1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Info Opini-Opini Hot Media Massa Aceh

Discussion in 'Aceh' started by spinx04, Feb 16, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    Seperti judulnya, trit ini di rencanakan sebagai lapak share opini yang terdapat di media massa di Aceh. Hot di sini benar-benar merupakan penilaian subjektif, jadi boleh jadi menurut pensubmit info opini tersebut hot, sedangkan bagi yang lainnya biasa saja. Yang penting saling menghargai n jika ingin berkomentar, usahakan berisi dan bermanfaat ya :siul:
    *Kalo niatnya cuma mau nambah post, baiknya ga usah komentar aja :hoho:

    baiklah, share nya di mulai hari ini post ke-3, page 2 diisikan index opini agar mudah di akses di kemudian hari.

    RULE = Global Rule IDWS

    Additional rule:
    • Hanya boleh menggunakan bahasa aceh, indonesia, dan inggris [boleh di mix antara tiga tu]
    • Boleh minta translate komentar bahasa aceh

    rule2 tambahan akan di sesuaikan sambil jalan sesuai masukan dan kondisi :hihi:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    Last edited: Mar 16, 2012
  4. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    Jaga Malam

    Rabu, 15 Februari 2012 08:55 WIB
    Oleh Muhammad Heikal Daudy

    “Turunkan Status Jaga Malam”, demikian pernyataan Pj Gubernur Aceh Bapak Tarmizi A Karim, sebagaimana dimuat harian ini kemarin (Edisi Selasa 14 Februari 2012). Barang tentu, pernyataan tersebut mempunyai dasar argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi masyarakat Aceh, khususnya laki-laki, kegiatan “berjaga di malam hari” bukanlah hal baru. Bahkan, jauh sebelum sekarang gencar digalakkan kembali hampir di seluruh wilayah kabupaten/Kota di Aceh.

    Jaga malam bagi laki-laki dewasa di Aceh, sudah menjadi memoar yang sulit untuk dilupakan. Bahkan bukan tidak mungkin, banyak di antara masyarakat sendiri yang mengira bahwa jaga malam tersebut merupakan rutinitas yang wajib bagi masyarakat di Aceh, dan Warga Negara Indonesia pada umumnya.

    Dalam sejarah lokal Aceh, kegiatan jaga malam sangat populer di kala Aceh masih dalam situasi konflik bersenjata. Medio 1990-an, rutinitas ini sangat akrab bagi masyarakat di kampung-kampung, khususnya di wilayah pesisir timur Aceh (Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur). Alasan pemerintah pada saat itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam menjaga keamanan lingkungannya masing-masing dari ancaman “pengacau keamanan”.

    Karena itu pula, kemudian kegiatan jaga malam lahir sebagai “kebijakan” resmi kepala daerah bersama unsur Muspida setempat. Oleh karena sebuah kebijakan, maka berimplikasi menjadi aturan yang bersifat mengikat, ada pihak yang memberi perintah dan pihak yang diperintah. Posisi ini jelas tidak seimbang, bahkan menempatkan masyarakat dalam posisi dilematis.

    Disebut dilematis, karena masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit dan serba salah. Ibarat memakan ‘buah simalakama’. Apabila berhalangan atau tidak ikut jaga malam, maka ia harus bersiap-siap berhadapan dengan aparat keamanan. Bahkan yang paling ekstrem, ia tergolong warga yang patut dicurigai dan sampai harus menjalani “pembinaan khusus” di pos Satuan Taktis (Sattis).

    Di samping itu, rasa khawatir yang mendalam jelas menghantui setiap laki-laki di wilayah tersebut yang tiba gilirannya untuk berjaga. Bagaimana tidak, perasaan mereka selalu was-was karena dijadikan “tameng hidup” kalau-kalau peristiwa kontak senjata terjadi dan tidak dapat dielakkan. Praktis situasi semacam itu pun, menempatkan masyarakat sebagai korban. Alih-alih meregang nyawa karena peluru nyasar, minimal terkena tindakan disiplin ala militer, karena dianggap lalai dan ceroboh sehingga “pengacau keamanan” bisa masuk kampung.

