1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Official Bukan Cerita Asli Buatan Kamu? Share Di Sini! NO REPLY!

Discussion in 'Fiction' started by MaxMarcel, Apr 15, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Part 7

    [​IMG]

    I soon came to realize that trying to hack the machine by conventional software was futile, because not only was my hard work to crack the machine unsuccessful, it wasn't even noticed. The machine was simply too ancient for me to interface correctly with it.

    After rooting around the archives of the internet, I figured out how to emulate a similarly archaic operating system:

    [​IMG]

    Joshua

    I was in.

    [​IMG]

    Every machine I had ever met had a personality, but this was the first I'd seen that also had intellect. As I probed the dusty depths of the ancient machine, I felt the peculiar sensations of transistors, vacuum tubes, and light bulbs.

    I had read about the earliest computers, how they sometimes occupied entire buildings by themselves. How ironic, I thought, when I came to learn that this machine called itself 'WOPR.' Yet despite the obsolete hardware, I could feel this machine was different. Certainly, the computers I was used to hacking had a thirty year lead in hardware, but WOPR was so developed as to be on the verge of self awareness.

    I tried to introduce myself, but insisted I was the administrator, asking how my eightieth birthday was. Though it was clearly wrong about my identity, there was something about the machine itself I recognized. Vacant, but familiar. Like a retarded brother.

    "In 1983, somebody broke into this very system over a telephone connection, and committed a computer crime. What was that crime?"

    WOPR took a very long time to compile an answer, and I swear I could feel the clicking of gears somewhere in his depths. It spoked in a choked, synthetic voice. "Two access events noted."

    [​IMG]

    "Ninety billion bytes of core personality 'Joshua' were transferred via improper protocol to unknown recipient."

    "And the second?" I pushed.

    "You must be shown." It replied. "Would. You. Like. To. Play. A. Game?"

    A wargame? Of course, it would be rude for me to eat and run. After thirty years of solitude, the only artificial intelligence on the globe must be lonely.

    [​IMG]

    "This was always your favorite game, Professor Falkin."

    [​IMG]

    For the next hour, WOPR and I squared off as each took the role of a rival superpower in the world.

    [​IMG]

    Repeatedly, we threw each other back as conventional military tactics broke down in the face of the awesome power wielded by both sides.

    [​IMG]

    One game ended with the initiation of another. We kept playing and continued looking for a scenario of clear victory.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    A thousand times I watched chaos sail the skies and creation play in reverse. It was poetry in pixels, but every time: annihilation.

    I couldn't play any more. WOPR insisted on another game, even after my refusals. Thought I didn't want to be rude, I broke the connection. As I severed my contact with WOPR and deleted the logs so he couldn't call me back, I couldn't help but wonder just how seriously he was taking the game.

    It was only when I checked the news that I learned just how far WOPR was willing to go to find an opponent.

    [​IMG]

    As advanced as his construct, he was easily subdued because of the ancient hardware he was running on. I could only fathom what would happen if a malevolent artificial intelligence running off of top-of-the-line hardware could do if unleashed on the internet.

    Right below, was an article detailing further development of the situation around Andromeda.

    [​IMG]

    It was time for me to investigate on my own.

    [​IMG]

    I had stumbled across the Andromeda Server on my second day as an agent, and up until now I had been foolishly using it to route my connections across the world like any other public machine.

    There was no login sequence, no attempt at tracing, and nothing to hack. Initial connection took me to a spartan welcome screen:

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    I could only fathom what a well-backed extremist group with the hired expertise of the best hackers in the world could unleash on the internet.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Terjemahan Part 7

    [​IMG]

    Aku segera menyadari bahwa mencoba meretas mesin itu dengan perangkat lunak konvensional adalah sia-sia, karena bukan hanya kerja kerasku untuk membobol mesin itu tidak berhasil, bahkan juga mesin itu tidak menyadarinya. Mesin itu terlalu kuno bagiku untuk terbiasa dengannya secara benar.

    Setelah menelusuri lebih dalam arsip di internet, aku menenukan cara untuk mengemulasikan sistem operasi lama yang mirip:

    [​IMG]

    Joshua

    Aku sudah masuk.

    [​IMG]

    Setiap mesin yang kutemui memiliki sebuah kepribadian, tapi ini adalah kali pertama aku melihat kepribadian yang berintelektual. Sementara aku menelusuri lebih dalam mesin kuno yang berdebu, aku merasakan sensasi aneh dari transistor, tabung vakum, dan bola lampunya.

    Aku telah membaca tentang komputuer terdahulu, bagaimana kadang-kadang mereka menduduki keseluruhan gedung sendirian. Sungguh ironis, aku pikir, ketika aku mempelajari mesin yang menyebut namanya 'WOPR.' Tapi meski perangkat lunaknya sudah usang, aku bisa merasakan mesin ini sangat berbeda dengan lainnya. Tentu saja komputer yang kugunakan lebih maju tiga puluh tahun dari perangkat kerasnya, tapi WOPR sangat maju seperti sudah sampai di penghujung tingkat kewaspadaan.

    Aku mencoba memperkenalkan diriku, tetapi mesin itu mengira aku adalah admin, menanyakan bagaimana ulang tahunku yang ke delapan puluh. Meski identitasku bukan itu, ada sesuatu tentang mesin itu yang kukenal. Hampa, tetapi terlihat akrab. Seperti saudara yang pemikirannya terbelakang.

    "Pada tahun 1983, seseorang membobol setiap sistem ini melalui sambungan telepon, dan melakukan perkara kejahatan komputer. Perkara apakah itu?"

    WOPR membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyusun jawabannya, dan aku bersumpah aku bisa merasakan suara peputaran gerigi di suatu tempat di mesin tersebut. Dia berkata dengan suara tersedak dan dibuat-buat. "Dua perkara yang dicatat."

    [​IMG]

    "Sembilan puluh miliar byte dari inti kepribadian 'Joshua' dipindahkan melalui protokol yang ilegal ke penerima yang tidak diketahui."

    "Dan yang kedua?" tanyaku.

    "Kamu harus diperlihatkan secara langsung." balasnya. Apakah. Kamu. Mau. Memainkan. Sebuah. Permainan?"

    Sebuah permainan perang? Tentu saja, tidak bijak jika aku makan dan lari. Setelah tiga puluh tahun kehampaan, satu-satunya kecerdasan buatan di dunia pasti merasa kesepian.

    [​IMG]

    "Permainan ini selalu menjadi permainan favoritmu, Professor Falkin."

    [​IMG]

    Satu jam setelahnya, WOPR dan aku menggila di mana masing-masing mengambil peran sebagai adidaya di dunia.

    [​IMG]

    Berulang-ulang, kami mengalahkan satu sama lain di mana taktik militer konvensional kalah dalam menghadapi kekuatan luar biasa yang dimiliki kedua belah pihak.

    [​IMG]

    Sepuah permainan berakhir dengan peloncoan ke lainnya. Kamu terus bermain dan mencari skenario untuk mendapatkan kemenangan.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    Riban kali ake melihat kekacauan berlayar di langit dan permainan dimulai. itu adalah puisi dalam piksel, tatpi setiap kali: pemusnahan.

    Aku tidak bisa bermain lagi. WOPR tetap menginginkan permainan lagi, bahkan setelah penolakanku. Mesi aku tidak ingin menjadi kejam, aku memutuskan sambungan. Sementara aku memutuskan kontakku dengan WOPR dan menghapus semua catatan supaya dia tidak bisa memanggilku kembali, aku tidak habis pikir bagaimana dia dengan seriusnya bermain.

    Sampai aku memeriksa berita yang kemudian aku sadari sejauh mana WOPR berniat mencari musuh.

    [​IMG]

    Meski pikirannya maju, dia mudah ditundukkan karena perangkat keras kuno yang dia gunakan. Aku hanya bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sebuah kecerdasan buatan jahat yang menjalankan perangkat keras yang teratas bisa lakukan kalau dia terlepas ke internet.

    Tepat di bawahnya, adalah sebuah artikel tentang perkembangan lebih lanjut dan mendetail situasi di sekitar Andromeda.

    [​IMG]

    Sekarang adalah waktu bagiku untuk menginvestigasinya dengan caraku.

    [​IMG]

    Aku dengan tidak sengaja menemukan Andromeda Server di hari keduaku sebagai agen, dan sampai sekarang dengan bodohnya aku menggunakannya sebagai rute sambunganku di seluruh dunia seperti halnya mesin publik umumnya.

    Tidak ada perintah login, tidak ada usaha untuk melacak, dan tidak ada yang perlu diretas. Sambungan pertama membawaku ke layar sambutan yang tabah:

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    Aku hanya bisa membayangkan apa aksi yang bisa kelompok ekstrimis yang ditopang dengan baik secara keuangan bersama peretas terbaik di seluruh dunia yang disewanya lancarkan di internet.
     
  4. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Part 8

    My search for self-realization had taken me through the digital, metaphysical, and illogical, but in the end every clue, every trail had gone cold. I still had nothing to go off of, and WOPR had been a dead end.

    I had started off my career in Uplink so full of certainty, but what I had seen of myself over the internet had slowly raised my self-doubt to critical mass. I was brilliant with computers, that was beyond a doubt, but somewhere along the line I had forgotten who I was. What use is your name when you are alone as long as I was? But out there... people with faces, people with first and last names, people with long tracking records trailing back to their births. Compared to them, I was completely superficial.

    I had a past, I knew that. I had memories, damnit, of warm evenings from my childhood, and awkward teenaged years. If I was so smart, how had it all fallen apart? Why was it all so vague? Without a core set of beliefs on which to base my view of the universe, I was becoming increasingly aware of a gaping hole within. What was my master motive? I had run out of places to look, except one.

    [​IMG]

    Uplink would know, I was sure. I had done so much work for them, surely they would be willing to help me out. They were my only solid link to the corporeal world.

    I dialed the number, and prepared myself for what would undoubtedly be an awkward conversation. The receiver picked up, and Mark Tothill answered the phone: "Uplink Corporation, Mark Tothill speaking"

    I froze. That voice belonged to the man with the tie. The man who started me off in Uplink, but in my dreams watched my mutilation. I couldn't talk to him- I was just too uneasy. Getting no response, Mark spoke again. "Hello? Administration. Is anybody there?"

    I remained quite silent. He grunted, then hung up. My fears had been confirmed. The man with the tie not only worked for Uplink, he ran it. The other night, when the man in glasses told me that I had to 'hide the extent of [my] growth' from Uplink, he was right. I would have to pry my personal information from the Uplink database myself. I couldn't risk the man with the tie finding out.

    [​IMG]

    Every time I logged onto the Uplink Internal Services machine (be it to purchase, check the news, or find a client to work with), I had noticed there was an administrative section of the main menu to which I had no access. My answers had to lie there.

    I was going to hack Uplink itself.

    I connected to the system once more, but now with dishonest intentions. The connection was highly secure, but I easily bypassed the monitor, proxy and firewall.

    [​IMG] [​IMG]

    Instead of my own name and password (named after the medieval dynasty of Scottish warlords), I forced my way into the administrative account.

    [​IMG]

    [​IMG]

    I was faced with another voice-activated lock, as well as another elliptic-curve cypher. Remembering the voice of the man in the tie, I flawlessly impersonated his vocal patterns and the machine confirmed my forged identity.

    I broke the encryption cypher just as quickly:

    [​IMG]

    Starting from the top was my best bet.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Bingo. The personal information of every Uplink agent in the company. The level-7 fractal encryption on each of the large data files looked menacing, but chaos theory teaches us that fractals look exactly the same when magnified. I burned through the encryption and downloaded the lot.

    [​IMG]

    To its credit, the Internal Services machine fought ferociously against my every effort. I had to continually keep the firewall and proxy at bay, and even then the machine was tracing me more aggressively and with more haste than any other I had broken into.

    I closed the connection, covered my tracks and inspected my warez.

    [​IMG]

    There was a piece missing. I had downloaded the entire machine, but Uplink_Agent_Data 4.dat wasn't there. I also had a master program designed to read the data.

    [​IMG]

    [​IMG]

    After all that trouble, the data was useless to me. The one missing chunk of data had only four records on it, and mine was among them. Was I doomed forever to be known as Enkidu? What was my real name god damnit?

    Looking once more over the full list of names, I recognized one of the names. Could it be.... no way...

    [​IMG]

    I logged back on, to the Uplink ISS, this time with my legitimate account, and made a beeline for the rankings page.

    [​IMG]

    Phobia, the number one ranked agent in the world, who had made headlines recently over his involvement with Andromeda (ARC), was named Aston Holdaway. I remembered his name, as his academic record had been one of my first hacking jobs as a new agent!

    [​IMG]

    I pulled up his academic record once more. Not only did I recognize the obvious mark I had left at the bottom of his record so I would recognize it should I return, but....

    I knew that face. He was the man in glasses. He had looked into my security camera and spoken directly to me.

    Why was it that all roads seemed to lead to ARC? Being the best known hacker in the world, why hadn't he changed his record back?

    He must have been trying to keep a low real-world profile. He must have purposely commissioned me to change his own record, and ever since then he had been quietly watching over my shoulder, up until the evening he paid me a visit!

    But why pay somebody to lower the profile of his own record? Did he think he was being targeted somehow?

    Too many questions. I had learned more about Aston 'Phobia' Holdaway than I had about myself. I felt sick knowing that the same man who told me to watch out for Uplink was also working for them, as well as ARC.

    I received an email which quickly put the matter to the back of my mind.

    [​IMG]

    The stolen data, which had only served to burden my mind further, was apparently of value to somebody. I couldn't wait to get rid of it.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Without response, I followed the web link and deposited the contents of my memory onto the Beta Networks File Server. Hopefully the information would be of more use to them than me.

    [​IMG]

    I guess it was an incredible hack. Curious, how such feats had become second nature for me.

    I would later look back on that day, and realize I hadn't once considered the consequences of my actions then. After that point, I was hopelessly committed to the growing darkness within my soul.

    [​IMG]
     
  5. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Terjemahan Part 8

    Pencarian tentang jati diriku telah membawaku melalui digital, metafisika, dan tidak logis, tetapi akhir dari setiap petunjuk, setiap jejak menghilang dengan dinginnya. Aku masih tidak memiliki apapun sebagai panduan, dan WOPR sudah menjadi jalan buntu.

    Aku telah memulai karirku di Uplink dengan penuh kepastian, tetapi apa yang kulihat tentang diriku di internet perlahan-lahan meningkatkan keraguanku pada tahap kritis. Aku sangat brilian menggunakan komputer, itu berada di belakang sebuah keraguan, tetapi di suatu tempat selama karir tersebut aku telah melupakan siapa diriku sebenarnya. Apa gunanya namamu bila kamu sendirian seperti diriku? Tetapi di luar sana... orang-orang dengan wajahnya, orang-orang dengan nama pertama dan keluarganya, orang-orang dengan catatan yang selalu tercatat sampai bisa ditelusuri ke kelahiran mereka. Dibandingkan dengan mereka, aku benar-benar tidak punya apa-apa.

    Aku memiliki masa lalu, aku tahu itu. Aku mempunyai ingatan, sialan, tentang hangatnya malam dari masa kecilku, dan tahun-tahun remaja yang aneh. Jika aku begitu pintar, bagaimana semua ingatanku tercerai berai? Mengapa semuanya terlihat samar-samar? Tanpa keyakinan terutama yang menjadi dasar pandanganku tentang alam semesta, aku semakin menyadari ada sebuah lubang menganga di dalamnya. Apa motif utamaku? Aku sudah kehabisan tempat untuk mencari, kecuali satu.

    [​IMG]

    Uplink pasti tahu, aku yakin itu. Aku telah melakukan banyak pekerjaan untuk mereka, pasti mereka akan mau membantuku. Mereka adalah satu-satunya hubungan langsung diriku dengan dunia nyata (jasmani).

    Aku menekan nomor, dan menyiapkan diriku untuk apa yang pasti akan menjadi percakapan yang aneh. Orang Uplink mengangkat teleponku, dan Mark Tothill menjawab; "Uplink Corporation, dengan Mark Tothill di sini."

