OriFic L-AI

Spoiler: tanggapan

ed-nya dikira robot....
bukan nya ada dibilang sama Ken di akir bab 2, klo mereka sebenarnya uda pernah coba LAI ke anjing kesayangan nya Anna

antony itu bukan bodoh, tapi emang dia nda tau karena Ken dan Anna merahasiakan percobaan LAI ke Ed. kan di bab 1 ada dibilang gini sama Anna:

jadi memang benar nya blm ada orang lain yang tau selain Ken dan Anna
nah antony yang ngerasa ada keaneh an coba nebak2 klo Ken pernah nyoba LAI sebelumnya, akirnya sampailah dia pada keingintahuan nya untuk mengupas tuntas tentang LAI ini

Anna bukan anggota pptm, yang anggota pptm itu Ken sama Antony.
Antony itu kan wakil ketua laboratorium tempat nya si Ken kerja, bisa dibilang atasan nya Ken

makasih untuk komen nya... jangan bosan2 komen atau tanya2 lagi yah klo kurang jelas
kan ada list nya di stories from bunny's mind

 

kenapa langsung ngacir komen nya manaaaaa.....

 

berarti cerita nya kacau yah....

 

ada apaan sih nda mau bilang nih

 

a-arigatte...

Spoiler: jawaban

akirnya benarnya saya juga merasa begitu, agak terlalu biasa untuk di awal2 nya.
nda mungkin down lah saya baca komen nya karena memang sebenar nya saya juga merasakan hal yang sama tapi bingung gmn benerinnya, mungkin prolog dan bab 1 nya akan saya tambah2in atau saya ganti.

yah terinspirasi dari RE gmn nda kental nuansa RE nya....

tapi klo tiba2 blm apa2 nongol kek jombi gt yah rasa nya juga nda mungkin kan pingin nya sih saya kasih perkenalan dulu sebab2 nya baru dimunculkan kasus nya

masalah yang ttg LAI itu memang saya sendiri juga benar nya takut klo kurang jelasin nya sempet terlintas sih ingin prolog nya diganti menjadi penjelasan dari LAI itu sendiri. sepertinya saat remake dari draft nya akan saya ganti total prolog dan bab 1 nya supaya nda bikin bingung yah atau ditambahkan 1 bab lagi untuk menjelaskannya... dan selain itu memang antara bab 1 dan bab 2 saya juga melihat adanya inkonsistensi (untung blm ada yang protes) mungkin itu juga yang membuat pada bingung yah

akir kata arigatte, jangan bosan2 komen lagi yah

 

BAB 4 part 1 -=Kennedy=-

akhirnya bisa dapat pinjaman koneksi inet juga....
semoga berkenan

Spoiler: Bab 4 Part 1-1

“Saat tidur, dia tidak banyak menggunakan otaknya untuk berpikir,” gumam Antony sambil memainkan ponselnya. Ia mengangkat wajah setelah urusannya dengan ponsel selesai. “Jadi saat itulah LAI mengambil alih tubuh Satrio.”

“Dan yang menyedihkan, tidak ada satu pun dari kita yang menyadari itu sebelumnya!” balas Ken kesal sambil memutar roda kemudi. Ia membunyikan klakson saat seorang pengendara motor tiba-tiba melintas di depan mobilnya. Pengendara itu menoleh lalu memberikan pandangan kesal pada Ken sebelum menepi.

Terdengar panggilan dari ponsel, Ken merogoh saku di balik jasnya dan mengambil ponsel, melihat nama si penelepon yang ternyata istrinya, lalu menekan tombol untuk menjawab panggilan itu. Belum sempat Ken mendekatkan ponselnya pada telinga, Anna sudah meneriakkan nama Ken dengan keras-keras, membuat kedua ilmuwan itu bisa mendengarnya.

“Ada apa?” tanya Ken cepat, berusaha terdengar biasa saja agar tidak memperkeruh suasana. Merasa akan ada hubungan dengan Satrio, Ken menekan tombol Loud Speaker agar Antony juga dapat mendengar. Dengan kata-kata yang sangat lancar mengalir dari mulutnya, Anna menceritakan yang baru saja dialaminya.

“Kamu baik-baik saja sekarang?” tanya Ken setelah Anna selesai dengan ceritanya.

“Apa aku tampak seperti tidak baik?” balas wanita itu ketus. Ken hanya menyunggikan segaris senyum saat mendengarnya, karena kalimat itu memberitahu bahwa istrinya dalam keadaan sangat baik.

“Ken, hati-hati!” lanjut Anna. “Aku tidak tahu apa saja yang dipelajari AERIOS dari tubuh orang itu.”

“Bila aku bisa mendapatkan sampel dari tubuhnya, kamu bisa mengetahuinya?”

Anna diam sejenak sebelum menjawab, “Bisa!”

“Baiklah, nanti aku hubungi lagi.” Ken memutuskan teleponnya.