    Kesiagaan warga
    Jaga malam dapat dinilai sebagai bentuk kesiagaan warga di lingkungan masing-masing, bahwa terdapat situasi keamanan yang bersifat genting atau darurat. Walaupun penilaian dan penetapan status tersebut, menjadi ranah pihak keamanan, dalam hal ini pihak kepolisian sebagai komponen Negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

    Untuk diketahui pula, situasi Kamtibmas menandai adanya gangguan dari dalam (semacam tindak kriminal biasa). Sebaliknya situasi darurat dengan status tertentu, sebagai akibat dari adanya potensi gangguan dari luar dan disintegrasi, menjadi tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Lalu kemudian, timbul pertanyaan dalam benak masyarakat, mengapa tugas-tugas polisional seperti jaga malam dibebankan kepada masyarakat? Atau jaga malam sebagaimana telah berjalan di sejumlah wilayah selama ini, merupakan indikasi dari adanya bentuk-bentuk gangguan keamanan dari luar biasa sebagaimana telah dijelaskan di atas?

    Kalaulah pendapat itu benar, pihak manakah yang patut dicurigai dan berpotensi melakukan gangguan tersebut. Maka penting dijelaskan secara resmi oleh otoritas setempat, yakni kepolisian daerah mengenai situasi keamanan di Aceh saat ini. Oleh karena secara kasat mata, Aceh saat ini dalam keadaan yang kondusif, damai dan bebas dari konflik apa pun. Kecuali pandapat masyarakat ini salah, dan situasi sebenarnya adalah sebaliknya, di mana kegentingan atau keadaan darurat hanya menjadi konsumsi internal elite keamanan dan pemerintah daerah semata.

    Persoalan jaga malam, saat ini dinilai lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Kenyataan di banyak tempat, bahwa jaga malam menjadi ajang bagi laki-laki Aceh untuk ghibah (mengumpat), dan menjadikannya sebagai media berjudi (domino atau peeh batee). Imej negatif pun melekat erat, celakanya kegiatan ini menjadi ajang transfer “tabiat buruk” oleh kalangan tua kepada remaja/pemuda usia 17 tahun yang sudah dilibatkan dalam kegiatan tersebut.

    Tidak heran, situasi ini apabila tidak segera dihentikan akan berdampak pada krisis moral dan kepribadian yang tidak berkesudahan sebagai ureung Aceh yang konon pemeluk Islam fanatik. Maka benar, pernyataan Pj Gubernur Aceh bahwa kegiatan jaga malam telah menimbulkan keresahan masyarakat. Bagaimana tidak, hampir mayoritas pos jaga di sejumlah wilayah di Aceh, bersisian dengan tempat ibadah semisal masjid atau meunasah, bahkan ada yang menjadikan tempat ibadah sebagai pos jaga.

    Tinggal sejarah
    Dalam konteks Ilmu Negara sekali pun, keharusan warga negara sebagai “penjaga malam” sudah tinggal sejarah. George Jellinek sebagai `Bapak Ilmu Negara” menjelaskan bahwa konsep “Negara Penjaga Malam” sudah lama ditinggalkan masyarakat dunia, karena konsep tersebut menempatkan sisi penguasa secara absolut sebagai pihak yang harus dilayani, dan menjadi ciri negara otoritarian, sebaliknya memposisikan warga negara sebagai pekerja atau pihak yang melayani penguasa.

    Berbeda halnya dengan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang mengilhami banyak negara-negara maju dan modern di akhir abad ke-19. Dalam konsep ini, penguasa merupakan pelayan masyarakat bukan sebaliknya, karena segala potensi yang dimiliki negara mulai sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), dikelola secara optimal oleh penguasa dan diperuntukkan dalam rangka mensejahterakan warganya.

    Di akhir tulisan ini, penting bagi semua pihak untuk tidak terjebak dan mencurigai rakyat. Imbauan jaga malam tanpa penjelasan yang rasional dengan urgensitas pelaksanaannya, dapat disinyalir bahwa Aceh belum aman, dan ini dapat berdampak luas terhadap berbagai sektor pembangunan yang sedang dirintis. Oleh karena itu, sebagai bagian utuh dari NKRI yang tertib, aman dan damai, kebijakan yang bersifat ‘imbauan’ ini perlu ditinjau kembali.

    * Penulis adalah Aktivis Pemuda Dewan Dakwah Aceh, berdomisili di Banda Aceh.

    Editor : bakri

    Source: http://aceh.tribunnews.com/2012/02/15/jaga-malam


    Komentar aq:
    gila dah, jadi kerja polisi di aceh ngapain aja? tentara di aceh ngapain? :panda:
     
    Last edited: Feb 16, 2012
  5. mu_kun Regional Leader

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 17, 2010
    Messages:
    4,029
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +244,472 / -0
    Perempuan dan Bahasa Tubuh
    Minggu, 11 Maret 2012 09:07 WIB


    Oleh Anton Sabang

    Dalam khazanah “bahasa tubuh”, sebuah model komunikasi impersonal, tari menjadi bagian penting untuk dibincang. Tubuh menjadi sarana pengucapan dalam menyusun dan menemukan “kata dan kalimat” melahirkan sebuah “teks tubuh”, berwujud tarian. Scara tradisi sangat boleh dialihwariskan pada generasi berikut, sebagai usaha melestarikan sikap dan cara pandang sosial suatu masyarakat.