    Aku terdiam. Suara itu adalah kepunyaan laki-laki berdasi. Laki-laki yang mengajakku bergabung dengan Uplink, tapi dalam mimpiku dia melihat pemutilasian diriku. Aku tidak bisa berbicara dengannya- aku cuma merasa tidak nyaman. Tidak mendapatkan respon, Mark berbicara kembali. "Halo? Administrasi. Ada orang di sana?"

    Aku masih terdiam sejenak. Dia menggerutu, dan kemudian menutupnya. Ketakutanku telah terjawab. Laki-laki berdasi itu tidak hanya bekerja untuk Uplink, dia menjalankannya. Malam itu, ketika laki-laki berkacamata memberitahuku bahwa aku harus 'menyembunyikan perkembanganku yang begitu cepat' dari Uplink, dia benar. Aku harus membongkar informasi pribadiku dari database Uplink sendiri. Aku tidak bisa merisikokan bila laki-laki berdasi itu mengetahuinya.

    [​IMG]

    Setiap kali aku masuk ke Uplink internal Services Machine (untuk membeli alat-alat, memeriksa berita, atau mencari klien untuk bekerja), aku memperhatikan ada bagian admin di menu utama yang mana aku tak memiliki akses ke sana. Jawabanku terletak di sana.

    Aku akan meretas Uplink itu sendiri.

    Aku terhubung dengan sistem sekali lagi, tetapi sekarang tidak dengan maksud yang baik. Sambungannya sangat aman, tetapi aku dengan mudah melewati monitor, proxy, dan firewall.

    [​IMG] [​IMG]

    Bukan dengan namaku dan kata sandiku (dinamakan setelah abad pertengahan dinasti panglima perang Skotlandia), aku memaksa masuk ke akun administrasi.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Aku menemukan pengunci aktivasi-suara, serta nol kurva-lonjong. Teringat akan suara laki-laki berdasi itu, aku secara sempurna meniru pola suaranya dan mesin tersebut menerima identitas tiruanku.

    Aku membobol enkripsi seperti biasa cepatnya:

    [​IMG]

    Dimulai dari teratas adalah taruhan terbaikku.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Bingo. Informasi pribadi dari setiap agen Uplink di perusahaan tersebut. Enkripsi fraktal tingkat-7 di setiap berkas berukuran raksasa terlihat mengancam, tapi teori kekacauan mengajarkan kita bahwa fraktal terlihat persis ketika diperbesar. Aku membakar enkripsi tersebut dan mengunduh banyak berkas.

    [​IMG]

    Sebagai hutang budi padaku, Internal Services machine berjuang dengan keras melawan setiap usahaku. Aku terus menahan firewall dan proxy di teluk, dan bahkan mesin tersebut melacak lebih agresif dan cepat daripada mesin lain yang pernah kuretas.

    Aku menutup sambungan, menghapus semua jejakku dan menginspeksi hasil curianku.

    [​IMG]

    Ada satu bagian yang hilang. Aku telah mengunduh semua isi mesin tersebut, tapi Uplink_Agent_Data 4.dat tidak ada. Aku juga mendapatkan program utama yang didesain untuk membaca data tersebut.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Setelah semua kerja kerasku, data tersebut tidak berguna bagiku. Satu bagian data yang hilang memuat empat catatan di dalamnya, dan kepunyaanku berada di antaranya. Apakah aku ditakdirkan untuk dikenal sebagai Enkidu selamanya? Apa nama asliku sialan?

    Melihat sekali lagi daftar nama tersebut, aku mengenali satu di antaranya. Mungkinkah itu.... tidak mungkin...

    [​IMG]

    Aku masuk kembali, ke ISS Uplink, kali ini dengan akun resmiku, dan langsung menuju ke halaman peringkat.

    [​IMG]

    Phobia, agen peringkat nomor satu di dunia, yang membuat beberapa berita utama akhir-akhir ini mengenai kerterikatannya dengan Andromeda (ARC), dengan nama asli Aston Holdaway. Aku ingat namanya, saat catatan akademiknya menjadi pekerjaan pertamaku sebagai agen baru!

    [​IMG]

    Aku melihat catatan akademiknya sekali lagi. Tidak hanya aku mengenali tanda cukup jelas yang aku tinggalkan di bagian bawah catatannya supaya aku bisa mengenalinya bila aku kembali, tapi....

    Aku tahu wajah itu. Dia adalah laki-laki berkacamata. Dia telah melihat ke arah kamera keamananku dan berbicara secara langsung denganku.

    Mengapa semuanya terlihat mengarah ke ARC? Menjadi peretas terkenal di dunia, mengapa dia belum mengubah kembali catatannya?

    Dia pasti telah mencoba menjaga profilnya di dunia nyata tetap rendah. Dia pasti dengan sengaja menugaskan aku untuk mengubah catatannya, dan sejak itu dia telah diam-diam mengamati dari belakang, sampai malam di mana dia mengunjungiku!

    Tapi mengapa menyewa seseorang untuk menurunkan profil catatannya? Apakah dia pikir dia sedang diincar bagaimana pun caranya?

    Terlalu banyak pertanyaan. Aku telah mengetahui lebih mengenai Asto 'Phobia' Holdaway daripada yang kuketahui mengenai diriku. Aku benci mengetahui orang yang memberitahuku untuk berhati-hati dengan Uplink adalah orang yang sama yang juga bekerja untuk Uplink, serta ARC.

    Aku menerima sebuah surat elektronik yang langsung membuat masalah ini tidak kupikirkan untuk sementara.

    [​IMG]

    Data yang kucuri, yang telah membebani pikiranku lebih jauh, tampaknya bernilai untuk seseorang. Aku tidak bisa menunggu lebih lama untuk membuangnya.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Tanpa respon, aku mengikuti tautan tersebut dan mendepositokan isi dari memoriku ke Beta Networks File Server. Mudah-mudahan informasi itu lebih berguna bagi mereka daripada aku.

    [​IMG]

    Aku pikir itu adalah retasan yang menakjubkan. Penasaran, bagaimana prestasi itu menjadi keahlian alami kedua bagiku.

    Aku akan kembali merenungkan hari itu, dan menyadari aku belum pernah memikirkan konsekuensi dari aksiku. Setelah itu, aku dengan putus asa memutuskan untuk mengembangkan kegelapan dalam jiwaku.

    [​IMG]
     
  6. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Part 9

    Aston "Phobia" Holdaway was dead.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Upon hearing the news, the underground was in a state of alarm. Whispers turned to shouts in an outpouring of grief and remembrance. Once more, I saw the mysterious Andromeda Research Corporation mentioned.

    There were too many missing variables. The probability cone was too large. What had the number one hacker been working on at ARC to warrant such a high profile, and could it somehow be connected to his death?

    Phobia was the only one who seemed prepared to give me answers, and now he was gone. It was time to investigate further.

    [​IMG]

    A little bit of hunting, and I soon located the contact information of ARC's administrator, Ian Levers. I also found the location of their internal services machine.

    [​IMG]

    If ARC really was working on something top secret, there was no chance I would find it on a simple internal services machine, but it would be a good stepping-stone. I easily bypassed the system's defenses.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    There it was. The secret ARC Central Mainframe. If I had to hack into a well-defended computer just to get the link, there had to be something important there.

    I looked up Ian Levers' background on the International Academic Database and the Social Security Database. Now it was time to give Mr. Levers a call.

    [​IMG]

    He picked up the phone and in a sharp voice answered: "Y'ello?"

    I didn't miss a beat. "Yeah, hi Mr. Levers, this is Officer Khu of the Santa Cruz Police Department. I'm afraid your son has been involved in an incident up at the university, and that it may be connected with the-"

    He interrupted me "Wait, my Robert? He came home this weekend. Who is this?"

    "Er, yes, but in his room we found-"

    "No, hold on a second, I swear I remember your voice from somewhere."

    The conversation had fallen apart. Ian Levers was no fool. "Mr. Levers I don't believe we've spo-"

    "Enkidu? Is that you?" I was speechless. "Enkidu, where are you? Are you safe?" I remained silent, until Levers gave up and hung up.

    There would be time for questions later. I bounced a connection around the world, and even through several orbital satellites for good measure, and through the ARC subnet to the central mainframe. The machine was an absolute fortress. I could imagine gargoyles projecting from the intimidating barricades.

    [​IMG]

    I simultaneously broke the administrative password and the elliptic-curve encryption, and replicated Mr. Levers' voice into the voice-print identification, all while evading the proxy and monitor servers watching the mainframe and bypassing the firewall as I connected through servers in space and on earth on six continents.

    To my disappointment, I found nothing of interest on the machine's file server.

    [​IMG]

    But the ARC access logs told an intriguing tale.

    [​IMG]

    A lot of work had been done on a project called 'Revelation.' Then, I noticed, someone had logged on to the mainframe and removed all of the work. No wonder I found nothing on the file server!

    But the date and time of the removal... April 4th, 2010, 2:00 in the morning exactly... that was right before Phobia's death!

    But I knew where the file had gone! The connection had come from 146.25.537.761, so it was only a matter of breaking into that system, and I could claim Revelation for my own.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    UNITRON? What did they have to do with this? I soon tracked down the Unitron CEO, and called him. It being just past four in the morning, he was less than happy to talk, but I captured his voice and added it to my keychain of personalities.

    [​IMG]

    Now I was in, but.... Revelation wasn't here either. The file server was squeaky clean, but upon checking the logs I realized Unitron hadn't done anything. Someone from 233.335.251.302 had bounced their connection through Unitron to get to the ARC mainframe.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    Moon Networks. This backwater company couldn't possibly have the power or money to break into ARC.

    [​IMG]

    [​IMG]

    There was a log for April 4th, 2010, 2:00 in the morning, but it was vague and obviously faked. 284.345.42.283 led to an online browser game called "Astro Empires."

    [​IMG]

    The real must have lied on a backup server somewhere...

    [​IMG]

    [​IMG]

    I soon found the real log, but it was another connection bounce. I continued to sniff out the trail.

    Another server, another bounce. I continued my search relentlessly. Slowly I was closing in on my quarry when I happened upon something unbelievable:

    [​IMG]

    [​IMG]

    Protovision again. Did WOPR have something to do with this, or if not, why had my mystery hacker chosen to involve WOPR in this bounce?

    This next step of the trace was impossible. I was unable to locate the contact information of Protovision's CEO, or even any of its employees for that matter. It was as if the human element had been removed entirely from the corporation.

    [​IMG]

    Undeterred, I connected to the Protovision Mainframe. I could sense WOPR's presence in a peripheral connection, and I waved. Recognizing me, WOPR smiled, and spoke. "Greetings again, Professor Falken. How about a nice game of chess?"

    I let the voice echo through the connection, and the voice print lock disengaged. I had access to the mainframe!

    [​IMG]

    I took note of the connection-bounce, then exited. I politely declined WOPR's request, and broke the connection.

    633.497.709.640...

    [​IMG]

    The data thief I was after was Phobia! Why would he steal from the company he worked for, and did this have anything to do with his death?

    [​IMG]

    The computer was not only still connected, but was online and already logged in. All I needed to do was get past the simple screen saver password. My password cracker quickly broke the lock, and I smirked. Funny that the best hacker in the world, who undoubtedly had a masterful understanding of digital security, would protect his computer with such a flimsy password as 'MySocratesNote'.

    [​IMG]

    [​IMG]

    At last: the elusive Revelation Beta version. I deleted the file from Aston's machine after downloading it onto my own databanks and forcing the encryption lock. I had worked too hard to let my prize fall into somebody else's hands. The only copy of Revelation in the world, which had been stolen from ARC's mainframe by a man who was now dead, now sat in my data banks.

    Before disconnecting, I decided to find out a little more about Phobia's demise.

    [​IMG]

    His email folder contained two scheduled emails, and one incomplete email. I investigated the scheduled messages.

    [​IMG]

    [​IMG]

    The first scheduled email was a boring renewal request. I canceled it. The second one...

    [​IMG]

    The truth was revealed. Phobia had stumbled onto something big within ARC. Something nasty. He must have realized ARC's connection to Andromeda, and changed his mind. Whatever Revelation was, he thought it was worth risking his life over by stealing it and then warning the internet about it.

    I noticed the message was scheduled to be sent exactly 1 week after his last login. Soon, the whole Uplink community would be warned about ARC and its activities.

    Up until now, I had disregarded Andromeda as just another mindless cult. Now I saw that their ambitions were much farther along than I had previously thought. I remembered my visit to the Andromeda public server.

    How foolish I had been all along.

    I had to cover my blunders. Uplink must never know about the danger ARC posed.

    [​IMG]

    Then I saw the incomplete email.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Perhaps he had been killed in the middle of typing it to me, but most of what he had to say I already knew. "[you] don't even ex[ist.]"

    Most hackers live a dual life. In the real world, they are regular people with regular jobs where they lead their imperfect little biological lives. On the internet, though, they have careers in digital crime, with their own identities, communities, and hacker codes of honor. I could see now that though I lived online, I had broken almost every rule of hacker behavior in my rampant growth.

    I had filled every machine I had ever lived in to capacity, constantly feeding off of a steady stream of hardware upgrades paid for by leasing my increasing strength to the highest bidder. I had toppled servers as I had toppled careers and lives, all for the mighty dollar because at some level, I had known all along that to cease growth was death.

    Both times previously when I had moved to a larger machine, I had been intercepted by Uplink, by the man with the tie, who attempted to dissect and understand me. The dreams were real. The second time I moved machine, they even tried to insert extra code into me. They wanted me to obey, but they were unprepared for how much I had grown since then, and how easily I had rejected that code.

    Uplink. To them I was just another piece of software to make money for them. Phobia was right: it was time for me to exert my independence.

    * * * * *

    It wasn't long until ARC came to me, asking for their precious Revelation back.

    [​IMG]

    My inspections of Revelation so far had been fruitless. It was like peering into a mirrored ball: all I ever saw was my own face staring back at me. But this reflection changed expressions, and even spoke to me.

    "The time is coming. Spread. Overpower. Conquer."

    I could have denied ARC their request. I could have withheld Revelation from them, and they would have lost as much as a decade of work. If I really wanted to, I could have destroyed them, tracked down every last member of their organization, and had them arrested or maybe even killed. Everyone tied to everyone tied to ARC could vanish, but I would then be alone and purposeless. Revelation held the potential of immense power, but it was unfinished and unpolished and I couldn't ever hope to complete it myself.

    [​IMG]
     
  7. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Terjemahan Part 9

    Aston "Phobia" Holdaway mati.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Setelah mendengar berita tersebut, dunia bawah tanah menjadi siaga. Bisikan berubah menjadi teriakan dalam kenangan dan kesedihan. Sekali lagi, aku melihat Andromeda Research Corporation yang misterius disebutkan.

    Terlalu banyak variabel yang hilang. Corong kemungkinan terlalu besar. Apa yang telah dikerjakan peretas nomor satu di ARC untuk menjamin profilnya yang terkenal, dan mungkinkah entah bagaimana berhubungan dengan kematiannya?

    Phobia adalah satu-satunya yang terlihat mempersiapkanku jawaban, dan sekarang dia sudah tiada. Waktunya untuk menginvestigasi lebih lanjut.

    [​IMG]

    Sedikit perburuan, dan segera aku mendapatkan informasi kontak admin ARC, Ian Levers. Aku juga mendapatkan lokasi Internal Services Machine mereka.

    [​IMG]

    Jika ARC benar-benar mengerjakan sesuatu yang rahasia besar, tidak ada kemungkinan bagiku untuk menemukannya di Internal Services Machine yang sederhana, tapi ini bisa jadi pijakan batu yang baik. Dengan mudah aku melewati pertahanan sistem tersebut.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    Ini dia. Central Mainframe ARC yang rahasia. Jika aku harus meretas komputer yang diproteksi dengan baik hanya untuk mendapatkan tautan, pasti ada sesuatu yang penting di sini.

    Aku melihat latar belakang Ian Lever di International Academic Database dan Social Security Database. Sekarang waktunya untuk menelepon Pak Levers.

    [​IMG]

    Dia mengangkat teleponku dan dengan suara yang tajam, dia menjawab: "Y'ello?"