“Menurutmu, Satrio menggunakan semacam kekuatan supernatural?” tanya Antony.

“Aku tidak tahu pasti, karena dalam catatan medisnya tidak disebutkan dia dapat menggunakan kemampuan seperti itu. Tapi kemungkinan, ya. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kemampuan seperti hipnosis, telekinesis, atau yang lain sebagainya. Hanya saja tidak semua orang mengerti bagaimana cara menggunakannya.”

“Jadi, dengan kata lain, LAI mempelajari kemampuan itu dalam diri Satrio? Karena LAI telah menguasai tubuh Satrio jadi dia bisa menggunakannya?”
Ken mengangguk. “Baru dugaan tanpa bukti.”

Terdengar suara sirene disusul dengan kehadiran mobil ambulans serta beberapa mobil militer. Ken dan Antony memperhatikan arah tujuan iring-iringan mobil itu, seperti memiliki tujuan yang sama dengan mereka. Dan benar saja, ketika mereka tiba, para petugas kesehatan beserta pasukan militer sudah berhamburan keluar dari mobil. Kedua ilmuwan itu tidak berkata apa pun untuk menanggapi situasi yang terlihat, mereka sibuk memikirkan sesuatu yang mungkin akan ditemuinya nanti.

Mobil Ken hendak memasuki gedung BPPT, tapi dihadang oleh seorang pasukan militer yang membawa senjata lengkap. Hingga mereka menunjukkan identitasnya, barulah mendapat ijin. Bunyi alarm yang meraung-raung masih sempat terdengar saat Ken memarkir mobilnya. Kedua ilmuwan itu segera berlari memasuki bangunan penelitian. Sekali lagi mereka dihadang oleh pasukan militer saat baru melewati pintu masuk.

“Apa yang terjadi?” tanya Antony sambil menunjukkan identitasnya. Di sebelahnya, Ken memperhatikan para petugas medis yang melintasinya, sedang mengangkut seorang satpam dengan kasur dorong di tengah pengawalan pasukan militer. Meskipun tidak ada luka yang terlihat, tapi satpam itu tampak tidak bergerak sama sekali.

“Kami juga belum tahu pasti, pak. Dari laporan yang kami dengar, ada seorang dari hasil eksperimen yang meloloskan diri. Dia berhasil menumbangkan beberapa petugas keamanan di sini,” jawab tentara itu.

“Sendirian menumbangkan mereka? Lalu bagaimana dengan orang itu?”

“Ya, dari laporan yang kami dapat, dia bergerak sendirian. Saat ini orang itu masih belum diketahui keberadaannya, kami masih mencarinya. Ada kemungkinan dia sudah melarikan diri, keluar dari gedung ini.”

Antony melirik Ken yang masih memperhatikan para korban. Ternyata masih ada seorang korban yang sadarkan diri, hanya saja kondisinya sangat buruk. Orang berbalut seragam satpam itu terlihat sangat ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat, bahkan ketika petugas kesehatan berusaha membawanya, orang itu masih berteriak histeris sambil melindung kepala dengan kedua tangannya atau sesekali ia mengamuk, mengusir orang-orang di sekitarnya.

Ken menggelengkan kepala, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Ia melirik Antony, dan membisikkan sesuatu pada lelaki itu. Antony mengangguk.

“Aku dan rekanku ingin mengambil sesuatu di dalam,” kata Antony pada tentara itu.

“Sebaiknya jangan, pak. Kita masih belum mengetahui situasi di dalam,” saran tentara itu.

“Kalian sudah mencek melalui ruang pengawas? Dari sana kita bisa melihat melalui semua cctv di setiap ruangan, bila orang itu masih di sini pasti akan tertangkap kamera.”

“Sudah, pak. Kami mencari para korban melalui ruang itu. Tapi ada beberapa kamera yang tidak berfungsi.”

Antony mengangguk. “Sebenarnya, sesuatu yang akan kami ambil berhubungan dengan orang yang baru saja melarikan diri, mungkin dapat segera menyelesaikan masalah ini bila benda itu bisa kami dapatkan,” jelas Antony lagi, berharap agar lawan bicaranya dapat bekerja sama.

Tentara itu tampak sedikit terkejut. Ia memanggil rekannya lalu merundingkan sesuatu, sampai pada akhirnya dua tentara itu mengangguk mencapai kesepakatan. Rekan yang dipanggil tadi berteriak menganggil beberapa tentara yang lain.

“Kami akan memberikan pengawalan untuk mengantar bapak ke dalam,” jawab tentara itu, kembali menghadap Antony.

“Terimakasih,” Antony menanggapi.

Dengan dikawal empat orang tentara, Ken dan Antony memasuki gedung PPTM. Dua orang tentara di depan membuka jalan, sementara dua lainnya mengawal Ken dan Antony di belakang. Mereka mengacungkan senjata setiap kali menemukan ruangan dengan pintu terbuka atau saat merasakan adanya sesuatu yang mengancam.

