1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Aira Khrisna

Discussion in 'Fiction' started by deJeer, Sep 5, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. deJeer Administrator
    Head Admin

    Online

    Watching You

    Joined:
    Sep 7, 2009
    Messages:
    16,908
    Trophy Points:
    335
    Ratings:
    +32,848 / -3
    AIRA KHRISNA
    By: R.B.S deJeer​


    “Aku ingin menikah denganmu!” teriak Khrisna di depan telingaku.

    Aku tak mengerti apa yang Khrisna katakan saat itu, yang aku tahu hanyalah telingaku sakit mendengar teriakannya. Menikah, hal yang aku tahu setelah kedua orangtuaku bercerai, sehari setelah Khrisna berteriak di depan telingaku. Aku tinggal berdua bersama kakek semenjak perceraian kedua orangtuaku. Hal itu membuat hanya ada kakekku dan Khrisna dalam hari – hariku selama ini. Yah, walaupun aku juga mau tak mau harus mengenal beberapa gadis yang tak mampu kuhitung jumlahnya, lalu – lalang dalam hidup Khrisna. Oke, aku tak begitu mengenal mereka, anggap aja saja aku hanya tempat menampung cerita antara mereka dan Khrisna. Semakin banyak yang lalu – lalang, kurasa semakin Khrisna melupakan apa yang dulu pernah dia teriakkan di depan telingaku. Yah, meskipun kita sekarang tinggal bersama setelah kakek menutup usia.

    Aku mencintai Khrisna, sangat mencintainya. Namun sepertinya persahabatan kita selama ini adalah batas yang terbaik untuk kita. Aku pun juga tak ada celah untuk melihatnya memiliki perasaan yang sama terhadapku. Aku belajar, terus belajar memahami dalam hati akan makna kerelaan yang sebenarnya. Apakah kerelaan ini adalah kerelaan untuk menyimpan perasaanku? Ataukah kerelaan ini adalah kerelaan untuk menanti ketetapan Sang Pencipta? Dan mungkinkah kerelaan ini adalah kerelaan untuk melepaskannya? Ah, terlalu sesak pertanyaan yang hanya mampu terjawab oleh waktu dan satu hal yang disebut dengan sikap. Waktu terus berjalan, berjalan beriringan dengan sikap yang seharusnya semakin terbentuk bersama kedewasaan diri. Sampai di sini aku merasa mungkin saja aku memang belum mampu meraih apa itu kedewasaan.

    Ku harap ada hamparan bintang malam ini, namun tidak. Hanya ada panasnya secangkir kopi menemani dinginnya malam. Balkon ini menjadi saksi bisu keramaian pertanyaan dan harapan dalam kesunyian. Hei kamu Sang Dewi Malam, bisakah kau berbisik padaku sedikit saja perasaanmu dalam kesendirian? Bulan hanya terdiam, tersenyum pun tidak. Sama seperti Khrisna yang baru saja ku lihat posting foto di instagram bersama teman perempuannya, memberiku kabar saja tidak. Merahnya gaun perempuan di samping Khrisna mengingatkanku pada merahnya kotak cincin yang tak sengaja aku temukan di kamar Khrisna purnama lalu. Tak aja secuil penjelasan dari Khrisna. Oke, aku memang belum ada ucap menanyakan untuk apa dan untuk siapa cincin itu. Tapi tidak adakah kemauan Khrisna menceritakan hal itu? Hei, sudah berapa lama kita saling mengenal? Sudah berapa lama kita tinggal bersama? Kau selalu menceritakan semua hal padaku, termasuk tentang perempuan – perempuan yang membuatku menjadi aktris handal. Telinga yang terbuka lebar untuk mendengar, senyum yang merekah untuk mendukungmu, dan mata yang terjaga memandangmu hingga larut. Tahukah kamu sebenarnya telinga ini sudah terlalu sesak mendengar nama perempuan – perempuanmu, tangis dalam hatiku, dan semakin redupnya pandanganku akan harapanku untuk kau mengingat apa yang pernah kau teriakkan di telingaku? Aku rasa tidak.