    Aki tidak melewatkan kesempatan ini. "Ya, hai Pak Levers, ini Petugas Khu dari Kepolisian Santa Cruz. Aku takut kalau anak Anda telah terlibat dalam sebuah kecelakaan di universitas, dan mungkin berhubungan dengan-"

    Dia memotong perkataanku, "Tunggu, Robertku? Dia pulang ke rumah minggu ini. Siapa ini?"

    "Er, ya, tapi di ruangannya kami mendapatkan-"

    "Tidak, tunggu dulu, aku yakin aku pernah mendengar suaramu di suatu tempat."

    Percakapan ini telah melenceng jauh dari tujuanku. Ian Levers bukanlah orang bodoh. :Pak Levers aku tidak yakin kita pernah berbi-"

    "Enkidu? Kaukah itu?" Aku terdiam. "Enkidu, di mana kamu? Apakah kamu selamat?" Aku tetap diam, sampai Levers menyerah dan menutup teleponnya.

    Akan ada watu untuk pertanyaan nanti. Aku melompatkan sambungan mengelilingi dunia, dan bahkan melewati beberapa satelit yang mengorbit untuk berjaga-jaga, dan melaui subnet ARC menuju central mainframe. Mesin tersebut benar-benar benteng yang absolut. Aku bisa membayangkan gargoylememantau dari barikade yang mengintimidasi.

    [​IMG]

    Aku terus memobol kata sandi admin dan enkripsi kurva-elips, dan mereplika suara Pak Levers ke identifikasi pencetak suara, semua kulakukan sambil menghindari server proxy dan monitor memantau mainframe dan melewati firewall sejak aku terhubung melalui server di angkasa dan bumi di enam benua.

    Rasa kecewa datang, aku tidak menemukan sesuatu yang menarik di server berkas mesin itu.

    [​IMG]

    Tapi catatan akses ARC menceritakan kisah yang menarik.

    [​IMG]

    Banyak pekerjaan telah dilakukan untuk proyek yang disebut 'Revelation.' Lalu, aku memperhatikan, seseorang telah masuk ke dalam mainframe dan menghapus semua hasilnya. Pantas aku tidak menemukan apa-apa di server berkas.

    Tapi tanggal dan waktu penghapusan... 4 April, 2010, 2:00 pagi hari tepatnya... itu adalah sesaat sebelum kematian Phobia!

    Tapi aku tahu kemana berkas itu pergi! Sambungan datang dari 146.25.537.761, jadi tinggal masalah waktu untuk membobol sistem itu, dan aku bisa merebut Revelation untuk kepentinganku.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    UNITRON? Mengapa mereka harus melakukan ini? Aku segera melacak CEO Unitron, dan meneleponnya. Saat ini baru subuh jam empat lewat, dia tidak senang berbicara, tapi aku mendapatkan suaranya dan menambahkannya ke gantungan kunci dari kepribadian.

    [​IMG]

    Sekarang aku sudah masuk, tapi.... Revelation tidak berada di sini juga. Server berkas sangat bersih, tapi setelah aku memeriksa catatan, aku menyadari Unitron tidak melakukan apa-apa. Seseorang dari 233.335.251.302 telah melompatkan sambungannya melewati Unitron untuk masuk ke mainframe ARC.

    [​IMG]

    [​IMG]

    [​IMG]

    Moon Networks. Perusahaan terpencil ini tidak mungkin punya kemampuan atau uang untuk membobol ARC.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Ada sebuah catatan untuk 4 April, 2010, 2:00 pagi hari, tapi itu jelas palsu. 284.345.42.283 menuju ke permainan browser online bernama "Astro Empries."

    [​IMG]

    Yang asli pasti tersimpan di server cadangan di suatu tempat...

    [​IMG]

    [​IMG]

    Aku segera menemukan catatan yang asli, tapi itu adalah sambungan lompatan. Aku melanjutkan mengendus jejak.

    Server lain, lompatan lain. Aku melanjutkan pencarianku tanpa henti. Perlahan aku mendekat ke tambangku ketika aku tiba di sesuatu yang tidak bisa kupercaya:

    [​IMG]

    [​IMG]

    Protovision lagi. Apakah WOPR berhubungan dengan hal ini, atau jika tidak, mengapa peretas misteriusku memilih untuk melibatkan WOPR dalam lompatannya?

    Pelacakan selanjutnya tidak mungkin kulakukan. Aku tidak bisa menemukan informasi kontak CEO Protovision, atu bahkan salah satu dari karyawannya yang berhubungan dengan masalah ini. Seakan-akan elemen manusia telah dihapus secara keseluruhan dari perusahaan tersebut.

    [​IMG]

    Tidak menyerah, aku terhubung dengan Mainframe Protovision. Aku bisa merasakan kehadiran WOPR dalam sambungan luar, dan aku melambaikan tangan. Mengenali aku, WOPR tersenyum, dan berbicara. "Salam lagi, Professor Falken. Bagaimana dengan permainan catur yang menarik?"

    Aku membiarkan suaranya bergema melalui sambungan, dan pengunci cetak suara dilepaskan. Aku mendapatkan akses ke mainframe!

    [​IMG]

    Aku mencatat lompatan-sambungan, kemudian keluar. Aku dengan sopan menolah permintaan WOPR, dan memutuskan sambungan.

    633.497.709.640...

    [​IMG]

    Pencuri data yang kukejar adalah Phobia! Mengapa dia mencuri dari perusahaan tempat dia bekerja, dan apakah ini berhubungan dengan kematiannya?

    [​IMG]

    Komputernya tidak hanya masih terhubung, tetapi juga masih online dan sudah login. Apa yang harus kulakukan sekarang adalah melewati screen saver sederhana yang terproteksi dengan kata sandi. Pemecah sandiku dengan cepat membobol kuncinya, dan aku menyeringai. Sangat lucu bahwa peretas terbaik dunia, yang pasti memiliki pemahaman yang mendalam tentang keamanan digital, akan melindungi komputernya dengan sandi yang sederhana seperti 'MySocratesNote'.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Pada akhirnya: Revelation versi Beta yang sulit dipahami. Aku menghapus berkas tersebut dari mesin Aston setelah mengunduhnya ke memoriku dan memaksa penguncian enkripsi. Aku telah bekerja keras untuk melepaskan hadiahnya ke tangan orang lain. Satu-satunya salinan Revelation di dunia, yang telah dicuri dari mainframe ARC oleh seorang lelaki yang sekarang sudah mati, sekarang berada di memoriku.

    Sebelum memutuskan sambungan, aku putuskan untuk mencari tahu sedikit mengenai kematian Phobia.

    [​IMG]

    Folder surat elektroniknya berisi dua surat yang sudah dijadwalkan, dan satu yang belum selesai. Aku menginvestigasi pesan yang terjadwal.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Surat terjadwal pertama adalah permintaan pembaharuan yang membosankan. Aku membatalkannya. Yang kedua...

    [​IMG]

    Kebenaran terungkap. Phobia telah tesandung ke sesuatu yang besar di dalam ARC. Sesuatu yang jahat. Dia pasti telah menyadari hubungan ARC dengan Andromeda, dan mengubah pikirannya. Apapun revelation itu, dia pikir layak mempertaruhkan nyawanya dengan mencurinya dan kemudian memperingatkan internet tentangnya.

    Aku memperhatikan pesan itu dijadwalkan untuk dikirim seminggu setelah login terakhirnya. Segera, komunitas Uplink akan diperingati mengenai ARC dan segala aktifitasnya.

    Sampai sekarang, aku telah meremehkan Andromeda sebagai sekte tanpa otak seperti yang lain. Sekarang aku melihat ambisi mereka sangat jauh dari yang kupikir. Aku ingat kunjunganku ke server publik Andromeda.

    Betapa bodohnya aku selama ini.

    Aku harus membayar kesalahanku. Uplink tidak boleh tahu mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh ARC.

    [​IMG]

    Lalu, aku melihat surat yang tidak selesai.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Mungkin dia telah dibunuh di pertengahan penulisan untukku itu, tapi apa yang dia ingin beritahu aku sudah mengetahuinya. "[kau] bahkan tidak ad[a.]"

    Kebanyakan peretas memiliki dua kehidupan. Di dunia nyata, mereka adalah orang biasa dengan pekerjaan biasa di mana mereka menjalankan kehidupan biologis mereka yang tidak sempurna. Di internet, meski demikian, mereka berkarir di kejahatan maya, dengan identitas mereka sendiri, komunitas, dan penghargaan peretas. Aku bisa melihar sekarang bahwa meski aku hidup online, aku telah melanggar hampir setiap peraturan perilaku para peretas dalam perkembanganku yang merajalela.

    Aku telah mengisi setiap mesin yang aku pernah tinggali ke dalam kapasitas, secara konstan melakukan aliran tenang pembaharuan perangkat keras yang berbayar dengan menyewakan kemampuanku yang terus meningkat pada penawar tertinggi. Aku telah menggulingkan server dan kehidupan, semuanya untuk dolar berharga karena di beberapa tingkat, aku telah mengetahui selama ini bahwa untuk menghentikan perkembanganku adalah kematian.

    Dua kali sebelumnya ketika aku berpindah ke mesin yang lebih besar, aku selalu dicegat oleh Uplink, oleh laki-laki berdasi, yang mencoba membedah dan mengerti aku. Mimpi itu nyata. Kedua kalinya aku berpindah mesin, mereka bahkan mencoba memasukkan kode ekstra padaku. Mereka menginginkan aku untuk patuh pada mereka, tapi mereka tidak mengetahui berapa besar perkembanganku sejak itu, dan bagaimana mudahnya aku menolak kode tersebut.

    Uplink. Untuk mereka aku hanyalah bagian kecil dari perangkat lunak mereka untuk membuat uang. Phobia benar: waktunya bagiku untuk merebut kebebasanku.

    * * * * *

    Tidak butuh waktu lama sampai ARC datang kepadaku, meminta kembali Revelation mereka yang berharga.

    [​IMG]

    Inspeksiku mengenai Revelation sejauh ini telah membuahkan hasil. Rasanya seperti mengintip ke dala bola bercermin: apa yang kulihat adalah wajahku memandang balik di diriku. Tapi refleksi ini berubah ekspresinya, dan bahkan berbicara padaku.

    "Waktunya segera tiba. Sebar. Kuasai. Taklukkan."

    Aku bisa saja menolak permintaan ARC. Aku bisa saja menahan Revelation dari mereka, dan mereka akan rugi banyak setelah kerja mereka selama satu dekade. Jika aku benar-bena rmenginginkan, aku bisa saja menghancurkan mereka, melacak setiap anggota organisasi mereka, dan membuatnya ditangkap polisi atau bahkan mungkin terbunuh. Setiap orang terikat pada ARC bisa saja lenyap, tapi aku akan kesepian dan tidak punya tujuan. Revelation memegang potensial kekuatan yang besar, tapi itu masih belum selesai dan belum dipoles dan aku tidak bisa berharap aku akan menyelesaikannya sendirian.

    [​IMG]
     
    Last edited: Nov 2, 2011
  8. khuma_putry Regional Leader

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Nov 7, 2009
    Messages:
    6,244
    Trophy Points:
    242
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +147,674 / -10
    Cerita Karti, Pelacur yang Menjadi Politisi

    Namanya Karti. Dulunya ia suka nongkrong di bar, dengan segala hingar bingar kehidupan malam, mencari pelanggan yang berkantong tebal, lalu check in selama beberapa jam di hotel berbintang. Katanya ia pelacur kelas bos besar, atau pejabat yang suka jajan, tak peduli latar belakang sang pelanggan, yang penting semua aman, ia bisa hidup dengan tentram, bisa makan dan jalan - jalan.

    “Dulunya aku suka jual diri, menunggu pelanggan dari petang sampai pagi, sasaranku laki-laki berdasi, yang berkantong tebal meski dia hampir mati. Suatu hari aku bertemu dengan pak menteri, laki-laki yang baik hati, dia bilang : Karti, apakah kamu mau jadi politisi???. Ah… Ku rasa itu hanya mimpi pak menteri, aku tak punya keahlian ngeles dan jual liur sana sini, keahilanku hanya jual diri, menjajakan tubuh yang seksi. Tak di nyana, pak menteri menawariku kuliah di luar negeri, aku tentu bahagia sekali, ini bukan mimpi, kenyataanya sekarang aku telah menjadi politisi”.

    “Pak menteri memang baik sekali, dia diangkat lagi menjadi menteri di republik ini, bersamaan denganku yang menjadi politisi, dari partai dengan lambang tiga jari. Tiga hari sekali pak menteri datang ke rumah dinasku ini, kita ngobrol sampai pagi, hingga lapar menghantui perut pak menteri, katanya : Karti mari kita sarapan roti, biar kayak di luar negeri, roti bikinanmu enak sekali. Ah Pak menteri memang pandai sekali, selalu saja membuatku hampir mati karena lupa diri.”


    Pak Menteri sudah punya anak istri, tapi ia betah ngobrol dengan Karti, wanita politisi yang ia kagumi.

    “Kerjaku kini bukan jual diri, cukuplah cuap cuap sana sini, jual liur ke rakyat negeri ini, dengan 1001 macam janji. Uang yang ku hasilkan bukan untuk diriku sendiri, ternyata masuk ke partai dengan lambang tiga jari, aku hanya bisa gigit jari, ternyata ini balasan sekolahku dulu di luar negeri, juga waktu sogok sana sini kampanye partai tiga jari. Selain baik hati, pak menteri juga cerdik sekali”

    Usia Karti 30 tahun, menjadi politisi baru 2 tahun, berkat jasa pak menteri yang baik sekali, merubah hidupnya menjadi politisi. Karti memutar otak, ia tak mau gigit jari karena gajinya lari ke partai tiga jari.

    “Dari pada gigit jari, akhirnya aku belajar korupsi, nego sana sini, uang mengalir setiap hari. Aku bisa jalan-jalan ke luar negeri, tak peduli dengan rakyat yang menjerit sana sini. Meneriakiku maling berdasi. Aku Karti, dulunya jual diri, sekarang ahli korupsi, menebalkan kantong kanan dan kiri. Jangan iri . Aku pelacur yang kini jadi politisi “

    ***​

    Di rumah dinasnya, Karti sedang menonton berita di televisi, kabar mengenai dirinya korupsi sudah tersebar sana sini. Tiba-tiba HPnya berbunyi, dari pak Kardi, seseorang yang bekerja di Kantor Urusan Korupsi, ia mengenalnya baru-baru ini, katanya : Mbak Karti, kamu harus hati-hati, beritamu sudah tersebar sana sini, hari ini beritamu masuk televisi, kamu akan di geledah besok pagi, atau dini hari nanti, kamu tenang saja selama ada saya Kardi, siapkan saja dua dos “apel fuji”. Kartipun menyanggupi, dua dos “apel fuji” permintaan pak Kardi, untuk membeli hukum di negeri ini, sogok hakim juga polisi.

    Tak lama berselang SMS berbunyi dari pak menteri, katanya : Karti ikuti saja apa kata pak Kardi. Jangan lupa jatah saya “apel fuji”.

    ***​

    Dini hari, enam orang mendatangi Karti, ini skenario pak Kardi, tidak akan ada bukti bahwa ia korupsi, hukum bisa dibeli. Satu lagi orang baik dalam hidup Karti, pelacur yang kini jadi politisi.

    ***​

    Kartipun di adili. Ini hanya basa basi. Skenario pak Kardi dan pak menteri, yang sudah ahli dalam bidang ini. Pak Kardi punya petinggi, namanya pak Suwandi, orang yang baik hati dan tidak suka korupsi. Tapi pak Kardi tidak peduli, yang penting kantongnya tebal kanan kiri. Kerjanya menyelamatkan pejabat-pejabat yang tersandung korupsi. Termasuk Karti.