Ken juga ikut memperhatikan sekitar, berusaha melangkah dengan penuh waspada sambil menajamkan pendengaran dan pengamatan matanya. Ternyata keadaan gedung yang begitu sepi sangat mempengaruhi keadaan psikologisnya. Meskipun Ken terbiasa untuk bersikap tenang, tapi kali ini, ia terlihat cukup gelisah karena baru sekali mengalami kejadian yang mengancam nyawanya. Mereka terus berjalan jalan kesunyian, menuju laboratorium, tempat di mana chip AERIOS tersimpan.

Spoiler: Bab 4 part 1-2

Mereka tiba di depan laboratorium, dan dikejutkan oleh pintu ruangan itu yang tidak terlihat ada di tempat semestinya. Dua tentara segera melompat memasuki laboratorium sambil mengacungkan senjata ke sekeliling.

Kejutan untuk mereka pun belum selesai. Seorang tentara yang berada di depan mengaktifkan radionya, memanggil petugas medis. Melihat yang dilakukan tentara itu, Ken dan Antony segera berlari memasuki laboratorium.

Terlihat pintu baja tergeletak di lantai, terdapat beberapa cekungan di permukaan pintu itu, seperti bekas kekerasan dari upaya pendobrakan. Tidak jauh dari pintu itu, tergeletak tubuh seorang wanita berjas putih, tidak ada bekas luka apa pun padanya. Kedua ilmuwan itu menghampiri tubuh wanita yang ternyata adalah Silvia, sekretaris profesor Ryan.

Dengan cekatan dua ilmuwan itu memeriksa keadaan Silvia. Antony menoleh ke tentara di sekitarnya. Mereka terdiam, menunggu kabar darinya. Lelaki jangkung itu menggeleng, para tentara pun menundukkan kepala dengan ekspresi wajah yang berubah, menunjukkan simpati.

Antony melihat kondisi ruangan sementara Ken masih memeriksa tubuh wanita yang sudah tidak bernyawa itu. Tidak terlihat adanya tanda kekerasan lain, baik dari tubuh wanita itu atau pun keadaan di laboratorium selain dari tanda yang tertinggal di pintu baja. Semua peralatan yang ada di sana terlihat baik-baik saja, sampai pada akhirnya lelaki jangkung itu melihat jejeran laci yang tertanam di tembok ujung ruangan. Setiap laci dikunci dengan menggunakan kode pengaman seperti brankas, tapi dari semua laci berwarna putih itu, ada satu yang telah terbuka.

Ekspresi wajah Antony berubah ketika melihatnya. Dengan memasang wajah penuh kecewa, ilmuwan itu menghampiri laci yang terbuka. Sadar bahwa rekannya berjalan menuju ujung ruangan, Ken mengalihkan pandangan dari tubuh Silvia. Setibanya di hadapan laci, Antony melihat rekannya yang juga melihat padanya, lalu menggeleng. Ken mendesah pasrah, sadar bahwa yang dimaksud Antony adalah kabar buruk, chip AERIOS tidak ditemukan.

“Apa yang bisa kita lakukan sekarang?” tanya Ken hampir putus asa, tubuhnya terasa begitu lemas karena menerima kabar buruk yang terus berdatangan.

Antony juga belum bisa menjawab. Ia kembali mengamati laci itu, berusaha mencari petunjuk yang mungkin saja masih tertinggal di sana. Meskipun hampir mustahil, karena laci itu terbuat dari bahan yang sangat keras, tapi tanda-tanda kekerasan terlihat jelas. Mirip seperti pintu laboratorium yang penyok, pada laci itu juga terlihat lekukan dan cekungan serta kunci pengamannya yang rusak.

“Kita ke ruang pengawasan saja,” usul Antony, lalu melirik tubuh Silvia, “Apa penyebabnya?”

“Mungkin karena sesak napas,” jawaban singkat dari Ken, dibarengi tatapan yang memiliki arti. Antony mengangguk, mengerti arti tatapan rekannya. Ken mengatakan secara tersirat bahwa kematian Silvia mungkin disebabkan oleh serangan seperti yang dialami Anna.

Ken bangkit berdiri, tidak lama setelah itu, datang para petugas medis bersama beberapa tentara yang mengawal mereka. Sementara para petugas medis mengangkut jenasah Silvia, Ken masih melirik sesaat pada tubuh itu, sebelum kemudian menyetujui usul rekannya untuk mendatangi ruang pengawasan. Dua ilmuwan itu kembali dikawal oleh empat tentara hingga ruang pengawasan. Di sana, mereka mendapati Professor Ryan ternyata sudah mendahului.

