1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

[Karya ciptaan sendiri] LUCID DREAM

Discussion in 'Motivasi & Inspirasi' started by WhiteSin, Mar 16, 2010.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. WhiteSin M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 31, 2009
    Messages:
    602
    Trophy Points:
    66
    Ratings:
    +127 / -0
    [Ch1/prolog] My world that connect each other


    Ahh sekarang aku sedang duduk di atas kursi kayu. Berdiam diri melihat sekeliling yang penuh oleh rak-rak buku refrensi banyak macamnya seperti sejarah, kedokteran, psikolog, algoritma sampai buku tentang masak memasak, mereka terususun rapi dan berderet dari ujung ruangan sampai depan pintu masuk.

    Seorang gadis yang umurnya sekitar empatbelas tahun sedang duduk diatas kursi kayu membuka buku selembar demi selembar dengan gaya bacanya yang intens. Mataku tak dapat berhenti menatapnya ketika melihat pakaiannya yang aneh, dia mengenakan pakaian putih panjang yang menutup seluruh tubuh terkecuali muka dan rambut emasnya yang menjalar hingga lima sentimeter ke bawah pundak.

    Di perpustakaan yang besarnya mirip mansion ini dia mengatur segalanya sendiri, merapikan tiap index dan memisahkan buku dari urutan tahun, kemudian menyusun katalog perpus dan banyak lainnya.
    Jika dia ingin mengambil atau menaruh buku yang terletak di paling atas rak biasanya anak itu meminta bantuan dariku untuk memanjat tebing pengetahuan itu, namun jikalau aku terlalu malas membantunya dia akan mengambil tangga dan mendaki susunan buku tersebut sendiri.

    “Aril ambilin buku yang di sana dong!”

    Kini ia meminta bantuanku lagi. Aku sebenarnya memang membenci buku tapi saat ini aku sedang mencoba membaca buku mengenai otomotif kuno dan tidak ingin di ganggu.

    Aku pura-pura tidak tahu, meskipun jarinya sudah menunjuk-nunjuk ke rak kanan atas tapi mataku terus mengelilingi tiap sudut dari rak buku yang dia maksud…

    “Itu, itu… Yang hijau di sanaaaa! Aril mah keasyikan baca sih…”

    "Oke... tunggu ya gue panjat dulu. Jangan ngerengek-rengek terus kek."

    Dia mencoba teriak padahal jarak kami hanya sekitar dua meter.
    Meski berteriak suaranya masih lembut dan masih nyaring di telinga.
    Tidak seperti gadis-gadis lain di sekolahku.Tak perduli mereka berteriak atau tidak suaranya ibarat teko air kosong yang beradu dengan kaleng aluminium.

    “Emangnya loe ngapain sih, dari awal gw kesini kayaknya bacaan loe enggak beres-beres. Emangnya elo enggak bosan apa setiap hari baca buku tebal-tebal begitu?”

    “Enggak lama lagi Aril juga tahu, Aril sabar aja…”

    Aku sama sekali tidak mengharapkan jawaban itu…
    Bocah seperti ini mencoba menyembunyikan sesuatu dariku.

    “Haah, aduh pengap banget di sini…”

    Aku mendesah, bukan tanpa alasan. Rasanya badan ini makin panas. Tak ada AC di sini, kipas angin elektrik juga tidak ada, namun jika Horace melihatku menggunakan salah satu buku tipis di perpustakaan ini untuk mengibaskan angin, dia akan mengomel…

    “Aril kenapa? Udah capek di sini? Apa Aril mau pulang?”

    Hmph, dia melontarkan tiga pertanyaan sekaligus. Kira-kira aku harus jawab yang mana? karena jika aku salah pilih maka pertanyaannya akan bercabang menjadi puluhan.

    “…” Pilihan ke-4 ‘Tidak menjawab sama sekali’

    “Lha kok Aril diam…? Buku yang Horace minta ambilkan mana??”

    “Ehh, iya nih ambil…”

    Aku turun dari rak, dengan hati-hati kaki kiriku berpijak ke bawah.
    Sekat-sekat rak buku mulai licin karena kakiku yang berkeringat membasahi lapisan kayunya. Sesampainya kakiku menginjak lantai aku menyerahkan buku yang dia minta.

