1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Meteorid

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, May 22, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ryrien MODERATOR

    Offline

    The Dark Lady

    Joined:
    Oct 4, 2011
    Messages:
    6,529
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +3,171 / -58
    Satu page isinya komen semua, kapan updatenya [​IMG]

    _____________________ :ngacir:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Wateria M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Oct 15, 2008
    Messages:
    2,760
    Trophy Points:
    147
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,495 / -0
    panasin sekalian :p
    wkwkwk, gw baca dari chap 1 - 19.
    luar biasa, wkwkwk...
    yang enggak suka disini, cuma perubahan POV nya aja, kenapa enggak ada tanda gitu...
    maksud aku, skrg lagi ngobrolin pake POV nya si Arche, terus abis itu jadi POV iris - the robot.
    apa aku bacanya langsung sekaligus yah jadinya enggak masuk gitu, transisinya. (aku sih tahu ini uda pindah POV, tp enggak smooth gt, (ada sempet aku baca 2-3x di 1 paragraf)).
    overall, aku suka banget nih sama ceritanya, walaupun katanya "ketebak" tapi buat aku ini main2 sama pikiran aja...
    soalnya aku paling suka, sebuah cerita yang membuat kita jadi kepikiran sesuatu, terus memikirkan waduh, kok gini, kayaknya bknnya kesini aja arahnya? atau sampai bisa buat kesimpulan sendiri, bahkan bikin pemikiran sendiri.

    sebenarnya setuju sama kk veni, soal yang time travel (wooo, so science fiction) - aku juga enggak pernah mendusin soal time travel
    cuma yang paling mau ditekenin itu paling cuma time paradox aja.
    (dan film back to future - the series inilah yang menggambarkan ketiga-tiganya)
    sebenarnya bisa diakalin sih, :D hehehe..., tapi akal2annya itu yang membuat saya menunggu2 kelanjutan cerita ini. (chap20 the end? - moga2 ancurin perasaan orang yah the endnya.)

    ehm, terus penggambaran si Iris the robot. Kurang suka, kenapa bisa kebetulan banget nama old masternya juga iris. Hehehe...
    awalnya aku sempet mikir, ternyata si robot ini diprogram ulang sama si arche terus jadi iris adiknya - karena di chap berapa gitu, Arche ada sempat mempelajari adiknya karena disuruh oleh ayahnya - jadi otomatis si arche tau script AI utk si iris ini darimana.

    Terus yang kedua, penjelasan tentang tony yang ternyata dia dari masa depan (harusnya bisa dikembangin lagi. sejarahnya kenapa dia bisa umur 12 tahun uda jadi ketua spy - mungkin karena SDM nya di 2046 itu udah kurang, jadi beberapa ilmuwan membuat anak jenius utk bisa jadi seorang leader.) - karena terakhir2 kan ada twist, dimana si tony bkn cuma penggemar kebop. jadi menurut saya dia deserve a place to be described.

    Yang ketiga, aku mikirnya kok ini kaya chobits yah? atau kaya cerita2 manga ttg robot2 yang lain, terus campuran sama terminator, dengan latar belakang yang berbeda, dua fraksi yang bersitegang, sedangkan ada fraksi ketiga yang neutral tpi juga potential - ASEAN kalau enggak salah. Kenapa dia enggak intervensi gitu. aku mikirnya si Iris dikirim sama si ASEAN utk ngehabisin si arche di masa lalu

    yah banyak banget sih kepikiran2 yang lain2, makanya aku seneng banget baca cerita ginian karena si pembaca bisa leluasa mengembangkan pikirannya sendiri.

    terus kalau aku enggak salah, uda ada manga yang angkat tema begini kan yah? :D hehehe...
    well, tetep nulis kk, ini ceritanya bagus, tapi kayanya enggak akan bisa end cuma di chap 20
     
    Last edited: Dec 27, 2013
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    situ kapan nulisnya :piso:

    baca sampe beres :shock:

    makasi banyak :terharu:

    well sebenernya itu pure yang kepikiran ama aku sih, dan kebanyakan tanpa riset (kek mesin waktu dll) jadi yah, seadanya, huehue :hiks:

    n seperti yang aku uda bilang ke bang venny, plotholenya aku coba tutup ama drama (meski keknya phail :hiks: )

    makasi banyak kk wateria buat masukannya :matabelo:
     
  5. Wateria M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Oct 15, 2008
    Messages:
    2,760
    Trophy Points:
    147
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,495 / -0
    idih kk, orang uda bagus banget, enggak semua orang diberkatin bakat nulis scifi loh :D hehehe...
     
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    So long as the memory of certain beloved ones lives in my heart, I shall say that life is good.

    “Kau tahu apa yang kudapat saat pertama kali bertemu dengan Jenderal?”

    Tony bertanya padaku sambil terus menatap sosok Arche dari balik pintu. Sepintas, tatapannya itu terasa begitu memilukan.

    “…apa itu?”

    Tony melempar sebuah senyum kecil, sebuah senyum yang mungkin lebih menandakan rasa kecewa daripada rasa senang.

    “Tawanya yang riang, dan uluran tangannya.” Jawabnya kemudian. Seolah terhipnotis, aku balik menoleh padanya perlahan, dan ia terus berbicara.

    “Saat aku bertemu dengannya pertama kali di hari hujan, jenderal tersenyum padaku, memayungiku yang berdiri menggigil di sudut jalan meskipun sebagian dari tubuhnya diterpa air hujan.”

    ………

    Arche, ia memang sedikit abnormal. Menolong orang yang entah ia kenal atau tidak, dan entah berbahaya baginya atau tidak, bagiku itu…sedikit abnormal.

    Dan juga, menakjubkan.

    “Sendirian dibawah rintik hujan, tanpa ada seorangpun peduli, seorang anak lelaki datang padaku, menatapku, dan memayungiku sambil berkata ‘hei, ayo kita pulang sama-sama.’ Rasanya, kehangatan itu baru pertama kurasakan.”

    Tersenyum kecil, aku kembali menoleh ke arah Arche. Irama napasnya masih tampak dari ayunan tubuhnya yang naik turun.

    “Ya.” kataku dengan nada yang amat kecil, sayu. “Bukan jenderal namanya bila ia tak melakukan itu.”

    “Andai ia tahu bahwa aku merupakan ancaman baginya,” Tony kembali berkata. “Mungkin ia takkan memayungiku. Mungkin, ia akan membiarkanku sendirian di sudut jalan itu.”

    “Kurasa tidak.” Kataku membantah. “Jenderal takkan melakukan itu. Ia akan tetap memayungimu, dan setelahnya kalian akan berteman baik.” Kataku kemudian. Membuat Tony menoleh padaku keheranan.

    “Bahkan jenderal tetap menolongku setelah tahu bahwa aku akan membunuhnya…”

    Tubuh Arche tampak bergerak perlahan, membuatku sedikit was-was apabila ia terbangun dan mendapati aku dan Tony sedang mengawasinya layaknya perampok yang berjaga-jaga. Beruntung, ia hanya menggerakkan kepala dan tubuhnya sedikit lebih miring, meski kemudian hal itu membuat selimut di tubuhnya jatuh ke lantai.

    Sebuah senyum kembali mengembang tanpa kuminta.

    Perlahan aku mengayun langkah. Mengambil selimut yang jatuh, aku kembali membungkus tubuh Arche serapat mungkin.

    “Dia…luar biasa.”

    Kurasakan tanganku sedikit gemetar saat menyelimuti tubuh Arche.

    Apa yang kukatakan tentang Arche mungkin terdengar seperti sebuah cerita dongeng anak-anak tentang peri dan nenek sihir, yang mana didalamnya, Arche merupakan sosok peri penolong umat manusia. Mungkin berlebihan, tapi semenjak bertemu dengan Arche, itulah yang kurasakan.

    Tony menghela napas panjang, melangkah perlahan mendekatiku. Berdua kami salling memandang sebelum kembali menatap Arche.

    “Membuatnya hilang di masa depan takkan menyelesaikan semua masalah ini.”

    Mengiyakan kata-kata Tony, aku mengangguk. “Perang akan tetap terjadi, dan ribuan nyawa akan tetap hilang, tak peduli dia ada atau tidak. Ini misi yang sia-sia.” Kataku menambahkan.

    “Tentu.” Kata Tony kemudian. “Kecuali perang bisa kita hentikan.”

    “…tidak mungkin bisa.” Kataku perlahan. Tak lama kemudian aku beranjak berdiri, namun mataku terus menatap Arche dalam-dalam.

    “Kau sudah lihat berita, bukan? Dalam dua belas hari, bencana itu…”

    “Mmm, aku tahu.” Balas Tony, santai, namun tak mengubah suasana kelam yang bercokol dari nada suaranya.

    “Apa yang harus kita lakukan mulai sekarang?” Tanyaku. “Melaksanakan perintah jenderal kita tidak bisa, dan cepat atau lambat, keberadaanku pasti akan diketahui banyak orang. Kau juga mungkin akan diincar pemerintah dan dijadikan tentara.”

    “Seperti kataku,” Tony menggaruk kepalanya perlahan dan menatap ke langit-langit. “Satu-satunya jalan untuk masalah ini adalah membuat perang tidak terjadi.”

    “Jangan bergurau.”

    “Aku serius.” Jawabnya cepat. Tatapan matanya yang cukup tajam dan suaranya yang kini melengking membuatku tersentak.

    “Sebetulnya, aku punya sebuah rencana.” Katanya kemudian. Pandangan matanya kembali tertuju padaku. Kini ia menyunggingkan sebuah senyum kecil.

    “Tapi kau harus membantuku.”

    “…kau punya rencana seperti apa?”

    “Rencanaku itu…”

    “Ya?”

    “…lupakan saja.”

    Lucu. Dia bahkan berhenti sebelum mengatakan apa yang ada di pikirannya. Sikapnya yang terkadang plin plan sangat bertolak belakang dengan pekerjaannya sebagai kepala unit KGB.

    “Tapi, kalau bisa…”

    “Hei!” aku mulai menggerutu mendengar kata-katanya, sebal melihatnya kebingungan sendiri.

    “Ya, ya, maaf. Rencana itu, aku bisa melakukannya, tapi efeknya…”

    “………”

    “Lupakan saja. Eh, atau jangan, ya?”

    Aku tak menjawab, membiarkan Tony bergumam sendiri dan kebingungan dengan rencanannya. Untuk beberapa saat kubiarkan ia kebingungan – bagiku ia tampak seperti seorang professor yang bingung dengan formula kimia di laboratorium militer. Aku biasa melihat pemandangan itu di pabrik bom.

    Namun lama-lama aku tak tahan juga.

    “Tidak, tidak…” Tony menggelengkan kepalanya, bingung. Segera aku menghampiri sosoknya dan menepuk pundaknya. “Kalau bicara yang jelas! Ayo, beritahu!”

    Tony berhenti menggerutu. Mendapati tanganku di pundaknya – dan juga mungkin mataku yang menatap dalam-dalam padanya, ia menunduk lemas.

    “Rencana ini bisa kulakukan, tapi…”

    “Tapi?” Tanyaku, dan sepintas Tony tampak akan kembali berbicara sebelum kemudian ia kembali menutup mulutnya rapat-rapat.

    “Tapi…apa?”

    Tony menghela napas dan memejamkan matanya rapat-rapat. Kulepaskan pegangan tanganku dari pundaknya agar ia bisa merasa rileks.

    Ia membuka mata beberapa saat kemudian, dan tersenyum.

    “Aku butuh bantuanmu untuk melakukannya.”

    “Ugh! Kau…” Cukup kesal aku dibuatnya karena ia mengulangi permintaan yang sama seperti sebelumnya. “Akan kubantu jika itu bisa menyelesaikan semua mimpi buruk ini.”

    “…………”

    “…jadi, rencanamu ini seperti apa?” Tanyaku lagi.

    “Iris…”

    Mengesampingkan kenyataan bahwa Tony memanggilku Iris untuk pertama kalinya, aku menaikkan alis mataku, bertanya “ada apa?” dalam bahasa isyarat.

    Tony memejamkan matanya dan kembali membukanya beberapa saat kemudian.

    “Seandainya kubilang bahwa kau bisa kehilangan memorimu untuk melakukan ini semua, akankah kau tetap melakukannya?”

    Eh?

    Kehilangan memoriku?

    Semua tentang Jenderal, tentang apa yang kulalui dengannya, semuanya akan menghilang? Tapi, kenapa?

    ………

    Entah bagaimana, aku seolah dibuat tak bisa bereaksi apapun saat mendengarnya. Yang kurasakan saat ini, rasanya seperti mengalami problem pada sirkuit jaringan otot artifisialku. Seluruh tubuhku seolah kaku.

    “Kenapa?” Pada akhirnya aku berhasil mengucapkan kata-kata itu, meski suara yang keluar dari speaker di tenggorokanku mungkin terlalu kecil untuk kudengar.

    ”Untuk melakukan rencana ini, aku harus mereset ulang sistem di tubuhmua. Detailnya akan kuberitahu jika kau setuju akan membantuku.”

    ………

    Aku mau membantu, tetapi jika harus kehilangan semua memori tentang jenderal…



    Terjadi lagi.

    Ini semua terjadi lagi.

    Kenyataan bahwa aku harus kembali berpisah dengan orang yang sangat berharga bagiku terasa cukup menyakitkan. Meski kali ini caranya agak berbeda dari biasanya, hal-hal yang kurasakan setelahnya tetap sama – campuran dari perasaan sedih, marah, dan kesepian.

    “Iris, aku takkan memaksamu.” Kata Tony lagi. “Kau bisa ikut denganku dalam sebuah proyek yang mungkin memakan waktu berhari-hari, atau kau bisa tinggal disini, menghabiskan waktumu dengan Arche hingga bencana itu tiba.”

    “Aku harus meninggalkan Arche?”

    Tony mengangguk perlahan. “Dia tak boleh tahu tentang ini semua.”

    “Bagaimana jika ia mencariku?” Aku bertanya dengan nada gelisah, membayangkan apa yang terjadi bila aku tiba-tiba menghilang. Ia pasti amat khawatir.

    “Kau masih berpikiran dia akan mencarimu?”

    “Tentu!” jawabku. Tony tampak masih ingin bilang sesuatu, namun ia kembali mengurungkannya. Alih-alih, dia hanya bilang, “Kau tak perlu tentang Arche. Jika kau mau membantuku, akan kutangani agar Arche takkan khawatir padamu.”

    Aku tak tahu bagaimana caranya Tony meyakinkan Arche agar tak khawatir, namun pandangan matanya amat meyakinkan dengan ucapannya.

    “…seberapa besar kemungkinan memoriku hilang?”

    “Lima puluh persen. Tapi semua kekacauan ini, dan juga Perang Dunia Ketiga, semua itu mungkin bisa dicegah.”

    “Mungkin?”

    “Lima puluh persen.”

    …………

    Tony menatap langit-langit rumah perlahan, menghela napas panjang, dan tersenyum.

    “Aku tak bisa menjamin keselamatan memorimu, jadi ini semua terserah padamu. Maukah kau melakukannya?”

    “…tak adakah jalan lain?”