    Gelap dan hangat kurasa. Hangat yang aku hapal betul milik siapa, Khrisna. Gelap pandangku dan hangat yang kurasa menghilang. Ku tolehkan pandanganku pada bocah yang terperangkap dalam usia dan fisik orang dewasa di sampingku, “apaan sih? Gimana nge-date nya?”

    “Hmm, coba deh liat muka kamu. Kek anak abege cemburu. Ahaha,” Khrisna menertawakanku, “eh iya lupa. Kamu kan The Amazing Heartless Superwoman. Ha.. ha!”

    “Ah elah, songong banget sih womanizer satu ini. Ngook,” tawaku mendorong Khrisna.

    Kita saling tertawa hingga handphone Khrisna berbunyi. Ku lihat chat dari Hera, perempuan bergaun merah dalam instagram Khrisna.

    Hera: Aku udah nemuin gaun wedding yang pas nih. See you soon.

    Khrisna tersenyum tanpa membalas chat Hera. Dia meletakkan handphone di meja lalu meregangkan tubuhnya sambil menguap. Tak lama, tubuhnya bersandar di pangkuanku. Khrisna memperlihatkan dirinya memang masih bocah di hadapanku. Hei, aku bukan ibu mu, Nak. Bisakah kau bersandar pada bantal dan kasur empuk di kamarmu? Handphone itu, ingin ku raih lalu ku baca apa saja yang selama ini Khrisna dan Hera bicarakan. Bisa ku ambil pun aku tak bisa membuka kuncinya. Mungkin jika momen ini terjadi sebelum dua tahun lalu, aku masih bisa mengakses handphone Khrisna dengan bebas. Ya, dua tahun lalu. Pertengkaran paling hebat yang pernah terjadi di antara kita, hari terakhir aku masih tahu pola kunci handphone Khrisna.

    Pecahan kaca pigura foto kita berdua berserakan di lantai. Darah menetes dari tangan Khrisna. Getaran tanganku tak kuat lagi menahan handphone Khrisna. Malam itu bibirku membisu melihat amarah yang selama ini tak pernah aku lihat dari seorang Khrisna. Pandangan Khrisna menatap kosong foto kita berdua. Jemari Khrisna perlahan mengambil foto kita berdua tanpa pedulikan pecahan kaca pigura yang menembus kulitnya. Senyum mulai merekah dari bibirnya lalu perlahan mendatangiku, berlutut di depanku yang duduk terdiam di kasurku. Foto kita berdua yang ia tunjukkan bersama darahnya itu memang menyeramkan. Namun ada hal yang jauh lebih menyeramkan daripada itu, senyum Khrisna. Yang ku tahu senyum adalah hal yang menyenangkan dan menenangkan, kali ini tidak. Senyum itu, senyum paling menyeramkan seumur hidupku pernah menatap. Getaran tanganku semakin kuat saat handphone Khrisna berdering.
    “Nini,” ucap Khrisna mengambil handphone lalu mengangkat panggilan.

    Ruang kecil di kedua telingaku tak mampu mendengar ucapan yang keluar dari handphone Khrisna. Kedua bola mataku hanya mampu membaca gerakan bibir Khrisna sesaat sebelum menutup panggilan; maaf. Khrisna mengganti pola kunci handphone lalu mencubit, memainkan kedua pipiku. Tercium aroma darah Khrisna menusuk indera penciumanku. Tersadar tak hanya darah yang membasahi pipi, air mataku tak terbendung lagi untuk mengalir. Ketakutan, kengerian yang kurasa lebih menyeramkan daripada rasa takutku untuk kehilangan Khrisna. Kehangatan kurasa saat tubuh Khrisna memelukku erat. Erat, semakin erat hingga tubuh ini terhempas oleh dorongan tangannya. Entah berapa kali tubuh ini terbawa pantulan per springbed ku. Yang ku tahu hanyalah hiasan bintang di plafon seakan ingin terjun bebas menghantamku, menambah hamparan kunang – kunang pandanganku.

    “Nini. Rukmini. Perjuangan yang hanya berakhir di kata maaf,” Khrisna berdiri lalu melangkah menuju pintu kamar, “aku rasa kamu paham seberapa besar perasaanku untuk Nini.”

