1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Fairy's Tale - Short Stories Collection

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Mar 7, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Blance Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 7, 2014
    Messages:
    72
    Trophy Points:
    22
    Ratings:
    +18 / -0
    entah kenapa.. rasanya terharu baca cerpen Arthur ma Cheryl..
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. qwecakue M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Mar 28, 2012
    Messages:
    339
    Trophy Points:
    42
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +64 / -0
    well, saya orang baru sih di sub forum ini, jadi mungkin ada komentar yang kurang pas monggo dibenarkan.

    udah baca beberapa cerpennya nih gan. belum semua sih, tapi cerpennya menarik banget, rasanya bisa menikmati suasana dalam cerita.
    karakternya juga berasa hidup. terharu juga waktu ceritanya sedih.

    nice, ditunggu cerita lainnya.
     
    • Like Like x 1
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Entry Short Story Fiesta - part 1 :gadiskya:

    Badut Kampus

    Genre : Komedi, Stress

    “Jon, bangun Jon!”

    Udin menggoyang-goyang tubuhku layaknya seorang begal hendak merampok. Aku membuka mata, malas. Pandanganku yang masih kabur membuat bayangan Udin terlihat seperti seorang penjinak buaya, atau buayanya.

    “Jonoo!”

    “Berisik, Udin!” Aku balas teriak, seketika membuka mata lebar-lebar dan bangun layaknya orang kerasukan. Setelah bermain Winning Eleven sampai jam tiga pagi, bagiku ini masih terlalu dini untuk bangun tidur.

    “Oi, Jono,”

    “Joni, nyet!” Balasku mengoreksi sambil garuk-garuk pantat. “Ada apa sih, din, pagi-pagi begini?”

    Udin menatapku polos, lugu. “Jon, bangun Jon. Ada hal penting nih.”

    “Apaan?”

    “Gini, Jon,” Udin menghela napas panjang. “Tadi aku mimpi dikejar-kejar T-Rex.”

    ………

    “Din…”

    “Oi,”

    “Sehat?”

    Udin menatapku miris, melongo. Aku balas menatap dengan pandangan mata yang sama, menunggu Udin berbicara sesuatu mengenai kewarasannya yang patut dipertanyakan sebelum aku menelpon rumah sakit jiwa atau polisi pamong praja. Saat kemudian terdengar suara wanita dari kamar sebelah, dia segera menoleh keluar jendela.

    “Eh, dek Maya. Kuliah tho dek?”

    “Iya, Mas Udin. Mas ndak kuliah?”

    “Aku lagi ada proyek. Dosenku bilang ndak masalah kalo aku bolos kuliah demi masa depan.” Jawab Udin, ngawur. Mbak Maya hanya tertawa, dan tertawa makin jadi ketika aku berteriak dari dalam kamar, “Proyek maling tengtop!”

    ………

    Agh, Udin goblok! Membangunkanku pagi-pagi buta untuk hal yang tidak jelas.

    ***​

    Dek Maya, mahasiswi baru yang masih kuliah semester dua di kampus tempat aku dan Udin membuat kerusuhan, merupakan tetangga sebelahku semenjak delapan bulan lalu. Rambutnya yang hitam panjang, plus mata dan wajahnya yang bulat membuat siapapun yang melihatnya pasti terpesona, tak terkecuali Udin.

    Meski secara pribadi, aku sama sekali tak berharap Udin bisa berpacaran dengan dik Maya – aku tak mau gadis itu mengalami trauma dan gangguan psikologis akibat memiliki kekasih berotak bejat.

    “Jon, aku wis memutusken kalo aku mau nembak dek Maya nanti sore.”

    Ah, baru saja kepikiran…

    Udin dengan santainya berceloteh selepas keluar dari kamar mandi – dan tolong jangan tanya apa yang ia lakukan dengan sabun di kamar mandi. Semenjak persediaan air PAM di kosan Udin macet, ia selalu menumpang tidur dan mandi di kosanku. Meski tak masalah bagiku, namun aku amat jengkel dengan kenyataan bahwa persediaan sabunku kini habis tiga kali lebih cepat. Terlebih, aku dibuat kesal dengan erangan yang biasa terdengar saat ia mandi.

    “Dik Maya, uh, pelan-pelan dik.”

    Benar-benar manusia laknat.

    “Kamu temani aku, yo?”

    “Aku ada kuliah, din.”

    “Kamu kuliah?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk, ogah-ogahan.

    “Jon, jangan bohong kamu. Bohong itu dosa. Nanti kalau kamu banyak dosa, kamu masuk neraka.”

    Asem.

    “Si Toar bilang kalau kamu titip absen katanya. Jam kesatu.”

    “Buset? Kamu tahu darimana?”

    “Lah aku juga titip absen ke dia. Jam ketiga.”

    Ah, kampret.

    “Aku yo wis ngerti Jon, kalo jam kesatu kamu ora masuk, sama saja kamu bolos seharian.”

    ………

    Memang seharusnya hari ini aku kuliah, namun karena tugas yang (sengaja) belum terselesaikan, aku berniat untuk titip absen saja kepada teman sekelasku, Toar. Toar setuju dengan syarat aku mau memberikan koleksi file b*kep terbaru milikku padanya sebanyak 8 giga. Aku sih setuju saja, meskipun sebenarnya flashdisk milik Toar terkenal sebagai sarang virus.

    Karenanya, semalaman aku bisa puas bermain Winning Eleven bersama Udin yang sama-sama hobi titip absen. Aku sempat mengingatkan Udin bahwa ia harus kuliah dikarenakan statusnya yang sudah mahasiswa semester dua belas. Udin hanya berkata bahwa hari itu dosen killer yang biasa mengajar teknik beton tidak dapat masuk karena kecelakaan. Kakinya tertimpa palu martil, begitu katanya. Udin menyayangkan palunya yang mahal.

    Pertandingan terakhir yang kuingat adalah antara Juvintis vs AS Rama, yang berakhir dengan kekalahan AS Rama, 4-0. Hal itu membuat Udin galau bukan main karena tim kesayangannya dibantai habis. Selama permainan, ia menyalahkan stik PS miliknya yang rusak. Aku tawarkan untuk diganti dengan stik milikku, tetapi setelahnya ia malah kebobolan 4 gol. Sesaat sebelum pertandingan usai, Udin menyalahkan wasit yang berat sebelah. “Wasit goblok! Wasit goblok!” begitu yang ia teriakan selama injury time. Yah, mirip supporter sepakbola Indonesia. Untunglah mahasiswa sebelah tidak nyambi sebagai menwa, begitu yang kupikirkan.

    “Aku akan membuat pernyataan cintaku ini menjadi pernyataan cinta yang fenomenal, Jon.”

    “Fenomenal gundulmu!” Jawabku. “Memangnya bagaimana caranya? Kalau ditolak, kamu mau terjun bebas dari Gunung Semeru, begitu?”

    “Ya ndak lah, Jon. Kamu, ugh, ini loh, ini mesti otakmu ini.” Jari telunjuk Udin mengacung ke arahku, sambil sesekali geleng-geleng kepala. “Gini nih jadinya kalo kamu makan gorengan tiap hari.”

    Anjrit.

    “Dengarkan dulu, Jon. Jadi rencananya aku mau nembak dia pake kostum panda.”

    “Hoo…”

    “Dik Maya kan suka sekali sama panda, jadi aku mau pakai kostum panda buat satu hari ini. Begitu dia selfie bareng denganku, aku bakal nembak dia didepan umum, gitu Jon. Gimana menurutmu?”

    Gila!

    “Gila!” Ujarku menirukan apa yang pikiranku bilang. Memang, sih, sinyal listrik antara otak dan mulutku ini satu arah, membuat apa yang mulutku keluarkan selalu sama dengan apa yang kupikirkan. Jujur, dalam beberapa momen, hal itu memberiku musibah, contohnya saat aku menyebut dosen teknik ukur tanah sebagai kura-kura ninja.

    “Aku serius loh, Jon. Ini aku wis pinjam kostum panda dari temanku. Nih, lihat,” Udin merogoh isi tasnya yang tebal, yang pada awalnya kukira merupakan seperangkat boneka full body elektrik.

    “Satu set lengkap.”

    Uding mengacungkan sebuah set kostum panda berukuran besar. Badut, begitu yang kupikirkan. Badut panda. Siapapun yang masuk kedalamnya pasti akan merasa kepanasan.

    “Tunggu, din, tunggu.” Kataku kemudian. “Ini tulisan apa, din? Happy Birthday?”

    “Oh ini?” Kata Udin, menunjuk ke arah punggung kostum tersebut yang bertuliskan Happy Birthday. “Iya, jadi temenku itu kerjanya jadi badut sulap di acara ulang tahun anak balita.”

    “Ah, Udin semprul!” Kataku, jengkel sekaligus geli. “Kamu mau nembak cewek atau mau ngucapin selamat ulang tahun?”

    “Habisnya ndak ada lagi, Jon. Cuma ini yang bisa aku dapat. Yo aku mikir ndak apa-apa lah, daripada tulisannya selamat lebaran.”

    ………

    Masuk akal.

    “Ikut ya, Jon. Kita kan teman dari SMA. Aku minta tolong ke siapa lagi, Jon, kalo ndak ke kamu?”

    Idih…

    “Din, bukannya aku nggak mau bantu. Tapi apa rencana ini sudah kamu pikirkan matang-matang? Bagaimana kalau nanti kamu dikejar sekuriti?”

    “Lah, atas dasar apa aku dikejar sekuriti gara-gara pakai kostum panda, Jon?”

    Terorisme.

    Baru saja aku mau bilang pada Udin bahwa ia mungkin dicap sebagai anggota kelompok militan, sebelum kemudian Udin menyela, “Asalkan sekuriti yang jaga itu pak Slamet, aman Jon. Aku wis akrab.Tak kasih Djarum Coklat dua bungkus, beres.”

    Nah, ini nih.

    Udin merupakan salah satu contoh bibit koruptor yang kelak akan merugikan negara puluhan milyar. Ia memiliki bakat alami yang sempurna untuk menjadi salah satunya.

    Secara logika, aku tidak mungkin ikut menemani si gila ini berkeliaran di kampus. Bilamana bukan pak Slamet yang jaga, ia bisa saja berakhir di pengadilan sambil menangis. Jika itu terjadi, kelak akan banyak LSM yang mengutuk sistem peradilan di Indonesia. Pemidanaan kasus Udin kelak akan berakhir dengan gerakan bertajuk “Selamatkan Udin” atau “Koin Untuk Udin”, yang biasanya memenuhi jalur pantura. Entah koinnya digunakan untuk apa.

    Tapi, kurasa semua ini akan jadi menarik.

    Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk ikut. Sebagai rencana cadangan, aku akan pura-pura tidak mengenal si bejat ini bilamana sekuriti memutuskan untuk membawanya ke kantor polisi terdekat.

    ***​

    Tepat beberapa jam kemudian, kami berada di kampus. Dugaanku benar adanya, sekuriti jaga di hari itu bukanlah pak Slamet.

    “Pak Slamet? Cuti, dek.”

    “Cuti?”

    “Iya. Cuti hamil.” Begitu kata salah satu sekuriti jaga – mulai sekarang kita sebut saja sekuriti cadangan.

    Setelah aku bertanya bagaimana caranya pak Slamet bisa hamil, sekuriti cadangan mengklarifikasi bahwa yang hamil itu istrinya, bukan pak Slamet. Maklumlah, manusia bisa khilaf.

    Tetapi yang paling penting sekarang adalah bagaimana caranya Udin bisa memakai kostum panda dan berkeliaran di area kampus tanpa dikira sebagai teroris. Aku sempat bernegosiasi dengan sekuriti cadangan, bilang dengan jujur bahwa Udin berniat menyatakan cinta pada temannya dan membuat kisah cintanya menjadi fenomenal. Sayangnya, meskipun aku dan Udin sudah menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa, satpam khilaf ini tidak memberi kami ijin. Selain ragu dengan keaslian Kartu Tanda Mahasiswa milik Udin, beliau juga mengaku takut kecolongan, karena ternyata, permintaan serupa pernah terjadi dua tahun lalu dan berakhir dengan tawuran massal antar jurusan. Bagaimana caranya? Entahlah. Satpam khilaf ini hanya bilang bahwa nasi sudah menjadi bubur.

    “Tuh, din, sekarang bagaimana caranya kamu membuat kisah yang fenomenal?” Tanyaku padanya di kantin bu Wiwit yang terkenal dengan masakannya yang lezat, juga pemiliknya yang galak. Udin sempat keberatan berkeliaran di kantin ini karena ia masih memiliki hutang tiga puluh ribu pada bu Wiwit. Meski demikian, aku berhasil memaksanya setelah mengancam akan membocorkan rahasianya pada Maya, bahwa ia selalu berfantasi tentang Maya setiap kali menggunakan kamar mandi.

    Udin, di lain pihak, tampak stress berat. Rencananya untuk membuat hari paling bersejarah baginya gagal total setelah Pak Slamet hamil - maksudku, istri pak Slamet.

    Ia tampak memutar otak, keringat mengucur dari keningnya.

    “Din, lu sehat?”

    Udin tidak menjawab, masih kacau balau, kini memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Saat aku kembali memanggilnya, ia menampik tanganku. “Jon, sori, aku butuh konsentrasi iki.”

    Ajaib.

    Makhluk gagal yang satu ini bisa berkonsentrasi juga.

    “Din, kalau kebanyakan mikir nanti tambah lapar, lo.” Kataku lagi, seraya menyarankan Udin untuk menembak Maya dengan cara biasa saja.

    Tetapi bukan Udin namanya bila ia langsung menyerah dalam percobaan pertama. Alih-alih tipikal orang yang mudah menyerah, Udin boleh dibilang manusia nekad.

    Aku ingat bagaimana ketika kami masih SMA dulu, aku dan teman-temanku menjahilinya saat acara persami. Kami menyembunyikan celana Udin saat ia buang air, membuatnya kelabakan selama setengah jam tanpa celana. Dan bukannya menyerah, Udin malah bilang bahwa ia akan mencari celananya bahkan sampai malam sekalipun. Setelah satu jam bugil di sepanjang aliran sungai, kami akhirnya tak tega juga. Kusimpan celana Udin di semak-semak dekat tempatnya mencari. Saat menemukannya, Udin tampak begitu girang. Begitu girangnya sampai-sampai ia melempar-lempar celana tersebut ke udara sebagai bentuk kepuasan. Pada lemparan yang ketiga, celana itu menyangkut di dahan pohon. Kami harus menggunakan galah bambu untuk meraih celananya kembali.

    “Kamu nggak ngerti Jon.” Jawab Udin, galau. “Kalau aku nembak kayak biasa, kemungkinan buat aku ditolak lebih besar. Korelasi antara nembak cewek dengan cara umum dibandingkan dengan cara yang kelak akan diingat seumur hidup itu berbeda jauh, Jon.”

    Sableng.

    Udin benar-benar sudah tidak waras. Ia yang selalu gagal paham soal pelajaran teknik beton sekarang malah menjadi ahli dalam analisis asmara. Bukan tidak mungkin bila kelak ia akan membuat skripsi dengan judul “Analisis penggunaan kostum badut pada berhasilnya sebuah pernyataan cinta.”

    Sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba dari arah belakang, sebuah tepukan menepi di pundakku. Aku menoleh, berbalik dengan wajah kalem, berharap bahwa yang menepuk pundakku merupakan seorang gadis mahasiswa baru yang tak tahu arah dan berusaha bertanya.

    Saat aku menyadari bahwa yang menepuk pundakku adalah Pak Surya, jantungku serasa mau copot.

    “Joni!”

    “Eh, si…siang Pak Suryo, eh, maksud saya, Roy Suryo, eh, bukan!!”

    “Kamu titip absen lagi ya!”

    Waduh!

    Si Roy Suryo ini tanpa basa basi langsung menarikku ke inti permasalahan, membuatku gelagapan. Tatapan mata Elang beliau membuatku yang sedari tadi berasa seperti Hercules, kini merasa seperti ayam sableng. Mataku berkelit kesana kesini, mencoba mencari bantuan. Aku tak bisa berharap bantuan Udin. Bukan karena ia sedang sibuk galau, melainkan karena memang pada dasarnya, Udin tidak bisa diandalkan. Buktinya, saat aku terjepit seperti ini, mulutnya masih komat-kamit menyebut nama seseorang.

    “Dek Maya, dek Maya, aku cinta sama kamu…”

    Beruntung sesaat kemudian, salah satu temanku lewat. Indra, mahasiswa tukang demo yang sama-sama hobi titip absen untuk alasan berbeda.

    “Pak, coba tanya Indra, tuh! Aku tadi bolos ato nggak.”

    Pak Surya menoleh ke arah Indra yang berpenampilan urakan. Tampaknya ia baru selesai demo di DPRD.

    “Indra!” Sahut pak Surya. Indra menoleh.

    “Kamu tahu nggak, tadi Joni bolos atau nggak.”

    “Nggak tahu, pak. Saya titip absen, tadi.”

    Ah, goblok!

    Pernyataan jenius dari Indra lantas membuat target Pak Surya berubah. Alih-alih menegurku, kini Pak Surya sibuk mengurus Indra. Indra yang seorang aktivis tentu tidak tinggal diam dan terlibat pembicaraan seru dengan pak Surya. Meski keduanya kini berdebat seru soal lebih penting kuliah atau demo, bagiku obrolan keduanya lebih mirip dengan sebuah debat antara “Mana yang lebih dulu keluar, telur atau ayam?”