“Aku sudah menunggu kalian, penjaga di depan mengatakan kalian memasuki gedung dan menuju laboratorium. Apa kalian sudah mengambil chip LAI?” sapa Profesor Ryan pada dua anak buahnya. “Tadinya aku ingin meminta Silvia mengambil chip itu, sayangnya, dia tidak bisa kuhubungi dari tadi. Seharusnya dia sudah ada di sini sejak pagi.”
“Dia memang sudah di sini,” jawab Antony. “Kami baru saja menemukan jenasahnya di laboratorium. Dan chip itu juga sudah tidak ada.”

Mata lelaki gempal itu terbelalak mendengar kabar dari bawahannya. Hampir tidak mempercayai kabar itu, ia mengalihkan pandangan ke jejeran layar monitor. Berusaha mencari layar yang menghubungkannya dengan laboratorium. Sayangnya, kamera cctv yang terpasang di laboratorium sudah dirusak, layar itu tidak bisa menampilkan gambar apa pun.

“Apa penyebab kematianya?” tanya si professor.

“Dugaan sementara karena sesak napas, tidak ada tanda-tanda kekerasan.”

“Tidak mungkin!” sanggah Professor Ryan sambil mendengus. “Dia tidak memiliki penyakit pernapasan.”

“Hanya dugaan,” balas Antony, tidak ingin ribut lebih lama dengan lelaki gempal itu. “Mungkin hasil autopsi bisa memberikan kabar yang lebih baik. Tadi professor bilang sedang menunggu kami?”

Professor tua itu masih diam, pikirannya dipenuhi dilema antara menerima kenyataan bahwa sekretarisnya sudah tewas atau menganggap kabar itu hanyalah bohong belaka. Sadar bahwa kedua bawahannya menunggu jawaban, ia akhirnya mengesampingkan dilemanya. “Tadinya aku berharap kalian kemari bersama chip itu. Bagaimana mungkin bisa tidak ada di sana?”

“Kami juga masih belum tahu siapa yang mengambilnya,” jawab Antony. “Ada tanda-tanda bahwa laci itu dibuka dengan paksa, meskipun terlihat mustahil, tapi keadaannya sama dengan pintu baja yang bisa penyok.”

Wajah lekaki gempal itu menjadi pucat, suaranya berubah parau saat mulai berbicara lagi. “Aku ingin kalian membantu mencari Satrio, terutama kau,” pandangan Professor Ryan mengarah pada Ken. “Kau lebih tahu tentang LAI daripada yang lain.”

“Aku butuh mengetahui riwayat hidup Satrio,” Ken akhirnya angkat bicara, mengungkapkan permintaan yang membuat lelaki gempal itu harus berpikir dua kali karena bertentangan dengan aturan. “Tidak mungkin aku bisa meduga ke mana dia pergi tanpa mengetahui latar belakangnya dengan jelas.”

“Keadaan sudah di luar kendali,” Antony juga ikut memohon. “Kita tidak tahu apa lagi yang akan dilakukannya di luar sana. Jadi tidak ada salahnya bila kali ini kita melawan aturan.”

Professor Ryan menggeram kesal, sudah tidak dapat menyembunyikan kebingungannya lagi untuk menghadapi kondisi yang di luar kendali. “Baiklah! Lakukan apa pun yang kalian anggap perlu, aku hanya ingin dia ditemukan secepatnya!”

“Ada lagi yang kau butuhkan?” tanya Antony pada Ken.

“Rekaman kamera tentang pergerakan Satrio pagi ini,” jawab Ken.

Masih dengan pikiran yang kacau, Professor Ryan menekan beberapa tombol di meja untuk menampilkan rekaman yang diminta. “Hasil rekaman ini tidak akan banyak membantu!” katanya kesal.

Perhatian Ken dan Antony segera terpaku ke layar-layar di hadapannya. Rekaman itu dimulai dari saat Satrio tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Tanpa merenggangkan tubuh atau melakukan sesuatu seperti layaknya orang biasa sehabis bangun tidur, ia duduk dan melamun di sisi ranjang. Hampir satu jam setelahnya, datanglah seorang petugas jaga dengan alat-alat pemeriksaan. Petugas itu mulai mengajak Satrio berbicara, tetapi tidak mendapat tanggapan. Lalu petugas itu melakukan berbagai gerakan untuk menarik perhatian Satrio, tapi kembali tidak mendapat tanggapan.

Saat si petugas sedang sibuk menyiapkan alat-alat yang dibawanya, Satrio mulai bergerak dan mengangkat kepala. Dalam sekejap, layar monitor itu berubah menjadi gelap, semua kamera yang mengarah ke Satrio rusak dalam waktu yang bersamaan.

Tidak lama setelah itu, kamera pada lorong di depan kamar Satrio memperlihatkan pintu kamar Satrio yang terbuka. Lalu kamera itu juga mati, diikuti dengan kamera-kamera lain sepanjang lorong. Ken membelalakkan mata, menyadari bahwa setiap kamera yang mengarah ke Satrio pasti akan mati. Dan bila diurutkan, Satrio berjalan menuju laboratorium.