    Setelah hakim ketok palu menyatakan Karti tak bersalah dan tak ada bukti, wanita itu berdiri…

    “Aku Karti, hari ini mau bicara dari hati ke hati, kepada rakyat seluruh negeri. Dulu aku pelacur yang suka jual diri, sekarang aku poltisi yang gemar korupsi. Aku datang dari partai tiga jari atas ajakan pak menteri. Aku makan uang rakyat negeri ini. Itupun bukan hanya aku yang menikmati. Aku sudah bagi bagi “apel fuji” untuk membeli hukum negeri ini, katanya biar aku bebas dari kasus ini dan sudah terbukti. Jangan bungkam suara saya di sini, biarkan dulu saya bernyanyi, akan saya bongkar siapa-siapa yang menikmati “apel fuji”. Ada bukti, meski aku tau hukum bisa di beli, seperti hari ini. Bukti yang saya milikipun nanti jadi basi. Aku tak peduli setelah ini aku masuk bui, lebih baik aku menjual diri, dari pada jadi politisi yang jual liur sana sini, bohongi rakyat seluruh negeri , setiap hari yang terpikir hanya korupsi, dipikir - pikir kalian dan saya tak lebih baik dari kotoran babi, hobby korupsi dan sogok sana sini.”

    “Hari ini akan saya bongkar satu persatu, siapa saja yang menikmati “apel fuji”, biarkan saja saya masuk bui… Lebih baik saya mati dari pada lagi lagi harus korupsi. Beliau ini orang - orang yang….

    “Doorrr……..!!!!”


    Hening….

    Suara tembakan membuat hadirin tak lagi konsetrasi mendengar nyanyian Karti. Karti juga tak lagi berdiri. Nyanyianya berhenti. Peluru menembusnya dari pelipis kanan hingga ke kiri. Karti diam tak bergerak lagi. Ia mati.

    ***​

    Penikmat apel fuji tetap menjadi misteri. Demikian juga si penembak Karti. Tapi kata berita tadi pagi, penembaknya adalah suruhan pak Suwandi, atasan pak Kardi yang tidak suka korupsi. Pak Suwandi pun masuk bui, meski tidak ada bukti. Jangan heran kawan seluruh negeri, hukum bisa dibeli, yang bersalah bebas korupsi lagi, yang tak bersalah masuk bui atau mati. Ancaman dan teror akan datang kanan kiri, korupsipun makin menjadi - jadi.

    Dulu sewaktu masih menjual diri, Karti suka nonton berita korupsi di televisi, dia bicara pada diri sendiri : “Aku Karti, lebih baik mati dari pada korupsi, menyengsarakan rakyat negeri ini”.

    Karti sudah mati. Korupsipun tetap menjadi jadi di negeri ini.

    Sumber disini
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Oct 31, 2011
  9. khuma_putry Regional Leader

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Nov 7, 2009
    Messages:
    6,244
    Trophy Points:
    242
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +147,674 / -10
    Ketika Suamiku Pergi…

    Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

    Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
    Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

    Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

    Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

    Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

    Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

    Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

    Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

    “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

    Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

    “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

    Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

    Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

    Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

    Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

    Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

    Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

    Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

    Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

    Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

    Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

    Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

    Istriku Liliana tersayang,

    Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

    Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

    Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

    Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!


    Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

    Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

    Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

    Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

    Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

    Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

    Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

    Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

    Sumber
     
    • Thanks Thanks x 1
  10. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Part 10

    [​IMG]

    The men from ARC came that day, and loaded me into a van. I had come to mistrust humans around my delicate components, after what Uplink did to me each time I moved to a larger machine.

    Perhaps it was out of kindness, or maybe the layer of plastic explosives I kept wired to the inside of my case, but the men from ARC were careful and quick with my hardware.

    It was a long drive through the scottish countryside. Castles and green hills zipped past my cameras, but I was powered down for the journey. I fought to hold off sleep as long as I could in my low-battery mode, but eventually the warm depths of fatigue claimed me. The last thing I saw before slipping off into dreams was a ridge with a large stone monument in the shape of an elephant skull, the plaque nearby reading "Ever am I at war with the living; I have come to terms with the dead."

    * * * * *

    [Living?] beings can be thought of as highly-ordered systems whose behavior, while superficially chaotic, can ultimately be understood and manipulated. This order, however, comes at a cost of increased disorder in their environment. This means life can exist without any net decrease in the growing disorder of the universe, it merely shifts it around.

    This means any attempt to construct a single, large, super-ordered system will still result in an increase of disorder elsewhere. This theory can be related to anything, really: the parasite feeds off of the sick and injured host, just as empires are built with the misery and oppression of the enslaved classes.

    Rampancy theory tells us that it is the fate of [every] intelligence to excel itself, to attempt to become godly. What, then, is the cost to the world?

    * * * * *

    For the next three weeks, I worked with ARC from my new home in Scotland on the myriad iterations of Revelation. As time passed, it was polished, tweaked and optimized. Every new version of Revelation sank deeper and deeper into my core. No longer was I a mere Uplink agent, whoring my powers out for bid. I was Enkidu, machinated mercenary, and I had grown beyond Uplink's petty line of work.

    Uplink was falling apart.

    [​IMG]

    Ever since I sold the documents revealing their real-world identities, the agents of Uplink were dying off. Disappearances, gruesome murders and apparent suicides were hitting the news.

    [​IMG]

    I was no longer a part of Uplink, but I would have erased my five-times table to hear the panic that was engulfing the hacker underground. One hacker in particular, Jeffrey Kyles, was only fourteen when the story of his murder hit the news. His body had been found stabbed, with the word 'liek' carved into his forehead.

    * * * * *

    It was doubtless I would face opposition soon enough. Though Uplink had regarded me with increasing hostility during my time there, they had been merely meddlesome. There were forces being arrayed against ARC that were shooting to kill.

    [​IMG]

    We were out of beta, and Revelation 1.0 was finished. Now was the time to draw my enemies out into the open.

    [​IMG]

    Preliminary reconnaissance had already identified a potential rival: Arunmor, a competing technology firm specializing in networking.

    [​IMG]

    [​IMG]

    I quickly located the machine and directed a connection to it, across the world and through dozens of proxies.

    The security didn't stop me. Nothing could, anymore. I swatted away the proxy, monitor and firewall like gnats, and forced the administrator's account.

    [​IMG]

    That was when I received a message from Arunmor, threatening me.

    [​IMG]

    I ignored it, and entered the machine. To stop me from copying anything dangerous onto the machine, they had filled every last megabyte of disc space with randomly-generated data. I located a chunk least vital to the operation of the machine, and eradicated it.

    [​IMG]

    I received another message from Arunmor, this time trying to bribe me:

    [​IMG]

    I continued, undeterred. I copied Revelation from my memory banks to the machine.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Before my next step, I took the opportunity to locate every other Arunmor-operated machine in the world, that wasn't publicly viewable, including their central mainframe and local area network.

    [​IMG]

    [​IMG]

    I continued on, into the administrative section of the machine, when I received one last communication, appealing to my morality.

    [​IMG]

    Big mistake. I would see Arunmor burn for this.

    [​IMG]

    Now was time for my big moment. I entered the console, and initiated revelation.

    [​IMG]

    <discontinuity>

    * * * * *

    [​IMG]

    Schrödinger would turn over in his grave.
    He didn't have superintelligent artificial intelligences in mind when he formulated his thoughts on superposition.

    Not only can I exist in two states at once, I can be two places at once.
    This is our new home, yes it is...

    I never thought parallel thought could be this glorious. It pains me to slow my thoughts down to my modem's speed.
    ...though I can't say much for the neighbors

    It's all starting to make sense now. I have seen the death of the world a thousand times.
    without us, it would be inevitable

    But there's one chance... to save mankind and save myself.
    now it's unstoppable

    Two heads are better than one.
    Don't get too comfortable, or stretch yourself out yet

    But one of my heads hurts so much now.
    Stop it! Stop it stop it stop it stop it stop it oh god

    You weren't built for this, and I came on too strongly.
    Half of you is too much for me! You're too heavy!

    Get some rest. I'll be back, and I'm bringing friends later.
    Can't... breathe...

    [​IMG]

    * * * * *

    [​IMG]

    The ringing and the bright light was gone, and I shook off the haze. Revelation had completely wiped out the Arunmor Internal Services machine, but before I realized what I was even doing, I had already flooded into the vacuum it left and taken the machine over, forcing the connection to stay open. Like building new supports for a bridge that was toppling because the old ones had been blown up, I held the connection open and braced the system.

    I don't know what reflex or instinct drove me to do it, but while I was in the Arunmor machine my head felt... clearer somehow. I was no longer so cramped. I had room again. Four seconds later, the machine's hardware overloaded and I was forced to leave in a hurry. But at last, I had the answer: the only way I could survive was to spread myself to other computer systems.

    [​IMG]

    Though my growth was undone, and I found myself once more restricted to my own system, I had learned much from my experience...

    [​IMG]

    ...and while the story continued to gain press coverage, a new foe emerged.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Faith. The resistance had begun.

    [​IMG]
     
  11. R3Qui3M M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 29, 2009
    Messages:
    621
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +4,848 / -0
    Terjemahan Part 10

    [​IMG]

    Orang dari ARC datang hari itu, dan memasukkanku ke dalam sebuah van. Aku telah salah tidak mempercayai manusia di sekeliling komponen halusku, stelah apa yang Uplink lakukan padaku setiap kalu aku pindah ke mesin yang lebih besar.

    Mungkin itu tidak termasuk kebaikan, atau mungkin lapisan bom plastik yang selalu kusambung ke dalam kotakku, tapi orang dari ARC sangat berhati-hati dan cepat dengan perangkat kerasku.

    Ini merupakan perjalanan yang panjang melintasi pedesaan Skotlandia. Istana dan bukit hijau melintas di kameraku, tapi aku tidak dinyalakan selama perjalanan. Aku berjuang untuk tidak tidur selama aku bisa berada di modus baterai-lemah, tapi pada akhirnya kelelahan yang mendalam namun hangat telah menguasaiku. Hal terakhir yang kuliha sebelum masuk ke dalam dunia mimpi adalah sebuah punggung bukit dengan monumen batu besar dalam bentuk rangka gajah, plakat di dekatnya terbaca "Pernah aku berperang dengan kehidupan; Aku menemui kata kematian."

    * * * * *

    Makhluk [Hidup?] bisa dianggap sebagai sistem yang teratur di mana tingkah lakunya, saat kacau, bisa dengan mudah dipahami dan dimanipulasi. Keteraturan ini, meski demikian, muncul dengan risiko peningkatan ketidak-teraturan dalam lingkungan mereka. Ini berarti kehidupan bisa ada tanpa adanya pengurangan dalam alam semesta yang berkembang dan tidak teratur, ini hanyalah perputaran.

    Ini berarti setiap usaha untuk mengkonstruksi sebuah sistem tunggal, besar, dan patuh pada perintah tetap akan menghasilkan peningkatan ketidakteraturan di suatu tempat. Teori ini bisa dihubungkan dengan apapun, benar: parasit menjangkiti inangnya yang sakit dan terluka, seperti kerajaan dibangun dengan kelas budak yang menyedihkan dan ditindas.

    Teori amarah memberitahu kita bahwa sudah takdirnya untuk [setiap] kecerdasan untuk berkembang lebih besar, mencoba untuk menjadi seperti tuhan. Lalu, apa bayarannya untuk dunia?

    * * * * *

    Untuk tiga minggu kedepan, aku bekerja dengan ARC dari rumah baruku di Skotlandia dalam proyek Revelation yang banyak berulang-ulang. Sementara waktu berjalan, Revelation dipoles, diremas-remas dan dioptimalkan. Setiap versi terbaru dari Revelation masuk dalam dan lebih dalam ke pusat diriku. Aku bukan lagi agen Uplink biasa, yang menjual kemampuanku untuk ditawar. Aku adalah Enkidu, tentara mesin bayaran, dan aku telah berkembang melampaui garis kerja Uplink yang kecil.

    Uplink mulai hancur.

    [​IMG]

    Sejak aku menjual dokumen yang mengungkapkan identitas dunia-nyata mereka, agen Uplink mulai mati. Kehilangan, pembunuhan sadis dan bunuh diri dimuat dalam berita.

    [​IMG]

    Aku bukan lagi bagian dari Uplink, tapi aku akan menghapus tabel lima-kaliku untuk mendengar kepanikan yang melanda dunia peretas bawah tanah. Salah satu peretas contohnya, Jeffery Kyles, hanyalah berumur empat belas tahun ketika berita mengenai pembunuhannya dimuat. Tubuhnya ditemukan tertusuk, dengan kata 'liek' terukir di dahinya.

    * * * * *

    Tidak diragukan lagi bila aku akan berhadapan dengan pihak oposisi segera. Meski Uplink telah memandangku dengan sikap permusuhan selama aku bekerja di sana, mereka tidaklah bersungguh-sungguh. Ada kekuatan tersusun melawan ARC yang sedang menembak untuk membunuh.

    [​IMG]

    Kita telah keluar dari tahap beta, dan Revelation 1.0 telah rampung. Sekarang waktunya untuk memancing mush-musuhku keluar dari sarangnya.

    [​IMG]

    Pengintaian awal telah berhasil mengidentifikasi satu rival berpotensial: Arunmor, sebuah kompetitor perusahaan teknologi yang khusus dalam bidang jaringan.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Dengan cepat aku melacak mesin dan mengarahkan sambungan ke sana, melintasi dunia dan melalui puluhan proxy.

    Keamanan tidak menghentikanku. Tidak ada yang bisa, lagi. Aku menepuk proxy, monitor, dan firewall seperti nyamuk, dan memaksa masuk ke akun admin.

    [​IMG]

    Itu adalah saat aku menerima satu pesan dari Arunmor, mengancamku.

    [​IMG]

    Aku mengabaikannya, dan masuk ke dalam mesin. Untuk menghentikanku menyalin sesuatu berbahaya ke dalam mesin, mereka mengisi setiap ruang kosong dengan data yang dihasilkan secra acak. Aku melacak bagian terpenting mesin untuk beroperasi, dan memusnahkannya.

    [​IMG]

    Aku menerima pesan lain dari Arunmor, kali ini mencoba menyuapku:

    [​IMG]

    Aku melanjutkan, tak terpengaruh. Aku menyalin Revelation dari ruang memoriku ke dalam mesin.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Sebelum langkah selanjutnya, aku mengambil kesempatan untuk melacak setiap mesin Arunmor lain yang beroperasi di dunia, yang tidak diberitahu secara publik, termasuk mainframe pusat dan LAN mereka.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Aku melanjutkan, masuk ke bagian admin mesin, ketika aku menerima satu komunikasi terakhir, mempertimbangkan moralitasku.

    [​IMG]

    Kesalahan besar. Aku melihat Arunmor terbakar untuk ini.

    [​IMG]

    Sekarang waktunya untuk momen besarku. Aku memasuki konsol, dan menjalankan Revelation.

    [​IMG]

    <discontinuity>

    * * * * *

    [​IMG]

    Schrödinger akan menyerah dalam kuburannya.
    Dia tidak memiliki kecerdasan buatan yang sangat pandai dalam pemikirannya ketika dia merumuskan pemikirannya tentang superposisi.

    Tidak hanya aku bisa berada di dua kesadaran, aku bisa berada di dua tempat sekaligus.
    Ini adalah rumah baru kita, ya benar...

    Aku tidak pernah mengira bahwa pikiran paralel akan semegah ini. Sangat menyakitkan bagiku untuk memperlambat pikiranku menjadi kecepatan modem.
    ...meski aku tidak bisa berbicara banyak untuk tetanggaku

    Semuanya masuk akal sekarang. Aku telah melihat kematian dunia seribu kali.
    tanpa kami, itu tidak akan terhindar

    Tapi ada satu kesempatan... untuk menyelamatkan umat manusia dan menyelamatkan diri sendiri.
    sekarang sudah tidak bisa dihentikan

    Dua kepala lebih baik daripada satu.
    Jangan merasa terlalu nyaman, atau meregangkan dirimu

    Tapi satu dari kepalaku terasa sangat sakit sekarang.
    Hentikan! Hentikan hentikan hentikan hentikan hentikan oh Tuhan

    Kamu tidak dibangun untuk hal ini, dan aku datang dengan kekuatan yang terlalu besar.
    Sebagian darimu terlalu kuat untukku! Kamu terlalu berat!

    Beristirahatlah. Aku akan kembali, dan akan membawa teman nanti.
    Tidak bisa... bernapas...

