1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Kesenian Kalimantan Selatan

Discussion in 'Education Free Talk and Trivia' started by ufie89, May 23, 2010.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ufie89 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 2, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +16 / -0
    SENI TRADISIONAL BANJAR

    Kultur budaya yang berkembang di Banjarmasin sangat banyak hubungannya dengan sungai, rawa dan danau, disamping pegunungan. Tumbuhan dan binatang yang menghuni daerah ini sangat banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan mereka. Kebutuhan hidup mereka yang mendiami wilayah ini dengan memanfaatkan alam lingkungan dengan hasil benda-benda budaya yang disesuaikan. hampir segenap kehidupan mereka serba relegius. Disamping itu, masyarakatnya juga agraris, pedagang dengan dukungan teknologi yang sebagian besar masih tradisional.

    Ikatan kekerabatanmulai longgar dibanding dengan masa yang lalu, orientasi kehidupan kekerabatan lebih mengarah kepada intelektual dan keagamaan. Emosi keagamaan masih jelas nampak pada kehidupan seluruh suku bangsa yang berada di Kalimantan Selatan.

    Urang Banjar mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan material budaya yang berkaitan dengan relegi, melalui berbagai proses adaptasi, akulturasi dan assimilasi. Sehingga nampak terjadinya pembauran dalam aspek-aspek budaya. Meskipun demikian pandangan atau pengaruh Islam lebih dominan dalam kehidupan budaya Banjar, hampir identik dengan Islam, terutama sekali dengan pandangan yang berkaitan dengan ke Tuhanan (Tauhid), meskipun dalam kehidupan sehari-hari masih ada unsur budaya asal, Hindu dan Budha.

    Seni ukir dan arsitektur tradisional Banjar nampak sekali pembauran budaya, demikian pula alat rumah tangga, transport, Tari, Nyayian dsb.

    Masyarakat Banjar telah mengenal berbagai jenis dan bentuk kesenian, baik Seni Klasik, Seni Rakyat, maupun Seni Religius Kesenian yang menjadi milik masyarakat Banjar seperti :

    Teater Tradisi / Teater Rakyat
    Antara lain Mamanda, Wayang Gung, Abdul Mulk Loba, Kuda Gepang, Cerita Damarwulan, Tantayungan, Wayang Kulit, Teater Tutur.

    Seni Musik
    Antara lain Kuriding, Karung-karung Panting, Kintunglit, Bumbung, Suling Bambu, Musik Tiup, Salung Ulin, Kateng Kupak.

    Sinoman Hadrah dan Rudat
    Sinoman Hadrah dan Rudat bersumber daripada budaya yang dibawa oleh pedagang dan penda’wah Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai pesisir Kalimantan Selatan hingga Timur.
    Puja dan puji untuk Tuhan serta Rasul Muhammad SAW mengisi syair dan pantun yang dilagukan bersahutan dalam qasidah yang merdu, dilindungi oleh payung (merupakan lambang keagungan dalam kehidupan tradisional di Indonesia) ubur-ubur, dalam gerakan yang dinamis.

    Seni Tari

    a. Tari Tradisi : Balian, Gantar, Bakanjar, Babangai
    b. Tari Klasik : Baksa Kambang, Topeng, Radap Rahayu
    c. Tari Rakyat : Japin Sisit, Tirik Lalan, Gambut, Kuda Gepang, Rudat dll

    imagetarian surup dari Tanbu (MB)

    Seni Sastra
    Antara lain Kuriding, Karung-karung Panting, Kintunglit, Bumbung, Suling Bambu, Musik Tiup, Salung Ulin, Kateng Kupak.

    a. Syair : Hikayat, Sejarah, Keagamaan

    b. Pantun : Biasa, Kilat, Bakait
    Seni Rupa
    Antara lain Ornamen, Topeng dan Patung.

    Keterampilan
    Maayam dinding palupuh, maulah atap, wantilan, maulah gula habang, maulah dodol kandangan, maulah apam barabai, maulah sasapu ijuk, manggangan, maulah wadai, maulah urung katupat, maaym janur banjar, dll(sumb: situs her’s Site)

    Suku Banjar mengembangkan seni dan budaya yang cukup lengkap, walaupun pengembangannya belum maksimal, meliputi berbagai bidang seni budaya.

    ‘Seni Tari’ Seni Tari suku Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama “Baksa” yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya :

    Tari Baksa Kembang, dalam penyambutan tamu agung.
    Tari Baksa Panah
    Tari Baksa Dadap
    Tari Baksa Lilin
    Tari Baksa Tameng
    Tari Radap Rahayu, dalam upacara perkawinan
    Tari Kuda Kepang
    Tari Japin/Jepen
    Tari Tirik
    Tari Gandut
    Tarian Banjar lainnya

    Lagu Daerah
    Lagu daerah Banjar yang terkenal misalnya :

    Ampar-Ampar Pisang
    Sapu Tangan Babuncu Ampat
    Paris Barantai
    Lagu Banjar lainnya
    Daftar penyanyi lagu-lagu Banjar
    Daftar pencipta lagu-lagu Banjar

    Seni Rupa Dwimatra

    Seni Anyaman
    Seni anyaman dengan bahan rotan, bambu dan purun sangat artistik. Anyaman rotan berupa tas dan kopiah.

    Seni Lukisan Kaca
    Seni lukisan kaca berkembang pada tahun lima puluhan, hasilnya berupa lukisan buroq, Adam dan Hawa dengan buah kholdi, kaligrafi masjid dan sebagainya. Ragam hiasnya sangat banyak diterapkan pada perabot berupa tumpal, sawstika, geometris, flora dan fauna.

    Seni Tatah/Ukir
    Seni ukir terdiri atas tatah surut (dangkal) dan tatah babuku (utuh). Seni ukir diterapkan pada kayu dan kuningan. Ukiran kayu diterapkan pada alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid, bagian-bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan diterapkan benda-benda kuningan seperti cerana, abun, pakucuran, lisnar, perapian, cerek, sasanggan, meriam kecil dan sebagainya. Motif ukiran misalnya Pohon Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal, kawung, geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.
    Seni Rupa Trimatra (Rumah Adat)
    Rumah adat Banjar ada beberapa jenis, tetapi yang paling menonjol adalah Rumah Bubungan Tinggi yang merupakan tempat kediaman raja (keraton). Jenis rumah yang ditinggali oleh seseorang menunjukkan status dan kedudukannya dalam masyarakat. Jenis-jenis rumah Banjar:

    Rumah Bubungan Tinggi, kediaman raja
    Rumah Gajah Baliku, kediaman saudara dekat raja
    Rumah Gajah Manyusu, kediaman “pagustian” (bangsawan)
    Rumah Balai Laki, kediaman menteri dan punggawa
    Rumah Balai Bini, kediaman wanita keluarga raja dan inang pengasuh
    Rumah Palimbangan, kediaman alim ulama dan saudagar
    Rumah Palimasan (Rumah Gajah), penyimpanan barang-barang berharga (bendahara)
    Rumah Cacak Burung (Rumah Anjung Surung), kediaman rakyat biasa
    Rumah Tadah Alas
    Rumah Lanting, rumah diatas air
    Rumah Joglo Gudang
    Rumah Bangun Gudang

    Wayang Banjar
    Wayang Banjar terdiri dari wayang kulit dan wayang orang yang disebut wayang Gung / wayang Gong.

    Mamanda
    Mamanda merupakan seni teater tradisonal suku Banjar.

    Seni Tradisonal Banjar Berbasis Sastra (Folklor Banjar)
    Lamut

    Madihin
    Madihin, Ikon Kecerdasan Linguistik Etnis Banjar di Kalimantan Selatan

    Oleh Tajuddin Noor Ganie, MPd
    Etimologi dan definisi
    Madihin berasal dari kata madah dalam bahasa Arab artinya nasihat, tapi bisa juga berarti pujian. Puisi rakyat anonim bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari khasanah di luar folklor Banjar.