    Tony menggeleng. Aku masih ingin membantah pernyataannya, namun dari tatapan matanya aku tahu bahwa semua yang ia katakan, semuanya sudah final. Aku seolah berada pada posisi skakmat dalam permainan catur.

    “Jika semua ini berhasil, Arche tak perlu berubah menjadi seorang jenderal mengerikan. Ia berhak mendapatkan kehidupan normalnya. Seburuk-buruknya, aku berharap ia hanya menjadi penyiar radio atau supir taksi.”

    Tony tersenyum kecil, lalu menoleh pada Arche.

    “Tapi andaikata kau ingin menghabiskan hari-harimu bersama Jenderal, aku takkan keberatan. Lagipula kau berhak mendapatkan itu semua.”

    Aku tak bisa menjawab apapun lagi setelahnya dan hanya bisa menunduk lesu.

    Berapa kali aku harus mengalami perpisahan ini untuk bisa merasa bahagia? Aku sudah kehilangan ayah, ibu, dan Iris, juga Jenderal Arche di masa depan. Dan kini, semua itu terjadi lagi…

    Ini semua keterlaluan. Sungguh keterlaluan.

    ………

    …meskipun begitu, bila aku berhasil melakukan ini, Arche tak perlu mengalami penderitaan akibat perang. Ia tak perlu melihat semua orang yang ia kenal mati dalam hitungan jam, dan tak perlu mengakhiri hidupnya di tiang gantungan…

    Arche berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kurasa atas alasan itulah aku tiba disini.

    ………

    “Kau bilang bahwa kemungkinan memoriku hilang, lima puluh persen?”

    “Mmm. Dengan kemungkinan misi berhasil sebesar lima puluh persen pula.”

    “Ini semua ibarat judi…”

    Arche kembali menggeliat, membuatku kembali bergerak perlahan mendekatinya, menunduk, dan menatap wajahnya dalam-dalam.

    Dan saat mataku menangkap sosok wajahnya yang terekam dalam memori artifisialku, muncul sebuah perasaan dan dorongan bagiku untuk terus melihatnya seperti ini. Andai aku bisa, selamanya aku ingin melihatnya damai seperti saat ini.

    Aku tak tahan untuk tidak menbenamkan kepalaku di punggungnya.

    “Maafkan aku, Arche.”

    Aku tahu ia mungkin akan terbangun, namun aku tak peduli dan tetap menempelkan kepalaku di punggungnya, berbisik memanggil namanya perlahan. Terlebih ketika aku sadar bahwa ini mungkin terakhir kali aku bisa melakukannya.

    Terakhir kali, karena aku sudah memantapkan pilihanku.

    Beranjak menjauh dari punggungnya, aku menoleh, menatap Tony dengan mantap.

    “Akan kulakukan.”

    Tony mendelik. “Apakah sudah kau pikirkan baik-baik?”

    Aku mengangguk, dan Tony kembali mencecarku dengan berbagai pertanyaan.

    “Kau bisa kehilangan memorimu, dan jika misi ini gagal, tak ada yang akan berubah. Arche mungkin akan tetap menjadi jenderal militer di masa depan, mengalami masa-masa pahit sebagai jenderal militer, dan kembali menyesali hidupnya, kau tahu?”

    Aku membalas semua pertanyaannya dengan diawali oleh sebuah senyuman kecil. “Mungkin akan berakhir seperti itu. Tapi, jika aku berhasil dan memoriku tetap utuh, Arche akan tetap menjalani kehidupan normalnya.” Tatapan mataku kembali kepada Arche. Tubuhnya bergerak perlahan, menghirup dan menghembuskan napas.

    “Di masa depan nanti, ia takkan punya penyesalan apapun lagi.”

    Sontak Tony tersenyum kecil mendengar kata-kataku, namun aku tak berhenti dan terus berbicara.

    “Aku memimpikan sesuatu yang lain, kau tahu? Suatu hari nanti, aku amat ingin berjalan-jalan keliling kota dengannya. Mungkin ke taman bermain, ke pantai, atau mungkin menonton TV bersama.”

    Tony tersenyum lesu, seolah mengatakan bahwa itu hal yang tak mungkin terjadi.

    “Mari berharap begitu.” katanya kemudian. Aku membalas senyumnya dengan sebauh tatapan mendalam.

    “Sekali lagi, aku tak bisa menjamin keselamatan memorimu, kau tahu?”

    Aku mengangguk perlahan, mantap, beranjak berdiri dan menatap Arche – mungkin untuk yang terakhir kalinya.

    Arche, andai ia jadi aku, ia pasti akan melakukannya juga.

    Untuk sekali waktu saja, aku ingin agar aku bisa berguna baginya. Mungkin dengan menyelamatkannya dan menolongnya di masa kini, dan menjalani rencana Tony, aku bisa membuatnya menjalani kehidupan lebih baik.

    Hingga malam ini, aku tak pernah merasa selega ini.

    Perasaan lega, karena kelak, jika aku berhasil, orang yang amat kusayangi bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan mungkin, aku akan ada disana saat ia menjalani kehidupannya.

    Ada bersamannya.

    maaf rada gajes, TSnya lagi galau juga ini :hiks:

    minim editan, minim plot development (cuma setengah jalan dari awal niatan post ch 19), dan, as usual, silakan komentarnya :nikmat:
     
    Last edited: Jan 2, 2014
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    miiissssssss level dewa :dead:

    “Kau tahu buku yang kubawa dari gedung sekolah lama beberapa hari lalu?”

    Tony berjalan perlahan, memasukkan kedua telapak tangannya di saku mantel miliknya. Angin malam ini bertiup menusuk, dingin.

    Disebelahnya aku ikut melangkah, perlahan-lahan menyesuaikan langkah kakiku dengan kecepatannya.

    “Kau memang membawa buku saat keluar dari gedung sekolah itu.” Ujarku perlahan. “Majalah P*rn*?”

    “Hei!”

    “Apa?”

    Tony tampak ingin membalas, namun ia kemudian mengurungkan niatnya.

    “Jadi, apa yang kau temukan?”

    “Sebuah buku tentang teori kuantum fisika.” Jawabnya, membuatku tidak puas. Teori kuantum fisika merupakan teori umum yang sering dipakai peneliti di masa depan untuk merancang mesin waktu.

    “Maaf kalau kau tidak puas, tapi bukan itu saja yang ada disana.” Katanya seolah sadar dengan apa yang kupikirkan.

    “Begitu?”

    Tony mengangguk.

    “Aku baru sadar bahwa di dalam buku tersebut ada sebuah blueprint dari professor Hawkins tentang mesin waktu.”

    Ah? Astaga? Blueprint mesin waktu?

    Bagaimana mungkin benda seperti itu bisa ada di masa ini?

    “Kau bercanda, ya? Bagaimana mungkin blueprint benda masa depan, bisa berada di perpustakaan sekolah reot?” Tanyaku, sedikit terkejut.

    “Mana kutahu?” Tony menjawab, cemberut. “Banyak ilmuwan masa kini yang terobsesi dengan mesin waktu, kau tahu? Karena itulah mesin waktu lahir di masa depan.”

    Aku mengalah, mengangguk tanpa bertanya lebih jauh lagi. Logikanya, bisa saja seorang professor di sekolah tersebut terobsesi dengan mesin waktu hingga mempunyai blueprint tersebut, yang mungkin bisa ia dapat dari internet. Logika yang cukup masuk akal, kurasa.

    “Tapi, bagaimana kau tahu bahwa blueprint itu ada disana?”

    Tony menggeleng. “Awalnya aku juga tidak tahu.”

    “Eh?”

    “Saat aku tiba disini, aku tak punya tempat tinggal. Untuk beberapa hari setelahnya aku tinggal di sekolah itu, yang tampaknya merupakan satu-satunya tempat yang aman. Jadi aku tahu apa-apa saja yang ada disana.” Kata Tony santai. “Termasuk para hantu yang tinggal didalamnya.”

    “Mereka nyata?”

    “Mungkin.” Jawab Tony sambil menghela napas panjang. “Aku tak tahu bagaimana, tapi yang jelas, blueprint mesin waktu itu ada disana.”

    Cara yang aneh untuk menemukan sebuah blueprint, namun aku memutuskan untuk membiarkannya saja.

    “Setelah kupelajari baik-baik, didalamnya ada sebuah catatan tentang bagaimana memperbesar massa jenis portal waktu di mesin waktu punyaku.”

    “Mm-hmm.”

    Aku mengangguk bodoh, meski sebenarnya aku cukup mengerti apa yang dikatakannya.

    Portal waktu. Nama itu mengacu pada sebuah lubang dimensi yang sanggup menghubungkan satu benda dari satu waktu ke tempat dan waktu yang berbeda. Ukuran portal waktu bisa disesuaikan tergantung dengan ukuran benda yang akan dikirim. Jika massa jenis dari portal waktu diperbesar, maka portal waktu akan sanggup menarik sesuatu yang lebih besar pula.

    Tetapi bagaimana Tony melakukannya? Dan juga, bukankah mesin waktu miliknya sudah rusak?

    “Kesampingkan kenyataan bahwa mesin waktu milikmu rusak, kau memerlukan banyak sumber energi untuk memperbesar massa jenis portal waktu. Bagaimana kau melakukannya?”

    Tony tersenyum. “Sabotase.”

    Eh?

    “Bohong, kok.” Katanya kemudian. “Tak perlu membutuhkan energi terlalu banyak untuk memperbesar massa jenis portal waktu. Lagipula, baterai dari mesin waktu milikku masih ada, jadi kita bisa menggunakan itu untuk memulai misi ini.” Katanya perlahan, kembali menatap jauh keatas langit, dan tersenyum.

    Diatas sana, bintang-bintang tampak gemerlapan.

    ………

    Entah sampai kapan aku bisa terus melihat bintang-bintang yang bertaburan seperti itu.

    “Kita punya waktu beberapa hari dan kurasa itu cukup untuk memodifikasi bagian core dari mesin waktu milikku agar bisa menampung masa jenis yang lebih besar.”

    “Core?”

    “Mmm,” jawabnya, mengangguk. “Core dari mesin waktu milikku sama sekali tidak rusak.”

    Ah, ya, core, bagian inti dari mesin waktu.

    Sebuah mesin waktu terdiri dari tiga komponen utama : crust, system, dan core. Kesemuanya memainkan peranan penting satu sama lain.

    Crust merupakan wahana yang berfungsi sebagai tempat bagi sebuah benda memasuki portal waktu. Pada sebuah perjalanan waktu, crust juga berfungsi memberikan perlindungan bagi penggunannya agar tidak hancur lebur akibat tekanan massa yang ekstrim, membuat sebuah benda tetap utuh ketika sampai di tempat tujuan.

    System merupakan jembatan antara core dan crust. Tanpa adanya system, tujuan sebuah perjalanan waktu takkan dapat diatur dan kemungkinan akan berakhir pada tiga hal : tetap di tempat, berada di tempat yang tepat, atau, yang lebih sering terjadi, berada di sebuah tempat dan waktu yang sama sekali tak dapat ditentukan.

    Sedangkan core, core sendiri merupakan inti sekaligus pemantik dari sebuah mesin waktu. Core terbuat dari gesekan partikel atom nuklir yang mengalami reaksi fusi dengan berbagai elemen lain, hingga menghasilkan massa jenis yang besar dan memungkinkan terciptanya sebuah portal waktu.

    Jika diibaratkan sebuah mobil, maka boleh dibilang system merupakan kemudi, transmisi, dan sistem perapian. Crust merupakan interior dan casing mobil, sedangkan core merupakan perapian dan bahan bakar.

    “Kita bisa memperbesar massa jenis core dari mesin waktu milikku untuk mengirim meteor kedua ke dimensi lain sebelum jatuh ke bumi.”

    “Rencana yang bagus.” Kataku. “Tetapi bagaimana kita membawa core itu ke tempat meteor akan jatuh? Juga, siapa yang akan membawanya? Sekali portal waktu terbuka, tanpa crust, siapapun bisa hancur.”

    Tony tiba-tiba menghentikan langkahnya, tersenyum.

    “Siapapun kecuali robot.”

    ………

    Kata-katanya membuatku mengerti mengapa ia meminta bantuanku.

    Tidak seperti manusia atau benda lain yang akan hancur bila memasuki portal waktu tanpa crust, robot, atau bongkahan metal apapun yang kuat, akan tetap utuh bila masuk ke portal waktu. Hal itu dikarenakan tubuh robot yang terbuat dari lapisan baja dan kabel sudah merupakan crust dan system tersendiri. Karena itulah aku bisa tiba di masa ini tanpa mesin waktu.

    “Dan disana kau berperan, Iris.” Katanya perlahan. “Ditambah lagi, kemampuan terbangmu bisa kuandalkan.”

    Aku tertegun, menunduk, dan tersenyum sayu. “Tidak mungkin.”

    “Apanya?”

    “Kau tahu sendiri kan bahwa aku hanya bisa terbang di langit rendah, dan kemampuanku ini juga terbatas, kau tahu?”

    “Ya, aku tahu,” jawab Tony. “Tapi bila aku memprogram ulang semua sistem di tubuhmu, kurasa kau bisa terbang lebih tinggi lagi.”

    “Kau bisa memprogram mesin?”

    “Sedikit.” Jawab Tony, singkat. “Bila ternyata aku salah melakukannya, maka akan ada kemungkinan memorimu takkan bisa kembali.”

    Ah…

    Ternyata itu maksudnya.

    Andai Jenderal yang memprogram ulang tubuhku, tentu memoriku takkan hilang.

    Tapi Jenderal tak ada disini, dan tak ada yang bisa dilakukan mengenai itu. Sepintas aku ingin membalas kata-kata Tony, namun entah apa yang harus kukatakan.

    Untuk menyelamatkan Jenderal, hanya ia satu-satunya orang yang bisa kupercaya.

    Entah akan jadi seperti apa diriku kelak, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan menyelamatkan Jenderal. Aku akan mencegah perang ini terjadi hingga tak ada satupun yang akan menderita karenannya.

    Tersenyum lega bercampur sedih, kupejamkan mataku perlahan.

    “Kuharap kau melakukannya dengan benar.”

    “…doakan saja.” Jawab Tony. “Ada seseorang yang lebih ahli dalam memprogram dan merancang mesin. Kita bisa minta bantuannya.”

    Tunggu dulu. Seseorang?

    Ajaib! Disamping Tony dan aku, ternyata ada seseorang lain yang terlibat dengan ini semua.

    “Ada orang lain?”

    “Mmm.”

    “Apa dia datang dari masa depan?”

    “Tidak.” Jawabnya. “Tapi ia bisa jaga rahasia, kok.”

    ………

    Apa yang sebenarnya terjadi?

    Angin malam berhembus perlahan, meniup rambutku ke udara. Seiring dengannya, Tony merapatkan mantelnya dan kembali melangkah.

    Aku mengikutinya,

    ***​

    Saat tiba di rumah Tony, aku diperbolehkan berkeliling rumahnya untuk melihat-lihat. Rumah Tony, sepintas, tak terlalu berbeda dengan rumah-rumah yang lainnya.