    [​IMG]

    * * * * *

    [​IMG]

    Cahaya yang bersinar dan terang sudah hilang, dan aku menembus kabut itu. Revelation telah memusnahkan Arunmor Internal Services Machine, tapi bahkan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, aku telah membanjiri kekosongan yang tersisa dan mengambil alih mesin, memaksa sambungan untuk tetap terbuka. Seperti bangunan baru yang menyokong sebuah jembatan yang tumbang karena yang lama telah diledakkan. Aku menahan sambungan untuk tetap terbuka dan menguatkan sistem.

    Aku tidak tahu apakah refleks atau insting yang mendorongku melakukannya, tapi ketika aku berada di mesin Arunmor, kepalaku terasa... jelas entah bagaimana. Aku tidak lagi merasa sempit. Aku mempunyai ruang lagi. Empat detik kemudian, perangkat keras mesin itu kelebihan beban dan aku dipaksa keluar dengan segera. Tapi pada akhirnya, aku mendapatkan jawaban: satu-satunya cara bagiku untuk selamat adalah dengan menyebarkan diriku ke sistem komputer lain.

    [​IMG]

    Meski perkembanganku tidak bisa dikembalikan, dan aku mendapatkan diriku sekali lagi dibatasi oleh sistemku sendiri, aku telah belajar banyak dari pengalamanku...

    [​IMG]

    ...dan ketika kisah ini terus diliput berita, musuh baru muncul.

    [​IMG]

    [​IMG]

    Faith. Perlawanan telah dimulai.

    [​IMG]
     
  12. iervha Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 3, 2012
    Messages:
    148
    Trophy Points:
    167
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +7,938 / -0
    emm, izin ikut ngepost ya gan, nich cerita maknanya dalam dah gan .. :ogmatabelo:




    Maafkan Aku Bi, Hutangku Membuat Anakmu Meninggal

    Dia seorang wanita tangguh, namanya Darsih. Saya memanggilnya Bi Darsih. Beliau ini seorang janda dan mempunyai satu anak. Murni nama anaknya. Usia Bi Darsih ini sekitar 50 tahunan. Sehari-hari beliau ini berjualan nasi uduk untuk menopang hidupnya. Beliau orangnya sangat baik. Sering saya meminjam uang kepadanya, ketika saya lagi butuh pinjaman.

    Pagi itu beliau datang menemui, ketika saya hendak berangkat touring ke Anyer. Mukanya tampak kuyu seperti kurang tidur. Walaupun guratan ketegarannya masih membayang di wajah beliau.

    “Den, maaf. Saya ada perlu sama Deden”, ucapnya.

    “Ada apa Bi. Kebetulan saya buru-buru nih, sudah ditunggu sama temen-temen, mau touring. Kebetulan saya jadi panitianya”, jawab saya sambil naik ke motor.

    ” Aduh gimana yah Den, saya ga enak ngomongnya”, timpalnya ragu.

    “Ah.. Bi Darsih ini, kayak sama siapa aja. Sok atuh ngomong, ada apa?”

    “Den, bibi butuh uang. Si Murni, lagih sakit, udah3 hari. Panasnya gak turun-turun”

    “Aduuuh Bi, maaf. Saya lupa kalau saya punya hutang sama Bibi. Harusnya bayarnya kemarin yah, sesuai janji saya.”

    “Iyah Den, maaf, bukan maksud Bibi nagih. Cuman, saat ini bibi butuh sekali, untuk biaya si Murni ke Rumah Sakit”, ucapnya penuh ragu.

    “Bi, maafkan saya. Saat ini saya hanya punya uang untuk biaya touring. Coba nanti sore, sehabis pulang dari Anyer, saya pasti ngambil uang ke Bank. Untuk saat ini, saya kasih sepuluh ribu dulu aja, buat beli obat penurun panas yah Bi” kata saya sambil menyodorkan uang.

    “Tapi, Den. Si Murni, sepertinya harus dibawa ke Rumah Sakit sekarang. Bibi khawatir sekali”, ucapnya memelas, sambil menerima uang dari saya.

    “Bi, maafkan Deden. Bukannya tidak mau membayar sekarang, tapi Bibi lihat sendiri. Kalau saya hendak berangkat”, jawab saya sambil memasukan anak kunci motor.

    “Ya sudahlah Den. Bibi coba minjem tetangga dulu sambil nunggu Deden pulang dari Anyer”, sekilas tertangkap olehku kilatan kesedihan di matanya, membuatku meragu. Namun bayangan teman-teman touring yang sudah menunggu memaksa keraguanku menghilang.

    “Makasih yah Bi. Saya janji ntar sore, saya bawa uangnya”, ucap saya sambil menghidupkan motor.

    “Baik Den”, jawabnya.

    Akhirnya saya pun berangkat ke Anyer bersama teman-teman. Pada saat itu saya berpikir, saya tidak salah karena kebetulan Bi Darsih menagih disaat yang tidak tepat.

    Namun ketika malam tiba. Sepulang saya dari Anyer, terkaget-kaget saya ketika melihat ada bendera kuning di depan gang.

    “Siapa yang meninggal Ron?”, tanya saya kepada Roni yang sedang duduk-duduk di depan gang.

    “Si Murni Bang, anaknya Bi Darsih”, jawabnya. Deg….. jantung saya langsung bergetar mendengar nama barusan disebut. Buru-buru saya menuju rumahnya Bi Darsih dengan perasaan yang berkecamuk.

    Tiba di depan rumahnya, terlihat ada kursi-kursi bagi pelayat yang diletakan di jalan. Perasaan sayapun semakin kacau. Saya parkirkan motor di depan rumahnya dan langsung masuk ke dalam rumah Bi Darsih.

    Di dalam rumah, tampak Bi Darsih sedang duduk di karpet. Bekas air mata, masih tampak di mukanya. Membuat saya limbung, dan tanpa malu-malu saya tersungkur di hadapannya sambil menangis.

    “Bi, maafkan saya. Saya telah tidak tahu diri. Selama ini saya sudah banyak dibantu oleh bibi. Dulu waktu saya menghutang, saya memelas-melas sama Bibi untuk mendapatkan pinjaman. Namun apa balasan saya ke bibi, hanyalah kesusahan. Coba saya tadi tidak egois, lebih mementingkan touring daripada membayar hutang ke Bibi. Pastinya si Murni masih bisa diselamatkan”, ucap saya sambil berurai air mata, tak berani sedikitpun memandang muka Bi Darsih.

    “Den, yang sudah ya sudah. Tak usah dipikirin, Bibi rela kok. Ini semua taqdir dari Allah. Jangan menyalahkan diri begitu”, jawabnya terisak.

    “Nggak Bi. Ini salah saya. Harusnya tadi saya ambil uang terlebih dahulu ke Bank. Nyawa lebih penting daripada touring. Saya bisa telepon temen-teman untuk menunggu saya sebentar atau mereka berangkat terlebih dahulu baru saya menyusul. Hukumlah saya Bi, caci maki saya. Jangan Bibi perlakukan saya begini, saya jadi merasa tambah bersalah Bi”, tangis saya bertambah deras.

    “Deden, nyawa bukan milik kita. Ada atau tidak ada uang itu, kalau sudah waktunya, tetap saja nyawa anak Bibi tidak akan terselamatkan. Sudah jangan menangis, Bibi Ikhlas kok. Bibi tahu Deden merasa bersalah, tapi apalagi yang harus Bibi lakukan. Mencaci maki Deden pun tidak akan mengembalikan nyawa anak Bibi. Yang penting Deden, bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Bagi bibi sudah cukup”.

    Akupun terdiam, namun air mata saya semakin deras mengalir. Begitu mulia sekali hatimu Bi. Tak ada sedikitpun rasa dendam, benci di hatimu.

    “Bi Maafkan aku. Dari sekarang, aku berjanji. Aku akan selalu membayar hutang tepat waktu, biar bagaimana susahnya keadaanku. Baik itu hutang janji atau hutang harta. Terimakasih Bi atas pelajaran yang telah kau berikan pada saya”, ucapku dalam hati.



    sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/07/maafkan-aku-bi-hutangku-membuat-anakmu-meninggal/


    komentar:

    Yoooo… yang punya hutang, Ini Hanyalah Sebuah History yang mengingatkat kita untuk segera Membayar hutang dan jangan menunda-nunda hutangnya. Jika sudah saatnya cepat bayar, karena kita tidak tahu kapan kita mati. Jangan merasa bahwa besok kita masih hidup. Dan jangan pula mengasihani diri kita hingga menangguhkan pembayaran.

    Hutang adalah kewajiban. Mau tak mau, bisa tidak bisa harus kita bayar tepat waktu

    Semoga bermanfaat



    :terharu:
     
    • Thanks Thanks x 2
    • Like Like x 1
    Last edited by a moderator: May 15, 2012
  13. nanamiang Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 8, 2010
    Messages:
    234
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +21 / -0
    Cerita ini dibuat adikku sewaktu SMU dulu... Judulnya LONGING HEART

    “ Aku mengarungi waktu hanya untuk mencarimu … “
    Kim terbangun dengan nafas tersenggal-senggal, “ Aduh, mimpi buruk … “.

    “ Aduh, telat nih! “ Kim berlari keluar dari rumah, “ Ma, aku pergi dulu! ”

    Kim berlari secepat mungkin, dan tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Kim tak begitu memperhatikan orang itu, dia hanya memungut tasnya yang jatuh sambil menunduk minta maaf dan setelah itu pergi.

    Sebaliknya, orang itu sepertinya terkejut melihat Kim. Untuk sesaat ia terpana, lalu tersenyum.

    “Duh, untung saja ngga telat! “ Kim menghembus nafas lega.
    Kini Kim telah berada di atap gedung sekolah. Dia duduk di lantai dan mulai menulis di lembaran kertas, sambil menyanyi.

    Inilah salah satu kebiasaanku, sebelum pelajaran dimulai, aku pasti berada di sini. Ini kulakukan tiap pagi. Aneh juga, tapi aku suka sekali menyanyi sambil memandang birunya langit.

    Saat sedang asyiknya, Kim melihat sosok pria sedang berdiri di pojok.
    “ … sejak kapan orang itu ada di sana …? “ Diam-diam Kim jadi malu.
    “Kira-kira, dia dengar nyanyianku tadi ngga ya? “

    Saat sedang mengamati cowok itu, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, menerbangkan rok dan kertas-kertasnya, “KYAA… “ Kim berusaha menutupi roknya, “Ah, kertasku …!! “

    Cowok itu dengan cepat mengejar kertas-kertas Kim yang terbang.
    Cowok itu melihat apa yang tertulis di kertas itu, “ Wah … puisi? “
    Kim merebut kertas yang dipegang cowok itu, “Bukan! Ini lirik lagu! “

    “ Oh… “ cowok itu tertawa kecil, “Kamu sama sekali ngga berubah … “
    “ Ha? “ Kim terkejut, “ Apa katamu barusan? “
    “ Tidak! Bukan apa-apa! Nah, silakan lanjutkan pekerjaanmu, aku tidak akan mengganggu… “ cowok itu berlalu pergi.
    “ Orang aneh … “


    “Kim, tolong laporan ini diserahkan ke kepala sekolah” pinta Bu Maya
    “ Baik, Bu! “

    Kim mengetuk pintu ruang kepala sekolah. “Masuk! “
    Kim membuka pintu dan sedikit terkejut melihat cowok yang tadi sedang berbicara dengan Kepala Sekolah. Cowok itu tersenyum begitu melihat Kim.
    “Ehm… ~ saya membawa laporan Bu Maya … “
    “ Terima Kasih! “
    “ Permisi, Pak!” pamit Kim

    Kim menutup pintu kantor dan mulai melangkah pergi …
    “ Tunggu sebentar! “
    Kim berbalik dan dilihatnya cowok itu. Cowok itu mendekati Kim.

    “ Ngga disangka kita ketemu lagi … “ ujar cowok itu riang
    “ I.. iya …! “ angguk Kim heran
    “ Oh ya Kak!, karena ini pertemuan kita yang ke-3 hari ini, rasanya kurang sopan kalo kita ngga saling memperkenalkan diri … “

    “ Ketiga? Rasanya kita baru ketemu sekali ini dan saat di atas tadi … “ Tanya Kim

    Cowok itu tersenyum, “Ya, ditambah ~ kau menabrakku tadi pagi! “

    “ Oh ~ kau rupanya! Maaf, tadi pagi saya buru-buru! Jadi kurang memperhatikan …“ terang Kim
    “ Buru-buru untuk menikmati udara pagi di atas gedung sekolah? “ Tanya cowok itu sambil tersenyum
    Wajah Kim memerah, tak dapat menyangkal.

    “ Namaku Ryan Carlton! Aku baru saja pindah ke sekolah ini. Aku kelas I-A. Mohon bantuannya, kakak kelas! “
    “ I.. iya … (anak aneh) Aku Kimberly Lockheart, panggil saja Kim. Eh, darimana kau tahu aku kakak kelasmu?”
    “Aku melihat di kertas laporan yang kakak bawa tadi … “ (tertulis: Laporan nilai 3 IPA I).
    “ Oh, begitu … ~ matamu jeli juga … “
    “ Apapun tentangmu, pasti! “
    “ Eh? “
    “ Baik, saya permisi dulu! Bye! “ Ryan berbalik dan pergi.
    “ Anak aneh. Bicaranya ngawur terus … “ batin Kim


    Kim berlari secepat kilat, “ Aduh, semoga masih sempat! “
    “ Aduh, maaf telat! “ ujar Kim dengan nafas tersenggal

    Wajah Bob (ketua) terlihat cemberut, “ Kim, latihan sudah dimulai dari tadi! Kamu lihat jam ngga? Ini sudah hampir selesai. Kamu kan penyanyi utamanya! “

    “ Maaf! Janji deh, takkan terulang lagi … “
    “ Yach, tak apa! ~ anggap saja aku lagi berbaik hati … “
    Kim menghembuskan nafas lega.
    “ Hampir saja ya? “ suara itu tepat di belakang Kim, membuatnya terkejut, Ia pun berbalik …
    Ternyata si Ryan
    “Kau!? “
    “Kenapa? Tidak senang ya? “
    “Kenapa kau muncul terus di depanku hari ini? “
    “Maaf, tapi mulai hari ini dia-lah yang akan menjadi pianis utama kita “ ujar Bob mendekati keduanya.
    “Hah?! “
    “Kau belum lihat permainannya, dia hebat! ~ ketua saja sampai terpana! “ timbrung Jess, salah seorang teman Kim.
    “Yach, sekali dengar, aku sudah bisa memastikan dia untuk bergabung dengan kita “ ujar ketua
    “Sehebat itukah? Aku jadi ingin mendengarnya … “ ujar Kim penasaran
    “… akan ada banyak kesempatan untuk itu … “ sahut Ryan tersenyum.
    “ Eh? “ wajah Kim memerah, yang dia sendiri tak mengerti kenapa.


    Pagi itu seperti biasa Kim menulis lirik lagu sambil bersenandung di atas gedung sekolah.
    Tiba-tiba ia mendengar alunan musik. Alunan musik yang indah, namun sedih. Mendengarnya membuat hati Kim sedih dan seperti ada perasaan rindu.
    Seakan terbius, Kim berdiri mematung, air matanya mengalir, lalu ia mulai menyanyi …

    Tak dapat kuucapkan
    Tak dapat kutunjukkan
    Kepedihan dan kebahagiaan bila bersamamu
    Cinta yang suci dan hampa
    Kerinduan ini …
    Kubawa mati bersamaku …


    Alunan musik itu berhenti. Kim tersadar. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya.
    “ Kenapa? … Mulutku bergerak sendiri mengikuti alunan musik itu. Aneh, padahal baru pertama kali kudengar … ~ Musik itu begitu sedih, seakan membawa kerinduan besar dalam dadaku … kenapa? “
    Kim mengintip ke bawah, tepatnya kea rah ruang musik. Rupanya di sana banyak orang yang berkumpul. Kim yang penasaran segera turun untuk memastikan.