    Pamadihinan

    Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut : puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel.
    Bentuk fisik
    Masih menurut Ganie (2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya saling berkaitan secara tematis.

    Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.
    Status Sosial dan Sistim Mata Pencaharian Pamadihinan
    Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar).

    Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.

    Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5) terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.

    Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan rupiah.

    Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).

    Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik relatif tinggi frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah besar.

    Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar : Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
    Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel
    Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala. Selain Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.
    Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin
    Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin.

    Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).

    Datu Madihin yang menjadi sumber asal-usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.

    Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin

    Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar Berbentuk Madihin dalam buku Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119).Suku Banjar
    Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi
    Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi, dan Nilai Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

    Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.
    Etimologi dan Definisi
    Secara etimologis, istilah peribahasa menurut Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari bahasa Sanksekerta pari dan bhasya, yakni bahasa (bhasya)yang yang disusun secara beraturan (pari). Etnis Banjar di Kalsel menyebut peribahasa dengan istilah paribasa (Hapip, 2001:137), istilah ini hampir sama dengan istilah paribasan dalam bahasa Jawa yang digunakan di DI Yogyakarta, Jateng, dan Jatim.

    Menurut Tajuddin Noor Ganie (2006:1) dalam bukunya berjudul Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan katanya sudah tetap dengan merujuk kepada suatu format bentuk tertentu (bersifat formulaik), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.

    Berdasarkan karakteristik bentuk fisiknya, peribahasa Banjar menurut Ganie (2006:1) dapat dipilah-pilah menjadi 2 kelompok besar, yakni : (1) Peribahasa Banjar berbentuk puisi, terdiri atas : (a) Gurindam, (b) Kiasan, (c) Mamang Papadah, (d) Pameo Huhulutan, (e) Saluka, dan (f) Tamsil, dan (2) Peribahasa Banjar berbentuk kalimat, terdiri atas : (a) Ibarat, (b) Papadah, (c) Papatah-patitih, (d) Paribasa, dan (e) Paumpamaan.

    Perbedaan bentuk fisik antara peribahasa Banjar yang berbentuk puisi dengan peribahasa Banjar yang berbentuk kalimat terletak pada jenis gaya bahasa yang dipergunakannya. Peribahasa berbentuk puisi mempergunakan gaya bahasa perulangan, sementara peribahasa berbentuk kalimat mempergunakan gaya bahasa perbandingan, pertautan, dan pertentangan.
    Ragam/Jenis Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

    Gurindam Banjar
    Istilah Gurindam tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama dalam khasanah peribahasa Banjar berbentuk puisi.

    Menurut Ganie (2006), Gurindam Banjar adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun dalam bentuk 2 baris puisi bersajak akhir a/a baik secara vertikal maupun horisontal, kata-kata pada baris 1 berstatus sebagai syarat (sebab) dan kata-kata pada baris 2 berstatus sebagai jawaban (akibat).

    Contoh Gurindam Banjar : (1) Banyak muntung bagawi kada manuntung, (2) Kabanyakan guring awak kurus karing, (3) Kabanyakan rangka habis kada sahama-hama, (4) Ngalih mambuang batu di palatar, ngalih mambuang laku amun sudah dasar, (5) Talalu harap, tatiharap, (6)Talalu pilih, taplih bangkung, (7) Talalu puji, takujiji, dan (8) Talalu runding takujihing
    Kiasan Banjar
    Kias dalam bahasa Indonesia sama saja artinya dengan kias dalam bahasa Banjar.

    Menurut Ganie (2006), Kiasan Banjar adalah kata-kata kiasan dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi yang dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan suatu maksud secara tidak langsung kepada orang lain.

    Contoh Kiasan Banjar : (1) Baduduk salah, badiri salah, (2) Bapatah bilah, bapatah harang, (3) Dalas jadi habu jadi harang, (4)Disambat mati uma, kada disambat mati abah, (5) Kada ada kukus amun kada ada api, (6) Kaya kalambuai, naik kawa, turun kada kawa, (7) Kaya bulan lawan bintang, (8) Kuduk kada mati, ular kada kanyang (9) Lapas muntung harimau, masuk ka muntung buhaya (10) Makin tuha makin baminyak (11) Naik di kapuk turun di hanau (12) Naik di pinang turun di hanau, (13) Naik di pinang turun di rukam, (14) Pilanduk bisa kalumpanan lawan jarat, jarat kada kalumpanan lawan pilanduk (15) Salapik sakaguringan, sabantal sakalang gulu, (16) Sarantang saruntung samuak saliur, (17) Urang nangkanya, saurang gatahnya, dan (18) Wani manimbai, wani manajuni
    Rujukan
    Tajuddin Noor Ganie, 2006. Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar Berbentuk Peribahasa Berbentuk Puisi dalam Jatidiri Diri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119).Suku Banjar

    Mamang Papadah
    Menurut Ganie (2006), Mamang Papadah adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi yang dipergunakan sebagai sarana untuk memberikan pengertian, menganjurkan, melarang, mengajarkan suatu pegangan hidup, memberi petuah, dan menyuruh kepada suatu kebaikan.

    Contoh Mamang Papadah : (1) Adat urang main, ada kalah ada manang, (2) Akal diakali, pikir dipikirakan, (3) Allahhu wahadah, Inya mambari kada bawadah, Inya maambil kada bapadah, (4) Badiri sadang baduduk sadang, (5) Baik sakit di mata pada sakit di hati, )6) Baik manyasal di hulu riam, pada manyasal sudah ka hilir riam, (7) halus-halus iwak, ganal-ganal biawak, (8) Kada diam parang kada diam pisau, (9) Kambang kada sakaki, kumbang kada saikung, alam kada batawing, (10) Lain danau lain iwaknya, (11) Raja lawan putri, pantul lawan amban, dan (2) Tabarusuk batis kawa dicabut, tabarusuk basa jadi hual.
    Pameo Huhulutan
    Menurut Ganie (2006), Pameo Huhulutan adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi yang dipergunakan sebagai sarana untuk mengolok-olok, mencaci-maki, mengejek, mengeritik, menghina, atau menyindir seseorang atau suatu keadaan.

    Contoh Pameo Huhulutan : (1) Ada kada malabihi, kada ada kada mangurangi, (2) Ada sifat ada kijik, (3) Asam janar, siapa marasa banar, (4) Diam parang, diam pisau (5) dicari sahari dimakan sahari, (6) Di situ makan di situ bahira, (7) Diulah baju kaganalan, diulah salawar kahalusan, (8) Handak angkung langsat tadapat bangkung tiwadak, (9) Ia kandang ia babi, (10) Imbah satabul satabul pulang, (11) Kada purun tikus, matan purun banar, (12) Lagi di banua saurang kaya macan, sudah di banua urang kaya acan, (13) Lain nang disurung, lain nang dikalang, (14)Lancar paandir bahira maucir, (15) Mana manyatang mana manyatupur, (16) Mata kaya mata maling, (17) Salagi bungkuk, salagi dihantak, (18) Tabang nani rabah ka natu, tabang natu rabah ka nani, (19) Tangga urang diulur, tangga saurang ditarik, (20) Turun hayam naik hayam, (21) Urang manyurung tungkat, inya manyurung galagar, (22) Ya surak ya maling.
    Saluka Banjar
    Menurut Ganie (2006), Saluka Banjar adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk puisi 2 baris atau 4 baris bersajak akhir vertikal a/a, a/a/a/a, a/a/b/b, a/b/a/b.

    Contoh Saluka Banjar : {1) Nang manis, jangan lakas ditaguk. Nang pahit, jangan lakas diluak, (2) Parak bau tahi, jauh bau kambang. Parak bakalahi, jauh bagaganangan, (3) Tik nung kalikir pacah. Itik bakunyung kada basah, dan (4) Ujar habar banyak baiwak, saikung-ikung kada mawadi. Ujar habar banyak nang handak, saikung-ikung kadada nang jadi.
    Tamsil Banjar
    Menurut Ganie (2006), Tamsil Banjar adalah kata-kata kiasan yang bersajak dan berirama dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk barias-baris puisi.