    “Setiap hari gue kesini kayaknya Baju loe itu-itu terus, emang enggak bau apa?
    Kayaknya kelihatan jorok banget tahu”

    “Ha? Enggak kok, kalau kamu enggak percaya sini, cium aja...” Jawab Horace lantang.

    Satu hal yang selalu kuingat, gadis ini SELALU serius dengan segala yang ia ucapkan.
    Dan kali ini dia ingin membuktikan sesuatu dengan cara yang seharusnya tak patut kulakukan.
    Tapi Oke!! Akupun serius menciumi tubuhnya. Wajar jika aku berani berbuat hal yang tergolong agak Me*** seperti ini, toh sebenarnya tempat ini adalah mimpiku sendiri, jadi aku berhak berbuat sesukaku.

    “Hah… Gue enggak bisa cium bau badan loe. Harusnya gue tahu dari awal”

    Horace tersenyum, kemudian ia membuka lembaran-lembaran buku hijau yang tadi kuambilkan

    “Haha masa sih? Kalau udah tahu tapi kok masih penasaran?”

    Aku hanya melemparkan senyuman pahit.Tak ada rasa malu-malu saat kami berbuat seperti itu. Bukannya karena tidak tahu malu, tapi Horace yang belum mengerti hal-hal mengenai orang dewasa. Pikirannya masih polos layaknya anak kecil, dia belum tahu kalau sebenarnya ada batasan antara kaum laki-laki dan perempuan.

    “Kayaknya makin lama kamu di sini kamu jadi makin suka. Enggak seperti waktu pertama kali kamu kesini, kamu panik dan ketakutan…” Tuturnya benar-benar lembut, dan halus.

    "Ahh enggak juga kok, perasaanmu saja mungkin...."

    Aku lalu kembali ke tempatku duduk tadi melanjutkan bacaan yang tadi sempat terganggu.
    Di tengah tembok perpus terdapat jendela kaca yang besar dan sinar matahari dari luar terbias dan menembus kan cahaya melalui kaca jendela tersebut, sebenarnya ada juga beberapa jendela kecil di sisi-sisi ruangan selain jendela besar yang ada di tengah dan dari jendela-jendela kecil itu kami dapat melihat penduduk desa yang sedang beraktifitas.

    Kulihat lagi sekeliling tempatku berdiri, Horace masih sibuk dengan bacaannya. Pernah aku membandingkan perpustakaan ini dengan sekolahku tentu saja kalah jauh……
    Tempat ini mungkin sekitar limabelas kali lebih besar dari perpustakaan di sekolah yang sederhana dan kurang terawat. Sebenarnya bukan kurang terawat, hanya saja jika ada pelajar yang membaca terkadang mereka tidak perduli dimana tempat mereka mengambil buku yang telah mereka baca, alias jika mereka selesai dengan bacaannya mereka meninggalkan buku itu di tempat, ada juga yang iseng memakan camilan dan menyelipkan bungkus jajanan kedalam sela-sela buku.
    Wajar saja jika pengurus perpustakaan sekolah malas-malasan mengatur tempat tersebut.
    Orang orang yang kurang menghargai buku seperti itu kalah jauh dari gadis yang ada hadapanku ini. Gadis belia ini benar-benar jatuh cinta pada buku, tak perduli buku apapun itu.

    “Gue bingung…. Loe tahu gak sih kenapa gue selalu ketemu loe di sini?”

    Dia tak langsung menjawab, tapi wajahnya menunjukkan tanda kalau dia terkejut.

    “Aril pikir Horace bisa jawab? Horace juga enggak tahu mungkin kita ketemu terus karena takdir, lagian ini udah tiga kali kamu nanya hal kayak gini”

    Lagi-lagi jawaban yang tidak ingin aku dengar…
    Coba saja pikir, aku sudah seminggu berturut-turut datang ke tempat yang sama, suasana yang sama dan juga orang yang sama pula. Bahkan manusia punya batas jika dia mengalami mimpi yang berkelanjutan seperti ini! Rasanya tiap malam aku tidak pernah tidur, karena kegiatanku di malam hari yang seharusnya melepaskan lelah di atas ranjang selalu berakhir dalam mimpi aneh seperti ini.
    Paman Koko sebenarnya sudah menyuruh agar aku ke pskiater tapi aku menolak, menurutku hal seperti ini bukanlah masalah besar yang perlu dituntaskan selagi tidak mengganggu mental dan kejiwaan.

