan Losta, orang yang menyambutku ketika aku muncul di depan gerbang Kastil.

    Ini adalah Kastil. Tempat dimana anda bisa merasakan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat tujuan akhir dari pengembaraan yang anda lakukan seumur hidup anda.

    Mungkin Losta memang benar. Kastil mungkin adalah tempat dimana aku seharusnya berada. Disana aku tidak pernah dianggap sebagai beban. Disana aku tidak pernah dianggap sebagai sosok yang tidak berharga. Mungkin....tempat itulah tempat yang selama ini kucari. Tempat dimana aku bisa hidup dengan tenang dan damai.

    Aku sudah tidak punya keraguan lagi sekarang. Aku ingin kembali ke Kastil.

    Masih sambil memandangi langit, aku melangkah maju melewati tepian gedung dengan mantap. Hal terakhir yang kurasakan adalah sebuah benturan keras dan tubuhku kembali ditelan oleh kegelapan.

    ****

    Ketika aku membuka mata lagi, aku tahu-tahu sudah berdiri di depan sebuah gerbang kayu besar dan tebal. Seorang pria tampak berdiri di depan gerbang itu sambil tersenyum.
    Aku hanya bisa berdiri terdiam dan memandangi gerbang besar itu.

    “Apa? Dimana ini?” tanyaku kebingungan.

    Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi padaku hingga aku sampai di tempat ini. Tapi aku tidak bisa mengingat apapun. Ingatanku nyaris putih bersih. Kalaupun ada yang bisa kuingat, itu hanyalah namaku sendiri.

    Melihatku yang tampak kebingungan, si pria misterius langsung tersenyum lebar. Sambil membungkuk, pria itu berkata dengan nada riang.

    “Selamat datang di Kastil kami, wahai pengembara yang tersesat. Silahkan masuk. Kami sudah menunggu kedatangan anda.”

    ****
    ~FIN??~

    ©red_rackham 2012
    A tribute to Le Chateau de Phantasm
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Feb 27, 2012
  12. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    komentar buat "Selamat Datang di Kastil Kami"

    Two Thumbs Up!

    Fict nya benar2 keren, hebat2. Kayaknya ga ada kekurangannya. Penulisannya bagus, enak dibaca, memancing rasa penasaran terus menerus.

    semoga berhasil deh!
     
    • Thanks Thanks x 1
  13. Heilel_Realz012 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2011
    Messages:
    811
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +826 / -0
    ok wa coba komen dari segi story... [​IMG]
    klo tata bahasa biar yg lain yg komen (sebab bagi wa cerita itu adalah core dari fiksi itu sendiri.)

    warning! ini komentar pribadi. sakit jantung, luka dihati, ataupuin demam mungkin terjadi setelah membuka spoiler.

    another dimension or rabbit hole...? manifestasi dari kehidupan setelah mati. kastil.
    kehidupan baru dipenuhi fantasy.. atau kehidupan realita dengan berbagai macam hal yang membuat tokohnya depresi.
    makna yg wa dapet.. seperti memberikan pilihan diantara kehidupan nyata dan kehidupan dalam angan.

    gk buruk ceritanya... tapi jujur wa gk nemuin rasa berkesan dari fictnya.
    untuk wa terlalu plain untuk menceritakan kegundahan sosok manusia yg menganggap dunia itu "kejam" dengan melihat kondisi dirinya rapuh dan tidak berguna.

    walau begitu, sisi positifnya wa bisa dapet contoh juga gimana red nulis sosok yg depresi dalam fict ini. [​IMG]
     
    • Thanks Thanks x 1
  14. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :malu:

    Ah....ga mungkin ga ada kekurangannya. Pasti ada deh.

    Anyway....thanks :top:

    :top:

    Yeah~! Ini yang saia tunggu. Cabe!

    Nah. Itu dia yang sebenarnya saia rasakan juga setelah cerpen ini selesai saia buat. Itu feel yang saia akui kurang saia gali. Padahal ini cerpen udah cukup panjang (>3000 kata; biasanya saia batasi cerpen saia dibawah 3000 kata), tapi saia gagal mengeksplore kegundahan dan kekejaman hidup si karakter utama.

