1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Meteorid

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, May 22, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    What if you are given a second chance to live at your fullest?
    Fairyfly's Presents

    [​IMG]

    Meteorid
    An ordinary boy, a robot, and an ordinary life~




    Kelabu.

    Langit kelabu. Ah, ya. Kelabu dan hujan turun deras.

    Langit seperti ini merupakan senjata paling ampuh yang membuatku malas untuk pulang, apalagi saat terjebak di halte bus yang selalu kosong melompong seperti ini. Masih lebih baik jika ada seorang gadis yang menemaniku mengobrol – aku bisa menggodanya untuk kemudian kenalan dan minum kopi bersama, dan jika beruntung, dapat nomor teleponnya.

    Sayangnya yang kudapat disebelahku kini hanyalah seorang lelaki urakan, yang entah masih bisa kusebut manusia atau harus kusebut penampakan. Tampangnya luar biasa. Rambutnya panjang tak terurus. Bajunya kemejanya tak dikancingkan dan menggantung liar. Dan kumisnya – ya, ia punya kumis – tampak jelas meski agak tipis. Dasar urakan, kenapa tidak pakai kalung rantai atau berambut punk saja sekalian?

    Dan percaya atau tidak, dia teman sekolahku.

    “Hoi,” Sapaku pada sang lelaki.

    “Ngg?”

    “Hujan seperti ini, kapan berhentinya ya? Apa masih lama?”

    Sang lelaki garuk-garuk kepala. “Mungkin. Entahlah. Menurutmu bagaimana?”

    Menurutku kau seharusnya kutonjok.

    Aku paling malas bicara dengannya. Jawaban yang ia beri selalu tidak pasti. Aku sudah tahu bahwa ia sendiri pun pasti tak tahu kapan hujan akan berhenti, tapi setidaknya jangan berikan aku jawaban berupa “mungkin,” atau “entahlah,” atau “menurutmu bagaimana?”. Setidaknya beri aku jawaban yang lebih optimistis, seperti, “Sabar saja, sobat.” Atau, “tenang saja.”

    “Bosan juga, ya?” Tiba-tiba ia bicara dengan nada datar, mengantuk. Matanya setengah terbuka, setengah tertutup. Dan aku yakin, jiwanya setengah kesurupan.

    “Hoi, Tony,” kataku lagi sambil tetap menoleh pada gemericik hujan, melongo, menengadah.

    “Hmm?”

    “Anu…kau tahu caranya ternak sinyal jaringan nggak?”

    Tony mendelik. Aku menoleh ke arah wajahnya yang kini sudah menatapku seolah aku adalah kambing yang harus disembelih. Padahal kalau boleh jujur, ia sendirilah yang lebih mirip kambing. Ia berjambang, berjenggot, berkumis tipis. Beberapa saat kami saling berpandangan dengan mata malas, sebelum Tony kembali berkata.

    “Sekalian saja ternak tuyul! Kau ini gila ya?”

    “Aku tidak ada apa-apa. Hanya sedang stress dan butuh pelampiasan.” Kataku setengah menggerutu, sementara hatiku berkata, “Ternak tuyul? Ternak Tony dong.”

    Tony menepuk keningnya. Raut wajahnya sangat aneh, entah ia ingin tertawa atau ingin marah atau ingin muntah aku tak tahu pasti.

    “Anu, apa disekitar ini ada golok? Kugorok dulu lehermu, ya? Supaya kau sadar.”

    “Nyet!” Umpatku kesal.

    Dan entah bagaimana aku kembali teringat dengan presentasi sinyal jaringan yang kami lakukan tadi siang untuk proyek ilmu fisika. Guru yang terkenal amat sadis di sekolah kami, Dr. Albert, memberi kami tugas akhir berupa membuat sebuah alat praktis yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya, alat yang kami ciptakan harus memenuhi kriteria yang diajukan oleh pak Albert, dan mengandung unsur ilmu fisika yang bisa dijelaskan secara ilmiah.

    Tugas akhir ini dilakukan secara berkelompok, dengan satu kelompok yang terdiri dari dua orang. Dari setiap kelompok yang terbagi, entah kenapa aku selalu menjadi yang terpencil. Alih-alih mendapatkan Ardelia yang jenius bukan main, aku malah sekelompok dengan Tony yang notabene bejat sejati. Satu-satunya saat dimana kami bisa saling mengandalkan adalah saat bolos sekolah. Untuk ujian fisika, itu lain hal.

    Dan hanya mengingat itu saja, aku sudah naik darah.

    “Aku kan sudah bilang jangan lupa bawa data-data yang penting! Gara-gara kamu nih, proposal kita ditolak!” Umpatku kesal, berang. Tanpa sadar aku sudah berdiri menghadapnya dan menunjuk-nunjuk mukanya. Tony tak diam saja, tentu. Ia balik mengataiku dengan amukan luar biasa.

    “Kau menyalahkanku? Yang salah itu kau! Sok-sok ide ingin bikin presentasi mengenai sinyal jaringan! Coba kalau kau ikut ideku, kita pasti lolos!”

    “Lolos gundulmu?”

    Tony punya sebuah usul – usul yang absurd dan sangat tidak jelas. Ia berencana membuat sebuah game simulasi percintaan, lengkap dengan adegan yang sedikit bombastis didalamnya. Adegan bombastis, kurasa sudah cukup jelas apa yang ia maksud dengan adegan bombastis – kurang lebih sama seperti adegan handuk basah yang ada di majalah The Asian Girls, yang dirazia kepsek minggu lalu.

    Masalahnya adalah dimana unsur fisika yang jadi tolak ukur penilaian? Tony bilang bahwa dari alat itu, ia akan menjelaskan reaksi fisika yang terjadi saat orang-orang melihat gambar yang ada. Segi praktisnya, game itu bisa menjadi alat motivasi belajar fisika yang canggih.

    “Alat motivasi belajar apaan, nyet? Ide bego! Kalaupun diterima, itu pasti karena gurunya tidak waras.”

    “Lah, buktinya sinyal jaringanmu ini juga gagal.” Gerutunya sambil memalingkan muka.

    “Itu gara-gara kau juga, nyet!” Aku mengelak, makin menggerutu. Darahku rasanya mendidih saat aku kembali meneruskan kata-kataku. “Idiot sejati! Sampai lupa bawa laporan analisis penghitungan segala.”

    “Idih,” Tony kembali mengelak, dan kurasa ia sudah tak bisa beralasan apapun lagi saat ia kemudian berkata,. “Sudah, jangan dibahas lagi!”

    Aku masih menatapnya tajam, seorang lelaki…bukan. sesosok bunglon yang acak-acakan yang kini melipat kedua tangannya sambil menengadah, manyun. Mungkin karena merasa risih, ia kembali menoleh padaku.

    “Apa, lihat-lihat?” katanya gusar. “Nyet!”

    “Eh, monyet!”

    Kesal aku dipanggil nyet, dan aku masih akan membalasnya saat kemudian sebuah bus datang. Sebuah bus yang sudah penuh.

    “Hei, kalian berdua, aku hanya bisa membawa salah satu dari kalian. Jadi, kalian jalan saja ya, seperti biasa.” Teriak sang supir. Ya, betul. Biasanya jika bus yang kami tunggu sudah penuh, Tony dan aku memutuskan untuk berjalan kaki bersama menuju rumah masing-masing.

    “Bawa aku saja, pak!” Teriak Tony. Ia memutuskan naik bus sendiri kali ini, dan ini lain dari biasanya. Tapi aku tak mau protes. Aku begitu kesal padanya sampai-sampai kini aku tak mau berjalan bersama.

    Tony beranjak berdiri sambil melempar tasnya kedalam bus. “Hoi, Arche, besok aku akan ke rumahmu. Pastikan kau ada ide bagus, atau aku akan mengundurkan diri. Ingat, deadline tugas minggu depan.”

    “Cih,” kataku.

    Dan beberapa saat kemudian bus itu pergi menjauh, meninggalkanku sendiri di halte kosong ini.

    Kosong dan sendirian.

    Ah, sial! Sial!

    Bukan sepenuhnya salah Tony bila presentasi yang kami lakukan gagal total. Pada dasarnya kami masih belum menemukan ide bagus untuk tugas ini. Ide sinyal jaringan yang bisa membuat sebuah benda dikendalikan dari jarak jauh, yang kuusulkan ini juga masih berupa telur mentah. Aku terlalu memaksa Tony untuk mengikuti ideku.

    Tapi, daripada aku mengikuti idenya membuat game yang entah apa, kurasa tindakanku bisa dibenarkan.

    Argh, tak ada gunanya mengingat-ingat apa yang terjadi beberapa hari lalu. Ideku kini gagal. Ide Tony, aku yakin sudah gagal sebelum dicoba.

    Sedang asyik-asyiknya duduk menggerutu sendirian di halte bus, entah bagaimana tiba-tiba dibelakangku terdengar suara gemericit yang mirip seperti suara aliran listrik dari kabel yang putus. Aku menoleh kebelakang. Beberapa aliran listrik melayang di udara. Wujudnya seperti petir. Belasan petir. Hanya saja ukurannya lebih kecil.

    Ah, aku pasti sudah sangat stress sampai berhalusinasi. Tetapi halusinasi ini, ini tampak begitu nyata untuk sebuah, well, halusinasi.

    Dan belasan petir itu kini nampak makin besar. Belum lagi suaranya terdengar makin nyaring. Melihatnya seperti itu, aku kini bangun dari lamunanku.

    Petir-petir itu, semuanya bukan halusinasi. Itu petir betulan. Tetapi apa sebenarnya petir-petir itu?

    Aku terus bertanya-tanya…

    Saat kemudian…DUAR!

    Sebuah cahaya menyilaukan tampak dimataku, diiringi oleh suara ledakan yang amat besar dan angin yang berhembus sangat kuat. Begitu kuatnya angin itu berhembus hingga aku terlempar dari tempatku duduk.

    “Uakh!”

    Aku terjerembab ke tanah akibat ledakannya. Apa itu tadi? Akh, petir sialan!