    “Apa Aril bosan di sini? Kamu enggak suka buku ya? Soalnya Horace lihat kamu cuma baca itu-itu aja… Aril enggak pernah coba buka-buka buku yang lain, padahal disini banyak yang bisa kamu baca lho”

    “Gue bukannya bosan disini, gue cuma bingung aja kok bisa aja mimpi ketemu loe terus begini.”

    Aku tidak dapat mengelak saat dia bilang kalau aku tidak suka buku, karena itu memang kenyataan dan benar adanya.

    “Hm… Diluar kelihatannya ramai. Gue rasanya pengen coba keluar sesekali.”

    "...kalau bisa Horace juga mau keluar." Gumamnya.

    Kami berdua sama-sama melihat keluar jendela. Di bawah teriknya matahari banyak orang yang berseliweran melewati jalanan, saat aku melihat keluar aku dapat menebak kalau perpustakaan yang megah ini berada di tengah daerah resident di tengah desa.

    “Ahh... Aril! Coba deh baca buku ini! Yang nulis buku ini salah satu pahlawan di negeri kamu lho.
    Yang nulis buku ini perempuan, tapi Horace lupa namanya.” Kata-kata Horace mengejutkanku.

    “…” Kulihat judul buku itu…… Habis gelap terbitlah terang??

    Tanganku hendak merebut buku tersebut, namun gerakan Horace berhenti ketika ingin menyodorkannya.

    “Eh Ril! Horace…… tiba-tiba ngantuk.”

    Aku kemudian menatap serius ke arahnya ,“Oh loe udah mau tidur? Berarti sebentar lagu gue bangun...”

    Horace kemudian merapikan buku yang masih berantakan di atas meja, dia merapikan rambutnya dan kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja kayu tanpa berkata sepatahkatapun kepadaku.
    Oh ya, ada satu hal yang perlu dijelaskan. Ketika Horace tidur Secara ajaib waktu akan berjalan dengan sangat cepat, kalau dalam DVD player istilahnya di ‘Forward’ sampai ratusan kali.

    Matahari pagi yang seharusnya masih bersinar terang dari timur spontan melonjak cepat menuju ufuk barat membuat hari menjadi gelap hanya cahaya bintang dari langit malam yang menembus jendela besar yang tak bergorden tersebut.
    Tirai-tirai jendela kemudian menutup dengan sendirinya.
    Kini siang telah berganti menjadi malam secara tidak wajar, Horace sudah terlelap diatas meja dengan ratusan tumpukan buku yang dia baca.
    Aku kemudian duduk di atas kursi membiarkan tiap detik terus berjalan.
    Rambut emas Horace memancarkan kilauan dibawah cahaya seadanya yang masuk ke perpustakaan, tangan kirinya masih menggenggam buku yang tadi aku ambilkan.
    Untuk beberapa lama aku sempat termenung sambil melihat wajahnya.
    Sambil memperhatikan wajahnya aku mengingat saat pertama kali bertemu dengannya di perpustakaan ini.
    Kunjungan pertamaku disini membuatku kebingungan. Tak bisa membedakan realita dan fantasi alam bawah sadar, namun saat bertemu dengan Horace di dia memberikan senyuman manis yang menghangatkan. Penampilannya yang serba putih saat pertama kali jumpa membuatku gemetar dia kemudian menyapaku dan memanggil namaku meskipun aku menganggapnya orang asing.
    Kemudian setiap kali aku datang kesini Horace langsung menyuruh aku duduk di atas meja agar kami bisa bicara saling berhadapan.

    “En…?!”

    Aku terkejut, kali ini handphoneku berbunyi dari dalam saku celana, cepat-cepat saja aku rogoh kantung sebelah kanan dan menyambut panggilan masuk itu dengan kata Hallo.

    “…WOI, Loe kok belum kesini?! Udah jam berapa nih!!”

    Teriakan seorang nenek sihir di pagi hari, kepalaku terasa sakit mendengar Eki bicara keras seperti itu, kami memang sudah janjian akan ke pantai pagi ini tapi sayangnya aku belum bangun dari atas kasur.

    “Iya sorry, nanti gue ngebut ke sana kok sabar aja. Emangnya udah jam berapa sih? Disini enggak ada jam gue enggak tahu nih.”

