1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Info Fanatisme Orang Indonesia terhadap Klub-Klub Eropa: Satu Ilusi Identitas globalisasi

Discussion in 'Soccer' started by blacksheep, Apr 28, 2009.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. blacksheep M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Nov 23, 2008
    Messages:
    4,594
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +25,115 / -0
    Fanatisme Orang Indonesia terhadap Klub-Klub Eropa: Satu Ilusi Identitas globalisasi

    [​IMG]
    Sepakbola adalah salah satu institusi budaya yang besar, seperti pendidikan dan media massa, yang membentukan dan merekatkan identitas nasional si seluruh dunia. Difusi internasional sepakbola pada akhir ke-19 dan awal abad ke-20 terjadi ketika sebagian besar negara di Eropa dan Amerika Latin tengah menegosiasikan batas-batas wilayah dan memformulasikan identitas budaya mereka. Kota-kota besar sedang dibangun, yang kemudian diisi oleh warga-warga kota yang berasal dari pedesaan atau luar negeri. Proses-proses yang menjadi karakteristi modernisasi (industrialisasi, urbanisasi, dan migrasi di mana-mana) membongkar ikatan-ikatan sosial dan budaya yang ada pada masyarakat pedesaan. Negara-negara modern dituntut untuk menemukan cara segar untuk menyatukan orang-orang yang beragam sebagai satu komunitas terbayangkan (imagined community) (Anderson 1983 dalam Giulianotti, 2006:23).

    Satu bahasa yang sama, sistem pendidikan, dan media massa informasi menjadi alat budaya yang vital bagi terciptanya rasa kebangsaan modern (Gellner 1983 dalam Giulianotti 2006). Tiap negara memproduksi “sejarah resmi”, memperingati figur-figur pahlawan yang telah mempertahankan masyarakat mereka dari kekuatan-kekuatan musuh. Secara lebih kuat, budaya populer menyediakan sumber-sumber daya ini dengan komponen-komponen estetis dan ideologis. Peristiwa olah raga, terutama pertandingan sepakbola, menjadi kontributor yang sangat penting. Tim-tim sepakbola dari berbagai bagian negara mungkin merepresentasikan rivalitas lokal, namun dalam kerangka pemersatu sistem liga nasional. Pada level internasional, tim membubuhkan negara modern, tak jarang secara harfiah membungkus dirinya dalam bendera kebangsaan, dan memulai pertandingan dengan satu nyanyian komunal “lagu kebangsaan”. Kuasa teknologi media massa menjamin bahwa tiap sudut negara tersebut dapat ikut menikmati aksi tim (dengan demikian ikut berpartisipasi) dengan menonton televisi atau mendengarkan di radio (Gruneau et al., 1988:273 dalam Giulianotti, 2006:23).

    Nexus modern sepakbola dan bangsa didukung oleh meningkatnya kompleksitas kehidupan sosial dan budaya. Kompleksitas budaya mengacu pada kuantitas informasi (pengetahuan) yang digunakan para aktor dalam keterlibatannya dengan dunia. Kompleksitas sosial mengacu pada interaksi sosial aktor-aktor ini, luasnya posisi sosial mereka, hubungan-hubungan yang mereka bentuk (Archetti 1997b:128 dalam Giulianotti, 2006:24). Menggunakan sumbu-sumbu perubahan ini, kita dapat mengidentifikasi bagaimana sepakbola menjadi lebih kompleks. Secara sosial, level interaksi yang lebih besar tercipta antara para pemain, pendukung, ofisial, dan pelaku-pelaku lain (seperti reporter televisi, politisi, dan sponsor bisnis) dalam satu bangsa mana pun. Lebih jauh lagi, seiring dengan kian mengglobalnya sepakbola, jumlah pelaku sosial dan frekuensi interaksi mereka kian berganda. Batas-batas lama antara lokal, regional, nasional, dan global kerap ditembus dan dirobohkan. Meningkatnya kompleksitas budaya atau hibriditas sepakbola lebih jauh merefleksikan globalisasi. Perbedaan ruang dan waktu kian ditekan (Harvey, 1989). Teknologi memungkinkan sifat informasi sepakbola menjadi global alih-alih nasional. Mobilitas para pemain, reporter, ofisial, suporter, dan yang lebih penting lagi citra-citra sepakbola, secara kolektif menjamin bahwa para individu kini membawa keragaman informasi yang sangat luas ke dalam tindakan bermain atau menonton sepakbola.

    Appadurai (1990) menggunakan istilah flow (aliran) untuk menggambarkan sirkulasi global produk-produk budaya, orang, dan jasa. Aliran global ini beroperasi pada sejumlah “scapes”, misalnya mediascape atau financescape. Kita mungkin dapat menambahkan “soceerscape” untuk mengacu pada bagian-bagian konstituen sirkulasi sepakbola yang bersifat geokultural: pemain dan pelatih, pendukung dan ofisial, barang-barang dan jasa, atau informasi dan artefak.