    Sejenak aku membuka mataku, dan entah bagaimana, dihadapanku kini tampak sesosok manusia. Akh, bukan! bukan manusia! Tampangnya memang mirip seorang gadis. Rambutnya panjang terurai hingga ke batas punggungnya. Matanya sendiri berwarna biru, tampak cerah seperti wajahnya yang cerah pula. Bajunya amat aneh. Ia memakai jubah hitam dengan garis-garis biru. Dibalik jubahnya, sebuah gaun panjang berwarna putih menggantung hingga menutupi kakinya. Dan sepatunya itu, itu sepatu boots standar militer. Tetapi diatas semuanya, yang membuatku terkejut bukan main adalah lapisan tangannya. Telapak tangannya tampak…sobek. Ya, sobek di beberapa bagian dan beberapa kabel menyembul keluar dari sobekan tangannya.

    Dia jelas bukan manusia biasa!

    Berdiri dihadapanku, ia kini menatap tajam ke arahku yang hanya bisa duduk membeku.

    “Target Acquired.”

    Hah?

    Dia baru saja bilang target acquired, apa maksudnya? Target apa?

    “Ready to exterminate the target.”

    Exterminate? Musnahkan?

    Aku tertawa ketakutan, ngeri. Apalagi saat ia mengacungkan telunjuknya ke arahku. Dan, oh, sial! Telunjuknya kini menampakkan sebuah sinar terang. Ia akan membunuhku dengan, erm, apa ya itu? Sinar laserkah? Atau gelombang megaultrasonik?

    Argh, masa bodoh dengan namanya! Aku hampir wafat disini. Dan kenapa aku hanya membeku? Seluruh tubuhku tak bisa kugerakkan.

    Beberapa partikel tampak masuk mengelilingi telunjuknya. Ini mungkin akhir hidupku.

    Ah, tidak. Jangan bunuh aku. Aku belum menikah. Aku juga belum sempat mewujudkan cita-citaku – mencabuli gadis yang ada di majalah The Asian Girls yang kupinjam dari Tony kemarin malam. Jangan! Jangan bunuh aku!

    “Matilah kau, Arche.” Katanya kemudian dengan bahasa yang kini kumengerti. Satu-satunya yang tak kumengerti saat itu adalah bagaimana ia bisa tahu namaku. Selang dua detik kemudian, ketakutanku makin menjadi. Gemetar terasa di seluruh tubuh.

    DUAR!

    Sebuah ledakan kembali terjadi, hingga membuat seluruh tubuhku mati rasa, kaku, kaget. Oh, damn!

    Tapi itu bukan ledakan sinar laser. Itu ledakan petir yang menyambar.

    Petir itu menyambar sang gadis. Dalam tiga detik berikutnya, saat kubuka mataku tampak dihadapanku sang gadis yang kini tergeletak di tanah, terkapar tak berdaya. Asap hitam mengepul dari sekujur tubuhnya, disertai beberapa percikan listrik dari luka-luka di tubuhnya.

    Hii, ngeri! Makhluk apa dia?

    Iseng-iseng, aku menendang-nendang kepalanya. Ia tak bergerak. Ia sudah mati. Ya, betul. Ia pasti sudah mati. Takkan ada yang bisa bertahan hidup jika diserang petir seperti itu. Ah, syukurlah.

    Aku segera beranjak berdiri. Namun baru saja aku akan bergerak menjauh, kembali terdengar suara aneh dari balik punggungku. Sekejap mata aku kembali berbalik, menatap sang gadis dengan mata terbuka lebar-lebar dan tubuh gemetar.

    “Exterminate…the…”

    Gila! Gadis itu masih hidup! Ia masih sanggup menatapku dan mengulurkan tangannya.

    “Exterminate…tolong…aku…”

    Tolong kau? Gila!

    Aku masih ragu untuk membantunya, saat kemudian gadis itu kembali meletakkan tangannya di tanah.

    Dan, blukh!

    Kepalanya kembali jatuh ke tanah. Kurasa ia kembali tak sadarkan diri.

    ***

    “Hoi, Tony! Aku punya penemuan besar!” Kataku di telepon genggamku. Dari arah Tony bicara, aku dapat mendengar suara latar yang sedikit menjijikan.

    “Penemuan apa? Bilang padaku kau punya ide bagus!”

    “Lebih dari sekedar ide, Tony!” jawabku. “Anu, bisakah kau matikan video b*kep-mu itu? Aku tak bisa mendengar suaramu dengan jelas.”

    “Omong kosong!” katanya. “Kau masih bisa mendengar suaraku dengan jelas.”

    Ya, ya, terserah dia saja. Aku memang masih bisa mendengar suaranya dengan jelas, tapi suara latarnya itu benar-benar mengganggu konsentrasiku.

    “Dengar, Tony.” Kataku penuh semangat. “Aku baru saja menemukan penemuan menarik. Kau percaya tidak?”

    “Tidak.”

    Goblok. Aku kan belum bilang apa-apa.

    “Aku kan belum bilang apa-apa, nyet!”

    “Makanya buruan bilang dong!”

    Aku menelan ludah. Si heboh ini, kadang aku penasaran bagaimana aku bisa tahan bersamanya sampai tiga tahun ini. Sejak mengenalnya di kelas satu SMA, aku sudah tahu ia memiliki kemampuan khusus. Kemampuan yang kini kuanggap sebagai kutukan.

    “Kau percaya robot? Cyborg? Aku menemukannya.”

    “Hah? Apa ini salah satu gurauanmu yang lain?” Tanyanya. Kali ini suaranya terdengar mengejek.

    “Tidak, idiot!” Kataku. “Kau ke rumahku saja sekarang. Akan kutunjukkan.”

    “Ah, ya, tentu. Setelah kuhabiskan video ini ya?” Katanya, dan kembali konsentrasiku terganggu oleh suara latar di rumah Tony. Telepon Tony benar-benar full music. Mantap sekali.

    “Anu, Tony?”

    “Hah?”

    “Yang kau putar itu barang baru ya? Yang baru rilis minggu ini, Julia Slyvania ya?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

    “Tony?”

    Tuuut…tuuuut…tuuuttt…

    Brengsek!

    Tony kumis! Koret! Nikmat kok dibawa sendiri?

    Kututup telepon genggamku sambil menghela napas panjang, sesaat sebelum menoleh ke arah tempat tidurku. Disana, kini berbaring seorang gadis dengan kabel-kabel yang tampak dari luka sobek di tangannya. Matanya menutup, wajahnya tampak sangat kotor.

    Ah, ia manis juga.

    Betul. Ia gadis yang manis. Usianya mungkin sekitar lima belas tahun, lebih muda tiga tahun dariku. Dengan wajahnya yang kuning langsat, lalu rambutnya yang halus terurai, ditambah dengan tubuhnya yang proporsional, ia amatlah cantik. Meski aku tak tahu pasti apakah sosok di hadapanku ini laki-laki atau wanita. Aku tak tahu pasti jenis kelamin robot, dan aku terlalu takut untuk memastikannya. Takut-takut kalau ternyata ia adalah laki-laki.

    Kutatap langit-langit di kamarku ini. Warna catnya coklat, hangat. Tony akan tiba sebentar lagi, kurasa. Ia pasti terkejut melihat apa yang kutemukan.

    Perasaanku kini campur aduk. Entah aku harus takut atau senang, aku tak tahu. Satu hal yang ada dipikiranku adalah bahwa aku harus menyelesaikan tugas akhir mata pelajaran fisika dalam satu minggu, dan kedatangan gadis robot seperti itu, itu adalah anugerah.

    Aku bisa menggunakannya dan mengklaimnya sebagai alat buatanku. Tinggal tulis laporan palsu pada pak Albert, dan minta dia untuk menembakkan sinar laser lagi seperti saat ia akan membunuhku. Aku yakin aku pasti lulus dengan nilai tinggi.

    Masalahnya, apakah ia akan mau untuk melakukan hal seperti itu?

    Argh, damn! Mari kita berdoa saja, pikirku. Jika ia menolak, akan kuceritakan padanya bagaimana susahnya aku menggendongnya sampai ke rumah, atau bagaimana susahnya aku berbohong pada tetangga bahwa ia adalah saudara sepupu yang datang dari luar negeri. Dengan semua itu, ia pasti tersentuh dan takkan tega menolak permintaanku.

    Tapi, dia kan robot. Apa dia bisa mengerti perasaan manusia? Terlebih, dia ingin membunuhku.

    Kembali aku berpikir apakah tindakanku menyelamatkannya dan rencanaku menggunakannya sebagai alat adalah sebuah tindakan yang memang benar atau hanyalah tindakan bodohku yang lain. Meski demikian, aku tak tega meninggalkannya sendirian di jalan, kehujanan, dan mungkin ditemukan polisi dan dijadikan bahan eksperimen, atau mungkin saja dibongkar oleh ilmuwan gila.

    Aku sudah merasakan bagaimana sakitnya hal itu semenjak orang tua dan adikku tak ada lagi. Aku tak ingin orang lain merasakan hal yang sama.
     
    • Like Like x 4
    Last edited: Mar 24, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Update Chapter 1 (n masih ngerjain sampe chapter 1 sih) :swt:

    Cit…cit…cit…

    Itu tadi suara burung pipit yang kuyakin berasal dahan-dahan pohon di depan rumah. Bersamaan dengannya cahaya matahari tampak masuk melalui sela-sela jendela yang masih tertutup gorden, langsung masuk menembus mataku yang malas. Setengah sadar, kututup wajahku dengan bantal yang sudah penuh air liur, bau. Fuuh, memang tak ada yang lebih mengasyikkan daripada tidur lagi setelah sadar bahwa kau terbangun sesaat.

    Tapi barusan, rasa-rasanya aku melihat siluet seorang gadis yang menghalangi kaca jendela. Ia membungkuk. Kedua tangannya memegangi tempurung lututnya. Rambutnya tampak tergerai.

    “Bangun!”

    Ia berbisik kasar, dan karena aku malas menjawabnya aku hanya mengerang. Lagipula gadis itu benar-benar bodoh. Tak ada gunanya membangunkanku dalam kondisi mengantuk berat seperti ini.

    “Bangun. Kau, ayo bangun!”