    “Alah loe… pokoknya cepetan ke rumah gw dulu, udah jam lima nih masa di kamar loe enggak ada jam?! Miskin amat loe!!”

    Phew! Berengsek!! Seandainya di perpustakaan ini ada jam! Eki lalu membentakku lagi

    “Udah cepetan, urusan kita kan belum selesai sama tuh anak!! Gue enggak perduli kalau nanti dia bawa gangsternya, yang penting selesein ini dulu! Gue sama Irvina udah nunggu di pantai, loe mendingan buru-buru.”

    “Iya… gue tahu, tapi kok Irvina ikut? ” Tanyaku penasaran.

    Ya…, sebenarnya kemarin siang selepas pulang sekolah ada anak kelas tiga yang sok jagoan menghajar para juniornya tanpa alasan yang jelas, anak itu memang terkenal karena pernah mengalahkan 14 orang sendirian dan menang tanpa lecet sewaktu ada tawuran dengan sekolah lain namun baru pertama kali ini dia bertingkah onar di sekolahnya sendiri.

    na mereka yakin hanya Eki yang dapat mengatasinya, alasannya? Yah, prestasinya dalam beladiri… Judo black belt & Taekwond sabuk merah. Apa? kedengarannya kurang heboh?
    Biar kubocorkan sedikit rahasia. Ayahnya pensiunan anggota wajib militer dan ia pernah menduduki pangkat Letnan genderal Di kemiliteran Australia yang satu angkatan juga dengan NATO, kini dia menghabisi masa tuanya dengan damai. Dan kelihatannya keahlian dan sikapnya itu terwariskan secara batin kepada anaknya.

    Tapi… kenapa? kenapa dia harus membawa kakak perempuannya, dalam hal ini?? Ada yang ganjil di sini…

    “Ehh jangan bengong, Cepetan berangkat!”

    Lagi lagi Eki membentakku. Sebenarnya aku ingin mengambil jalan damai daripada harus berakhir dibenci oleh orang lain cuma gara-gara menjaga gengsi. Jauh dalam lubuk hati sebenarnya aku ingin membantah sikap Eki yang sok kuat, aku ingin bilang padanya bahwa lebih baik kami berbaikan....

    “Cepetan ya gue tunggu, kalau setengah jam lagi loe enggak ke rumah gue, gue urus semuanya sendirian aja daripada nunggu loe yang enggak datang-datang.”

    Eki menutup teleponnya. Pembicaraan singkat kami berakhir di situ.

    “Yang bener aja loe, bisa-bisa ada pertumpahan darah nanti gara-gara loe enggak bisa nahan diri…” Gumamku.

    Memang benar, aku memang ingin melawan sikapnya yang tomboy itu, tapi aku tidak bisa….
    Bukannya tidak berani, hanya saja untuk saat ini aku hanya ingin mengikuti arus kehidupan ini bersama orang-orang yang dekat denganku.

    Tidak lama setelah pembicaraanku dengan Eki selesai, Perpustakaan ini makin gelap. Perlahan tapi pasti tempat ini mulai ditelan oleh kegelapan yang teramat hebat.
    Tiap seluk beluk objek yang ada kini benar-benar lenyap aku bahkan tidak dapat melihat telapan tanganku sendiri. Indra penglihatan sama sekali tak berguna, aku kemudian memejamkan mata, menenangkan hati…
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. WhiteSin M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 31, 2009
    Messages:
    602
    Trophy Points:
    66
    Ratings:
    +127 / -0
    ini ch1 sekaligus prolog, Genrenya. Fantasy, Action,Slice of life.
    Temanya? TIDUR (Soalnya gue kadang-kadang punya masalah ama ritual malas-malasan yang satu ini):sebel:

    :ehem:
    Comment-to-onegaishimasta!:onegai:
     
  4. hentai09 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 15, 2010
    Messages:
    669
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,227 / -0
    kok kayaknya pernah baca y:???:

    pernah d taruh d blog y KK??
     
  5. WhiteSin M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 31, 2009
    Messages:
    602
    Trophy Points:
    66
    Ratings:
    +127 / -0
    IYa sih, tapi di blog jarang ada yang visit, bete juga. Lagian sekalian nambah2in post :haha:
     
  6. hentai09 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 15, 2010
    Messages:
    669
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,227 / -0
    O.. gitu, lain kali deh q mo visit leh g? secara q juga suka bwt crita2 kayk gtu, and genrenya hampir sama, leh g??

    he3 malah OOT
     
  7. blitzy_3rd M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 1, 2008
    Messages:
    729
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +6,411 / -0
    numpang lewat....

    ceritanya keren gan :top:


    ditunggu sambungannya...
     