    Suara sakelar lampu kamar mengiring kepergian Khrisna dari kamarku. Hamparan cahaya bintang di plafon tak mampu meramaikan keheningan. Rasa bersalah semakin memadati benakku malam itu. Jauh, ku rasa aku telah berbuat terlalu jauh untuk memisahkan Rukmini dari Khrisna. Jauh, sejauh jarak perasaan antara aku dan Khrisna. Pernahkah kau menanyakan seberapa besar rasa cintaku padamu, Khrisna? Oke, mungkin aku telah salah mengartikan waktu yang kau berikan selama ini. Tapi, tapi bukankah kau sendiri yang telah menanam benih perasaan cintaku padamu? Katakan Khrisna, katakan! Katakan teriakanmu di telingaku kala itu hanya angin lalu untuk mengajariku tentang getaran dan debaran hati yang disebut dengan cinta! Kau tak pernah mengatakan, tak pernah menjelaskan padaku maksud dari ucapanmu kala itu.

    Kesalahan, aku tak ingin melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Ya, terlalu jauh untukku jika harus menghancurleburkan perasaan Khirsna untuk kedua kalinya. Hei Khrisna, kenapa kau harus ada dalam hidupku? Tubuhmu di pangkuanku memang terasa berat. Tapi tahukah kau lumbung perasaan ini jauh lebih berat daripada tubuh manjamu? Mungkin ini untuk terakhir kalinya kau ku biarkan bertumpu di pangkuanku. Atau mungkin kau sendiri yang bermaksud memanja untuk yang terakhir kalinya sebelum melangkah pergi bersama Hera? Sepertinya pertanyaanku tentang cincin itu telah terjawab malam ini. Malam ini, malam terakhir antara kita berdua. Perlahan ku singkirkan tubuh Khrisna dari pangkuanku. Langkah ini ingin memberikan kenangan terakhir untuk Khrisna.

    Happy Birthday, Khrisna. Ungkapan terakhir akan rasa sayangku padanya yang tertulis di kue ulang tahun. Bodohnya aku lupa di mana aku menaruh pisau untuk memotong kue ini. Silaunya pisau di dapur menuntunku untuk mengambilnya. Untuk terakhir kalinya. Ya, untuk yang terakhir kalinya aku ingin membawa kebahagiaan untuknya. Senyum, ku harus memberikan senyuman terbaikku untuk Khrisna malam ini. Aku harus mengakhiri kisah ini dengan indah. Silau pisau di hadapanku pun serasa tak sabar untuk menari di hari ulang tahun Khrisna. Telah ku putuskan, memutuskan sesuatu yang tak ku yakin itu apa namun harus kulakukan malam ini. Menyalakan lilin menjadi hal pertama untuk memulai apa yang ingin aku lakukan. Ku ambil korek di saku celana ku. Jemariku tak hanya bertemu dengan korek melainkan bersama pasangan setianya, kotak rokok. Tersadar, terlintas pikiran bahwa Khrisna memang sengaja membuat rokokku tergilas berat tubuhnya.

    Ku tak ingat kapan tepatnya. Yang teringat hanyalah wajah itu, wajah yang tak ingin ku lihat dalam hidupku. Malam di mana tangan ini harus berjabat dengannya; Hera. Kau tahu, Khrisna? Apa kau tahu penantianku untuk melihat kau membuka hatimu yang terkunci rapat setelah Rukmini pergi dari hidupmu? Ya, kau memang telah membukanya. Tapi, tapi kenapa harus karena Hera? Apa kau memang telah buta, tak mampu melihat siapa yang selama ini ada di sampingmu, yang selama ini hidup bersamamu? Ku hanya mampu melangkahkan kaki yang berat ini ke balkon. Ku nyalakan rokok untuk mengusir rasa sedih dan kecewaku pada Khrisna. Asap menari seakan mengajakku berdansa. Hei, kau hanya asap. Kenapa kau lebih mengerti perasaanku daripada seorang pria bernama Khrisna?

    “Cewek bego!” Khrisna menamparku hingga getarannya melepaskan rokok di jemariku.

    “Kasar,” ucapku pelan.