    Ya, ya, teruslah mencoba.


    Sementara itu, anganku melayang jauh ke suatu latar dimana aku dan Julia Sylvania sedang berada di sebuah kamar hotel, berdua.

    “Arche, kau tak boleh…kita…”

    “Tak apa, Sylvania.” Kataku sambil terus menggenggam jemari Sylvania yang hangat. Dari tatapan matanya aku tahu ia juga ingin melakukannya – sesuatu yang dilakukan saat seorang lelaki dan perempuan berduaan di kamar hotel.

    “Tapi…itu…”

    Kugenggam tangan Sylvania makin erat, dan kembali kupotong kata-katanya. “Sylvania, percayalah. Tak apa.”

    “Arche…”

    Aku tersenyum genit. Sambil menyibak rambutnya ke belakang telinganya, aku berbisik, “Sylvania, aku mencintaimu.”

    Beberapa saat kemudian dapat kudengar tawa kecil Sylvania. Kutatap kembali wajahnya yang kini memerah, dan untuk beberapa saat kami saling memandang mata kami masing-masing. Aku dapat melihat bayangan wajahku sendiri di pupil mata Sylvania yang perlahan menutup. Aku ikut menutup mataku. Wajah kami saling mendekat.

    Hingga tanpa kami sadari, kami sudah merasakan desah napas kami masing-masing.

    Itu adalah pertama kalinya aku merasakan bagaimana berduaan dengan seorang bintang P*rn* di kamar hotel. Rasanya adegan itu benar-benar indah. Seperti mimpi, tetapi begitu nyata. Dan jika itu benar sebuah mimpi, aku tak ingin bangun. Aku ingin terus tidur dan tenggelam dalam mimpi.

    “Hei, bangun!”

    Ah, tidak. Tidak. Aku tak ingin bangun.

    “Bangun!”

    Berisik nyet!


    Suara itu terhenti sesaat, seolah tahu bahwa aku mengerang dan menolak. Ah, syukurlah. Kini kenikmatan yang kualami bisa terus berlanjut.

    “BANGUN BANGSAT!”

    BUAK-

    “Anjrit!”

    Refleks aku mengaduh. Bersamaan dengan teriakan “bangsat” darinya, wajahku serasa dihantam oleh suatu benda yang amat menyakitkan. Sebuah tinju. Ya, sebuah tinju tiba-tiba saja mendarat mengenai mata, hidung, dan mulutku sekaligus. Hantamannya benar-benar kuat dan membuat jantungku serasa ingin copot. Kepalaku langsung pusing dibuatnya. Dan, apa yang mengalir dari hidungku ini? Darah? Oh, sial!

    “Uakh! Sakit, goblok! Uargh…”

    Begitu sakitnya tinju itu sampai-sampai aku kini berguling-guling di lantai. Sialan! Apa sih yang gadis itu pikirkan? Meninjuku sampai berdarah begini? Padahal aku sedang asyik-asyiknya berbuat mesum. Sial! Gadis gila! Gadis ultra gila!

    Sesaat kemudian ia berjalan kehadapanku yang kini berjongkok memegangi hidung. Matanya memincing, memancarkan aura kemarahan dan kebencian yang luar biasa. Makin dekat aku dengannya, pandangan matanya tampak makin tajam bagai pisau kukri. Tangannya mengepal kuat-kuat. Napasnya memburu. Aku tak perlu lagi menebak-nebak seberapa bencinya atau marahnya ia padaku.

    Tapi apa salahku?

    Saat ia tiba beberapa meter dihadapanku, telunjuknya mengacung, menunjuk mukaku yang masih merah. Hampir saja telunjuknya itu mencolok mataku. Brengsek!

    “Hei, kamu!”

    Aku tidak menjawab, memandang kesal pada sang gadis sambil terus memegangi hidung. Kelakuan gadis itu benar-benar seperti gorilla yang lepas dari kebun binatang, atau mungkin lebih buruk. Dan masih dengan mata memincing, ia kembali berteriak, “Tadi itu sakit?”

    Sakit?

    Bertanya apakah awan mendung akan datang bersama petir mungkin terdengar bodoh. Bertanya tentang berapa kali sebaiknya pakaian dalam diganti dan dicuci mungkin lebih bodoh dari pertanyaan sebelumnya. Tapi bertanya apakah ditinju itu sakit atau tidak, itu adalah pertanyaan paling bodoh – yang terbodoh yang pernah kudengar selama delapan belas tahun aku hidup sebagai manuisia gagal. Tentu saja itu sakit, dan amat sakit saat ia melakukannya tanpa aku tahu kenapa atau apa salahku.

    “Tentu saja sakit, goblok!” Teriakku sambil berdiri. “Lagipula apa yang kau-“

    Tinjunya seketika kembali melayang, padahal aku belum menyelesaikan kata-kataku.

    Oh, sial!

    Refleks kepalaku mengayun, mengelak. Tinju itu meleset beberapa sentimeter dari pangkal mataku. Sedikit saja aku terlambat, mukaku bisa makin rusak. Tapi meski tinjunya meleset, rasa ngeri masih tetap ada di benakku terutama saat kulihat tembok rumah ini retak terkena tinjunya.

    Gila! Mengerikan!

    “Bangsat! Berhenti, nyet!”

    Ia mengabaikan teriakanku – teriakan khasku yang memanggil orang yang menggangguku dengan sebutan “nyet!”. Ah, sial! Aku seharusnya tahu bahwa ia takkan berhenti dan akan terus berusaha meninjuku. Meskipun begitu suaraku keluar dengan sendirinya.

    Serangan gadis itu tak berhenti. Ia terus menerjang dan mengayunkan tinjunya. Aku mengelak. Terus mengelak dan kabur. Kulakukan semua hal untuk terus hidup – melompati kasur, naik ke atas meja, dan yang paling parah adalah berteriak-teriak panik seperti orang gila. “Mamaa! Mamaa! Toloong!”

    Terdesak, aku berlari keluar kamar. Sesaat kemudian aku mendapat kesempatan untuk menyerang kepalanya dengan sapu kayu yang berdiri di sudut lorong. Tanpa pikir panjang, aku melakukannya.

    “Makan nih!”

    Tok!

    Suara sapu yang menyetuh kepala terdengar jelas. Wajahnya kini memaling jauh.

    Apakah berhasil?

    Kupandangi gadis itu dalam-dalam. Aku cukup terkejut ketika melihat sang gadis yang tak lama kembali menatap wajahku tanpa meringis kesakitan sama sekali. Alih-alih, sapu yang kuayunkan tampak patah.

    “Aih…kenapa?”

    Aku melongo, menatap sapu di genggamanku yang kini hanya tinggal setengah. Bahkan sebatang sapu pun tak bisa melukainya sama sekali. Kesal, kugiyang-goyang sapu itu seperti orang dungu.

    “Sapu, oh sapu, kenapa?”

    Kualihkan strategiku, kali ini kulempar kepalanya dengan berbagai macam benda – vas bunga, gelas, panci, tetapi ia tetap tak bisa dihentikan. Semuanya sia-sia. Brengsek!

    Merasa tak ada cara untuk menghentikannya, aku terus kabur, sesekali meliuk-liuk menghindari tinjunya yang luar biasa kuat. Saat tinjunya menyentuh tembok, tembok akan segera retak. Saat menyentuh lantai, ia akan mengeluarkan suara dentuman hebat. Mengerikan.

    Hingga kemudian aku mengunci diri di dalam kamar mandi dengan napas terengah-engah. Di tanganku tak ada senjata tersisa selain raket penepuk nyamuk elektrik yang tegangan listriknya bisa kuatur. Siapapun tahu bahwa penepuk nyamuk seperti itu bukan senjata yang ampuh, tapi apa boleh buat? Aku tak punya bazzoka atau semacamnya.

    Napasku masih pengap. Permainan kejar-kejaran dengannya betul-betul menguras tenaga.

    “Arche! Sialan! Keluar kau!”

    Dan bagaimana juga ia bisa tahu namaku?

    “Jangan kau kira kau bisa lari dariku!”

    Suara langkah kakinya dapat terdengar jelas menuruni tangga rumah. Dengan pangkal mataku aku melirik ke asal suara. Gadis itu, ia kini sedang menuruni tangga dan melihat ke kanan ke kiri dengan pandangan mata yang tak berubah, penuh amarah.

    Makin lama, suara langkah kaki itu terdengar makin jelas dan membuat tanganku gemetar. Ia datang mendekat. Kini siluet tubuhnya dapat terlihat dari balik jendela kaca yang menempel di pintu masuk.

    Dan seolah tahu aku ada di kamar mandi, ia melirik padaku.

    “Disitu kau rupanya!”

    Makjan!


    Tanpa pikir panjang aku segera mengatur tegangan penepuk nyamuk ke level tertinggi. Tanganku berkeringat dan bergetar hebat saat melakukannya. Aku sebetulnya tidak takut, hanya saja aku sangat tegang dan gugup.

    Baiklah, atur ke tegangan tertinggi. Eh, tombolnya yang mana ya? yang ini? bukan. ini…

    BRAK!

    “Wuaa!”

    Sebuah tinju tampak masuk menembus pintu kayu yang menghalangi kamar mandi ini dengan lorong utama rumah, membuatku melompat dan berteriak. Sampai pintu tebal juga bisa ia tembus. Gila. Gadis ini pasti mantan petuinju.

    “Mati kau!”

    Ia kembali mengulurkan tinjunya. Entah karena tak mau lagi disakiti atau karena kehabisan akal, aku memutuskan maju dan menyerangnya lebih dulu.

    “Heeeaaaaa!”

    Tinju sang gadis belum sampai ke mukaku saat raket listrik ini menyentuh kepalanya. Dan diluar dugaanku, ia mengaduh. Percikan listrik muncul dari rambutnya.

    Listrik?

    Ah, kemarin juga ia pingsan gara-gara petir yang notabene adalah listrik. Apa listrik merupakan kelemahannya?