  8. WhiteSin M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 31, 2009
    Messages:
    602
    Trophy Points:
    66
    Ratings:
    +127 / -0
    [Chapter 2] Flamelight theater

    Terlihat banyak orang sudah keluar dari rumah ingin menghirup udara pagi hari. Di hari yang agak dingin ini masih ada saja orang-orang yang keluar dengan kaus oblong mereka yang tipis. Aku terus tancap gas dengan kecepatan tetap 90km/jam namun masih terus meningkat diatas jalanan ini kuasa mengatur batas kecepatan kendaraanku sendiri berada dalam genggaman tangan, sebenarnya masih ada rasa kantuk yang kutahan sejak bangun, tapi sudahlah aku sudah terlanjur bangun.

    Ini pagi yang merepotkan…
    Biasanya setelah bangun dari kasur aku langsung bersantai di atas sofa hijau di rumah membiarkan kipas angin di ruang tamu menghembuskan udara sejuk ke seluruh tubuh untuk menyegarkan pikiran juga semua anggota badan atau paling tidak aku bisa makan sarapan buatan tangan sambil menonton beberapa film kartun di minggu pagi hari yang tayang tanpa menghiraukan kesibukan sekolah.

    Namun ada pengecualian pada hari ini…
    Kebebasan yang seharusnya bisa kunikmati, hari minggu yang hanya terjadi sekali dalam tujuh hari telah direnggut oleh nenek sihir!!
    Tapi tunggu. Nenek sihir yang kumaksud disini bukanlah penyihir sungguhan, orang yang mengacaukan minggu pagiku hari ini adalah seorang gadis, Eki panggilannya.
    Namun kami ini sudah punya ikatan sejak masih kanak-kanak.

    Childhood friend… itulah istilah orang-orang dalam memanggil sepasang insan yang telah berhubungan lama dari masa kecil sampai dinihari.

    Nama: Mia Fransisca Esaki, Tinggi: 161cm, Berat badan: Tak pernah mau cerita Bertanggal lahir: 9 – Sept, Golongan darah: B Okupasi: Siswi SMA, latihan di Gymnasium.

    Itulah data yang kutahu tentang dia. Kalau soal berat badan dia tak pernah mau cerita entah mengapa. Mungkinkah berat badan menjadi salah satu privasi mutlak bagi wanita?

    Ahh itu bukan urusan penting bagiku…
    Kami sudah janji akan bertemu di komplek perumahan mewah sekitar sini. Sekitar perempatan kedua dari pintu masuk di jalan daerah sebelum pantai utara, namun dia tidak memberikan keterangan yang jelas dimana kami harus bertemu dan hal itu membuatku kebingungan mencari lokasinya ditambah lagi dia meninggalkan ponselnya di rumah tingkahnya yang seperti itu membuatnya jadi sulit dilacak keberadaannya.

    Akhirnya setelah keliling asal-asalan, pusing, pontang-panting DSB aku melihat seorang gadis berambut panjang sedang berdiri di bawah pohon besar, dia berdiri sambil melirak lirik seluruh arah mata angin. Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan, dengan sengaja mengulur waktu kedatanganku. Sebenarnya kesal juga sih, padahal kemarin dia bilang akan menunggu kedatanganku di rumahnya namun ternyata ia sudah berangkat duluan ke sini tanpa menantikanku.

    Harusnya tadi gue pulang ke rumah aja, lagian toh dia juga ninggalin gue tadi, Pikirku

    Tapi setelah dipikir-pikir lagi kasihan juga jika dia harus menghadapi senior itu sendirian.
    Aku bisa mengerti kalau Eki masih kesal atas perlakuan Ferry kemarin, lagipula dari awal memang aku yang salah karena tidak datang tepat waktu sesuai janji, seharusnya sebagai laki-laki hal seperti ini harus dipertanggung jawabkan.