    :swt:
     
  15. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    hmm apa yah, mungkin yang janggal itu pas si hantu awalnya mencegah saya untuk masuk ke kastil, trus kemudian pada bagian akhir malah mencegah saya untuk kembali ke rumahnya?

    alasannya kayaknya agak ga masuk akal...
     
    • Thanks Thanks x 1
  16. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Ah! I see...heum....bener juga ya.
    Ntar saia coba rombak dikit. Moga2 masih dalam limit karakter di Goodreads.....soalnya ini cerita udah hampir mentok 24.000 karakter (menurut hitungan posting di Goodreads) :swt:
     
  17. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Dari saia

    Oke, pertama saia mau ngebahas dari segi penulisan dolo. Struktur penulisan na cukup bagus dan rapi sehingga cerita na mudah dimengerti, habis itu penggambaran latar na juga cukup hidup, lumayan lah.

    Plot cerita yang disajikan juga cukup jelas dan pas saia membaca dari awal hingga akhir memang ada sense-of-surprise na, sekali lagi, lumayan.

    Saia sih gak tau apakah cuman saia aja tetapi ada lumayan banyak hal yang membuat saia agak kurang tertarik pada fic ini. Kurang lebih kesan saia rada2 mirip ama apa yang dituturkan oleh agan Heilel, saia ga terlalu berkesan ama ide cerita na, habis itu menurut saia deskripsi na rada plain juga sih. Tanpa penjelasan yang mendetil langsung tiba2 lompat ke bagian berikutna.

    Habis itu sorry yah, mungkin ini rada nggak enak. Ide cerita na itu ga terkesan orisinal buat saia, dalam artian saia udah cukup banyak nemuin yang feel na kek ginian, rada serasa kurang realistik, mungkin lebih ke arah khayalan yang terkesan agak childish, tetapi overall lumayan layak baca, meskipun ujung2 na bukan preferensi saia :haha:

    Hal yang paling menarik buat saia telisik adalah bagian klimaks dimana sang Protagonist, yang menurut saia karakter na rada kurang developed...tiba2 aja teringat ama ingatan masa lalu na habis itu langsung bunuh diri lompat gedung gitu aja, rada plain sih. Rasanya kurang depressed gitu menurut saia, kalo mau dibikin twist bisa aja 'kan dia terus ngamuk habis itu menghancurin barang2 di kamar sambil berteriak psycho diiringi narasi yang memilukan hati, habis itu biar lebih terasa nusuk lagi fic na, mungkin dia bakal nge-mindbreak diri na sendiri dengan menenggak pil2 tsb secara berlebihan sampai ujung2 na dia muntah darah terus mati tersungkur di kolam darah gitu...trus dibumbui dengan gejolak emosi yang isina penuh hal2 gila dan destruktif. Maaf apabila ada hal2 yang kelewat sadis di sini ya, cuman saia rasa itu lebih realistik dan menggerakkan emosi :maaf:

    Ato yang lebih umum na dia cari benda tajam di antara gejolak emosi terus meyayat dirina sendiri sampai mati, habis itu dia bakal balik lagi ke starting point. Cuman ending yang balik ke kastil itu rasa na agak maksa juga sih...tapi menurut saia itu udah oke, lanjutkan terus perjuangan anda :top:

    Itu aja sih poin2 dari saia, semoga sukses dan saia yakin anda bisa berhasil, tetap semangat! :yahoo:

    Oh iya, ada tambahan lagi. Saia berani keras thd fic ini karena saia melihat adanya potensi besar yang sayangnya belum dikembangkan, apabila bisa diolah secara bener2 matang, saia jamin fic ini nantina bakal menjadi sesuatu karya seni yang bakal sulit ditandingi :onfire:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Feb 27, 2012
  18. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :top:

    Cabenya mantab.

    I see....kamu juga merasakan feel yang sama seperti saia sendiri dan bang Heilel soal cerpen ini. Ada perasaan 'ada sesuatu yang kurang' ketika membaca cerpen ini kan? Jujur saja, itu juga yg saia rasakan.

    Soal kurang detail.....well.....ini cerpen dengan batasan 24.000 karakter (bukan kata). Jadi sangat terbatas apa yang bisa dibuat detail. Jadi saia langsung bikin to the main point saja di cerita ini.