    Perancis sudah melahirkan Noverre (1727), Amerika sudah menasbih Martha Graham (1894). Indonesia tak mau kalah, mencatat sejumlah nama semisal Gumiati Suit (Minangkabau), Retno Maruti (Solo), Elly D. Luthan (Makasar). Mereka adalah para penari, peñata tari, koreografer, dan perempuan-perempuan hebat. Mereka mampu menembus batas-batas “tubuh”, mengolah dan mencari gerak, hingga keluar dari kekangan ruang dan waktu, menyejarah dan sampai hari ini terus dikenang meski tak semua menjelma ikon seni tari nasional untuk dirayakan setiap tahun. Mereka mendobrak batas-batas “tubuh” dari cengkeraman identitas dan tradisi pertunjukan tari serta membebaskan gerak dari konstruksi budaya dan doktrin agama. Memperluas pengertian “tubuh” menjadi suatu yang beda, komunikatif, dan luas daripada sekadar dipahami secara biologis atau anatomi kedokteran.

    Apakah Aceh telah melahirkan koreografer perempuan? Mengapa dalam sejarah pergulatan sejarah “bahasa tubuh” atau seni tari selalu dominan peran kaum laki-laki? Jika tidak salah, seni tari Aceh cuma sempat melahirkan (almarhum) Yusrizal di tahun 60-an. Beberapa karya tarinya masih dipakai setidaknya sejak Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) pada 1972 sampai hari ini. Dari zaman tarian tradisi-klasik seperti Saman dan Seudati hingga era tari “kreasi-baru” seperti Ranup Lampuan, Beusare-Sare, Guel dan lainnya, Aceh tak sekali pun pernah melahirkan seorang koreografer perempuan.

    Padahal, awal perkembangan Islam pada abad 14 M di Aceh, kesenian merupakan media ampuh bagi syiar Islam. Lewat syair, hikayat, musik rapai dan tarian, dakwah Islam disebar hingga masyarakat pelosok Sumatera secara damai. Namun kala itu eksistensi koreografer perempuan cenderung tidak mendapat ruang. Sejarah tari Likok Pulo, Rabbani Wahet, Rapai Geleng, Seudati, Saman, dan semacam itu menunjukkan pada kita bahwa peran laki-laki sebagai aktor utama begitu dominan dalam berbagai aktivitas estetik yang bersifat religius. Peran laki-laki terbuka bebas dalam berbagai interaksi sosial, juga aktivitas kesenian.

    Keterbatasan peran kaum perempuan dalam dunia tari berkait erat dengan berbagai kepentingan sosial, politik, dan agama. Modus ini dilegalkan dalam konstruksi sistem lembaga budaya dan agama. Kaum perempuan cenderung dikucilkan ketika mereka mulai tumbuh dewasa dan alat reproduksi mulai berfungsi. Kondisi biologis semacam ini menjadi sebentuk proses awal pengucilan kaum perempuan dalam rumah. Status “jorok” atau “sakit”, karena itu perempuan harus dijauhkan dari berbagai interaksi sosial, budaya bahkan agama.

    Secara tersirat, dalam ruang sosial maupun personal yang bersifat sakral (ibadah), wanita selalu diberi rambu batasan untuk ruang gerak. Karena wilayah ini merupakan hak dan tanggung jawab laki-laki. Lain hal di ruang privat (keluarga), kaum perempuan berposisi seperti pengabdi, patuh pada otoritas suami dan anak. Situasi seperti ini menyebabkan aktivitas kaum perempuan menjadi terisolasi, hingga legalitas kepemilikan dunia tari pun dikuasai oleh kaum laki-laki.

    Tambahan lagi, tidak lahirnya seorang penari dan koreografer perempuan Aceh juga banyak disebabkan oleh mitos. Mitos “darah kotor” dalam pranata sosial merupakan mekanisme normatif untuk mengekang dan membatasi peran perempuan agar tidak menggugat kuasa laki-laki. Sampai hari ini, mitos tersebut direproduksi dalam berbagai aktivitas estetik saat mana kaum perempuan ingin menjadi pencipta tari. Mitos ini pun seolah sakral, menjadi pegangan dan pola laku tindakan keluarga dan masyarakat dan lamat-lamat meluas secara sadar menjadi suatu konvensi sosial bahwa wanita dewasa tabu untuk menjadi seorang koreografer. Tabu ini telah berabad-abad dipelihara hingga menjadi suatu keyakinan.