Ia melihat ke layar yang menampilkan laboratorium, di mana Silvia terlihat sedang mengurus catatan-catatan hasil eksperimen. Wanita itu tampak terkejut, lalu menoleh ke pintu masuk. Hanya dalam hitungan detik, pintu baja itu terlempar dalam keadaan penyok. Layar pun menjadi gelap. Pintu laboratorium yang dibuka paksa jadi mengaktifkan alarm, beberapa satpam dan petugas keamanan terlihat berlarian menuju laboratorium.

“Masih ingin melihat lanjutannya?” tanya Professor Ryan.

Ken menggeleng. “Tidak, sepertinya sudah cukup.”

“Bila melihat dari rekaman ini, kemungkinan Satrio sendiri yang mengambil chip itu.”

Masih hanyut dalam pikirannya, Ken tidak langsung menanggapi analisis si professor tua. “Sepertinya begitu, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa orang lain juga bisa mengambil.”

“Kau mendapatkan sesuatu?”

Ken menarik napas panjang. “Seperti yang professor katakan, tidak banyak informasi yang bisa didapat. Saya pergi dulu ke ruang arsip,” balas Ken. Kemudian menggerakkan kepalanya mengajak Antony.

Kedua ilmuwan itu segera meninggalkan ruang pengawasan. Bersama dengan empat tentara, mereka mendatangi ruang arsip. Kali ini ken tidak merasa tegang seperti sebelumnya. Entah karena sudah terbiasa dengan ketegangan atau karena sugestinya yang berpikir bahwa Satrio sudah meninggalkan bangunan PPTM.

Antony mengambil berkas-berkas yang diminta Ken saat tiba di ruang arsip, kemudian memberikan pada rekannya. Ken menerima berkas itu sambil mengucapkan terimakasih. Sementara Ken membaca arsip-arsip, lelaki jangkung itu kembali memainkan ponselnya.

“Dia berasal dari wilayah Petamburan, tidak terlalu jauh dari sini,” gumam Ken masih sambil membaca arsip di tangannya.

“Apa yang kau cari dari arsip itu?”

“Tempat yang memiliki kesan baginya, sebab dia tidak mungkin mendatangi daerah yang tidak dia tahu.”

“Daerah yang dia tahu?” Antony mengulang perkataan Ken sambil memutar otaknya. Kemudian mulai memainkan ponselnya lagi. “Menurutmu apa yang akan dilakukannya?” lelaki jangkung itu bertanya, masih asik dengan ponselnya.

“Entahlah,” jawab Ken. “Mungkin mencari istri dan anaknya, atau balas dendam bila dia masih menyimpan dendam pada orang-orang yang telah mengancurkan hidupnya.”

“Kennedy,” Antony memanggil, Ken mengangkat wajah dan menoleh, mendapati Antony sedang menunjukkan pesan yang tertulis di ponselnya.

Hotel Harlan, wilayah Petamburan. Kata saksi mata, wajah pembunuhnya seperti itu. Bagaimana kau bisa mendapatkan fotonya?

 

BAB 4 part 2 -=Kennedy=-
semoga berkenan

Spoiler: Bab 4 Part 2

Setelah memberi tahu Professor Ryan, Ken dan Antony bergegas ke tempat parkir lalu segera berangkat dengan mobil Ken, menuju tempat kejadian.

“Siapa yang mengirim pesan tadi?” tanya Ken, pandangannya masih mengarah ke depan karena harus menyetir dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

“Karina, adik iparku,” masih sambil memainkan ponselnya, Antony menjawab. “Dia polisi di bagian investigasi yang kebetulan bertugas di daerah sini. Sewaktu aku tanya mengenai kasus yang baru terjadi hari ini, dia mengatakan sedang menangani kasus pembunuhan di wilayah Petamburan. Menurutnya, ada saksi mata yang melihat pelaku, jadi aku mengirimkan foto Satrio untuk meyakinkan. Dan ternyata benar, saksi mata mengatakan pelakunya berwajah sama dengan Satiro.”

“Lalu, ada yang melihat ke mana Satrio pergi setelah itu?”

“Katanya, setelah melakukan pembunuhan, pelaku langsung lari begitu saja seperti orang kerasukan. Tidak ada yang berani mengejarnya, karena takut. Tingkah Satrio saat membunuh korban sudah seperti binatang buas.”

“Apa hubungan korban dengan Satrio?”

“Entahlah, aku belum dapat informasi sampai sejauh itu. Mungkin saat tiba di sana kita bisa langsung bertanya.”