    Contoh Tamsil Banjar : (1) Baundur supan, bamara takutan, bagana kada tahan, dan (2) Mambatat mangadalun, dijamur kada mau karing, dirandam kada mau bangai, dibanam kada mau hangit.

    Simpulan
    Berdasarkan paparan dan contoh-contoh di atas, maka dapat disimpulkan semua ragam/jenis peribahasa Banjar berbentuk puisi, setidak-tidaknya memiliki salah satu dari 3 ciri karakteristik bentuk, yakni : (1) adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, (2) adanya kosa-kata yang hampir sama secara morfologis, dan (3) adanya kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, di tengah, atau di akhir baris/larisk. Ciri-ciri karakteristik bentuk yang demkian itu identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi).

    Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar Berbentuk Peribahasa Berbentuk Puisi dalam Jatidiri Diri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119).Suku Banjar

    Peribahasa Banjar Berbentuk Kalimat

    Pantun Banjar
    Nasib Buruk Pantun Banjar di Kalimantan Selatan

    Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Pengelola Harian Rumah Pustaka Folkor Banjar

    Etimologi, Definisi, dan Bentuk Fisik
    Pantun merupakan pengembangan lebih lanjut dari Peribahasa Banjar. Istilah pantun sendiri menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).

    Sesuai dengan asal-usul etimologisnya yang demikian itu, maka pantun memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang disusun sedemikian rupa dengan merujuk kepada sejumlah kriteria konvensional menyangkut bentuk fisik dan bentuk mental puisi rakyat anonim.

    Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini, yakni : (1) setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah, (2) jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris (pantun biasa dan pantun berkait), (3) pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait), (4) khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi, (5) khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi, dan (6) lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.

    Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia.

    Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4.

    Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.

    Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasanah pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik local genius bangsa Indonesia sendiri.

    Istilah pantun tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor Banjar).

    Dalam definisi yang sederhana pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

    Fungsi Sosial Pantun Banjar
    Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya.

    Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
    Status Sosial Pamantunan
    Pamantunan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengolah kosa-kata berbahasa Banjar sehingga dapat dijadikan sebagai sarana retorika yang fungional.

    Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamantunan, yakni : (1) terampil mengolah kosa-katanya sesuai dengan tuntutan yang berlaku dalam struktur bentuk fisik pantun Banjar, (2) terampil mengolah tema dan amanat yang menjadi unsur utama bentuk mental pantun Banjar, (3) terampil mengolah vokal ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional di depan khalayak ramai, (4) terampil mengolah lagu ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional, (5) terampil dalam hal olah musik penggiring penuturan pantun (menabuh gendang pantun), dan (6) terampil dalam menata keserasian penampilannya sebagai seorang Pamantunan.
    Datu Pantun, Pulung Pantun, dan Aruh Pantun
    Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi oleh seorang Pamantunan membuatnya tergoda untuk memperkuat tenaga kreatifnya dengan cara-cara yang bersifat magis, akibatnya, profesi Pamantunan pada zaman dahulu kala termasuk profesi kesenimanan yang begitu lekat dengan dunia mistik. Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan Pamantunan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut Pulung.

    Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat Pulung inilah seorang Pamantunan dapat mengembangkan bakat alam dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).

    Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung hanya diberikan kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).

    Datu Pantun adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal pantun di kalangan etnis Banjar di Kalsel.

    Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan pada malam-malam gelap tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.

    Datu Pantun diundang berhadir dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh secukupnya. Jika Datu Pantun berkenan memenuhi undangan, maka Pamantunan yang bersangkutan akan kesurupan (trance) selama beberapa saat. Sebaliknya, jika Pamantunan tak kunjung kesurupan itu berarti mandatnya sebagai seorang Pamantunan sudah dicabut oleh Datu Pantun. Tidak pilihan baginya kecuali mundur secara teratur dari panggung Baturai Pantun (pensiun).

    Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib Buruk
    Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.

    Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset (bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau dalam naskah-naskah tausiah para ulama.

    Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang fungsional (bukan sekedar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel. Tulisan saya di Wikipedia ini boleh jadi termasuk salah satu usaha itu.

    Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan.

    Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Identitas Puisi Rakyat Berbentuk Pantun Banjar dalam buku Identitas Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119, Propinsi Kalimantan SelatanSuku Banjar (sumb:wikipedia)

    Madihin Madihin

    Kesenian madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut, bedanya terdapat pada cara penyampaian syairnya. Dalam lamut syair yang disampaikan berupa sebuah cerita atau dongeng yang sudah sering didengar dan lebih mengarah pada seni teater dengan adanya pemain dan tokoh cerita. Sedangkan lirik syair dalam madihin sering dibuat secara spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar yang menghibur dengan nasihat-nasihat yang bermanfaat.
    Menurut berbagai keterangan asal kata madihin dari kata madah, sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena ia menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir bersamaan bunyi. Madah bisa juga diartikan sebagai kalimat puji-pujian (bahasa Arab) hal ini bisa dilihat dari kalimat dalam madihin yang kadangkala berupa puji-pujian. Pendapat lain mengatakan kata madihin berasal dari bahasa Banjar yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga bisa dibenarkan karena isi dari syairnya sering berisi nasihat.

    Asal mula timbulnya kesenian madihin sulit ditegaskan. Ada yang berpendapat dari kampung Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Dari Kampun Tawia inilah kemudian tersebar keseluruh Kalimantan Selatan bahkan Kalimantan Timur. Pemain madihin yang terkenal umumnya berasal dari kampung Tawia. Ada juga yang mengatakan kesenian ini berasal dari Malaka sebab madihin dipengaruhi oleh syair dan gendang tradisional dari tanah semenanjung Malaka yang sering dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.

    Cuma yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam semua syairnya yang berarti orang yang memulainya adalah dari suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar lahirnya dipengaruhi kasidah.

    Pada waktu dulu fungsi utama madihin untuk menghibur raja atau pejabat istana, isi syair yang dibawakan berisi puji-pujian kepada kerajaan. Selanjutnya madihin berkembang fungsi menjadi hiburan rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen, memeriahkan persandingan penganten dan memeriahkan hari besar lainnya.

    Kesenian madihin umumnya digelarkan pada malam hari, lama pergelaran biasanya lebih kurang 1 sampai 2 jam sesuai permintaan penyelenggara. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan terbuka agar menampung penonton banyak, sekarang madihin lebih sering digelarkan di dalam gedung tertutup.

    Madihin bisa dibawakan oleh 2 sampai 4 pemain, apabila yang bermain banyak maka mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan syair, saling bertanya jawab, saling sindir, dan saling kalah mengalahkan melalui syair yang mereka ciptakan. Duel ini disebut baadu kaharatan (adu kehebatan), kelompok atau pemadihinan yang terlambat atau tidak bisa membalas syair dari lawannya akan dinyatakan kalah. Jika dimainkan hanya satu orang maka pemadihinan tersebut harus bisa mengatur rampak gendang dan suara yang akan ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair. Pemadihinan secara tunggal seperti seorang orator, ia harus pandai menarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang yang memukau dengan irama yang cantik.