    “Apanya yang kasar? Aku berhenti merokok karena asma kamu. Tapi kamu malah semakin susah diatur. Kata apa yang lebih tepat selain bego?!”

    “Kejam.”

    “Kejam? Kalau aku kejam, aku pasti gak akan pernah belain kamu tiap ada masalah. Aku juga pasti gak akan mau nemenin kamu di rumah ini. Kamu bisa mikir gak sih?”

    “Puas?” tanyaku beriringan dengan air mata yang membasahi pipi.

    Malam itu berakhir dengan aku yang mengunci diri di kamar tanpa sempat menanyakan ribuan pertanyaan dan amarah yang ingin aku lontarkan ke Khrisna. Malam ini aku harus berani mengutarakan semua dan mengakhiri kisah ini dengan indah. Ya, apapun itu hasilnya, aku rasa itu akan menjadi hal yang terindah untuk mengakhiri ribuan pertanyaan akan kisah kita. Hei kamu, pria berengsek di hadapanku, bangun lah, ini hari ulang tahunmu. Ku bangunkan Khrisna perlahan.

    “Happy birthday, Khrisna,” senyumku.

    Tanpa membalas senyumku, Khrisna meletakkan kue ulang tahun di meja. “Berapa kali aku harus bilang ke kamu. Aku benci tiap kali kamu mengatakan hari ini ulang tahunku. Apa memang kamu mau nyadarin aku kalau hari ini adalah hari aku dibuang di depan gerbang panti asuhan? Tanpa kamu ingetin pun aku sadar kalau aku ini anak yang terbuang!”

    “Salah, aku salah lagi?” lutut ini terjun bebas tanpa peduli sakitnya saat mendarat, “aku hanya berusaha mencari celah untuk ada dalam bahagia kamu.”

    Air mata ini tampaknya ingin membersihkan darah yang mulai keluar dari lututku. Ku hanya mampu menunduk tanpa ada keberanian untuk menatap amarah Khrisna.

    “Aira,” ucap Khrisna yang ku rasa tanpa ada sedikit pun rasa bersalah karena memang aku yang salah.

    “Aku sempat berpikir hidupku akan menjadi kosong tanpamu. Aku sempat membayangkan teriakanmu di telingaku kala itu menjadi kenyataan. Lily, Kinanthi, Bima, dan semua nama – nama yang ku impikan kelak menjadi nama anak kita. Tapi aku memang salah, bego seperti katamu. Hingga akhirnya aku sadar, selama ini aku hanya hidup dalam pengharapan semu. Jika memang tak ada cinta di hatimu untukku, aku mohon hapuskan kenangan saat kau berteriak ingin menikahiku. Aku mohon hapuskan semua kenangan hari – hariku bersamamu,” tangisku di hadapan Khrisna.

    “Kamu mau drama apa lagi sih, Ra? Kamu capek jadi The Amazing Heartless Superwoman?” tawa Khrisna.

    “Aku ingin kamu tahu satu hal. Aku gak seperti yang kamu omongin. Aku punya hati, cuma satu, dan hati itu hanya buat satu orang; kamu. Dan aku muak dengan drama yang kamu ciptain.”

    “Maaf,” Khrisna membangunkan tubuh ini lalu memberikan pelukan hangat.

    Momen ini, momen yang mengingatkanku pada kengerian dua tahun silam. Momen ketika Khrisna menghempaskanku ke hamparan bintang. Cahaya rembulan memberikan silau pada pisau di meja seakan berbisik ini lah saatnya untuk mengakhiri semuanya. Hangat ini, hangatnya pelukan Khrisna. Tak rela jika aku harus melepasnya. Namun jika bukan aku yang melepas, dia yang akan melepas; sama saja. Ku hempaskan tubuh Khrisna hingga terjatuh. Seketika ku ambil pisau di meja lalu ku hadapkan ke depan wajah Khrisna.

    “Aku ingin bersamamu lebih lama. Aku rasa aku juga ingin datang ke pernikahanmu dengan Hera. Tapi maaf, semua harus berakhir di sini,” ku angkat pisau berharap kekuatan bulan mampu menyembuhkan semua luka.

    “Ra,” Khrisna tampak panik.