Ternyata cukup sulit mencari hotel yang dimaksud. Bila tidak melihat adanya garis polisi yang terpasang, sudah pasti kedua ilmuwan itu tidak dapat menemukan tempat kejadian. Hotel itu ternyata hanyalah sebuah papan usang bertuliskan ‘Hotel Harlan’, tanpa ada bangunan yang bisa disebut sebagai hotel. Di bawah papan itu terbentang tanah yang cukup luas dipenuhi puing-puing bangunan, sedangkan di sekitar tanah itu, berdiri beberapa toko kelontong dan sebuah game center.

Ken memarkir mobilnya di depan sebuah sekolah yang berseberangan dengan tempat kejadian. Mereka keluar dari mobil dan langsung menuju tempat yang dikelilingi garis polisi, tapi saat ingin melintasi garis itu, mereka dihadang oleh beberapa polisi. Hingga Antony memanggil adiknya, barulah mereka mendapat ijin masuk. Tidak lama setelah itu, menyusullah iring-iringan pasukan militer. Professor Ryan dan Letjen Steven tiba juga di tempat kejadian.

“Korban yang terbaring di sana bernama Budiman Suryadi,” Karina menjelaskan pada para tamunya. Ternyata, ia polisi wanita yang cukup cantik, rambutnya dipotong pendek, sayangnya, cara bicaranya terdengar sangat tegas sehingga membuat orang lain berpikir bahwa ia adalah wanita galak. “Menurut saksi mata, aksi pembunuhan terjadi pukul delapan kurang, hampir satu jam yang lalu.”

“Apa hubungan korban dengan pelaku?” tanya Antony, sambil memperhatikan Professor Ryan menghampiri tubuh Budiman yang tergeletak di antara puing-puing. Darah merah terlihat di sekitar leher korban.

“Menurut orang-orang di sekitar sini, pelaku pernah kenal dengan Pak Budiman saat bekerja di rumahnya. Pelaku adalah seorang pekerja kasar, saat itu pelaku merenovasi rumah Pak Budiman. Sempat terjadi keributan di antara mereka, sehingga Pak Budiman mengusir pelaku.”

“Jadi karena masih menyimpan dendam pada korban, pelaku lantas membunuhnya?”

“Mungkin begitu. Menurut saksi mata, pelaku seperti gila. Dia menggigit leher korban hingga tewas. Dan seorang lagi yang ikut menolong korban juga digigit lehernya.”
Antony membelalakkan mata. “Ada dua korban?”

“Hanya terlihat satu korban di sini?” Ken ikut bertanya sambil memperhatikan sekitarnya.

“Ya. Yang seorang lagi sudah dilarikan ke rumah sakit oleh penduduk sekitar. Kata para saksi, saat itu dia masih hidup. Kondisinya memang sudah kritis.”

“Sebentar!” Professor Ryan berseru dengan suara keras, tangannya masih memeriksa tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. “Leher bagian mana yang digigit? Aku sama sekali tidak menemukan bekas luka di lehernya.”

Dengan kesal seorang polisi menghampiri professor itu, berusaha menunjukkan luka yang katanya menghilang. Tapi, ternyata polisi itu juga tidak bisa menemukan luka yang dimaksud, wajahnya begitu bingung saat menggerak-gerakkan kepala korban. Memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu, Ken jadi terngat pada sesuatu.

“Menjauh dari tubuh itu!” Ken berteriak.

Semua yang berada di tempat itu menoleh pada Ken. “Kenapa?” tanya polisi yang masih berlutut di samping Professor Ryan.

“Tubuh itu akan segera bangkit!”

Polisi itu tertawa meledek, begitu juga beberapa polisi lain yang memasang senyum geli. “Aku kira ilmuwan seperti kalian tidak percaya pada hal seperti itu.”

“Kennedy, kita memberikan LAI pada orang lain,” sambil menahan kesal, professor tua itu berusaha menegur bawahannya sesopan mungkin. “Kau tidak perlu histeris seperti itu hanya karena luka yang belum ditemu-“

Sementara perhatian Professor Ryan teralihkan untuk menegur anak buahnya, mayat yang tergeletak di bawah kakinya membuka mata. Lalu menggerakkan tangan, mencengkram lengan Professor Ryan yang masih memegang lehernya.

Professor itu belum sempat menyelesaikan kalimat petuahnya saat menyadari cengkraman kuat pada lengannya. Ia menoleh, dan berteriak saat menyadari mayat di bawah kakinya membuka mata. Ia berusaha melepaskan diri ketika mayat hidup itu menarik terus tubuhnya. Malang bagi si lelaki tua, makhluk itu lebih kuat daripada yang diduga. Budiman membuka mulut lebar-lebar, memperlihatkan deretan gigi putih yang mematikan. Ia menggeram dan menyerang leher si professor.

Tepat di detik terakhir sebelum gigi-gigi itu tertancap, polisi di sebelah Professor Ryan menahan kepala makhluk itu, menyelamatkan leher si professor. Para polisi dan pasukan militer berlarian untuk menolong Professor Ryan, sementara lelaki tua itu masih terus berteriak sambil menarik tangannya yang tak kunjung dilepaskan.