    Dalam pergelaran madihin ada sebuah struktur yang sudah baku, yaitu:

    Pembukaan, dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang akan dibawakan nantinya.
    Memasang tabi, yakni membawakan syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran nantinya.
    Menyampaikan isi (manguran), menyampaikan syair-syair yang isinya selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan rumah, sebelumnya disampaikan dulu sampiran pembukaan syair (mamacah bunga).
    Penutup, menyimpulkan apa maksud syair sambil menghormati penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup.
    Saat ini pemadihin yang terkenal di Kalimantan Selatan adalah John Tralala dan anaknya Hendra.(sumb:kulaan kami)
    kurung2 seni musik tradisional Kalsel

    Belajar Bikin Lagu Banjar
    Minggu, 06-07-2008 | 00:40:10
    LAGU Banjar kembali bersinar. Seiring dengan hadirnya Duta TV dan Banjar TV yang menanyangkan klip video penyanyi lokal Kalsel hingga yang sudah mendunia seperti H Anang Ardiansyah, lagu-lagu berbahasa Banjar kembali populer dan familiar.

    Alhasil lagu legendaris seperti Pangeran Suriansyah hingga yang gres seperti Siti Ropiah kembali jadi hits. Bahkan, lagu jenaka yang dicipta dan dibawakan A Hamid tersebut terbilang fenomenal, karena sempat ramai dijadikan ringtone telepon genggam.

    Menurut seniman besar Kalsel, H Anang Ardiansyah, ada beberapa ciri khas lagu Banjar. Dilihat daerah perkembangannya, pakem lagu-lagu Banjar itu asalnya berbentuk pantun berirama khas Banjar. Di Kalsel terbagi tiga. Ada pantun yang berkembang di tepian sungai, di daratan dan pesisir pantai.

    Dikatakannya, lagu Banjar yang pertama adalah lagu Rantauan yaitu lagu-lagu yang berkembang di sepanjang tepian sungai khususnya di daerah Banjar Kuala.

    Ciri-ciri lagu ini beralun-alun dan bergelombang-gelombang seperti gelombang sungai dan seperti orang yang meratapi nasib. Perbedaan lagu Rantauan dengan lagu Pasisiran.

    “Misalnya pada lagu Rantauan mangancang meratapi nasib (melengking tinggi sambil meratapi nasib), sedangkan lagu Pasisiran mangancang tapi ba-arti (melengking tinggi memiliki tujuan tertentu),” papar Anang.

    Lalu, tuturnya ada juga lagu (pantun) Pandahan yaitu lagu-lagu Japin yang berasal dari Hulu Sungai (Banjar Hulu) yaitu dari Kota Rantau sampai Tanjung.

    Lagu ini disebut juga lagu Tirik, karena dinyanyikan saat urang ma-irik banih (orang yang sedang memisahkan bulir-bulir padi dengan tangkainya dengan cara diinjak-injak ketika panen).

    “Lagu ini dinyanyikan sambil baturai (bersahut-sahutan, berbalas), dimana kata akhir sebuah bait dipakai lagi menjadi awal bait yang selanjutnya, contohnya lagu Paris Barantai yang saya ciptakan,” paparnya.

    Tak ketinggalan ada juga lagu (pantun) Pasisiran yaitu lagu yang berkembang di daerah pesisiran Kota Baru (Sigam), yang dinyanyikan melengking-lengking dengan nada tinggi karena ada sedikit pengaruh Suku Bugis.

    “Contohnya, lagu Japin Sigam yang mengiringi tari Japin Sigam. Lagu yang bernuansa pasisiran lainnya yaitu lagu Intan Marikit ciptaan Agit Kursani,” paparnya.

    Hal sama diungkapkan pemerhati seni Banjar, Yanto Madal. Menurutnya, ketiga jenis lagu (pantun) tersebut merupakan jenis lagu-lagu Musik Panting. Pada musik panting yang asli di daerah Banjar di pakai tiga jenis alat musik saja yaitu panting (gambus), babun (gendang) dan agung (gong).

    “Adanya perbedaan ketiga jenis lagu ini. Karena itu perlu dipahami emua pencipta lagu Banjar sehingga dalam menciptakan lagu sesuai pakem dan polanya. Karya yang dihasilkan juga berkualitas,” pungkasnya. (ncu/bpost)
    Saat Etnik dan Modern Bertautan
    Minggu, 22-06-2008 | 00:35:33
    IRAMA dari tabuhan tradisional tarbang, babun dan kurung-kurung bak beradu nyaring dengan raungan gitar, biola dan keyboard. Alhasil komposisi berjudul Kuciak Urang Bukit tersebut bagaikan rintihan hutan yang kayunya terus dibalak secara membabi-buta.

    Usai komposisi tadi, giliran Bahasa Burung yang diusung. Karya musisi Ennos Karli (Akhmadi Soufyan) itu menghadirkan suasana alam nan asri dan kaya dengan musik tradisional.

    Penampilan personelnya yang mantap memadukan etnik dan modern membuat Kelompok Musik Hati Nurani Banjarmasin mendapat sambutan meriah dari penonton event Surabaya Full Musik di Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, Kamis (19/6) malam.

    “Keragaman komposisi serta keselarasannya dengan keindahan musik membuat dua repertoar tadi mendapat sambutan antusias dari penonton,” cerita Irwan Budiman, satu anggota kelompok Musik Hati Nurani.

    Kelompok musik etnik tersebut terbentuk pada 2003. Anggotanya 10 orang, terdiri atas seniman dan juga PNS yang bertugas di Taman Budaya Kalsel.

    “Perkawinan musik pop dengan musik etnik memang menjadi bagian dari perkembangan budaya sebuah masyarakat. Wajar kalau banyak ditemui nuansa musik etnik dalam karya musikus. Inilah yang ingin kami angkat dalam kelompok musik kami,” jelas Irwan.

    Dikatakannya, karya dengan kolaborasi etnik dengan modern ini sudah diawali banyak musisi daerah. Sebut saja Yusi Ananda dari Kalimantan Timur menembus dunia lewat musik etnik Dayak dengan solo album Borneo World Music Collection, yang dirilis tahun 2007. Kalsel pun tak ingin ketinggalan.

    Musisi Ennos Karli yang juga Kepala Taman Budaya Kalsel mengatakan, langkah awal adalah ikut pementasan di Surabaya. Ini merupakan suatu fenomena tersendiri bagi perkembangan musik Banua.

    “Untuk penggarapan musik etnik ini, kami tidak melihat berapa besar nilai anggarannya. Tapi lebih melihat pada kesempatan musik Indonesia, khususnya Kalimantan bisa dikenal di dunia,” paparnya.

    Penggarapan kolaborasi musik ini juga untuk membangkitkan dan menggairahkan seni musik di Kalsel, khususnya musik etnik kontemporer. (ncu/bpost)

    Bapantun Pun Mulai Dilupakan
    Minggu, 11-05-2008 | 00:30:56
    DARI sekian banyak seni budaya Banjar, bapantun adalah yang paling merakyat. Pasalnya, dalam prosesi adat tradisi Banjar selalu dipakai. Contohnya pada fase awal perkawinan. Namun seiring perkembangan zaman, budaya ini mengalami pergeseran.

    Menurut pengamat Budaya Banjar, Yanto Madal, dalam acara perkawinan adat Banjar, pantun dipakai di acara paminangan calon pengantin dan baantar patalian (mengantar mas kawin). Sastra lisan ini dibawakan secara monolog dan spontanitas oleh satu orang atau lebih.

    “Kemudian bapantun juga digelar saat maahui, yakni gawi sabumi melerai bulir padi dari tangkainya yang disebut dengan bairik banih,” sebut Yanto.

    Demikian juga dengan penyampaian nasihat dalam pertunjukkan kesenian misalnya dundam, lamut, madihin. Ini menunjukkan bapantun memang mengakar dalam suasana dan tingkah laku masyarakat Banjar.

    “Urang Banjar merupakan rumpun Melayu, karena kenyataan keberadaan bahasa dan seni budayanya, walaupun memiliki ciri khas spesifik. Justru itulah suku Banjar memiliki pantun-pantun seperti umumnya rumpun Melayu,” tambah pegawai Disbudpar Kalsel ini.

    Saat ini, menurutnya, masyarakat menuju arah modernisasi, Bapantun sangat jarang digelar, seperti dalam bentuk even atau lomba bapantun.