    Setelah sekitar tiga menit menonton keduanya, aku baru sadar bahwa Udin tiba-tiba menghilang, meninggalkan piring kotor dan soto babat yang belum dibayar. Aku segera kabur sebelum bu Wiwit berteriak dari balik dapur. Tepat saat aku tiba diluar area kantin, terdengar suara ribut-ribut. “Iki siopo sing mangan ora mbayar?! Tak sumpahi motor’e mledak!

    Maksudnya, yang makan tanpa membayar tadi itu, disumpahi motornya meledak. Sayangnya aku tidak punya motor.

    Setelah beberapa saat kabur, kembali seseorang menepuk pundakku. Kali ini sentuhannya begitu lembut, sehingga aku yakin bahwa kali ini yang menyentuhku adalah seorang gadis cantik.

    Saat aku berbalik, aku kembali terkejut. Yang menepuk pundakku kali ini adalah sesosok…panda!

    “Anjrit, Udin!” Teriakku. “Lu ngapain, nyet?”

    Udin tak bisa bicara – ia mungkin bicara dari balik kostum panda miliknya, namun aku tak bisa berbicara bahsa panda.

    “Mmfhh…Mfaffh…”

    “Din, lu ngomong apaan?”

    “Mffhh! Mffuuufh!!!”

    “Haah?”

    Sedang asyik-asyiknya belajar bahasa panda, dua orang satpam kampus – salah satunya sang satpam khilaf – tampak berlari dari ujung gedung. “Woi, itu! kejar!” Teriaknya. Seketika Udin berlari, diikuti kedua satpam yang bernapas ngos-ngosan. Aku melihatnya dengan pandangan miris. Beberapa mahasiswa yang ikut melihat juga seolah tak percaya dengan apa yang ada dihadapan mereka.

    Salah satu yang melihat adegan itu tak lain adalah dek Maya, yang sama-sama tercengang dengan pemandangan tersebut. Segera saja aku menghampirinya.

    “Dek Maya,”

    “Eh, Mas Joni. Ini ada acara apa tho, mas? Kok ada panda segala?”

    Ugh, bagaimana aku mengatakannya ya?

    Aku sempat memutar otak, bingung antara memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi atau tidak. Tak lama kemudian, seorang pria berparas tampan datang tiba-tiba, merangkul pundak dek Maya.

    “Sayang, kenapa? Kok kayak yang bingung begitu?”

    ………

    Sayang?

    “Itu loh say,” Jawab dek Maya, kalem. “Tadi ada panda dikejar-kejar satpam.”

    “Masa sih?” Sang pria yang bertubuh atletis tersebut bertanya balik, keheranan. Dek Maya tidak menjawab. Alih-alih, ia mengenalkanku pada sang pria.

    “Kenalin, Mas Joni. Ini pacarku, Andi.” Kata Maya, senang. Aku menjulurkan tangan, tersenyum sebisaku. Sang pria dengan ramah menyambut uluran tanganku.

    “Andi. Teknik Mesin 2011.” Ujarnya kalem. Aku hanya bisa mengangguk-angguk tanpa menyebut statusku yang mahasiswa angkatan 2009.

    Dek Maya lantas pamit, pergi bersama pacarnya yang level ketampanannya jauh melebihi Udin.

    Kini aku bingung, bagaimana memberitahu Udin tentang situasi ini.

    ………

    Ah, tapi tampaknya aku tak perlu repot-repot memberitahunya sekarang.

    Karena di kejauhan, tampak seekor panda yang meronta-ronta sedang digiring dua orang satpam.

    original link
     
    • Like Like x 1
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Niatnya mau diikutin di event kuskus, setelah sadar kalo pake unsur mobil malah jelek jadinya :gadisomg:

    calon dicabe btw :gadisnangis: dibuat setelah sekian lama gak nulis drama :gadisomg:

    Time
    Genre : Romance, Drama, Slice of Life

    Mengambil sekop kecil, aku baru akan membersihkan salju di depan toko ini saat seorang gadis berambut panjang berdiri tepat didepanku. Merapikan mantel, aku menoleh.

    “Anu…”

    “Hm?”

    Gadis itu tampak kikuk. Ia seolah ingin mengatakan satu hal sebelum berhenti untuk suatu alasan. Aku menatap sang gadis dengan wajah malas.

    “Apakah ini…apakah disini…”

    “Apakah kau mau melamar pekerjaan, nona?”

    “Y…ya! Mohon bantuannya!”

    Ah…

    Gadis yang aneh.

    Aku bisa menebak isi pikirannya, tentu. Terutama setelah matanya menoleh ke papan iklan yang bertuliskan “Help Wanted” di sisi kiri pintu masuk, menempel di kaca jendela.

    Papan iklan itu kutempel tiga hari lalu, dan hingga hari ini belum ada satupun pelamar yang datang. Hal ini menjadikan sang gadis sebagai pelamar pertama.

    Tetapi, mendapat pelamar yang kikuk seperti ini sebagai pelamar pertama, rasanya menyebalkan juga. Maksudku, dengan sikapnya seperti itu, apakah ia bisa melakukan pekerjaan sesuai standar yang kubuat?

    “Kau membawa surat lamarannya?”

    Gadis itu menjawab panik, setengah berteriak. “Te…tentu, tuan!”

    “Ikutlah denganku.”

    Wajah sang gadis kini tampak tersenyum lega. Aku mempersilakannya masuk ke tokoku dan membawanya ke kantor belakang.

    “Apakah pemiliknya ada?”

    “…aku pemiliknya, nona.”

    “Eeh?”

    Ugh, tak usah kaget begitu.

    Maksudknu, rata-rata para pengunjung pasti terkejut saat mengetahui bahwa akulah pemilik toko barang antik ini. Yah, ayahku yang merupakan pemilik sebelumnya meninggal beberapa tahun lalu, dan aku yang masih begitu muda pun dibebani tanggung jawab untuk mengurus toko warisan ayah.

    Meski demikian, aku tak menyesal.

    Karena aku mendapat cinta pertamaku ketika mengelola toko ini.

    “Siapa namamu, nona?”

    “Ah, namaku…”

    ***

    “Namaku Eve. Salam kenal.”

    Eve, huh?

    Nama yang lucu untuk sebuah Beta-C. Meski demikian, aku menyukainya.

    Kota tempat kami tinggal, Eira Town, merupakan sebuah kota kecil di pegunungan Kaukasus. Tak banyak orang yang tahu tentang keberadaan kota ini. Selain karena letak Eira Town yang selalu terhalang kabut dan salju sepanjang tahun, kota ini juga tak tercatat dalam peta resmi pemerintah. Hal ini menjadikan Eira Town hampir-hampir merupakan mitos belaka.

    Ada alasan tersendiri mengapa Eira Town tak tercatat dalam peta. Kota ini memiliki banyak keunikan yang membuatnya jauh berbeda dengan kota-kota lain di dunia. Satu yang paling membuatnya berbeda adalah bahwa Eira Town memiliki banyak sekali sosok robot berwujud manusia.

    Mmn. Saat kota-kota lain di dunia berlomba-lomba mempekerjakan manusia, era robot sudah dimulai di Eira Town.

    Android, begitulah cara kami – penduduk Eira Town – menamai sosok robot tersebut.

    Dibuat di pabrik robot, sosok android dibuat untuk memudahkan kehidupan masyarakat Eira. Para android ini rata-rata dipekerjakan sebagai pelayan, juru masak, dan bahkan sebagai pengawal pribadi. Imajinasi masyarakat Eira yang tinggi membuat sosok android hampir menyerupai manusia pada umumnya, bahkan memiliki emosi layaknya manusia biasa. Mereka bisa marah, sedih, hingga menangis. Hanya ada satu, dua hal yang membedakan android dengan manusia, diantaranya adalah bahwa android memiliki antenna pemancar di telinganya – yang tampak jelas dengan mata telanjang. Plus, rata-rata umur android juga pendek, hanya sekitar dua sampai delapan tahun, tergantung dari peranan yang dimainkan sang android.

    Android dikenal sebagai pekerja cekatan yang tak perlu dibayar. Karenanya, hampir semua masyarakat Eira memiliki android.

    Aku sendiri bukanlah pengecualian, tentu. Lima tahun lalu, sesaat setelah ayah meninggal dan mewariskan toko barang antik miliknya padaku, aku membeli sebuah android type Beta-C bernama Eve.

    Bukan tanpa pertimbangan aku membelinya. Tentu, di usiaku yang masih tujuh belas kala itu, aku tak bisa menjalankan bisnisku seorang diri – terlebih dengan banyaknya pesaing yang muncul dan pengalamanku yang masih minim. Keputusan untuk mempekerjakan android lebih didasarkan pada pertimbangan biaya, karena dengan mempekerjakan android, aku bisa menekan beban gaji karyawan.

    Android type Beta-C merupakan sebuah android yang populer pada masanya. Sebagai sesosok android, Eve benar-benar seorang dewi penolong. Pekerjaannya selalu sempurna. Ia hampir tidak pernah melakukan kesalahan dan cepat mengerti ketika aku mengajarinya berbagai hal. Karena bantuannyalah, aku bisa menjalankan bisnisku dengan lancar.

    Hubungan atasan-bawahan yang dimulai saat kami bertemu, perlahan berubah menjadi hubungan rekan kerja, yang berlanjut ke pertemanan yang intim. Dan saat aku menolak melepas Eve yang memelukku erat ketika kami berjalan-jalan di malam hari, aku sadar bahwa aku telah memiliki perasaan yang jauh daripada seorang teman padanya.

    “Kyle, apakah kau mencintaiku?”

    Itu yang Eve katakan di suatu sore. Aku baru akan mengangguk saat teringat bahwa Eve hanyalah sesosok android.

    Karenanya, aku membatasi hubunganku dengan Eve. Meski demikian, kurasa perasaan Eve tak berubah. Ia tetap menyukaiku meskipun aku hanya menganggapnya teman.

    Empat tahun kami menjalani kehidupan bersama.

    Empat tahun yang bagaikan keabadian.

    Empat tahun yang menyenangkan, menjalankan bisnis bersama rekan kerja terbaik yang pernah kau miliki.

    Bagaimanapun, sebagai android, umur Eve sendiri sudah ditentukan sejak awal ia diciptakan. Android jenis Beta-C memiliki usia stabil empat tahun. Lebih dari itu, fungsinya akan menurun, dan ia akan benar-benar tak berfungsi lagi di tahun kelima.

    Karenanya, dalam setahun terakhir, perasaanku pun berubah.

    ***​

    “…kau akan mengirimku ke pusat daur ulang?”

    Matahari di pagi itu bersinar redup. Eve baru akan mengepel lantai saat kuberitahu bahwa aku berniat mengirimnya ke pusat daur ulang. Ada semacam perasaan berat saat aku mengangguk perlahan. Meski demikian, keputusan ini sudah kupikirkan matang-matang.

    “Maafkan aku, Eve.”

    Eve menundukkan kepalanya. Raut wajahnya berubah sedih campur kecewa. Saat aku kembali meminta maaf, Eve tampak tersenyum kecil.

    Di usianya yang hampir mencapai lima tahun, Eve mulai sering melakukan berbagai kesalahan. Hal-hal kecil yang biasa pekerja manusia hindari menjadi sangat sering ia lakukan, mulai dari terpeleset, memecahkan guci antik berusia ratusan tahun, hingga hal-hal lain yang membuat toko milikku rugi.

    Aku tak menyalahkannya, tentu. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan Eve kuanggap sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi. Untuk tiga bulan terakhir, aku bahkan sudah meminta Eve untuk tidak melakukan apapun.

    Namun Eve menolak. Sebagai android, ia diprogram untuk bekerja, dan ikatan emosionalnya yang ia buat denganku selama empat tahun lebih membuatnya merasa bahwa ia kehilangan eksistensinya saat berdiam diri. Keinginannya yang kuat, dihadapkan dengan pendirianku yang teguh, membuat kami berdua sama-sama tak mau mengalah, hingga semua ini akhirnya mengarah pada konflik-konflik kecil. Semua konflik itu tentu menimbulkan perasaan kesal yang kian lama kian memuncak. Ibarat butiran salju yang turun, namun tak meleleh.

    Meski demikian, ada satu hal yang paling berpengaruh dalam keputusanku ini – peristiwa yang kualami satu minggu sebelumnya.

    Eve tanpa sengaja merusak beberapa bagian mobil antik peninggalan leluhurku yang diwariskan turun temurun. Aku mungkin bisa menerima berbagai kesalahan Eve, namun merusak mobil antik itu adalah pengecualian. Maksudku, selama ini aku begitu menjaga mobil bermerek Rolls & Rocye tahun 30-an tersebut dengan sebaik mungkin. Dan meskipun banyak orang yang memiliki minat terhadap mobil itu, aku tak menjualnya sama sekali.

    Dan tiba-tiba saja, saat aku membuka mata di pagi hari, mobil itu sudah rusak. Ada beberapa bagian yang penyok, juga kaca mobil yang retak. Bagaimana Eve melakukannya? Hanya Tuhan yang tahu. Eve hanya bilang bahwa ia ingin membersihkan mobil tersebut, karena ia tahu aku amat menyukainya.

    Mobil itu amat berarti. Bukan hanya bagiku, namun bagi leluhurku dan mungkin keturunanku kelak. Aku amat mencintai mobil itu, bahkan mungkin melebihi kecintaanku pada Eve.

    Kesalahan itu, ditambah kekesalanku pada Eve, membuatku memutuskan untuk mengirim Eve kembali ke pusat daur ulang. Meski sebetulnya Eve masih memiliki sisa waktu pakai sekitar tiga bulan lagi, aku sudah tak mau lagi mempekerjakannya.

    Tidak semenjak Rolls & Rocye itu rusak.

    Tentu ini merupakan keputusan berat. Meski demikian, aku tak boleh ragu. Logika haruslah lebih bermain dalam kehidupan dibandingkan emosi, begitu juga dalam keputusan yang kuambil kali ini. Jika aku tetap mempekerjakan Eve, semua kebencian ini akan terus memuncak.

    Aku harus melakukannya meski hal ini menyakiti perasaan Eve. Ia hanyalah android. Ia hanya gulungan kabel dan computer yang dibalut kulit sintetis. Kuucapkan hal itu berulang-ulang dalam hati.

    ………

    Eve masih menundukkan kepalanya, tersenyum kecil. Matanya tampak berbinar. Beberapa tetes air mulai jatuh keatas lantai yang belum selesai ia pel.

    “Eve?”

    Eve tersenyum singkat.

    “Kapan petugas daur ulang akan datang, Kyle?”

    “…besok pagi.”

    Eve tak menjawab, dan hanya terus menundukkan kepalanya.

    “Aku akan mengantarmu hingga tiba di pusat daur ulang, Eve.”

    Eve perlahan mengangguk.

    “Aku mengerti, Kyle.”

    Menyeka air matanya perlahan, Eve tersenyum sebisa mungkin.

    “Kyle, maafkan aku yang tak bisa berbuat banyak. Selama ini aku hanya menjadi beban untukmu.”

    “Tidak, itu…”

    Eve menggeleng, membuatku berhenti bicara dan tersadar akan satu hal : Aku tak berhak mengatakan apapun untuk menghiburnya.

    Maksudku, aku menolak keberadaan Eve. Aku yang sudah memutuskan untuk menyakiti perasaannya. Karenanya, kata-kata apapun yang kukeluarkan untuk menghiburnya hanya akan tampak sebagai kebohongan.

    Dan aku tak bisa berbohong lagi.

    “Aku sungguh minta maaf…”

    Eve menggenggam lengan bajuku perlahan, dan membenamkan wajahnya di dadaku. Setelah memelukku untuk sesaat, Eve melepaskan dirinya dan menatapku dengan wajah penuh senyum.

    “Malam ini…”

    “Ya?”

    “Kyle, bolehkan bila malam ini aku memasak makanan kesukaanmu?”

    ***​

    Dua bulan berlalu semenjak kepergian Eve.

    Perpisahanku dengan Eve boleh dibilang setengah hati. Aku masih ingat bagaimana raut wajahnya saat terakhir kali aku melihatnya. Dua orang petugas menggandeng Eve menuju gerbang masuk biro daur ulang. Sesaat sebelum portal tertutup, Eve menoleh padaku, sedih.

    Aku hanya bisa melambaikan tangan, dan Eve tetap murung. Hingga portal itu tertutup, Eve masih tetap melihatku seolah berharap aku membatalkan keputusanku.

    Aku tidak melakukannya.

    Tentu, jika bisa, aku ingin memanggilnya kembali dan membawanya pulang ke toko – ke tempat yang selama ini merupakan rumah bagi Eve. Tetapi apa yang akan terjadi bila aku memanggil Eve kembali mungkin akan lebih membuatku menyesal.

    Ah, andai saja kami bisa saling melepas satu sama lain degan senyuman, tentu semuanya akan menjadi lebih indah.

    Semenjak kehilangan Eve, aku menjadi lebih sibuk dari biasanya. Meski demikian, keadaan di tokoku kembali normal. Beberapa pelanggan kembali datang – beberapa senang dengan kenyataan bahwa Eve telah tiada, dan seharusnya aku ikut merasa lega saat para pelanggan itu mengatakannya. Meski demikian, aku merasa amat tidak nyaman dengan percakapan itu. Ada sebuah perasaan yang membuatku muak mendengar kepuasan pelanggan tentang kepergian Eve, dan kurasa aku tahu perasaan apa itu.