    Bagian yg di bold itu....heum.....bisa juga sih. Tapi menurut saia pribadi, kalau bagian dia depresi-karena-tahu-kehidupannya-kayak-neraka itu terlalu ditonjolkan, jadinya inti utama cerita ini jadi kabur dan kurang jelas (tema lomba: kastil yang bikin orang yang sekali masuk, tidak mau/terpaksa ga bisa keluar lagi). Lagian gore & depression mode dalam cerita itu adalah senjata bermata dua. Kalau dipakai berlebihan, orang akan jengah membaca ceritanya.

    Anyway....paragraf barusan itu cuma alasan saia ajah (aka ngeles mode:ON) :lol:

    Thanks karena udah mampir dan ngasih cabe. Saia sangat menghargai itu :top:
     
  19. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Oh begitu yah, ternyata banyak batasan juga dalam menulis fic itu, saia jadi tau :haha:

    Preference orang bisa beda juga sih, kalo menurut agan penggambaran seperti itu yang terbaik dan paling agan kuasai, ok deh :top:

    Ok sama2 gan, moga2 sukses buat lombanya ya :beer:
     
  20. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Naga Terakhir

    Pemandangan di sekitarku kabur karena lajuku yang begitu cepat. Seluruh dunia tampak melebur jadi satu dalam bayang-bayang dunia berkecepatan tinggi. Suara hembusan angin, raungan kemarahan, jerit kematian dan pekik kemenangan jadi berbaur jadi satu.

    Aku tidak bisa berpikir dan membiarkan instingku mengambil alih segalanya. Darahku bergejolak. Campuran antara takut, semangat, marah dan dendam. Terutama marah dan dendam. Marah karena dunia yang begitu aku cintai dihancurkan begitu saja. Dendam karena mereka yang menghancurkan duniaku masih hidup di dunia ini.

    Raungan kemarahan kulepaskan sembari menjulurkan kedua cakarku ke depan. Derak dan dentum mengerikan bergema ketika seranganku mengenai sasarannya. Tanpa ampun aku berputar dan merobek tubuh lawanku jadi dua, menumpahkan darah terkutuknya ke tanah di bawah sana.

    Masih belum puas, aku menarik nafas dalam-dalam kemudian melepaskan semburan api dahsyat untuk memanggang makhluk terkutuk yang baru saja kubunuh. Tubuh burung logam itu lumer dan terbakar habis selagi dia jatuh terhempas ke tanah.

    Aku lalu memandang ke sekelilingku. Langit masih dipenuhi burung-burung logam yang melesat kesana-kemari, membunuhi teman-temanku, bangsaku, kaumku. Aku meraung sambil mengepakkan sayapku, membawa tubuhku membumbung tinggi jauh diatas awan. Tapi segera aku menemukan diriku dikepung oleh puluhan burung logam dengan berbagai ukuran. Mereka berputar-putar ragu di sekeliling tubuhku, seakan sedang menunggu reaksiku sebelum mulai menyerang.

    Aku menyeringai dan memperlihatkan deretan gigi-gigi tajam yang berderet rapi di rahangku. Raungan kemarahan sekali lagi kulepaskan untuk menunjukkan kalau aku tidak sedang main-main. Akan kurobek dan kupanggang burung manapun yang nekat mendekatiku!

    Ancamanku rupanya manjur. Burung-burung logam itu tiba-tiba saja menyebar dan melesat tinggi ke atas sana, meninggalkanku sendiri di angkasa. Aku menyeringai puas. Ketakutan mereka adalah kepuasanku. Tapi untuk memastikan mereka tidak kembali lagi ke duniaku, aku akan mengejar dan memburu mereka sampai tidak ada lagi burung logam yang tersisa di langit ini.

    Sayangnya aku tidak sempat melakukan apapun. Seluruh dunia tiba-tiba saja berubah jadi serba putih dan hal terakhir yang kurasakan adalah sensasi panas luar biasa yang menyengat kulitku.

    Setelah itu aku hilang ditelan kegelapan.
    ****

    “Atagra! Bangun!! Atagra!!!”