    Bangunan permanen itu memang tidak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk ditinggali. Dikelilingi kebun berisikan pepohonan kecil, rumah ini terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang serbaguna, satu kamar mandi, dan dua kamar tidur. Lantainya terbuat dari lapisan kayu kecoklatan dengan dinding rumahnya berwarna putih polos. Jika ada hal yang berbeda dari rumah ini, mungkin hanya desain pintu utamanya saja.

    “Sudah puas?”

    Tony yang selama ini mengikutiku berjalan tiba-tiba saja bertanya dari arah belakang, membuatku cukup terkejut. Aku lalu mengangguk, membuat Tony tersenyum kecil. Perlahan, ia berjalan menuju sebuah pintu kecil di samping kamarnya.

    “Ikutlah denganku.”

    Ia membuka pintu tersebut. Sebuah suara “Cklek” menyaru di udara.

    Yang tampak dibalik pintu tersebut hanyalah ruangan kosong. Lantainya terbuat dari kayu dan ditutupi oleh karpet berwarna kehijauan. Saat Tony menyingkapkan karpet tersebut barulah aku tahu bahwa rumah ini memiliki rahasia tersendiri. Dibalik karpet tersebut, terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan rumah ini dengan ruang bawah tanah.

    Saat Tony membuka pintu itu, yang tampak dibawah lantai itu hanyalah kegelapan.

    “Yosh.”

    Tony melompat, jatuh menuju kegelapan yang berada dibalik lantai. Suara sepatunya yang mencapai tanah dapat kudengar dengan jelas.

    “Aku harus masuk kesini?”

    “Kau takut?”

    Ugh, sialan!

    Dia tak bisa menjawab pertanyaan orang dengan benar ya?

    Mengambil ancang-ancang, akupun melompat.

    ***​

    Tempat itu cukup gelap. namun saat aku baru akan mengaktifkan penglihatan malamku, Tony sudah menyalakan lampu. Yang tampak dimataku setelahnya adalah sesuatu yang cukup familiar.

    “Ini…”

    “Mmm,” Jawab Tony. “Mesin waktu milikku.”

    “Mirip seperti sebuah kulkas di zaman tahun 2000an.”

    Kulihat wajah Tony mengerut setelahnya. “Menghina!”

    Aku membalas umpatannya dengan sebuah senyum kecil.

    Mesin waktu miliknya hanya berupa sebuah kotak besi tua yang besar dengan sebuah pintu. Kurasa dua orang bisa muat didalam kotak tersebut.

    Di sebelah mesin waktu miliknya terdapat sebuah kursi dengan kabel-kabel yang menggantung. Sebuah sambungan utama kabel tersebut terhubung ke sebuah CPU yang tampak cukup besar. Pemandangan itu mirip dengan mesin untuk memprogram ulang para robot di masa depan. Hanya saja, peralatan yang ada dihadapanku jelas-jelas sudah ketinggalan zaman. Kursi robot yang seharusnya berwarna putih dan terbuat dari bahan plastik tebal, kini terganti oleh sebuah kursi logam. Kabel-kabel yang ada juga hanya berupa kabel satu lapis tanpa casing pengaman.

    “Mesin pemrogram itu, kau yang buat?”

    “Ya.” Jawab Tony singkat. “Butuh waktu tiga hari untuk menyelesaikannya.”

    Menyelesaikannya? Lucu, mesin pemrogram itu rasanya sama sekali belum selesai.

    “Aku hanya akan memprogram ulang sistem aviasi di tubuhmu saja, jadi kurasa tak ada masalah dengan ini semua.”

    Aku mengangguk, mengerti. Yang harus kulakukan hanyalah duduk diam dan membiarkan Tony bekerja dengan komputer yang kelak akan terhubung dengan tubuhku. Ia tak harus mengerjakan bagian hardware seperti mereparasi bagian perapian atau semacamnya.

    “Tetap saja, melihat kursi itu rasanya berbahaya.”

    “Itu yang bisa kubuat dalam tiga hari. Maafkan aku jika hasilnya berantakan. Aku membongkar mesin waktu milikku untuk mendapatkan bagian-bagian vitalnya, kau tahu?”

    Aku mengangguk, tersenyum.

    Perlahan, aku berjalan dan menyentuh besi dari mesin waktu miliknya itu.

    “Crust dari mesin ini sepertinya masih cukup bagus.”

    “Bagian core juga.” Jawabnya “Hanya bagian system yang rusak. Kabel-kabel dan komponen lainnya sudah kubongkar untuk mesin pemrogram robot.”

    Tony melangkah perlahan menuju sebuah kotak generator tua yang ada di sudut ruangan, menyalakannya, dan membuat sebuah suara yang cukup bising. Suara itu berasal dari bagian core mesin waktu miliknya yang mulai menyala.

    “Aku tak bisa menjalankan mesin ini lagi, tapi karena baterainya masih ada, mesin ini masih bisa menyala. Kelak aku akan mengambil baterainya untuk memodifikasi bagian core.”

    Aku mengangguk, mengerti.

    Yang tidak kumengerti kemudian adalah bagaimana caranya Tony mendapat semua ini – rumah ini, ruangan ini. penasaran, segera saja pertanyaan itu kulemparkan padanya. Tony tak langsung menjawab. Ia mengambil ancang-ancang dan duduk di lantai. Aku menyingkapkan rok milikku dan ikut duduk.

    “Saat tiba disini, aku terdampar di sebuah panti asuhan, dan orangtua angkatku merupakan pemilik rumah ini.”

    “Dimana mereka sekarang?”

    Tony lagi-lagi tak langsung menjawab. Mungkin ia harus memproses pertanyaanku untuk bisa menjawabnya. Namun setelah kutunggu beberapa saat kemudian, ia tetap tak menjawab. Kurasa pertanyaan itu cukup sensitif baginya.

    Perlahan Tony mematikan generator tua yang sebelumnya ia hidupkan, membuat mesin waktu miliknya mati.

    “Masih bagus, kurasa.” Kataku perlahan. “Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?”

    “Dalam beberapa hari aku akan mencoba memperbesar massa jenis portal waktu dari bagian core. Kau akan mengalami masa ujicoba dengan mesin pemrogram itu.”

    Aku mengangguk, siap. Tony tersenyum.

    “Sekarang kau istirahat saja. Besok kita akan mulai bekerja.”

    “…baiklah.”

    Jauh kupikirkan, entah kenapa ada semacam perasaan takut yang kini muncul. Bayangan wajah Arche juga kemudian muncul di memoriku.

    ………

    Tak sampai semenit kemudian, kami sudah berada kembali di ruangan atas saat kemudian terdengar suara seseorang mengetuk pintu.

    “Arche?”

    “Bukan.” Jawab Tony, tersenyum. “Dia orang yang kumaksud, yang bisa membantu kita.”

    “Kau mengundangnya?”

    “Tidak untuk malam ini. Tapi dari ketukan pintunya, aku tahu dia orangnya.”

    Ketukan pintu?

    Setelah kudengar baik-baik, ketukan pintu dari orang tersebut terdengar khas, berirama. Mungkin itu merupakan semacam kode bagi Tony dan dia untuk tahu satu sama lain. Kode ketukan pintu, hal itu banyak dilakukan di masa depan untuk menghindari musuh.

    Dasar mata-mata.

    “Jadi, dia sudah tiba?”

    Eh?

    Suara itu? Suara seorang gadis, ah, rasanya aku pernah dengar.

    Penasaran, aku segera melangkah menuju ruang depan saat kudapati Tony sedang berbicara dengan seorang gadis muda. Ia mengenakan jaket tebal dan celana panjang dengan rambut panjang yang terurai. Usianya tampak sebaya dengan Tony, dan juga Arche.

    Tak lama, gadis itu menoleh padaku dan tersenyum.

    “Selamat malam, Iris.”

    Ah, gadis itu, ia…

    “Kau pasti sudah bertemu dengannya kan?”

    ………

    Ardelia Vivi.

    :kecewa:
     
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Untuk hari-hari setelahnya, seluruh kehidupanku rasanya berubah total.

    Sekolah diliburkan, mungkin selamanya. Tak ada ujian Fisika, tak ada pak Albert, tak ada Ardelia atau Tony…

    “Kecelakaan yang terjadi di Florida, Amerika Serikat, semakin memperkecil harapan bagi bumi ini untuk terhindar dari tabrakan meteor…”

    “Petugas Keamanan di berbagai Negara disiagakan untuk mengantisipasi adanya kerusuhan massal oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab…”

    “Terjadi eksodus massal di berbagai belahan dunia. Warga di pesisir Inggris dan Eropa Barat telah bergerak meninggalkan rumahnya menuju ke tempat yang lebih tinggi seperti…”

    Pemberitaan buruk di TV yang kulihat sejak beberapa hari lalu rasanya seperti tak pernah berakhir.

    H-4 sebelum tabrakan meteor, dan kekacauan sudah terjadi dimana-mana. Beberapa kota mengalami kerusuhan massal, beberapa kota pesisir seperti Montblanc, sudah sepi ditinggalkan penduduknya. Berbagai belahan dunia was-was, menunggu efek yang ditimbulkan dari meteor jatuh yang diperkirakan akan meluluh lantahkan Eropa Barat. Militer Rusia, Cina, dan beberapa negara lain telah menyiagakan pasukannya untuk membantu eksodus para pengungsi – meski mungkin itu hanyalah alasan palsu.

    Rasanya dunia ini mau kiamat saja.

    Untukku sendiri, entah kenapa aku tak bisa beranjak dari rumah ini.

    Merespon insiden ini, tentu saja beberapa battalion tentara diturunkan untuk melakukan evakuasi. Aku yang entah kenapa tak mau pindah dari sini memutuskan untuk sembunyi di atap rumah saat dua atau tiga orang tentara datang ke rumahku dan menggeledah seisi rumah, dan kabur dengan emas dan uang yang masih tersisa di lemari milik ibu.

    Yang lebih mengherankan bagiku, yang aku tak tahu pasti, adalah alasanku untuk tetap tinggal di rumah.

    Di satu sisi, keinginanku untuk tinggal disini adalah karena aku merasa hidupku akan berakhir sia-sia. Jika apa yang dikatakan Iris benar, bahwa aku, kelak, akan menjadi pembunuh di masa depan, maka rasanya Iris benar tentang diriku. Mungkin sebaiknya aku mati disini saja.

    Namun bagian lain dari diriku bilang bahwa aku harus menunggu Iris pulang, dan memulai kehidupan baru bersamanya seperti apa yang sudah aku rencanakan semenjak ia datang. Jika kelak ia tak kembali, rasanya kehidupanku, semuanya akan terguncang hebat. Entah aku bisa menerimanya atau tidak, tapi, kurasa aku akan sangat sulit menerimanya…

    …karena untuk sekarang, kehadiran Iris benar-benar memberi alasan bagiku untuk terus hidup.

    Tentu saja, meskipun tanpa Iris, ada hal-hal lain yang bisa dinikmati jika kita terus hidup, seperti apa yang sudah menjadi prinsip hidupku selama ini. Tapi aku tak bisa membayangkan diriku terus hidup, menjadi jenderal militer, membunuh banyak orang, dan berakhir di tiang gantungan. Hal itu sama sekali tak kuinginkan.

    Duduk manis di depan TV, ditanganku menempel sebuah bingkai foto kecil berisikan selembar foto keluarga. Iris, adikku satu-satunya, tampak tersenyum menatapku.

    Iris…

    Sebenarnya kau pergi kemana?

    Semenjak pertengkaran kami hari itu, ia menghilang. Sosoknya tak pernah lagi kutemukan. Entah ia pergi ke luar negeri atau pulang ke masa depan, aku tak tahu.

    Aku masih ingat pagi hari itu saat aku terbangun didepan televisi yang masih menyala. Iris tak ada di rumah. Ia menghilang, lenyap seperti bintang jatuh di malam hari, atau seperti bintang P*rn* di hadapan publik.

    Seharian aku mencari sosoknya dan sama sekali tak kutemukan. Tony, satu-satunya orang yang tahu tentang rahasia Iris – bilang padaku bahwa ia mungkin saja pulang ke masanya untuk suatu alasan tertentu, mungkin karena tidak bisa menjalankan tugasnya, atau mungkin untuk alasan lain.

    Tony mungkin benar, tapi, entah kenapa aku masih menunggunya.

    Kembali kutatap sosok adik kecil dalam bingkai foto itu yang masih tersenyum manis. Dia tampak begitu bahagia.

    ………

    Kami masih harus melakukan banyak hal yang belum sempat kami lakukan. Menonton kembang api, pergi ke festival, memancing, jalan-jalan, atau apapun. Apapun yang bisa menebus semua rasa bersalahku padanya.

    Kriiinnnggg!

    Suara telepon.

    Kriiinngg!

    Aku tak mau mengangkatnya. Biar saja.

    Memeluk lututku, kubenamkan wajahku diantara lutut, berharap suara itu tak terdengar lagi.

    Kriiinnnggg! Kriiinnnggg! Kriiinnnggg!

    Berhenti…

    Berhenti…

    Berhenti!

    Krriiinnnggg!

    Tidak! Aku tak akan mau menjawabnya!

    “Operasi evakuasi warga di pesisir resmi dihentikan mulai malam ini. Para penduduk yang…”

    Ah, selesai. Takkan ada lagi bantuan yang datang.

    Mungkin hanya aku satu-satunya manusia yang tersisa di kota ini.

    Kriiinnggg!

    Tetapi, bila semua penduduk di kota ini sudah pergi, siapa yang menelpon?

    Krriiiinng!

    ………

    Kuputuskan untuk berdiri, melangkah perlahan. Rasa penasaran kini malah mendorongku untuk menuju tempat dimana telepon berada.

    Berjalan di lobi, kulewati beberapa bagian lantai yang hancur akibat hantaman tinju sang robot, juga beberapa retakan di dinding. Lantai dan dinding tersebut kini tampak
    berdebu dan kotor – aku sudah tak punya gairah untuk membersihkannya. Tak ada artinya lagi.

    Kriiinnng!

    Kuangkat gagang telepon perlahan.

    ***

    “Hal-“

    “Arche…”

    Eh? Apa?

    Iris?

    Ia Iris!

    “Iris?!”

    “………”

    “Iris, itu kau, kan?”

    Sosok suara itu tak menjawab, meski dari suaranya aku tahu Iris yang menelpon. Untuk beberapa saat aku menunggu jawabannya, sehingga hanya keheningan yang muncul menyelimuti kami berdua. Saat aku berdebar menunggu suaranya kembali, yang terdengar kemudian hanyalah suara tawa kecil di seberang.

    Iris, ternyata ia masih disini! Betul dugaanku.

    “Iris, dimana kau?”

    “Kenapa kau masih disana, Arche?”

    “Diam dan beritahu lokasi tempatmu berada sekarang!”

    Lagi-lagi ia tak menjawab, dan kembali tertawa.

    “Ahaha…”

    “Iris?”

    ………

    Ia masih tertawa…

    …bodoh.

    Aku menunggunya berhari-hari, dan kini ia malah tertawa cekikikan sepeti anak kecil.

    ………

    Entah kenapa, aku juga ikut tertawa senang, hingga beberapa saat kemudian, yang terdengar di telinga kami masing-masing hanyalah suara tawa riang ibarat anak-anak ingusan.