    Bagaimanakah relasi-relasi sosial dan budaya yang kompleks dalam “soccerscape” ini bergeser dari ‘modern’ dan ‘nasional’ menjadi ‘pascamodern’ dan ‘global’. Itu bisa dilihat dari pembicaraan soal perkembangan historis secara umum yang ada di balik bergantinya kontrol politis dan budaya atas sepakbola, dari Britain (dan dunia lama) ke FIFA (dan dunia baru) (Giulianotti, 2006:24).

    Dalam perkembangan selanjutnya, kelanjutan modernisasi sepakbola secara potensial menghancurkan sentralitas nation-state. Giddens’ (1990:139) metafora menyatakan kekuatan dahsyat modernitas dapat menembus batas-batas, melampaui kontrol pencetus awalnya. Untuk mengeksplorasi kemungkinan ini, Giulianotti, menggunakan istilah pascamodernisme sepakbola dan mengamati kasus-kasus sepakbola pascanasional.

    Inggris mungkin dapat dianggap sebagai ajang terbesar bagi tumbuhnya kontribusi sepakbola dalam konstruksi (dan juga dekonstruksi) identitas kebangsaan. Semua dimulai pada era sepakbola tradisional, yang melibatkan budaya pop kelas pekerja yang berjumlah besar dan berpusat pada sepakbola, konflik kelas mengenai amatirisme, dan kebijakan luar negerio isolasionis. Selanjutnya muncul era awal modernisme pada masa perang, di mana kemerosotan (dari sisi kualitas) sepakbola Inggris masih terlindungi rasa hormat negara-negara lain dan kemenangan-kemenangan internasional yang bersifat sempit. Pada era berikutnya, periode awal pascaperang, sepakbola internasional Inggris memasuki era kemerosotan yang serius—linear dengan menurunnya pengaruh mereka di dunia internasional (di mana putaran final Piala Dunia 1966 dianggap sebagai pengecualian). Kemerosotan ini terjadi dalam waktu yang sangat lama, bersamaan dengan stagnasi ekonomi dan budaya nasional, yang kian terjebak dalam nostalgia kejayaan masa lampau. Baru pada era sepakbola pascamodern ini, Inggris kembali menemukan bentuk kejayaannya. Itu dapat terjadi setelah mereka membukan diri terhadap pengaruh-pengaruh Eropa daratan dan pengaruh dari bangsa lain, meninggalkan kebijakan isolasionis yang dulu mereka anut sebagai wujud upaya mempertahankan identitas kebangsaan Inggris dalam konteks persaingan dengan FIFA, yang notabene dimotori oleh Perancis.

    Hubungan serupa antara sepakbola dan identitas kebangsaan juga dapat terbaca di Jerman, Brasil, Argentina, Cekoslowakia, dan kebanyakan negara lain di dunia ini. Dalam catatan panjang sejarah sepakbola mereka, olah raga ini menjadi alat perekat identitas kebangsaan pada era sepakbola modern (karena tidak semua negara memiliki era sepakbola tradisional seperti Inggris), lalu menjadi sesuatu yang global pada era pascamodern sekarang ini. Era pasca modern di mana sepakbola menjadi begitu global ditandai dengan lunturnya sentimen-sentimen yang bersifat primordialistik yang didasarkan pada identitas wilayah, termasuk identitas kebangsaan.

    Tiap negara memang memiliki fitur-fitur unik dalam sejarah sepakbola dan identitasnya, namun sejarah sepakbola nasional mereka memiliki peran serupa. Pada era trasional, permainan ini mengutamakan amatirisme. Sepakbola biasanya dikontrol oleh elite-urban kelas menengah atau aristokrat, yang mencari pengakuan tertentu atas identitas kebangsaan melalui permainan ini, mengasimilasikan kelompok imigran baru. Minat orang kelas bawah terhadap sepakbola meninggi, membuat mereka jadi kelompok yang dominan di antara penggemar dan pendukung sepakbola.

    Era awal sepakbola modern ditandai profesionalisasi pemain dan meningkatnya jumlah tim-tim kelas pekerja. Kompetisi internasional kian mantap berdiri; gaya-gaya kebangsaan tertentu kian keras berbicara dalam pertandingan-pertandingan internasional yang terlaksana secara teratur. Hegemoni Inggris atas sepakbola pun kian ditekan.