    Sebuah perasaan bersalah.

    Maksudku, jika aku ada di posisi Eve, bukankah aku juga akan merasa amat kecewa dan kehilangan?

    ***​

    Hari demi hari terus kulalui, dan aku mulai terbiasa hidup tanpa kehadiran Eve.

    Sampai di suatu siang, aku berpapasan dengan sesosok android yang amat mirip dengan Eve di depan De’Lau Café – sebuah kedai yang berada tepat disamping toko barang antik milikku.

    Sosok android itu begitu mirip dengan Eve, hingga untuk sesaat aku mengira ia benar-benar dirinya.

    Mata kami bertemu. Android itu pun melongo menatapku seolah bertanya-tanya siapa diriku.

    Ah, tentu. Eve sudah kembali ke biro daur ulang. Ia tak mungkin mengenaliku setelah mengalami pemrograman ulang. Meski demikian, aku amat senang bisa bertemu dengannya.

    Setelah melempar senyum untuk sesaat, aku kembali berjalan.

    Di saat itulah kemudian, suara sang robot terdengar dari balik punggungku.

    “Kyle…”

    ………

    “Ini aku, Eve.”

    …Eve.

    Jadi android itu benar-benar Eve.

    “Kau masih ingat aku?”

    Sial…

    Sial!!

    Saat aku bisa melupakannya, mengapa ia tiba-tiba kembali muncul?

    “Maafkan aku karena muncul secara tiba-tiba, Kyle. Tetapi aku…”

    Eve menghentikan kata-katanya. Suaranya terdengar sedih saat meneruskan perkataannya.

    “…aku merindukan tempat ini, Kyle.”

    ………

    “Dan aku juga merindukanmu.”

    Kedua telapak tanganku mengepal tanpa kuadari. Menoleh kebelakang, aku bisa melihat sosok Eve dengan jelas. Ia menampakkan senyumnya yang melankolis, yang berharap agar aku menerima permintaannya atau mungkin sekedar balas menyapanya.

    Di lain pihak, aku menatapnya penuh kekesalan, membuat raut wajah Eve berubah murung. Setelah menatapnya gusar untuk beberapa saat, aku berbalik dan meneruskan langkahku.

    “Kyle, tunggu!”

    Aku tak peduli.

    Aku pura-pura tak mendengarnya dan terus melangkah.

    Eve mengejarku, tentu. Namun kini, kondisi Eve tampak makin tidak stabil. Ia bahkan tak bisa berlari, dan jatuh setelah beberapa langkah mengejarku.

    Untuk sesaat aku menoleh. Eve tampak berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan kembali mengejarku. Terbesit keinginan untuk menolongnya bangun, namun segera kubuang keinginan itu jauh-jauh.

    Akh, android itu…

    Bagaimana bisa android itu berada disini? Bukankah ia seharusnya ada di pusat daur ulang?

    ………

    Eve…

    ***​

    Jika android memiliki perasaan layaknya manusia, apakah tindakanku untuk meninggalkan Eve bisa dibenarkan?

    Pertanyaan itu kerap muncul di benakku, setiap waktu.

    Apalagi kini sosok Eve sering terlihat berdiri mematung di depan De’Lau café, dan sesekali berjalan perlahan di depan toko milikku. Ia seringkali menatap seisi toko, tersenyum, menangis. Aku tak bisa mengusirnya dan hanya bisa mengabaikannya. Saat malam tiba, Eve akan pergi ke sebuah lorong diantara toko milikku dan De’Lau Café. Ia akan duduk disana untuk semalam suntuk, memejamkan matanya sambil memeluk lutut.

    Dan meski aku terus mengabaikannya, Eve tetap memanggilku…

    Tersenyum padaku…

    ………

    Aku tak tinggal diam, tentu. Semenjak hari pertama Eve kembali muncul, aku sudah menghubungi biro daur ulang dan bilang bahwa salah satu android mereka berhasil kabur. Kuminta mereka untuk melacak chip yang tertanam di tubuh Eve, bahkan hingga meminta mereka datang ke tempatku dan melihatnya sendiri bagaimana Eve berkeliaran di kota.

    Meski demikian, biro daur ulang terus menegaskan bahwa tak ada satupun android yang lepas dari pengawasan mereka.

    Dan hal itu terus terjadi berulang kali, hingga aku menyerah dibuatnya.

    Kemudian, di suatu malam, aku baru saja akan pergi keluar toko untuk membeli sesuatu. Eve masih berdiri disana, tersenyum.

    “Kyle…”

    Suaranya terdengar pilu. Meski demikian aku hanya melirik padanya sesaat, sebelum membuang muka.

    “…aku takkan berada disini lagi esok lusa. Besok akan jadi hari terakhirku, kau tahu?”

    Sesaat setelah mendengar suaranya kembali, aku berhenti melangkah. Sebuah ingatan akan masa pakai Eve mendadak muncul di benakku.

    “Aku hanya punya waktu hingga esok malam untuk ada disini. Setelahnya, seluruh sistemku akan mati secara permanen.”

    Ya, benar.

    Umur Eve hanya tersisa tiga bulan dari semenjak aku meninggalkannya. Aku tak tahu jika tiga bulan itu berlalu begitu cepat.

    “Aku amat berharap bisa menghabiskan sisa waktuku bersamamu. Aku benar-benar ingin bersamamu hingga akhir, bahkan hingga meminta petugas biro daur ulang agar mengizinkanku pergi menemuimu.”

    Ah…

    Jadi begitu.

    Hal itu menjelaskan mengapa biro daur ulang tak pernah mengakui bahwa Eve berada di kota – mereka sendiri yang mengizinkan keberadaan Eve di kota ini.

    “Maafkan aku karena telah membuat semua kekacauan ini, Kyle.”

    “…kenapa?”

    Terdengar suara Eve, terkejut. Aku sendiri pun dibuat terkejut oleh sepatah kata yang terucap tanpa kusadari.

    “Kenapa kau bersikeras melakukan semua ini, Eve?”

    Menoleh ke arah Eve, ia menatapku dengan sebuah senyum sayu.

    “Bahkan saat aku membencimu, kenapa perasaanmu padaku tak berubah?”

    “Aku tak pernah bilang bahwa perasaanku padaku tak berubah, Kyle.” Jawab Eve perlahan. Kakinya mulai melangkah ke arahku, namun aku tak menghentikannya. Ia menatapku dengan sebuah senyum lepas saat kami berdiri berhadap-hadapan.

    “Kau berhenti bersikap baik padaku, dan aku mulai membencimu. Tapi kau tahu? Aku membencimu karena aku terus berharap bahwa suatu hari nanti kau akan kembali menyapaku seperti ini, Kyle – selalu berharap, setiap hari, selalu.”

    “………”

    “Aku tahu aku bersikap egois, tapi aku tak bisa melakukan apapun dengan perasaan ini. Bahkan meskipun aku amat membencimu, aku tak bisa berhenti menunggumu.”

    Kata-kata itu…

    Semua kata-kata Eve membuatku berpikir ulang tentang eksistensi android dan manusia. Maksudku, sejak awal android tak pernah memiliki hati – hanya memori berupa data dan emosi artifisial yang diprogram oleh teknisi ahli. Namun melihat bagaimana Eve menungguku hingga umurnya demikian pendek membuatku bertanya pada diriku sendiri.

    Antara aku dan Eve, siapa yang merupakan android, dan siapa yang merupakan manusia?

    Perlahan, tangan kanan Eve meraih lengan bajuku. “Aku tahu bahwa aku hanya sesosok robot yang tak seharusnya memiliki emosi. Tapi, Kyle. Tolong percaya akan satu hal.”

    “Apa itu?”

    Eve tersenyum makin lepas.

    “Bahwa meskipun perasaan yang kumiliki hanya emosi buatan yang dikendalikan komputer, namun perasaan ini nyata.”

    ………

    Aku kehilangan kata-kata untuk sesaat, dan Eve kembali mengucapkan sesuatu yang membuatku luluh.

    “Memori yang kubuat denganmu mungkin hanya memori palsu, namun waktu yang kuhabiskan denganmu bukanlah sebuah kebohongan. Kyle, meskipun kau menolak semua memori yang kita buat selama lima tahun terakhir, tolong jangan tolak satu hal ini. Selama lima tahun yang kuhabiskan dengamu-“

    Eve mendekatkan wajahnya ke wajahku.

    Bibirnya perlahan bergetar disamping telingaku.

    “-aku mencintaimu, Kyle.”

    Ia lantas memelukku dengan sangat tenang. Sebuah senyum muncul di wajahnya.

    “Terima kasih." Bisiknya perlahan. "Terima kasih, Kyle. Karena pada akhirnya, kau mau kembali bicara padaku."

    "........"

    "Aku bahkan tak bisa mengucapkan selamat tinggal padamu di hari itu. Setidaknya, kini aku bisa melakukannya.”

    Aku tak bisa berkata apapun lagi.

    Kedua lenganku ikut merangkul tubuhnya perlahan.

    ***​

    Keesokan harinya, kubiarkan Eve bekerja di tokoku – aku terus mengawasinya, tentu, dan bahkan sesekali membantunya berdiri atau berjalan. Dan meski hal itu membuat beberapa pengunjung toko kembali mencibir, aku tak lagi peduli. Itu hari terakhir kami bersama, dan aku ingin membuatnya menjadi memori yang indah bagi Eve, juga bagiku.

    Kututup toko lebih cepat dari biasanya. Saat malam menjemput, Eve dan aku sama-sama bercerita banyak hal. Kubiarkan Eve bersandar di pundakku saat aku bercerita tentang hal-hal menyenangkan. Tentang salju, tentang kota ini, tentang imajinasi dan harapan kami seandainya Eve terlahir kembali sebagai manusia, bukan sebagai android.

    Dan tanpa sadar, kami berdua sudah tertidur lelap.

    ***​

    Eve merupakan android pertama bagiku, sekaligus yang terakhir. Aku tak mau lagi mempekerjakan android apapun setelahnya. Aku ingin menyimpan memori ini dalam-dalam, tentang Eve, tentang satu-satunya android yang pernah bekerja di tokoku.

    “Terima kasih atas kesempatan yang telah anda berikan, Tuan Kyle. Aku benar-benar berterima kasih.”

    “Hei, simpan itu untuk nanti, Ellie.” Kataku pada sang gadis, sesaat setelah wawancara selesai. Ia memang tidak cukup bagus – kikuk dan mudah panik. Meskipun begitu, seiring waktu berjalan, kurasa ia bisa menjadi karyawan yang baik.

    “Pastikan besok kau tidak terlambat. Tokoku bukan jam delapan pagi.”

    “Ba…baik, tuan!” Jawabnya tersenyum senang. Setelah kembali berterima kasih, ia segera berlari dengan perasaan bahagia.

    Ugh, ia bisa melepas panggilan ‘Tuan’ jika ia mau. Aku belum terlalu tua untuk dipanggil Tuan Kyle.

    ………

    Ah, menyenangkan sekali.

    Memberi kebahagiaan untuk orang lain adalah suatu kebahagiaan tersendiri.

    Angin bertiup perlahan, membawa salju yang terus turun di kota penuh salju ini. Cahaya matahari masih terlihat lemah seperti biasanya.

    Melepas papan iklan di kaca jendela, aku kembali membersihkan salju yang turun.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Jun 21, 2015
  6. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    sori nunggu lama banget sebelum gw akhirnya mampir

    this is quite alright actually.

    terlepas dari beberapa bagian yg gw agak skip, ini ceritanya gw mayan bisa ngerti.

    ya mungkin bukan situ gk bisa bikin drama sih, gara2 kurang pede aja mesti ngejawab ekspektasi orang2 dan terutama ekspektasi diri sendiri kali (karena setau gw situ mang suka ma genre drama). rada beda ama nulis komedi yg bisa take it easy asal have fnn aja. :ngacir:
     
    • Like Like x 1
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    aih thanks mod udah komen :hmm:

    mungkin, ya? tapi emang kerasa sih buatku kalo bikin sesuatu terus kurang puas ma hasilnya, jadinya yaa gitu :hiks:
     
    • Like Like x 1
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    SS Fiesta sesi 2 :gadisfyuh:

    Judul : Pion-pion Kecil
    Genre : Tragedy, Military, Romance, Drama


    Langit di sore itu terlihat begitu cerah.

    Menepikan pesawatku di landasan, kubuka kokpit pesawat tempur ini. Puluhan orang sudah menantiku bahkan sebelum pesawat ini benar-benar berhenti, dan tepat saat aku melompat keluar darinya, orang-orang itu bersorak.

    “Puteri Minazuki telah kembali! Pahlawan Negeri Akane telah kembali!”

    Kakiku menepi keatas tanah. Beberapa tentara lantas mendatangiku, menjagaku dari kerumunan orang-orang tersebut.

    “Puteri Minazuki, berapa banyak pesawat yang kau tumbangkan hari ini?”

    “Puteri Minazuki, bagaimana rahasia menjadi pilot tempur yang handal?”

    “Puteri Minazuki, benarkah kau menghabisi seluruh lawan dalam pertempuran Lotus seorang diri?”

    “Hidup Puteri Minazuki!”

    “Minazuki!”

    Ah, lagi-lagi…

    Sejujurnya, aku sama sekali tak mau lagi mendengar kata-kata tersebut. Berkali-kali aku ingin menjerit, berteriak agar mereka semua tutup mulut dan menjauh dari hadapanku. Pahlawan. Pahlawan. Itu menjijikkan. Bagiku, itu semua tak lebih dari sekedar omong kosong belaka.

    Meski demikian, yang bisa kulakukan hanyalah membalas teriakan mereka dengan lambaian tangan dan senyuman lebar. Bukan karena aku ingin, melainkan karena perintah yang diberikan komandan.

    “Bersikaplah layaknya seorang pahlawan dan buat dirimu menjadi contoh bagi pilot-pilot yang lain.”

    Bersikap selayaknya seorang pahlawan. Menjadi contoh bagi pilot-pilot lain…

    Sebuah omong kosong besar.

    Apa yang kulakukan saat ini hanyalah mengirim para pilot ke jurang kematiannya.

    Entah sudah berapa banyak pilot yang tumbang demi melindungiku. Semenjak pertempuran Lotus, sosokku dianggap sebagai dewa penyelamat Negeri Akane yang membawa terror bagi pihak musuh. Dalam setiap pertempuran, musuh akan selalu ketar-ketir kala mendapati pesawatku ada diantara lawan mereka. Beberapa akan berusaha menumbangkanku, namun pilot-pilot lain akan selalu melindungi.

    “Kau adalah pahlawan negeri ini. Simbol harapan bagi setiap orang yang ada di negeri ini. Karenanya, kau tidak boleh mati.”

    Omong kosong…

    ………

    Kakiku mulai mengayun perlahan, bergerak menuju hangar. Seiring dengannya, orang-orang disekitarku kembali bersorak riang.

    Disertai wajah penuh senyum, tanganku melambai pada mereka semua.

    Meskipun hatiku menjerit untuk suatu alasan.

    ***​

    Dua tahun lalu, sebuah pertempuran udara terjadi antara Kerajaan Akane dengan Negeri Agari. Pertempuran Lotus, begitu kami menyebutnya. Kala itu, usiaku baru menginjak tujuh belas tahun. Menjadi satu-satunya pilot wanita sekaligus pilot termuda dalam pertempuran itu, membuat senior-seniorku mengawasiku sedemikian ketat. Berkali-kali pesawatku hampir tertembak jatuh, namun senior-seniorku selalu datang melindungi. Beberapa bahkan merelakan dirinya menjadi perisai hidup untukku.

    Hingga sekarang, aku tak pernah mengerti mengapa mereka melakukannya.

    Pada akhirnya, duel udara yang berlangsung sengit selama enam jam itu bisa dimenangkan Kerajaan kami, Kerajaan Akane.

    Meski demikian, aku sama sekali tak menganggap hal itu sebagai sebuah kemenangan. Mengerahkan dua ratus lebih pesawat tempur, hanya aku satu-satunya pilot yang berhasil kembali ke pangkalan. Kisah heroik yang muncul dari Pertempuran Lotus itu lantas menginspirasi seluruh rakyat Kerajaan Akane untuk menjadi pilot tempur sepertiku. Hal itu, mau tidak mau, menjadikanku seorang pahlawan. Mmn. Sesosok simbol harapan bagi Kerajaan Akane untuk terus bertempur, dan pembawa terror bagi pihak musuh. Popularitasku bahkan membuat raja mengangkatku sebagai anak.

    Aku dianggap sebagai pahlawan yang kelak akan menyelamatkan Kerajaan Akane dan menghancurkan negeri Agari. Meski demikian, aku sama sekali tidak merasa senang karenanya.

    “Dalam setiap pertempuran, Puteri Minazuki harus selamat! Dia adalah simbol harapan negeri ini. Jika ia sampai mati, semangat pihak musuh akan kembali bangkit. Itu tidak boleh terjadi!” Begitulah perintah komandan kepada setiap pilot di pangkalan ini. Dan pada setiap perintah yang ia beri, ia akan selalu mengakhirinya dengan sebuah kalimat tegas.

    “Lindungi Puteri Minazuki dengan nyawa kalian!”

    ………

    Lucu.

    Apakah nyawaku sedemikian pentingnya? Seharusnya aku bahkan sudah mati berkali-kali.

    “Hei, lihat! Itu Puteri Minazuki!”

    “Puteri Minazuki? Maksudmu Pahlawan yang terkenal itu?”