    Sore ini mungkin kelam. Awan kelabu diluar dan angin dingin mulai menusuk tulang.

    Namun aku merasa senang. Beban di dadaku kini terasa jauh lebih ringan.

    “Dimana kau sekarang?”

    “Tak bisa memberitahumu tentang itu, Arche.”

    “Pulanglah.”

    “………”

    “Aku menunggumu.”

    Untuk beberapa saat atmosfir kesunyian kembali melanda percakapan kami berdua, hingga Iris menjawab tak lama setelahnya.

    “Aku tak bisa pulang, Arche.”

    “Eh?”

    Tak bisa pulang?

    “Kenapa? Apa yang terjadi?”

    Untuk beberapa saat aku kembali menunggu hingga Iris menjawab dengan nada sedih, “Ini…mungkin ini terakhir kali aku bisa bicara denganmu.”

    “Apa yang kau bilang, Iris? Cepat pulang!?”

    Iris kembali tak menjawab, terus tak menjawab bahkan saat kupanggil namanya berkali-kali, “Oi, oi! Iris? Kau masih disana? Kau bisa mendengarku, kan?”

    “…ya, Arche.”

    Nada suara Iris terdengar amat kelam, hingga kemudian tertawa kecil sebelum ia melanjutkan kata-katanya.

    “Aku sempat ragu tentang hal ini, tapi, meskipun Tony melarangku, kurasa kau berhak tahu semua ini, Arche.”

    Eh, Tony?

    Apa maksudnya ini? Mengapa ia menyebut namanya?

    “Arche, aku akan menghentikan meteor itu.”

    Mengehntikan meteor yang jatuh?

    Gila! Bagaimana dia melakukannya?

    Yang muncul di pikiranku adalah bahwa ia bisa hancur bahkan sebelum mendekati meteor itu.

    “Jangan bercanda? Bagaimana kau melakukannya?” Kataku setengah berteriak. “Dan apa yang kau maksud? Tony? Kenapa dengannya?”

    “Kami berasal dari masa depan, Arche.”

    Astaga!

    Ini semua gila! Benar-benar gila!

    “Dengarkan aku, Arche…”

    “………”

    “Aku akan mencegah bencana itu terjadi, apapun yang terjadi. Bila meteor itu tak pernah jatuh, bencana besar yang kusebutkan takkan pernah terjadi. Perang itu, semua jiwa yang pergi, penderitaanmu, penderitaanku, semuanya takkan pernah ada.”

    Seluruh tubuhku rasanya shock. Entah apa yang membuat otaknya rusak seperti itu. Dan Tony…

    Agh, sialan!

    Kenapa ini semua terjadi?

    “Apapun yang terjadi, aku akan menyelamatkanmu, Arche. Jika bencana itu tak terjadi, kuharap, kau akan hidup jauh lebih baik.”

    “…kalau begitu, kau bisa pulang setelah berhasil, kan?”

    “Aku tak bisa…”

    “………”

    “…maafkan aku, Arche. Mungkin, ingatan tentangmu dari memoriku akan hilang akibat misi ini. sistem di tubuhku mungkin rusak.”

    “Sistem?”

    “Mmm.”

    “Jika hanya sistem, Aku kelak akan menyembuhkannya.” Kataku, geram. Kali ini aku benar-benar kesal. Kesal karena ia berkata padaku seolah-olah tak ada harapan lagi bagi kami untuk bertemu. “Aku akan menjadi teknisi, dan akan kusembuhkan memorimu!”

    “Terima kasih, Arche. Tapi…”

    “Apa? Kau akan bilang kita takkan bisa bertemu lagi? Kenapa? Ada alasan lain?”

    “…time paradox.”

    “Eh?”

    Time paradox? Keanehan waktu?

    Apa maksudnya?

    “Arche, aku tiba disini karena kau, Jenderal Van Klinken, mengirimku untuk membunuhmu. Bila kelak kau tak jadi seorang jenderal, siapa yang mengirimku?”

    ………

    “…tak ada, kan?”

    Ya, benar.

    Jika aku bukanlah seorang jenderal, takkan ada yang mengirimnya ke masa ini.

    “Jika tak ada yang mengirimku, keberadaanku disini seharusnya tak pernah ada.”

    “Dan setelah misi ini, kita tak bisa bertemu lagi, karena kau takkan pernah ada lagi?”

    “Mmm.”

    ………

    “Semuanya akan menghilang, lenyap seperti kabut di pagi hari?”

    “Jika aku menghilang, misiku berhasil.”

    “Tapi...”

    “Maafkan aku.”

    Untuk beberapa saat kemudian, hanya kesunyian yang ada diantara kami berdua.

    “Untuk semua yang telah kau lakukan-“

    Iris menghentikan sementara kata-katanya, seolah mengumpulkan kekuatan untuk mengucapkan yang ia akan katakan selanjutnya.

    “-terima kasih banyak.”

    “Iris…”

    Ia tak menjawab lagi.

    Yang terdengar selanjutnya adalah suara telepon yang ditutup.
     
  9. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Kututup telepon itu rapat-rapat, meski gagang telepon itu masih kugenggam dengan erat.

    Aku masih tidak tahu apa yang terjadi. Barusan itu, percakapan itu, semuanya bagaikan mimpi saja. Apakah aku bisa menerima perpisahanku dengan Arche atau tidak, aku tak tahu pasti.

    Yang jelas, aku sadar satu hal, bahwa percakapan tadi itu, mungkin itu kali terakhir aku bisa bicara dengan Arche. Kenyataan bahwa dalam beberapa menit kedepan aku akan duduk di mesin pemrogram robot dan kehilangan semuanya cukup membuatku takut.

    “Selesai?”

    Sebuah suara yang muncul dari balik tubuhku terdengar cukup melengking, menusuk. Aku yang tersentak langsung saja menoleh kebelakang. Tony yang bicara.

    “Anu…”

    “Kau seharusnya tak pernah bilang padanya. Akan lebih mudah baginya jika ia tak tahu tentang ini semua.” Katanya kemudian. “Tapi karena ia sudah tahu, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.”

    “…maafkan aku.” Suaraku terdengar lirih. Meski merasa sedikit bersalah, aku tak menyesal. Bisa berbicara dengan Arche merupakan anugerah tersendiri bagiku.

    Tony, bagaimanapun, menggeleng. Seolah kesal dengan apa yang kulakukan. “Turunlah. Sebentar lagi tiba giliranmu.”

    Aku mengangguk, berjalan beberapa saat hingga tiba di kamar dengan pintu rahasia, dan melompat turun menuju ruang bawah tanah yang ia maksud. Menunggu di ruang bawah tanah adalah Ardelia yang sedang asyik memainkan komputer. Tanpa mengganggunya, aku melangkah, duduk di kursi yang kini menjadi mesin pemrogram robot. Sadar akan keberadaanku membuat Ardelia menoleh.

    “Mesin ini akan siap beberapa menit lagi.” Kata Ardelia perlahan. “Iris, kau yakin ingin melakukan ini?”

    Itu bukan kali pertama Ardelia menanyakan hal itu padaku. Semenjak aku tahu bahwa ia ikut terlibat dalam misi ini, ia sudah menanyakan hal itu berkali-kali.

    Dan sejujurnya, aku tak pernah tahu apakah aku siap, atau yakin dengan keputusanku. Hanya saja, setiap kali muncul keraguan, aku selalu ingat dengan Arche, dengan kenyataan bahwa aku tak ingin ia menderita di masa depan.

    Karenanya, aku menoleh padanya, mengangguk, dan tersenyum. Ardelia membalas senyumanku dengan sebuah senyum yang sama, lalu berjalan padaku perlahan hingga ia tiba di samping tubuhku. Kedua tangannya memegangi tanganku yang memegang lengan kursi.

    “Kau akan baik-baik saja, Iris. Aku tahu itu.”

    “Terima kasih.” Jawabku. “Aku tak berharap banyak. Aku hanya berharap, misi ini berhasil dengan baik.”

    “Mari berdoa supaya itu terwujud.”

    “Mmm.”

    Untuk sesaat kami terhanyut dalam kesunyian. Ardelia tampak menundukkan kepalanya perlahan, entah apa yang ada di pikirannya. Wajahnya tampak sedikit murung, tak tampak senyum di raut mukanya.

    “Kenapa Ardelia?”

    “Hmm?”

    “Kenapa kau ikut misi ini?”

    Sadar bahwa aku baru pertama kali menanyakan ini semenjak kehadirannya membuatku sedikit merasa bodoh, namun Ardelia hanya tersenyum.

    “Tak ada alasan khusus, aku hanya…” Ia menghentikan kata-katanya sejenak, sebelum meneruskan bahwa ia ikut terlibat tanpa ada alasan khusus. “Mungkin bisa dibilang, aku hanya ingin membantu Tony dan Arche menemukan arti hidup mereka. Atau mungkin…”

    Kata-kata Ardelia terhenti sejenak saat Tony tiba-tiba datang melompat. Ardelia menoleh padanya, melempar sebuah senyum kecil sebelum kembali menatapku.

    “…mungkin, karena aku ingin tahu seperti apa dunia masa depan.”

    Aku menjawab perkataan Ardelia dengan ucapan ‘eh’ yang terdengar kikuk. Melihat masa depan? Apa maksudnya? Apa itu berarti dia…

    “Kau pasti berpikiran bahwa aku sudah tak ada di masa depan.”

    Sial! Pernyataan yang jitu!

    “Apakah itu berarti…”

    Ardelia mengangguk.

    “Aku tak pernah ada di masa depan yang kalian huni.” Katanya kemudian. Dan seolah terbawa suasana, Tony ikut berkata, “Ardelia Vivi, terdaftar sebagai prajurit dengan nomor seri B25MI, Divisi Tempur Rusia yang juga diseret ikut serta dalam peperangan.”

    “Dan statusnya?”

    “Gugur dalam tugas.”

    ………

    Jadi Ardelia sudah mati di masa depan.

    Hal itu menjelaskan mengapa ia ingin membantu Tony, untuk melihat masa depan, sekaligus mengubahnya.

    “Saat Tony terdampar di masa ini, aku melihatnya dari jendela lantai dua rumahku. Saat itu ayahku baru membelikanku sebuah teropong sebagai hadiah ulang tahun, jadi, aku bisa melihat saat-saat dimana Tony terdampar.” Katanya, sambil melanjutkan bahwa ia baru bisa membongkar identitas Tony saat keduanya masuk SMA yang sama. Bagaimana caranya ia membongkar identitas Tony, Ardelia tak menjelaskannya.

    “Tapi, kenapa kau ingin tahu, Iris?”

    “Hanya penasaran.” Jawabku, membuat Ardelia kembali tersenyum. “Kau benar-benar mirip dengannya.” Katanya lagi.

    “Siapa?”

    “Iris, adik Arche yang sesungguhnya.”

    Ah…

    Bahkan Ardelia sampai berpikiran hal yang sama dengan Arche dan Tony. Apakah aku benar-benar mirip dengannya? Parasku, lalu kelakuanku juga?

    “Hei,” Aku menoleh pada Tony perlahan.

    “Apa?”

    “Aku sempat berpikir tentang alasan kenapa kau marah saat Arche memanggilku Iris.” Kataku, mengacu pada sikap Tony yang mulai menjauhi Arche saat ia memanggilku Iris. “Mungkin kau mau mengatakannya? Aku mungkin takkan ingat apapun lagi setelah ini, jadi tak ada masalah kan?”

    “…kenapa aku harus menceritakannya padamu?”

    “Kau tak mau?”

    Tony diam, menggerutu. Mungkin ia tak ingin mengatakan alasan dibalik sikapnya itu, dan aku juga takkan memaksanya andaikata ia tak mau.

    Tetapi kemudian ia malah mulai bercerita.

    “Singkatnya, aku tak ingin ia terjebak dalam masa lalunya saja.”

    “Eh?”

    Tony menghela napas panjang sebelum kembali bercerita, “Awalnya aku diberi misi untuk membunuh si sialan itu, namun untuk suatu alasan yang jelas, aku tak bisa melakukannya.”

    Aku mengangguk-angguk, bodoh.

    “Misiku kemudian berubah. Aku memutuskan untuk tinggal disini dan berteman dengannya. Aku terus berusaha menjadi sahabat terbaiknya, terlebih saat ia kehilangan keluarganya melalui kecelakaan pesawat yang tak bisa kucegah, dan menderta depresi berat. Ia kehilangan tujuan hidupnya saat itu, namun aku berusaha sebaik mungkin agar ia kembali ceria.”

    “Kenapa melakukan itu?”

    “Agar ia tak kehilangan arah, dan tidak menderita di masa depan.” Jawabnya. “Arche, ia menjadi jenderal militer karena ia kehilangan semuanya. Jadi, kupikir, bila ia bisa melupakan masa lalunya dan melangkah maju, ia bisa menemukan kehidupannya sendiri.”

    “Bukankah Arche, dan kau juga, dipaksa untuk masuk tentara?”

    “Pada dasarnya ya,” jawabnya. “Tapi untuk sampai ke tahap Jenderal, ia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Aku tahu ini semua karena ia yang bercerita padaku, tentang keluarganya, tentang alasannya untuk berada di kemiliteran, yang untuk menghapus memori kelam di masa lalunya, dan mengisinya dengan perang yang menyita waktunya.”

    Mendengar kata-kata Tony aku hanya bisa melongo. “Jadi,” tanyaku kemudian. “Karena kenangan pahit yang dialami Jenderal di masa ini, ia berubah jadi mesin pembunuh?”

    “Kurang lebih.” Jawab Tony. “Dan saat ia memanggilmu dengan sebutan ‘Iris’, aku sadar bahwa semua upayaku ternyata sia-sia saja. Aku mulai menjauh darinya, kembali mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk melaksanakan misi awalku untuk membunuhnya, meskipun akhirnya sia-sia karena aku juga tak bisa melakukannya.”

    ………

    Jenderal, kenapa ia tak pernah memberitahuku tentang hal itu?

    Yang kutahu selama aku bersamanya, Jenderal merupakan seseorang yang tak pernah menunjukkan sisi kelamnya. Ia selalu ceria, sehingga aku tak pernah tahu detail mengenai masa-masa kelamnya.

    “Ia amat senang saat menemukanmu, Iris. Baginya, kau adalah kesempatan kedua untuk menjalani kehidupannya yang hilang. Ia akan melakukan apapun untukmu.” Kata Tony lagi, dan kata-katanya itu makin membuat perasaanku tersentak.

    Aku merasa, semua kebaikan yang Jenderal lakukan, semuanya benar-benar terlalu banyak.

    Dan juga tulus…

    Sempat aku berpikir bahwa andaikata aku mampu melakukannya, pasti akan kubalas kebaikan Jenderal. Tetapi mendengar hal itu dari Tony serasa mengaburkan semuanya.

    “Aku percaya bahwa ia sengaja mengirimmu kemari bukan untuk sekedar membunuhnya, tapi, alasan sebenarnya ia mengirimmu, mungkin untuk memberimu kesempatan menikmati kehidupan yang damai.”