    “Uakh…” ia mengerang. Aku melanjutkan seranganku – kali ini kupukul pipinya kuat-kuat hingga ia jatuh tersungkur. Dan lagi-lagi ia mengaduh. Percikan-percikan listrik tampak di sekujur tubuhnya disertai suara percikan yang cukup keras. Cip…cip…cip. Asap mulai mengepul dari tubuhnya.

    Kali ini aku benar-benar yakin bahwa listrik merupakan kelemahannya. Saat ia mulai bangun, aku segera menerjangnya.

    “Ciiaat!”

    Bak…buk…bak…buk…

    Kupukul tubuhya berkali-kali. Serangan raket ini benar-benar manjur. Ia tampak mengaduh berkali-kali saat aliran listrik mengenai kulitnya yang kini berasap tebal. Beberapa saat kemudian ia terjatuh tak berdaya. Ah, bagus! Saatnya mengakhiri pertempuran, pikirku. Sekuat tenaga akupun melompat.

    “Mampus kau! Ultimate air slashing attack!” Jeritku keras-keras.

    Sang gadis tampak melongo melihatku yang kini telah melayang di udara. Tinggal menunggu waktu saja untuk mengayunkan tanganku dari atas kepala ke bawah, dan melihatku yang siap untuk membunuhnya, ia memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya melintang, siap menahan laju raket ajaib yang kugenggam. Ia mungkin tahu apa yang dilakukannya sia-sia saja, dan ia pasti sudah sangat tak berdaya jika melakukannya.

    Gadis itu, akh, ia tampak begitu ketakutan.

    Dan wajah itu, itu wajah yang selalu familiar di benakku. Wajah yang selalu membuat hatiku luluh.

    Haruskah aku menghabisinya? Haruskah aku menghajarnya?

    Tapi…ia tak seharusnya menderita. Itu semua bukan salahnya?

    Iris…

    “Kakaaaaak!”

    Selintas, sebuah suara terngiang di telingaku. Suara yang amat familiar.

    “Iris?”

    “Kakak!”

    Raket yang kugenggam seketika berhenti beberapa sentimeter dari atas kepalanya. Dengan mata terbelalak dan napas berat, perlahan aku mematikan alat tersebut.

    Dan gadis itu, ia perlahan membuka matanya yang berwarna biru cerah.

    ***​

    “Man, rumahku jadi berantakan begini.”

    Kulihat sekelilingku sambil menggaruk kepala, malas. Apa yang awalnya merupakan rumah yang rapi kini terlihat lebih mirip seperti gedung yang terkena serangan udara. Lantai yang penuh oleh pecahan gelas dan vas bunga, tembok retak, serpihan kayu, engsel pintu yang patah, sobekan baju…

    Astaga, ini rumahku, ya?

    Aku menghela napas panjang dan kembali menoleh pada sang gadis. Ia berusaha bangkit meski kini seluruh tubuhnya gemetar,

    “Kau…kenapa kau tidak menyerangku…sial! Akan kubunuh kau. Aku akan melakukannya.”

    Aku kembali garuk-garuk kepala, entah aku harus kesal atau merasa kasihan padanya. Dasar gadis dungu. Apa ia tak tahu posisinya sekarang? Ia sudah tersungkur, dan masih saja ia bilang ini itu tentang membunuhku. Dasar idiot. Padahal kalau mau aku bisa saja menghabisinya.

    Tanpa menghiraukan kata-katanya, aku berjalan mendekat. Ia masih tampak gemetar dan ketakutan, terlebih saat melihatku mendekat.

    “Mau apa kau? Jangan mendekat!”

    Tentu saja aku terus mendekat. Kuabaikan suaranya yang terus memintaku untuk menjauh.

    “Kubilang jangan-“

    Sambil memejamkan matanya dan berteriak, tangannya tampak berusaha memukulku kembali. Namun pukulannya kali ini begitu lemah hingga aku dapat meraih pergelangan tangannya dengan cepat. Masih dapat kurasakan getaran halus darinya saat kulit kami bersentuhan.

    “Tidak apa-apa.”

    Gadis itu membuka matanya kembali, menatapku lugu. Aku tersenyum. Perlahan aku memapahnya bangun.

    “Apa yang kau…”

    “Sudah, tenang saja.”

    Kubopong gadis lugu itu. Meski penampilannya seperti seorang gadis remaja pada umumnya, bobot tubuhnya berat sekali. Ah, ya. tentu saja. Ia kan robot yang kutolong kemarin malam. Betul saja dugaanku yang bilang bahwa ia berbahaya.

    Tapi mau bagaimana lagi?

    “Lepaskan aku!”

    “Ya, ya, ya.” Gumamku malas. Aku tak melepaskannya meski ia terus meronta-ronta. Alih-alih, kurangkul tubuhnya hingga melayang ke udara. Dan, sial. Ia berat sekali. Aku perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengangkut robot ini – robot aneh yang kutemukan kemarin sore.

    Kami masuk ke kamar tempat aku tidur. Segera ia kubaringkan.

    “Apa yang kau lakukan?”

    Gadis itu kembali protes, berusaha bangun meski tak berhasil. Aura wajahnya memancarkan suasana bahwa ia sangat kesakitan. Merasa kasihan, aku segera memasang selimut diatas tubuhnya.

    “Ini apa?”

    “Menurutmu apa?”

    “Apa kau bermaksud menyelubungi tubuhku dengan lapisan sinar nanolaser X-225? Kau berusaha membunuhku ya?” Tanyanya gusar. “Lepaskan aku dari kain pembunuh ini!”

    “Kain pembunuh?”

    “Kau jangan pura-pura tidak tahu!” Teriaknya lagi. “Tentu kau tahu kan bahwa kain ini akan mengeluarkan sinar laser yang menembus pelat baja, yang mendeteksi chip XO-01 dan XO-02 di tubuhku artifisialku, lalu masuk server 0056 jaringan T-22, dan sistem pusat. Lalu…”

    Astaga. Itu hanya selimut.

    Sungguh ajaib mengetahui baagaimana sebuah selimut bisa menjadi alat yang berbahaya bagi gadis sepertinya.

    “Kau mau membunuhku-“

    “Itu hanya selimut.” Potongku cepat, sambil kembali membetulkan selimutnya yang berantakan akibat badannya yang bergerak-gerak. “Agar kau tetap hangat dan nyaman.”

    “Urgh, kau…”

    Aku kembali membaringkan tubuhnya. “Dengar, kau istirahat saja dulu. Aku janji takkan ada yang terjadi selama kau disini. Begitu aku pulang sekolah, aku akan segera kemari.”
    Gadis itu menatapku dalam-dalam. Entah mungkin hanya imajinasiku saja, kini kulihat matanya sedikit berbinar. Tapi tak ada yang bisa kulakukan lagi selain mengacuhkannya dan segera mengambil handuk. Gerbang sekolah sebentar lagi akan ditutup. Kuharap aku bisa sampai tepat waktu.

    “Kau…”

    Aku belum sampai ke pintu kamar saat kembali kudengar suara gadis itu. Tanpa membalikan badan, aku menoleh, melihat sang gadis dari ujung mataku.

    “Kenapa…kau tidak membunuhku?”

    Ah, ya. kenapa ya? Itu merupakan pertanyaan yang sulit. Kenapa aku tidak membunuhnya aku juga tidak tahu.

    “Jawab!”

    “Karena…”

    Aku bergumam, masih berpikir ini itu tentang apa yang harus kukatakan. Sebuah rangkaian kalimat kemudian muncul tak terduga.

    “Yah, karena ada beberapa hal di dunia ini yang hanya bisa dinikmati jika kita terus hidup."
     
    Last edited: May 22, 2013
  4. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :hehe: keren juga neh kek nya. baru baca prolog-nya sih (baca prolog gini aja abis waktu 30 menit sendiri :swt:), nanti coba baca lanjutannya lagi setelah saya makan tentunya :lalala:
    okeh, komentar sementara untuk prolognya ya:
    1. EYD nya sepertinya masih harus diperhatikan ya :hehe: mengenai tanda baca, spasi yang membedakan "di" dengan "di-" dll.
    2. saya menemukan sesuatu yang agak janggal di sini:
    di situ dibilang klo sebelumnya Arche menutup mata kan?? bagaimana dia tahu bahwa itu ledakan petir dan bukan ledakan dari laser?? :???: kan klo tutup mata ga bisa lihat dia

    ------------------------- EDIT ------------------------
    kelar juga baca chapter 1 nya. lumayan kocak lho :lol: menghibur juga. well, sepanjang membaca ini ada beberapa pertanyaan yang terus berputar2 di otak saya.
    1. itu si tony ga jadi ke rumah nya arche ya?? di prolog disebutkan mao dateng tp di bab 1 ga ada kabarnya
    2. sebagai seorang manusia yang masih peduli sama nyawanya, menurut saya arche terlalu easy going gt ya. karena sebelumnya dia sudah ketakutan banget kan mao dibunuh tapi di bab 1 dia malah memelihara terminator di rumahnya tanpa persiapan apapun dan tanpa bertanya2 gt.

    ok, segitu dulu. lanjut tepar lagi de :dead:
    :peace: semoga membantu
     
    Last edited: May 23, 2013
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    walah, thanks sarannya agan bubu. itu di prolog ane lepas kendali keknya, jdi lupa kalo si arche masi merem :lol:
    buat pertanyaan di chapter 1 akan ada di cerita di chapter2 berikutnya (mudah2an ga tarsok) :ngacir:
    sementara masi tarsok, update secepatnya deh :swt:
     
  6. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    Ijin komeng ya, hehehe...

    Wokwokwok ceritanya cukup asyik dan mengalir, kocak juga. Tapi ini lho... tingkah lagu para karakternya itu disengaja atau gimana ya? Koq saya nangkepnya mereka tuh "kurang pintar" semua ya... Kayak yang ini :

    Saya bingung, yang goblok itu siapa... :hahai: Tapi meski ngeselin, sekaligus menghibur juga sih. :peace:

    Trus robot tsundere nya itu beneran niat ngebunuh gag seh? Si Arche juga uda mau dibunuh bisa-bisanya nyantai gitu. Kalau kubilang apa ya... karakternya itu kayak setengah-setengah semua. Tapi ya klo emang pengen dibuat gitu ga masalah juga, cuman saya kurang sreg aja bacanya.