    Suara itu membuat kesadaranku perlahan-lahan pulih, tapi hal pertama yang kurasakan adalah rasa perih menyengat di sekujur tubuhku. Aku mendongak dan menatap wajah yang begitu akrab bagiku.

    “Oigen? Apa yang terjadi?”

    Oigen menghembuskan nafas lega.

    “Kau jatuh dari langit dengan tubuh terbakar,” sahut Oigen. Dia lalu menengadah ke arah langit. “Aku tidak tahu apa yang terjadi barusan, tapi sepertinya para burung logam itu punya senjata baru. Ada bola api raksasa di muncul langit dan banyak dari teman-teman kita mati terbakar seketika. Kau beruntung bisa selamat.”

    Aku ikut mendongak dan tertegun. Jumlah bangsa kami yang masih gigih berjuang di langit sana sudah tinggal setengahnya, sementara jumlah burung logam yang menyerang mereka hampir dua kali lebih banyak.

    Aku menggeram marah sambil memukulkan ekorku ke tanah. Burung-burung logam itu memang tidak bisa dimaafkan!

    Setahun yang lalu mereka tiba-tiba saja muncul dari angkasa dan mulai menyerang bangsa kami. Kami tidak tahu apa alasannya, yang pasti tiba-tiba saja mereka mulai menghabisi siapapun yang mereka lihat. Walaupun tidak punya cakar untuk mencabik dan rahang untuk menggigit atau menyembur, tapi burung-burung logam itu bisa meluncurkan tongkat-tongkat aneh yang bisa meledak. Bahkan ada beberapa jenis burung logam penyembur sinar mematikan yang bisa membakar apapun yang dilewatinya. Meski enggan mengakuinya, tapi kami bukan lawan mereka. Selain tangguh dan berbahaya, jumlah mereka juga banyak. Jauh lebih banyak daripada kami.

    “Sial! Berapa banyak yang tersisa?” tanyaku pada Oigen.

    “Dua ratus? Mungkin kurang,” sahut Oigen geram. “Ini tidak bagus Atagra. Kita kalah jumlah dan jelas kalah kuat. Kalau begini terus kita bisa kalah lagi!”

    Oigen benar. Selama setahun perjuangan kami, belum sekalipun kami benar-benar menang melawan burung-burung logam itu. Hampir setiap perlawanan kami berhasil mereka redam. Terlalu banyak teman dan keluarga kami yang terbunuh ketika berusaha melawan burung-burung logam itu. Akibatnya banyak dari kami yang putus asa. Mereka pasrah ketika burung-burung terkutuk itu menukik dari langit dan mengambil nyawa mereka. Tapi tidak denganku, Oigen, dan banyak temanku yang lainnya. Kami masih gigih berjuang melawan para pembantai itu, meskipun dengan resiko kehilangan nyawa.

    “Kau masih bisa terbang, Atagra?”

    Oigen bertanya padaku sambil mengembangkan sayapnya yang lebar dan kuat. Aku tidak menjawab tapi ikut mengembangkan sayapku sendiri.

    “Ya. Kurasa aku masih bisa terbang.”

    “Bagus. Ayo kita mulai ronde selanjutnya! Jangan menyerah! Ini tidak akan berakhir sampai mereka semua mati!” seru Oigen sambil melesat ke angkasa.

    Aku mengangguk lalu mengikutinya. Dia benar. Aku tidak boleh menyerah sekarang! Perjuangan kami tidak akan berakhir sampai burung-burung terkutuk itu mati..........atau sampai kami semua mati.

    ****

    Segala sesuatunya berputar tidak karuan ketika aku terjatuh dari udara. Tubuhku yang besar dan berat membentur tanah dengan sangat keras, membuat hutan tempatku terjatuh jadi hancur berantakan. Pohon-pohon tumbang dan berserakan di sekitarku. Hewan-hewan hutan berlarian ke segala arah dengan panik dan ketakutan.

    Aku terbaring lemah di atas tanah sambil memandangi langit. Darah mengalir pelan dari luka-luka disekujur tubuhku, membuat sungai di dekatku jatuh jadi berwarna merah terang. Aku sudah tidak berdaya lagi. Kami kalah. Perjuangan kami sudah berakhir. Kami tidak bisa menang.