    Dengan hati yang masih agak bimbang kutancapkan gas lagi perlahan…

    “Hai cewek…”

    Aku menggoda sedikit, berharap agar dia bisa senyum barang beberapa detik.
    Hahaha! Aku tertawa geli di depan mukanya. Sayangnya candaanku tidak dapat membuat lekuk mukanya berubah. Terlihat jelas saat ini dia sedang kesal dengan raut muka ditekuk-tekuk seperti dompet yang dimasukkan saku celana belakang.

    “Haha…! Ah… Udahlah jangan ngambek terus! yang penting gue udah datang kan?”

    “Resek loe tahu enggak! Dari jam setengah lima gue tunggu tapi belom juga datang. Ngapain aja sih loe di atas kasur lama-lama?!”

    Aku ingin bilang kalau semalam aku bersenang-senang di dalam perpustakaan bersama perempuan tapi hal itu tak mungkin aku ceritakan karena dia pasti akan menanggapku aneh atau semacamnya. Aku terus meminta maaf sambil senyam-senyum di hadapannya, berharap agar emosinya makin terlarut dengan sikapku yang easygoing

    “Gue tahu ini hari minggu, loe mau tidur-tidur di rumah tapi ya loe juga harus inget lah hari ini hari penting…”

    “Iya maaf! Tapi ngomong-ngomong loe cepet banget bisa sampai sini.
    Loe enggak lari dari rumah sampai sini kan?”

    “Enggak lah. gue juga harus simpan tenaga buat nanti.” Nada suaranya mulai turun
    Simpan tenaga? Ohh Eki sahabatku, jangan bilang kau ingin buat onar disini…
    Aku kemudian tersenyum pahit.

    Eki menyisir rambut panjangnya dengan jari jari tangan sambil menolehkan kepala kearah sisi lain dari tempat kami berdiri. Jalan di daerah perumahan ini sebenarnya ada dua sisi jalan dan kedua sisi jalanan ini mengapit sebuah sungai yang bermuara sampai ke laut pantai. Daerah perumahan ini memang biasa diramaikan oleh orang-orang sekitar untuk lari pagi apalagi di hari minggu seperti ini. Pemandangan rumah-rumahnya yang asri nian juga pepohonan yang rindang dan nyaman memang cocok untuk menghirup oksigen disaat sedang jogging atau olahraga pagi.
    Aku melihat sebuah mobil Range Rover berwarna hitam legam di sisi jalan lain, dua orang di dalam mobil itu terus memperhatikan kami dari kejauhan.

    “Vina tadi gue ajak kesini, Sin yang ngantar pake mobil papa…” Jelasnya

    “Jadi mereka yang antar loe ke sini? …tapi kok mereka masih disini, memangnya mereka mau antar loe pulang lagi?” Tanyaku

    “Ih… Udah datang telat, sekarang banyak tanya lagi, kayak pembantu baru aja.”
    Wew… padahal aku baru melontarkan beberapa pertanyaan.

    Tapi tadi saat ia meneleponku tadi ia bilang akan membawa Irvina.Tak kuduga ternyata Sin juga ikut terlibat disini.

    “…loe udah sarapan belum?”
    Entah angin dari mana Eki tiba-tiba menanyakan sesuatu tentang diriku

    “Gua buru-buru ke sini, mana sempat makan. Sehabis loe nelfon gue langsung ke rumah lu”

    “Ya sarapan dulu kek sedikit juga enggak papa. Daripada nanti loe pulang ke rumah gue terus papa gue nanya-nanya ,‘Eh aril… tadi Eki ngapain aja di pantai? Kok lama banget??’ ”
    Aku hanya bisa menunggu ia selesai berceloteh, tapi pada saat-saat dia meniru kata-kata ayahnya terpancar dari wajahnya ada sedikit kegembiraan hati yang tersimpan dalam ucapan konyolnya

    “Nah terus bokap gue bakal lanjutin kayak gini… ‘Wah kalian makin sering jalan bareng yah? Waduh jangan-jangan sebentar lagi ada calon nih, kalau udah resmi bilang-bilang yah!’ ”

    “Pff…! Hahaha!! ” Aku tertawa lepas

    “Jeeh, malah ketawa. Gue lagi serius nih, papa makin lama makin salah tingkah kalau ngelihat kita sering jalan bareng. Makannya juga gue bawa Sin sama Irvina kesini, buat jadi alibi gue.”
    HeA~ Perbincangan kami mulai lurus. Statement Eki kini mulai membaik ke emosi normal…