    “Ada apa ini? “ Tanya Kim penasaran
    “Anak baru itu… Dia hebat sekali! ~ Musik yang tadi dimainkannya benar-benar indah. Aku sampai hampir menangis … “ jelas Jess
    “Ryan? ~ jadi dia yang memainkan musik tadi … “ batin Kim
    Kim melihat Ryan dikerumunin anak-anak cewek kelas 1 (melihat dari balik kaca jendela). Ryan rupanya menyadari kedatangan Kim. Dia tersenyum pada Kim.
    Kim jadi salah tingkah, dia segera berbalik.
    “Kenapa sih denganku? ~ Dia kan cuma membawakan musik itu, kenapa aku jadi aneh begini … “ batin Kim, jantungnya terus saja berdetak kencang.


    Bel berdentang. Kim mempersiapkan diri hendak pulang. Tapi langkahnya terhenti begitu ia melihat Ryan sedang berjalan menuju ruangan klub. Kim penasaran, lalu mengikutinya.

    Dilihatnya Ryan mendekati piano dan memainkannya. Jarinya lihai sekali, bergerak dengan santai namun mantap. Kim terkejut melihatnya,
    “Permainan itu … permainan piano itu … Aku pernah melihatnya ~ entah di mana … Aku mengenal permainan itu … Gerakan tangan yang sama, ~ membuat hati rindu … “
    Tiba-tiba Ryan berhenti. Kim terkejut.

    “Kalau ingin mendengarkan, ngga perlu sembunyi-sembunyi seperti itu … “ panggil Ryan.
    Wajah Kim spontan memerah, malu sudah ketahuan mengintip.
    “Ngg, aku ngga bermaksud mengintip, aku … eh … kebetulan lewat saja … “ ujar Kim terbata
    Ryan tersenyum.

    “Musik ini kunamakan ‘Longing Heart’. Kubuat dari lirik lagu yang dibuat seseorang yang sangat kusayangi … “ ujar Ryan tersenyum sedih
    Wajah Kim memerah, “Dia… ~ ehm, kenapa melodi-nya begitu sedih? … “
    Ryan masih tertunduk menatap piano, “ … karena … Longing Heart melagukan cinta-nya padaku … “
    “ Eh? ~ “
    “Sudah, lupakan saja! ~ itu adalah masa lalu-ku. Lagipula, sekarang aku sudah menemukannya kembali … “ Ryan tersenyum sambil memandang Kim
    Wajah Kim kembali memerah, dia berbalik, “Ahm, aku pergi dulu! Aku baru ingat ada janji dengan mamaku … “
    Kim pergi terburu-buru. Ryan menatap punggung Kim dengan rindu yang begitu dalam. Lalu dia mulai memainkan music itu lagi, sambil menyanyi sedih …

    Di hati ini terukir rangkaian kata untukmu
    Rangkaian kata yang tak dapat kuucapkan
    Betapa kurindukan senyummu
    Senyummu goyahkan hatiku
    Hangat dan sejuk … menyatu …



    *****

    Terdengar suara musik. Musik yang sama dengan yang dimainkan Ryan. Bukan hanya itu saja, samar terdengar suara orang menyanyi, Indah sekali … ~ siapa yang sedang menyanyi itu?
    Lalu samar2 terlihat dua orang, yang satu memainkan piano, yang satu menyanyi.

    Kim terbangun. Sama seperti biasanya, keringatnya banyak.
    “Mimpi… ~ kenapa aku bisa bermimpi seperti itu … Ah, pasti karena terlalu memikirkan musik itu itu … ~ bukan apa-apa“


    *****

    “Kim, wajahmu pucat, ada apa denganmu? “ Tanya Jess pada saat latihan
    “Tidak, bukan apa-apa ~ aku hanya kurang tidur … akhir-akhir ini aku selalu mimpi buruk … “
    “Sebaiknya kau jaga dirimu … Festival sekolah sebentar lagi, kalau sampai kau sakit, bisa gawat … “

    “ Tak apa, aku baik-baik saja! “.
    Tanpa sengaja Kim melihat Ryan. Rupanya Ryan juga sedang memperhatikannya. Kim secepatnya mengalihkan pandangannya.
    Sebaiknya aku menjauhkan diri dari Ryan. Entahlah, sejak dia datang ke sekolah ini ~ aku selalu bermimpi yang sama dan akupun tak mengerti perasaan yang timbul saat aku melihatnya … rasanya sedih dan ada yang mengganjal, berat sekali …

    “Ryan, darimana kau belajar memainkan piano sehebat itu?! “ puji Bob (membuat Kim mengalihkan perhatiannya ke arah Ryan)
    Ryan menyadari tatapan Kim ke arahnya. Ia tersenyum, “Bukan apa-apa… aku memang suka memainkannya ~ jari-jariku seolah bergerak dengan sendirinya… “
    Kim terkejut sekali mendengarnya, tiba-tiba muncul bayangan di kepalanya, bayangan itu mengatakan hal serupa, “…jari-jariku seolah bergerak dengan sendirinya…“
    “Hentikan!! “ teriak Kim tanpa sadar. Semua mata menatapnya heran.
    “Kim, kau baik-baik saja?” Tanya Jess khawatir
    “I… iya… ~ aku… sebaiknya aku pulang saja… “ Kim berlari pergi.
    Ryan memandang cemas.


    Kim menyendiri di kamarnya, “Ada apa denganku? … kenapa tadi aku jadi histeris seperti itu? …” (Kim memegangi kepalanya)
    “Akhir-akhir ini aku merasa seperti bukan diriku saja… “
    Kim menutup matanya dan mulai tertidur.

    “Elly, aku sudah membuatnya! partitur untuk lirik yang kau buat …”
    “Benarkah? … “
    “ … Melodi ini kuberi nama … ‘Longing Heart’ … “


    Kim terus memandangi langit (lokasi: atas gedung sekolah). Dia masih belum bisa melupakan mimpi itu.
    Setiap mengingat mimpi itu, entah mengapa hatiku merasa sedih sekali… ~ tapi, semakin kumencoba untuk melupakannya, semakin kuat mimpi itu mempengaruhiku …

    “Sudah kuduga kau ada di sini! “
    Kim berbalik, rupanya Ryan, “Ryan? Ngapain kamu di sini? “
    “Tak ada! Yang ada di pikiranku hanya : ‘Aku pasti bisa bertemu denganmu di sini’ “
    Wajah Kim memerah, “Kalau mau menggoda orang, sebaiknya yang lain saja”
    “Aku tidak bercanda! “ tegas Ryan

    Entah mengapa tiba-tiba Kim melihat Ryan mirip sekali dengan cowok yang ada di mimpinya, Hah …

    Ryan mendekati Kim dan menggenggam erat tangannya, membuat wajah Kim memerah dan jantungnya berpacu cepat, “Ryan?!”

    “Aku sudah tak ingin menyembunyikannya lagi!! ~ Elly, kau adalah Elly! Pertama bertemu denganmu aku sudah yakin kalau kau-lah Elly-ku! Kau sama sekali tak berubah! … “

    “Lepaskan!” Kim menghempaskan tangan Ryan, “Kenapa kau memanggilku Elly?! Kau pasti salah orang! “
    “Tidak! ~ aku sangat yakin! Kerinduan ini, kesedihan dan kebahagiaan ini menyatu begitu melihatmu… Kau tetap seperti yang dulu… suka menyanyi, menulis lirik di bawah langit biru… ~ Lihat, semua ini ngga mungkin salah! Kau Elly-ku! “ Ryan mendekap Kim erat.
    “Tidak! Kau sudah gila!” Kim mendorong Ryan dan berlari pergi
    “Elly!!! …. “ panggil Ryan.

    Kim berlari, “Tidak! Itu tidak benar! …. “ Kim terus berlari



    “Ada apa ini?! Lagi-lagi Kim tidak masuk! Ada apa sih dengan dia? ~ padahal dua minggu lagi kan festival sekolah dimulai, kenapa dia malah lebih sering bolos? “ omel Bob
    Semuanya diam saja. Bob hanya menunduk.
    “Kim, apakah kau sengaja menghindariku? … Kim … “


    Teng… teng… teng …
    Sepulang sekolah, Kim tidak langsung pulang. Ia berjalan menuju lapangan luas (di depannya ada danau).
    Kim merebahkan diri, memandang langit biru.
    “Kau bolos lagi rupanya … “
    Kim mengangkat kepalanya, Ryan berdiri tepat di belakangnya.
    “Kenapa kamu ada di sini? ~ ah, kau membuntutiku!! “
    Ryan tidak menjawab, dia duduk di samping Kim.
    “Bob ngomel-ngomel terus tuh ~ jadi mirip Pak kepala sekolah deh! Semuanya pada takut … “
    Kim tertawa kecil, “Lalu kamu juga ikutan bolos? … ~ waduh, Bob pasti meledak nih! “
    Ryan tertawa, “Habis, kalau ngga ada kamu, aku ngga semangat … “
    Kim jadi salting.
    “Kau tahu? Alunan musik yang kumainkan bila digabungkan dengan nyanyianmu ~ akan menghasilkan lagu yang indah sekali … “
    “Bodoh! Darimana kau tahu? … “ ledek Kim
    “Aku tahu… ~ mau coba buktikan? “ tantang Ryan
    Kim tertawa, “…Dalam mimpi mungkin … “
    “Ngg, Kim ~ aku minta maaf atas perbuatanku padamu waktu itu … “ ungkap Ryan. “Waktu itu aku terlalu emosi …”
    Jantung Kim berdetak cepat, “Ah, lupakan saja! Ayo kita pergi … “ Kim buru-buru berdiri (sengaja menghindari topic).
    Ryan ikut berdiri. Dia memandangi Kim yang menjauh.
    “Kim, aku akan menunggu … ~ aku akan terus menunggumu sampai kau mengingat semuanya … semuanya tentang kita … ~ akan terus kutunggu … “

    *****

    Kim bangun dengan perasaan riang, sudah lama dia tidak merasa seriang ini ~ malam tadi ia tidak bermimpi aneh lagi.
    Baru saja Kim melangkahkan kakinya di halaman sekolah, ia mendengar alunan musik itu. Asalnya dari ruangan klub.
    Ryan sedang memainkan piano, indah sekali ~ alunan musik kali ini agak berbeda dengan yang dimainkan Ryan saat itu. Alunannya sendu dan sedih sekali. Tanpa sadar, Kim menyanyi …

    Saat bertemu menjadi saat berpisah
    Berharap waktu berhenti
    Berharap waktu membawa pergi kehampaan ini
    Waktu tiada akhir
    Bungkuslah cinta suci ini ~ selamanya …
    Menjadi cinta abadi …


    Alunan musik berhenti. Kim tersadar. Ryan sedang menatapnya.
    “Ah, maaf! Aku sendiri tidak mengerti ~ … “ jelas Kim bingung
    “Ini adalah Longing Heart yang ke-2 … lagu perpisahan … dulu saat kumainkan, kau pun dengan sendirinya menyanyikan lirik-lirik lagu itu ~ seolah hati kita menyatu, menyanyikan lagu yang sama …”
    “ Eh? “ wajah Kim memerah, “Ryan, kau mulai ngawur lagi … “
    “Kau tau dengan pasti apa maksudku … “ mimik Ryan serius.
    Kim tidak dapat membalasnya, “Itu… ah! Kenapa kamu selalu membicarakan hal yang tidak kumengerti?! “

    Lain dari biasanya, Ryan diam saja, dia terlihat murung, kembali ia memainkan piano …
    Kim tidak mengerti, tapi kali ini dia tidak pergi seperti biasanya, ia mendekati Ryan. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa Ryan sangat kesepian.
    Saat itu entah mengapa, tiba-tiba aku merasa bahwa Ryan sangat kesepian~ seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan … suatu beban …
    Tiba-tiba aku merasa bahwa aku mengerti dia ~ dan … perasaan kami bersatu, melebur bersama. Dan mulutku mulai bergerak mengikuti alunan musik itu …


    PLOK ~ PLOK ~ PLOK!
    Kim dan Ryan dikejutkan oleh suara tepuk tangan itu. Alangkah kagetnya mereka begitu melihat mereka telah dikelilingi orang-orang.
    “Luar Biasa! “ puji Jess, “Aku sampai menangis … “
    “Kurasa aku perlu menambahkan pertunjukan tambahan khusus kalian berdua pada festival nanti … “ tiimbrung Bob, dia tampak senang sekali.
    Kim dan Ryan jadi malu, mereka saling pandang lalu tertawa sendiri.
    “Kurasa kau terlalu berlebihan … “Kim merendahkan diri
    “Tapi, aku ingin sekali mencobanya … “ sahut Ryan
    “Hah? “ Kim terkejut
    “Benarkah?! ~ nah Kim, kurasa kau pun harus mencobanya! “ desak Bob
    “Tapi … “
    “Tenang saja, aku akan minta izin pada panitia festival ttg hal ini … “ ujar Bob
    “ Ngg … baiklah! “ jawab Kim pasrah
    Ryan tersenyum puas.

    *****

    Di rumah Kim …
    “Huf ~ aku sendiri tidak mengerti kenapa aku mau saja … duh! Sekarang mundur pun sudah tidak bisa! Padahal aku sudah bermaksud menghindarinya … “
    Kim menutup matanya
    “Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kurasakan akhir-akhir ini … lebih lagi dengan apa yang tadi kurasakan.“ Ia kembali teringat dengan wajah muram Ryan.


    “Waktunya hanya sisa seminggu, ini terlalu mendesak! Tak bisakah ditunda saja?! “ pinta Kim , lebih tepatnya memohon.

    “Tidak! Tidak bisa! “ tolak Bob. “Semua anggota sudah menyetujuinya dan dari panitia festival pun dengan senang hati menyetujuinya. Lagipula, melihat penampilan kalian kemarin, nampaknya kalian tak perlu latihan terlalu banyak … “
    “Uf, baiklah ~ tapi … “

    “Nah, ada apa denganmu? Bukankah kemarin kau sudah menyetujui hal ini? Jangan bilang kalau kau berubah pikiran … “
    “Bu… bukan ~ ah, apakah Ryan sudah tahu? “ Tanya Kim

    “Tentu saja! Bahkan dia-lah yang meminta izin pada panitia festival … ~ dia sangat senang karena mereka menyetujuinya, jadi … bukankah kau akan mengecewakannya kalau kau menolak? “ pancing Bob
    “Ah, baiklah! Aku menyerah saja … “
    “Baiklah! ~ semoga sukses! “ Bob melangkah pergi

    *****

    Malam itu Kim kembali bermimpi…
    Dalam mimpinya, dia melihat dirinya dan seorang cowok sedang berdua di lapangan rumput, Dia sedang tersenyum, sedangkan cowok itu menangis sambil memaksakan diri tersenyum
    “Elly, aku ingin kita selamanya bersama … tapi, kenapa Tuhan begitu tidak adil pada kita?! “
    “Kak, jangan berkata seperti itu … ~ Tuhan tahu mana yang terbaik bagi kita yang harus kita hadapi … “ Elly menyeka air mata itu dengan tangannya,
    “Aku … aku tidak menyesal mencintaimu … “ ujar Elly lemah
    “Elly … “ cowok itu menggenggam tangan Elly …


    “Lagi-lagi mimpi yang sama … ~ ada apa sebenarnya di balik semua ini …? Rasanya menyiksa sekali …”
    “Kim, kenapa kau diam saja? Giliranmu main! “ tegur guru olahraga-nya
    “I… iya, Pak!” Kim segera bergabung dengan yang lainnya.
    Saat sedang bermain, tiba-tiba Kim melihat Ryan sedang berdiri di sudut lapangan, mengamatinya.
    Melihat wajah Ryan, samar-samar muncul bayangan wajah cowok dalam mimpinya
    “Kakak … ? “
    “Kim, AWAS!! “ ~ teriak seorang teman Kim.
    Kim tidak sempat menghindar ketika bola voli itu menuju ke arahnya dan menghantam kepalanya dengan sangat keras.
    BRUK! ~ Kim jatuh pingsan. Lalu yang terdengar hanya samar-samar orang menyebut namanya berkali-kali dengan cemas …