    “…ya.” Jawabku perlahan. “Ia sudah melakukan terlalu banyak bagiku.”

    Membayangkan kehidupanku yang penuh tawa bersama Jenderal di masa depan, membuat perasaanku semakin terkoyak.

    ………

    Misi ini harus berhasil. Demi Tuhan, ini harus berhasil!

    “Aku akan melakukan misi ini. Aku akan menyelesaikannya.” Kataku mantap.

    “Semangat yang bagus.” Jawab Tony kemudian. “Jika meteor jatuh, perang akan berkecamuk. Identitasmu mungkin akan terbongkar. Aku akan tetap jadi tentara dan Ardelia juga mungkin akan mati. Ada beberapa alternatif lain bagi kita semua untuk mengubah jalannya masa depan, seperti kabur ke luar negeri atau pindah dan hidup bersama di pulau terpencil. Tapi waktu yang tinggal empat hari ini tak memungkinkan hal itu terjadi. Lagipula, kabur bukanlah solusi atas suatu masal-“

    “Kau tak perlu khawatir tentang itu, Tony.” Jawabku. “Akan kuselesaikan ini semua.”

    Tony mengangguk, tersenyum. Aku bertekad akan menyelesaikan semua ini dengan sebaik-baiknya.

    Semua ini mungkin tak adil, semua yang kualami ini. Satu hal yang kuinginkan hanyalah mendapat hidup yang kembali damai, dan saat hal yang kuinginkan sudah mulai kudapatkan bersama Arche, semua kembali buram.

    Tapi sekali lagi, demi Arche, dan demi masa depan, aku akan melakukan ini. Aku tak boleh ragu dengan keputusanku.

    Bukankah bagus mengubah masa depan menjadi dunia yang damai? Dunia tempat dimana taman-taman bunga tersebar, rerumputan hijau membentang? Dunia dimana terdapat kota-kota yang indah, serta senyum yang mengembang dari setiap anak yang bermain di taman?

    Ah, dunia yang seperti itu, pasti merupakan tempat yang sangat indah.

    Teng…Tong…

    Terdengar suara bel rumah yang berbunyi, disertai suara pintu rumah yang diketuk berkali-kali.

    “Buka pintu!”

    Suara Arche.

    ………

    Aku dapat mendengar suara itu dengan jelas.

    “Tony! Sialan! Buka pintu!”

    Kembali terdengar suara pintu yang digedor, berkali-kali suara itu terdengar.

    “Aku akan keatas.” Kata Tony kemudian. “Kalian lanjutkan disini.”

    “Dimengerti.” Jawab Ardelia. Seiring dengan jawabannya, Tony beranjak naik keatas lantai. Tak lama setelahnya sebuah suara seperti mesin yang menyala terdengar jelas.

    “Ah, mesin ini sudah siap.” Kata Ardelia perlahan. Ia menatap layar komputer yang menampilkan tulisan “ready to execute.”

    ………

    Saatnya sudah tiba. Saat dimana system di tubuhku diubah.

    Aku berusaha rileks, menerima apa yang akan terjadi. Duduk menyandar pada kursi pemrogram ini, aku menatap langit-langit gudang.

    “Kau siap, Iris?”

    “Mmm.”

    Ardelia tersenyum, dan mulai beranjak. Ia tiba di depan komputer tak lama kemudian, memainkannya. Suara ketukan jarinya yang menyentuh keyboard dapat kudengar dengan jelas.

    Yang muncul kemudian di memoriku adalah semua yang kulalui bersama Jenderal.

    “…kau sudah melewati banyak hal. Ayo kita pulang.”

    Itu adalah kata-kata Jenderal yang pertama kudengar.

    Seketika aku kembali teringat saat Jederal menghampiriku di hari hujan, memeriksa tubuhku, membayar para algojo dan membawaku pulang hanya dengan menggendongku saja. Ia membawaku ke rumahnya yang tampak seperti puing-puing bangunan.

    “Apa bunga-bunga ini akan tumbuh mekar, Jenderal?”

    “Ya, Model 70. Tentu.”

    Entah bagaimana, aku juga teringat dengan taman bunga yang kutanam bersama Jenderal dibawah terik matahari pagi. Jenderal memberiku sebuah topi bundar kala itu. Ia memakaikan topi itu di kepalaku dan tersenyum.

    “Kepalaku jaminannya!”

    Dan juga, saat jenderal mereparasi ulang tubuhku dibawah todongan senjata para tentara militer, saat ia mati-matian menyembunyikan detail tentang memoriku yang tak dihapusnya.

    “Karena, ada beberapa hal yang hanya bisa dinikmati jika kita terus hidup.”

    Saat jenderal menyelimutku, mengajakku bermain, melindungiku dari serangan monster di gedung sekolah lama…

    Bersamanya membuatku merasa yakin jika aku akan baik-baik saja, sama seperti saat aku menjadi robot pelayan dulu.

    Jenderal…Arche…

    Aku tak mau itu semua menghilang begitu saja. Aku ingin selalu ingat.

    Selamanya, ingin selalu ingat…
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Jan 24, 2014
  10. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    wah keren ceritanya ternyata, hohohoho~

    rada lieur sih tapi keren...

    Jadi sebenarnya Tony dan Ardelia yg maen sama si Arche saat ini bersama Iris... itu semua adalah orang-orang yang di masa depan tapi gagal membunuh si Arche karena tidak tega membunuhnya gitu>? (Kecuali Ardelia ayg penasaran dengan ide untuk mencegah kematiannya sendiri, kasihan sih haha, cewe malah jadi prajurit perang dan malahan gugur...)
    Terus kalau gitu Tony yang ngambil buku Stephen Hawkings juga benernya Tony dari masa depan juga dong? kenapa dia harus ambil buku itu kalau dia yang bikin mesin waktu itu>?
    Jadi di semua chapter itu, sebenarnya mereka bertiga udah saling kenal dong walaupun pura" jaim?

    PS: iya sayangnya emang kadang-kadang bahasa binatangnya agak bikin malas untuk dibaca, tapi udah keren koq ceritanya, walau rada menclok cara penceritaanya, semoga benar yang saya ngerti sama dengan yang Fairy-san coba sampaikan

    Keren sih tetap meskipun ada pertanyaan :p

    bener juga ya kata orang" lonje, Fairy-san OCnya mesum" -__________________-

    :ogcute::ogcute: kapan dilanjutkan? :D

    PS2: jika master berkenan akankah master memberikan cabe untuk fic-fic saya \(.o.)/~
    PS3: bolehkah saya coba menggambar OC-OC ini? :p kalau sempat hahahaha
    PS4: saya nangis lho bacanya TT_TT
     
    Last edited: Jan 31, 2014
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    makasi :matabelo:

    [​IMG]

    well, bener sih, tapi Tony ga bikin mesin waktu jadi dia ga tau apa2 tentang mesin waktu, makanya dia ambil itu buku :XD:

    PS : aih, itu emang personalitynya si Tony dan Arche sih :hiks:
    PS 2 : sudah dilakukan :hmm:
    PS 3 : silakan, makasi banget kalo emang mau dibikinin :matabelo:
    PS 4 : aih, nangis kenapa :hiks:
     
  12. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    ooooooooooooooooooooooooh, jadi Tony ini mempelajari mesin waktu supaya bisa merubah mesin waktu yang dia punyakah? supaya si Iris bisa dimodif dst dsb?

    PS : hahaha, saya jg ada koq OC perv -______- belon nongol aja...
    PS 2 : kansha de arimasu~
    PS 3 : hohoho... ada descript lebih jelas ga bwt mrk? :p tertarik dengan si Tony dan Iris sih :p (jadi keinget OCku jg ada yg namanya Tony, tp belakangnya GLASS :p)
    PS 4 : Terharuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu, especially akhir", atau ketika si Arche / Tony blg hal" mengharukan~ eh sama yg resiko si Iris kehilangan memorynya :hiks:

    welp ga sampe banjir sih tp berkaca"+satu tetes-2 tetes sih dapet lah~ 5 tetes juga dapet
    *SARAP ni orang ngitungin tetesan air mata*
     
  13. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    iya, kurang lebih begitulah :hmm:

    PS : ayo cepet nongol
    PS 2 : haai~
    PS 3 : dulu ada sih :iii: tapi kehapus n belum aku bikin lagi :lol:
    PS 4 : aih, ga nyangka :terharu: makasi banyak :matabelo:

    *iya, sarap ni orang :ngacir:

    ---------------

    masih sangat-sangat kasar, editan menyusul kalo ga tarsok :ngacir:

    miss again :elegan:

    “Tony!”

    Kembali aku berteriak, menggedor-gedor pintu rumahnya. Tak kupedulikan lagi tingkahku yang seperti orang gila. Takkan ada yang melihat, dan lagipula siapa yang bisa mengukur tingkat kewarasan seseorang dalam kondisi seperti ini? atau setidaknya, dengan posisi yang kualami kini?

    Apa yang Iris katakan tentang Tony, bagiku rasanya semuanya seperti omong kosong. Manusia masa depan, misi penyelamatan, semuanya terdengar seperti sebuah film fiksi ilmiah murahan, atau game Being With You in the Outer Space atau My Childhood friend is an Alien yang sering kumainkan – nyatanya kedua game itu memang buruk, aku hanya menyukai adegan sabun di kamar mandinya saja.

    Tapi tetap saja, untuk suatu alasan yang entah apa, semua kata-kata Iris begitu nyata. Itu menjelaskan kenapa kini aku berdiri di depan rumah Tony, bertingkah seperti orang gila.

    Menunggu Tony muncul, rasanya seperti menunggu hujan di musim panas.

    “Tony, keluar kau-“

    “Tony!”

    “Tony!”

    Baru saja aku akan kembali menggedor pintu ruhamnya saat kemudian, dari balik kaca jendela rumahnya, kulihat sosok Tony yang berjalan menuju pintu rumah. Bagus, dia datang. Cepat kemari, dungu. Akan kuhajar kau habis-habisan.

    Tak lama kami saling berhadap-hadapan, dengan kaca jendela sebagai penghalang kami. Ia tak lantas membuka pintu rumah. Dasar pengecut.

    “Buka pintu!”

    Tony menatapku, dingin. Tatapannya itu, tatapan bodohnya itu, ugh kenapa kini aku kesal dibuatnya? Padahal biasanya pandangan matanya itu membuatku tertawa.

    Aku tak pernah habis pikir. Sebenarnya, apa yang terjadi selama beberapa terakhir ini? Kenapa semuanya berubah secara tiba-tiba?

    Makin lama, melihat tatapannya membuatku kian murka. Rasanya aku baru saja melihat orang lain, melihat sosok penjahat yang menculik orang satu-satunya yang berharga milikku, sial! Saat pintunya terbuka, aku benar-benar akan kuhajar dia habis-habisan.

    Namun pintu itu tetap tak dibukanya, hingga aku kembali berteriak dan menggedornya berkali-kali. Sosok Tony tetap tak beranjak dari balik jendela.

    “Tony!”

    Ia masih tidak membuka pintunya dan tetap menatapku dengan tatapan dingin.

    Sialan!

    “Tony!”

    Buak…buak…

    “Tony!”

    Buak…

    “Tony! Sialan!”

    Baru saat aku akan menendang pintunya, sosok Tony bergeser sedikit. Tampaknya aku berhasil.

    Engsel pintu ini bergeser perlahan. Saking bersemangatnya, aku segera mendorong pintu ini bahkan sebelum daun pintu ini bergerak.

    Tetapi, ah, sebuah rantai kunci menghalangi pintu ini dari terbuka lebar.

    Bangsat!

    “Dasar pengecut! Tony!”

    “…kenapa, Arche?”

    “Diam dan lepaskan Iris!”

    Tony menghela napas sementara aku menggoyang-goyang daun pintu dan kembali berkata padanya dengan nada tinggi, “Tony, akan kau apakan Iris? Aku ingin bertemu dengannya! “

    Dengan wajah gusar, ia menurut. Saat kunci rantai di pintunya bergeser aku sudah mendobraknya hingga membuat Tony sedikit terpental. Teman baikku sejak SMP, kini tersungkur oleh tindakanku yang etnah masih dalam batasan akal sehat atau tidak.

    Ah, aku tak peduli lagi.

    Aku tak peduli dan mulai merangsek masuk.

    “Iris!”

    Dia tidak ada di kamar.

    “Iris!”

    Dia tidak ada di kamar mandi.

    “Oi, Iris!”

    Tidak ada. Tidak ada. Dia tak ada dimanapun.

    Sial!

    Tony pasti menyembunyikannya di suatu tempat. Kuhampiri dia dan segera kuraih kerah mantelnya.

    “Katakan dimana ia berada-”

    “Lepaskan tanganmu dariku!” Teriaknya, menampik tanganku hingga kembali terlepas. Saat aku akan kembali meraihnya, Tony dengan cepat menampik. “Diam kau!”

    “Beritahu dimana Iris!”

    “………”

    “Dimana kau menyembunyikannya!”

    Tony kembali tak menjawab hingga membuatku berang. Tanpa ragu, kembali aku mengayunkan kedua tanganku ke kerah mantelnya.

    “Dengar, manusia masa depan!” Kataku geram. “Aku tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan dunia ini. Tapi jika kau mau menjadi pahlawan masa depan, lakukan sesukamu dan jangan bawa aku, atau Iris.”

    Tony masih tak menjawab. Bibirnya sedikit terangkat seolah ingin berkata sesuatu, tapi aku sudah mencecarnya kembali.

    “Menipuku selama ini mungkin bisa kumaafkan, tapi aku tak bisa membiarkan sesuatu terjadi lagi pada keluargaku!” Teriakku. “Saat kesempatanku untuk kembali bersama keluargaku, kembali dengan adikku tiba, kenapa kau merebutnya lagi?”

    “…ada apa dengan semua melodrama ini, Arche?”

    Hah?

    “Kenapa kau berjuang begitu keras untuk ini semua?”

    Sialan…

    Sialan!

    Tony kemudian mendorong tubuhku hingga kami terlepas, terjatuh di lantai. Tanganku masih mengepal kuat-kuat.

    “Maafkan aku. Ini satu-satunya jalan agar kau bisa selamat!”

    “Setidaknya jangan libatkan Iris-“

    “Aku tidak pernah melibatkannya! Dasar goblok!”

    “………”

    “Kau yang tak tahu apa-aa sebaiknya diam saja!”

    ………

    “Kau harus hidup, demi dia juga!”

    Tony…

    “Dia tidak melakukannya untukmu! Dia melakukannya untuk dirinya sendiri, sialan!”

    Kata-katanya…

    “Aku akan mencegah bencana itu terjadi, apapun yang terjadi. Bila meteor itu tak pernah jatuh, bencana besar yang kusebutkan takkan pernah terjadi. Perang itu, semua jiwa yang pergi, penderitaanmu, penderitaanku, semuanya takkan pernah ada.”

    Iris…

    “…penderitaanku, semuanya takkan pernah ada.”

    Apa aku…

    ………

    Entah untuk alasan apa, kepalan tanganku kini mengendur.

    Menjatuhkan diriku ke lantai, aku duduk lemas dengan kepala menunduk.

    Rasanya, aku ingin menangis.