Terdengar suara letusan menggema, mengakhiri keributan, geraman dan gerakan Budiman. Semua yang berada di tengah puing-puing sempat mematung, berusaha mencerna semua kejadian yang terjadi begitu cepat. Saat melihat luka baru di dahi Budiman yang mengeluarkan darah, barulah mereka mulai mencari-cari asal suara letusan tadi. Di sebelah Ken, Letjen Steven telah mencabut pistolnya dan menembakkan sebutir peluru, tepat mengenai dahi mayat hidup itu.

Tubuh Budiman kembali terkulai, cengkramannya pada lengan Professor Ryan terlepas. Dengan tubuh bergetar, Professor tua itu segera merangkak menjauhi Budiman. Begitu juga dengan polisi yang tadi ikut berlutut di sebelah professor, ia melompat mundur sambil mencabut pistol dan mengarahkannya ke tubuh yang tergeletak. Antony menghampiri Professor Ryan, dan membantu lelaki tua itu berdiri.

“Apa maksud dari semua ini?” Letjen Steven menggeram, lirikan matanya mengarah pada Ken, menuntut penjelasan.

Ken diam sesaat, matanya masih mengarah ke tubuh Budiman. “LAI memiliki cara kerja yang sama dengan virus, jadi ada kemungkinan bisa menular.”

“Lalu, kenapa lukanya bisa hilang dan dia bisa hidup lagi serta menyerang?”

Kali ini Ken mengalihkan pandangan ke lawan bicaranya. “Saya sudah pernah menjelaskannya dua hari yang lalu. Saat LAI dimasukkan dalam tubuh, kecerdasan buatannya akan mempelajari tubuh baru itu. Sebelum memerintahkan tubuh untuk bergerak, kecerdasan buatannya akan memeriksa jaringan-jaringan dalam tubuh, dan memperbaikinya bila ada kerusakan, karena itulah lukanya menghilang.

“Dia menyerang karena lapar, setelah beregenerasi, cadangan gisi dalam tubuh akan terkuras, jadi dia merasa lapar. Karena tidak menerima perintah apa pun, maka makhluk itu akan melakukan segalanya sesuai dengan keinginan atau kebutuhan dari tubuh makhluk itu.”

Letjen Steven membelalakkan matanya, menyadari sesuatu. “Berarti, dia bisa bangkit lagi setelah meregenerasi lukanya?”

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan oleh Ken. Semua polisi dan tentara yang berada di sana langsung mencabut pistol dan mengarahkanya ke tubuh Budiman yang masih tergeletak.

“Apa ada cara untuk membuatnya supaya tidak bangkit lagi?” tanya seorang polisi dengan suara dan tubuh bergetar, kedua tangannya menggenggam pistol yang diarahkan ke mayat itu.

“Mungkin,” jawab Ken sedikit ragu. “Bila kita bisa membuat luka yang cukup parah di luar kapasitas persediaan gisi yang ada di tubuhnya. Atau dengan memutuskan kontak antara otak dengan tubuhnya tanpa dia bisa beregenerasi lagi, dengan kata lain, penggal kepalanya.”

Hampir semua yang mendengar jawaban itu sontak terkejut, karena memenggal kepala seseorang dinilai sebagai cara yang kurang manusiawi bagi mereka. Tapi Letjen Steven tidak demikian. Perwira tinggi itu memerintahkan seorang anak buahnya untuk mencari kapak dan melakukan seperti yang usulkan Ken. Dengan patuh, seorang tentara segera pergi. Tidak memakan waktu lama bagi tentara itu untuk mencari benda tajam seperti itu, karena daerah sekitar tempat kejadian memang merupakan pasar yang menyediakan segalanya.

Beberapa orang di sana termasuk Ken, mengalihkan pandangan saat tentara itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi di atas tubuh Budiman. Meskipun tidak melihat aksi tentara itu, tapi Ken mengernyitkan dahinya saat mendengar suara kapak yang beradu dengan tulang leher mayat itu.

“Waktu kuliah dulu, kau pernah membedah mayat, kan?” sindir Antony.

“Nilaiku jelek untuk praktikum itu,” jawab Ken singkat.

Antony menyunggingkan sebuah senyum. Bertentangan dengan Ken, ilmuwan yang satu ini terlihat sangat terbiasa dengan pertunjukan penuh darah seperti itu.
Setelah puas melihat hasil kerja anak buahnya, Letjen Steven meminta agar tangan dan kaki mayat itu diikat kemudian dikarantina untuk di awasi. Sebagai upaya berjaga-jaga bila tubuh itu ternyata masih bisa bangkit kembali.

“Bila aku tidak salah ingat, Satrio menggigit dua orang?” ujar Ken setelah tubuh Budiman disingkirkan.