    “Hal ini disebabkan karena tak ada lagi syair baru yang diciptakan oleh sastrawan. Rata-rata mereka terfokus pada penciptaan puisi dan syair. Kalau pantun-pantun lama sebenarnya masih ada, tetapi apakah masih relevan dengan kondisi sekarang,” jelasnya.

    Untuk menyemarakkan kegiatan bapantun, kata salah satu pelaku seni Taman Budaya Kalsel, Irwan Budiman, perlu diperbanyak kalender kegiatan bapantun yang ditujukan khusus generasi muda sehingga mereka tahu budaya daerahnya.

    “Ini salah satu bentuk apresiasi. Semakin jarang festival diadakan semakin kurang pula pemahaman generasi baru tentang budaya itu. Demikian juga dengan bapantun,” papar Irwan.

    Salah satu bentuk keindahan pantun adalah bisa dikemas dengan nuansa irama lagu tertentu. Apalagi memiliki intonasi seperti pada pembukaan madihin, pantun diucapkan dengan lagu berproyeksi jauh. Di sinilah bisa diselipkan pesan-pesan pembangunan untuk kemajuan masyarakat.

    “Selain itu, kami juga mengharapkan kerjasama dan partisipasi pemerintah dan masyarakat untuk selalu berupaya dan melestarikan budaya ini,” pungkasnya. (ncu/bpost)

    Dialog Seniman Pencipta Lagu Banjar
    Monday, 15 December 2008 11:22 redaksi
    MENELUSURI perkembangan lagu daerah Banjar sulit rasanya lepas dari nama H Anang Ardiansyah. Bagaimanapun, pencipta sekaligus penyanyi asal Banjar ini pernah memberi warna tersendiri dan memunculkan semacam trend lagu daerah berbahasa Banjar disertai sentuhan nuansa alat musik khas Kalsel.
    Tak dinyana lagu daerah ciptaannya sangat familiar di telinga penikmat musik di seluruh nusantara bahkan luar negeri. Sebut saja Paris Barantai yang nuansa etnis Banjarnya terasa sangat kental.
    Dalam Dialog Seniman Pencipta Lagu Banjar yang bertempat di Bengkel Tari Taman Budaya Kalsel, akhir pekan lalu, Maestro pencipta lagu Banjar, H Anang Ardiansyah mengungkapkan, dilihat dari daerah perkembangannya lagu-lagu (pantun) berirama khas Banjar di Kalsel terbagi menjadi 3, yaitu pantun yang berkembang di tepian sungai, pantun yang berkembang di daratan dan pantun yang berkembang di pesisir pantai.
    Dia juga mengatakan, greget dari lagu Banjar bahari lebih bagus dibandingkan sekarang. Sekadar pembanding, lagu Paris Barantai yang diciptakan menjadi ikon Banjarmasin masa lalu yang terjual hingga ribuan kopi. “Kalau orang luar mendengar lagu ini pasti langsung ingat Banjarmasin,” ungkapnya.
    Untuk mengembangkan lagu Banjar, papar Anang, saat ini perlu kreativitas pencipta lagu. “Artinya dalam proses penciptaan lagu jangan monoton tetapi lagunya mesti bervariasi,” katanya.
    Sementara kendala perkembangan lagu Banjar, sambung Anang, adalah masalah promosi. “Perlu perhatian pemerintah daerah dan pengusaha berkompeten untuk ikut serta mempromosikan lagu Banjar,” tambah Kepala Taman Budaya Kalsel, Ennos Karli.
    Di samping itu, menurutnya perlu perda khusus dari pemerintah daerah mengatur promosi dan peredaran karya seni lokal. Contoh kecil, perda yang mewajibkan setiap kantor Samsat perkantoran hotel atau terminal memutar lagu Banjar sehingga lagu daerah ini lebih dikenal.
    Menurut dia, pihaknya menyilahkan kepada para pencipta lagu di Kalsel ini untuk mengirimkan demo lagu hasil karya cipta ke Taman Budaya. “Segera melakukan menginventariskan lagu-lagu Banjar dan penciptanya, lengkap disertai dengan dokumen atau bukti lain yang meyakinkan. Setelah itu sama-sama didaftarkan ke YKCI. Karena dari pengalaman, mendaftarkan karya cipta di situ tidak membutuhkan biaya,” jelasnya.

    Jati diri

    Di tempat yang sama seniman dan budayawan Syarifuddin MS menyatakan, mengangkat lagu daerah Banjar sejajar dengan karya-karya lagu daerah lainnya harus bisa terwujud tanpa menghilangkan jati diri sang pencipta lagu. “Dalam dialog ini kita berusaha meluruskan, bahwa bagaimana sebenarnya lagu Banjar itu, seperti apakah lagu Banjar yang benar,” tegas Syarifuddin.
    Melihat semangat yang membara dari komunitas pencipta lagu Banjar serta potensi penyanyi, musisi dan pencipta lagu yang disatukan untuk satu tujuan bersama, bukan hal mustahil kejayaan lagu Banjar dapat berkibar menghentakkan telinga penikmat musik dunia.
    Menuduh sebuah lirik jelek, sembarangan atau tidak bermoral, itu merupakan tuduhan yang terlalu kejam. Agar kritikannya tidak kejam, maka disertai pula dengan jalan keluar. Buatlah lirik yang dianggap bagus, sesuaikan dengan lagunya. wulan

    Wayang Gong di Ambang Kepunahan
    Minggu, 16-09-2007 | 00:46:50
    “WAYANG Gong? Yang mirip wayang orang? Wah, itu sih sudah jadul. Apa asyiknya nonton pertunjukan seperti itu, ngerti aja belum tentu. Mendingan kan nonton konser musik atau film, pasti lebih asyik!”

    Itulah komentar Iwan, seorang siswa SMA ternama di Banjarmasin ketika ditanyakan tentang Wayang Gong yang notabene adalah salah satu seni pertunjukan tradisional Banjar. Secara tak langsung ini mengisyaratkan keberadaan seni pertunjukan ini kian luntur di mata generasi muda.

    Wayang Gong, adalah wayang orang sebagai seni pertunjukan seperti layaknya wayang kulit, mamanda, damarulan, kuda gepang, ajapin, madihin lamut, hingga rudat dan bakisah.

    Pertunjukan ini mengangkat cerita dari pakem Ramayana versi Banjar dan perlu carangan. Wayang ini dimainkan dengan pengolahan vokal pemain. Ini ditambah basik tari dalam lakon yang bersandar pada beberapa tilisasi.

    Tak hanya itu, pemain diiringi musik gamelan, elemen dramatik dan kating tari yang diiringi bunyi tambahan seperti ketopong yang membuatnya makin khas. Pemain dirias layaknya tokoh dalam cerita Ramayana.

    Menurut pakar Wayang Gong Banjar, Zulfansyah Bondan dalam diskusi Perkembangan Seni Wayang Gong dan Damarwulan, Minggu (9/9) di Gedung Banjarmasin Post, era 1960 dan 1970-an, kesenian ini mendapat respon cukup bagus dari kawula muda. Tapi dalam perkembangannya di tiga dasawarsa, tahun 2000-an, kesenian ini mengalami kemunduran dan nyaris punah.

    Dikatakan langka, karena seni tradisi ini sudah sangat jarang dimainkan. Kesenian tertua di Kalimantan Selatan ini juga kini menunggu kepunahan karena kelompok-kelompok yang memainkannya sudah tidak banyak lagi.

    “Pada beberapa acara adat dan seni pertunjukan sosial kemasyarakatan, seperti Maulid Nabi, Saprah amal, hajatan hingga nazar pascapanen padi, tak pernah lagi ditemui,” kata Zulfansyah.

    Untunglah, masih ada yang mengadakan pagelaran walaupun insidental, yakni sanggar Ading Bastari, Barikin (HST) pimpinan AW Syarbaini. Ini yang membuat wayang ini masih bertahan, walaupun dengan kondisi tak memungkinkan.