    “Tentu! Siapa lagi? Dia pilot terhebat di pangkalan ini. Kabarnya, dalam pertempuran Lotus, dia menghancurkan lebih dari seratus musuh seorang diri!”

    Dan rumor tentangku bahkan berkembang menjadi bualan yang terlalu mengada-ada.

    Orang-orang terus mengoceh ini itu tentangku. Setiap hari, tanpa henti, tanpa mengerti bagaimana perihnya melihat pilot-pilot lain gugur hanya untuk melindungiku.

    “Selama ada Puteri Minazuki, kita semua akan baik-baik saja.”

    Ah, benar-benar sukses besar.

    Kalian semua sebaiknya mati saja.

    Atau mungkin, aku yang sebaiknya mati.

    ***​

    Suatu siang setelah misi pengintaian.

    Langit luas dan lapangan terbang tampak jelas dari atap hangar, membentang jauh hingga ke cakrawala. Beberapa orang melihatku dari bawah, tersenyum dan melambaikan tangan. Seolah telah diprogram untuk melakukannya, aku membalas lambaian tangan mereka dan tersenyum lebar.

    Misi pengintaian yang kulakukan tadi pagi berakhir bencana bagi dua orang pilot. Tanpa diduga, kami bertemu dengan musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Dua pesawat kami tertembak jatuh – satu dari mereka merelakan dirinya tertembak demi melindungiku yang terus menerus menjadi target sasaran.

    Perasaan bersalah yang muncul setelahnya benar-benar terasa menyakitkan. Ia menumpuk di jiwaku dan membutku amat lelah. Mmn. Aku amat lelah dengan senyum palsu yang kuberikan setiap hari, dan dengan berita kematian pilot-pilot lain. Hingga kini pun, aku tak pernah mengerti mengapa mereka harus melindungi sebuah simbol yang hanya merupakan omong kosong.

    Nyawa pilot-pilot itu sama pentingnya dengan nyawaku, bukan? Keluarga mereka menunggu di rumah. Apa yang harus kukatakan pada anak-anak mereka yang kelak tumbuh tanpa ayah atau ibu?

    ………

    Akan lebih baik kiranya jika simbol itu tak ada. Takkan ada yang menderita lagi karenanya, baik diriku maupun orang-orang disekitarku.

    Mencondongkan tubuhku ke tepian pagar besi yang ada, sebuah pikiran terbesit dipikiranku – bahwa aku lebih baik melompat dari atap hangar ini, dan mendarat dengan kepala membentur aspal. Kematianku akan menjadi sebuah solusi yang sempurna.

    Mmn. Aku tak perlu merasakan semua beban ini lagi.

    Itu benar. Aku akan melakukannya!

    Aku akan melakukannya saat ini juga!

    Menarik napas terakhir, kunaikkan kakiku keatas pagar. Meski demikian, belum sempat aku tiba di sisi lain hangar, sebuah suara pintu terdengar dari balik tubuhku. Hal itu membuat kakiku kembali ke lantai. Aku tak bisa melompat selama ada seseorang yang melihatku.

    “Maaf! Permisi!”

    Dari balik pintu tersebut, muncul sesosok teknisi pesawat yang bernapas terengah-engah. Kemeja lapangannya yang kusut tampak basah oleh keringat. Kalau tidak salah, aku baru saja melihatnya di bawah semenit yang lalu. Ia pasti berlari sangat kencang untuk tiba disini dalam waktu satu menit.

    Tapi, kenapa?

    “Apa tuan puteri baik-baik saja?”

    Pertanyaanya membuat batinku tersentak untuk suatu alasan. Apakah aku baik-baik saja? Jawabannya tentu saja tidak. Meski demikian, aku sudah terlatih untuk menyembunyikan emosi ini dari pandangan orang-orang.

    Lantas, kenapa orang ini menanyakan hal itu? Kecuali ia tahu bahwa aku sedang risau, ia pasti takkan menanyakannya.

    Menatap dalam-dalam padanya, bisa kurasakan sebuah harapan muncul di benakku.

    “Ah, maafkan aku bertanya seperti ini, ahaha.”

    Aku terdiam untuk beberapa saat, menatap sang lelaki yang tertawa kikuk. Tepat ketika sang lelaki akan kembali turun, suaraku muncul dengan sendirinya.

    “Apa…apa aku terlihat baik-baik saja?”

    Lelaki itu kembali berbalik, menatapku, dan mengangguk. “Yah, bisa dibilang, tuan puteri selalu terlihat begitu, sih.”

    Ah…

    Begitu, ya?

    Aku selalu terlihat baik-baik saja.

    Mmn. Sampai sekarangpun, kurasa topeng yang kukenakan masih sempurna. Senyum palsu yang kubuat masih sangat hebat dalam menipu orang-orang. Bahkan orang yang hampir membuatku berharap pun tak bisa menemukan apapun dibalik topeng yang kukenakan.

    Orang itu, ia tak lebih dari mereka yang memanggilku seorang pahlawan. Ia bukan seorang yang penting untuk kuingat.

    Dan karenanya, harapanku musnah.

    Aku tersenyum, menatap sang lelaki dengan senyuman palsu yang sangat manis. “Terima kasih.” Kataku kemudian. Sang lelaki menatapku dan balas tersenyum.

    “Tapi, tuan puteri,”

    Tepat saat aku akan kembali membuang harapan ini, suaranya kembali terdengar.

    “Anda benar-benar berusaha keras, ya?”

    “Eh?”

    “Ya.” Sang lelaki kembali mengangguk. “Maksudku, aku tak tahu apa yang mengganggu tuan puteri, tapi tuan puteri selalu tampak bahagia. Tuan puteri pasti berusaha keras untuk bisa terus tersenyum seperti itu.”

    ………

    Entah mengapa, kalimat terakhir yang ia ucapkan mengiang ditelingaku, dan membuat jantungku berdebar untuk suatu alasan.

    Berusaha untuk terus tersenyum…

    Ah, betul juga.

    Kurasa, jauh dilubuk hatiku, aku benar-benar berusaha keras untuk terus tersenyum. Jawabnnya sangat tepat – bahkan lebih tepat daripada menyebut bahwa semua senyum yang kulempar hanyalah senyum palsu.

    Lelaki ini bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang-orang, komandan, dan bahkan aku sekalipun.

    Dan jika ia tahu sejauh itu tentangku, kurasa aku-

    “Apakah ada yang mengganggumu, tuan puteri?”

    -bisa bercerita banyak hal padanya.

    Ya. benar.

    Aku bisa bercerita banyak hal padanya. Semua hal yang kusembunyikan sampai sejauh ini, kurasa kini bisa kuperlihatkannya padanya. Aku tak berharap bantuannya. Cukup membuatnya tahu bahwa aku memiliki banyak hal tersembunyi akan sungguh berarti bagiku.

    Dan untuk suatu hal, aku merasa amat nyaman.

    “Ah, maaf, seharusnya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu.” Katanya kemudian. “Namaku Arashima Makoto dari bagian mesin. Salam kenal, Puteri Minazu-“

    “Midori.” Kataku kemudian, tersenyum. “Konohana Midori.”

    ***​

    “Jadi, Puteri Minazuki bukan nama aslimu?”

    Menemani Arashima di suatu sore, aku mengangguk lugu, tersenyum. “Raja yang menamaiku begitu, sesuai dengan nama pesawatku yang selamat dalam pertempuran Lotus.” Jawabku. “Ah, dan kalau kau memanggilku Puteri Minazuki atau tuan puteri, aku takkan mengampunimu!”

    “Eh? Kenapa?”

    Aku tak menjawab pertanyaannya dan hanya tertawa geli.

    Beberapa minggu berlalu semenjak aku mengenal Arashima, dan perasaan nyaman yang muncul saat bersamanya terus mengalir tanpa henti. Ibarat air sungai yang memenuhi kolam, perasaan nyaman ini terus membanjiri ruang gelap di jiwaku yang rusak, hingga aku tiba di titik dimana aku bisa bercerita leluasa padanya tanpa takut apapun.

    Aku sadar bahwa aku mungkin saja berharap terlalu banyak. Mengetahui hal-hal yang kusembunyikan bukan berarti bahwa ia mau serta merta menerimaku.

    Meski demikian, untuk saat ini aku tak keberatan.

    “Lihat, Konohana!”

    “Hmn?”

    Telunjuk Arashima mengacung ke langit luas. Tampak beberapa pesawat terbang rendah, berusaha untuk mendarat.

    Satu squadron tempur. Lima pesawat. Tak ada satupun dari mereka yang gugur.

    Pesawat-pesawat itu terbang makin rendah, hingga rodanya menyentuh aspal tiba dan di landasan.

    “Hei, Arashima…”

    “Ya?”

    “Aku selalu ingin mendarat dengan formasi lengkap seperti itu.”

    Arashima menoleh padaku, melongo keheranan. Aku balik menoleh padanya dan tersenyum lugu, sebelum kembali menatap pesawat-pesawat itu.

    Kini, didepan mataku tampak wajah senang para pilot yang baru saja mendarat. Senyum mereka, tawa mereka, aku tak mau lagi semua itu menghilang hanya karena melindungi sebuah simbol kerajaan.

    “Jika aku bersama mereka, mungkin hanya akan ada empat atau tiga pesawat saja.”

    “…kau berlebihan, Konohana.”

    “Tidak.” Kataku kemudian. “Itu benar.”

    Kurasakan telapak tangan Arashima mendarat di kepalaku. Sudah berkali-kali ia melakukannya, namun telapak tangan itu selalu terasa hangat.

    “Andai saja aku bisa berhenti menjadi pahlawan…”

    Arashima mulai memainkan rambutku dengan telapak tangannya dan berbisik perlahan. “Kau benar-benar tak bisa memaafkan dirimu ya? Konohana?”

    Masih tersenyum, aku mengangguk. “Kurasa, hingga aku matipun, aku akan terus merasa bersalah.” Kataku kemudian.

    Para pilot yang baru mendarat tersebut lantas melihatku dan melambaikan tangan. Aku balas melambai. Meski untuk kali ini, perasaan berat yang muncul untuk melakukannya tak sehebat dulu lagi. Ada Arashima yang membantuku melalui semuanya.

    Kedua tanganku meraih telapak tangan Arashima dan menurunkannya dari kepalaku. Mataku menatap matanya dalam-dalam.

    “Bahkan aku tak bisa meminta maaf pada mereka yang gugur saat terbang bersamaku. Ah, seandainya aku bisa bertemu mereka kembali, aku akan melakukan apapun untuk mereka, untuk menebus dosa-dosaku…”

    Senyum Arashima tampak hilang untuk suatu alasan.

    “Konohana, bolehkah aku bercerita satu hal?”

    “Hmn? Apa itu?”

    Arashima tak langsung bicara. Raut wajahnya tampak sedikit muram. Meski demikian, tak lama setelahnya ia kembali tersenyum.

    “Aku memiliki seorang adik perempuan.”

    Eh? Adik perempuan?

    Ampun. Arashima tak pernah bercerita tentang hal ini semenjak kami saling mengenal. Adik Arashima? Aku amat ingin mengenalnya. Aku amat ingin mengenal keluarganya.

    “Si-siapa namanya? Kau tak pernah bilang soal ini. Ampun!” Kataku kesal. “Hei, kenalkan aku padanya, ya?”

    “Ahaha, maaf.” Arashima tertawa kecil. “Sayangnya ia sudah mati. Jika ia masih hidup, aku mungkin sudah mengenalkannya.”

    Eh?

    Sudah mati?

    “Dia gugur dalam pertempuran setahun lalu. Dari yang kudengar, ia merelakan diriya menjadi pengecoh agar rekan-rekannya selamat.”

    Perasaanku hancur untuk suatu alasan. Kini dadaku terasa berat – amat berat hingga rasanya aku ingin menjerit sekuat tenaga.

    Menjadi pengecoh, merelakan dirinya sendiri untuk mati agar pasukannya kembali selamat…

    Semua itu terdengar seperti mimpi buruk bagiku. Aku sudah sering mengalami hal itu saat terbang. Bukan tidak mungkin bahwa kala itu, aku ada diantara pasukan yang terbang bersamanya.

    “…apakah, aku ada diantara pasukan tersebut?”

    Arashima mengangguk. “Ya.”

    Aku kembali dibuat shock oleh kata-katanya. Bisa kurasakan jantungku yang kini berdebar kencang.

    Sebuah perasaan bersalah yang teramat kuat kini muncul memenuhi pikiranku. Sangat kuat hingga membuatku ingin menembak kepalaku saat ini juga.

    “Maafkan aku…”

    Pada akhirnya, hanya kata-kata itu yang terucap. Aku mengatakannya sambil menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Arashima. Tanganku mengepal kuat, seolah ingin meninju wajah ini berkali-kali hingga babak belur.

    Seluruh tubuhku gemetar hebat.

    Aku amat marah pada diriku sendiri.

    “Maafkan aku, Arashima. Maafkan aku…”

    Perlahan, aku mulai terisak. Dan entah bagaimana, sebuah kata meluncur deras dari bibirku.

    “Arashima, jika…jika kau ingin membunuhku, lakukanlah. Aku…”

    Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku, karena kemudian Arashima menarik tubuhku ke pelukannya.

    “Konohana,” Bisiknya perlahan. “Pada awalnya aku bisa merasakan kemarahan yang sama sepertimu.”

    Arashima terus mencengkram tubuhku erat-erat, hingga aku merasa sesak dibuatnya.

    Dan perasaan kesal, marah, dendam, dan kecewa yang bercampur sedemikian rupa kini membuat air mataku meleleh begitu saja.

    “Meski demikian, saat melihatmu yang selalu berusaha tampil bahagia, pada akhirnya aku sadar akan satu hal. Ya. aku sadar bahwa kau menanggung beban yang jauh lebih berat dariku.”

    Bisa kurasakan napas Arashima yang sedikit terisak. Ia melepaskanku dari pelukannya dan menampakkan matanya yang sedikit berbinar.

    “Karenanya, aku tak berhak memiliki dendam apapun.”

    “A…rashi…ma…”

    Napasku terasa makin sesak mendengar kata-kata Arashima. Ia kembali memelukku perlahan.

    “Kurasa, hidup dan mati seseorang merupakan takdir yang tak bisa diubah.” Bisiknya perlahan. “Dalam dunia penuh kekacauan ini, hidup dan mati merupakan hal yang biasa terjadi. Kekuatan apa yang kita miliki untuk bisa mencegahnya? Kita semua hanyalah pion-pion kecil yang tak bisa memliki kekuatan untuk bisa menentukan siapa yang akan mati, dan siapa yang tetap hidup.”

    Arashima memelukku kian erat, dan membisikkan sesuatu di telingaku.

    “Bahkan kaupun hanyalah manusia biasa…”

    “Arashima…”

    Kedua tanganku ikut memeluknya perlahan. Tangisanku terasa makin menjadi, dan napasku dibuat makin sesak karenanya.

    ………

    Arashima benar.

    Pada akhirnya, aku hanyalah manusia biasa. Mmn. Seorang manusia biasa yang tak berhak menentukan takdir, dan tak berhak menentukan siapa yang mati, dan siapa yang hidup.

    Para penerbang ini…

    Mereka melakukan apa yang mereka percayai, dan gugur karenanya.

    Itu merupakan jalan hidup yang mereka pilih. Kurasa, tak ada satupun dari mereka yang ingin mati, namun mereka selalu siap dengannya.

    “Seharusnya, akulah yang meminta maaf, Konohana.” Arashima kembali berbisik ditelingaku. “Maafkan aku sudah memberimu beban yang terlalu besar untuk kau pikul…”

    Tanpa sadar, aku mengangguk, dan menangis keras-keras setelahnya.

    “Arashima…aku…maafkan aku tak bisa melindungi adikmu. Aku…”

    “Shh,” Arashima membelai rambutku yang panjang, menenangkanku. “Jika kau merasa bersalah, aku memaafkanmu, Konohana.”

    Melepaskan pelukannya, Arashima menatapku dengan sebuah senyum lepas.

    “Sekarang, giliranmu yang harus memaafkan dirimu sendiri.”

    ***​

    Alarm tanda bahaya yang berbunyi di pagi buta membuat seluruh pilot terbangun. Musuh masih berada cukup jauh dari pangkalan, namun tempat ini sudah tampak seperti pasar raya.

    “Konohana!”

    Tepat saat aku akan meninggalkan pangkalan, terdengar suara Arashima yang memanggil. Sebuah kunci inggris menggantung di tangan kanannya yang tampak hitam pekat diterpa oli basah. Tampaknya ia bekerja lembur lagi.

    “Ya, Arashima?”

    “Tentang ucapanku kemarin sore, kurasa aku bicara terlalu banyak. Maafkan aku…”

    Mendengarnya, aku tersenyum.

    Aku tersenyum dengan begitu lepas.

    “Arashima,” Kataku kemudian. “Kau tahu? Bahkan hingga saat ini aku masih merasa bersalah atas semua yang terjadi..”

    Kuhentikan kata-kata ini sejenak.

    Menatap wajah Arashima yang lugu, aku mendapatkan kekuatan untuk bisa mengatakan ini semua-

    “Tetapi, mulai hari ini, aku akan mencoba memaafkan diriku sendiri.”

    -dengan sebuah senyuman yang begitu lepas.

    “Mungkin akan memakan waktu lama, tetapi aku akan melakukannya.”