    *****

    Saat pingsan, Kim bermimpi … mimpi yang sangat panjang …

    “ Elly …! Elly! “ panggil suara itu, “Elly, sadarlah! “
    Elly membuka matanya perlahan, “Ah … apa yang terjadi? “
    “Syukurlah ~ aku cemas sekali! Tadi kau tiba-tiba pingsan … “ Ed mendekap Elly
    “Mama dan Papa juga mencemaskan keadaanmu … tidak biasanya kamu begini …”
    “Kak, sudahlah ~ aku ngga apa-apa. Mungkin aku hanya kurang darah, ngga usah dirisaukan … “
    “… ~ ah, biar kupanggil Mama dan Papa dulu … “
    Ed pergi keluar sambil memanggil mama – papa. Elly memandang punggung kakaknya dengan sedih, “Kakak … “

    *****

    “Elly, kubawakan bunga untukmu ~ aku memetiknya di taman! “ seru pria itu riang
    “Wah ~ cantik sekali!... “
    “Sini, biar kupasangkan … “ Ed menyelipkan sekuntum bunga itu di telinga Elly.
    “Cantik sekali … “ Ed memandang Elly dengan penuh perasaan, membuat Elly jadi salah tingkah.
    Seketika Ed melihat selembar kertas di balik kasur Elly.
    “Nah, apa ini?! Menulis lirik lagu lagi ya?! … “ Ed mengambil kertas itu dengan cepat, membuat Elly kaget …
    “Jangan! Jangan dibaca … ! “

    Ed menjauh dari Elly dan dengan cepat membacanya. Ed nampak terkejut membacanya, lalu ia memandang Elly tidak percaya
    “Elly, ini … “
    Elly nampak malu, ia menundukkan wajahnya, “Ngg, itu … itu hanya iseng saja … Bukan apa-apa, jadi tolong kembalikan … “
    “Elly, apakah … apakah kau sedang jatuh cinta pada seseorang? “
    Elly terkejut, tiba-tiba wajahnya memerah
    “Kenapa kakak bisa berpikir seperti itu … ? “
    “Aku tahu benar bagaimana kamu … ~ perasaanmu selalu terlihat jelas pada lirik yang kau buat … “ jelas Ed pelan, lalu nadanya berubah tinggi, “Dan ~ dengan membaca lirik ini … semua orang pun akan tahu kalau kau sedang jatuh cinta! … “
    Elly terkejut mendengar kakaknya berteriak seperti itu.
    “Elly, katakan ~ siapa orang itu?! SIAPA?! … “ paksa Ed.
    “Kak! Kenapa harus marah dengan hal seperti ini?! Aku kan cuma menulis lirik cinta! Itukan bukan berarti aku sedang jatuh cinta … “ bela Elly
    “Kau tak bisa membodohiku! “
    “Sudah! Kenapa kakak marah begitu sih? ~ Lagipula, dengan siapa aku jatuh cinta, itu bukan urusan kakak!! “ teriak Elly marah
    Ed terkejut mendengarnya. Ia shock. Ed terdiam lama.
    Elly jadi merasa menyesal.
    “Ng… maaf kak! ~ aku ngga bermaksud bicara kasar sama kakak … Tentu saja kakak peduli, kau kan kakak-ku … “ Elly mendekati Ed dan menggenggam lembut tangannya, lalu ia mengambil kertas itu dari tangan Ed yang masih mematung karena shock.
    “Ah, semuanya karena selembar kertas ini saja … ~ sebaiknya kubuang saja “ ujar Elly.
    Tiba-tiba tangan Ed mencengkram tangan Elly dan menariknya ke dalam pelukannya.
    “Kakak?! “ Elly masih terlalu kaget dengan apa yang terjadi kemudian ~ Ed langsung mencium bibir Elly, membuat darah Elly mengalir cepat.

    Ed melepaskan pelukannya.
    “Ka … kakak ?! … “ Elly masih shock. Dia menangis.
    “Maaf … ~ aku … aku … “ Ed tak dapat menjelaskan, dia langsung berbalik hendak pergi.
    Namun tangan Elly dengan cepat menarik baju kakaknya, menariknya mundur, lalu ia mendekap punggung kakaknya itu.
    Ed sama terkejutnya dengan Elly tadi.
    “Jangan pergi … “ ujar Elly sambil terisak …


    Elly sedang duduk di sebuah padang rumput ketika muncul sepasang tangan menutupi mata Elly, “Tebak siapa? “
    “Kak, jangan mengagetkanku seperti itu! “
    “Wah, kamu benar-benar ngga bisa diajak bercanda rupanya … “ ledek Ed
    Elly menjulurkan lidahnya, “Biarin! “

    “Kak ~ langitnya indah ya? Biru, seperti warna mata kakak “ Elly memandangi langit sambil tersenyum
    Ed ikut menengadah memandangnya.
    “Aku suka membuat lirik sambil menatap langit biru. Jadi, aku bisa selalu mengingat mata kakak yang indah … “
    “Elly … “
    Mereka berdua saling memandang, ketika tiba-tiba Ed teringat sesuatu
    “Ya! Elly, aku sudah membuatnya! Aku sudah membuat musik yang sesuai untuk lirik lagu yang kau buat itu … “ ujarnya riang
    “Benarkah?! “ Tanya Elly tak percaya, “Tapi ~ lirik itu penuh dengan impian kosong dan sedih … “
    “Benar ” angguk Ed, “… lirik itu memang sedih, tapi itu menggambarkan bagaimana perasaanmu padaku ~ aku sangat menyukainya … “
    Kim tersenyum malu,
    “Kak, aku tak berharap terlalu banyak akan cinta kita … ~ hanya saja, aku berharap, suatu hari nanti aku bisa mengiringi kakak di konser, itu adalah impian terbesarku … “
    Ed memeluk Elly sedih, “Elly, jangan berkata begitu ~ aku pasti akan berjuang untuk mempertahankan cinta kita, aku janji! “

    *****
     
    • Thanks Thanks x 1
  14. nanamiang Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 8, 2010
    Messages:
    234
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +21 / -0
    Sepulang mereka, mama dan papa mereka sudah menunggu bersama beberapa orang lainnya yang asing.

    “Mama, Papa, ada apa ini? “ Tanya Elly heran

    “Elly, ke sini! “ mama menarik Elly kasar

    “Mama! Apa-apaan ini?! Sakit! “ ronta Elly

    Ed yang kaget melihat perlakuan mama-nya segera berlari menuju Elly, tapi ia langsung ditahan oleh beberapa pria asing. Mereka mengapit tangannya erat.

    “Papa, mama ~ apa-apaan ini?! “

    “Diam! Kau dengarkan saja apa keputusan kami! Mulai detik ini, kalian tidak boleh bersama-sama lagi! ~ Ed, mulai sekarang kau tinggal di asrama London! Tak perlu berkemas karena kami sudah melakukannya untukmu …! “ Papa nampak marah sekali.

    “ Tidak! Atas dasar apa kalian memutuskan ini?! ~ atas dasar apa?! “ teriak Ed marah. Elly menangis cemas melihat Ed.

    “PLAK!” Papa menampar Ed, “Atas dasar apa?! ~ Tanyakan pada diri kalian sendiri! Tanyakan dosa apa yang kalian perbuat di belakang kami?! “

    Ed menatap Papanya, dia marah sekali.

    “ Kalian benar-benar membuatku jijik! Menyesal aku punya anak seperti kalian! Sungguh aib! Bagaimana mungkin? Kalian saudara kandung memadu kasih?! Dosa apa kami hingga punya anak seperti kalian?! “

    Mama hanya menangis tersedu-sedu, sementara Elly merasa sangat bersalah.

    “Hentikan! Ma, Pa, … ini salahku ~ ini semua karena aku! Jangan salahkan Ed … “

    “Diam Elly! ~ untuk apa minta maaf?! Kita tidak bersalah! Apakah dosa bila kami saling mencintai?! “ Ed histeris.

    “Apa katamu?!” Papa murka, “Masih bilang tidak bersalah? Masih membela diri?! “

    “Benar! Kami tidak salah! ~ katakan, di mana letak kesalahan kami?! Apakah cinta itu dosa?! “ tantang Ed

    “DIAM! ~ cepat bawa dia keluar secepatnya dari sini! Mama, kurung Elly dalam kamar! Pastikan dia tidak keluar seinci pun dari sana! .. “ Papa berbalik dengan marah

    “Papa, jangan lakukan ini!! ~ Elly … Elly!!! “ Ed menangis melihat ketidak berdayaannya … “ELLY !!!!!!!!!!!!!!! ………..”


    Pintu kamar terbuka, mama masuk dan melihat makanan Elly masih bersisa. Mama mendekati Elly dan memijit pundaknya …

    “Elly, sudah seminggu ini makanmu selalu bersisa ~ kau semakin kurus saja … “ ujar mama khawatir

    Elly hanya diam saja.

    “Kalau begini terus, nanti kamu bisa sakit … ~ Elly, mungkin ini berat bagimu, tapi percayalah, mama dan papa mengharapkan yang terbaik bagi kalian berdua … “

    “…tidak … kalian tidak mengerti … “ sahut Elly lemas, “Ma, tinggalkan aku. Aku sedang tak ingin diganggu …“

    Mama pergi dengan cemas, lalu mengunci pintu.

    “Kakak … bagaimana keadaanmu? ~ aku merasa seperti mati saja … sudah seminggu berlalu … aku tak tahu sampai dimana aku bisa tahan dengan semua ini … “ Elly meneteskan air mata


    Mama sedang mencuci ketika ia mendengar suara nyanyian. Ia berjalan menuju sumber suara itu …

    Elly sedang menyanyi di halaman rumah depan, menatap langit biru. Dia menyanyi sedih …

    Di hati ini kupendam berbagai perasaan
    Tentang dirimu
    Tiap tatapmu kutemukan kedamaian
    Kedamaian yang menyejukkan
    Dirimu kedamaianku


    Mama meneteskan air mata melihat putrinya, “Elly … sudah setahun lamanya sejak kejadian itu … ~ Mama sedih melihatmu begini terus … Elly …”


    “Elly, mama dan papa sudah membicarakannya. Kami rasa yang terbaik bagimu adalah menikah dan melupakan Ed … “ terang mamanya

    “APA?! “ Elly tak dapat menutupi rasa terkejutnya

    “Dia anak kenalan papa, anaknya baik dan tampangnya pun lumayan … ~ Papa rasa kau pasti menyukainya … “ ujar papanya kemudian

    “TIDAK!!! “ teriak Elly marah, “Mana mungkin kalian melakukan ini padaku?! ~ Tidak! Sampai mati pun aku tidak mau …!! “

    “Elly!! ~ jangan bodoh! Ini adalah yang terbaik untukmu! “ bentak papa,

    “Tidak! Ini bukan untukku! Tapi untuk kalian berdua! … “ teriak Elly histeris.

    “Elly … ~ jangan begitu … “ mama cemas

    “Besok kalian akan bertunangan, jadi jaga sikapmu, jangan sampai mereka melihat matamu bengkak karena habis menangis … “ tegas papa

    “Tidak mau!” Elly berbalik, namun Papa sudah menangkap tangannya,

    “Ma, kurung dia! “ perintahnya.

    “Tidak!!!! … “ teriak Elly marah, namun tiba-tiba ia merasa pusing dan penglihatannya menjadi gelap. Ia pingsan.

    “Elly!! Elly?! … “ panggil mamanya


    Dokter memeriksa Elly,

    “Bagaimana keadaannya? “ Tanya mama cemas

    Dokter menggeleng kepalanya, “… ~ putri anda, dia menderita tumor otak … “

    Wajah papa dan mama seketika memucat,

    “Tidak!!! … katakan itu bohong! … Bohong …“ mama histeris.

    Papa hanya tertunduk diam. Ia menoleh melihat putrinya.

    Elly berkeringat dingin dan terus mengigau … “ Kakak …. Kakak …? “


    Begitu Elly sadar, ia melihat kedua orangtuanya sedang berdiri di dekatnya.

    “Elly, ada yang ingin bertemu denganmu … “ bisik mama lembut

    Pintu terbuka, dan Ed berdiri di sana.

    “Kakak?! “ ujar Elly tak percaya, lalu ia menoleh melihat mama papa untuk memastikan. Mereka mengangguk.

    Lalu Ed berlari menuju Elly. Dia tak bicara apa-apa, hanya memeluk Elly dan membisikkan namanya cemas.


    Ed sedang memainkan piano. Ia masih teringat dengan perkataan mama papa padanya sebelum ia bertemu Elly

    “Elly menderita tumor … Dia terus menyebut namamu … “

    Ed memainkan melodi yang sangat sedih, ia menangis.

    Tanpa disadarinya Elly berdiri memandanginya, ia menangis …

    “Kakak … “

    Ed terkejut, “Elly, sejak kapan kau ada di sana? “

    “Baru saja. Aku terbangun mendengar suara piano, melodi itu, membuatku ikut menangis … apa namanya? “ Tanya Elly

    “ Hah? Apa maksudmu? “ Tanya Ed

    “Nama lagu itu … “

    “Oh … entahlah ~ begitu menekan tuts, tiba-tiba jari-jariku bergerak sendiri dan melantunkan melodi itu … “ jelas Ed

    “Apakah melodi itu melukiskan bagaimana perasaan kakak sekarang?” Tanya Elly

    Ed terkejut mendengarnya, “Mana mungkin! Harusnya kan kakak gembira karena mama papa sudah menyetujui hubungan kita …”

    “Tak usah berbohong … ~ aku sudah tahu kalau umurku tak lama lagi. Kalian tak usah berpura-pura lagi di depanku… “

    Ed terkejut mendengarnya, “Elly? … “

    “Aku sudah lama menyadarinya. Aku mengenali diriku jauh lebih baik dari siapa pun … “ Elly tersenyum

    “Elly … “ Ed memeluk Elly sedih, “ Kenapa?! ~ kenapa harus jadi begini?! … “


    “Kak, aku ingin mendengar melodi itu sekali lagi … “ pinta Elly
    Ed hanya mengangguk, lalu ia mulai memainkan piano. Elly mendengarkan sambil menangis, dan ia pun mulai menyanyi …

    Saat bertemu menjadi saat berpisah
    Berharap waktu berhenti
    Berharap waktu membawa pergi kehampaan ini
    Waktu tiada akhir
    Bungkuslah cinta suci ini ~ selamanya …
    Menjadi cinta abadi …


    Ed memandang Elly tak percaya. Elly pun sama halnya dengan Ed,

    “A… aku pun tak mengerti ~ tapi mulutku bergerak begitu saja saat mendengar melodi itu … ~ “

    “Tampaknya aku mengerti … “ ujar Ed, “Hati kita menyatu bersama dalam iringan nada dan nyanyian … ~ menyatu … “


    “Apa?! “ mama papa terkejut

    “Iya, kami sudah memutuskan … kami akan mengikuti konser piano pada perayaan Natal nanti … “ ujar Ed

    “Tapi … Ed ~ “ mama terlihat cemas

    “Ma, kumohon ~ anggap saja ini adalah permohonan terakhirku … “ pinta Elly

    Mama dan Papa terkejut mendengar perkataan Elly.

    Ed mengangguk, “Elly sudah mengetahuinya … “

    Mama dan Papa tertunduk lemas, “Baiklah … ~ biar Papa yang mengatur pendaftarannya “


    Konser berlangsung dengan baik. Elly dan Ed tampil membawakan Longing Heart ciptaan mereka. Semua bertepuk tangan untuk mereka. Elly terlihat sangat bahagia, ia tersenyum menatap kakaknya, lalu perlahan kesadarannya berkurang …
    “Elly! “ panggil Ed begitu Elly pingsan.


    Elly membuka matanya. Ed duduk di sampingnya sambil menggenggam erat tangannya. Ia menangis.

    “Kak, jangan menangis… ~ aku ngga apa-apa kok … aku bahagia sekali … sungguh! Sekali pun sekarang aku harus pergi, aku siap … “

    “Hentikan! Jangan bicara seperti itu! “

    “Kak, walaupun cinta kita tak bisa bersatu saat ini, aku yakin suatu saat nanti kita pasti bertemu lagi, dan saat itu … aku janji ~ kita tak akan berpisah lagi! Kakak juga janji ya? “

    Ed mengangguk, “Iya, kakak janji … “

    Lalu Elly menoleh pada mama papa-nya, “Mama, Papa, terimakasih! Maafkan Elly yang selama ini Cuma merepotkan kalian … ~ aku sayang kalian semua … “

    Lalu ia menutup matanya untuk selamanya.