    Aku menoleh dan mendapati sosok Oigen yang sudah tidak bernyawa, terkapar di lereng gunung dekat tempatku terbaring. Separuh tubuhnya hilang akibat ditelan bola api raksasa yang kembali dilancarkan lawan kami. Tiba-tiba saja aku merasa iri karena dia sudah terlebih dahulu beristirahat dengan tenang, sementara aku masih hidup dan menderita.

    Aku kembali menatap langit. Kini sudah tidak ada lagi teman-temanku yang mengudara di atas sana. Yang ada hanya kumpulan burung-burung logam yang terbang berputar dalam formasi teratur, seolah-olah mereka sedang merayakan kemenangan mereka.

    Tiba-tiba sebuah burung logam melayang turun dengan perlahan. Melalui sebelah mataku yang tersisa, aku menyaksikan burung terkutuk itu menapakkan kaki-kakinya ke tanah. Dengan marah aku menggeram dan berusaha untuk bangkit. Sayangnya aku sudah tidak punya tenaga lagi, akhirnya aku hanya pasrah melihat makhluk berkilau itu menatapku dengan penuh kemenangan.

    Dengan kaget aku melihat perut burung logam itu terbuka dan ada sosok-sosok kecil keluar dari dalamnya. Aku sama sekali tidak tahu makhluk apa yang keluar dari burung terkutuk itu, yang pasti mereka kecil sekali. Tinggi tubuh mereka kira-kira hanya seukuran telapak tanganku dan mereka berjalan dengan dua kaki. Tubuh mungil mereka tidak dilengkapi sisik, sayap ataupun ekor, tapi kulit mereka tampak berwarna-warni hingga membuatku nyaris tertawa. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu yang terbuat dari logam dan mengacungkan benda itu ke arahku. Dari tatapan mata dan sikap tubuh mereka, aku tahu mereka takut padaku.

    Aku menyeringai dan memperlihatkan deretan taringku yang tajam, membuat makhluk-makhluk mungil itu melangkah mundur karena ketakutan. Tapi diantara mereka rupanya ada satu makhluk yang justru dengan berani melangkah ke arahku.
    Kemudian....tanpa terduga sama sekali....makhluk itu bicara dalam bahasaku.

    “Halo? Apa bisa kau memahami ucapanku?”

    Aku tersentak kaget. Logat bicara makhluk asing itu memang aneh dan sama sekali belum pernah kudengar sebelumnya. Tapi, ya. Aku memahami ucapannya.

    “Siapa kau?” geramku.

    “Namaku Moriyuki Enma dan ini adalah teman-temanku,” ujar si makhluk asing. “Apa kau punya nama?”

    Aku terdiam sejenak. Aku kagum dengan sikapnya yang tenang, padahal meski sedang sekarat seperti ini, jelas-jelas aku bisa menghabisinya dengan mudah. Hanya dengan satu sentakan ekor saja, riwayat makhluk bernama Moriyuki Enma itu akan tamat. Tapi aku memutuskan untuk tidak membunuhnya dan menjawab pertanyaannya. “Atagra. Keluarga dan teman-temanku menyebutku dengan nama Atagra.”

    “Salam kenal, Atagra. Sebelumnya aku harus benar-benar meminta maaf karena kami telah membuatmu jadi seperti ini. Maafkan kami. Kami tidak punya pilihan.” Moriyuki Enma tiba-tiba menundukkan kepalanya. Aku tidak paham apa maksud gerakan itu, tapi sepertinya itu gerakan meminta maaf.

    Tentu saja aku tidak akan memaafkannya. TIDAK AKAN PERNAH!

    Aku meraung sekuat tenaga sambil berusaha berdiri, meskipun tindakanku itu membuat lukaku bertambah lebar. Sambil menahan rasa sakit, aku melangkah maju. Hebatnya Moriyuki Enma sama sekali tidak takut dan masih berdiri di tempatnya dengan tegap.

    “Aku paham kau murka karena kami sudah melakukan banyak hal yang kejam pada rasmu. Tapi kau harus mengerti. Ini satu-satunya cara bagi kami untuk bisa hidup di planet ini. Keberadaan kaummu terlalu berbahaya bagi kami.” Moriyuki Enma kembali bicara tanpa sedikitpun menunjukkan rasa takut padaku. Padahal aku jelas siap melahap atau mencabik tubuhnya.