    Fanatisme masyarakat terhadap mitos tersebut kemudian membuahkan satu sikap sosial di masyarakat bahwa menjadi koreografer bagi perempuan dewasa adalah pekerjaan sia-sia dan tidak bermanfaat. Kondisi ini memicu keluarga, orang tua atau kerabat dekat tidak membiarkan anak perempuannya bila sudah tumbuh dewasa menjadi seorang penari atau koreografer. Menari dan mencipta tari identik sebagai “penghibur” tak terhormat. Apalagi ia sudah menikah. Latar pendidikan juga sangat menentukan lahirnya koreografer perempuan. Faktor pendidikan yang rendah membuat eksisistensi kaum perempuan sebagai pencipta tari dan penari perlahan-lahan hilang lalu mati.

    Kondisi ini semakin memperburuk peran kaum perempuan dalam dunia tari. Ditambah dengan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya tari, berbias pada harapan ekonomis. Menjadi seorang penari dan koreografer bagi kaum perempuan tidak bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Mencipta tari ataupun menjadi seorang penari tidak dapat dijadikan pegangan kebutuhan ekonomi keluarga, sia-sia, menguras energi, dan pikiran. Disamping itu gagalnya partisipasi kaum perempuan Aceh dalam dunia tari ditunjang oleh sikap pemerintah yang kurang apresiatif terhadap karya-karya kaum perempuan. Akibatnya, seorang perempuan kehilangan motivasi untuk terus eksis sebagai koreografer atau penari. Jika dicermati dari tahun 1990-2000-an hingga pascatsunami, masih sedikit ruang kreatif atau panggung yang terbuka untuk seorang koreografer perempuan untuk menggelar karya tari serius. Dan kita hanya menyaksikan beberapa pertunjukan karya tari hasil karya koreografer laki-laki yang justru mengangkat tema perempuan, menggambarkan heroisme peran perempuan di masa kolonial dan mengangkat permasalahan gender dalam dunia modern.

    Menjadi koreografer harus memiliki keberanian terkait daya cipta, rasa, dan karsa. Dengan sarana teknis, ia dapat menyuarakan berbagai nilai hidup. Kaum perempuan adalah aktor yang memiliki kelebihan dalam “olah rasa” untuk jujur menyuarakan soal-soal kehidupan dan beragam citra kemanusiaan dan lingkungan. Ia akan menjadi juru kunci untuk membuka sejarah “matinya tubuh”. Dengan lahirnya koreografer perempuan, kita berharap publik dapat merenung, menilai, bersikap dan bertindak menata kembali kehidupan ke arah lebih baik. Kita berharap koreografer perempuan dapat menjadi peramu sekaligus penemu dunia “tubuh baru” yang diam-diam membongkar mitos-mitos sosial. Koreografer perempuan memberi peluang masyarakat untuk menjelajahi dan menyusup jauh ke dalam “dunia asing”, dalam proses pencarian bahasa-bahasa tubuh yang hilang selama ini, mengembangkan dinamika gagasan kreatif, artistik, yang pada gilirannya mampu menemukan identitas, karakter serta ideologi sosial.

    Pada puncak penghayatan gerak tarian dalam karya, ketika kian tinggi maqam seni, semakin dekat “Ia” dengan kita. Karena “Ia” merupakan refleksi dari yang tak tertangkap indrawi, ada dibalik sana dan tak memerlukan jarak apa pun dengan kita: Aku bergerak maka aku ada.

    * Anton Sabang, Penikmat dan Pengamat Tari di Aceh

    Editor : bakri

    source : http://aceh.tribunnews.com/2012/03/11/perempuan-dan-bahasa-tubuh


    dari pengalaman, kawan kawan perempuan satu perjuangan dari naggroe, memang malas utk belajar tari.
    kami punya tim rapa'i di sni, dan dari 2 tahun yang lalu diwacanakan utk dibuatnya tim tari perempuan.
    tapi perempuan ya gitu, gak ada yang mau belajar tari,
    pdhal di kota orang ini, kita bisa mengenalkan budaya aceh.
    yang tertarik sama rapa'i aja lo rame,

    belajar tari aja gak mau, gmna mau jadi koreografer.
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Mar 13, 2012
  6. mu_kun Regional Leader

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 17, 2010
    Messages:
    4,029
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +244,472 / -0
    Inong Aceh Jameun Jinoe
    Kamis, 8 Maret 2012 10:04 WIB


    Oleh Arifin S

    DALAM beberapa tahun terakhir ini, inong Aceh selalu menjadi sorotan publik. Sorotan ini tidak terlepas dari adanya yang tidak “beres” lagi dengan inong Aceh jameun jinoe (perempuan Aceh zaman sekarang), yang dalam konteks ini adalah berubahnya citra dan marwah inong Aceh dari nilai-nilai Syariat Islam.