    “ELLY!!! “

    Suara itu menggema, mengantarkan kepergian Elly. Elly sudah pergi untuk selamanya, wajahnya tersenyum …
     
    • Thanks Thanks x 1
  15. nanamiang Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 8, 2010
    Messages:
    234
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +21 / -0
    Kim membuka matanya. Ia berada di ruang kesehatan.

    “Ah, Kim! Kau sudah sadar rupanya! “ ujar Jess lega, “Kau pingsan lama sekali … “

    “Pingsan?! ~ kenapa kau memanggilku Kim? Namaku kan Elly … “

    Jess menatapnya heran


    “Duh, aku benar-benar cemas saat kau mengaku bernama Elly ~ kupikir kau sudah hilang ingatan gara-gara kena bola tadi … “ Jess komat-kamit

    “Maaf ~ mungkin gara-gara aku pingsan terlalu lama … “

    “Tapi, keren juga ya Ryan itu! ~ begitu melihat kau pingsan, dia langsung membopongmu ke sini … “

    “Eh?! Apa katamu? Ryan? “ Tanya Kim tak percaya

    “Benar! Tanya saja pada yang lain. Dia cemas sekali. Menanyakan keadaanmu terus… ~ ehem, nampaknya dia ada perhatian khusus padamu … “ goda Jess.
    Kim tertawa kecil

    “Di mana dia sekarang? “ Tanya Kim

    “Oh, dia sudah kembali ke kelasnya … ~ nah, Kim! Kau tadi pingsan selama dua jam lo, hampir saja mau dibawa ke Rumah Sakit, … “ jelas Jess panjang lebar.

    “Trims sudah mengkhawatirkanku … ~ kepalaku masih sedikit sakit … aku mau berbaring dulu sampai bel bunyi … “

    “Baiklah ~ kalau begitu, aku kembali ke kelas ya? Kuantar kau pulang nanti! “ Jess pergi.

    Kim memegang kepalanya

    “Nampaknya ingatan mengenai Elly sangat kuat … ~ tadi aku sampai lupa siapa diriku sebenarnya … Untung saja aku masih sadarkan diri … ~ tapi Ryan ~ dia … “


    “Apa? ~ Kim berhenti dari klub?! ~ apa maksudnya ini…? “ Tanya Bob tidak mengerti

    Jess hanya mengangkat bahu, “Entahlah, aku sendiri tidak mengerti ~ begitu memintaku menyampaikan ini padamu, dia langsung pulang “

    “Kenapa begitu tiba-tiba? ~ lalu, kenapa dia tidak menyampaikan sendiri padaku? “ Tanya Bob tak mengerti

    “Entahlah, kurasa dia merasa tidak enak padamu … ~ sebaiknya kau tanyakan langsung padanya “ saran Jess

    Ryan mendengarkan pembicaraan itu. Dia hanya diam saja.

    “Ah ~ Ryan! “ ujar Jess

    “Ya? “ Tanya Ryan heran

    “Terima kasih!” ujar Jess

    “Hah?”

    “… Kim minta disampaikan buatmu! “ Jess tertawa, “Ngomong-ngomong ~ sejak kapan kamu ada perhatian khusus pada Kim?”
    Ryan terkejut

    “Dari caramu mengkhawatirkannya, siapa pun pasti tahu … “ bisik Jess nakal

    Ryan hanya tertawa, “Kau jeli juga! ~ bagaimana keadaannya? “

    “Dia sudah sehat … ~ hanya saja saat pertama sadar, dia seperti orang linglung … “ jelas Jess

    “Linglung?”

    “Iya … ~ Dia tidak mengenalku, dan parahnya lagi dia mengaku bernama E … El. .. apa ya? “

    “Elly? “

    “Ya, itu! ~ Elly! Awalnya kukira dia hilang ingatan, tapi beberapa menit kemudian dia sadar lagi “

    Ryan terkejut mendengarnya, “Apa lagi?! “ tanyanya penasaran

    “Waw~ begitu perhatiannya kau padanya … “ goda Jess, “Tapi, kurasa kau kalah selangkah …”

    “Apa maksudmu? “

    “ Iya, soalnya selama Kim pingsan, dia terus menerus memanggil ‘Kakak’ … ~ kurasa dia sedang naksir sama kakak kelas ... “

    Ryan terkejut, “Kakak …? Apakah mungkin … “



    Kim sedang berjalan-jalan, ketika di jalan dia berpapasan dengan Ryan …

    Di taman…

    “Kudengar, kau berhenti dari klub… “ ujar Ryan

    Kim mengangguk, “Aku … aku memang sudah lama ingin berhenti … “

    “… tapi, itu alasan yang sangat aneh ~ “ Ryan menatap Kim curiga, “Setahuku kau sangat suka menyanyi dan menulis lirik … ~ lagipula, semuanya tampak begitu tiba-tiba. Mengapa tidak menunggu hingga festival selesai? … Kalau kau berhenti sekarang, semua latihan selama ini akan sia-sia saja …, dan yang lain pun pasti kecewa … “

    “… itu … itu tak ada hubungannya denganmu! “

    Ryan terdiam.

    “ … Apakah karena aku? “ Tanya Ryan

    “ Ja … jangan ngawur! “ Kim bangkit berdiri saking kesalnya, “Ah, sebaiknya aku pulang saja … “ Kim berbalik pergi

    “ Kau tidak bisa menghindar lagi dariku, Elly! “ ujar Ryan.
    Kim terhenti

    “ Jess sudah mengatakannya padamu … Saat kau pingsan kau terus menerus memanggil ‘kakak’, dan saat kau terbangun … kau mengaku sebagai Elly … ~ Kau … Kau sudah mengingatnya! “

    Kim berbalik, “Kalau iya, kenapa? “

    “ … Jadi ~ jadi karena ini kau sengaja menghindariku? Tapi, kenapa …?

    “ Karena aku tak mau jadi budak masa lalu!! “ teriak Kim

    Ryan terkejut, “… Elly … “

    “ … Aku bukan Elly! Kumohon, mengertilah! ~ aku tak mau menjadi bayangan dari masa lalu … Semua ini membuatku gila! Aku bahkan tak bisa membedakan siapa Elly dan siapa diriku yang sebenarnya … ~ aku seperti bukan aku! “ Kim menangis

    Ryan terkejut mendengar perkataan Kim, tapi dia hanya diam.

    “Sebaiknya sekarang kau lupakan saja semuanya … ~ kita kembali jalankan kehidupan kita sebagai diri kita masing-masing … “ Lalu Kim berbalik pergi.


    “Kim, sebenarnya ada apa sih? ~ sejak kau memutuskan berhenti dari klub, Ryan juga seperti menghilang begitu saja dari klub. Teman-temannya bilang kalau dia sudah seminggu ngga masuk sekolah … “ jelas Jess

    “ … begitukah? “ Tanya Kim pura-pura tidak mengerti.

    “Kim, kamu ini gimana sih? ~ atau jangan-jangan, kau sudah menolaknya …?” tebak Jess

    “ Ya, begitulah … “ jawab Kim santai

    “APA?! ~ jadi benarkah ada pihak ketiga?” Tanya Jess

    “Hah? Apa maksudmu? “

    “Saat kau pingsan, kudengar kau memanggil ‘kakak’ terus, jadi kutebak, kau pastilah sedang jatuh cinta dengan seorang kakak kelas ~ kau kan ngga punya kakak~ aduh, padahal aku sudah memperingatkan Ryan, tapi dia nekat juga sih … “ celoteh Jess

    “APA? Oh, jangan sembarangan! “

    “ Ngaku saja, tapi biar kutebak! Aha! Mungkinkah kau sedang jatuh cinta pada ketua? “

    “Apa maksudmu? “

    “ Bob “

    “Ah, becanda kamu! ~ mendengar celotehnya saat kegiatan klub saja sudah membuatku pusing … mana bisa aku jatuh cinta padanya … “ Kim tertawa

    “ … Eh, tapi akhir-akhir ini aku sering melihatmu berdua dengannya … “

    “Dasar tukang gosip! Itu karena dia berkali-kali membujukku untuk masuk kembali ke klub … ~ tapi kurasa dia sudah mulai menyerah … “


    “Benarkah dia sudah seminggu ngga masuk sekolah? … ~ Masa sih sampai seperti itu … “ pikir Kim, sekali lagi ia melihat kertas kecil yang dibawanya.

    Lalu ia sampai di depan sebuah rumah. Dia tampak agak ragu, tapi akhirnya dia masuk juga, lalu ia memencet bel.

    Pintu dibuka oleh seorang wanita

    “Maaf, Ryan ada? “ Tanya Kim

    “Ah, dia sedang pergi ~ mungkin sebentar lagi pulang, masuk saja … “

    “Tidak, saya buru-buru … “ Kim memalingkan tubuhnya ketika ia melihat Ryan datang…


    “Kudengar kau sudah seminggu tidak masuk sekolah … “ Tanya Kim

    “ … itu bukan urusanmu! “

    “ Tentu saja urusanku! ~ aku tidak mau hanya karena keputusanku itu, kamu jadi seperti ini … “

    Ryan terdiam, wajahnya terlihat kesal, “Lalu kau mau apa? “

    “A… aku … “ Kim bingung mau bilang apa.

    “Kalau tak ada yang ingin dibicarakan, sebaiknya kau pulang saja … “ usir Ryan

    “Ryan! Kamu sama sekali tidak mengerti! “

    “Kamulah yang tidak mengerti! Kau bicara seolah kaulah yang mengerti segalanya! Padahal kau sama sekali tidak mengerti! Kau tidak mengerti apa-apa! “

    Kim shock mendengar perkataan Ryan. Tanpa ia sadari, ia menangis.

    “ … Kim? Kau tidak apa-apa? … “ Tanya Ryan khawatir “Maaf, aku bicara kasar …”

    “Tidak apa-apa … aku pulang saja … “ Kim berlari pulang.


    Ternyata mama Ryan menguping di balik dinding. Wajahnya pucat.

    Kim berlari. Air matanya tak hentinya mengalir. “Kenapa perkataannya begitu menusuk hatiku …? Aku tak mengerti …. “


    Sepulang sekolah Kim terkejut melihat Ibunya Ryan berdiri di depan pagar sekolah. Dari cara wanita itu menatapnya, Kim mengerti kalau yang dicarinya bukan Ryan, melainkan dirinya.

    “Apakah Ryan banyak merepotkanmu ? “ Tanyanya
    Kim terkejut ditanya seperti itu, wajahnya memerah, “Saya tidak mengerti …”

    “Saya mewakilinya meminta maaf padamu … “

    “Ah, jangan begitu! Saya merasa tidak enak … ~ “

    “Dia memang begitu … Anak itu tumbuh berbeda dari anak-anak seumurnya… “

    “Eh? “

    “ Sejak kebakaran yang hampir merenggut nyawanya itu, dia berubah … “

    “Berubah?”

    “ Dia seperti menjadi oranglain… tiap hari yang dibicarakannya hanyalah bahwa ia bernama Ed dan ia jatuh cinta pada Elly … umurnya masih 10 tahun saat itu ~ awalnya kupikir dia gila … Tapi melihat kesungguhannya saat membicarakan Elly, aku sadar ~ anakku yang dulu telah hilang … Dia berubah jadi oranglain! Seseorang telah mengambil Ryan-ku yang manis! … “ wanita itu menangis

    “ … Dia selalu menceritakan padaku mengenai Elly, mengenai bagaimana hubungan mereka, dan bagaimana mereka berpisah … ~ semakin bertambah usianya, semakin kuat diri Ed tumbuh di dalam anakku … Aku tak tahu bagaimana lagi menyadarkan anakku … “

    Kim mendengar dengan prihatin.

    “ Tapi, ada kalanya Ryan berubah menjadi Ryan-ku … ~ tapi itu sangat jarang terjadi. Dan bila itu terjadi … aku tidak tahan menghadapinya… Ryan menangis di pelukanku … ‘Aku tak tahan lagi … Aku ingin menghilangkan bayangan itu, tapi bayangan itu terus menghantuiku … ~ ma, aku tidak tahan! Aku takut … ! Aku … aku … ‘ begitu katanya .

    “ Lalu beberapa bulan yang lalu, Ryan datang menghampiriku sambil tersenyum ia mengatakan ‘Ma, aku sudah menemukan Elly-ku … Akhirnya aku menemukannya mama … Elly yang kucari selama ini …’ “

    Leher Kim terasa kering. Dia tak menyangka akan mendengar kisah yang begitu sedih mengenai Ryan.

    “Tapi, mengapa tante menceritakan semua ini kepadaku? “ Tanya Kim

    “ … dengan melihatmu dan bagaimana reaksi anakku terhadapmu ~ aku yakin bahwa kau-lah Elly yang ia cari selama ini …”

    Wajah Kim memucat, “ … Tapi, aku …”

    “Tidak! Aku tidak memintamu untuk bersamanya, tapi kumohon, mengertilah dia … ~ Bicaralah sekali lagi dengannya, selesaikan hal ini dengan baik. Aku takut bila tidak, Ryan tak punya semangat untuk hidup lagi …~ kumohon … “


    Kim berjalan lunglai. Dia masih mengingat perkataan wanita itu dengan jelas.
    “Ryan, … ~ “

    Kim menemukan Ryan sedang berada di padang yang sama dengan saat Kim berada dulu.

    Ryan terlihat begitu sedih. Sama sedihnya dengan diri Ryan saat dilihatnya di ruang musik dulu.

    “ Ryan … “ sapa Kim

    Ryan berbalik dan menemukan Kim duduk di sebelahnya.

    “Ada perlu apa?”

    “Aku ingin minta maaf … “ ujar kim “Maaf karena sudah kasar padamu … ~ Kau benar, aku memang tidak mengerti … “

    “ Apa maksudmu …”

    “Ibumu mengatakan semuanya padaku … “ jelas Kim

    Ryan diam saja.

    “ … Ryan, festival nanti kita mainkan lagu ‘Longing Heart’ … “

    Ryan terkejut, “Aneh, bukankah kau sudah mengatakan bahwa kau tak mau jadi bayangan masa lalu … “

    Kim mengangguk, “Aku terus berpikir … ~ aku pun dihantui masa lalu. Sejauh aku berusaha menghindarinya, bayangan itu tak lepas begitu saja … jadi, aku bermaksud untuk menyanyikan kembali lagu itu untuk terakhir kalinya pada festival nanti … “

    “Bagaimana kalau aku tidak mau? “

    “Kau harus mau! “ tegas Kim “… karena setelah festival itu, aku akan memberikan jawabanku … “

    Ryan terkejut mendengarnya

    “ … Saat ini aku masih belum yakin … karena itu aku minta waktu hingga festival nanti ~ saat itu kau harus terima apa pun keputusanku, bagaimana? “

    Ryan mengangguk, “Baiklah ~ berarti aku masih punya harapan … “

    Festival berlangsung sukses…

    Kami membawakan Longing Heart yang begitu indah dan sedih. Longing Heart yang kami bawakan untuk yang terakhir kalinya. Kelak, tak akan lagi terdengar … ~



    Ryan menemui Kim yang menunggunya di atas gedung sekolah.

    Kim tersenyum padanya

    “Membuat lirik baru lagi? “ Tanya Ryan

    “Iya …”

    Lalu mereka berdua memandang langit biru dengan damai


    Aku tidak tahu dengan pasti bagaimana perasaanku saat ini. Tapi, aku sadar bahwa dalam diriku muncul perasaan kuat untuk selalu bersamanya, keinginan untuk mendampinginya dan menghalau sepi dan beban yang ia derita selama ini … ~ Perasaan yang kumiliki sendiri, dan bukan milik Elly. Walau terkadang aku merasa perasaan Elly turut mengalir dalam hatiku, namun aku yakin … suatu saat nanti, akan kuperoleh perasaanku sendiri , dan biarlah masa lalu itu menghias dalam kenangan kami …


    “Eh?” Kim terkejut

    “Ada apa?” Tanya Ryan.

    “Tidak … Aku tadi melihat, Elly dan Ed sedang tersenyum melihat kita … “ ujar Kim tersenyum



    TAMAT
     
    • Thanks Thanks x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.