    “Selamat tinggal, kisah terindahku,” ku hujamkan pisau ke hatiku. Hati yang tak ada lagi guna untuk aku mempertahankan keberadaannya.

    Tubuhku terhempas, terkapar tak berdaya. Darah perlahan mengalir hingga deras menghangatkan tubuh yang semakin terasa dingin ini. Khrisna panik menelepon ambulan lalu pergi entah kemana. Mungkin dia ingin pergi bersama Hera sekarang juga, tanpa ada keinginan meramaikan pemakamanku. Ah, ternyata dia kembali ke hadapanku. Diambilnya tanganku lalu memasukkan cincin ke jemariku.

    “He.. ra,” ucapku dengan kekuatan yang ada.

    “Argh! Be.. Hera itu wedding organizer yang bantuin aku persiapin pernikahan kita!” teriak Khrisna.

    Seketika tubuh ini mati rasa. Salah, ternyata aku salah lagi, aku memang salah. Kenapa Khrisna tak pernah membicarakan ini lebih awal? Kenapa dia justru menumbuhkan benih kecemburuan yang teramat berat ini padaku? Sudah lah, aku sudah cukup bahagia akhirnya Khrisna memasangkan cincin di jemariku. Mati pun aku rela. Bukankah aku sendiri yang ingin mengakhiri kisah antara aku dan Khrisna? Tersadar mata ini memandang wajah yang ku tahu telah enyah dari hidupku dan Khrisna; Rukmini.

    “Nini?” ucap Khrisna setengah tak percaya, “kamu?”

    “Tim medis. Maaf, tak ada waktu mengobrol. Kondisi darurat,” Rukmini bersama rekannya memindahkan tubuh ini ke tandu darurat, “mohon tidak menghalangi jalan, tunggu di ambulan saja.”

    Khrisna tanpa berpikir panjang langsung berlari menuju ambulan, hilang dari pandanganku. Tubuh ini mulai terangkat dan terbawa meninggalkan balkon. “Nini, teri.. ma.. ka.. sih.”

    “Justru aku yang harusnya terima kasih. Karena kamu, Khrisna meninggalkan ku dan aku mampu menjadi tim medis rumah sakit. Sepertinya fokusku memang harus ke karir dulu. Aku juga muak mendengar Khrisna selalu menyebut nama kamu di setiap pertemuan kita,” langkah Rukmini terhenti.

    “Nini?” tanya rekan Rukmini yang membawa tubuhku.

    “Maaf, sebentar,” Rukmini memandangku, “kamu masih kuat?”

    “Ya,” senyumku menahan tubuh yang semakin terasa dingin ini.

    Tubuh ini kembali terbawa bersama langkah tim medis hingga menurunkan kecepatan dan terhenti saat menuruni tangga.

    “Aku menunggu hingga hari seperti ini terjadi. Kamu pasti kuat,” senyum Rukmini melepas genggamannya dari tandu darurat seketika setelah menyelesaikan ucapannya.

    Tubuh ini terjatuh dan berguling menuruni tangga. Pandanganku semakin kabur hingga hanya ada gelap menyelimutiku. Apakah ini memang karma yang pantas untukku? Aku tersadar sekarang, Khrisna tak pernah bermaksud menyakitiku, aku sendiri lah yang selama ini telah menyakiti perasaan orang – orang yang mengharapkan cinta Khrisna. Maafkan aku Khrisna, aku memang seperti katamu; bego. Maaf semua harus berakhir tanpa sempat kau wujudkan apa yang pernah kau teriakkan di telingaku. Dan kisah ini memang harus berakhir di sini, Aira Khrisna.
     
    • Like Like x 2
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Alhamduliilah, bagus dejeer :) :matabelo:
     
    • Like Like x 1
  4. deJeer Administrator
    Head Admin

    Online

    Watching You

    Joined:
    Sep 7, 2009
    Messages:
    16,908
    Trophy Points:
    335
    Ratings:
    +32,848 / -3
    makasiu
    alhamdulillah di mananya nih kk nopi?
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Alhamdulillah, saya baik2 aja,
    dan bisa nulis juga :matabelo:
     
    Last edited: Sep 9, 2016
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.