    Banyak orang yang beranggapan bahwa sebagian inong Aceh sekarang sudah menjelma menjadi inong Aceh modern, yang dalam hal ini adalah modern yang sudah di luar kewajaran. Melihat fenomena tersebut, pantaslah bahwa ada anggapan miris dan sorotan negatif terhadap inong Aceh jameun jinoe.

    Sudah mewabah
    Secara garis besar sorotan tersebut antara lain: Pertama, memakai baju dan celana ketat, bukanlah budaya yang tidak lumrah lagi bagi inong Aceh jameun jinoe, seakan-akan itu hal biasa, dan tidak asing lagi di Aceh. Trend inilah sekarang yang sudah mewabah pada inong Aceh jameun jinoe. Tidak hanya anak gadis, tapi juga sebagian ibu-ibu atau perempuan paruh baya.

    Kedua, rebonding atau peutepat ôk (meluruskan rambut), memang lagi marak-maraknya sekarang dan sudah membudaya pula di kalangan inong Aceh. Dalam perspektif sebagian inong Aceh jameun jinoe, kalau rambutnya tidak di-rebonding, maka dia akan malu dengan rekan kerjanya atau temannya yang lain.

    Demi mempertahankan martabatnya sebagai wanita karir dan sebagai wanita yang ingin mendapat atensi lebih dari publik, maka dia rela mengorbankan rambutnya yang alami menjadi bahan invansi alat rebonding. Sunggguh manusia tidak mensyukuri lagi apa yang telah Allah swt anugerahkan kepada hamba-Nya.

    Ketiga, nongkrong atau ngumbar (ngumpul bareng) di tempat orang khalayak ramai, atau duk-duk di keudè kupi (duduk-duduk di warung kopi) sudah menjadi salah satu trend baru inong Aceh jameun jinoe. Trend ini berkembang seiring dengan banyaknya tersedia keudè kupi atau tempat-tempat publik lainnya di Aceh.

    Apalagi sekarang sudah berlaku kesetaraan gender antara lelaki dengan perempuan, alasan inilah yang mendorong inong Aceh jameun jinoe semakin pede untuk terus berupaya guna mendapat hak yang sama seperti ureung agam. Dengan menyandang predikat inilah, tidak jarang kita lihat inong Aceh jameun jinoe juga ikut berperan aktif cang panah di warkop.

    Keempat, karir. Di mana seorang wanita sudah menjadikan karirnya sebagai prioritas utama, sedangkan hal yang wajib yang seharusnya diemban oleh seorang perempuan, seperti, mengurus suami, keluarga sudah menjadi prioritas cadangan. Padahal, mengurus suami atau keluarga adalah hal yang wajib bagi seorang perempuan, sedangkan mengenai nafkah itu tanggung jawab suami.

    Tapi di era sekarang ini sudah terbalik, banyak kaum lelaki kini berperan di sektor domestik, padahal posisi domestik ini seharusnya diduduki oleh perempuan. Ini terjadi karena kurangnya waktu luang si istri, sang istri begitu sibuk di tempat dinas atau tempat kerja. Belum lagi dengan jadwal tambahan alias lembur, jadi mau tidak mau si istri harus menghabiskan sebagian waktu malamnya di tempat kerja.

    Kelima, imitasi atau meniru sesuatu. Imitasi dalam konteks ini adalah meniru gaya orang lain yang kemudian diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Meniru gaya orang sebenarnya lumrah-lumrah saja, dengan catatan ada batasan-batasan yang bisa kita pertimbangkan dan tentunya sesuai dengan kultur dan budaya daerah kita yang mencerminkan Syariat Islam.

    Bukan meniru gaya orang yang bisa merusak nilai-nilai moral yang berefek negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Seperti imitasi yang paling teraktual saat ini adalah banyak inong Aceh yang meniru gaya selebritis.

    Realitas sehari-hari
    Problema di atas merupakan realitas sehari-hari yang sudah terlihat dengan kasat mata. Sungguh sangat disayangkan apabila budaya itu akan terus berlanjut dan berkembang di Nanggroe Seuramoe Mekkah ini. Bukan mustahil apabila budaya itu nantinya akan terwarisi ke generasi selanjutnya.