    Era berikutnya dalam sepakbola modern dimulai setelah Perang Dunia II, yang fitur-fiturnya menguat selama 1970 dan 1980-an. Kompetisi antarklub internasional dibentuk, finanscape (alir keuangan) sepakbola meluas menjamin meningkatnya klub-klub kaya. Selain itu, transfer pemain internasional meningkat. Negara-negara yang tadinya mendominasi, seperti Argentina, Inggris, dan Uruguay, mengalami kemerosotan, baik di luar maupun di dalam lapangan.

    Selanjutnya sepakbola memasuki masa pascamodernitas. Deindustrialisasi memutus kelas-kelas pekerja dengan klub-klub pusat kota. Televisi mendominasi keuangan dan administrasi liga-liga sepakbola dan klub-klub anggota mereka. Negara-negara besar mengambil keuntungan dari situasi di mana mereka mampu mendatangkan pemain dari seluruh penjuru dunia, sementara negara-negara kecil menggantungkan hidup mereka dari transfer pemain internasional. Sirkulasi global tenaga kerja dan gagasan mulai menghacurkan tradisi bersepakbola, meningkatkan hibriditas gaya bermain.

    Dengan terjadinya hal-hal tersebut di atas, tidak berarti bahwa tradisi kebangsaan dalam satu kultur sepakbola didestabilisasi oleh pascamodernitas semata. Ketidaksetaraan antara negarta-negara sudah ada sejak era tradisional dna modern, yang dengan begitu meminggirkan kapasitas negara-negara yang lemah untuk memformulasikan identitas nasional melalui permainan ini. Dalam epoch pascamodern, peran sepakbola dalam memperkenalkan identifikasi kebangsaan di Argentina dan Uruguay terancam oleh penjualan pemain ke Eropa. Namun, ketimpangan struktural ini dan ancamannya terhadap ”nation-building” telah ada sejak lama.
    Uruguay dan Argentina bergantung pada Inggris dalam mempelajari permainan ini; hibriditas berperan sentral dalam tradisi sepakbola mereka. Pada awal era sepakbola modern, kesuksesan sepakbola mereka dilukai praktik-praktik tajam yang dilakukan Italia. Pemain-pemain top Amerika Latin menjadi oriundi karena setelah memiliki kewarganegaraan ganda, mereka dapat bermain untuk Italia. Orsi, Monti, dan Gualita (orang Argentina) membela Italia saat negara ini menjuarai Piala Dunia 1934. Pada 1938, saat Italia menjuarai Piala Dunia sekali lagi, Andreolo (Uruguay) menjadi pemain tengah Italia. Pada tahun 1950-an, Italia merekrut ”trio maut” Argentina(Maschio, Angelilo, dan Sivori) dan pemain brilian asal Uruguay, Schiaffino dan Ghiggia. Ketergantungan Uruguay dan Argentina pada pendominasi “Dunia Lama” terus berlanjut: mereka meminjam taktik dari Spanyol dan Italia, sementara para pemain dan manajer mereka terus mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Namun, belum pernah terjadi sepanjang sejarah sepakbola terjadi penjualan yang tertinstusi atas pemain top dan medioker dengan volume sebesar pada era sepakbola pascamodern sekarang ini. Para agen pemain di Amerika Latin mempekerjakan banyak kontak di Eropa untuk melakukan transfer pemain saat si pemain masih muda.
    Komodifikasi menjadi satu kata kunci dalam era sepakbola pascamodern. Semua berawal dari kegagalan Sir Stanley Rous, sebagai representasi dari Dunia Lama sepakbola, membaca perkembangan sepakbola dalam konteks politik dunia. Ia gagal menyikapi ramifikasi politis soccerscape global yang baru. Keyakinan simplistiknya yang menganggap bahwa sepakbola mesti terpisah dari politik mengalienasi sejumlah delegasi negara-negara berkembang. Pendirian naturalistik Rous ini berujung pada kegagalannya menangani isu-isu politik yang sensitif, seperti status politik dan sepakbola Cina, rezim brutal Pinochet di cili, dan sistem aparteid di Afrika Selatan. Akibat kegagalan sepakbola merespons kenyataan ini, kepemimpinan FIFA bergeser dari personel Dunia Lama (Inggris) ke FIFA yang independen, dalam hal ini diwakili oleh sosok Joao Havelange dari Brasil. Havelange-lah yang pertama kali memaksimalkan aktivitas-aktivitas komersial FIFA sebagai imbalan atas meningkatnya keterlibatan dan pengaruh anggota-anggota baru (sebagian besar berasal dari Asia dan Afrika). Upaya Havelange lalu diteruskan penerusnya dari Swiss, Sepp Blatter, pada 1998. Blatter yang meneruskan semua proses komodifikasi yang hingga kini digariskan oleh FIFA. Di bawah Blatter pula, Inggris sebagai sosok penting dunia lama dipaksa untuk melakukan perubahan total pada sisi aturan sepakbolanya demi memenuhi selera konsumen baru alih-alih memuaskan penikmat tradisional sepakbola.
    ”Arsenal Indonesia, The Official Supporter Club in Indonesia”. Itu bunyi tulisan besar di http://www.id-arsenal.com, laman resmi situs Arsenal Indonesia, kelompok pendukung Arsenal, klub asal London, Inggris, yang ada di Indonesia. Para anggota kelompok ini bukan orang London yang kebetulan ada di Indonesia, melainkan para orang Indonesia asli, orang-orang yang lahir dan besar di Indonesia, yang terletak di Asia Tenggara, tapi dalam konteks sepakbola merasa bahwa mereka identik dengan orang London, yang “memiliki” Arsenal.