    Klo soal plotnya yah, begitulah... hahaha...
     
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    anu, makasi komennya bang Grande :matabelo:

    erm, itu kebiasaan ane sih, kalo bilang apa yang di pikiran penulis, ane suka kasih keterangan tanda miring. trus mengenai robotnya kenapa belum ngebunuh si arche n kenapa si arche nya nyantai, hahay teryata sukses bikin penasaran juga ya :yahoo:

    tunggu lanjutannya saja gan, akan dijelasin di chapter berikutnya, masih on progress nih :hmm:

    arigatou gozaimasu :peace:
     
  8. LuciferScream Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 15, 2011
    Messages:
    137
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +864 / -0
    ini cerita lucu ato serius gan? kalo bikin cerita serius, sejauh ini agan gagal, karena mnurut gw ini mah crita lucu. dan jujur aja awalnya gw kira si arche ini cewe yang demen ama si tony. ga taunya lelaki --. sokk ah ditunggu lanjutannya, kalo soal teknis jangan tanya gw, masih cetek ilmunya gw mah . hehe.
     
  9. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    err, serius ato lucu yah? ane juga ga tau sih :swt:
    nantinya bakal ada yang seriusnya juga, sih. tapi ga ada action keknya (bayangan sementara :peace: )

    iyaaa, masi tarsok :tolong:
     
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    chapter 2 selesai dengan maksa :swt:

    Sekolahku terletak di pinggiran kota, cukup jauh dari tempatku tinggal sehingga untuk mencapainya saja aku bisa naik bus. Tetapi area sekolahku juga tidak bisa disebut desa, sih.

    Montblanc sama seperti kota-kota lain pada umumnya. Ada banyak jalan yang menghubungkan satu distrik dengan distrik lain, dan ada pula gedung-gedung tinggi meskipun tak begitu banyak. Kehidupan disini tercipta dari berbagai jenis pekerjaan yang juga umum ditemukan di banyak tempat : supir, dokter, guru, karyawan, tak ada yang berbeda. Bila masuk ke pelosok lorong-lorong kota, akan ada rumah-rumah penduduk yang dihubungkan dengan gang-gang kecil.

    Rumahku terletak di salah satu sudut gang. Untuk ukuran orang yang hidup sendirian, rumahku cukup besar meski tak sebesar rumah yang ada disebelah. Di rumahku tak ada halaman depan, hanya halaman belakang yang entah sejak kapan sudah ditumbuhi rumput-rumput liar.
    Aku masih bisa mengurus beberapa hal di dalam rumah, seperti laundry dan mengurus piring-piring kotor. Namun bila sudah harus mengecat dinding atau mereparasi beberapa bagian rumah, aku tak bisa melakukan apapun. Dan entah bagaimana, makin hari rumahku tampak makin berantakan saja.

    Ah, ya. sekedar infomasi. Aku masih sempat sampai ke sekolah setelah berlari ibarat kuda kesurupan dan berteriak-teriak agar supir bus mengebut. Kini aku berada didalam kelas. Memikirkan kehidupanku yang semakin berantakan, rasanya benar-benar membuat pusing saja.

    Benar-benar menyebalkan.

    “Jadi, atas dasar itulah, rumus fisika ini bisa didefinisikan ibarat menjatuhkan sebuah kerikil kedalam gelas berisi air. Ketika sebuah gelas…”

    Di dalam ruangan kelas berisi dua puluh orang ini, pak Albert bersorak dengan nada layaknya seorang instruktur terjun payung. Andai sesekali ia melihat ke belakang, ia pasti takkan melanjutkan pelajaran karena sudah banyak sekali siswa yang menggerutu. Lima menit menuju pulang terasa begitu lama, dan teman-teman sekelasku mengekspresikannya dalam berbagai hal. Ada yang mencorat-coret halaman kosong dalam buku tulis, mendengarkan pelajaran dengan pandangan mata bingung, berbisik, pura-pura tidur, benar-benar tidur, mencatat pelajaran dengan serius, melamun, dan banyak lagi.

    Aku termasuk diantara salah satu orang yang asyik melamun. Menatap jauh ke langit luas dari jendela, ingatanku melambung beberapa jam kebelakang saat aku masih di rumah dan hampir dibunuh. Banyak pertanyaan tentang gadis itu yang aku sendiri tak bisa menjawabnya.
    Pertama, siapa sebenarnya dia? Dia tentu bukan manusia. Tak ada satupun manusia di dunia ini yang tubuhnya terdiri dari kabel seperti dirinya.

    Kedua, kenapa ia ingin membunuhku? Masih masuk akal bila ia ingin membunuhku karena aku membunuh saudaranya atau membakar rumahnya sampai habis. Tapi aku ini kan anak baik hati, dan membunuhku tanpa alasan merupakan sesuatu yang ajaib.
    Aku masih punya pertanyaan ketiga, keempat, kesepuluh, akh, terlalu banyak yang ingin kutanyakan padanya.

    “Arche. Hoi, Arche,”

    Sedang asik-asiknya melamun, Tony berbisik dari samping kanan. Ingin kuacuhkan, sebenarnya, tapi kepalaku refleks menoleh.

    “Apa?” Sahutku pedas. Kupasang muka malas padanya, berharap ia tak bertanya lebih jauh. Tetapi bukan Tony namanya jika ia berhenti mengganggu hanya karena wajah masam.

    “Eksperimen dengan robot itu, apa berjalan lancar?”

    “Apanya yang lancar?” Gerutuku. “Lancar dibantai sih iya.”

    “Dibantai? Maksudmu kau mau dibunuh?”

    Aku mengangguk, malas. Sebaliknya, Tony menggeleng-geleng kepalanya sambil berdecak keheranan.

    “Kau hampir dibunuh pasti karena kau cabul ya?”

    Hah? Apa? Cabul?

    Monyet!

    Terkejut sekaligus tidak percaya dengan ucapan Tony, mendadak aku memasang wajah risih. Jika ada cermin dihadapanku, kurasa aku bisa bilang bahwa ekspresi wajahku kini sama seperti malaikat yang dituduh maling ayam.

    “Eh, monyet! Bukannya kemarin kau yang bilang ya kalau dia mirip bintang film P*rn*? Otak cabul!” Gerutuku lagi, mengacu pada kejadian kemarin malam saat Tony tiba di rumah dan melihat langsung gadis robot yang kutemukan. Pertanyaan pertama yang muncul dari mulutnya adalah “Aku boleh memegang panta-, ah, sory. Boleh memegang tangannya tidak?”. Bodoh. Sableng. Idiot. Dan pertanyaan kedua darinya malah lebih aneh lagi, “Dia masih perawan kan?”

    Saat kuceritakan padanya bahwa gadis itu sangat ingin membunuhku, Tony malah asyik memperhatikan lekukan tubuh sang gadis – sesekali bahkan memotretnya dengan kamera di telepon genggamnya. Tak lama setelah itu aku jadi ingin marah habis-habisan saat ia juga mengacuhkan ideku untuk menggunakan sang gadis sebagai hasil tugas fisika.

    Dan andai kemarin si bejat itu tak membawa video Julia Sylvania, aku pasti sudah menyuruhnya pulang. Amarahku reda saat si bejat itu menyalakan DVD, dan seperti malam-malam sebelumnya, pertemuan yang diharapkan berjalan serius seperti Konferensi PBB malah berakhir dengan video P*rn* dan air liur.

    Mengingat itu semua aku menghela napas. Entah kutukan apa yang menyebabkanku terjebak dengan lelaki super bejat itu.

    “Gadis itu, bagaimanapun ia satu-satunya harapan kita untuk lulus ujian.” Kataku lagi. “Dia tawanan kita sampai ujian selesai.”

    “Hmm,”

    Tony kembali tak mengeluarkan tanggapan yang memuaskan, sama seperti saat-saat kami menunggu hujan reda kemarin sore.

    Saat dimana gadis aneh itu muncul, berusaha membunuhku, disambar petir, dan pingsan.

    Mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku merasa ada sesuatu yang amat familiar dari pandangan matanya kemarin. Saat mata kami bertemu, sinar mata sang gadis tampak redup dan hampa. Dari pandangan matanya saja aku bisa bilang bahwa ia tengah memendam suatu kesedihan dan kebingungan yang dalam. Aku tahu itu. Aku tahu itu dari pandangan matanya, karena sebetulnya aku juga amat familiar dengan pandangan mata itu.

    Dan mungkin untuk alasan itulah aku membawanya pulang. Mungkin. Yang jelas hatiku mengatakan bahwa aku tak bisa meninggalkannya sendirian. Ia mungkin akan membunuhku, tapi membiarkannya sendirian juga tak bisa kulakukan.

    “Hei, Tony…” gumamku sesaat kemudian. Setengah dari otakku masih memikirkan sang gadis, bertanya-tanya apakah ia sudah lebih baik atau belum, apakah ia kembali mengacau atau tidak.

    Tony memandangiku seolah ingin bertanya, “Ada apa?”

    “Anu, Tony, kau tahu?”

    “Tidak.”

    Kumis! Anjrit! Tony kumis! Aku belum selesai bicara.

    “Tony, bangsat! Aku belum selesai ngomong!”

    Tony menggaruk-garuk kepala. “Baiklah, baiklah, memangnya kau mau bilang apa sih?”

    “Ampun!”

    Aku menghentikan kata-kataku sejenak, menghela napas. Hirup, buang. Hirup, buang. Begitu berkali-kali hingga aku merasa lebih nyaman.
    Tetapi saat tiba kembali waktunya bicara, aku kembali bingung memilih kata yang tepat untuk mengekspresikan isi pikiranku. Apa yang ingin kukatakan sebetulnya tidak terlalu rumit, hanya saja berat untuk diungkapkan. Tony bisa saja khawatir jika aku sampai mengatakan hal ini padanya. Tidak. Aku tak boleh bilang apapun. Meskipun aku sangat ingin mengatakannya, kata-kata itu tidak boleh sampai terdengar olehnya. Tidak boleh.