    Coba bayangkan apa yang akan terjadi nanti dalam beberapa puluh tahun yang akan datang pada anak dan cucu kita dengan warisan budaya gelap yang kita tinggalkan pada mereka, dan apa yang akan terjadi dengan mereka terjadilah. Tidak tertutup kemungkinan Aceh ini akan masuk dalam jurang kegelapan. Na’uzubillah summa na’uzubillah.

    Melihat fenomena tersebut, pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam telah menyusun langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi pengaruh negatif budaya luar, antara lain dengan mensosialisasikan penerapan Syariat Islam, melakukan razia (sweeping) di tempat keramaian, dan sweeping yang memakai baju ketat.

    Akan tetapi, sejauh ini strategi seperti itu belum menunjukkan hasil yang maksimal, implementasinya terkesan cilèt-cilèt dan belum merata. Harus diakui, bahwa memang sulit untuk mengaplikasikan tuntutan Syariat Islam pada masyarakat, jika hal ini tidak dibarengi dengan tumbuhnya kesadaran pada masyarakat itu sendiri.

    Boleh jadi, Dinas Syariat Islam sudah bekerja maksimal dalam mengupayakan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjalankan Syariat Islam ini. Namun, ke depan kita harapkan agar kinerjanya lebih ditingkatkan lagi secara intensif dan mengevaluasi ulang sejauh mana sudah implementasi Syariat Islam di Aceh.

    Tidak cukup melalui razia untuk melaksanakan Syariat Islam di Aceh, tapi perlu keterlibatan berbagai pihak dan semua elemen untuk sama-sama menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjujung tinggi nilai-nilai Syariat Islam. Baik itu pihak keluarga, ulama, guru, teungku, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pihak-pihak lainnya.

    Seiring dengan itu, kita mengharapkan pula agar berbagai pandangan dan sorotan negatif terhadap inong Aceh jameun jinoe, berganti menjadi inong Aceh yang shalihah. Inong Aceh idaman, yang menjunjung tinggi adat budaya Aceh yang bersendikan pada nilai-nilai Syariat Islam (red). Semoga!

    * Arifin S. adalah Mahasiswa Program Gurdacil, Jurusan PBSI Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.

    Editor : bakri

    sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/03/08/inong-aceh-jameun-jinoe


    ini hal yang buat aku kaget sepulang dari Medan, beberapa tahun setelah tsunami.
    kalo masih di aceh, bisa dibilang belum separah inong aceh diluar aceh (sesekali jalan ke luar kota).
    malah aku sampe jadi bahan ejekan krna kelakuan anak perempuan aceh.
    pdhal aku sma skali gak kenal dia.
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Mar 13, 2012
  7. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    komentar untuk opini Inong Aceh Jameun Jinoe

    memang sangat menyedihkan melihat kondisi inong2 aceh yang sekarang ni sebagian udah meninggalkan syariat, menyedihkan sekaligus menjijikkan :panda:

    aq secara pribadi juga ga tau sejak kapan ini terjadi n sejak kapan masyarakat daerah kita terlalu latah dengan perubahan yang merusak. entah sejak kapan sensor syariat mulai hilang dari pribadi anak2 muda daerah, bahkan sebagian orang tua juga ga ngelarang...dasar orang2 tua gila :sigh: [tunggu ntar sama2 di seret ke neraka]
     
    Last edited: Mar 16, 2012
  8. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    lain daerah lain adat bro :hoho:
    kalo di aceh ya cocok nya di gitukan, kepala batu :hehe:
     
  9. komikb4 M V U

    Offline

    Rockstar

    Joined:
    Jul 22, 2010
    Messages:
    36,932
    Trophy Points:
    176
    Ratings:
    +9,943 / -0

    [paling kaget waktu Putri Indonesia yang ikut di Miss Universer berasal dari Aceh :keringat:]
     
  10. mu_kun Regional Leader

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 17, 2010
    Messages:
    4,029
    Trophy Points:
    211
    Ratings:
    +244,472 / -0
    Berpuasa Rokok