    Arsenal Indonesia bukan satu-satunya organisasi pendukung tim Eropa. Beberapa organisasi serupa lain terhitung sangat aktif: Milanisti Indonesia, United Indonesia (dulu Indomanutd), Juventini Indonesia, Big Reds, Chelsea Indonesia Supporters Club, dan Interisti Indonesia. Mereka kerap tampil di ruang dengan atribut klub yang mereka dukung dalam berbagai bentuk yang menampilkan identitas mereka sebagai pendukung klub yang bersangkutan.

    Selain membentuk organisasi sebagai wadah berasosiasi dengan individu lain yang merupakan pendukung tim yang sama, para pendukung klub-klub Eropa bisa tampil dalam berbagai ruang publik di media, misalnya di rubrik “Halo OLE!-Mania” di tabloid olah raga Bola. Rubrik ini merupakan bagian dari seksi OLE! Internasional, seksi berita sepak bola internasional, yang sebagian besar isinya adalah soal sepak bola Eropa. Rubrik ini disediakan bagi para pencinta sepakbola Eropa untuk menyampaikan apa pun yang ingin mereka sampaikan berkaitan dengan minat, kesukaan, kecintaan, hingga fanatisme mereka pada klub-klub sepakbola Eropa.

    Wujud kecintaan dan fanatisme yang ditampilkan para pendukung klub-klub sepakbola Eropa ini tak berhenti pada sekadar bergabung dan membentuk organisasi suporter atau menyampaikan pesan melalui media, tapi juga dengan membeli merchandise dan barang-barang yang bisa merepresentasikan identitas mereka sebagai pencinta suatu klub. Barang-barang seperti syal, kaus, hingga psoter, mug, dan patung menjadi komoditas yang akrab bagi para pendukung klub-klub Eropa ini. Cara lain yang tidak kalah mahal adalah pergi ke kota tempat klub itu bermarkas dan menonton secara langsung pertandingan klub yang bersangkutan. Cara ini tentu dapat dikatakan sebagai cara yang amat memerlukan potensi ekonomi yang cukup tinggi.
    http://ardychandra07.blogspot.com/2009/04/fanatisme-orang-indonesia-terhadap-klub.html
     
    Last edited by a moderator: Oct 23, 2009
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Feischmaker M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 28, 2008
    Messages:
    1,489
    Trophy Points:
    161
    Ratings:
    +2,024 / -0
    wooooowwww..... keren, top banged artikelnya

    heh cuma bisa bilang begitu... :haha:

    Jadi menurut TS sendiri, fanatisme terhadap suatu klub sepakbola di Indonesia, tu hal yang salah ato benar-benar saja???
    mengingat pada dasarnya mereka tidak punya identitas/latar belakang yang "kuat" untuk menjadi seorang fanatik
    cuma suka saja, ato bagaimana... aq sendiri g ngerti jalan pikiran para fanatik, terutama alasan mereka untuk menjadi seorang fanatik (saya pake istilah fanatik - tidak sekedar fans). Ato jangan-jangan seperti "true-love"??
    True love doesn't need a reason, so does fanatism... begitu???
     
  4. 0341_Plat_N M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 26, 2008
    Messages:
    1,253
    Trophy Points:
    131
    Ratings:
    +630 / -0
    wah..
    bner..
    fans yg kebanyakan cm bisa lewat TV, Media, dll..
    krn utk langsung melihat klub2 eropa bkanlah hal yg mudah dan murah..
     
  5. shinobi32 M V U

    Offline

    Forza Inter!

    Joined:
    Jul 31, 2008
    Messages:
    18,327
    Trophy Points:
    242
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +72,899 / -10
    [​IMG]
    bukan promosi lho..
     
  6. mastemind05 M V U

    Offline

    Superstar

    Joined:
    May 20, 2008
    Messages:
    10,050
    Trophy Points:
    227
    Ratings:
    +25,733 / -4
    soalnya cuman diolahraga semua orang bisa saling mendukung
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.