    Tidak boleh…

    “Tony,”

    Tetapi tanpa sadar, kata-kata itu terlontar juga.

    “Gadis itu,” kataku kemudian dengan nada suara bergetar. Sebuah senyum hampa mengalir di wajahku diiringi dengan pandangan mata yang kosong. “Ia mengingatkanku pada Iris.”

    Iris.

    Kata Iris yang baru kuucapkan mungkin sedikit mengagetkan Tony, sehingga ia kini hanya diam tak menjawab. Dan untuk sesaat keheningan kembali menerpa kami. Tak ada yang terdengar selain suara Pak Albert, keras dan menggema didalam kelas. Bersamaan dengannya terdengar pula suara kapur yang menyentuh papan tulis hitam. Tak…tok…tak…tok… sebuah suara yang khas.

    Selain itu semua, tak ada lagi yang terdengar kecuali suara desiran angin dan nyanyian serangga.

    Tony menghela napas panjang, sebelum kemudian menggeleng-geleng kepalanya. “Robot itu memang benar-benar cantik. Namanya siapa sih?”

    Aku tahu ia sedang mengalihkan pembicaraan, berusaha agar aku tak membahas tentang Iris. Meski demikian aku masih melamunkannya.

    “Hoi, kau tahu namanya tidak?”

    Tony kembali menyahut kecil. Dilemparnya sebuah gulungan kecil kertas dari tangannya, dan gulungan itu hampir saja menghajar mataku hingga aku kembali tersadar. Saat kupalingkan wajahku padanya, ia mengangkat kedua alisnya dan tersenyum garing.

    “Mana kutahu?” Menopang pipiku pada tangan kananku, aku menjawab sambil memalingkan wajah. Tony terus menanyaiku banyak hal mengenai gadis itu, seperti tempat asalnya, nomor teleponnya, hingga ukuran dadanya.

    “Mesum! Mana kutahu ukuran dadanya nyet?” Bisikku keras. Refleks aku kembali melirik kearah Tony. Kedua telapak tangannya kini melayang di depan dadanya dan membentuk buah dada seorang wanita. Jujur itu membuatku jengkel bukan main.

    Ah, andai saja aku punya bodyguard.

    Tony benar-benar raja cabul.

    “Tampaknya asyik juga.”

    Suara itu berasal dari kursi depan. Tepat didepan meja dan kursi yang kududuki, seorang gadis tampak asyik mencatat pelajaran. Untuk beberapa saat kukira ia benar-benar tidak memperhatikan kami, hingga kemudian ia membalikkan badannya padaku dan menatapku lugu dengan matanya yang bulat. Pupil matanya tampak cerah, berwarna coklat kehitam-hitaman di sela-sela rambutnya yang hitam.

    Saat matanya menatap wajahku, ia tersenyum.

    “Obrolan kalian berdua sepertinya asyik.” Katanya dengan nada suara yang membuatku gemas. “Aku jadi ingin ikutan.”

    Wajah bersih sang gadis tampak di mata kami – kuning langsat dengan pipi kemerahan seperti buah plum. Ardelia, nama gadis itu. Seorang juara kelas. Selain memiliki paras yang manis, ia jenius sejati, dan sebetulnya aku amat berharap bisa satu kelompok dengannya dalam proyek tugas akhir fisika daripada bersama Tony.

    Sayangnya, seorang gadis berhasil mendahuluiku. Aku tahu bahwa Ardelia adalah tipe orang yang komitmen dan bertanggung jawab. Karenanya ia menolak ketika aku memintanya berpasangan denganku dan meninggalkan timnya yang sekarang.

    Masih menatap kami berdua, Ardelia menyilangkan kedua tangannya diatas sandaran tempat duduk, tepat didepan tubuhnya. Di sela-sela senyumnya yang lucu, ia kembali melempar pertanyaan,

    “Rasanya aku mendengar sesuatu tentang robot. Apa kalian merencanakan sesuatu?”

    Aku tak menjawab. Alih-alih, aku menatap Tony yang juga menatap mataku. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

    “Ah, tidak. Bukan apa-apa.” Jawabku kemudian.

    ***​

    Sore itu aku memutuskan masuk rumah melalui jendela, takut-takut sang gadis monster menerjangku didepan pintu masuk. Aku lupa tidak membawa raket ajaib ke sekolah, karenanya aku harus masuk mengendap-endap, membungkuk. Masuk rumah seperti itu rasanya kurang lebih sama seperti tentara yang sedang mengintai musuh dan menyusup.

    “Regu 2, pantau area. Aman?”

    “Aman, Letnan!”

    “Bagus! Kita maju. Julia Sylvania pasti ada di dalam gedung itu. Regu 2, kalian ikut dibelakang!”

    “Siap Letnan! Saya siap mati demi mencabuli Julia, letnan!”

    “Semangat yang bagus. Sekarang, ayo! Tiga, dua satu. Move! Move! Move!”

    Argh, berhenti mikir macam-macam, gerutuku pada otak. Kadang aku kesal pada otakku sendiri yang isinya hanya hal-hal mesum.

    Melewati pekarangan rumah, aku mengendap ke arah dapur. Setelah memastikan dapur itu aman, aku segera naik jendela.

    “Yosh.”

    Kakiku berhasil menyentuh lantai. Keadaan sunyi, senyap. Gadis itu pasti sudah menungguku dibalik pintu depan, siap untuk menghajarku dengan tinju besinya. Bahaya sekali jika aku sampai terkena tinjunya. Aku bisa mengalami instant death.

    Melewati beberapa ruangan aku mengendap-endap, terkadang mengintip sebuah area sebelum berlari cepat dalam keheningan. Jika aku menggenggam senapan, aku yakin apa yang kulakukan tidak jauh berbeda dengan seorang pasukan elite.

    Tiba di lorong utama. Tak tampak kehadiran gadis pembunuh itu. Bagus. Cepat melangkah, senyap, silent and deadly. Objective : Pergi ke ruang TV dan ambil raket ajaib, kataku dalam hati.

    Tiba di ruang TV, gadis itu masih tak ada. Raket ajaib tampak di pojok ruangan. Nice. Segera raket itu kusambar. Dengan raket ajaib di tanganku, aku tak takut apapun lagi. Kuperiksa seluruh isi rumah : ruang makan, kamar mandi, kamar tidur.

    Aneh, gadis itu tak ada.

    Dan saat itu aku mulai khawatir. Jika ia masih di rumah, ia hanya berbahaya bagiku. Tapi jika ia ada di kota dan mengamuk, Montblanc akan hancur dalam semalam. Atau untuk hal yang lebih kecil, ia bisa saja meninju orang yang mengganggunya – dengan paras wajah manis seperti itu, ia akan sering diganggu.

    Ah, sial.

    “Hoi, gadis robot, kau dimana?” Aku mulai berteriak. Otakku mengatakan bahwa ia mungkin saja sembunyi di suatu tempat dan berusaha menyergapku, tapi untuk suatu alasan yang tak bisa kujelaskan, aku tak peduli.

    “Uakh!”

    Ah, dia disana! Itu suaranya!

    Suara itu berasal dari balkon atap rumah, membuat kakiku bergerak berlari dengan sendirinya. Detik demi detik berlalu begitu cepat hingga akupun tiba di balkon.

    “Hoi!”

    Aku bersorak. Kudapati gadis itu tengah terjerembab, memegangi sebuah alat mirip telepon genggam berbentuk segienam. Ia kemudian bangkit perlahan dan berbicara pada alat segienam berantena itu.

    “Pusat komando, disini Model 70, masuk!”

    Tampaknya gadis itu belum menyadari keberadaanku. Aku dapat leluasa melihat sosoknya yang kebingungan di tempat terbuka ini. Langit jingga terbentang luas dibalik tubuhnya.

    “Pusat komando! Disini Model…uakh!”

    Sang gadis meringis kesakitan saat sepercik listrik tiba-tiba muncul dari alat itu, untuk kemudian menimbulkan ledakan kecil. Ia kembali terjerembab, jatuh ke lantai dan terkapar.

    Refelks aku berlari menghampirinya. “He…hei, kau!”

    Tiba dihadapannya, kulihat ia terus meringis kesakitan. Tampak jelas dimataku bahwa luka-lukanya masih belum menutup, beberapa kabel masih menyembul keluar.

    “Bukankah aku sudah bilang supaya kau tetap tidur? Dasar kau ini bodoh.” Kataku gusar. Ia tak menjawab apapun. Matanya masih menutup untuk beberapa saat, dan saat mata itu kembali terbuka, ia melompat menjauh dengan amat panik.

    “Wuuaa!”

    “H…hei!”

    “K…kau, akh!” Gadis itu kembali berteriak. Pundaknya tampak memercikan listrik dan mengepulkan asap. Ia kemudian memeganginya kuat-kuat.

    Aku duduk dalam kebingungan. Mendapati robot sekarat seperti itu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan.

    “Kau tak apa-apa? Bertahanlah!”

    Sang robot tetap meringis kesakitan. Masih memegangi pundaknya, ia berbisik. “Sial, jangan harap kau bisa melukaiku lagi dengan benda sialan itu!”

    “Ah, ini?”

    Kuacungkan raket ajaib yang kugenggam. Sang gadis tak menjawab, tapi aku tahu bahwa yang ia maksud adalah raket ini. Dengan segera akupun menyingkirkan raket tersebut, meletakannya di lantai.

    “Tenanglah, aku takkan menyakitimu.”

    Ia masih memandangiku dengan mata yang entah ketakutan atau marah. Tangannya perlahan berusaha menggapai raket yang baru kuletakkan. Sadar apa yang ia lakukan, aku menyerahkan raket itu padanya. “Pegang saja, tak apa.” Kataku sedikit memaksa.

    Ada sedikit keraguan saat sang gadis akan menggenggam raket penepuk nyamuk itu. Saat tangannya hampir menyentuhnya, tiba-tiba saja tangannya berhenti bergerak.

    “Ah…”

    Aku segera meraih raket itu dengan tangan kanan. Di tangan kiriku, kuraih lengan sang gadis. Ia sedikit terkejut saat lengannya kugenggam. Kurasakan tangannya begitu tegang.