    “Kenapa kami harus mengerti?! Kalian gila!! Kalian kejam!!!” Aku meraung lagi sambil menunjukkan deretan gigi-gigiku yang besar dan tajam. “Memangnya kalian ini siapa?! Tahu-tahu datang ke dunia kami dan membunuhi bangsa kami!!! Keparat!!!”
    Aku ingin sekali menerjang ke depan dan menghabisi makhluk-makhluk mungil di depanku itu, tapi tiba-tiba aku limbung dan jatuh ke tanah dengan suara berdebam nyaring. Seluruh tubuhku terasa lemas. Aku tahu aku terlalu banyak kehilangan darah, sehingga aku hampir tidak punya tenaga lagi.

    “Atagra. Kami, Manusia, tidak punya pilihan lain kalau kami mau bertahan hidup di planet ini. Ras kalian, ras para Naga, adalah makhluk yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ras kami,” ujar Moriyuki Enma lagi. “Kau bisa lihat sendiri. Kami ras yang kecil dan lemah. Kami tidak punya cakar dan taring yang tajam, tidak punya sisik yang keras, tidak punya sayap untuk terbang, dan tidak bisa menyemburkan api. Kami lemah dan takut pada keberadaan kalian yang begitu kuat dan perkasa.”

    “Tapi itu bukan alasan tepat untuk menghabisi seluruh bangsa kami!!”

    Moriyuki Enma diam sejenak, kemudian kembali bicara, kali ini dengan suara lirih.

    “Aku tahu itu. Aku mengerti sekali kalau ketakutan kami bukan alasan tepat untuk menghabisi ras lainnya. Tapi kami tidak punya pilihan. Kalau kami tidak memusnahkan ras kalian, ras kalianlah yang akan memusnahkan kami.”

    Aku menggeram marah, tapi kemudian terbatuk-batuk. Ada darah yang keluar ketika aku batuk dan kepalaku langsung terasa berputar tidak karuan. Seketika itu juga aku tahu ajalku sudah nyaris tiba. Aku tidak akan bertahan hidup terlalu lama.

    “Terkutuklah kalian semua!” umpatku marah.

    “Kami memang terkutuk, tapi aku ingin mengubah itu semua,” balas Moriyuki Enma, tanpa terpengaruh ucapanku. “Atagra. Aku akan menyelamatkan nyawamu asal kau mau membantuku mengawasi dan mengendalikan kaummu. Kami sudah menyiapkan tempat tinggal baru untuk kalian. Sebuah tanah luas di timur benua ini. Sebuah tempat dimana kau dan kaummu bisa tinggal dengan damai, tanpa terganggu kehadiran kami.”

    Aku melotot ke arahnya dengan satu-satunya mataku yang masih tersisa. Tawarannya itu memang terdengar sangat bagus sekali. Tapi aku tidak akan percaya pada manusia itu, pada makhluk mungil dari perut burung logam yang telah membantai kaumku itu. Apa dia kira tawaran muluk seperti itu bisa membuat kemarahan dan dendam membara dalam tubuhku ini padam?! Apa kami mau menyingkir dari tanah ini? Tentu tidak!!

    Tanah ini adalah tanah kami. Tanah tempat kami tinggal. Tanah tempat kami akan dikubur dan menjadi satu dengan alam. Tidak ada satu makhluk pun yang berhak untuk mengusir kami dari tanah ini. Bahkan jika itu berarti ras kami harus musnah!

    “HAHAHAHAHAHAHA!!!”

    Tawaku terdengar membahana menembus kerimbunan hutan dan kesunyian pegunungan. Moriyuki Enma tampak terkejut mendengar tawaku yang menggelegar.

    “Omong kosong! Aku tidak akan percaya dengan ucapanmu! Daripada menyerahkan tanah ini pada kalian dan pergi, lebih baik aku membunuh kalian semua lalu mati dengan tenang!!”