    Untuk melestarikannya, ada beberapa terobosan papar pamong budaya ahli kesenian Kalsel, Drs Mukhlis Maman.

    “Dalam jangka pendek, bisa dengan melakukan pendidikan dan pelatihan sistematik generasi muda dengan nara sumber tokoh tersisa,”ungkap Mukhlis.

    Selain itu , jelasnya yakni menggalang pendanaan untuk pembuatan kostum, properti dan alat musik lainnya. Lalu membuat proyek pembinaan kesenian sebagai program lanjutan pendidikan serta membuat wadah khusus berupa balai seni tradisi di tiap kota atau kabupaten di Kalsel.

    Di tempat yang sama, Budayawan Banjar Drs H Bakhtiar Sanderta mengatakan untuk melestarikan Wayang Gong, perlu adanya kemasan baru. Dalam hal ini bisa dilakukan dengan tiga cara yakni cara tumbuh dan berkembang berupa Diklat Wayang Gong bagi anak-anak dan remaja.

    “Kemudian cara pengolahan tepadu berupa Diklat Wayang Gong dengan materi singkat, kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, taman Budaya dan Sekolah,” papar Bakhtiar. Lalu, tuturnya ada juga cara peranan profesional berupa diklat kemasan baru Wayang Gong bagi seniman wayang di daerah. ncu/bpost
    Menggemakan Kembali Wayang Gong
    Minggu, 04-05-2008 | 01:30:10
    WAYANG Gong pernah menjadi satu seni kebanggaan masyarakat Banjar. Sayang kini pelakon dan penggemarnya nyaris pudar.

    Itulah yang mendorong pengurus Taman Budaya Kalsel mengadakan Diskusi Teater Tradisi Wayang Gong pekan kedua Mei ini, di Gedung Warga Sari Taman Budaya. Tujuannya mencari solusi bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan daerah.

    Menurut Kepala Taman Budaya Kalsel, Drs Akhmadi Soufyan, diskusi itu juga dapat menjadi wadah peserta lebih mengenal dan mencintai seni pertunjukan. “Lebih dari itu dapat memahami filsafat yang terkandung di dalamnya,” kata Ennos Karli, nama panggungnya.

    Dikatakannya, pergelaran wayang gong ibarat mementaskan sandiwara kehidupan di alam sebenarnya. Alur cerita yang ada membawa penonton masuk dalam atmosfer pertunjukan yang sarat makna hidup di dunia nyata.

    “Bukan hanya pertunjukan biasa, tetapi banyak nilai-nilai hidup dan pedoman yang bisa diambil untuk menuntun hidup penonton di masyarakat,” jelas Ennos.

    Hal senada diungkapkan Budayawan Kalsel yang juga seniman tari, Zulfansyah Bondan. Eksistensi Wayang Gong, tuturnya, akan lebih terasa bila generasi muda yang berminat di ajang seni budaya dididik menjadi arsitek pertunjukkan Wayang Gong.

    “Pelestarian ini tergantung di tangan kaum muda. Bila mereka tak lagi berminat, kepada siapa akan kita serahkan tongkat estafet pelestarian Wayang Gong ini,” sebutnya.

    Hingga saat ini, seniman Wayang gong yang masih eksis adalah AW Syarbaini dengan group-nya Ading Bastari asal Desa Barikin, Hulu Sungai Tengah. Seperti pendahulunya yang juga dalang Wayang Gong, Dalang Tulur memiliki ciri khas. Dalam setiap penampilannya, walaupun diselenggarakan di lokasi sederhana, penonton seakan tak ingin beranjak hingga cerita lakon pun berakhir.

    Kelebihan Syarbaini, suaranya menirukan lakon cukup menarik hati. Tak ayal lagi, penonton pun terbuai alur kemasan cerita. Seperti saat mengemas cerita Wayang Gong versi cerita Ramayana. Dengan formasi tari yang ada, penonton terasa seperti dilibatkan dalam pertunjukan tersebut.

    Penonton memberikan teriakan sebagai rasa senang saat beberapa gerakan tarian atau percakapan dengan Bahasa Banjar yang diperlihatkan beberapa pemainnya.

    Selain itu tidak ada latar panggung seperti suasana kerajaan sebagaimana tampilan pada wayang orang di Jawa. Yang ada hanya sebuah tenda sederhana berukuran sekitar 5 x 10 meter. Arena pertunjukan seperti itu mereka sebut pentas keliling karena dikelilingi penonton.

    Tapi disinilah kelebihannya, berbeda dengan tempat panggung pertunjukan biasanya yang letak kursi penonton dengan panggung cukup jauh. Ciri khas pagelaran ‘dinasti’ Tulur justru sekitar arena di tempat mengelilingi tenda tersebut. (ncu/bpost)
    PARINGIN – Wayang gong merupakan salah satu kesenian tua di Kalimantan Selatan. Belum ditemukan catatan pasti, kapan seni pertunjukan ini muncul pertama kali. Di Balangan, satu-satunya kelompok seni tradisi ini berada di Desa Sirap, Kecamatan Juai.
    Wayang gong mirip dengan wayang orang di Jawa. Bedanya, jumlah pemain dalam wayang ini tak sebanyak pada wayang orang. Sofian, seorang pemain wayang gong menuturkan, improvisasi pada pengucapan kata dan kalimat oleh setiap pemain terlihat menonjol.
    “Selain, masuknya unsur tarian dan gerak tubuh di dalamnya,” ujar Sofian.
    Pada setiap adegan, juga pada saat keluar atau masuknya pemain, selalu diiringi musik gamelan. Ada juga elemen bunyi tambahan seperti ketopong yang membuat sebuah pertunjukan wayang gong jadi semakin khas.
    Dalam wayang gong, semua pemain adalah pria. Masing-masing dirias dan memakai kumis buatan yang tebal.
    Tak perlu panggung megah dan gemerlapan untuk sebuah pertunjukan wayang gong. Kesenian ini dapat dimainkan di mana saja, dengan perlengkapan seadanya. Tidak perlu latar panggung yang mencerminkan suasana sebuah kerajaan sebagaimana pada wayang orang di Jawa.
    Akan tetapi, justru disinilah letak kelebihannya. Antara pemain dengan penonton, tak ada jarak yang berarti. Bahkan, tidak jarang penonton justru dapat terlibat langsung dalam permainan. Misalnya, melontarkan kata-kata atau celetukan tertentu, agar unsur komedi wayang gong semakin lengkap dan pertunjukan bertambah hidup.
    Berkurangnya peminat, baik untuk terlibat dalam kesenian ini maupun sepinya penonton, terlihat jelas sejak akhir 1990an. “Waktu itu, yang menonton sudah tambah sepi. Itu terasa betul. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak tahu sebabnya apa,” kata Sofian.
    Seni yang menjadi salah satu cirikhas Kalimantan Selatan ini pun sudah jarang ditampilkan dalam acara-acara tertentu kini. Pemainnya pun kini rata-rata sudah berumur 40 tahun keatas. “Kita ini, bisa diundang main setahun dua kali saja sudah senang,” imbuh Sofian.
    Malah, menurutnya, dalam acara-acara adat dan sosial kemasyarakatan sekalipun, misalnya Maulid Nabi serta acara hajatan lainnya, pertunjukan wayang gong nyaris tak pernah lagi dijumpai. “Terasa sekali pamor wayang gong ini sudah semakin pudar,” ucap Sofian.(sumb:mata banua)

    Menjemput Lamut Agar Tak Berlumut
    Minggu, 02-12-2007 | 00:20:30
    BENARKAH kesenian tradisional Banjar Lamut hampir punah? Pertanyaan ini menyergap pikiran saya ketika membaca judul makalah Sirajul Huda (SH), Kepala Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, dalam Sarasehan Seni Tradisional Balamut, beberapa waktu lalu.