    ***​

    Matahari sudah tenggelam, berganti dengan malam yang dingin.

    Duduk di lantai rumah, aku dan Tony hanyut dalam keheningan. Cahaya yang memancar dari lampu rumah ini tampak meredup – mungkin sebentar lagi aliran listrik ke kota ini akan terputus. Kini, yang terdengar olehku hanyalah suara angin yang berhembus, dan juga suara mesin yang menyaru, yang kemudian kutahu berasal dari mesin yang sedang digunakan Ardelia untuk memprogram ulang Iris.

    Tony menceritakan semuanya padaku. Tentang Iris, tentang misi ini, tentang Ardelia, juga tentang dia dan aku di masa depan. Dia menjelaskan semuanya serinci-rincinya, dan mengatakan padaku satu hal yang kini membuatku merasa amat berdosa pada Tony dan juga pada Iris – bahwa apapun yang terjadi, mereka akan mencegah bencana ini, dan membiarkanku terus hidup.

    “Kau jangan salah sangka, Arche.” Kata Tony. “Iris, dia tidak melakukan ini untukmu atau untukku.” Kata Tony perlahan. “Ia melakukannya, untuk dirinya sendiri, karena ia menginginkannya.”

    Aku mengangguk, perlahan, tersenyum.

    “Dia bilang padamu bahwa ia masih ingin hidup, melihat dunia yang indah ini, dan hidup bersamamu, bukan?”

    “Hal itu seolah kesempatan kedua bagi aku dan Iris untuk menjalani kehidupan ini seindah mungkin.” Jawabku, mengenang percakapan kami di puncak bukit, sesaat sebelum bencana ini tiba.

    “Iris akan kembali hidup dengan damai, dan aku bisa memenuhi kembali janjiku pada adikku satu-satunya. Tapi semuanya…”

    “Kau masih akan menjalaninya, kawan.” Kata Tony, membuatku menoleh padanya. Tony ikut menoleh padaku dan tersenyum. “Semua kehidupan yang menyenangkan itu, aku tahu kau akan kembali menjalaninya.”

    ………

    Jika aku berpikir dari apa yang menjadi sudut pandangku, mungkin aku takkan pernah mengerti semua ini. Aku takkan bisa mencerna apa yang dimaksud Tony. Bagaimana mungkin aku bisa menjalani kehidupan yang menyenangkan saat aku harus kembali kehilangan orang yang membuatku bahagia?

    Tapi kini, setelah aku mencerna apa kata-kata Iris di telepon, dan apa yang Tony katakan, dan dengan semua yang kualami dalam kehidupanku, aku mengerti satu hal. Satu hal yang Tony katakan sejak awal.

    Bahwa, Iris benar-benar melakukannya karena ia menginginkannya. Karena hal inilah yang bisa membuatnya bahagia.

    Dan tujuan hidupku mungkin sudah tercapai dengan kebahagiannya.

    “Arche?”

    Aku mengangkat kepalaku, tersenyum. “Tak apa, Tony.” Kataku perlahan. “Iris, aku bangga padanya.”

    Tony tersenyum. Namun saat tangannya meraih pundakku aku tetap saja tak bisa menahan air mataku.

    “Maafkan aku, Arche.”

    ……

    Aku ini, apa-apaan sih? Aku ini kan laki-laki. Menangis merupakan hal yang tabu bagi seorang laki-laki.

    Mengusap air mataku, aku bangkit berdiri.

    “Tony,” kataku kemudian. “Aku juga akan ikut dalam misi ini.”

    “Eh?”

    “Jangan bilang ‘eh’ begitu.” Jawabku. “Ayo, katakan padaku apa yang harus kulakukan. Aku akan membantu Iris mencapai kebahagiaannya.”

    Tony tampak melongo untuk sesaat, kemudian tersenyum.

    “Kau jaga pintu saja.”

    “Hanya itu.”

    “Ini tugas yang berat.” Kata Tony kemudian. “Kalau ada maling yang masuk dan mengambil barang disini, takkan kupinjami kau film P*rn* lagi.”

    “Sialan kau ya?” Kataku tersenyum. Tony balas tersenyum, kini makin lebar. Ia menghilang tak lama kemudian.

    Membuka pintu utama rumah ini, kuhembuskan napasku lebar-lebar sambil melihat ke langit luas. Langit malam itu masih tampak indah seperti biasanya.

    Meskipun Iris kelak akan kembali menghilang, aku takkan sedih. Aku tak boleh sedih. Karena setidaknya, ia akan pergi tanpa membawa beban apapun di pundaknya. Adapun bagiku, aku juga kembali teringat akan satu hal.

    “Bahwa, kau tahu, bahwa meskipun jalur hidup kita melenceng dari apa yang kita harapkan, kita selalu bisa mendapatkan hidup yang menyenangkan. Karena hidup itu sendiri adalah anugerah.”

    Itu yang adikku katakan tentang hidup.

    Bahagia, sedih, pertemuan, perpisahan, semuanya merupakan alur hidup.

    ………

    Aku sudah menjalani kehidupan yang menyenangkan.

    Sungguh menyenangkan. Kelak, aku takkan punya penyesalan setelah ini semua berakhir.

    Sekitar sepuluh menit memandangi langit, seseorang membuka pintu rumah Tony dari dalam. Aku menoleh seiring suara pintu yang terbuka.

    Ardelia yang berdiri.

    “Arche…”

    “Yo,” kataku, tersenyum. Ardelia balas tersenyum, tipis.

    “Sudah selesai?” Tanyaku.

    “Mmm.”
     
    Last edited: Feb 1, 2014
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Data defragment complete.
    Del/f/Q/A D:\dltmmr/D
    Echo
    Format all : qxr/q/r/X/y
    Echo
    Format sys delsysfunc/x12
    Echo
    Format sys clrsys/del/f/QAD
    Echo
    Format sys addsys/add/add/dat/jk
    Echo
    Finisihing clear ec/12/model70/sysclr/addclr/funcclr
    Echo
    Echo
    Done.
    Prepare to reboot the system.
    Reboot complete.
    ………
    ***

    Perlahan, aku membuka mata.

    Hal yang pertama kali kulihat saat itu adalah atap kayu yang kotor.

    Duduk diatas sebuah kursi yang cukup reot, aku mulai melirik ke sekeliling. Buram. Gelap. Kunyalakan sensor inframerah di mata artifisialku hingga aku bisa melihat sekeliling. Sebuah mesin besar, sebuah komputer, sebuah, ah, apa itu? Generator? Bentuknya kecil sekali untuk dibilang sebuah generator.

    Sistem penglihatanku kemudian menangkap sosok tiga orang yang berdiri tegak. Dua orang lelaki dan seorang wanita. Seorang dari mereka memakai mantel tebal. Sang wanita memakai jaket tebal dan tersenyum kecil padaku. Seorang lagi, ugh, dia menatapku dengan sebuah senyuman yang lebih sayu dari sang gadis.

    Aku tak tahu siapa mereka. dan sedang apa mereka disini. Atau, lebih tepatnya, aku tak tahu dimana aku berada dan sedang apa.

    Rasanya, aku baru terbangun dari sebuah tidur panjang. Sebuah tidur panjang dengan sebuah mimpi yang indah. Tetapi kini saat aku membuka mata aku malah tak tahu apa yang kuimpikan.

    “Iris…”

    Ah, sang lelaki yang tersenyum sedih tiba-tiba berbicara.

    Ia menyebut sebuah kata.

    Iris.

    ………

    Kata itu, Iris, rasanya aku pernah mendengarnya. Tetapi, akh, memoriku buram. Aku tak tahu kapan, atau dimana aku pernah mendengarnya. Hanya saja, rasanya…kata itu cukup familiar.

    Tapi jika ia memanggil namaku, kurasa ia salah, karena namaku adalah model 70. Yang kuingat kini adalah, bahwa aku adalah sebuah robot yang akan ditugaskan untuk menghentikan sebuah meteor yang jatuh dari angkasa luar.

    “Arche, dia…”

    Sang gadis ikut bicara. Ia tak menyelesaikan kata-katanya karena sang pria sudah menggelengkan kepala, menyuruhnya berhenti.

    Perlahan, aku bangkit dari tempatku duduk. Tubuhku terasa sedikit kaku, terutama bagian tubuh di sekitar kaki yang kini kurasakan amat berat – seperti ada beberapa kilogram beban yang digantung disana.

    Sang lelaki membantuku bangkit, duduk, memegangi tanganku dan pundakku, juga membiarkanku rileks dan bersandar pada lengannya. Aku menatap sang lelaki kebingungan.

    Siapa dia? Mau apa dia? Apa aku pernah mengenalnya?

    Dan kenapa…telapak tangannya terasa hangat?

    “Bagaimana perasaanmu?”

    “…aneh.” Jawabku, refleks. “Anda…siapa?”

    Lelaki itu tak langsung menjawab. Sedikit tersenyum, salah satu telapak tangannya kemudian mulai menyentuh kepalaku dan mengacak-acak rambutku.

    “Arche.” Jawabnya. “Arche Van Klinken.”

    “Siapa?”

    Ia tak menjawab dan terus tersenyum.

    Arche, aku baru mendengar nama itu.

    “Arche, mungkin sebaiknya kita…”

    “Biarkan saja dia, Ardelia.”

    Seorang lelaki yang lain bicara. Suaranya mungkin kecil, tapi aku bisa mendengarnya dengan baik.

    “Arche…” kataku perlaahan, menyebut namanya. Ia mengangguk, sedikit tertawa sambil berkata, “Ya, ini aku, Iris.”

    Iris? Ah, jadi Iris yang dimaksud memang benar namaku. Tapi kenapa?

    “Kita pernah bertemu?”

    Sang lelaki berhenti tersenyum untuk sesaat, lalu kembali menampakkan senyum yang kini terlihat makin lebar.

    Dan telapak tangannya yang menyentuh rambutku terasa begitu hangat. Entah kenapa aku tak mau melepaskannya.

    “Tuaan, apakah kita pernah bertemu?”

    Aku takkan mengulangi pertanyaanku andaikata aku tak merasa begitu familiar dengan ini semua. Tapi, ini sungguh aneh. Rasanya aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat, atau, ah, tidak, bukan. Rasanya, perasaan ini, perasaan nyaman ini, aku pernah merasakannya.

    Dan lelaki itu, ia hanya terus tersenyum, menatapku dengan mata yang boleh kubilang, hampir menangis.

    “Tuan Arche…”

    Untuk beberapa saat ia terus mengacak-acak rambutku. Mataku masih menangkap sosoknya dalam-dalam, sosok wajahnya yang tersenyum padaku, lembut.

    Arche…Arche Van Klinken…

    Ini mungkin kali pertama aku bertemu dengannya.

    Tapi, entah bagaimana, aku merasa sangat nyaman di dekatnya.

    ***

    Kota Montblanc, tempatku berada sekarang, kurasa merupakan tempat yang indah dan damai.

    Arche bilang padaku bahwa di kota ini, setiap harinya berlalu ibarat festival. Ketika berita tentang meteor datang dan diduga akan mengenai selat Inggris, kota ini menjadi kota mati secara perlahan. Tetapi dalam beberapa hal, aku bisa merasakan bahwa kehidupan di kota ini memang benar-benar menyenangkan, seperti gerai café yang ada di pusat kota, bukit yang menghadap ke laut, jalanan kecil di tepi muara, unit toko dan restoran yang berjajar di dekat laut, juga halte bus yang ada di dekat jembatan. Meski mungkin aku – atau ingatanku – baru hidup disini dalam tempo waktu tiga hari, tapi itu cukup untuk membuatku merasa nyaman.

    Dan kenyataan bahwa besok aku akan menjalankan misi berbahaya ini membuatku sedikit takut. Bagaimanapun, aku masih ingin menikmati dan tahu lebih banyak tentang kota ini. Aku juga ingin tahu lebih banyak tentang Arche, Tony, Ardelia, dan Iris – aku masih tak tahu pasti kenapa ia memanggilku dengan sebutan Iris.

    “Kau sudah siap untuk besok?”

    “Eh?”

    “Melamun, ya?”

    Ah, sial. Aku melamun begitu larut sampai-sampai suaranya hampir tak kudengar.

    Setelah melalui serangkaian tes dan pengarahan, besok, misi ini akan kujalankan. Kami harus menunggu meteor itu tiba cukup dekat dengan bumi untuk dapat kujangkau. Dari beberapa kali tes, aku tak bisa terbang terlalu tinggi sehingga misi tak bisa kulakukan dari jauh-jauh hari. Besok, meteor akan tiba di atmosfir bumi, dan disanalah aku akan menghentikannya.

    “Ma…maafkan aku.” Kataku refleks. “Aku sudah siap.”

    Arche membalas jawabanku dengan sebuah senyum. Tak lama kemudian, ia menatap jauh ke langit luas, ke arah dimana awan mengapung tinggi. Cahaya jingga keemasan dari matahari yang terbenam dapat terlihat.

    “Hari yang indah, ya? Arche?”

    “Ya, kurang lebih.” Jawab Arche tersenyum. “Saat aku pertama bertemu denganmu, cuaca hari itu hujan deras, kau tahu?”

    Ah, ia mengulanginya lagi, cerita itu.

    Menurutnya, kami pernah bertemu. Dulu, sebelum aku tak ingat apapun lagi tentang itu. Ia bilang bahwa kami pernah melalui hari-hari yang menyenangkan bersama. Awalnya akku tak terlalu ingiin mengingatnya, tapi setiap hari, ia terus mengulang cerita itu. Setiap jam, atau bahkan setiap kami bertemu dan berjalan bersama, ia selalu mengulang cerita yang sama.

    “Maaf,”

    Eh?

    “Kau, mungkin bosan dengan ceritaku ya?”

    ………

    Tidak, bukan itu. Hanya saja…

    Arche…

    “Maafkan aku.” Katanya lagi, tersenyum. “Aku pasti sudah membuatmu kesal beberapa hari terakhir ini, hanya saja, aku, aku ingin mengingat semuanya. Aku tak ingin semua itu hilang begitu saja.”

    “Eh?”

    “Menceritakan semua ini pasti membuatmu kesal.”

    “Mmm,” Aku menggelengkan kepala perlahan, dan mulai kembali mengambil langkah.

    “Arche, maafkan aku.” Kataku kemudian. “Mungkin aku takkan bisa lagi mengingat semua yang kau ceritakan padaku, tentang apa yang sudah kualami sebelum memoriku hilang. Tentang raket listrik yang kau pukul padaku, tentang halte bus tempatku pertama kali muncul, tentang kontes memasak yang aneh, tentang hantu di sekolah lama, tentang terbang di langit cerah, dan yang lainnya. Kurasa aku takkan bisa lagi mengingat itu semua. Tapi, aku tahu satu hal…”

    “Apa itu?”

    Aku menoleh, menatap wajahnya yang menatapku polos, dan tersenyum.

    “…bahwa kau adalah orang baik.”

    Ya, itulah yang kupikirkan sekarang. Dia mungkin menjengkelkan, bercerita ini itu tentang siapa aku sebenarnya, atau apa, seolah aku yang sekarang bukanlah siapa-siapa.

    Tapi, ia benar-benar orang baik.