    Berpuasa Rokok
    Sabtu, 11 Agustus 2012 12:36 WIB

    Oleh Rizanna Rosemary

    RAMADHAN adalah bulan suci yang istimewa, bukan hanya karena umat muslimin diwajibkan berpuasa sebulan penuh dengan imbalan limpahan pahala dari Allah swt bagi yang menjalankannya, tapi bulan ini juga telah memberikan warna tersendiri bagi masyarakat, khususnya umat Muslim di Aceh. Meminjam istilah seorang teman, di bulan puasa semua ‘mendadak religius’. Terlihat banyaknya ibadah yang dilakukan kaum Muslimin di bulan ini (baik habluminallah dan habluminannas) dibandingkan bulan-bulan lainnya; lingkungan sekeliling juga mendukung semangat religius tersebut, seperti program acara televisi dan radio yang sengaja menambahkan muatan acara bertemakan Islam, baik dalam bentuk ceramah, talk show, quiz Ramadhan, hingga program acara menjelang sahur yang hampir semuanya bertujuan syiar Islam.

    Tak terkecuali, billboard besar berisi ucapan selamat berpuasa dari beberapa kalangan petinggi provinsi, spanduk-spanduk besar berisikan pesan menghormati bulan suci ini dari berbagai instansi, dan bahkan tidak ketinggalan spanduk-spanduk yang disponsori produk rokok pun (LA Lights) yang menyuarakan slogan positif: “Jadi Lebih Asyik Kalo Puasanya Lengkap-Selamat Berpuasa”, yang dapat ditemukan setiap sudut kota. Ironisnya, spanduk tersebut terlihat dan ditemukan berdampingan dengan spanduk rokok komersial (Score Mild), yang bertujuan menginformasikan dan memasarkan sebatang rokok yang senilai dengan harga satu permen (500 rupiah).

    Kawasan bebas rokok
    Perang pesan dan pendapat antara yang pro dan anti rokok terus terjadi, dan saat ini terlihat pesan-pesan yang mendukung rokok (iklan-iklan rokok khususnya) lebih mendominasi daripada pesan yang menolak rokok atau yang mengusung perlunya pengendalian rokok di Aceh. Namun isu rokok yang terkesan ‘tidak populis’ ini sudah mulai mendapatkan perhatian berbagai kalangan di Aceh, baik kalangan pengambil kebijakan, organisasi profit, dan bahkan lingkungan akademisi. Gubernur Aceh terpilih, Doto Zaini Abdullah, dengan sangat yakin dan berani telah mengawali kerjanya dengan mendeklarasikan Kantor Gubernur sebagai kawasan bebas asap rokok. Inisiasi beliau tersebut diwujudkan secara konkret dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor: 338 / 18186 tentang Larangan Merokok dalam Ruang Kerja dan Gedung Kantor, tertanda 5 Juli 2012 .Beberapa peringatan tertulis pun sudah tersebar dalam area kantor gubernur tersebut.

    Kalangan industri swasta, yakni hotel Hermes, juga telah melakukan gebrakan positif terkait isu rokok, dengan mencanangkan kawasan hotel hermes sebagai No Smoking Area, pada tanggal 21 Juli 2012 yang berdasar pada UU kesehatan 2009 Pasal 115 ayat 2, dan Peraturan Walikota Banda Aceh No. 47 Tahun 2011. Tanda larangan merokok pun ditemukan di lobby hotel, outlet-outlet hotel, dan area dalam hotel lainnya, kecuali di lingkungan kolam renang dan area terbuka hotel. Terakhir, dari kalangan akademis, khususnya diinisiasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Syiah Kuala, telah mencuri ‘start’ kebijakan level Unsyiah dengan mengambil langkah konkret dan menyatakan FK sebagai ‘kawasan bebas rokok’; tanda-tanda ‘no smoking area’ dapat ditemukan diberbagai tempat, dari sejak pintu masuk fakultas tersebut.

    Sepatutnya didukung
    Semua terobosan yang mendukung pengendalian konsumsi rokok, seperti pencanangan smoke free area tersebut sudah sepatutnya diapreasiasi dan didukung bagi tercapainya implementasi yang maksimal, khususnya Aceh yang bersih dan sehat dari asap rokok. Walau beberapa pihak barangkali masih menganggap peraturan tersebut hanyalah simbol-simbol yang tak akan punya arti banyak tanpa adanya penerapan dan penegakan hukum konkret, berupa sanksi bagi yang melanggar. Namun, penulis optimis bahwa dengan semakin banyaknya euphoria penetapan smoke free area, suatu saat akan mempunyai dampak positif bilamana dilakukan secara masif, sistematis, dan konsisten.