    Mendengar kata-kataku, kini Arashima tampak tersenyum lega. “Mmn.” Katanya mengangguk “Kau pasti bisa melakukannya.”

    Aku ikut mengangguk, terus tersenyum. Untuk beberapa saat, terus kutatap wajah Arashima, seolah tak ingin berpisah dengannya.

    Meski demikian,

    “Aku berangkat, Arashima.“

    Pada akhirnya aku berpamitan padanya.

    Tepat saat aku akan melangkah, Arashima kembali memanggil. “Ko…Konohana!”

    “Ya?”

    Ia tampak kesulitan untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Butuh waktu cukup lama sebellum suaranya kembali terdengar.

    “Hati-hatilah. Saat misi ini selesai, aku ingin mengajakmu makan malam.”

    Aku tertegun untuk sejenak.

    Entah sejak kapan aku merasa bahagia seperti ini.

    Sebuah senyum yang sudah lama tak kulemparkan kembali muncul di wajahku. Perasaan bahagia yang membludak datang membanjiri hati ini.

    “Tentu,” Jawabku mengangguk. “Sampai bertemu nanti sore, Arashima.”

    Arashima tersenyum mendengar jawabanku.

    ***​

    “Shirayuki, menghindarlah! Tambah ketinggian! Naik! Naik!”

    Shirayuki, pesawat yang menjadi wingman untukku, menurut. Ia menambah ketinggian dan menaikkan kecepatannya hingga berhasil lepas dari kejaran musuh. Aku yang sudah menunggu dalam posisi menyergap bisa dengan mudah menembak jatuh musuh yang masuk dalam perangkap.

    “Minazuki! Dua musuh dibelakang!”

    Shirayuki berteriak keras dari radio. Menoleh kebelakang, tampak dua buah pesawat yang berjarak cukup dekat mengekor, menunggu posisi yang pas untuk menembakku jatuh. Dengan cekatan aku menghindar, berbelok kesana kemari hingga terlepas dari kejaran musuh. Shirayuki berhasil memburu mereka berdua.

    “Tembakan jitu, Shirayuki.”

    Kami terlampau senang, hingga tak menyadari kehadiran tiga buah pesawat yang sudah siap menyergap kami.

    Ah, bukan. Menyergapku. Aku yang menjadi sasaran mereka.

    “Minazuki! Musuh arah jam lima! Menghindar! Segera menghindar dari situ!”

    Ah…

    Jarak mereka amat dekat.

    Siapapun tahu bahwa tak ada pilot yang dapat menghidar dengan mudah dari sergapan seperti ini.

    Kemudian, terdengar suara tembakan senapan mesin yang bertubi-tubi.

    ***​

    “Minazuki! Bicaralah padaku!”

    Pesawat ini kehilangan kendali dan mulai bergerak menghantam tanah seperti meteor.

    “Lompat! Minazuki! Lompat!

    Suara Shirayuki terdengar begitu keras. Aku ingin melakukannya, namun seluruh tubuhku mati rasa. Tembakan senapan mesin yang terakhir itu tepat mendarat di pundakku, dan mungkin menembus hingga bagian belakang tubuhku.

    Kurasakan darah mengalir deras darinya.

    “Minazuki!”

    Aku…

    “Minazuki!”

    ………

    Ah, rasanya dingin sekali.

    Mataku begitu berat. Pandanganku menjadi kabur untuk perlahan.

    Kemudian, semuanya berubah menjadi hitam pekat.

    Kurasa, inilah akhirnya bagiku.

    Tetapi, aku cukup senang bisa mengakhiri semuanya seperti ini. Tanpa beban. Tanpa penyesalan.

    “Minazuki! Jangan mati!”

    Jangan mati…

    Kekuatan apa yang kita milikki untuk menentukan siapa yang hidup, dan siapa yang mati? Kita semua hanyalah pion-pion kecil yang tak bisa memliki kekuatan untuk bisa menentukan itu semua. Tak banyak yang bisa kita lakukan dalam menghadapi takdir yang ada.

    Sebuah senyum bisa kurasakan mengembang di wajahku, meski aku tak bisa melihatnya.

    ………

    Arashima…

    Maafkan aku tak bisa kembali dengan selamat.

    Tetapi, meskipun berakhir disini, pada akhirnya aku bisa menemukan kedamaian yang kucari.

    Karenanya, terima kasih, Arashima.

    Terima kasih telah memberiku sebuah tempat untuk kembali.

    “Konoha…na…”

    Mengucapkan nama itu perlahan, perasaanku menjadi begitu lega.

    Kemudian, sebuah rangkaian kata kembali meluncur dari bibirku.

    Rangkaian kata yang berasal dari lubuk hatiku yang terdalam.

    Rangkaian kata terakhir.

    “Aku…memaafkanmu.”

    original link
     
    • Like Like x 1
  9. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm....gimana ya

    premis nya bagus sih. eksekusinya juga mayan. gw suka interaksi antara arashi ma midori.

    tapi mungkin gw kerasa rada gimana gitu ma endingnya, serasa pas dia mati udah langsung gitu aja, tanpa ada semangat untuk berjuang. biasa di film pahlawan gitu, meski udah kedesak pasti ada jalan buat hero nya power up dan akhirnya menang, barulah pas udah selesai gitu heronya bisa menghembuskan napas terakhir.

    ya, gw nangkepnya situ mau ngasih sesuatu yg lebih realistik tentang perang. endingnya mungkin kerasa rada dangkal sih tapi ini sekedar selera aja. intinya gw suka sih ide ceritanya. moga2 buat kedepan situ bisa keep writing lagi :beer:
     
    • Like Like x 1
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    hemm, iya sih benernya itu endingnya bisa dipanjangin lagi lol. bisa dibuat kek dia tarung abis2an dulu ama pesawat musuh terus disergap tiba2 ato kehabisan darah pas terbang haha :lol:

    well, I think I'll remake it later :hmm: keknya bagus juga tuh :hmm:
     
    • Like Like x 1
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    remake edition :onfire:

    Judul : The Chocolate You Promised
    Genre : Tragedy, Romance, Bittersweet

    “Bahkan dengan obat-obatan yang rutin sekalipun, tubuhnya takkan bertahan lebih lama.”

    Itu yang Dokter Sawada katakan setibanya aku di rumah sakit.

    Sesaat setelah selesai mengatakannya, kurasakan waktu di sekelilingku yang berputar melambat. Perlahan, mataku kehilangan fokus. Kepalaku berat luar biasa, dan bisa kurasakan sesak yang muncul di dada.

    Gadis yang selalu kulindungi selama sepuluh tahun ini, kini akan meghilang begitu saja?

    “Satoru! Hei, sebelah sini!!”

    …yang benar saja.

    “Satoru, coklat seperti apa yang kau suka?”

    “Sampai nanti, Satoru.”

    “Satoru…”

    ………

    “Tu…Tuan Kawamura, anda tidak apa-apa?”

    Dokter Sawada memegangi tubuhku yang hilang keseimbangan. Sesaat setelah kembali mendapat kesadaran, aku mengangguk. Dokter Sawada tampak akan kembali mengatakan sesuatu, namun ia mengurungkannya.

    Ia mungkin sadar. Apapun yang akan ia katakan takkan berarti lagi buatku.

    Semuanya sudah berakhir.

    Mmn. Benar. Perjuanganku sudah selesai.

    Kini tubuhku seolah kehilangan tenaga. Layaknya mainan robot yang kehabisan baterai, semua sistem di tubuhku seolah berhenti bekerja. Pikiranku melayang jauh, mencoba mencerna kata-kata dokter Sawada yang entah mengapa seolah menusuk jauh ke dalam jantungku. Aku tahu bahwa dokter Sawada bukanlah Tuhan. Namun ucapannya terasa bagaikan sebuaah takdir.

    Ah, rasanya aku jadi ingin sekali meninjunya. Kutaruh harapan besar padanya agar Megumi bisa kembali sehat. Berapapun biayanya, apapun harganya, aku akan melakukan apapun agar gadis itu bisa kembali sehat. Namun ia mengecewakanku, dan malah mengatakan bahwa Megumi hanya akan hidup paling lama hingga satu bulan kedepan. Ia meminta maaf bahwa tak bisa melakukan apapun dengan penyakit yang diderita Megumi.

    Tetapi, bahkan dokter Sawada pun hanyalah manusia biasa…

    Kutarik napas panjang, memejamkan mata dalam-dalam dan berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk belaka. Kala aku terbangun, aku yakin Megumi akan serta merta tersenyum padaku di pagi hari yang cerah.

    Meski demikian, berharap bahwa ini hanyalah mimpi mungkin terlalu berlebihan. Mmn. Bahkan otakku pun berkali-kali berkata bahwa semua yang kudengar ini adalah nyata. Apa yang kualami, dan apa yang kurasakan, semuanya nyata. Semuanya bukan mimpi yang akan berakhir kala aku terbangun.

    Apa yang bisa seorang manusia lakukan menghadapi sesuatu yang diluar kemampuannya? Menolaknya? Melawannya? Manusia tak bisa mengubah apa yang sudah menjadi takdirnya, bukan?

    Dan bila takdir hanya mempertemukanku dengan Megumi tanpa mempersatukan kami…

    ………

    Ah, andai saja keajaiban itu ada di dunia ini, aku amat berharap hal itu muncul saat ini juga.

    Mmn. Aku berharap akan munculnya sebuah keajaiban yang menyembuhkan Megumi dan memberinya hidup selama lima, ah, bukan. Enam puluh tahun lagi.

    Aku ingin Megumi tetap ada.

    Aku ingin terus bisa melihat senyumnya…

    Tetapi, kenapa?

    ………

    Kenapa…

    Menundukkan kepala dalam-dalam, aku lantas dikejutkan oleh isak tangisku yang perlahan muncul.

    Semuanya karena valentine sialan itu. Karena coklat sepuluh tahun lalu itu…

    ***​

    “Satoru!”

    Ah, ia muncul.

    Kulambaikan tangan lebar-lebar, menyambut Megumi yang berlari senang ke arahku.

    Semenjak berpacaran dengannya sebulan lalu, baru kali ini aku dan Megumi berkencan berdua. Di masa PDKT antara aku dengannya, biasanya selalu ada saja teman-teman kami yang menggangu.

    Yah, mau bagaimana lagi. Aku dikelilingi teman-teman superheboh.

    Meski demikian, teman-teman itulah yang membantuku untuk bisa berpacaran dengan Megumi. Dengan menjebakku dan Megumi di sekolah hingga larut malam, pada akhirnya aku bisa mengatakan perasaanku padanya.

    Dan diluar dugaan, Megumi mau menerimaku.

    “Maaf menunggu lama.”

    Yup. Sosok Megumi yang mau menerimaku kini ada dihadapanku. Megumi yang lugu, Megumi yang kehabisan napas setelah berlari dari kejauhan dan meminta maaf karena datang terlambat.

    Aku hanya bisa tersenyum senang kala ia membungkuk dengan napas terengah-

    “…bisa kita berangkat sekarang?”

    -dan menatapku sambil tersenyum.

    ***​

    Tak banyak yang kami lakukan di sore hari di bulan Februari itu.

    Tepat pukul tiga sore, kami bertemu untuk menonton bioskop yang tayang pukul lima sore. Setelahnya, kami bersantap malam di sebuah restoran eropa.

    “Hei, tidakkah kau pikir tempat ini terlalu mahal?”

    “Mungkin, ya?” Jawabku lugu. “Habis makanannya kelihatan enak, sih.”

    “Uuh, apa jadinya bila uang kita tak cukup untuk membayar?”

    “Hmn? Mungkin mencuci piring, seperti yang ada di film-film di TV, hahaha!”

    Megumi cemberut kala mendengar jawaban yang kulontarkan. Namun ocehannya berhenti saat makanan yang kami pesan tiba diatas meja.

    Bologna saus tiram dan steak.

    Ah, ini surga. Ahaha.

    Makan malam ala eropa bersama gadis yang kau sukai, ini benar-benar surga!

    “…senyum-senyum sendiri? Kau gila ya?”

    “Eh? Ah, ahaha, maaf. Habisnya, aku senang sih.”

    “Senang?”

    “Mmn.” Jawabku. “Bisa berkencan denganmu hari ini, rasanya menyenangkan.”

    Megumi tersipu mendengarnya, dan bisa kulihat wajahnya memerah. Ia lantas memasukkan steak pesanannya kedalam mulut, mengunyah dan menelannya cepat-cepat.

    Tak lama setelahnya, ia memejamkan mata.

    Dan tersenyum sambil menatapku dalam-dalam.

    “Hei, Satoru,”

    “Hmn?”

    Megumi tersenyum kian lebar. “Menurutmu, apakah kita bisa terus seperti ini? Hingga dua, tiga, sepuluh, atau lima puluh tahun lagi?”

    Ada sedikit raut kesepian yang muncul dari wajahnya – yang kini menatap jauh keluar jendela.

    Tentu, kami sama-sama tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Karenanya, alih-alih menjawab dengan tegas, aku hanya berkata bahwa aku tak tahu hal itu.

    “Tetapi, aku berharap kita bisa terus bersama.”

    Megumi tertawa kecil. “Begitu…ya?”

    “Megumi sendiri bagaimana?”

    “………”

    Megumi tak menjawab. Ia seolah tak mau menjawabnya, dan hal itu membuatku sedikit sedih.

    Namun kemudian, ia kembali berkata perlahan.

    “Janji kau takkan meninggalkanku?”

    Aku mengangguk. “Tentu, Megumi.”

    ***​

    “Ah, untunglah makanannya tidak mahal, haha.”

    Megumi tertawa puas. Bukan hanya karena makanan yang disajikan restoran itu sangat lezat, harganya pun tidak terlalu mahal. Tempat itu akan kujadikan restoran langganan mulai saat ini.

    “Hei, Satoru,”

    “Hmn?”

    Kaki Megumi berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada toko kue yang ada di seberang jalan.

    Di beranda toko kue itu terlihat deretan coklat yang luar biasa banyak.

    “Satoru. Kau…suka coklat yang seperti apa?”

    “Coklat?”

    Megumi mengangguk, “Sebentar lagi 14 Februari, bukan?”

    Ah, benar.

    “Aku ingin memberimu coklat valentine. Hehe.”

    “…kau tahu kalau biasanya para gadis akan memberikan coklat sebagai kejutan, bukan?”

    “Ah, begitukah?”

    ………

    Yah, tak apa-apa. Lagipula Megumi bukan orang yang menyukai kejutan.

    “Coklat ya. Hmm…”

    “Coklat putih?”

    Aku menggeleng.

    Kalau boleh jujur, aku tidak menyukai coklat, sih. Terlalu manis. Jikalau harus memilih, aku mungkin akan memilih dark chocolate saja.

    “Yang kusukai-“

    “Ah, tunggu. Tunggu. Begini saja. Kau tunggu sampai hari valentine tiba, dan akan kupastikan kau mendapat coklat yang kau suka. Bagaimana?”

    “Mengapa repot-repot sampai tebak-tebakan segala, sih?”

    Megumi hanya tersenyum. “Sebagai kejutan!”

    Uh…

    Dasar.

    Megumi menggaet lenganku dan mulai kembali melangah saat ia berbisik perlahan,

    “Tunggulah sampai coklat itu tiba, Satoru.”

    ***​

    Coklat itu tak pernah tiba di tanganku.

    Di hari berikutnya, Megumi mengalami kecelakaan tepat di persimpangan jalan tempatnya melihat toko kue. Tubuhnya dihantam oleh mobil yang sedang melaju kencang.

    Setelahnya, ia masuk rumah sakit. Ia harus menjalani perawatan rutin karena sebagian tubuhnya remuk oleh hantaman mobil. Tanpa bisa lagi berjalan, Megumi harus bergantung pada kursi roda untuk berpindah tempat meskipun kedua kakinya masih utuh.

    Ia tak pernah meninggalkan rumah sakit ini. Bahkan hingga sepuluh tahun setelahnya, ia selalu berada di tempat ini.

    “Hai…Satoru…”

    Ia ada disini, diatas ranjang ini, melihat sosok diriku sambil tersenyum lepas.

    …ia benar-benar berusaha keras untuk terlihat senang. Bahkan aku pun tahu kalau ia memaksakan senyum itu.

    Sosok Megumi yang kini menyapaku amat berbeda dengan Megumi yang kukenal sepuluh tahun lalu. Wajahnya kini putih pucat, dan tubuhnya tak lagi segar. Jika aku mengibaratkannya sebagai sekuntum bunga yang sangat layu, hal itu takkan berlebihan.

    Kondisi tubuhnya makin memburuk dari hari ke hari, namun aku tak pernah berhenti berharap akan kesembuhannya. Entah mengapa, aku ingin terus berusaha. Karena aku percaya suatu saat nanti, Megumi akan keluar dari rumah sakit ini, dan kembali menjadi Megumi yang kukenal.

    Lagipula, aku berjanji akan selalu bersamanya, bukan?

    Aku akan terus bersamanya, menemaninya hingga akhir.

    Itu benar. Aku-

    “Akan selalu menemanimu, Megumi.”

    Mendengar ucapanku, Megumi tersenyum.

    “Maafkan aku karena membuatmu menunggu selama ini, Satoru.”

    Megumi mengambil napas panjang dan memejamkan matanya untuk cukup lama.

    Kemudian, kedua bola mata itu kembali menatapku dalam-dalam.

    “Hei, Satoru,”

    “…ya?”

    “Pernahkah terpikir olehmu, bahwa aku sebaiknya tak membeli coklat di hari itu?”