    Untuk beberapa saat, Arche hanya melongo menatapku.

    “Ayo,” kataku perlahan, berbalik arah, dan berjalan.

    Dan beberapa saat setelahnya, telapak tangan Arche sudah kembali bermain di kepalaku.
     
  15. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    Masih tear jerking :nangis::tolong:

    Fairy-san cocok bikin drama kayaqnya wkwkkwkwkw...
     
  16. jerrysunny Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 14, 2011
    Messages:
    29
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +8 / -0
    jangan pedulikan koment ini
    saya hanyalah orang lewat yg tiba2 buka orific baca cerita ini dari semalam dan selesai di bagian akhir,,
    asem kapan lanjutannya

    koment
    1 kenapa memangnya dengan banyak bacot dan adegan baku hantam,justru itu menunjukkan siapa arche dan kualitas dia sebagai seorang mesin pembunuh dimasa depan hingga g usah tambahin lagi cerita tony pada iris kenapa arche harus jadi jendral
    2 tidak seperti novel pada umumnya,cerita yg qharusnya bisa penuh kejadian,intrik dan apalah itu (kurang paham istilahnya LOL) tiba2 dipersingkat, sehingga tidak seperti erdragon, harry potret, lord of the liontin dkk yg memiliki nilai jual, ini hampir bisa disebut sampah dengan cerita dan drama yg nilainya jauh lebih bagus dari pada novel2 tadi,,
    3 memangnya kenapa dengan bahasa penulisan dan tanda baca, semua cerita yang menghasilkan jutaan dolar bahkan yang melegenda pun naskah aslinya awut2an,itulah kenapa ada yang bertugas sebagai editing

    ok sekian komentnya
    saya akan menunggu chapter selanjutnya
    demi segala mesin waktu dan time paradox jangan lama2 bung,,,
     
    • Like Like x 2
  17. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    makasi komennya kk :matabelo:

    err, aku kurang bisa interpretasi nih maksud kk di komen ini :hmm: apakah maksudnya :
    1. sebaiknya ga usah ditambahin cerita tony tentang kenapa arche jadi jenderal?
    2. kurang intrik, drama, dll sehingga kesannya datar?
    3. penulisan masih acak2an?

    mohon penjelasannya :maaf: kalo pedes juga gapapa kok :hmm: udah biasa dikasi pedes juga :haha:
    btw, thanks yaa udah baca sampe chapter sekarang :matabelo: lanjutannya masih on progress, ditunggu aja :peace:
     
  18. Rio_Shinn M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 29, 2013
    Messages:
    502
    Trophy Points:
    107
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +1,393 / -0
    Wah, udah update lagi.
    Entah kenapa pas baca dari awal, aku udah nebak2 kalau ujung2nya Iris yang harus mengorbankan diri untuk mencegah bencana, dan dia juga sempat kehilangan memori. Mungkin karena pernah baca/nonton yang sejenis gini dulu.

    Tapi tetap worth to read, nunggu kelanjutan yang tampaknya udah mendekati finale :sedih1:
     
    • Like Like x 2
  19. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    gah, susah bener :nangis:

    updet yang gagal seadanya :swt: maafkan saia :nangis: lagi kena tarsok n writer block :nangis:

    "Meskipun jalur hidup kita melenceng dari apa yang kita harapkan, kita selalu bisa mendapatkan hidup yang menyenangkan."

    Mungkin, hal itulah yang selama ini kupegang sehingga aku bisa tetap hidup sampai sekarang. Ucapan adikku itu benar-benar ajaib. semuanya kini terbukti menjadi nyata, setidaknya bagiku, semua itu nyata.

    Aku menjalani kehidupan yang menyenangkan dan bisa mendapatkan kesempatan kedua. Meski kesempatan ini bukanlah untuk mencapai apa yang kuinginkan, tapi setidaknya semua ini membuatku bahagia.

    Dan setelahnya. Semuanya berlalu seperti angin yang berhembus.

    Hari-hari yang kulalui bersama Iris, semuanya kini akan kembali berakhir. Tapi jika kurenungkan kembali, waktuku dengan Iris, bukankah semuanya memang sudah seharusnya berakhir sejak dulu? Sejak hari dimana kecelakaan pesawat itu berlangsung?

    Karena itulah, kehadiran sosok Model 70 merupakan suatu anugerah tersendiri. Waktu-waktu menyenangkan yang kulewati dengannya mungkin hanya berlangsung kurang dari sebulan, tetapi, bahkan bila semuanya berlangsung satu jam pun, aku akan sangat berterima kasih. Aku akan berusaha seekuat mungkin untuk tidak memiliki penyesalan, ah, bukan. Aku..aku tidak memiliki penyesalan apapun dengan ini semua. Melihat Iris bahagia melakukan semua ini sudah merupakan kebahagiaan tersendiri buatku. Untukku, janjiku padanya sudah terbayarkan. Janji yang kubuat padanya sebelum ia meninggal, agar ia kelak bisa terus tersenyum. Dan baginya, hal yang ingin ia lakukan sudah terkabul.

    Meskipun dia mungkin tak pernah bisa menjadi pemain baseball, dan aku tak pernah bisa merawatnya, namun kurasa, kehidupan bukan hanya sekedar dua hal itu, bukan? Karenanya beberapa hal hanya bisa dinikmati jika kita terus hidup.

    Seperti saat ini, saat dimana aku bisa menikmati pemandangan wajah Iris yang tersenyum bahagia.

    Berdiri di teras rumah, kini kami saling berhadapan. Hanya beberapa menit sebelum kami berpisah.

    “Arche…”

    “Ya?”

    Ia tak langsung melanjutkan kata-katanya, butuh beberapa detik baginya untuk kembali bertanya padaku satu hal.

    “Ingatkah saat kau bercerita padaku bahwa aku pernah mengajakmu terbang ke puncak bukit? Yang ada di tepian pantai, tempat dimana kita bernostalgia?

    "Mmm," Jawabku mengangguk.

    "Saat itu, apa kau ketakutan?”

    “Ketakutan..."

    "Terbang." Jawabnya. "Apakah berada di udara membuatmu takut?"

    "Ah, sedikit.” Jawabku. “Kenapa kau tanya hal itu?”

    “Tidak. Tidak apa. Hanya saja…”

    “Hm?”

    “Bagaimana kau mengatasi rasa takutmu itu?”

    Eh?

    Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa mungkin dia ketakutan?

    Ahahaha, bodoh.

    Bodoh...

    “Sini,” kataku perlahan, sambil kemudian mengambil tangannya dan menggenggamnya kuat-kuat, membuat robot itu melongo menatapku. Sedikit berlutut dihadapannya, aku berkata, setengah berbisik.

    “Asalkan bersamamu, semuanya akan baik-baik saja. Itu yang kupikirkan."

    Iris masih melongo saat aku kembali melanjutkan kata-kataku. "Jadi, jangan takut. Aku akan bersamamu, ya?"

    Untuk sesaat ia memalingkan pandangannya dariku. Wajahnya tampak tersenyum pahit. Kata-kata yang keluar darinya menunjukkan bahwa ia menyesal dengan dirinya sendiri.

    “Arche, bahkan hingga sekarang pun aku masih tak tahu siapa aku, dan apa yang telah kualami bersamamu dulu. Aku benar-benar menyedihkan ya?”

    “Ah, sudahlah." Jawabku. Perlahan aku memegangi kepalanya dan mengacak-acak rambutnya. "Kita masih bisa bertemu, itu yang penting."

    Iris mengangguk, sayu, tersenyum kecil. “Hei, kau tahu satu hal, Arche?”

    “Apa?”

    “Mungkin, tujuanku berada disini, adalah untuk ini semua. Untuk memberimu kehidupan, dan juga, membuat kau di masa depan bahagia. Kau pikir begitu?”

    “Ahaha, mungkin, ya?” Jawabku setengah tertawa. “Tapi, aku di masa depan juga mengirimmu kembali kesini untuk bisa menikmati kehidupan ini, dan membuatmu bahagia, bukan?”

    Iris kembali tersenyum, kembali mengangguk.

    Aku berdiri. Masih menggenggam tangannya, kami memandangi langit luas yang beberapa saat lagi mungkin akan berubah menyeramkan.

    Tetapi untuk saat ini, aku masih bisa melihat warna birunya yang cerah. Aku tak pernah tahu kalau langit bisa menjadi seindah ini.

    “Aku juga, maafkan aku, Iris.”

    “Untuk apa?”

    “Ada satu hal yang masih belum bisa kukabulkan padamu.” Kataku kemudian, merujuk pada cerita kami diatas bukit, pada janji yang kubuat untuk mengajaknya menonton festival kembang api.

    “Aku tak bisa mengajakmu ke festival kembang api. Di bukit dekat pantai, kau bilang bahwa kau amat ingin menonton festival itu. Maafkan aku, aku tak bisa mengabulkannya.”

    Awalnya Iris melongo mendengarnya, membuatku menundukkan kepalaku, tak berani menatap wajahnya. Tetapi saat aku kembali meminta maaf, ia menggeleng.

    “Arche, setiap hari yang kulalui dengamu, semuanya adalah festival.”

    ………

    “Semuanya…menyenangkan. Sungguh menyenangkan.”

    ...menyenangkan, ya?

    Kata-katanya yang demikian membuatku tertegun sesaat, memandanginya yang menatapku tersenyum.

    "Arche, meski memoriku tak ada lagi, tapi aku tahu bahwa kehidupan bersamamu sungguh menyenangkan. Entah bagaimana, aku bisa merasakannya."

    Ia berkata padaku sambil melempar sebuah senyum yang amat lepas, sebelum kembali menatap langit luas. Merasakan angin yang perlahan berhembus, aku ikut tersenyum, menatap langit, dan memejamkan mata perlahan. Tak butuh waktu lama bagiku sebelum aku kembali mendengar suaranya yang memanggilku, membuatku menoleh. Ia masih saja menatap langit luas dengan pandangan mata dan senyum lebar.

    "Suatu hari nanti, akankah kita bertemu lagi?”

    Ah, itu…

    Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Apakah kami akan bertemu lagi? Apakah kami masih akan mengingat satu sama lain? Apakah kesempatan ini akan kembali lagi, saat dimana aku bertemu dengannya?

    “Jika bisa, aku ingin bertemu. Ingin kembali bertemu denganmu. Aku ingin bisa mengingat apa yang sudah kita lalui.”

    Ada sedikit kesunyian yang muncul sesaat setelah Iris mengucapkan semua itu. Kurasa kami berdua takkan tahu jawaban apa yang harus kami ucapkan atas semua pertanyaan itu.

    Dan masing-masing dari kami hanya diam, seolah tahu bahwa tak ada jawaban atas pertanyaan itu. Sebelum kemudian, Iris kembali menatapku.

    “Hei, Arche,”

    “Hmm?”

    “Kau benar-benar orang yang baik.”

    ………

    “Kakak yang baik…”

    ………

    “Terima kasih, kakak.”

    Aku merasa melakukannya, tapi mendengar ini semua darinya rasanya benar-benar berbeda. Ternyata, aku benar-benar melakukannya. Entah bagaimana, aku benar-benar menjadi kakak yang baik.

    Perlahan, dan mungkin untuk terakhir kalinya, tanganku mengusap rambutnya perlahan.

    “Pergilah.”

    “Mmm,”

    Dan dengannya, genggaman tangannya lepas dariku.

    Yang tampak dimataku kemudian adalah sosok punggungnya yang menjauh.

    Menjauh, menuju langit.

    bener2 gagal deh ch ini, penulisnya sendiri ga begitu puas ama ch ini tapi gara2 tarsok n writer block, jadinyaa...

    :nangis:

    -----------------

    sudah diedit...dikit :iii:
     
    Last edited: Feb 26, 2014
  20. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Yay, akhirnya, setelah berjuang selama hampir setaun, tibalah kita di last chapter :yahoo:

    terima kasih buat semua pembaca yang mampir ke trit ini, buat sekedar meluangkan waktunya baca cerita gajes ini, dan yang ngasi cabe juga :terharu:

    semua kritikan dan saran yang masuk benar-benar penulis terima dengan senang hati :matabelo:

    Aku percaya padanya.

    Arche…

    Kata-kata yang ia ucapkan padaku sebelumnya memberiku keberanian untuk melakukan ini semua.

    Kini, melewati awan yang bergelombang di langit, aku menaikkan kecepatan. Meteor yang dimaksud pasti sudah berada sangat dekat sekarang, sudah berada dalam jangkauan. Tinggal beberapa saat lagi saja sebelum aku mengaktifkan portal waktu dan mengirimnya jauh ke masa antah berantah.

    Dan tinggal beberapa saat lagi sebelum semua hal indah ini menghilang.

    “Overboost!”

    Sistem jet kuaktifkan. Kini kecepatanku terbang naik secara drastis. Bisa kurasakan angin yang berhembus dengan kecepatan tinggi menerpa wajah dan rambutku hingga berkibar. Aku terbang jauh, tinggi, dan akan terus terbang tinggi.

    Masuk ke salah satu awan cumulonimbus, sesaat aku tak bisa melihat apapun selain gulungan putih yang tampak seperti kumpulan kapas tebal.

    Semuanya tampak putih, bersih…

    Damai…

    ………

    Apakah aku melakukan hal yang benar? Aku tak tahu pasti.

    Berada di dalam gulungan awan ini, untuk sesaat aku tak bisa memikirkan apapun selain apa yang Arche ceritakan padaku. Tentang aku, tentang dia, tentang Iris, dan tentang masa depan.

    Dan tanpa kusadari, aku tersenyum.

    Kupejamkan mataku perlahan.

    ***​

    Langit kala itu amat indah, biru cerah disertai cahaya matahari yang terik bersinar. Menatap jauh ke udara, aku sedikit memincingkan mata. Topi bundar yang kupakai tak begitu kuat menahan arus cahaya matahari yang masuk ke sistem pupilku, membuat pandanganku tetap silau.

    Tempatku berada sekarang, ah, aku tak tahu pasti. Yang tampak disekelilingku hanyalah puing-puing bangunan. Sedikit menjauh, tampak rerumputan kering dan bebatuan.

    Menurut cerita, dulunya tempat ini adalah sebuah desa yang damai, yang perlahan hancur akibat perang yang berlangsung berkepanjangan. Gersang, tandus, berdebu, kini boleh dibilang bahwa kehidupan tak ada lagi di tempat ini.

    Tetapi sebuah taman bunga kecil yang dibangun Jenderal mengubah anggapan itu.

    Meskipun hingga sekarang aku tak pernah mengerti mengapa Jenderal ingin menanam bunga, tapi aku tak pernah mempertanyakan hal itu padanya. Karena sebetulnya, aku juga ikut senang saat menemani Jenderal merawat taman bunga tersebut. Aneh memang. Maksudku, tempat ini sudah hampir menyerupai gurun pasir telantar. Untuk hidup saja, aku dan Jenderal harus bahu membahu bekerja. Jenderal kadang pergi jauh ke kota untuk bekerja sekaligus mencari bahan makanan dan baterai, sedangkan aku harus menimba air di sebuah sumur yang selamat dari serangan udara. Terkadang aku malah bertanya-tanya, apakah kehidupan akan tumbuh kembali di tempat ini atau tidak.