    “Lihat, tuh. Tak apa-apa.”

    Dengan bantuanku, sesaat kemudian jemari sang gadis sudah menggenggam gagang raket itu kuat-kuat. “Tak apa-apa kan?” Kataku tersenyum. Sang gadis masih tampak kebingungan untuk beberapa detik, sebelum kemudian memberanikan diri menyentuh kawat-kawat di raket itu yang tak teraliri listrik. Kuharap ia tak menyentuh tombol yang ada.

    Dan kurasa, inilah saat yang tepat untuk berdamai dengannya.

    “Aku takkan menyakitimu.” Kataku pelan. “Kau sebaiknya-“

    BUAK!

    “WASU!”

    Secepat kilat gadis itu memukulku dengan raket. Tenaga yang ia keluarkan kurang lebih sama seperti tenaga kuda liar. Bangsat! Seharusnya aku tak memberikan raket itu padanya. Ia masih mau membunuhku. Sialan! Sialan! Super sialan!

    “Waaargghh!” sambil berguling aku memegangi hidungku yang kembali berdarah. Sang gadis perlahan bangkit. Samar-samar aku bisa melihatnya berdiri sempoyongan sambil menggenggam raket di tangan kanannya.

    “Kau…kubunuh…kau…”

    Ia lalu mengangkat raket tersebut tinggi-tinggi, bersiap menggebukku seperti layaknya menggebuk lalat. Aku baru akan menghindar saat kemudian percikan listrik kembali muncul di tubuhnya, melemparnya kembali ke tanah.

    “Uaakh!”

    Ia kembali tersungkur. Raket yang digenggamnya jatuh tak jauh dari sampingnya.

    Benar-benar sial.

    ditunggu cabenya :hmm:
     
    Last edited: Oct 13, 2013
  11. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :belajar: mampir lagi buat numpang baca dan mengungkapkan sedikit pertanyaan serta beberapa kesan :lalala:

    kesan:
    1. setelah membaca chap 2 ini sepertinya masih belum terlalu banyak kemajuan dalam plotnya ya, masih berkisar seputar Arche dan Tony yang mesum kemudian si gadis yang lemah pada listrik.

    2. waktu baca "Selain itu semua, tak ada lagi yang terdengar kecuali suara desiran angin dan nyanyian burung-burung camar." :lol: saya sempet senyum2 sendiri sih. benar2 hebat imajinasi nya si Arche, karena setahu saya burung camar itu hampir nda ada di kota sih (mala belum pernah tahu ada burung camar di kota). tapi itu nda salah kok, mala jadi bikin lucu klo untuk saya, karena bagi saya itu temasuk gaya bahasa (ga tau klo untuk orang lain :ngacir:)

    pertanyaan:
    rumahnya Arche itu seperti apa ya atap nya?? karena dalam deskripsi itu di sebutkan si robot sedang di atap, tapi kemudian di sebutkan lagi si robot terkapar di lantai, kemudian disebutkan lagi mearuh raket di tanah :???: saya nda kebayang bentuk atap rumahnya seperti apa

    segitu saja de komentar dan pertanyaan nya :peace: semoga membantu
     
  12. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    aree, itu belum ke edit ama ane :tolong:

    setting awal lingkungan rumah arche di pantai tapi ane ganti, jadi ada burung2 camar :aaaa:

    terus itu maksud ane atap balkon. deskripsinya juga belum selese. bener2 maksa nih masukin chap 2 :hiks:

    segera ubah secepetnya deh, thanks agan bubu :peace:

    ------------

    sudah diedit yaa :maaf:
     
    Last edited: Oct 17, 2013
  13. LuciferScream Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 15, 2011
    Messages:
    137
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +864 / -0
    mnurut gw chapter ini banyak repetisi sama yg di chapter 1, beberapa jokes yang mirip, cerita yang belum maju bgitu jauh, dialog yang mirip juga. ga banyak sih, cuma pas bacanya jadi keingetan ama yang di chapt 1. oia satu lagi, gw ngerasa risi aja ngebaca banyaknya kata2 monyet, bangsat, wasu , dll dll. Imo malah menurunkan keseriusan membaca, tapi ini selera pribadi si. ditunggu lanjutannya om panadol.
     
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Update (masih maksa gara2 ga bisa tidur)
    :swt:

    “Andai saja sistem persenjataanku tidak rusak, kau pasti sudah tewas.”

    Bagus!

    Itu adalah ucapan terima kasih yang kuterima setelah untuk kedua kalinya aku membawa sang robot ke kamar tidurku. Kata-katanya memang pedas, tetapi karena sudah biasa menerima perlakuan kasar, aku tak terlalu memasukkannya dalam hati.

    “Sebaiknya kau siapkan, ukh...kau…siapkan permintaan terakhirmu.”

    “Ya, ya, terima kasih kembali.” Jawabku sambil merebahkan tubuhnya diatas kasur dan kembali membungkusnya dengan selimut. Sejenak ia berusaha lepas dari kain yang ia pikir alat pembunuh itu, sebelum aku mendorongnya kembali. “Sudah, tenang saja.” kataku kemudian, sedikit malas. Gadis itu menurut dengan wajah kusam.

    “Kau tidak seharusnya menolongku…”

    Pundaknya kembali memercikkan listrik kecil, membuatnya meringis kesakitan. Entah mengapa, melihatnya berada dalam kondisi setengah sekarat seperti itu aku menjadi iba juga. Andai aku tahu apa yang harus kulakukan, pasti aku akan menolongnya. Aku tak begitu peduli dengan kenyataan bahwa ia ingin membunuhku. Untuk suatu alasan yang tak kumengerti, aku tidak takut padanya.

    “Hei, adakah yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih baik?” Gumamku kemudian sambil mengambil sebuah kursi di pojokan kamar. Kuletakkan kursi itu secara terbalik hingga dadaku bisa bersandar pada punggungnya. Menatap dalam pada sang robot, aku menyilangkan kedua tanganku diatas punggung kursi tersebut.

    Robot itu tak menjawab. Sesaat ia masih memandangi wajahku dengan raut muka kusam, sebelum kemudian menatap jauh ke langit-langit.

    “Tidakkah kau tahu bahwa aku ingin membunuhmu?”

    “Kau bisa melakukannya dari kemarin kalau kau mau.” Jawabku malas sambil menghela napas panjang. “Tapi buktinya kau tidak melakukannya, kan?”

    Gadis itu masih menatap langit-langit, hampa.

    “Jadi, adakah yang bisa kulakukan? Kau juga tak ingin rusak, kan?”

    Masih kebingungan, dan tanpa melihat wajahku sedikitpun, gadis itu menjawab, “Andai aku memintamu mati, apa kau akan mengabulkan permintaanku?”

    Ia menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan pula, yang tentu saja kutolak. Mana mungkin aku melakukannya? dasar dungu. Setelah mengumpat sana sini aku kembali berkata, “Lagipula, kenapa kau ingin membunuhku? Kita bahkan belum saling kenal.”

    “Aku mengenalmu.”

    “Ya, ya, kau mengenalku tapi aku tidak mengenalmu.” Umpatku. “Aku bahkan belum pernah bertemu denganmu sebelumnya, jadi dari mana kau bisa mengenalku?”

    Pada akhirnya gadis itu menoleh kembali padaku, masih dengan wajahnya yang muram.

    “Namamu Arche Van Klinken,”

    Eh?

    “Ulang tahunmu 26 November.”

    Apa? Bagaimana ia tahu?

    Sang gadis berbicara dengan nada suara yang datar. Sementara itu aku terus diliputi rasa penasaran yang luar biasa. Bagaimana ia bisa tahu nama lengkapku dan tanggal lahirku bahkan pada saat kami baru bertemu? Itu luar biasa!

    “Usiamu 18 tahun. Seorang pelajar SMA. Hobimu mengoleksi majalah dan menonton-“

    “Hei, hei, tunggu! Kenapa kau bisa tahu semua itu?” Aku memotong kata-katanya dengan panik. Kedua tanganku membentuk isyarat agar ia berhenti bicara – kubiarkan kedua telapak tanganku terbuka padanya.

    “-video b*kep.”

    Ah…

    Ia tidak menggubris pertanyaanku sama sekali. Sialan! Ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Aku harus tahu segalanya tentangnya.

    “Baiklah-baiklah, kau tahu segalanya tentangku.” Gerutuku kesal. “Sekarang, agar semuanya adil, kuminta kau menyebutkan siapa dan darimana asalmu, dan kenapa kau begitu ingin membunuhku.”

    “Membunuhmu, ya?”

    “Ya!” setengah berteriak aku menjawab. Sementara sang gadis perlahan bangun dan duduk di tempat tidur. Wajahnya menunduk dalam-dalam.

    “Karena…seseorang merancangku dan memprogramku untuk melenyapkanmu. Eh, tunggu, kenapa aku harus menjawab itu?”

    “Kenapa katamu?” Kataku yang mulai kesal sekaligus penasaran. “Kau menghancurkan rumahku dan masih bilang kenapa?”

    “Menghancurkan rumah dan menjawab pertanyaanmu tak ada hubungannya.”

    Goblok!

    Tanpa pikir panjang, tanganku bergerak mengambil raket ajaib yang kini sudah berada diatas meja disamping tempat tidurnya. Melihatku mengacungkan raket itu, mata gadis robot itu tampak terbelalak.

    “Hayo, masih mau melawan?” tanyaku gusar. Ia diam.

    “Bilang siapa yang mengirimmu?”

    Sang gadis tak menjawab. Kuulang kembali pertanyaanku, namun ia tetap diam. Mulutnya sedikit ingin bergerak, namun tak ada satu patah katapun yang keluar. aku tak punya pilihan lain selain mengacungkan raket itu makin tinggi. Saat melihatnya, gadis itu memejamkan matanya kuat-kuat.

    Tanpa pikir panjang kuayunkan raket itu sekuat tenaga.

    “Uwaa-“

    BUK!

    Pukulan jitu! Tepat mengenai kepalanya. Meski sebetulnya aku tahu pukulan itu tak berpengaruh banyak padanya.

    “Baterainya sudah kulepas.” Kataku. “Ayolah, aku tak mau berlama-lama begini.”