“Kau benar,” sahut Antony. “Meskipun yang seorang lagi masih hidup, tapi bila dia tidak sadarkan diri, maka LAI juga akan mengambil alih tubuhnya.”

Percakapan kedua ilmuwan itu kembali membuat panik orang-orang yang mendengarnya. “Panggil saksi mata yang tadi!” perintah Karina pada bawahannya.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu saksi mata itu tiba. Seperti kebanyakan pehuni daerah setempat, kulit orang itu coklat karena sering bermandikan sinar matahari, postur tubuh orang itu cukup tinggi, badannya juga besar, dan rambutnya gondrong. Ia mengaku bernama Yudi saat ditanya oleh Letjen Steven.

“Oh, si Danu,” Yudi menjawab pertanyaan Karina dengan semangat. “Tadi teman saya yang ikut mengantar bilang, dia tidak jadi dibawa ke rumah sakit. Takut kalau bayarannya mahal, jadi dia dibawa langsung pulang ke rumahnya.”

“Di mana rumahnya?” desak Karina.

Yudi terdiam, berusaha mengingat sesuatu, mulutnya bergerak membentuk kata ‘wah!’ yang tidak diucapkan. Tidak dapat memberi jawaban yang memuaskan, ia menoleh ke belakang dan berteriak memanggil seseorang yang berdiri di luar garis polisi. Seorang lelaki gemuk menyahut, menjawab panggilan Yudi.

“Eh, si Danu rumahnya di mana?” teriak Yudi.

“Kebon Jeruk!” teriak orang itu.

Kali ini berganti Ken dan Antony yang dikejutkan oleh percakapan orang lain. Langsung terbersit dalam pikiran Ken, “An.”

 

maaf lama balas nya (penulis nya keasikan main game )

makasih komen nya

Spoiler: lalala

plot nya jadi rada rumit yah padahal saya malah takut klo jadi simple.
sebenarnya dari awal memang sudah berencana untuk dikasih misterinya, tapi memang salah saya sih. di awal2 misterinya nda terlalu terasa sepertinya
iyah si satrio jadi imba gt karena pengaruh LAI, habis bosan juga klo tiap kali ketemu mr jojo selalu idiot
yang kepala dipenggal itu memang sengaja dibikin gt (tadinya mao dibilang mutilasi aja mala ) karena klo cuma luka kecil (kek ditembak) jojo nya masih bisa beregenerasi lagi
moga2 lanjutan nya bisa dipost dalam waktu dekan (padahal penulisnya tarsok terus krn main game )

arigatte komen nya

 

waw! luar biasa banget nih cerita, hahaha..., tarsok belum mati kan karena makan cabe? - di imagination kingdom? hahaha...
well, utk yang awal2 aku kira ini cerita sedih, soalnya, zombienya golden terier... :0)
komeng yang lain uda pada bagus, aku masih enggak paham banget sama typo, diksi, tanda baca, cara penulisan, dll (maklum)
tapi utk cerita aku bisa kasih sedikit komeng

LAI, itu artificial inteligence...
yang aku suka itu di L = Liquid nya.
masuk akal, karena di otak itu ada yang namanya cairan otak, jadi akan lebih keren kalau LAI itu seperti cairan membran otak, jadi otomatis dia bisa merangsang otak utk bekerja kembali, dan saat otak bekerja, dia akan mengirimkan signal kepada sumsum tulang belakang untuk memproduksi darah dan akhirnya membuat jantung memompa kembali. Masuk akal semua, secara manusia/ binatang kan bernafas. (kaya baru sadar dari tenggelam di laut, biasanya orang akan mengambil satu nafas yang panjang cukup untuk membuat jantungnya kembali memompa).

nah, terus utk LAI - edward singkatan namanya kaya singkatan namaku, hahaha ed. emotionally attached to this dog
anyway, LAI utk satrio masih enggak ngerti, kenapa bisa putusin kamera cctv. Aku menunggu utk penjelasan ini di next chapter.
hahaha..., suka sama ide chip nya, = AI, kembali lagi ke cerita sci-fi, ini sci-fi yang bagus. karakternya semuanya uda okeh.

namanya kurang sreg, soalnya namanya kennedy tinggalnya di Jakarta Ken arok masih mending - ini cuma self opinion aja.
untuk beberapa dialog, masih kurang dapet, soalnya mereka tetep tenang gitu ya di chapter dimana silvia - asisten si ryan mati. Padahal semuanya menduga si Satrio itu msh dalam gedung.
moga2 plot nya terus klimaksing yah, enggak trolling - uda mulai joke joke di membedah mayat.
sekali lagi, konsep dan idenya luar biasa!
terusin dong jgn mau kalah sama tarsok.

 

apa ne ampe sekarang gak di update-update

keburu tua ane selese baca cerita ene

ayo dong gelorakan taringmu