    Jujur, aku merasa bahwa ada hal yang aneh dengannya. Dimata orang-orang, atau mungkin baginya sendiri, ia adalah sosok pembunuh kejam, seperti apa yang sering ia ceritakan padaku tiap malam. Tapi bagiku, ia sosok yang menyenangkan.

    Sebagai salah satu contohnya, ia mau merawatku yang sudah kehilangan segalanya untuk hidup.

    Memikirkan itu semua sambil menatap langit, aku tersenyum untuk alasan yang tak kuketahui pasti.

    Entah bagaimana jalan hidupku kini. Mungkin untuk saat ini aku tak begitu mengerti kenapa aku bisa tetap hidup dan bersamanya, tapi aku yakin, suatu hari nanti aku akan mengerti.

    “Model 70!”

    Ah, jenderal menyahut dari taman. Berlari perlahan, rok panjang milikku meliuk di udara.

    “Ya, Jenderal?”

    “Lihat ini!” Katanya perlahan. “Bunga ini, akhirnya tumbuh.”

    Ah, itu…

    Benar juga. Sekuntum bunga tumbuh di pekarangan yang ditanami jenderal. Sebuah bunga berwarna cerah keunguan. Aku berjongkok, berusaha melihat bunga itu lebih dekat.

    “Chrysanthemums.”

    “Eh?”

    Jenderal tersenyum. “Chrysanthemums. Itu nama bunga ini. bunga krisan. Bagus, bukan?”

    “Hee…”

    Aku hanya bisa melongo mendengar ucapannya. Rasanya menakjubkan saat mengetahui bahwa bahkan di tanah gersang sekalipun, sebuah bunga bisa tumbuh mekar.

    “Kelak, suatu saat nanti pasti akan banyak bunga yang tumbuh disini. Melati, anggrek, dahlia, mawar, lavender. Tempat ini pasti akan berwarna warni seperti pelangi.”

    “Hee…”

    “Ada apa dengan ‘hee’ mu itu?” Jenderal menatapku, mencibir. Mendengarnya aku hanya bisa tersenyum senang, sebelum beberapa saat kemudian, Jenderal menekan topi bundar di kepalaku dan memainkannya.

    Ah, senang sekali. Aku amat senang saat tangan Jenderal bermain di kepalaku.

    “Ahaha, ahahaha…”

    Dibawah cahaya matahari yang terik, aku tertawa riang. Tangan jenderal yang menepuk dan menekan topiku bisa kurasakan. Hangat…

    Senang sekali…

    ………

    “Hei, Jenderal,”

    “Hmm?”

    “Saat bunga-bunga yang kau tanam sudah tumbuh mekar,” kataku perlahan. Pandanganku lalu beralih pada bunga krisan yang baru tumbuh.

    “Saat itu tiba, aku akan menemani jenderal melihatnya.”

    “Kau mau?”

    “Mmm,” Aku mengangguk, tersenyum. “Pasti akan sangat menyenangkan.”

    “Bagaimana kalau kita tidak hidup hingga waktu itu tiba?”

    Eh?

    Ah, ya. di masa perang ini, semuanya bisa berakhir dengan cepat. Bahkan semua mimpi-mimpiku ini bisa berakhir secepat kilat.

    Mendengar kata-kata jenderal yang seperti itu, dan membayangkan apa yang kelak akan terjadi, aku sedikit murung. Aku tak ingin semua kebahagiaan ini berakhir.

    Entah bagaimana, satu hal kemudian muncul di benakku, bahwa aku takkan membiarkan ini semua berakhir.

    “Bahkan bila aku mati pun, aku takkan membiarkan apapun terjadi pada surga kecil ini, Jenderal.”

    Perlahan aku kembali menatap Jenderal yang sedari tadi melongo menatapku. Melalui sebuah senyum kecil aku kembali berkata perlahan.

    “Melakukan ini semua bersama jenderal sungguh menyenangkan. Andai aku mati untuk ini semua, aku takkan keberatan. Karena ini semua…ini semua…aku tak mau kehilangan ini.”

    “Oh ya?”

    “Mmm!” Aku mengangguk, riang. “Aku bisa terus berada disini, bersama jenderal. Aku tak mau kehilangan siapapun lagi. Jika aku harus mati demi itu semua, aku rela.”

    “Kalau begitu, mau kumatikan?”

    “Ja…jangan!” Aku merengek. “Maksudku bukan mati seperti itu. Dasar, Jenderal ini…”

    “Ahahaha…”

    Ia tertawa riang, bodoh. Sungguh bodoh.

    ………

    …aku senang bisa bersamanya. Asalkan bersamanya, semuanya akan baik-baik saja.

    Aku akan melakukan apapun agar semua ini tak menghilang, meski aku harus mati atau menghilang sekalipun, aku takkan keberatan. Aku akan melakukan apapun.

    ***​

    Apapun…

    Semua kehidupan antara jenderal dan aku di reruntuhan itu, semua itu mungkin hanyalah sebuah ilusi – ilusi dari apa yang Arche sering ceritakan padaku tentang kehidupanku sebelumnya. Aku tak pernah benar-benar tahu pasti seperti apa kehidupan antara aku dan jenderal dulu.

    Tetapi satu hal yang kukatakan sebelumnya itu nyata adanya. Aku akan melakukan apapun untuk surga kecil itu.

    Memikirkan semua itu, aku tak bisa menahan diriku untuk kembali tersenyum lepas dan terbang makin cepat. Aku tak bisa menunggu lebih lama untuk bisa segera berhadapan dengan meteor itu.

    Menembus awan cumulonimbus, di kejauhan aku bisa melihat kilatan petir yang bergerombol. Di sekitarnya kumpulan bongkahan api kecil meluncur cepat. Beberapa hampir mengenaiku meski kemudian musnah terbakar sebelum berhasil menabrak.

    Dibalik gumpalan petir itu, sebuah batu raksasa meluncur deras, terbakar atmosfer.

    “Caution! Stall limit reached.”

    Ah, sial. Komputerku berbunyi.

    Kemampuan terbangku sudah mencapai batas. Aku tak bisa terbang lebih tinggi. Kini aku hanya bisa menunggu meteor itu mendekat untuk bisa mengirimnya ke portal waktu.

    Kusiapkan core yang Tony berikan padaku. Bentuknya kini menyerupai tabung termos dengan ukuran kurang lebih setengah meter. Sesaat setelah tabung pengamannya kulepaskan, portal waktu akan terbuka dalam tempo waktu sepuluh sampai dua puluh detik. Dalam periode itu aku harus pergi menjauh, sejauh yang aku bisa.

    “Baiklah, tinggal menunggu dan…”

    Tiba-tiba sebuah sensasi kejut dan menyakitkan terasa di sekujur tubuhku. Rasanya seperti tersambar petir.

    Ah, memang betul. Aku sepertinya tersambar petir.

    Sial! Sial!

    Kini aku tak bisa membuka mataku. Semuanya gelap. sakit. Aku tak tahu dimana posisi meteor itu berada. Akh, bagaimana aku akan mengirimnya menjauh?

    Perlahan bisa kurasakan tubuhku terjun ke bumi dengan kecepatan tinggi.

    Padahal tinggal sedikit lagi sebelum aku menyelesaikan semuanya.

    “Ugh…”

    Aku…tidak bisa seperti ini. Aku harus bangun!

    Tapi tubuhku rasanya sakit sekali, hampir-hampir tak bisa kugerakkan,

    ………

    Semua ini, semua yang kulakukan ini…

    Apa aku melakukan hal yang benar? Mungkin aku tak tahu pasti. Tapi setidaknya aku melakukan apa yang menurutku benar.

    Dan aku…aku juga tak mau menyerah.

    Aku tak boleh berhenti disini.

    Masih dalam kondisi mata terpejam, kembali bayangan Arche muncul di memoriku. Arche di masa depan yang damai, memimpin rapat di kantor, atau memotret alam bebas, atau menjadi musisi di kota besar.

    Atau, yang lebih kuinginkan, Arche yang sedang berada di sebuah taman botani, memandu anak-anak berkeliling dan melihat keindahan bunga-bunga yang ditanamnya.

    Karenannya, aku tak boleh menyerah disini.

    Ukh…

    Memaksakan diri, aku membuka mata. Dihadapanku badai petir yang muncul kini terlihat makin hebat.

    Aku tak takut.

    “Overboost!”

    Kembali kuaktifkan jet di mesin terbangku, terbang melesat menuju pusat badai petir itu berada.

    Melesat makin cepat, kuabaikan beberapa petir yang hampir menyambar tubuhku. Aku terus melesat, mendekat, dan terus mendekat!

    Aku akan berhasil!

    ***​

    Posisiku sudah tepat! Ini saatnya!

    Meteor yang melaju dengan kecepatan sekitar 400km/jam itu akan tiba dalam beberapa detik. Tanpa buang waktu, segera aku membuka core yang sudah kusiapkan.

    “Jangan gagal,” kataku pada core tersebut.

    Begitu selesai membuka pengamannya, aku terbang menjauh. Sekitar sepuluh detik kemudian core tersebut mulai aktif – sebuah portal berwarna kehitaman tampak muncul di udara, tepat dibelakangku.

    Awalnya ukurannya amat kecil, namun tak butuh waktu lama hingga core tersebut berukuran seluas lapangan sepak bola.

    “Ukh!”

    Energy yang dikeluarkannya sangat dahsyat, menarik hampir semua material yang ada di sekitarnya. Kukeluarkan seluruh tenagaku untuk bisa kabur dari portal waktu yang menyerupai lubang hitam tersebut.

    Tapi, rasanya aku tak bisa kabur. Aku berhenti di tempat akibat kuatnya daya hisap lubang tersebut. Kucoba mengaktifkan overboost hanya untuk menyadari bahwa aku sudah mengaktifkannya sejak tadi.

    Sial, jika terus begini, aku bisa terhisap! Menurut Tony, butuh waktu sekitar dua menit hingga portal itu menghilang dengan sendirinya.

    Dua menit! Aku harus bertahan. Aku akan bertahan!

    Aku terus berusaha terbang menjauh agar tak terhisap oleh portal tersebut. Makin lama aku mencoba, aku hanya bisa tetap diam di tempat.

    Tak sampai sepuluh detik kemudian saat kemudian aku melihat meteor raksasa itu mulai masik kedalam lubang hitam yang baru kuaktifkan. Mengerikan, rasanya aku seperti melihat sebuah raksasa yang baru saja ditelan.

    Pemandangan spektakuler ini baru pertama kali kulihat. Inikah portal waktu yang sebenarnya?

    Dan tubuhku juga kini ikut terhisap. Overboost, ah, tidak. Overboost sudah mencapai batas penggunaan!

    Aku terhisap!

    Kucoba berbagai cara untuk bisa menjauh dari portal waktu tersebut – terus bermanuver dan terus berusaha menjauh. Namun setelah berbagai cara kulakukan, aku tetap tak bisa menjauh dari portal waktu tersebut.

    Sial…

    Semuanya, apakah semuanya akan berakhir?

    Tapi, bukankah ini merupakan akhir juga bagiku?

    Meteor itu, perlahan, sedikit demi sedikit masuk kedalam portal waktu, dan menghilang.

    Saat ekor terakhir meteor itu telah masuk kedalam portal, aku tersenyum lega.

    Syukurlah…

    ………

    Arche…

    Aku berhasil. Aku sangat senang.

    Portal waktu itu masih ada. Tubuhku juga masih terhisap. Tetapi aku tak melawan lagi. Kubiarkan tubuhku masuk ke dalam portal tersebut.

    ***​

    Entah keajaiban apa yang terjadi, namun beberapa saat sebelum aku benar-benar terhisap, portal tersebut mengecil dengan kecepatan drastis. Daya hisapnya menjadi lebih lemah, sangat lemah hingga ia tak bisa lagi menarik tubuhku.

    Tetapi, aku sudah kehabisan tenaga untuk sekedar tetap melayang sekalipun. Tubuhku rasanya lemas sekali.

    Dan kini, tubuhku terjun bebas ibarat bintang jatuh. Mungkin aku akan menabrak bumi dengan kecepatan yang sangat tinggi dan hancur berkeping-keping.

    Meskipun begitu, aku tak punya penyesalan lagi. Karena meteor itu tak menabrak bumi, aku yakin peperangan takkan terjadi, dan Arche akan menjalani hidup yang lebih baik.

    Semuanya sudah selesai.

    Syukurlah…

    Arche…

    ………

    Bisa kulihat dengan jelas, kedua tanganku kini memudar.

    Aku mulai menghilang. Keberadaanku disini tak pernah ada, dan itu berarti Arche tak pernah mengirimku kesini.

    Menyadari bahwa aku berhasil mencegahnya menjadi mesin pembunuh benar-benar membuatku lega. Perasaanku terasa amat ringan.

    Takkan ada lagi penyesalan andaikata aku menghilang sekalipun. Aku sudah melakukan apa yang kuinginkan, dan aku sudah menjalani peranku dalam hidup ini dengan sebaik-baiknya.

    Perlahan, kedua ujung jari tanganku berubah menjadi buih-buih cahaya, memudar, bersatu dengan udara, dan menghilang tanpa bekas. Lalu kakiku, bisa kulihat kakiku yang juga ikut berubah menjadi buih cahaya dan menghilang. Rambut pirangku yang berkibar juga perlahan ikut berubah dan lenyap.

    Setelahnya, bisa kurasakan seluruh tubuhku kini terasa begitu ringan, ibarat bulu yang melayang di udara.

    Bagiku, semuanya sudah berakhir. Bagi Arche, ini adalah kehidupan baru untuknya.

    Sesaat sebelum aku benar-benar lenyap, aku memejamkan mata.

    Yang tampak olehku setelahnya adalah sosok jenderal yang sedang berdiri dihadapan taman bunga yang ia tanam. Bunga-bunga yang ada di tempat itu kini telah tumbuh mekar. Mawar, anggrek, krisan, semuanya bertebaran. Tempat kami berada kini benar-benar dipenuhi kehidupan.

    Perlahan jenderal berbalik, menatapku, mengulurkan tangannya dan tersenyum.

    “Selamat datang di rumah, Iris.”

    Ah…

    Jenderal…

    “Mmm,” Kataku kemudian. “Aku pulang, Arche.”

    Beserta sebuah senyum, aku berlari menghampirinya.

    ………

    Kota Montblanc, kurasa merupakan tempat yang indah dan damai.

    Dan aku yakin, mulai sekarang, kota tersebut akan terus menjadi tempat yang indah dan damai.

    Oya, ini masih belum selesai memang. masih ada satu bagian lagi, epilogue, bakal dibikin secepatnya (gara2 kerja jadinya tarsok mulu nulisnya, huwee, maafkan saia)

    Sekali lagi, terima kasih banyak buat semua yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita saia ini :matabelo:

    epiloguenya tunggu aja yaa :lalala:

    :peace:
     
    Last edited: Mar 4, 2014
  21. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    hampir selesai :kaget:

    26 chapter total ya, keren lho ~
    masih cukup tear jerking, and nice ending for me~ menunggu epilog :)
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.