    Simon Chapman (2010), menyebutkan bahwa di negara Amerika dan Eropa, eks-perokok yang berhasil berhenti merokok tanpa bantuan/terapi (unassisted smong cessation) adalah lebih banyak dibandingkan mantan perokok yang berhasil berhenti atas bantuan (assisted smoking cessation) baik melalui terapi medis maupun penggunaan ********** pengganti nikotin/NRT (Nicotine Replacement Therapy). Rata-rata yang berhasil berhenti merokok tersebut karena faktor dorongan dalam diri (kesadaran diri). Chapman menambahkan khususnya untuk negara-negara berkembang (seperti Indonesia), assisted smoking cessation adalah kurang relevan dibandingkan dengan unassisted smoking cessation, mengingat biaya operasional terapi dan alat NRT yang sangat mahal, dan sulit terjangkau oleh perokok di Indonesia yang mayoritas dari kalangan masyarakat miskin.

    Selain itu Klingemann (2009) menyebutkan bahwa self-change (perubahan dari diri sendiri), merupakan kontributor utama dalam perubahan perilaku seseorang terkait kesehatan, seperti merokok. Berangkat dari dua informasi tersebut, penulis berasumsi bahwa puasa dapat menjadi medium bagi upaya berhenti merokok tanpa bantuan (unassisted smong cessation), karena tujuan berpuasa menurut Islam adalah mencapai derajat takwa, yang hanya mungkin tercapai dari dalam diri (internal).

    Menurut Ghouri (2009), salah satu perwujudan takwa berupa upaya mengurangi resiko dan dampak buruk pada diri individu dan masyarakat, dan sebaliknya upaya untuk memaksimalkan kesejahteraan diri individu dan kolektif. Walau masih terdapat kontroversi tentang halal dan haramnya rokok, namun secara umum rokok diakui lebih banyak mengandung kemudharatan (kerugian) dibandingkan kemashalatannya (manfaat).

    Sanggup tidak merokok
    Di bulan puasa ini, umat Muslim diwajibkan untuk menahan makan, minum (termasuk merokok), dan berhubungan suami-istri selama setengah hari penuh. Belum adanya penelitian khusus yang melihat dampak berpuasa dengan upaya berhenti merokok seseorang, namun dengan melihat kemampuan para perokok yang sanggup tidak merokok selama kurang lebih 14 jam, maka dapat diprediksi bahwa mereka juga telah berhasil mengurangi konsumsi rokok regularnya.

    Wawancara informal dengan seorang perokok aktif menyebutkan, biasanya ia merokok 4-5 bungkus rokok perhari, namun selama puasa, ia hanya menghabiskan 1 bungkus rokok bahkan kurang, dari saat berbuka hingga menjelang sahur. Walaupun tidak bisa digeneralisasi untuk semua perokok, tapi pengalaman perokok tersebut setidaknya dapat menunjukkan adanya pola perilaku merokok di bulan puasa yang cenderung berkurang. Pola ini seharusnya menjadi perhatian serius para akademisi, peneliti, dan juga pengambil kebijakan untuk dapat menghasilkan kebijakan yang dapat mendukung dan mengakomodir upaya perokok untuk berhenti merokok.

    Perubahan internal, dari dalam diri (self-change) memang tidak mudah dilakukan tanpa adanya bantuan dan dukungan eksternal. Oleh karena itu, upaya-upaya eksternal yang telah dilakukan dalam upaya mendukung pengendalian konsumsi rokok di Aceh (seperti smoke free area) perlu terus diapreasiasi, didukung, dan diimplementasikan bersama-sama secara maksimal. Dengan memanfaatkan momentum bulan suci Ramadhan ini, marilah kita turut mendukung dan membantu berpuasa rokoknya saudara-saudara kita perokok dengan berbagai cara yang mengedepankan spirit Ramadhan yang penuh keberkahan dan kasih sayang. Selamat berpuasa dan salam tanpa tembakau!

    * Rizanna Rosemary, M.Si, MHC, Staf Pengajar Ilmu Komunikasi FISIP Unsyiah, dan Direktur Center for Tobacco Control Studies (CTCS)

    Editor : hasyim
    sumber


    Komentar aku :
    1. aku sih setuju dengan area bebas asap rokok, tpi ingat, klo peraturan udh diberlakukan, tolong peraturan itu dijaga dengan baik baik.
    2. memang dari pagi sampe buka puasa itu rokoknya puasa, tpi wktu buka puasa, hbs mnum langsung isap rokok :dead: istilahnya balas dendam.
     
  11. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    pas ak liat di tipi ada peserta dari aceh pake baju serba terbuka gitu, aku langsung pasang muka :muntah:
    kenapa nda ada adat aceh sama sekali yang ditunjukkan, ya? padahal inong2 aceh paling cantik klo pake jilbab :swt:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.