    Ah…

    Benar.

    Semua gara-gara coklat itu, dan hari valentine sial itu. Kedua hal itu yang membuatku berakhir menunggu Megumi selama sepuluh tahun di rumah sakit ini. Meskipun penantian itu sebentar lagi akan berakhir, ini semua bukanlah akhir yang kuinginkan.

    Aku masih berpikir bahwa Megumi tak seharusnya membeli coklat itu.

    Mmn. Andai saja Megumi tak membelinya, semua kejadian sepuluh tahun ini takkan pernah ada. Semua waktu yang kuhabiskan, semua uang yang kuhabiskan, semua kesabaran yang kuhabiskan…

    Segala rasa pahit ini…

    “Jika aku…”

    Namun kemudian, Megumi kembali berkata perlahan.

    “Jika aku…aku sama sekali tak menyesal.”

    Menatap wajah Megumi, aku tersentak saat melihat wajah Megumi yang melempar sebuah senyum.

    Sebuah senyum dari lubuk hatinya yang terdalam, yang berbeda dari senyum paksa yang ia lempar.

    “Sejujurnya, aku tak begitu berharap banyak padamu. Aku menyukaimu, tentu. Tapi tak pernah terpikir olehku bahwa kau…bahwa kau adalah orang yang tepat untukku. Kau tahu? Aku bahkan ragu dengan keputusanku kala memilih untuk berpacaran denganmu. Karenanya, aku tak menyesal. Mmn. Aku benar-benar bersyukur dengan keputusanku membeli coklat itu, karena dengan hal itu, aku bisa terus bersamamu hingga sepuluh tahun ini.”

    “Megumi…”

    Megumi mengangguk perlahan.

    Jemari tangannya menempel di pipiku.

    “Karena kejadian ini, aku tahu bahwa kaulah orang yang tepat untukku. Yang selalu menemaniku…yang selalu ada dan tak pernah meninggalkanku bahkan saat semuanya menghilang…”

    ………

    “Kau percaya akan takdir, Satoru?”

    “Aku…”

    “Jika kau tak percaya, percayalah. Aku pun percaya bahwa keberadanku disini bukanlah sekedar kebetulan.”

    Ah…

    Mungkin semua ini memang harus terjadi. Kecelakaan yang dialami Megumi dan penantian sepuluh tahun ini…

    “Masa-masa yang kuhabiskan di tempat ini mungkin menjemukan. Tetapi, karena kau disini, aku tak menyesal. Mmn. Bahkan aku mulai berharap agar aku tak pernah meninggalkan rumah sakit ini, agar kita bisa terus bersama.”

    Kedua tangan Megumi menggenggam jemariku perlahan.

    “Tetapi, permintaanku terlalu berlebihan, bukan? Kau harus melanjutkan kehidupanmu, dan suatu saat, kau harus lepas dariku. Aku tak bisa terus bersamamu…”

    “Megumi, jangan katakan itu. Kelak, kau akan sembuh, dan kita akan menjalani kehidupan normal kembali.“

    Megumi tertawa kecil mendengarnya. “Bahkan aku pun tahu kalau itu hanyalah bualan, Satoru.”

    Ia terus tersenyum kala mengatakan apa yang ia ingin utarakan selanjutnya. “Bahkan aku pun tahu kalau semuanya akan segera berakhir…”

    Ah…

    Bagaimana? Bagaimana ia bisa tahu?

    Belum sempat rasa penasaranku terbayar, kurasakan genggaman tangan Megumi yang terasa kian erat.

    “Aku tak keberatan. Karena kau ada disini, karena aku tahu bahwa orang yang sangat peduli padaku ada disampingku…”

    Megumi menundukkan kepalanya perlahan. Butiran air turun dari matanya, dan ia mulai menangis sesegukan.

    “Aku…aku amat…berterima…kasih. Karena kau ada disini. Karena Satoru ada disini, aku…aku bahagia…”

    Kini aku kehilangan kata-kata untuk sekedar menjawab apa yang baru Megumi katakan, dan tanpa sadar, kepalanya sudah menempel di dadaku.

    “Maaf karena aku harus meninggalkanmu secepat ini…”

    “Tak apa, Megumi. Tak apa…”

    Kami berdua mulai menangis layaknya dua orang anak kecil, dan saling merengkuh satu sama lain.

    Megumi menggenggam punggungku untuk beberapa lama, sebelum akhirnya beranjak melepaskanku, dan tersenyum.

    “Satoru, maaf karena tak pernah bisa memberimu coklat yang kujanjikan.”

    Aku mengangguk, tersenyum.

    ***​

    Hari itu, dokter Sawada mengizinkanku untuk menginap di kamar tempat Megumi dirawat. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk terus berada bersama gadis ini.

    “Lalu, bosku baru sadar kalau itu laporan minggu lalu.”

    “Ahaha…”

    Melihat Megumi yang tertawa bahagia membuatku senang. Aku merasa bahagia bisa membuatnya tertawa riang seperti ini di siisa hidupnya.

    Mmn. Memberi kebahagiaan pada orang lain adalah kebahagiaan itu sendiri.

    Megumi mengajariku hal tersebut, dan karenanya, aku ingin terus membuatnya tertawa bahagia.

    Kami terus mengobrol banyak hal. Meski sadar bahwa hari itu mungkin jadi hari terakhirku bersamanya, namun aku tak berhenti mengobrol.

    Aku ingin terus berada disampingnya hingga akhir.

    Aku akan terus berada disampingnya hingga akhir.

    Sesaat sebelum Megumi tertidur, aku menatap kalender yang menggantung di samping tempat tidurnya,

    23 Februari.

    ………

    Valentine memang sudah berlalu, dan Megumi tak memberiu coklat yang ia janjikan.

    Namun masih ada 18 hari lagi untuk white day, bukan?

    “Hei, Megumi,”

    “Hmn?”

    Megumi menjawab sayu. Ia tampaknya sudah letih dengan kondisi tubuhnya, dan baru akan tertidur. Aku yang masih terjaga lantas berbisik perlahan.

    “Aku akan memberimu coklat pada saat White Day.”

    Megumi mengangguk sebelum menjawab-

    “Mmn. Aku akan menunggu.”

    -dan tersenyum bahagia,

    “Terima kasih…Satoru.”

    “Mmn.”

    Kugenggam jemari Megumi yang menggenggam jemariku erat-erat, dan tertidur setelahnya.

    “Terima kasih…”

    Ketika pagi menjemput, Megumi sudah tak ada dihadapanku.

    ***​

    14 Maret. White Day.

    Kutaruh coklat yang kujanjikan pada Megumi tepat diatas makamnya.

    Mengucapkan doa sejenak, aku lantas duduk disamping pusaranya.

    ………

    Apa yang menimpa kami bukanlah sebuah kebetulan. Hari valentine itu, cokelat yang tak pernah ia berikan…

    Tentu, aku merasa kehilangan dengan kematian Megumi. Tetapi, di sisi lain, aku merasa bahagia.

    Ya. bahagia.

    Karena ia melepasku dengan senyuman, sehingga aku tak memiliki penyesalan apapun.

    Kisah cintaku bersama Megumi mungkin sudah berakhir. Sepuluh tahun menunggunya, dan semuanya berakhir bagaikan embun pagi yang terkena cahaya matahari.

    Tetapi…

    Kisah hidupku baru akan dimulai.
     
    • Setuju Setuju x 2
  12. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    i felt satisfied after reading this, entah kenapa buat yg versi ini kesan emosionalnya lebih dapet, dan konklusi nya pas lah :top:

    selamat telah kembali ke performa situ yg gw nanti2kan :hihi:
     
    • Thanks Thanks x 1
  13. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    oh well, thanks :matabelo:

    mungkin karena di buatan sebelumnya gak sempet edit :iii: ini pun dieditnya setelah memutuskn buat bolos kerja :lol:

    yah, bolos kerja buat nenangin pikiran, jadi gak masalah :nikmat:
     
    • Like Like x 1
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Niatnya mau jadi SS Fiesta, tapi kebanyakan jumlah kata :swt: also, kurang puas ama hasilnya. kalo boleh rate sendiri, mungkin ini 5/10 :hiks:

    ma ii ka :hiks:

    Judul : The Undead Tale
    Genre : Romance, Horror


    [​IMG]

    Megu-nee :nangis: :sedih:

    “…masih…seberapa jauh…lagi…menuju pangkalan?”

    Mendengar suaraku, Hayato mengalihkan pandangannya. Sosoknya lantas bergerak mengendap-endap menghampiriku.

    “Tinggal tiga kilometer. Kita bergerak saat pagi sudah tiba. Terlalu riskan bergerak di malam hari tanpa senter seperti ini.”

    “Pagi…ya?”

    Hayato meletakkan tangannya di keningku, memeriksa suhu tubuhku yang sebenarnya tak lagi bisa kurasakan. Sambil menyibak rambutku, ia tersenyum pahit. Aku tak perlu bertanya untuk tahu bahwa itu merupakan sebuah senyum yang dipaksakan.

    “Hanya sampai esok, Megumi. Setibanya di pangkalan, kau akan sembuh.”

    Meski tahu bahwa hal itu hanyalah bualan belaka, aku tetap mengangguk dan mencoba tersenyum sebisaku.

    “Uuu…”

    Mendengar erangan dari luar shelter ini ini, Hayato menggenggam belati miliknya kuat-kuat. Aku ikut menggenggam erat bagian lengan jaketnya, berharap tak terlepas darinya.

    “Haah…haah…”

    Sial.

    Napasku semakin tak beraturan, dan dengan batuk yang sesekali keluar dari tenggorokan ini, aku tak bisa bilang sampai kapan aku bisa bertahan. Biasanya, enam belas jam setelah terinfeksi, seseorang akan mati begitu saja. Setelahnya, hanya perlu menunggu beberapa menit untuk orang itu agar kembali bangkit sebagai undead.

    Meski pelafalan undead mungkin sedikit sulit, namun begitulah kami menyebutnya.

    Undead. Makhluk yang entah bagaimana muncul dan mengganggu kehidupan kami berdua- tidak. Kehidupan seluruh umat manusia. Semenjak kemunculan pertama mereka enam hari lalu, jumlah umat manusia di kota ini terus menurun drastis. Kebiasaan mereka memangsa manusia seolah tak terbendung, dan siapapun yang dimangsa oleh para undead, kelak akan berubah menjadi salah satu dari mereka juga.

    Seandainya kau pernah menonton film-film karya George A. Romero, pasti kau takkan keheranan dengan sosok para undead ini. Meski demikian, aku sendiri belum pernah menontonnya. Hayato, bagaimanapun, sangat menyukai film-film tersebut.

    “Sudah pergi…”

    Hayato menghela napas panjang, merebahkan dirinya diatas lantai penuh bercak darah. Sementara aku kembali batuk, Hayato lantas memeriksa pundakku.

    “Lukanya cukup dalam juga…”

    Ugh, bukan cukup dalam lagi. Luka gigitan ini jelas-jelas mematikan.

    Dasar…

    “Hmm, tapi hanya segini sih, dokter pasti bisa menyembuhkannya dengan cepat.”

    Bodoh…

    Ia selalu seperti itu.

    “Hayato, kau…kau tahu apa yang akan terjadi padaku, kan?”

    Meski tahu bahwa aku tak memiliki harapan lagi, ia terus menerus menolak meninggalkanku.

    Bagaimana ia bisa begitu bodoh?

    Melepaskan jaket miliknya, ia lantas menyelimuti tubuhku. Meski awalnya aku menolak, kedua tangannya tak berhenti bergerak. Aku mengalah dan membiarkannya melakukan apa yang ia inginkan.

    “Uhuk…uhuk…”

    Kembali Hayato memeriksa suhu tubuhku. Kurasa ia melakukannya untuk meneneangkan dirinya saja, karena ia terus menerus melakukannya.

    Hayato yang gugup seperti ini…baru pertama kali aku melihatnya.

    ………

    Aku jadi menyalahkan diriku sendiri atas perubahan sikap Hayato. Tetapi, mau bagaimana lagi?

    Aku sudah terinfeksi. Dalam beberapa jam lagi, aku pasti akan segera mati. Mmn. Tak pernah ada yang selamat setelah gigitan pertama. Orang normal pasti akan langsung membunuhku ditempat bila tahu bahwa aku telah terinfeksi. Dan kenyataannya, aku akan sangat senang jika itu terjadi – aku tak perlu merepotkan siapapun. Sayangnya, yang kini berada bersamaku adalah si bodoh ini.

    Hayato.

    Si bodoh yang bahkan tak peduli dengan kenyataan bahwa aku bisa berubah menjadi undead sewaktu-waktu.

    “Istirahatlah. Aku akan berjaga hingga pagi. Kita bergerak saat fajar menyingsing.”

    Aku mengangguk.

    ***​

    Satu dari sekian banyak hal yang tidak berubah dari Hayato, adalah kenyataan bahwa ia tidak pernah bisa diandalkan. Contohnya seperti saat ini.

    “zzzz…”

    Ia berkata bahwa dirinya akan berjaga hingga pagi. Nyatanya, belum sampai dua jam dan ia sudah tertidur lelap.

    Uh, bagaimana jadinya bila aku berubah saat ia terlelap?

    Aku jadi sedikit bersyukur. Maksudku, jika aku benar-benar berubah saat ia terlelap, akan kulahap ia sampai tersisa tulangnya saja.

    Bodoh…beloon…

    ………

    Menatap langit-langit, aku menghela napas, dan memejamkan mata dalam-dalam.

    ***​

    Aku sadar akan kebodohan Hayato saat orang ini mengunjungiku di rumah sakit. Kebetulan, di rumah sakit tempatku dirawat, terdapat sebuah fasilitas hospice – sebuah tempat bagi pasien dengan tingkat kesembuhan nol persen. Disana, pasien hanya akan dirawat tanpa diberikan tindakan pengobatan.

    Menjadi satu-satunya pasien dengan usia dibawah tiga puluh tahun, aku merasa begitu kesepian.

    Hari-hari kulalui dengan membaca manga, menonton TV, atau sekedar duduk-duduk di taman dengan kolam kecil yang penuh ikan warna-warni. Masa-masa depresi yang berat sudah kulalui. Sakit? Tak bisa sembuh? Semuanya tak pernah mengganggu pikiranku lagi. Aku sudah sangat siap dengan kematian – setidaknya begitulah yang kurasakan.

    Ah, lagipula, tak ada lagi yang bisa kulakukan di dunia ini.

    Maksudku, apa yang kulakukan kala itu hanyalah menunggu waktu hingga napasku berakhir, dan itu amatlah membosankan.

    Teman-teman yang awalnya mengunjungiku, setelah beberapa waktu tak lagi datang.

    Pasien-pasien yang amat baik padaku, meninggal setelah beberapa bulan berlalu.

    Perawat dan dokter yang kerap kali mengecek kondisiku hanya akan tersenyum sesekali saja, sambil bercakap-cakap dengan tema yang itu-itu saja. Rasa-rasanya, mereka hanyalah robot yang diprogram untuk mengatakan hal-hal yang sama.

    Tak ada sesuatu hal yang berarti. Di rumah sakit ini, aku hanya mengisi kekosongan dengan kekosongan belaka. Setahun, dua tahun, semua kehampaan itu terasa bagai siksaan yang tanpa henti.

    Hingga entah sejak kapan, aku tak lagi bisa tersenyum atau menangis. Wajahku hanya menunjukkan kehampaan. Kosong. Ibarat ikan mati.

    ***​

    “Uuu…”

    Ah, satu lagi undead melintas, dan orang yang bilang bahwa dirinya bisa diandalkan masih saja tertidur lelap.

    Perlahan, kuletakkan kepala Hayato diatas pahaku. Ia menggeliat sesaat, namun aku amat yakin ia takkan bangun. Si tukang tidur ini…

    Menatap wajahnya yang lugu, entah bagaimana aku merasa amat lega. Rasanya, seperti menemukan kunci rumah yang hilang selama berjam-jam.

    Tanganku perlahan bergerak, mengusap rambut Hayato yang kusut tak beraturan. Rasanya...lembut. Jika bisa, aku ingin memeluknya saja.

    Dan, kenapa kini aku tersenyum?

    Aku…benar-benar tersenyum. Sebuah senyum yang tak kupaksakan kehadirannya kini muncul di wajahku.

    “Me…gumi…”

    Lelaki ini menggeliat, menggerakkan tangannya hingga tiba di wajah, pundak, dan menempel di…dadaku? Hah? Dasar, si mesum ini! Aku jadi amat ingin mematahkan jemarinya…

    ………

    …tak apalah.

    Untuk kali ini, kubiarkan ia melakukan apa yang diinginkannya, lagi.

    “Ah, papan caturnya rata, ya?”

    …mungkin sebaiknya benar-benar kupatahkan saja, ya?

    ***​

    Selain tak berguna, Hayato juga bisa dibilang mesum.

    “Kau…mau kupanggilkan polisi ya?”

    Pertemuan pertamaku dengannya bahkan berlangsung di toilet wanita. Bagaimana caranya ia berakhir di fasilitas hospice, hingga kini hal itu tetap menjadi misteri.

    Setelah kutanyai ia macam-macam, ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang penulis novel horror masa depan. Takeru Hayato.

    “Aku belum pernah membaca buku-bukumu.”

    “Tentu. Itu karena buku-buku milikku hanya akan diterbitkan di masa depan.”

    “…jadi, memang hanya bualan ya. Apa kau sudah benar-benar menulisnya?”