    Walaupun isi makalah berjudul Lamut : Sebuah Kesenian Tradisional Kalimantan Selatan yang Hampir Punah itu hanya menguraikan apa itu kesenian Lamut, tapi dalam pembicaraannya mencuat kekhawatiran akan nasib salah satu seni bertutur ini.

    Tak dapat dipungkiri seni balamut kini tak banyak dikenal khalayak muda. Lamut kalah populer dibanding Madihin atau Mamanda.

    Bukan karena masyarakat tak mau tahu dengan seni ini, melainkan karena frekuensi balamut di panggung pertunjukkan nyaris tak terdengar. Jika pun ada, mungkin hanya satu atau dua kali setahun.

    Sampai akhir 2007 ini, saya sendiri hanya ‘sempat’ menyaksikan dua kali pementasan lamut. Pertama, di malam kedua kegiatan Kongres Cerpen Indonesia V (27 Oktober 2007) dan di malam pembukaan Kongres Budaya Banjar I (30 Oktober 2007).

    Uniknya, kedua pertunjukkan lamut di dua kegiatan yang berbeda itu dibawakan oleh orang yang sama, yaitu Djamhar. Sempat timbul pertanyaan, apakah hanya beliau di banua ini yang mampu balamut?

    Barangkali menjadi menarik ketika persoalan lamut ini kembali diangkat ke permukaan. Sebuah sarasehan seni Badan Informasi Daerah (BID) Pemprov Kalsel bekerjasama Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) mencoba mengusung hal ini.

    Selain SH, sarasehan itu juga menampilkan pembicara Amanul Yakin Anang (AYA), ketua FK Metra. Terlepas apakah kegiatan tersebut sekadar menuntaskan agenda kerja lembaga, tapi masih ada yang bisa dicuri yaitu sebuah kepedulian.

    Lamut sebagai bagian seni tradisional Banjar yang dianggap spesifik. Dalam sejarahnya, lamut merupakan sebuah kristalisasi budaya masyarakat Banjar yang berproses alami dan cukup panjang.

    Bahkan ada kecenderungan lamut ditafsirkan sebuah seni tradisional berkekuatan mitos. Oleh sebab itu, lamut memiliki pakem yang tak bisa dilanggar, mulai tempat pergelaran, penyajian, alat musik maupun isi ceritanya. Hal inilah yang mungkin membuat lamut begitu sakral sebagai sebuah seni pertunjukkan.

    Saat ini, hanya dua palamutan yang tersisa, yakni Djamhar dari Kuin dan Gt Nafiah dari Kampung Melayu. Keduanya sudah tua. Jika kedua tokoh itu tiada, habislah generasi palamutan di banua ini. Makanya perlu regenerasi Palamutan.

    Bersungut Soal Lamut
    ADA dua tantangan yang harus dihadapi lamut dalam mengembangkan diri, pertama dalam hal rekuitmen. Lambatnya regenerasi membuat rekuitmen menjadi tak pasti. Kedua, tak jelas siapa pihak yang bertanggung jawab atas pengembangannya, kata Amanul Yakin.

    Dengan label ‘budaya’ pada nama lembaga tersebut jelas salah satu urusannya adalah pelestarian dan pengembangan seni budaya semacam lamut. Lembaga berikutnya adalah Dinas Pendidikan.

    Lembaga terbaru adalah Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra). Lembaga yang didirikan atas prakarsa Kementrian Komunikasi dan Informasi ini merupakan wadah berhimpunnya komunitas kesenian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.

    Jika muncul pernyataan seni tradisional lamut hampir punah, maka yang mengemuka selanjutnya adalah mengapa sampai terjadi kondisi demikian. Apa saja yang sudah dilakukan lembaga tersebut sehingga lamut hampir ‘berlumut’.

    Generasi yang bisa disasar adalah orang muda terpelajar. Orang-orang semacam ini dapat diberi penyadaran mendalam tentang pentingnya nilai sebuah seni budaya. Lalu perlu mempelajari seni, termasuk tradisional. Komunitas demikian tentu ada di sekolah.

    Seperti juga seni tradisional lainnya, tidak ada hal mustahil mengajarkan lamut agar bisa dikuasai generasi muda sekarang. Namun, sebagai proses, pendidikan memang memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dapat melihat hasilnya. Perlu kesabaran dan ketekunan. Yang terpenting, hal ini jangan sekadar wacana, tapi aksi. Yakinlah, lamut takkan punah!

    Zulfaisal Putera (Guru SMA 2 Banjarmasin)

    Regenerasi Pelamutan:
    • Mengadakan pertunjukan lamut keliling sekolah
    • Pelatihan khusus balamut dengan instruktur palamutan
    • Membentuk kelompok lamut di sekolah
    • Lomba balamut antarpelajar
    • Lamut sebagai mata pelajaran muatan lokal di tiap tingkatan kelas dan jenjang sekolah.(bpost)
    Mamanda Nasibmu Kini
    Minggu, 18-11-2007 | 00:05:00
    ImageMAMANDA adalah seni pertunjukan khas Banjar yang sangat populer di Kalimantan Selatan. Kelahirannya bercikal bakal dari datangnya rombongan bangsawan dari Malaka pada abad ke-18. Di samping berdagang, mereka juga memperkenalkan bentuk kesenian baru yang bersumber dari syair Abdul Muluk, sehingga kesenian mereka lebih dikenal dengan istilah Badamuluk.

    Kemudian berkembang pada lagenda rakyat, cerita rakyat bahkan cerita kekinian. Sesuai perkembangan zaman, istilah Badamuluk pun berganti dengan sebutan bamanda atau mamanda.

    Dalam pertumbuhannya, memanda mengalami berbagai proses sampai akhirnya menimbulkan dua aliran, yaitu aliran Batang Banyu dan aliran Tubau.

    Aliran Batang Banyu berasal dari Margasari yang dikenal dengan Mamanda Periuk, sebagai cikal bakal seni mamanda. Sedangkan aliran Tubau, daerah asalnya di Desa Tubau Rantau yang merupakan perkembangan baru dari seni mamanda yang pengaruhnya cukup kuat dan terkenal.

    Mamanda Tubau berkembang pesat di daerah Kalimantan Selatan. Struktur pertujukannya menganut sistem yang sudah dibakukan, yaitu dimulai dengan ladon atau konom, sidang kerajaan dan cerita.

    Sungguhpun mamanda sekarang mengarah ke kesenian populer, namun kekhasan mamanda dapat dilihat dari penggunaan bahasa Banjar, simbolisasi yang selalu dikaitkan dengan komunikasi budaya dan menyarankan pada rekadaya kemanusian, seperti meja, tongkat pendek, dan lawang (pintu) besar.

    Kekhasan yang utama dari mamanda adalah humor untuk menghibur penonton. Yang tak kalah pentingnya, estetika mamanda merupakan struktur yang bergerak mengikuti alur cerita yang bermula dari ladon sidang kerajaan, jalan cerita dan babujukan.

    Kekhasan mamanda yang terakhir adalah tipe cerita. Tipe ceritanya bermacam-macam, ada tipe cerita sejarah, romantis, kritik, sosial, dan tipe cerita penerangan.

    Di samping itu, manusia selalu menghadirkan watak tokoh yang tetap seperti wajir, mengkubumi, sultan, panglima perang, perdana menteri, permaisuri, puteri raja, pangeran, pengawal kerajaan, hadam, jin, inang, perampok dan orang kampung.

    Berdasarkan yang telah disebutkan di atas, mamanda tetap bertahan pada tradisi asalnya, maksudnya struktur dan karakteristik yang menjadi ciri khas mamanda tidak berubah. Yang berubah atau mengarah ke kesenian populer hanyalah pada busana, musik, improvisasi, dan ekspresi artistiknya.

    Usia mamanda sejak kelahirannya sampai sekarang sudah mencapai dua abad. Namun masih banyak masyarakat Kalsel yang tidak tahu apa, bagaimana, dan untuk apa itu mamanda.