    “Tapi lama banget sih tuh orang, biasanya juga lewat sini!”
    Eki tak terlihat tenang, aku bisa menebak kalau dia sudah tak sabar lagi ingin membalas perbuatan senior kami yang bernama Ferry itu. Saat melihat wajah Eki yang penuh dengan rasa kesal bercampur marah aku jadi teringat kejadian kemarin sewaktu mereka berdua berkelahi diluar pekarangan sekolah. Kemarin Eki telah menendang perutnya…
    Pada awalnya Senior kami itu tidak membalas, namun Eki bersikeras ingin terus membuatnya jera sampai dia mau minta maaf kepada teman-teman kami yang telah babak belur dibuatnya. Eki kemudian menghajarnya dengan beberapa jurus lain tapi tetap saja Ferry masih kuat menahan semua serangan. Namun mungkin karena ia juga kesal karena diperlakukan seperti itu lelaki kekar besar itu pada akhirnya membalas dengan cara mendorongnya jatuh ke sebuah selokan dekat sekolah. Baju seragam temanku yang malang ini basah dan dikotori oleh lumpur-lumpur yang bau. Aku yang menyaksikan semua kejadian itu buru-buru menariknya dari tempat yang menjijikkan itu, celana sekolahku juga sampai ikut terendam cairan limbah karena menolongnya. Eki pasti merasa malu besar karena pada saat kejadian itu banyak murid lain termasuk teman-teman sekelas kami yang menyaksikan…

    “Aril, kamu juga datang? Kata Eki kamu enggak bisa datang hari ini makanya tadi kami ninggalin kamu dan langsung kesini.” Tiba-tiba seseorang datang dan menyapa kami dari belakang, tubuhnya tinggi semampai dengan rambut putih perak dan pandangan mata biru gelapnya yang menembus lensa kacamata persegi.

    “Iya nih, tadi gue kesiangan…”

    “Loe ngapain ke sini?? Sana bareng irvina di mobil!” Eki menyela dialog kami.
    Ketika Sin mengahampiri kami, kami menjadi pusat perhatian para pejalan kaki.
    Tiap orang yang berjalan melewati kami pasti memperhatikan Sin.

    “Loe ke mobil aja, orang-orang jadi merhatiin loe tuh.” Ujarku
    Namun pemuda itu tak perduli, ia malah duduk santai di samping Eki.

    “Malas ah, saya juga mau coba bantu kalian. Saya penasaran kayak gimana sih orang yang ingin kalian lawan itu…”

    Eki menolehkan kepala kebawah, rambutnya yang lurus mengikuti gerakan kepalanya.
    Gadis itu kemudian mengatakan sesuatu yang menyakitkan hati seperti ini…

    “Aduh… Loe itu enggak guna tahu enggak, punya badan lemah. Alzheimer pula!
    Numpang di rumah gue cuma jadi beban, jadi Freloader aja kadang-kadang sering kelupaan, teledor, sering melamun, cuma menang muka doang.
    Gue kasih tahu ya, asal loe bisa duduk manis di samping kakak gue juga udah cukup!!”

    Beuh… tega banget loe ngomong kayak gitu!! Ucapku dalam hati.

    Raut wajah Sin berubah murung secara seketika. Eki memang terkadang keterlaluan, tapi rasanya ini berlebihan meskipun secara fakta semua hal itu memang benar adanya…
    Dia memang seorang Teledor, Pelupa, dan sering melamun. Tapi tak seharusnya dia berkata seperti itu secara terang-terangan, apalagi di hadapan umum seperti ini…
    Malang sekali nasibmu Sin…
    Aku kemudian mendekatinya dan membisikkan kata-kata yang kuharap bisa membuatnya tidak merasa terbebani dengan kata-kata pedas yang dia dengar dari mulut nenek sihir ini…

    “Udah, jangan dipikirin. Eki sekarang lagi bener-bener kesal, nanti kalau urusannya udah selesai dia enggak akan ngomong kayak gitu lagi, sabar aja.”
    Pemuda itu sekali lagi menatap kami berdua dan kemudian dia berdiri

    “…mmh, saya mau bantu kak Irvina aja nyiapin senapan-nya.”
    Ia kemudian kembali ke seberang jalanan lagi dengan langkah yang lemas.