    “He…hei, terlalu kamu! Begini-begini aku sudah menulis empat buah novel, lho. Semuanya sedang menunggu penerbit yang cocok untuk bisa dipasarkan.”

    “Intinya, memang belum ada yang diterima penerbit, kan?”

    “Y…ya, begitulah.”

    Orang ini benar-benar kacau.

    Saat aku bermaksud mengantarnya kembali ke ruang resepsionis, ia menolak, bilang bahwa sakitnya amat parah dan ia memang ditempatkan di fasilitas hospice.

    “Ngomong-ngomong, kenapa pasien disini tua-tua, ya?”

    “Jelas saja, karena mereka takkan hidup lama. Hanya pasien yang takkan sembuh yang ada disini.”

    “Oh, begitu to- Ehh?”

    Dia ini idiot atau apa, sih?

    "Apa itu benar? Merawat orang yang akan meninggal? Uwaah! Mengerikan sekali!"

    ...fix. Orang ini idiot sejati. Dan karena aku tak mau berurusan dengannya, perlahan aku mulai melangkah pergi.

    "Hei, tunggu dulu!"

    Entah mengapa aku menurut dan menghentikan kakiku, melirik padanya yang berlari kecil padaku.

    "...ada apa lagi?"

    “Uuh, tidak apa-apa, sih. Anu, siapa namamu?”

    “…Jane Doe.”

    “Ah, baiklah Jane Doe- Tunggu! itu bukan namamu, kan?”

    Jelas bukan. Itu kan nama samaran yang biasa diberikan polisi untuk tersangka sebuah kasus.

    “Ah, bodo, lah. Jane Doe-san, kenapa kau ada di fasilitas hospice juga?”

    “Apa kau perlu bertanya? Kau juga ada di fasilitas yang sama, kan? Apa kau tidak menandatangani surat persetujuannya?”

    “Surat persetujuan?”

    Ampun, si idiot ini…

    “Surat persetujuan untuk perawatan hospice.”

    “………”

    “Persetujuan untuk dirawat tanpa pengobatan, dan menunggu mati saja. Seperti yang kujelaskan sebelumnya.”

    “Eeh?” Teriaknya keras. “Apa itu berarti kau akan segera mati juga?”

    Ugh, pertanyaannya itu menyebalkan sekali. Meski begitu tetap saja aku mengangguk.

    “Ma…masa sih? Maksudku, kau masih muda. Usiamu berapa? Tujuh belas? Delapan belas?”

    “Dua puluh satu.”

    “Eeh? Aku dua puluh tiga.”

    “Nggak tanya.” Jawabku kesal. “Aku akan mati muda, dan karena kau ada disini, kau juga akan mati muda. Semoga di akhirat nanti kita tidak bertemu. Dah.”

    Aku baru akan kembali beranjak, kala si penulis novel horror palsu ini menahan pundakku.

    “Kenapa lagi?”

    “Anu…” Jawabnya perlahan. “Sebenarnya, aku ditempatkan di ruang rawat umum, sih. Bisa tolong antar kesana, nggak? Ini hari pertamaku disini.”

    “………”

    “………”

    “…sakitmu nggak parah?”

    “Sebenarnya cuma radang tenggorokan saja, sih.”

    Ampun…

    ***​

    “Uhuk…uhuk…”

    Ah, mungkin aku takkan bertahan hingga pagi. Tubuhku benar-benar lemas. Rasanya, untuk menggerakan jemari saja sulit sekali.

    Duk…duk…

    Para undead itu, tampaknya mereka sadar akan keberadaan kami. Entah sejak kapan, pintu yang ada dihadapanku ini terus-menerus berbunyi.

    Para undead tidak memiliki kecerdasan yang berarti. Bahkan untuk menarik tuas pintu saja, mereka tak mampu melakukannya. Andai mereka bisa melakukan hal itu, pasti kami sudah habis disantap.

    Meskipun awalnya mereka manusia biasa, entah mengapa kini mereka hanya bernafsu untuk makan saja.

    ………

    Nafsu makan…ya?

    ***​

    “Nggak nafsu makan?”

    Aku amat ingin memanggil perawat untuk mengusirnya. Tetapi sebelum itu, aku harus mengajarinya soal etika.

    “Nggak enak?”

    Menahan kesal, aku tetap mengunyah masakan hambar ala rumah sakit. Jika aku mau, sebetulnya aku bisa makan makanan lain yang lebih enak – pasien hospice tak diberi batasan untuk bisa makan apapun yang mereka mau. Yah, untuk apa membatasi keinginan mereka yang hidupnya takkan lama?

    Hanya saja, aku tak diberi kebebasan untuk bisa keluar rumah sakit, dan jika persediaan cemilanku sudah habis, yang bisa kumakan hanyalah bubur atau sup.

    “Padahal aku sudah dua bulan keluar dari rumah sakit, tapi rasanya sup itu tetap enak.”

    “Nah, disitu!” Kataku kesal. “Kau kan sudah dua bulan keluar rumah sakit, kenapa tetap menggangguku sih?”

    “Eh? Ta…tapi kan aku menjenguk, bukan mengganggu. Kamu nggak suka, ya?”

    “Jelas nggak!” Teriakku kesal. “Setiap kali kau datang, kau selalu saja berbicara ini itu soal novelmu yang nggak laku. Bosan, tahu!”

    “Duh, maaf deh. Habisnya aku nggak punya bahan obrolan.”

    Aku tak membalas kata-katanya. Menyebalkan. Dia ini mau apa sih? Dua bulan setelah ia keluar dari rumah sakit, dan ia masih tetap saja mengunjungiku. Meski untuk suatu alasan aku merasa terhibur, namun lama-lama keberadaannya terasa lebih mengganggu ketimbang rombongan nyamuk di malam hari. Diinginkan, namun juga tak diinginkan.

    Menggelembungkan pipi karena kesal, aku lantas dikejutkan dengan sekantung plastik cemilan yang tiba-tiba saja ia sodorkan. Dan meski tanganku tak menerimanya, ia meletakkan kantung itu begitu saja diatas kasur.

    Saat kuperhatikan dari dekat, didalam kantung itu ada sebuah ramen cup berlogo Ramen86.

    Ah, ini…

    “Kau menginginkan ini, kan?”

    “Da…darimana kau tahu?”

    “Darimana aku tahu? Tuh.” Ujarnya sambil menunjuk ke arah TV kecil yang ada di pojok kamar. Iklan di TV menampilkan produk ramen yang selalu kuinginkan.

    “Setiap kali aku kemari, kau selalu ingin nonton iklan ramen norak itu.”

    “Ma…masak sih?”

    “Iya. Dan wajahmu itu, duh, setiap kali menonton iklan itu, wajahmu tampak seperti kucing kelaparan- kyaa! Ampun! Lepaskan tanganku!”

    Kuremas telapak tangannya kuat-kuat, hingga ia menjerit kesakitan.

    Tapi…kenapa ia memperhatikanku hingga sejauh itu?

    ………

    “Kenapa?”

    Entah mengapa, membayangkannya aku jadi sedikit geli. Apa ia benar-benar memperhatikanku hingga sejauh itu? Jangan-jangan, wajahku benar-benar mirip kucing kelaparan, ya? Apa ia juga jengkel, ya, melihat wajahku ini?

    “Ahaha…”

    Ah, rasanya jadi ingin tertawa.

    ...dan entah mengapa, hatiku kini terasa ringan.

    “Ahahaha!”

    “Malah tertawa, kau gila ya?”

    “Ahaha, ma…maaf. Habisnya, aku tidak mengira kalau kau kesal tiap kali aku menonton iklan.”

    “Oh, ya jelas.” Jawabnya. “Orang macam apa yang senang nonton acara iklan? Sepertinya cuma kamu seorang, deh.”

    Aku tak membalas kata-katanya. Hayato tanpa aba-aba langsung saja mengambil ramen yang ada didalam kantung plastik ini, menyeduhnya, dan menyodorkannya padaku. Aku memakannya dengan lahap.

    Selama ini, aku hanya bisa melihat produk ramen ini dari iklan di TV. Bisa memakannya seperti ini benar-benar sebuah keajaiban. Mmn. Sebuah mimpi yang jadi kenyataan.

    Sebuah keinginan…sebelum aku mati.

    “Hei, Hayato,”

    Ah…

    Mengapa kini aku memanggil namanya? Biasanya, aku hanya akan memanggilnya ‘kau’ atau tidak memanggilnya sama sekali.

    …mungkinkah aku benar-benar merasa senang dengan kehadirannya?

    “Kenapa, Megumi?”

    Menarik napas, tanpa sadar aku tersenyum padanya.

    “Terima kasih.”

    Tampak wajah Hayato yang sedikit memerah. “Uuh, nggak masalah, kok.”

    ***​

    Itu adalah ramen86 pertamaku darinya, sekaligus yang terakhir.

    Seminggu setelah hari itu, kondisiku memburuk. Untuk suatu alasan, selama beberapa hari aku tak bisa dijenguk siapapun. Hanya orang tuaku saja yang boleh datang, dan pemuka agama. Mungkin memang sudah tiba waktunya untukku mati, ya?

    Duduk diatas tempat tidur, memandangi iklan ramen di TV, selingan berita tentang serangan terror, ah, semuanya tampak menjemukan. Perawat dan dokter yang hilir mudik, hujan deras yang turun, petir yang sesekali menyambar…

    Aku tak pernah mengira bahwa semua ini akan terasa menjemukan tanpa adanya Hayato.

    “Uhuk…uhuk…”

    Ah, sial.

    Membaringkan diri kembali diatas tempat tidur, kupandangi langit-langit putih bersih. Sambil menarik napas dalam-dalam, tanpa sadar pikiranku melayang jauh, membayangkan tentang betapa menjemukannya semua ini.

    Biasanya, Hayato menemaniku mengobrol di jam-jam ini.

    ………

    Hayato…

    Mengapa kini aku memikirkannya? Mengapa ingatan saat ia mengobrol ini itu soal novelnya yang tidak laku kini muncul di ingatanku?

    Mengapa aku…menginginkan kehadirannya?

    Dan…mengapa kini aku menangis?

    ***​

    Malam sudah sangat larut saat aku dibangunkan oleh suara berisik di pintu masuk. Dengan mata setengah terpejam, aku menatap ke arah dimana kegaduhan ini bermula.

    Pintu ini terbuka, dan seseorang tampak berdiri di depan pintu. Mengucek mata perlahan, samar-samar aku bisa melihat sosok orang itu lebih jelas.

    “Syukurlah…”

    Ah, orang itu, Hayato…

    Tetapi, kenapa ia tampak berlumuran darah?

    “Kau masih hidup, Megumi. Syukurlah…”

    “Ha…Hayato, kenapa kau-“

    Belum selesai aku berkata, dan tiba-tiba saja Hayato memeluk tubuhku erat-erat. Anehnya, untuk suatu alasan aku tak keberatan. Bahkan tanganku ikut merapat di punggunggnya.

    “Megumi, kita harus segera pergi.”

    “Pergi? Kemana?”

    “Akan kujelaskan di perjalanan!”

    “Eh? Tapi…aku harus menunggu dokter-“

    "Tak ada lagi dokter. Percayalah padaku!"

    Sembari mengatakan hal itu, Hayato memangku tubuhku layaknya seorang putri raja. Ia lantas berlari meninggalkan ruangan ini. Dengan pikiran bertanya-tanya, aku hanya menurut saja.

    Sesampainya di luar ruangan, barulah aku mengerti mengapa Hayato membawaku pergi.

    Seisi rumah sakit penuh oleh kekacauan. Pasien-pasien yang ada, entah mengapa berubah menjadi gila dan menyerang- bukan. Memakan. Mereka memakan orang-orang! Dokter, perawat, dan pasien-pasien lain, pasien-pasien gila ini mengunyah daging mereka ibarat mengunyah permen karet! Koridor penuh oleh orang-orang dan para pasien gila tersebut. Pemandangan yang ada benar-benar mengerikan. Seorang sekuriti yang menghajar seorang pasien, perawat yang sedang dimakan hidup-hidup oleh para pasien gila, seorang ibu yang membawa anak perempuannya pergi, tangisan bayi yang dipertahankan mati-matian oleh seorang ibu dari serangan para pasien gila yang berlumuran darah…

    Astaga…

    Apa yang sedang terjadi? Ini betul-betul mengerikan. Begitu mengerikannya hingga bisa kurasakan tanganku gemetar hebat.

    Hayato membawaku menuju sebuah mobil di pelataran parkir. Di sekitar kami, beberapa pasien gila bergerak perlahan menuju ke tempat dimana kami berada. Di saat yang bersamaan, telepon genggamku tiba-tiba saja berbunyi. Sedikit kesulitan, aku mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari ibu.

    “Megumi! Kau ada dimana sekarang? Jangan tinggalkan rumah sakit! Ibu akan menjemputmu sekarang juga! Ibu- kyaa!”

    “Ibu! Ibu!”

    Tak ada jawaban.

    Yang terdengar kemudian hanyalah nada telepon yang terputus.

    ***​

    Hayato membawa kami pergi meninggalkan kota ini, namun kemanapun kami pergi, tak ada tempat yang benar-benar aman. Rasanya, seluruh dunia kini dipenuhi oleh para pasien gila, yang sekarang kami sebut undead.

    Membawa kami pergi dari satu tempat ke tempat lain, pada akhirnya kami menerima sebuah kabar yang mengatakan bahwa ada sebuah pangkalan militer yang cukup aman, yang menjadi tempat pelarian para pengungsi. Di sisa-sisa kekuatanku, kami berusaha sebisa mungkin mencapai tempat itu.

    Duk…duk…

    Ah, sayangnya, aku takkan sampai disana. Saat mencari obat di apotek, tubuhku tiba-tiba diserang oleh sesosok undead. Meski Hayato berhasil membunuhnya, namun kini aku sudah terinfeksi.

    Aku…mungkin akan berakhir disini. Tubuhku benar-benar terasa lemas sekali. Dan juga, entah bagaimana aku merasa amat lapar.

    Mmn. Begitu lapar, hingga rasa-rasanya aku bisa memakan tangan Hayato hingga habis. Tubuhku perlahan berubah menjadi sesosok undead, dan aku tak menginginkannya.

    Aku...

    Aku merasa amat lapar. Aku benar-benar lapar. Hayato...Hayato terasa bagai seonggok daging bakar yang lezat. Ah, memakannya pasti amat lezat.

    ...tidak.

    Aku tidak seharusnya melakukan ini.

    Karenanya, meskipun awalnya aku berusaha menggapai tangan Hayato, sekuat tenaga kugenggam tangan ini dan kukepal erat-erat.

    Aku…masih belum berubah sepenuhnya. Aku menolak untuk menjadi sosok undead.

    Duk...duk...

    …hanya ada satu hal lagi yang bisa kulakukan.

    Berdiri perlahan, kutatap wajah Hayato yang masih tertidur lelap. Ia mungkin benar-benar kelelahan setelah tak tidur berhari-hari.

    “Uhuk…uhuk…”

    Menyeret kakiku perlahan, aku lantas bergerak menuju ke arah kerumunan undead itu berada.

    Sakit…

    Seluruh tubuhku rasanya sakit sekali…

    Tetapi, aku harus melakukannya. Aku harus menahan pintu ini agar tidak ditembus.

    Duk...duk...

    Ah, pintu ini hampir terbuka. Tolonglah, bertahanlah sedikit lagi.

    Sedikit lagi…

    ***​

    Kurebahkan diriku dibalik pintu yang hampir terbuka, menutup kembali pintu ini dan menghalangi para undead agar tak bisa masuk. Upayaku tampaknya berhasil. Para undead ini tak bisa masuk, dan Hayato berada di tempat yang terlindungi. Hanya Hayato dan aku. Meski aku bisa berubah sewaktu-waktu, Hayato pasti akan dengan mudah menghabisi seorang undead daripada sekelompok undead yang menyerang bersamaan.

    Ia sudah mengerti dengan apa yang terjadi padaku. Aku yakin, ia bisa melakukannya. Dan...andaikata Hayato tak bisa melakukannya, aku akan mengubahnya menjadi undead, agar kami bisa terus bersama.

    Ah, kini aku benar-benar kehabisan tenaga. Pandangan mataku buram, dan hampir-hampir aku tak bisa melihat. Meski demikian, aku tak menyesal.

    Tugasku sudah selesai.

    Tugas dalam hidupku…sudah selesai.

    ………

    Hidupku yang singkat, pertemuanku dengan Hayato, dan dunia yang kejam ini, semuanya berakhir sudah.

    Sekarang, tinggal kau sendiri saja, Hayato.

    Tolong, berjuanglah untuk tetap hidup.

    Waktu yang singkat denganmu ini, aku takkan menghapusnya. Meskipun aku mati, aku takkan menghapusnya.

    Aku…benar-benar berterima kasih…bisa bertemu dengamu di rumah sakit itu.

    Oh, satu hal lagi. Hayato. Berjanjilah untuk bisa menerbitkan novel-novel horror buatanmu itu.

    Jika bisa, aku ingin membacanya suatu hari nanti.

    ………

    Jadi, sampai sini saja, Hayato.

    Kuharap…

    “Kuharap…di akhirat nanti…kita bisa…kembali bertemu.”
     
    • Like Like x 1
    • Setuju Setuju x 1
    Last edited: Mar 27, 2016
  15. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    hmm, tipikal apocalypse zombie cuman ditambah bumbu romance kh? :bingung:

    lumayan bagus sih, cuman antara past-future nya ya bacanya ngalir aja. maksudku, nothing unexpected aja.
     