    Gemetar, gadis itu perlahan kembali membuka matanya, dan menatapku bingung. Sejenak kemudian ia kembali menundukkan kepalanya. Tidak untuk waktu yang lama karena kemudian ia menjawab.

    “Namaku…Model 70.” Katanya kemudian perlahan. “Aku dikirim kesini oleh seorang professor dari masa depan. Itu saja yang bisa kukatakan.”

    “Professor? Masa depan? Maksudmu kau berasal dari masa depan?”

    Gadis itu mengangguk.

    Argh, tidak. Tidak. Ini pasti bukan kenyataan.

    Satu hal yang melayang di pikiranku saat mendengar kata-kata gadis itu adalah bahwa aku pasti sedang bermimpi buruk. Sebentar lagi aku pasti bangun.

    “Tolong, kau pukul aku.” kataku pada sang robot. Raket yang kupegang segera kuberikan padanya. “Aku pasti sedang bermimpi.”

    Gadis itu menolak. “Ini kenyataan.”

    Ah, ya. baiklah. Kenyataan yang tak mau kuterima, mau tak mau harus kuterima juga. Meskipun ini bodoh. Super bodoh.

    “2023." Sang gadis - lebih baik kini kusebut Model 70 - memulai ceritanya.

    "Perang Dunia 3, itulah masa dimana aku tercipta.”

    Untuk suatu alasan aku terus mendengar ceritanya dengan serius.

    Ia bercerita bahwa di masa depan, bumi terbagi menjadi beberapa faksi militer yang saling bermusuhan. Ada dua kekuatan utama yang bertempur : yang pertama adalah Blok Eropa yang meliputi Benua Eropa, Kanada, Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Lawannya adalah blok Asia, meliputi Negara-negara Timur Tengah, sebagian Afrika, Cina, Rusia, dan Asia Timur. Kekuatan militer utama blok Asia berada di tangan Cina dan Rusia yang bersekutu namun saling mencurigai satu sama lain. Di pihak lain, Amerika Serikat dan Inggris Raya menjadi kekuatan utama Blok Eropa. ASEAN, meskipun bersikap netral, menjelma menjadi kuda hitam di selatan, dan kekuatan militernya diperebutkan oleh Blok Eropa dan Blok Asia.

    Aku menyela. “Anu, bisakah kau langsung ke intinya saja, kenapa kau ingin membunuhku?”

    Gadis itu terperanjat. “Ah, aku terlalu bertele-tele, ya?”

    Aku mengangguk. “Ya, ya, bicara mutar-mutar seperti itu bikin aku pusing, tahu?”

    Memang sebetulnya aku ingin tahu dengan apa yang terjadi dengan masa depan, perang dunia tiga, dan semacamnya, tapi aku lebih ingin tahu alasan kenapa gadis ini ingin membunuhku.

    “Arche van Klinken, aku diprogram untuk membunuhmu agar kau bahagia.”
     
  15. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :nongol: mampir sebentar untuk berkomentar ya...
    kesan pertama: etooo.. ini.... :voodoo: kenapa lanjutannya cuma sedikit... (padahal sendirinya lanjutan fic belum dipost2 tapi udah protes fic orang:hammer:)

    kesan kedua: yah karena cuma sedikit jadi plot nya sendiri juga berasa baru maju sedikit sih, tapi sudah mulai terungkap sedikit setidaknya :ngacir:

    kesan ketiga: penggambaran mengenai blok2 yang berseteru dengan yang bersekutu masih belum jelas sih latar belakangnya.. tapi sepertinya akan ada penjelasannya kedepan yah.. wokeh, ditunggu lanjutannya lho :top:

    segitu saja deh :peace: nda bisa bilang semoga membantu, karena cuma menyampaikan kesan2 saja :ngacir:
     
  16. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    anu, sedikit karena udah ngantuk mbak :swt:

    iya, udah mulai terungkap, tapi sebenrya ga ada sangkut pautnya ama perang dunia sih nantinya :haha;

    ato mungkin diadain aja ya? bingung :swt:

    dicoba dulu deh :iii:
     
  17. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    :kaget: nda ada hubungannya dengan kisah nya nanti yah... :lol: padahal saya kira bakal ada hubungan yang cukup erat gt, karena dari penjelasannya seolah2 PD 3 itu seperti penting bgt
     
  18. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    baru baca dikit2, ntar gw komeng aja bagian yang gw inget dulu sebelum pada lupa :hammer:

    yang ini buat bagian prolog

    “Aku tidak ada apa-apa. Hanya sedang stress dan butuh pelampiasan.” Kataku setengah menggerutu, sementara hatiku berkata, “Ternak tuyul? Ternak Tony dong.”


    asli ngakak ni, ditambah lagi ada beberapa momen ngakak lagi disini :lol: kalo buat cerita komedi lumayan pas deh :top:

    ehem, ceritanya cukup menghibur, tentang seorang protag dengan seorang robot yang agak tsun-tsun(?) entah kenapa gw jadi keinget ama miku yang lagi tsundere pas baca ini. pembawaannya ringan dan asik, jadi ingat pas baca Fighting the Monster waktu kemaren2.

    unsur komedinya asik, cuman mungkin bisa diasah sedikit lagi pas bagian deskripsi. well mungkin ada satu atau dua bagian yang mengganjal seperti pas si protag ketemu robotnya, kayak sama sekali gak ada orang lain disitu, itu aja sih.

    ada2 aja nih khayalan setengah sadarnya, berduaan dengan bintang b*kep :XD: boleh juga lah. mungkin kalo namanya diganti jadi Maria Ozawa bisa langsung heboh tu :cambuk: seru juga adegan kejar-kejaran kayak kucing sama tikus, habis itu twistnya boleh juga tuh tentang flashback sejenak (ditambah semacam foreshadowing mungkin?). menarik juga yah gimana itu robot bisa membuat si protag keingat ama adiknya, perkembangan mengenai masalah ini bikin gw penasaran.

    mungkin yang kerasa sedikit mengganjal itu gimana si protag bisa begitu aja nyantai pergi ke sekolah pas rumahnya ancur lebur gitu. menurut gw ribet juga sih gimana ngebenerinnya ntar lol

    “Yah, karena ada beberapa hal di dunia ini yang hanya bisa dinikmati jika kita terus hidup."


    like this line :top:

    errr....gw ngerasa yang ini plothole banget yah :swt:

    pas chapter 1 si Archie bilang bahwa gerbang sekolahnya bentar lagi mau tutup. habis itu di awal chap dikasih tau kalo dia mesti naik bus buat ke sekolah, belum lagi tempatnya jauh lagi. tapi entah kenapa tiba2 bisa nyampe di sekolah, teleport kali ya?

    guyonan mesum lagi sodara sodara, btw itu si Tony koplak abis deh mesumnya sampe bikin cengar-cengir. rada mulai ngebosenin pas masuk bagian kedua pas si Archie balik lagi ke rumahnya, cuman bagian akhirnya cukup bikin cliffhanger juga sih.

    anooo...ini kok berasa kayak Terminator banget yah :shuriken:

    anyway mungkin ini gw aja yang rada sebel dengan cerita model time travel dimana seseorang pergi ke masa lalu buat ngebunuh dirinya sendiri yang versi masa lampau. kalo sampe kejadian mirip kayak gini gw bener2 facepalm abis deh, asli yang kek gitu mindajimak bener :hammer:

    menurut gw cerita time travel yang bener2 make sense cuman yang seperti Back to the Future dengan teori time paradox nya sih, sisanya rata2 bikin puyeng :ngacir:
     
    Last edited: Jun 13, 2013
  19. serafim M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 9, 2012
    Messages:
    1,244
    Trophy Points:
    127
    Ratings:
    +874 / -1
    baru baca prolog sama chapter 1 aja :peace:

    idenya sih kayak di film2 kebanyakan ya, orang nemu makhluk dari antah berantah trus disimpen di rumah dan seterusnya

    tapi...saya suka cara penulisan lalat-san yang ngalir jadi pembaca nggak perlu kebanyakan mikir pas baca tulisannya situ

    lanjutin baca dulu deh :belajar:
     
  20. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    anoo, sebenernya di otak ane, perkembngannya ntar ga ke action sih, jadi bukan kek terminator yang banyak bunuh2 n pistol dll ntar, tapi thanks masukannya :peace:

    plothole di ch 2, sip. thanks bang momod. diterima n segera diperbaiki :peace:

    aww itu kenapa udah ditebak yang time travelnya :nangis: padahal ane sekarang lagi nulis bahwa si arche emang ngirim si robot buat bunuh dia di masa lalu :hiks:

    tapi ane nekenin di segi drama sih, ga akan penuh konspirasi deh.

    sebel juga udah ketebak duluan jalan ceritanya :hiks:

    hahay thanks serafim san, ane masi mentok nih di chap selanjutnya, tapi dicoba dulu. terus pantau yaa :peace:
     
  21. Melonn M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Oct 17, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    37
    Ratings:
    +437 / -0
    syuut syuuut
    halo, Lalat-san :ninja:

    baru beres baca chapter 3, dan sebelomnya juga.

    umm...aa, gimana ya... lucu sih, nyablak nya dapet. ane ketawa nyengir2 beberapa kali terutama di chapter prolog sampe chapter 2. tapi agak kurang pol, kalo dibandingin sama si Jono... :ngacir:
    ini, Julia nya kurang nampol

    ane sih fine aja kalo cerita serius ada konyol nya, malah seru :))

    eh, tapi cerita ini ane belom bisa nebak sih... masih belom jelas bakal begimana. baru 3 chapter juga :ngacir:
    ide nya kalo setangkep ane sih seru, mirip Terminator...err, behubung belom nonton jadi ga tau
    penceritaannya sih enjoyable banget, nyantai2 tapi alur tetep jalan~

    kurangnya, kayaknya cuman di beberapa adegan aja kayak kurang jelas kenapa bisa begini-begitu, yang paling ane bingung pas transisi chapter 1 ke 2. sisanya, masih bisa diproses otak, sih... :ninja:

    oke, ngacir lagi ah :ngacir:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.