    “Haah…HUH, Sebentar… dia bilang apa tadi?? SENAPAN?!”
    Tubuhku jadi merinding…

    “Eki, di dekat sini kan ada kantor polisi…”

    “Terus kenapa?”

    “Ngapain loe bawa senapan?! Gue tahu loe dendam tapi jangan sampai nekat begini!”

    Temanku yang X-treme ini masih terlihat kalem, dia terus mencoba menenangkanku.
    Walaupun aku tahu motto Eki adalah ‘Halalkan segala cara untuk menang’ Tapi ini kelewat batas!

    “Ahh gue pulang ah!!”

    “Ehh mau kemana loe!” Eki cepat-cepat menarik kerah kaus yang sedang kukenakan

    “Loe lupa lawan kita ini Ferry! Dia pernah Tawuran sama SMA tetangga, sewaktu tawuran dia sendirian bisa ngalahin 14 orang tanpa Lecet!!”

    “Tapi loe mau ngebunuh dia. Bisa-bisa gue dipenjara.”
    Aku masih merona-ronta memohon agar aku dilepaskan dari cengkraman Eki yang sesat.

    “Tenang aja! Sini gua kasih tahu sesuatu…”
    Untungnya ia melepaskan tangannya dari kerah bajuku.

    “…jangan khawatir lo enggak akan bernasib kayak paman loe”

    “Eh jangan asal ngomong ya, paman gue difitnah tahu!” Aku tiba-tiba kehilangan kecerdasan emosional yang biasanya terkendali dengan mudah.

    “Iya gue tahu, enggak mungkin paman loe nyelundupin narkoba di dalam tas.
    Tapi dia udah ketangkap basah ngebawa tas berisi barang-barang narkotik.
    Enggak mungkin dia bisa ngelak ke polisi kalau itu bukan barang miliknya.”

    “Kan gue udah bilang, dia enggak mungkin berbuat begitu!”

    Kami berdua saling bertatap mata, pandangan kami sama-sama tajam.
    Selama beberapa lama kami tidak bicara, dan saling memalingkan muka.
    Aku menyadari ada Sejoli yang sedang berjalan mendekati kami, aku tak menghiraukannya. Mungkin mereka hanya akan berjalan melewati kami dan tidak mengacuhkan perselisihan antara aku dan Eki.
    …namun ternyata aku salah.

    “Akhirnya ketemu juga…….”

    ?!, seorang gadis bicara di hadapanku, dia menatapku dengan matanya yang cerah. Rambutnya agak kecoklatan kelihatannya mereka berdua orang asing.

    “Akhirnya setelah empat bulan kita bisa pulang… ya sudah cepat selesaikan tugas kita.”
    Seorang lelaki dengan wajahnya yang bertuliskan ‘Cruel Angel’ berkata sambil memasukkan kedua tangannya di saku jaket.

    “Aril, loe kenal mereka?”

    “Enggak… jangan-jangan mereka kenalan Sin, mungkin mereka kesini nyari dia.”

    “…”

    Eki tak banyak bicara kali ini. Tapi kalau mereka memang kenalan dari Sin, ini adalah kesempatan bagi pemuda berambut perak itu mentuk mengetahui jati dirinya.

    “Hai, nama saya Aril. Kalian ada perlu apa?” Aku bicara seformal mungkin kepada kedua orang asing itu.

    “…” Mereka tak menjawab.

    Trek trek trek…
    Gadis itu kemudian berjalan mengitari tempat dimana aku sedang berdiri… langkah kakinya pelan tapi rasanya suara langkah-langkah tersebut terus berdentang di telinga.

    “Tak salah lagi auranya masih terasa…”

    “Aura? Apa yang dia maksud?”

    Kukira mereka hanya orang aneh yang sedang bercanda namun setelah ia mengenakan sarung tangan yang ia sembunyikan dalam pakaiannya dia berkata…

    “Oke… sekarang kau jangan banyak bergerak. Karena aku akan mem-BAKAR-mu.”

    "...??"

    Secara ajaib sarung tangannya itu mulai diselimuti kobaran api yang teramat panas.
    Saking panasnya hanya dalam beberapa detik keringatku langsung bercucuran melewati pori-pori kulit dan jatuh ke atas tanah. Dan kemudian… aku merasakan sebuah hasrat…entah dari mana itu aku dapat merasakannya… Hasrat yang dahsyat untuk membunuh.
    Diriku dalam bahaya…
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.