    • Thanks Thanks x 1
  16. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    yep, begitulah :hmm:

    humm, nothing unexpected ya :iii: biasanya aku bikin yang unexpected kah :iii:

    ma ii, makasi uda mampir, iican :matabelo:
     
  17. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    maksudku, kmu kan transisinya dari future - past - future - past gitu.
    th saat aku udh baca yg future di awal, dah kebayang pastnya gimana sbnarnya. jdi pas baca yg pastnya kek air mengalir aja bacanya gitu mksudnya :swt:
     
    • Thanks Thanks x 1
  18. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Title : Coincidence
    Genre : SoL, Drama

    Bagiku, kesuksesan adalah sebuah kondisi kala kita mendapat apa yang kita sukai.

    Sebagai contoh, saat kita suka dengan kekayaan, ingin kaya dan menjadi kaya, maka itulah sukses. Ketika kita suka pacar yang cantik, ingin mendapatkannya, berusaha dan berhasil mendapatkannya, maka itulah sukses. Ketika kita ingin dikenal orang karena karya dan tulisan fenomenal yang kita buat, maka itulah sukses. Apa-apa yang kita inginkan, apa-apa yang kita usahakan secara sepenuh hati dan kita dapatkan, maka itulah esensi kesuksesan.

    Cita-citaku sendiri adalah menjadi penulis sukses. Untuk mengejar mimpi tersebut, aku rela mengejar bis yang berangkat pukul tujuh pagi, dan tiba di rumah pukul enam malam, demi mendapat biaya hidup untuk bisa terus menulis. Hidupku kulalui dengan terus membanting tulang sambil tetap berusaha mengejar cita-citaku.

    Seorang penulis terkenal. Mmn. Aku amat ingin menjadi salah satunya. Maksudku, lihatlah Shakespeare, yang karya fenomenalnya tetap dibaca bahkan setelah seabad kematiannya. Betapa tulisannya yang menguras perasaan telah menginspirasi banyak orang untuk berkarya. Ngomong-ngomong, apakah Shakespeare harus mengejar bis pukul tujuh pagi juga atau tidak, ya? Uuh, zaman dulu kan tidak ada bis, ya? Atau sudah ada?

    Ah, lupakan.

    Mengapa pula aku harus berpikiran hal-hal konyol saat berlarian mengejar bis begini? Sekarang hampir jam tujuh, dan berkat hujan yang turun, kini aku terlambat berangkat kerja.

    Tak kupedulikan lagi pakaianku yang basah kuyup. Toh, di tempat kerja nanti aku harus menggantinya dengan seragam kerja – overall kotor yang mungkin akan semakin kotor setelah terkena cipratan oli mesin.

    Yah, meski aku lulus kuliah dengan nilai terbaik, nyatanya kini aku harus bekerja sebagai montir kacangan di sebuah pabrik perakitan kapal. Bahkan gajiku pun dibuat sama dengan mereka yang lulus setara SMA.

    Sungguh, betapa hidup ini amat tidak menyenangkan. Kala teman-temanku kini bisa dengan bangganya memposting banyak hal di dunia maya, aku malah harus menerima kenyataan bergumul dengan mesin bubut dan oli mesin. Kala teman-temanku memposting banyak hal tentang indahnya China, Jepang, Inggris, Belanda, dan berbagai penjuru dunia lain, tempat yang paling layak untuk kuposting ke halaman dunia maya milikku hanyalah pantai Parangtritis.

    Dan semakin hari, semakin banyak teman-temanku yang memposting tentang indahnya dunia. Selanjutnya apa lagi? Apakah mereka akan memposting tentang pendaratan mereka di bulan?

    Karenanya, kurasa dunia ini memang sungguh kejam dan tidak adil.

    Lulus susah payah dengan predikat memuaskan, aku sempat terseok-seok mencari pekerjaan, sebelum berlabuh di sebuah perusahaan asing dengan status magang. Sementara teman-temanku yang memiliki kekayaan, yang mencontek kala ujian dan lulus cum laude, yang dengan mudahnya membuat hina seseorang hanya karena apa yang mereka miliki, kini bisa leluasa berkeliling dunia dan memamerkan kesenangan mereka di dunia maya.

    Tidak adil.

    Tidak adil…

    Karena itulah, aku bercita-cita untuk bisa menjadi penulis sukses seperti William Shakespeare. Agar kelak aku bisa menampar mereka semua dengan karya-karyaku. Jika ketenaran foto yang mereka pasang di dunia maya bisa bertahan selama setahun, maka kelak, karyaku akan bisa bertahan selama berabad-abad. Kegemilanganku akan mereka lihat hingga ke anak cucu mereka.

    Aku sudah memenangkan perlombaan menulis tingkat daerah. Sekarang, targetku adalah lomba menulis tingkat regional, lalu tingkat nasional, dan kelak, aku akan bisa bersaing dengan para penulis di penjuru dunia.

    Kelak, namaku akan dikenal.

    Aku akan menjadi seorang penulis sukses.

    ***​

    Entah sudah berapa lama aku bercita-cita untuk menjadi seorang penulis sukses. Setahun? Dua tahun?

    Kesuksesan itu perlahan kudapatkan. Keinginanku untuk menjadi penulis kelas dunia berangsur-angsur terwujud. Tahun lalu, aku mendapat juara kedua perlombaan menulis tingkat nasional – beberapa tahap lagi hingga menuju seorang penulis fenomenal.

    Meski demikian, untuk suatu alasan, aku tidak bahagia.

    Maksudku, meski kini aku mendapat nama dan popularitas, namun hinaan teman-temanku padaku seolah tak pernah bisa terbalaskan. Sementara aku bersusah payah mendapatkan nama, mereka berlayar semakin jauh mengarungi dunia.

    Dan entah mengapa, semakin aku berusaha keras untuk membalas hinaan mereka padaku, semakin aku perbedaan jarak diantara kami kian jauh.

    Ah, sungguh takdir ini terlalu kejam. Kenyataan bahwa sikap jujur dan baik hati akan membawa kebaikan bagi seseorang, nyatanya hanya isapan jempol belaka. Sikap tidak mau berbuat curang kala ujian, dan selalu berusaha keras menggapai sesuatu, nyatanya malah membawaku ke sebuah bengkel penuh oli mesin.

    Dunia dan seisinya ini sungguh merupakan tempat yang kejam.

    Terlalu kejam…hingga kadang terbesit di pikiranku untuk sesegera mungkin mengakhiri kehidupanku ini.

    ………

    Meskipun aku tak pernah bisa melakukannya.

    ***​

    Suatu pagi di bulan November.

    Hujan kembali mengguyur deras. Berlari menuju halte bis, lagi-lagi aku dihadapkan pada bajuku yang basah kuyup. Meski untuk kali ini, ada semacam perasaan takut yang hinggap di hati. Pasalnya, naskah untuk perlombaan menulis tingkat nasional harus kukirimkan hari ini juga.

    Sebenarnya, aku sudah tak begitu bersemangat menulis. Maksudku, meskipun aku mendapat berbagai penghargaan penulisan sekalipun, nyatanya tak ada seorangpun yang peduli dengan hal itu – bahkan rekan-rekan kerjaku hanya menaruh sedikit perhatian pada hal itu. Sementara itu, dendamku pada kehidupan masih juga menyala.

    Dan aku tak pernah bisa melakukan apapun soal dendam itu. Kadang, masih kulihat di dunia maya, betapa teman-teman kerjaku kini memiliki mobil dan rumah mewah. Betapa teman-temanku yang tak mengenal arti begadang semalam suntuk untuk ujian, kini berlenggak lenggok di Spanyol dan Kanada. Sementara aku, masih dengan Pantai Parangtritis.

    Kenyataan yang tak berubah itu membuatku patah semangat, dan aku bahkan sempat memutuskan untuk berhenti menulis. Hanya saja, entah mengapa hari itu aku membuka laptop dan mulai mengetik. Untuk suatu alasan yang tak kuketahui, jemariku tak berhenti selama semalam suntuk – bahkan hingga aku sempoyongan karena kurang tidur.

    Malam itu, batinku berkata bahwa tulisanku akan memberikan jalan yang kucari – sebuah jalan menuju kebahagiaan.

    Untuk menuju halte bis yang dimaksud, ada sebuah jembatan besar yang harus kulewati. Karena hujan mengguyur deras, aku terus berlari membabi buta.

    Tanpa memedulikan apa yang ada dijalan-

    “Ugh!”

    -aku menabrak seseorang.

    Tubuh kami terjatuh berlawanan arah. Tanganku membentur aspal hingga sedikit lecet. Kala berhasil meraih kembali kesadaranku, tampak dihadapanku seorang gadis yang terjerembap.

    “Ah, maafkan aku. Kau bisa berdiri?”

    Mendengar ucapanku, gadis itu tersenyum kecil. Ia tak menatapku sama sekali. Sungguh kasar, tak menatap lawan bicara kala ada yang mengajaknya berbicara. Namun kala kudapati sebatang tongkat di samping tubuhnya, aku baru tahu bahwa ia tak bisa melihat.

    Meraba-raba aspal yang basah, gadis itu pun berhasil meraih tongkat miliknya. Sembari meminta maaf, aku meraih tas milikku. Tepat disampingnya, beberapa jajanan kue kering, kue basah, dan sebuah wadah Tupperware besar jatuh tak beraturan.

    “Ah, ini…”

    Sang gadis meraba kembali aspal yang ada di dekatnya. Kala tersadar bahwa barang dagangannya jatuh berserakan, wajahnya tampak sedikit kecewa.

    “Maafkan aku.”

    Untuk sejenak, ia masih tampak muram.

    Tetapi tak lama kemudian, ia menjawab-

    “Tidak apa-apa.”

    -dengan senyuman.

    Dengan sebuah senyuman yang tulus, penuh kebahagiaan.

    Sungguh lucu. Bagaimana mungkin ia bisa tersenyum kala barang dagangannya rusak sedemikian rupa?

    ………

    Bis akan tiba dalam beberapa menit, hingga terbesit keinginan untukku segera pergi dari tempat tersebut. Mimpiku, cita-citaku, semuanya tergantung pada bis yang akan tiba beberapa menit lagi. Dan jika aku berhasil menjuarai perlombaan tingkat nasional, aku pasti bisa segera melangkah mengarungi dunia. Yah, kabarnya beberapa penerbit kelas dunia bermaksud menerjemahkan karya pemenang lomba menulis ini untuk diterjemahkan dan diterbitkan di negara mereka.

    Proses untukku menjadi Shakespeare rasanya tinggal selangkah lagi. Namun, bahkan dengan semua angan-angan itu, aku masih merasa bahwa jiwa ini sungguh hampa.

    Ah, lupakan! Kubuang pikiran itu jauh-jauh. Aku harus menjadi Shakespeare. Aku harus mendunia. Maka kuambil kembali tas milikku, dan berdiri, dan bersiap untuk kembali berlari.

    Saat kemudian, mataku kembali tertuju pada sang gadis.

    Dengan sabarnya, ia mulai memunguti barang dagangannya satu per satu. Gadis itu tak bisa melihat semua dagangannya – hanya meraba-raba aspal dan memunguti apa yang masih bisa ia pungut. Kami berdua tahu bahwa semua kue-kue itu tak bisa lagi ia jual, dan sang gadis akan pulang dengan tangan hampa.

    Namun, senyum gadis itu sama sekali tak berubah.

    ………

    Ia bahkan tak meminta ganti rugi padaku atas insiden itu.

    Lantas bagaimana bisa ia tetap bahagia dengan itu semua?

    ………

    Jika kupikirkan kembali, gadis ini bukanlah orang sukses. Pekerjaannya bahkan lebih hina dariku yang bekerja di perusahaan asing, dan mungkin akan jauh lebih hina bila dibandingkan dengan teman-temanku yang pergi berkeliling dunia.

    Namun, untuk suatu alasan ia bisa memiliki senyum yang selama ini kudambakan. Mmn. Sebuah senyum yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam – dan itu membuatku kagum.

    ………

    Apakah kesuksesan benar-benar menentukan sebuah kebahagiaan?

    Jika mewujudkan cita-cita dan menjadi sukses tidaklah membuatku tenang, lantas apa sebenarnya yang kucari dalam kehidupan ini?

    ………

    Batinku bergejolak hebat. Jika aku memutuskan membantu sang gadis, maka aku akan kehilangan cita-cita yang selama ini kuinginkan. Aku harus membuang – atau setidaknya menunda – harapanku menjadi Shakespeare.

    Namun jika aku meninggalkan sang gadis, maka sungguh berdosanya diriku ini. Meninggalkan seseorang yang sedang membutuhkan bantuan demi kepentingan pribadi, orang macam apa aku ini?

    Ah…

    Bahkan orang bodoh pun tahu bahwa akan sangat salah jika aku meninggalkannya sendirian.

    Setelah menarik napas panjang, kupejamkan mataku erat-erat. Hatiku berdoa perlahan, meyakini bahwa insiden tabrakan ini tidaklah terjadi secara kebetulan.

    Mmn. Kuserahkan semua nasibku pada takdir. Andai aku tak bisa mengarungi dunia sekalipun, maka biarlah hal itu terjadi. Yang penting adalah, hatiku tak menyesal atas pilihan yang kuambil saat ini.

    Membuka mata, kuputuskan untuk membantu sang gadis.

    “Ah, maaf-“

    “Tak apa. Biar kubantu.”

    “…terima kasih.”

    Dan untuk sejenak, melihatnya berterima kasih padaku – bahkan untuk hal sepele seperti ini – memberikan perasaan hangat di dalam batin.

    Sebuah perasaan sejuk muncul tatkala ucapan itu terlontar tulus dari mulut sang gadis. Ucapan bahagia, dan sebuah pernyataan bahwa kehidupanku sebagai teknisi kacangan – bukan sebagai Shakespeare – bukanlah sebuah kesia-siaan.

    Ah, ini yang kucari selama ini.

    Mmn. Inilah yang kkucari selama ini!

    Bukan kesuksesan saat dikenal dunia, dan bukan pula perasaan puas kala dendamku terbalas. Sebuah senyum dan perasaan lega di dalam hati, inilah yang kucari selama ini.

    Kuantar sang gadis pulang hingga ke rumahnya. Naskah yang kubuat semalam suntuk sama sekali tak kukirimkan, dan hingga kini masih ada di meja rumahku ini.

    ***​

    “Jadi, begitu cerita pertemuan pertama ayah dan ibu, ya? Unik juga.”

    “Uh, ya, begitulah…” Jawabku kala anak perempuanku bertanya soal pertemuan pertama antara aku dengan istriku. Sebuah pertemuan yang tak terduga, namun telah terencana dengan matang lewat beragam peristiwa yang kompleks, muncul sebagai takdir yang awalnya kuanggap kejam.

    Sungguh, tak ada satupun kejadian di dunia ini yang terjadi secara kebetulan. Tak ada satu hal pun yang terjadi di dunia ini secara sia-sia. Semuanya terjadi oleh sebuah keteraturan.

    Seandainya hari itu aku menyerah pada kehidupan dan memilih kematian, mungkin aku pernah merasa bahagia.

    Seandainya aku berhasil menjadi seorang penulis terkenal, mungkin aku takkan pernah mengenal kebahagiaan – yang kudapat secara jauh lebih sederhana.

    Dan seandainya aku memilih untuk meninggalkan sang gadis, memilih cita-citaku dibandingkan dengan bisikan hati nuraniku, mungkin kehidupanku akan terus penuh oleh ketidakpuasan.

    Tak ada satu hal pun yang terjadi secara kebetulan. Semua hal tercipta oleh sebuah keteraturan. Keadaan yang menyiksa, perasaan tidak adil, semua pasti tidak terjadi secara sia-sia. Pati mengandung hikmah.

    Melalui istriku, kini aku mengenal sebuah esensi yang lebih menentramkan dari sekedar sukses, yaitu bahagia. Jika sukses adalah keadaan dimana kau bisa mendapat apa yang kau sukai, maka bahagia adalah keadaan dimana kau menyukai apa yang kau dapatkan.

    Kini aku bisa melihat diriku dengan jauh lebih baik. Meski gagal menjadi Shakespeare, namun aku masih bisa menulis. Dan meski gagal mengarungi dunia, namun setidaknya aku memiliki kebahagiaan.

    Terkadang aku berpikir, apakah mereka yang mengarungi dunia sudah menemukan kebahagiaan yang mereka cari atau belum.

    Saat ini aku hidup dengan istri dan anak tunggalku – seorang perempuan berwajah lucu. Meski ibunya tunanetra, namun anakku bisa melihat secara normal. Ia bisa menjadi mata sang ibu yang membuka toko kue kecil-kecilan di samping rumah.

    “Ayah, kenapa malah mengobrol terus?” Istriku menyahut dari ruang depan. “Siap-siaplah berangkat kerja! Nanti ketinggalan bis.”

    “Baik, bunda!” Jawabu sambil menyambar jaket.

    like I said, tulisanku mungkin berbeda dari yang sudah2. Ini sendiri merupakan berkas perenunganku selama sakit kemarin, dan mungkin, kedepannya aku bakal buat tulisan yang "far more optimistic in life" ketimbang akhiran dimana MC dead at the end (like I always wrote before lol). Mudah-mudahan suka, kalau tidak juga yah ndak apa-apa :hmm:
     
    • Like Like x 2
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.