    Tanpa mempedulikan luka-lukaku, aku bangkit dengan tiba-tiba dan menerjang maju ke depan. Manusia-manusia di hadapanku langsung berhamburan menyelamatkan diri, termasuk Moriyuki Enma. Dengan marah aku mengatupkan rahangku dan menghabisi nyawa beberapa makhluk mungil itu, lalu mengayunkan ekorku dan memastikan lebih banyak lagi Manusia yang mati karena ulahku.

    Mati! Mati! Mati! MA.....

    Tiba-tiba aku merasakan sensasi luar biasa panas dan menyakitkan dari pinggangku. Sekilas aku sempat melihat seberkas cahaya melesat ke arahku dari burung logam yang mendarat di dekatku. Dengan ngeri aku menyadari kalau tubuhku telah terbelah tepat di pinggang. Darah segar menyembur ke segala arah, membuat hutan di sekelilingku dihiasi dengan warna merah cerah.

    Seharusnya kini aku sedang menderita karena rasa sakit yang teramat dahsyat, tapi anehnya itu tidak terjadi. Yang ada justru perasaan damai. Di saat-saat terakhirku, aku melihat sosok mungil Moriyuki Enma berjalan menghampiriku. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku tahu dia terlihat sangat sedih karena terpaksa membunuhku.

    “Kenapa kau nekat menyerang kami? Padahal aku benar-benar ingin menyelamatkanmu dan kaummu!” seru Moriyuki Enma.
    Aku menyeringai pada makhluk mungil yang dinamakan Manusia itu.

    “Ini adalah tanah leluhur kami. Kami lahir, besar, dan mati di tanah ini. Tidak ada satupun makhluk yang berhak dan bisa memaksa kami meninggalkan tanah ini....” ujarku lirih. Perlahan-lahan kesadaranku mulai memudar dan aku tahu kalau aku akan segera mati. Sambil menyeringai lebar, aku melanjutkan perkataanku. “Kau tidak akan mengerti....tapi keturunanmu nanti mungkin akan mengerti.....”

    Sejenak tidak terdengar apapun, kemudian samar-samar aku mendengar Moriyuki Enma, si makhluk mungil terkutuk berbicara lagi kepadaku. “Kau adalah Naga yang luar biasa, Atagra. Kau benar-benar pantang menyerah hingga akhir hayatmu.”

    Aku mendengus kesal dan menatap langit. Samar-samar aku bisa melihat sosok Oigen, teman-temanku, dan keluargaku menatap ke arahku dari atas sana. Aku tahu ini sudah saatnya aku pergi. Sambil menutup mata, aku biarkan jiwaku melayang tinggi, pergi menuju tempat peristirahatan terakhirku yang jauh lebih tinggi dari awan diatas sana.

    ****

    Aku terdiam memandangi sosok reptil raksasa yang sudah tidak bernyawa dihadapanku. Sapuan sinar laser dari Kapal Tempur yang kunaiki sudah menghabisi nyawanya. Sesuatu yang terpaksa kuperintah untuk dilakukan karena dia telah menyerang kami.

    “Kapten Moriyuki, anda tidak apa-apa?”

    Salah seorang anak buahku bertanya dengan nada cemas.

    “Tidak. Aku tidak apa-apa,” sahutku. Kemudian aku berseru memberikan perintah pada anak buahku itu. “Panggil Kapal Medis! Ada banyak orang yang terluka parah disini!”

    Setelah melihat anak buahku mulai bekerja, aku lalu menghela nafas panjang. Perang antara ras Manusia dan para Naga sudah berakhir, tapi aku benar-benar tidak suka dengan hasil akhirnya. Dengan penuh penyesalan, aku mengepalkan kedua tanganku begitu erat.

    Atagra, naga yang baru saja tewas di hadapanku ini, adalah yang terakhir dari kaumnya. Kini Naga benar-benar punah dari planet ini dan akulah Manusia yang secara tidak langsung telah membunuhnya.

    ****
    ~FIN~
    red_rackham 2012

    Lama ga bikin cerpen kualitasnya jadi ANCUR!!!!! :onion-07:

    Also available in Red Sign Palace
     
  21. Nebunedzar M V U

    Offline

    No information given.

    Joined:
    Mar 7, 2009
    Messages:
    706
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +5,466 / -0
    Lho, itu cerpen terbaru bukan untuk entri FF' 12 tah? :???:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.