    Karena itu, mamanda perlu lebih dipopulerkan lagi. Caranya dengan mengadakan pertunjukan ke berbagai pelosok daerah Kalimantan Selatan, bukan hanya di GOS Banjarmasin, atau saat perlombaan atau Porseni PGRI saja.

    Dengan demikian diharapkan mamanda dapat dikenal secara menyeluruh oleh masyarakat Banjar, termasuk generasi mudanya yang pada akhirnya akan mampu menjadi maskotnya seni teater di Kalimantan Selatan.

    (F Raji Asmuni SPd, Guru SMAN 1 Amuntai)(bpost)

    ANANG ARDIANSYAH CIPTA 115 LAGU DAERAH BANJAR KALSEL
    Banjarmasin, 27/7 (ANTARA) – Anang Ardiansyah (70), seorang tentara yang dikenal sebagai seniman serta musisi lagu-lagu Banjar penduduk Provinsi Kalimantan Selatan berhasil menciptakan 115 lagu daerah Banjar.
    Dalam percakapan dengan ANTARA Banjarmasin, Minggu, Kolonel (purn) TNI-AD itu mengaku dirinya mencipta lagu daerah Banjar sejak Tahun 1957 atau sesudah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA).
    Namun mantan Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalsel yang berkifrah di dunia politik itu, lupa nama lagu daerah Banjar yang pertama kali dia cipta, kecuali yang terakhir saat menjelang usia senja, lagu ciptaannya berjudul “Maha Patih”.

    Anang Ardiansyah ketika menerima penghargaan dari Gubernur Kalsel, Drs.Rudy Ariffin
    Dari sejumlah lagu daerah Banjar ciptaan seniman sepuh itu yang melegenda dan menasional antara lain, “Paris Barantai” dengan cuplikan liriknya “Kotabaru gunungnya bamega”.
    Diungkapkan, banyak orang yang hanya bisa melantunkan lagu “Paris Barantai” dengan iramanya mendekati irama “ca-ca”, tapi tidak mengetahui apa hubungan judul lagu tersebut dengan lirik-liriknya yang seakan tak ada korelasi.
    “Karena dalam lirik-lirik lagu ‘Paris Barantai’ tidak ada satu kalimat atau katapun memuat kata ‘Paris Barantai’ bukan seperti lagu-lagu lain yang dalam lirik-liriknya paling tidak ada sedikit bersinggungan dengan judul lagunya,” katanya.
    Ia menerangkan, judul lagu “Paris Barantai” itu diambil dari seorang wanita asal Rantau, kini ibukota Kabupaten Tapin, Kallsel, yang pada masanya cukup aduhai, sehingga memikat semua anak muda khususnya.
    “Bahkan begitu mempesona ’su Paris’ (su singkatan dari panggilan busu = orang yang dituakan dalam tatanan masyarakat Banjar) banyak pula pemuda yang “karindangan” (rindu, jatuh hati) bila sekali bertemu dengan su Paris tersebut,” tuturnya.
    Ia mengaku, su Paris itulah yang mengilhami terciptanya lagu “Paris Barantai” tersebut dengan mengambil obyek pemandangan Kotabaru, ibukota Kabupaten Kotabaru, Kalsel yang berada di Pulau Laut dengan Gunung Sebatung yang menjulang tinggi.
    Perpaduan antara Kotabaru yang berada di pinggir pantai dengan deburan ombak dengan Gunung Sebatung yang menghijau lebat, dimana saat itu hampir sepanjang hari diselimuti awan (mega), sebuah refleksi filosofis mempesona layaknya su Paris.
    Oleh karenanya sekali melihat keindahan Kotabaru yang diapit Selat Makasaar dan Laut Sulawesi serta Gunung Sebatung, maka orang tersebut akan selalu terkenang dan mau melihatnya lagi panorama “Kotabaru gunungnya bamega” itu.
    “Tapi anda jangan salah, Kotabaru dengan Gunung Sebatungnya hingga tahun 1960-an, bukan seperti Kotabaru dan Gunung Sebatung sekarang,” demikian Anang Ardiansyah.
    Seniman sepu yang mendapat penghargaan dari Gubernur Kalsel atas karyanya itu, nampak dengan tertatih-tatih menggunakan sebilah tongkat datang ke pesta perkawinan anak dari Drs.H.Aminullah Thaib dan Diana, di Restoran Shinta Internasional Banjarmasin, Minggu siang.
    Kedatangan seniman legendaris Banjar itupun didaulat pengunjung untuk melantunkan sebuah lagu ciptaannya, guna mendengarkan “suara emas” kembali di kalangan generasi kini.
    Walau dalam usia senja dan berjalan digandeng, ternyata “suara emas” Anang Ardiansyah masih memukau pengunjung pesta perkawinan anak dari seorang musikus terkenal di Banjarmasin pada 1960-an sampai 1970-an itu.
    http://haritsoetoro.wordpress.com/2010/01/19/kesenian-kalimantan-selatan/
     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 3
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. hilank Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 25, 2009
    Messages:
    21
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +1 / -0
    Mantap ngini nah, ada jua ke ingatan banua sorang......
     
  4. nyuinyui Banned User

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 21, 2010
    Messages:
    24
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +1 / -0
    gw jg dari sono, orang tua gw dari amuntai
     
  5. isee M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 1, 2010
    Messages:
    546
    Trophy Points:
    92
    Ratings:
    +448 / -0
    pic nya kk.. :minta:

    sebagai gambaran seperti apa bentuk kesenian yg ada disana :cinta:

    itu baru kalimantan ya, belum daerah2 yg lain. Indonesia emg kaya akan budaya.. :cinta:
     
  6. am4terazu M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 25, 2009
    Messages:
    2,631
    Trophy Points:
    162
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +2,654 / -0
    wuaaduuhh...
    puanjang bner gan...
    Tp ok lah.. :niceinfo:
    keep share...
     
  7. mamoen36 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Aug 21, 2010
    Messages:
    68
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +3 / -0
    gw baru aja tugas dari sono tp ga tau soal yang beginian ixixixxixii
     
  8. ufie89 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 2, 2009
    Messages:
    84
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +16 / -0
    urang mana ente??
     
  9. _GaulzZ Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Nov 6, 2009
    Messages:
    95
    Trophy Points:
    41
    Ratings:
    +1,492 / -0
    i love banjar.. mang tambah akan gambarnya za gen, skira bbuhan nang lainnya paham jw apa itu banjar, mulai dari gambar petanya gen dulu. skira oke jw kada sakit mata melihat tulisan tarus..
     
  10. deztian M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 5, 2009
    Messages:
    663
    Trophy Points:
    92
    Ratings:
    +284 / -0
    wah gile panjangnya baru baca dikit hehe
    wah kita harus melestarikan budaya itu supaya ada terus
    dan juga nice info ya :top:
     
  11. rayudha Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Aug 16, 2010
    Messages:
    127
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +7 / -0
    nice info gan, panjang bener tapi gak ada pic-nya pula...
    tapi gak papa wes, supaya budaya2 kita tetep lestari klo banyak yg tau dan peduli :peace:
     
  12. panimbasagara Members

    Offline

    Joined:
    Feb 18, 2010
    Messages:
    8
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +4 / -0
    tatamu papadaan nah...
    ubuy...
     
  13. oceanic19_boyz M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 1, 2010
    Messages:
    978
    Trophy Points:
    146
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +826 / -1
    :pusing: bacanya....
    tpi nice info gan,,,,jdi byar orng idonesia lbih tau ttng budayanya sndiri......
     
  14. VincenthChiuz M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jul 22, 2009
    Messages:
    507
    Trophy Points:
    111
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +677 / -0
    sungguh menarik..dalam waktu dekat ini ak akan kesana..kebetulan baca jadi ada tambahan tujuan kesana..thx utk TS
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.